TERAPI PERILAKU
TEORI DASAR
OLEH:
Marlinda
NIM : S571902007
PEMBIMBING:
SURAKARTA
2021
1
HALAMAN PERSETUJUAN
Naskah untuk presentasi tugas kuliah psikoterapi : terapi perilaku (teori dasar)
telah disetujui untuk dipresentasikan
Pembimbing Tandatangan
2
HALAMAN PENGESAHAN
Nama : Marlinda
Surakarta
Tanggal___________Bulan______________2021
Surakarta
Pembimbing
3
TEORI DASAR: TERAPI PERILAKU
A. PENDAHULUAN
Tipe-tipe masalah yang dapat ditangani dengan terapi perilaku antara lain
fobia, gangguan obsesif kompulsif, masalah seksual (ejakulasi dini dan
vaginismus), gangguan kebiasaan (gagap dan ngompol), dan problem
ketrampilan sosial (Palmer, 2011). Pelatihan ketrampilan sosial untuk
memperbaiki interaksi dengan orang lain digunakan untuk mengatasi masalah
kecemasan sosial dan autisme (Carter dan Seifert, 2017).
4
B. TUJUAN
1. Untuk mengetahui definisi terapi perilaku
2. Untuk mengetahui perkembangan terapi perilaku
3. Untuk mengetahui teori dan konsep dasar teori perilaku
4. Untuk mengetahui tujuan terapi perilaku
5. Untuk mengetahui ciri-ciri terapi perilaku
6. Untuk mengetahui teknik-teknik terapi perilaku
7. Untuk mengetahui studi terkait terapi perilaku
C. PEMBAHASAN
1. DEFINISI TERAPI PERILAKU
Terapi perilaku atau terapi tingkah laku adalah suatu metode yang
menerapkan teknik dan prosedur yang berasal dari berbagai teori tentang
belajar. Penerapan prinsip-prinsip belajar secara sistematis pada perubahan
tingkah laku ke arah yang lebih adaptif (Corey, 2013). Terapis perilaku
mempertanyakan peran gagasan dalam dalam membuat perubahan.
Terapis perilaku percaya bahwa gejala adalah masalahnya (Carter dan
Seifert, 2017). Terapi perilaku merupakan suatu pendekatan induktif yang
berlandaskan eksperimen-eksperimen dan menerapkan metode
eksperimental pada proses terapeutik. Pertanyaan terapis dapat berupa
“Tingkah laku spesifik apa yang ingin diubah dan tingkah laku baru yang
bagaimana yang ingin dipelajarinya?”. Hal ini memerlukan suatu
pengamatan yang cermat atas tingkah laku klien. Perlunya
mengidentifikasi kondisi-kondisi yang menjadi penyebab timbulnya
tingkah laku masalah sehingga kondisi-kondisi baru dapat diciptakan
untuk memodifikasi tingkah laku (Corey, 2013)
5
diulangi. Pembelajaran penghargaan dikenal sebagai pengkondisian operan
(pengkondisian instrumental). Awal tahun 1900-an seorang psikolog Ivan
Pavlov mendemonstrasikan pengkondisian klasik. Anjing akan
mengeluarkan air liur ketika dipameri makanan. Karena hal tersebut terjadi
secara alami dan otomatis, maka disebut respons tak terkondisi (Palmer,
2011).
6
tersebut dan menekankan peran pikiran dalam perilaku. Tokoh-tokoh
penting di Inggris yang penting dalam perkembangan dan penerapan terapi
perilaku antara lain Hans Eysenck, Jack Rachman, Isaac Marks, Michael
Gelder. Mereka merupakan bagian dari Asosiasi Psikoterapi Inggris yang
sekarang dikenal sebagai Asosiasi Psikoterapi Kognitif dan Perilaku
Inggris (Palmer, 2011). Hans Jurgen Eysenck dan M.B. Shapiro
menggunakan paradigma pengendalian diri (own-control) (Kaplan et al.,
1994).
7
dengan respons baru. Teknik pengkondisian klasik berusaha melenyapkan
perilaku dengan berbagai cara. Contoh perawatan pengkondisian klasik
untuk kebiasaan mengompol di malam hari dikenal dengan Bell-and-pad
treatment. Bell-and-pad treatment menggunakan sensor kelembapan di
tempat tidur (pad) dan alarm (bell) untuk membangunkan orang. Aversive
conditioning melibatkan pemasangan stimulus yang tidak menyenangkan
dengan perilaku yang tidak diinginkan untuk mengurangi perilaku sasaran.
