Anda di halaman 1dari 20

TUGAS KULIAH PSIKOTERAPI

TERAPI PERILAKU

TEORI DASAR

OLEH:

Marlinda
NIM : S571902007

PEMBIMBING:

Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr. Sp.KJ (K)

PPDS I PSIKIATRI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET/ RSUD Dr.MOEWARDI

SURAKARTA

2021

1
HALAMAN PERSETUJUAN

Naskah untuk presentasi tugas kuliah psikoterapi : terapi perilaku (teori dasar)
telah disetujui untuk dipresentasikan

pada tanggal ................ 2021, jam .......... WIB

Pembimbing Tandatangan

Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr., Sp.KJ (K) .............................................

2
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi : Kuliah psikoterapi

Nama : Marlinda

Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Psikiatri

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret - RSUD Dr. Moewardi

Surakarta

Telah disetujui dan disahkan pada

Tanggal___________Bulan______________2021

Oleh Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran UNS/RSUD Dr. MOEWARDI

Surakarta

Pembimbing

Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr., Sp.KJ (K)

3
TEORI DASAR: TERAPI PERILAKU

A. PENDAHULUAN

Terapi perilaku sudah berabad-abad lamanya digunakan untuk mengatasi


beberapa gangguan kejiwaan terkait masalah fisik dan psikis serta memberikan
manfaat pada bidang pendidikan. Terapi ini menyertakan penerapan sistematis
prinsip-prinsip belajar pada pengubahan tingkah laku ke arah cara-cara yang
lebih adaptif. Perubahan-perubahan tersebut dipilih terapis bersama dengan
kliennya. Terapis bersikap direktif, memberi klien petunjuk yang jelas tentang
yang harus dilakukan supaya dapat menghasilkan perubahan. Petunjuk tersebut
dipandu oleh kajian terapis secara detail. Kajian tersebut mempertimbangkan
tiga bidang utama yaitu faktor-faktor yang segera mengawali masalah, perilaku
bermasalah dan konsekuensi perilaku bagi klien (Corey, 2013).

Modifikasi terapi perilaku berdasarkan teori belajar dengan menggunakan


pendekatan konseling dan psikoterapi untuk pengubahan perilaku. Terdapat
dua konsep terapi perilaku yaitu pengkondisian klasik dan pengkondisian
operan (Corey, 2013). Terapi perilaku meliputi dua pendekatan. Pendekatan
pertama fokus diberikan penuh pada perilaku, pikiran kognisi diabaikan namun
dianggap perifer dalam praktek terapeutik. Pendekatan kedua, pikiran dianggap
sebagai pusat dan mediasi dalam perilaku sehingga dipertimbangkan
sepenuhnya dalam perubahan perilaku (Palmer, 2011).

Tipe-tipe masalah yang dapat ditangani dengan terapi perilaku antara lain
fobia, gangguan obsesif kompulsif, masalah seksual (ejakulasi dini dan
vaginismus), gangguan kebiasaan (gagap dan ngompol), dan problem
ketrampilan sosial (Palmer, 2011). Pelatihan ketrampilan sosial untuk
memperbaiki interaksi dengan orang lain digunakan untuk mengatasi masalah
kecemasan sosial dan autisme (Carter dan Seifert, 2017).

4
B. TUJUAN
1. Untuk mengetahui definisi terapi perilaku
2. Untuk mengetahui perkembangan terapi perilaku
3. Untuk mengetahui teori dan konsep dasar teori perilaku
4. Untuk mengetahui tujuan terapi perilaku
5. Untuk mengetahui ciri-ciri terapi perilaku
6. Untuk mengetahui teknik-teknik terapi perilaku
7. Untuk mengetahui studi terkait terapi perilaku

C. PEMBAHASAN
1. DEFINISI TERAPI PERILAKU

Terapi perilaku atau terapi tingkah laku adalah suatu metode yang
menerapkan teknik dan prosedur yang berasal dari berbagai teori tentang
belajar. Penerapan prinsip-prinsip belajar secara sistematis pada perubahan
tingkah laku ke arah yang lebih adaptif (Corey, 2013). Terapis perilaku
mempertanyakan peran gagasan dalam dalam membuat perubahan.
Terapis perilaku percaya bahwa gejala adalah masalahnya (Carter dan
Seifert, 2017). Terapi perilaku merupakan suatu pendekatan induktif yang
berlandaskan eksperimen-eksperimen dan menerapkan metode
eksperimental pada proses terapeutik. Pertanyaan terapis dapat berupa
“Tingkah laku spesifik apa yang ingin diubah dan tingkah laku baru yang
bagaimana yang ingin dipelajarinya?”. Hal ini memerlukan suatu
pengamatan yang cermat atas tingkah laku klien. Perlunya
mengidentifikasi kondisi-kondisi yang menjadi penyebab timbulnya
tingkah laku masalah sehingga kondisi-kondisi baru dapat diciptakan
untuk memodifikasi tingkah laku (Corey, 2013)

2. PERKEMBANGAN TERAPI PERILAKU

Sebelum tahun 1900, Edward Thomdike, menemukan bahwa perilaku


ditentukan oleh konsekuensi-konsekuensinya. Apabila perilaku dihargai
sebagai hal yang disukai, perilaku tersebut cenderung diperkuat dan

5
diulangi. Pembelajaran penghargaan dikenal sebagai pengkondisian operan
(pengkondisian instrumental). Awal tahun 1900-an seorang psikolog Ivan
Pavlov mendemonstrasikan pengkondisian klasik. Anjing akan
mengeluarkan air liur ketika dipameri makanan. Karena hal tersebut terjadi
secara alami dan otomatis, maka disebut respons tak terkondisi (Palmer,
2011).

Pemicu terjadinya respons tak terkondisi disebut stimulus tak


terkondisi. Apabila memamerkan makanan dengan pembunyian lonceng
pada saat yang sama, anjing akan mengeluarkan air liur ketika hanya
mendengar bunyi lonceng. Bunyi lonceng disebut stimulus terkondisi.
Respons baru pengeluaran air liur ketika mendengar bunyi lonceng disebut
respons terkondisi. Apabila respons terkondisi terlalu banyak tanpa
stimulus tak terkondisi maka respons terkondisi akan gagal ketika lonceng
dibunyikan yang dikenal dengan ekstinsi (Palmer, 2011).

Bapak behaviorism, John Watson dkk tahun 1920 berpendapat bahwa


fobia terjadi karena proses tersebut di atas. Respons emosi terkondisi
(ketakutan) dipasangkan dengan stimulus yang sebelumnya netral (laba-
laba). Joseph Wolpe (1958) menyarankan penggunaan desentisitasi
sistematik yaitu pelatihan relaksasi dipasangkan dengan stimulus
terkondisi. Konfrontasi terhadap stimulus yang ditakuti (laba-laba) dikenal
dengan perlakuan paparan (Palmer, 2011).

Perkembangan terapi perilaku mulai pada akhir tahun 1950-an. Terapi


perilaku pertama kali dikembangkan secara konsisten oleh Burrhus F.
Skinner. Skinner menyarankan bahwa semua perilaku yang berguna atau
tidak berguna, dihasilkan oleh pengkondisian operan dan perubahan
perilaku hanya membutuhkan pengkondisian operan yang tepat (Palmer,
2011). Murid Skinner mulai menerapkan teknologi pembiasaan pelaku
(operant-conditioning) pada laboratorioum pembiasaan hewan dan pada
manusia dalam lingkungan klinis (Kaplan et al., 1994).