Contohnya penggunaan cat kuku yang berasa tidak enak pada kebiasaan
menggigit kuku (Carter dan Seifert, 2017).
8
bisa dihapus dari ingatan dan tingkah laku yang lebih efektif dapat diperoleh.
Terapi tingkah laku pada hakikatnya terdiri atas proses penghapusan hasil
belajar yang tidak adaptif dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar
yang di dalamnya terdapat respons-respons yang layak, namun belum
dipelajari (Corey, 2013)
9
Corey, 2013). Wolpe (1969) mencatat tiga penyebab kegagalan dalam
pelaksanaan desensitisasi sistematik yaitu kesulitan dalam relaksasi,
tingkatan-tingkatan yang tidak relevan dan ketidakmemadaian dalam
membayangkan (Corey, 2013).
10
kecemasan (Carter dan Seifert, 2017). Exposure therapy termasuk
desensitisasi sistematik dapat dilakukan secara en vivo, berarti paparan
langsung pada hal yang menyebabkan kecemasan, menggunakan
imajinasi, atau komputer (virtual exposure therapy). Virtual exposure
therapy digunakan untuk mengatasi gangguan stres pascatrauma,
kecemasan berulang, fobia ketinggian, takut terbang, fobia laba-laba dan
klaustrofobia. Penelitian di lapangan menggunakan avatar pasien yang
sedang berjalan di dalam supermarket yang vramai diisi dengan avatar lain
sebagai cara mengatasi agorafobia (Sadock dan Sadock, 2010; Carter dan
Seifert, 2017).
11
Klinisi mendorong pasien menhadapi situasi yang ditakuti secara
langsung tanpa tahapan seperti desentisisasi sistematik atau pemajanan
bertingkat. Tidak ada latihan relasisasi seperti desentisisasi sistematik.
Pasien mengalami rasa takut yang secara bertahap berkurang setelah
beberapa waktu. Banyak pasien menolak flooding karena ketidaknyaman
psikologis yang ditimbulkan. Flooding dikontraindikasikan pada pasien
yang bila mengalami ansietas dapat berbahaya (contohnya pasien penyakit
jantung). Teknik flooding dapat digunakan pada fobia spesifik (Sadock
dan Sadock, 2010). Apabila klien tidak mau berkonfrontasi dengan situasi
yang paling ditakuti baik secara realita maupun imajinasi atau jika ada
alasan kesehatan maka diperlukan paparan bertahap yang dikenal sebagai
paparan berjenjang (Palmer, 2011).
Paparan berjenjang atau bertingkat serupa dengan desentisisasi
sistematik kecuali latihan relasasi. Contohnya pada pasien yang takut
kucing dapat meningkat dari melihat gambar kucing hingga menggendong
kucing (Sadock dan Sadock, 2010). Paparan sering kali sulit dilakukan
karena klien biasanya memilih penghindaran. Karena perilaku terutama
ditentukan oleh konsekuensinya, perilaku tertentu jika membuahkan hasil
yang menyenangkan cederung diperkuat dan diulangi (Palmer, 2011).
Bentuk spesifik penghindaran adalah perilaku ritualistik. Contohnya
klien yang mengalami gangguan obesesif kompulsif akan mencuci tangan
secara kompulsif setelah menyentuh kotoran nyata atau imajinasi. Klien
didorong untuk menahan diri melakukan ritual tersebut. Klien didorong
untuk menemukan hal lainnya yang menyibukkan dirinya sehingga
dorongan melakukan ritual berkurang. Hal tersebut dikenal sebagai
prevensi respons (Palmer, 2011).
3. Latihan asertif
12
menggunakan role model, desentisisasi, dan dorongan positif. Pelatihan
ketrampilan sosial berhubungan dengan keasertifan tetapi juga dilakukan
untuk berbagai tugas kehidupan nyata seperti belanja makanan, mencari
pekerjaan, berinteraksi dengan orang lain dan mengahadapi rasa malu.