Awal tahun 1960-an penelitian mengenai terapi perilaku sudah mulai


diterbitkan (Corey, 2013). Arnold Lazarus mempopulerkan terapi

6
tersebut dan menekankan peran pikiran dalam perilaku. Tokoh-tokoh
penting di Inggris yang penting dalam perkembangan dan penerapan terapi
perilaku antara lain Hans Eysenck, Jack Rachman, Isaac Marks, Michael
Gelder. Mereka merupakan bagian dari Asosiasi Psikoterapi Inggris yang
sekarang dikenal sebagai Asosiasi Psikoterapi Kognitif dan Perilaku
Inggris (Palmer, 2011). Hans Jurgen Eysenck dan M.B. Shapiro
menggunakan paradigma pengendalian diri (own-control) (Kaplan et al.,
1994).

3. TEORI DAN KONSEP DASAR

Terapis sekarang mengakui bahwa pikiran, perasaan dan perilaku


berjalan berdampingan. Perubahan pada satu aspek biasanya akan memicu
perubahan kedua aspek lainnya (Palmer, 2011). Terapi perilaku lebih
sering digunakan sebagai cara mengubah asosiasi, menghambat perilaku
maladaptif, atau mendorong perilaku yang lebih adaptif (Carter dan
Seifert, 2017).

Terapis perilaku mempertanyakan peran gagasan dalam dalam


membuat perubahan. Terapis perilaku percaya bahwa gejala adalah
masalahnya. Terapi perilaku berpandangan bahwa semua perilaku baik
berguna ataupun tidak berguna, normal atau tidak normal, dipelajari
melalui pengkondisian operan atau klasik. Gejala-gejalanya dilihat sebagai
perilaku yang tidak diinginkan. Begitu gangguan psikologis dialami,
gangguan tersebut berlangsung terus baik melalui kegagalan untuk
mempelajari perilaku baru atau dengan penghindaran objek yang ditakuti
yang menghasilkan respons terkondisi yang gagal untuk dihilangkan
(Palmer, 2011).

Teknik pengkondisian klasik berfokus pada respons fisiologi dasar


terhadap berbagai pengalaman (stimulus). Pengkondisian klasik
merupakan jenis pembelajaran asosiatif saat dua hal dipasangkan bersama.
Terkadang asosiasi terjadi maladaptif atau insidental yang menyebabkan
perilaku bermasalah. Counter-conditioning merupakan teknik untuk
memisahkan asosiasi tersebut sehingga respons terhadap stimulus diganti

7
dengan respons baru. Teknik pengkondisian klasik berusaha melenyapkan
perilaku dengan berbagai cara. Contoh perawatan pengkondisian klasik
untuk kebiasaan mengompol di malam hari dikenal dengan Bell-and-pad
treatment. Bell-and-pad treatment menggunakan sensor kelembapan di
tempat tidur (pad) dan alarm (bell) untuk membangunkan orang. Aversive
conditioning melibatkan pemasangan stimulus yang tidak menyenangkan
dengan perilaku yang tidak diinginkan untuk mengurangi perilaku sasaran.
Contohnya penggunaan cat kuku yang berasa tidak enak pada kebiasaan
menggigit kuku (Carter dan Seifert, 2017).

4. CIRI-CIRI TERAPI PERILAKU

Ciri-ciri terapi perilaku sebagai berikut:

a. Pemusatan perhatian pada tingkah laku yang tampak dan spesifik


b. Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan pengobatan
c. Perumusan prosedur treatment yang spesifik dan sesuai dengan masalah
d. Penaksiran objektif atas hasil-hasil terapi (Corey, 2013)

Kriteria pemilihan terapi perlaku yaitu perilaku maladaptif spesifik,


tergambar jelas, terbatas, dan mudah dikenali (contohnya fobia, makan
berlebihan dan disfungsi seksual). Gangguan psikopatologi dimana
manisfestasi gejala dipengaruhi oleh stres (contohnya asma, nyeri dan
hipertensi) (Kaplan et al., 1994). Lama terapi perilaku biasanya dibatasi
oleh waktu, spesifik untuk perilkau tertentu.

.5. TUJUAN TERAPI PERILAKU

Terapi perilaku bertujuan untuk mengubah perilaku manusia yang dapat


diamati dan dapat diukur, memodifikasi pola perilaku maladaptif yang telah
dipelajari yang menyebabkan gejala patologis, menciptakan kondisi-kondisi
baru bagi proses belajar dan mengisolasi tingkah laku masalah dan kemudian
menciptakan cara-cara untuk mengubahnya (Kaplan et al., 1994; Corey,
2013).

Alasannya adalah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari,


termasuk tingkah laku maladaptif. Jika tingkah laku neurotik dipelajari maka

8
bisa dihapus dari ingatan dan tingkah laku yang lebih efektif dapat diperoleh.
Terapi tingkah laku pada hakikatnya terdiri atas proses penghapusan hasil
belajar yang tidak adaptif dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar
yang di dalamnya terdapat respons-respons yang layak, namun belum
dipelajari (Corey, 2013)

Pada dasarnya terapi tingkah laku diarahkan pada tujuan memperoleh


tingkah laku baru, penghapusan tingkah laku maladaptif, serta memperkuat
dan mempertahankan tingkah laku yang diinginkan. Pernyataan yang tepat
tentang tujuan-tujuan treatment dispesifikasikan, sedangkan pernyataan yang
bersifat umum tentang tujuan ditolak. Klien diminta untuk menyatakan
dengan cara-cara yang kongkret jenis-jenis tingkah laku masalah yang ingin
diubahnya. Setelah mengembangkan pernyataan yang tepat tentang tujuan-
tujuan treatment, terapis harus memilih prosedur-prosedur yang paling sesuai
untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut (Corey, 2013)

6. TEKNIK-TEKNIK TERAPI PERILAKU


1. Desensitisasi sistematik

Desensitisasi sistematik adalah suatu teknik yang paling banyak


digunakan dalam terapi perilaku. Desensitisasi sistematik digunakan untuk
menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan
pemunculan tingkah laku atau respons yang berlawanan dengan tingkah
laku yang hendak dihapuskan tersebut. Desensitisasi bertujuan untuk
mengarahkan klien untuk menampilkan respons yang tidak konsisten
dengan kecemasan (Sadock dan Sadock, 2010; Corey, 2013).

Pengembang teknik desensitisasi, Wolpe (1958, 1969) berdasarkan


pada prinsip perilaku counterconditioning. Seseorang menghadapi ansietas
maladaptif yang dicetuskan oleh situasi yang mendekati situasi yang
ditakuti secara bertahap dan di dalam keadaan psikopatologis yang
menghambat ansietas. Wolpe (1958, 1969) berpendapat bahwa tingkah
laku neurotik merupakan ungkapan dari kecemasan dan bahwa respons
kecemasan dapat dihapus oleh penemuan respons-respons yang secara
inheren berlawanan dengan respons tersebut (Sadock dan Sadock, 2010;

9
Corey, 2013). Wolpe (1969) mencatat tiga penyebab kegagalan dalam
pelaksanaan desensitisasi sistematik yaitu kesulitan dalam relaksasi,
tingkatan-tingkatan yang tidak relevan dan ketidakmemadaian dalam
membayangkan (Corey, 2013).

Desentisisasi sistematik bekerja paling baik jika terdapat stimulus


pencetus ansietas yang dengan jelas dapat diidentifikasi (Sadock dan
Sadock, 2010). Desensitisasi sistematik mempunyai tiga komponen yaitu
membuat hirarki ketakutan, latihan relaksasi progresif dan menghadapkan
klien pada hirarki ketakutan dan relaksasi secara bergantian sampai
respons ketakutan menghilang sehingga ketakutan tidak terjadi lagi. Suatu
proses inhibisi resiprokal adalah keadaan relaksasi yang menghambat
reaksi negatif ansietas (Sadock dan Sadock, 2010; Corey, 2013).