Orang yang mengalami hambatan dalam menampilkan diri dan dalam
bergaul bisa menggunakan teknik latihan asertif (Sadock dan Sadock,
2010; Corey, 2013)
5. Pengkondisian operan
13
perilaku diikuti dengan peristiwa yang menyenangkan seperti
makanan, penghindaran nyeri, atau pujian, respons tersebut cenderung
diperkuat dan terjadi lebih sering daripada sebelumnya (Sadock dan
Sadock, 2010). Pemerkuat-pemerkuat primer dan sekunder diberikan
untuk rentang tingkah laku yang luas. Pemerkuat primer memuaskan
kebutuhan fisiologis. Contohnya makanan, tidur. Pemerkuat sekunder
memuaskan kebutuhan psikologis dan sosial, memiliki nilai karena
berasosiasi dengan pemerkuat primer. Contohnya senyuman, pujian,
persetujuan, medali, uang dan hadiah (Corey, 2013).
b. Pembentukan respons
c. Perkuatan intermiten
Disamping membentuk perkuatan-perkuatan dapat juga digunakan
untuk memelihara tingkah laku yang telah dibentuk. Dalam
menerapkan pemberian perkuatan pada pengubahan tingkah laku, pada
tahap awal terapi harus mengganjar setiap munculnya tingkah laku
yang dinginkan. Penerima perkuatan akan belajar, tingkah laku
spesifik apa yang diganjar. Contohnya anak yang diberi pujian setiap
berhasil menyelesaikan soal matematika. Memiliki kecenderungan
yang lebih kuat untuk berputus asa ketika menghadapi kegagalan bila
dibandingkan dengan hanya diberi pujian sekali-kali (Corey, 2013).
d. Penghapusan
14
Apabila suatu respons terus-menerus dibuat tanpa perkuatan, maka
respons tersebut cenderung menghilang. Dengan demikian, karena
pola-pola tingkah laku yang dipelajari cenderung melemah dan
terhapus setelah suatu periode, cara untuk menghapus tingkah laku
yang maladaptif adalah menarik perkuatan dari tingkah laku yang
maladaptif tersebut. Penghapusan dalam kasus tersebut dapat
berlangsung lambat karena tingkah laku yang akan dihapus telah
dipelihara oleh perkuatan intermiten dalam jangka waktu lama. Wolpe
(1969) menekankan penghentian pemberian perkuatan harus serentak
dan penuh. Contohnya, apabila seorang anak menunjukkan kebandelan
di rumah dan di sekolah, maka orang tua dan guru anak tersebut dapat
menghindari pemberian perhatian sebagai cara untuk menghapus
kebandelan anak tersebut.
Pada saat yang sama perkuatan positif dapat diberikan kepada anak
tersebut supaya belajar tingkah laku yang diinginkan. Terapis, guru
dan orang tua menggunakan penghapusan sebagai teknik utama dalam
menghapus tingkah laku yang tidak diinginkan harus mencatat bahwa
tingkah laku yang tidak diinginkan tersebut pada mulanya bisa menjadi
lebih buruk sebelum akhirnya terhapus atau terkurangi. Contohnya,
seorang anak yang telah belajar bahwa dia dengan mengomel biasanya
memperoleh apa yang diinginkan, mungkin akan memperhebat
omelannya ketika permintaanya tidak segera dipenuhi. Perlunya
kesabaran menghadapi periopde peralihan sangat diperlukan (Corey,
2013).
e. Pencontohan
15
orang lain yang mendekati objek atau situasi yang ditakuti tanpa
mengalami akibat yang menakutkan dengan tindakan yang
dilakukannya. Pengendalian diri dapat dipelajari melalui pengamatan
model yang dikenai hukuman. Status dan kehormatan model amat
berarti dan orang-orang umumnya dipengaruhi oleh tingkah laku
model yang menempati status tinggi dan terhormat (Corey, 2013).
f. Token Economy
16
Token economy merupakan salah satu contoh perkuatan yang
ekstrinsik, yang menjadikan orang-orang melakukan sesuatu untuk
meraih “pemikat di ujung tongkat”. Tujuan token economy adalah
mengubah motivasi yang ekstrinsik menjadi motivasi yang intrinsik.
Perolehan tingkah laku yang diinginkan diharapkan akan cukup
mengganjar untuk memelihara tingkah laku yang baru (Corey, 2013).