Metode relaksasi yang telah dikembangkan berabad-abad yang lalu


ialah yoga dan Zen. Psikiater Edmund Jacobson mengembangkan teknik
relaksasi progresif. Pasien merelaksasi kelompok otot utama dalam
rangkaian tetap, dimulai dari kelompok otot kecil kaki terus ke arah kepala
atau sebaliknya. Beberapa klinisi dapat juga menggunakan hipnosis.
Mental imagery merupakan metode relaksasi dengan menginstruksikan
pasien untuk membayangkan dirinya di suatu tempat yang terkait dengan
kenangan yang menyenangkan dan membuat santai. Bayangan tersebut
memungkinkan pasien memasuki keadaan atau pengalaman relasasi yang
dikenal sebagai respons relasasi (Sadock dan Sadock, 2010).

Perubahan fisiologis yang berlangsung saat relaksasi adalah kebalikan


dari perubahan yang dicetuskan oleh respons stres adrenergik yang
merupakan bagian dari banyak emosi. Ketika membangun hirarki, klinisi
menentukan semua keadaan yang mencetuskan ansietas. Kemudian pasien
menciptakan daftar hirarki 10 hingga 12 situasi dalam urutan
meningkatnya ansietas. Desentisisasi progresif digunakan pada fobia,
obsesi, kompulsi dan gangguan seksual (Sadock dan Sadock, 2010).

Exposure therapy diperkenalkan oleh Mary Cover Jones melibatkan


penampilan berulang objek yang mengganggu untuk mengurangi

10
kecemasan (Carter dan Seifert, 2017). Exposure therapy termasuk
desensitisasi sistematik dapat dilakukan secara en vivo, berarti paparan
langsung pada hal yang menyebabkan kecemasan, menggunakan
imajinasi, atau komputer (virtual exposure therapy). Virtual exposure
therapy digunakan untuk mengatasi gangguan stres pascatrauma,
kecemasan berulang, fobia ketinggian, takut terbang, fobia laba-laba dan
klaustrofobia. Penelitian di lapangan menggunakan avatar pasien yang
sedang berjalan di dalam supermarket yang vramai diisi dengan avatar lain
sebagai cara mengatasi agorafobia (Sadock dan Sadock, 2010; Carter dan
Seifert, 2017).

2. Terapi implosif dan pembanjiran (flooding)


Prinsip terapi paparan selalu sama. Paparan yang terus menerus pada
objek yang ditakuti, awalnya kecemasan akan muncul, namun akhirnya
memudar pada level yang bisa ditoleransi. Hal tersebut memerlukan
praktik yang konsisten dan terus menerus. Paparan yang lebih lama
membuahkan hasil yang lebih cepat dan lebih baik. Terapi implosif dan
pembanjiran termasuk terapi paparan. Pembanjiran merupakan bentuik
paparan yang paling cepat. Seseorang dipapar pada situasi yang paling
ditakuti untuk periode yang sama, tetap dalam situasi tersebut sampai
ketakutannya mereda (Palmer, 2011). Teknik implosi merupakan teknik
pembanjiran yang menggunakan imajinasi (imajinal flooding) (Sadock dan
Sadock, 2010; Palmer, 2011).

Stampfl (1975) mengembangkan terapi implosif yang mengasumsikan


bahwa tingkah laku neurotik melibatkan penghindaran terkondisi atas
stimulus-stimulus kecemasan. Terapi implosif berbeda dengan
desentisisasi sistematik dalam usaha terapis untuk menghadirkan luapan
emosi yang masif. Alasan terapi implosif adalah bahwa jika seseorang
secara berulang-ulang dihadapkan pada suatu situasi penghasil kecemasan
dan konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan tidak muncul maka
kecemasan akan tereduksi. Studi terapi implosif efektif dalam menangani
pasien neurotik, psikotik dan fobia. (Corey, 2013).

11
Klinisi mendorong pasien menhadapi situasi yang ditakuti secara
langsung tanpa tahapan seperti desentisisasi sistematik atau pemajanan
bertingkat. Tidak ada latihan relasisasi seperti desentisisasi sistematik.
Pasien mengalami rasa takut yang secara bertahap berkurang setelah
beberapa waktu. Banyak pasien menolak flooding karena ketidaknyaman
psikologis yang ditimbulkan. Flooding dikontraindikasikan pada pasien
yang bila mengalami ansietas dapat berbahaya (contohnya pasien penyakit
jantung). Teknik flooding dapat digunakan pada fobia spesifik (Sadock
dan Sadock, 2010). Apabila klien tidak mau berkonfrontasi dengan situasi
yang paling ditakuti baik secara realita maupun imajinasi atau jika ada
alasan kesehatan maka diperlukan paparan bertahap yang dikenal sebagai
paparan berjenjang (Palmer, 2011).
Paparan berjenjang atau bertingkat serupa dengan desentisisasi
sistematik kecuali latihan relasasi. Contohnya pada pasien yang takut
kucing dapat meningkat dari melihat gambar kucing hingga menggendong
kucing (Sadock dan Sadock, 2010). Paparan sering kali sulit dilakukan
karena klien biasanya memilih penghindaran. Karena perilaku terutama
ditentukan oleh konsekuensinya, perilaku tertentu jika membuahkan hasil
yang menyenangkan cederung diperkuat dan diulangi (Palmer, 2011).
Bentuk spesifik penghindaran adalah perilaku ritualistik. Contohnya
klien yang mengalami gangguan obesesif kompulsif akan mencuci tangan
secara kompulsif setelah menyentuh kotoran nyata atau imajinasi. Klien
didorong untuk menahan diri melakukan ritual tersebut. Klien didorong
untuk menemukan hal lainnya yang menyibukkan dirinya sehingga
dorongan melakukan ritual berkurang. Hal tersebut dikenal sebagai
prevensi respons (Palmer, 2011).
3. Latihan asertif

Untuk menjadi asertif seseorang perlu mempunyai kepercayaan diri di


dalam penilaiannya dan harga diri yang cukup untuk mengekspresikan
pendapatnya (Sadock dan Sadock, 2010). Pelatihan ketrampilan asertif
termasuk perilaku verbal dan non verbal. Contohnya kontak mata, sikap
dan ekspresi wajah (Palmer, 2011). Untuk meningkatkan keasertifan dapat

12
menggunakan role model, desentisisasi, dan dorongan positif. Pelatihan
ketrampilan sosial berhubungan dengan keasertifan tetapi juga dilakukan
untuk berbagai tugas kehidupan nyata seperti belanja makanan, mencari
pekerjaan, berinteraksi dengan orang lain dan mengahadapi rasa malu.
Orang yang mengalami hambatan dalam menampilkan diri dan dalam
bergaul bisa menggunakan teknik latihan asertif (Sadock dan Sadock,
2010; Corey, 2013)

4. Terapi aversi (terapi keengganan)

Ketika stimulus berbahaya (hukuman) muncul segera setelah respons


tertentu, secara teoritis, respons ini akhirnya dihambat dan diakhiri.
Banyak stimulus berbahaya yang digunakan yaitu kejutan listrik, zat yang
mencetuskan muntah, hukuman fisik dan ketidaksetujuan sosial. Stimulus
negatif dipasangkan dnegan perilaku kemudian disupresi. Perilaku yang
tidak diinginkan dapat menghilang setelah rangkaian tersebut. Teknik
aversi berguna untuk mengembangkan kendali dorongan. Contoh terapi
aversi pada penyalahgunaan alkohol, parafilia, dan perilaku obsesif
kompulsif lainnya (Corey, 2013).