17
11. Terapi perilaku kognitif efektif menurunkan stres, depresi dan kecemasan
pada pasien multipel sklerosis (Pahlavanzadeh et al., 2017)
12. Kombinasi obat golongan SRI (Serotonin Reuptake Inhibitor) dan terapi
kognitif perilaku modifikasi pada pasien gangguan obsesif kompulsif
menunjukkan perbaikan klinis (Puspitosari, 2016).
13. Terapi perilaku kognitif pada pasien bulinemia nervosa berpengaruh pada
perubahan sistem serotonin (Brambilla et al., 2010)
D. KESIMPULAN
Terapi perilaku yang berasal dari konsep belajar sudah berkembang sejak
berabad-abad lamanya. Terapi perilaku sangat besar manfaatnya dalam
mengatasi masalah-masalah terkait pendidikan dan gangguan kejiwaan.
Penerapan terapi perilaku perlu disesuaikan dengan kondisi masalah dan
persetujuan klien supaya mendapatkan hasil yang optimal. Berbagai
penelitian menunjukkan efektifitas terapi perilaku pada kondisi tertentu
pada beberapa pasien.
18
DAFTAR PUSTAKA
Adina, J. O., Maritim, E. K., Sindabi, A. M., & Disiye, M. A. 2017. Effect of
cognitive behaviour therapy on depressive symptoms among HIV-infected
outpatients in Kenya. International Journal of Psychology and
Psychological Therapy, 17(2), 161-173.
Brambilla, F., Dalle Grave, R., Calugi, S., Marchesini, G., Baroni, S., &
Marazziti, D. 2010. Effects of cognitive-behavioral therapy on Eating
Disorders: neurotransmitter secretory response to treatment.
Psychoneuroendocrinology, 35(5), 729-737
Chen, S. Y., Jordan, C., & Thompson, S. 2006. The effect of cognitive behavioral
therapy (CBT) on depression: The role of problem-solving appraisal.
Research on Social Work Practice, 16(5), 500-510.
Corey, G. 2013. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Cetakan Ketujuh.
Refika Afitama. Bandung.
Hargiana, G., Keliat, B. A., & Mustikasari, M. 2018. The Effects of Cognitive
Behavioral Therapy on Smoking Behavior and Anxiety in Heads of Family
Who Smoke. Jurnal Keperawatan Indonesia, 21(2), 117-126.
Kaplan, H. I., Sadock, B. J., Grebb, J. A. 1994. Kaplan dan Sadock: Sinopsis
Psikiatri. Edisi Ketujuh. Williams & Wilkins. New York.
Mohamadian, F., Bagheri, M., Hashemi, M. S., & Sani, H. K. 2018. The effects of
cognitive behavioral therapy on depression and anxiety among patients with
thalassemia: a randomized controlled trial. Journal of caring sciences, 7(4),
219.
Pahlavanzadeh, S., Abbasi, S., & Alimohammadi, N. 2017. The effect of group
cognitive behavioral therapy on stress, anxiety, and depression of women
with multiple sclerosis. Iranian journal of nursing and midwifery research,
22(4), 271.
19
Puspitosari, W. A. 2016. Terapi Kognitif dan Perilaku pada Gangguan Obsesif
Kompulsif. Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 9(2), 73-
79.
Sadock, B. J. & Sadock, V. A. 2010. Kaplan & Sadock: Buku Ajar Psikiatri
Klinis. Edisi Kedua. EGC. Jakarta.
Santoft, F., Axelsson, E., Öst, L. G., Hedman-Lagerlöf, M., Fust, J., & Hedman-
Lagerlöf, E. 2019. Cognitive behaviour therapy for depression in primary
care: systematic review and meta-analysis. Psychological medicine, 49(8),
1266-1274.
Soetrisno, S., Sulistyowati, S., Respati, S. H., & Nasrudin, M. 2017. Effect of
Cognitive Behavioral Therapy for Serotonin Level, Depression Score and
Quality Of Life in Cervical Cancer Patients. Folia Medica Indonesiana,
52(3), 231-234.
Zadeh, Z. F., & Lateef, M. 2012. Effect of cognitive behavioural therapy (CBT)
on depressed female university students in Karachi. Procedia-Social and
Behavioral Sciences, 69, 798-806.
20