5. Pengkondisian operan

Teknik pengkondisian operan untuk meningkatkan kemunculan


perilaku tertentu dan mengurangi perilaku yang lainnya. Termasuk
pengkondisian operan yaitu positive reinforcement, nonreinforcement dan
punishment (Carter dan Seifert, 2017). Menurut Skinner (1971) jika suatu
tingkah laku diganjar, maka probabilitas kemunculan kembali tingkah laku
tersebut di masa mendatang akan tinggi. Metode pengondisian operan
antara lain perkuatan positif, pembentukan respons, perkuatan intermitten,
penghapusan, pencontohan dan token economy (Corey, 2013).

a. Perkuatan positif (pendorong positif)

Positive reinforcement adalah konsekuensi yang memberikan


kesenangan untuk perilaku yang adaptif dan membuat perilaku lebih
mungkin muncul lagi (Carter dan Seifert, 2017). Ketika respons

13
perilaku diikuti dengan peristiwa yang menyenangkan seperti
makanan, penghindaran nyeri, atau pujian, respons tersebut cenderung
diperkuat dan terjadi lebih sering daripada sebelumnya (Sadock dan
Sadock, 2010). Pemerkuat-pemerkuat primer dan sekunder diberikan
untuk rentang tingkah laku yang luas. Pemerkuat primer memuaskan
kebutuhan fisiologis. Contohnya makanan, tidur. Pemerkuat sekunder
memuaskan kebutuhan psikologis dan sosial, memiliki nilai karena
berasosiasi dengan pemerkuat primer. Contohnya senyuman, pujian,
persetujuan, medali, uang dan hadiah (Corey, 2013).

b. Pembentukan respons

Dalam teknik pembentukan respons, tingkah laku sekarang secara


bertahap diubah dengan memperkuat unsur-unsur kecil dari tingkah
laku baru yang diinginkan secara berturut-turut sampai mendekati
tingkah laku akhir. Pembentukan respons berwujud pengembangan
suatu respons yang pada mulanya tidak terdapat dalam
perbendaharaan tingkah laku individu. Perkuatan seing digunakan
dalam proses pembentukan respons. Contohnya apabila guru ingin
membentuk tingkah laku kooperatif sebagai ganti tingkah laku
kooperatif, guru bisa memberikan perhatian dan persetujuan kepada
tingkah laku yang diinginkannya tersebut (Corey, 2013).

c. Perkuatan intermiten
Disamping membentuk perkuatan-perkuatan dapat juga digunakan
untuk memelihara tingkah laku yang telah dibentuk. Dalam
menerapkan pemberian perkuatan pada pengubahan tingkah laku, pada
tahap awal terapi harus mengganjar setiap munculnya tingkah laku
yang dinginkan. Penerima perkuatan akan belajar, tingkah laku
spesifik apa yang diganjar. Contohnya anak yang diberi pujian setiap
berhasil menyelesaikan soal matematika. Memiliki kecenderungan
yang lebih kuat untuk berputus asa ketika menghadapi kegagalan bila
dibandingkan dengan hanya diberi pujian sekali-kali (Corey, 2013).
d. Penghapusan

14
Apabila suatu respons terus-menerus dibuat tanpa perkuatan, maka
respons tersebut cenderung menghilang. Dengan demikian, karena
pola-pola tingkah laku yang dipelajari cenderung melemah dan
terhapus setelah suatu periode, cara untuk menghapus tingkah laku
yang maladaptif adalah menarik perkuatan dari tingkah laku yang
maladaptif tersebut. Penghapusan dalam kasus tersebut dapat
berlangsung lambat karena tingkah laku yang akan dihapus telah
dipelihara oleh perkuatan intermiten dalam jangka waktu lama. Wolpe
(1969) menekankan penghentian pemberian perkuatan harus serentak
dan penuh. Contohnya, apabila seorang anak menunjukkan kebandelan
di rumah dan di sekolah, maka orang tua dan guru anak tersebut dapat
menghindari pemberian perhatian sebagai cara untuk menghapus
kebandelan anak tersebut.
Pada saat yang sama perkuatan positif dapat diberikan kepada anak
tersebut supaya belajar tingkah laku yang diinginkan. Terapis, guru
dan orang tua menggunakan penghapusan sebagai teknik utama dalam
menghapus tingkah laku yang tidak diinginkan harus mencatat bahwa
tingkah laku yang tidak diinginkan tersebut pada mulanya bisa menjadi
lebih buruk sebelum akhirnya terhapus atau terkurangi. Contohnya,
seorang anak yang telah belajar bahwa dia dengan mengomel biasanya
memperoleh apa yang diinginkan, mungkin akan memperhebat
omelannya ketika permintaanya tidak segera dipenuhi. Perlunya
kesabaran menghadapi periopde peralihan sangat diperlukan (Corey,
2013).
e. Pencontohan

Teknik pencontohan melalui pengamatan model yang selanjutnya


diperkuat untuk mencontoh tingkah laku sang model. Menurut
Bandura (1969) belajar dapat diperoleh melalui pengamatan langsung
dan tidak langsung dengan mengamati tingkah laku orang lain berikut
konsekuensinya. Kecakapan sosial tertentu dapat diperoleh dengan
mengamati dan mencontoh tingkah laku model yang ada. Reaksi
emosional yang terganggu dapat dihapus dengan cara mengamati

15
orang lain yang mendekati objek atau situasi yang ditakuti tanpa
mengalami akibat yang menakutkan dengan tindakan yang
dilakukannya. Pengendalian diri dapat dipelajari melalui pengamatan
model yang dikenai hukuman. Status dan kehormatan model amat
berarti dan orang-orang umumnya dipengaruhi oleh tingkah laku
model yang menempati status tinggi dan terhormat (Corey, 2013).

f. Token Economy

Prinsip penguatan positif dengan metode token economy. Metode


token economy dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku
apabila persetujuan dan pemerkuat-pemerkuat yang tidak bisa diraba
lainnya tidak memberikan pengaruh. Tingkah laku yang layak dapat
diperkuat dengan perkuatan-perkuatan yang bisa diraba (tanda-tanda
seperti kepingan logam) yang nantinya bisa ditukar dengan objek-
objek atau hak istimewa yang diinginkan. Metode token economy
sangat mirip dengan yang dijumpai dalam kehidupan nyata. Contohnya
para pekerja yang dibayar untuk hasil pekerjaan mereka (Corey, 2013).
Pemberian voucher pada pasien gangguan jiwa di bangsal rawat inap
karena telah melakukan perilaku yang diinginkan (Sadock dan Sadock,
2010).

Keuntungan penggunaan tanda-tanda sebagai pemerkuat tingkah


laku yang layak antara lain:

a. Tanda-tanda tidak kehilangan nilai insentifnya.


b. Tanda-tanda dapat mengurangi penundaan yang ada diantara
tingkah laku yang layak dengan ganjarannya.
c. Tanda-tanda bisa digunakan sebagai pengukur yang kongkret bagi
motivasi individu untuk mengubah tingkah laku tertentu.
d. Tanda-tanda adalah bentuk perkuatan yang positif
e. Individu memiliki kesempatan untuk memutuskan bagaimana
menggunakan tanda-tanda yang diperolehnya.
f. Tanda-tanda cenderung menjembatani kesenjangan yang sering
muncul diantara lembaga dan kehidupan sehari-hari (Corey, 2013)

16
Token economy merupakan salah satu contoh perkuatan yang
ekstrinsik, yang menjadikan orang-orang melakukan sesuatu untuk
meraih “pemikat di ujung tongkat”. Tujuan token economy adalah
mengubah motivasi yang ekstrinsik menjadi motivasi yang intrinsik.
Perolehan tingkah laku yang diinginkan diharapkan akan cukup
mengganjar untuk memelihara tingkah laku yang baru (Corey, 2013).

7. PENELITIAN TERKAIT TERAPI PERILAKU


Penelitian terkait terapi perilaku antara lain:
1. Terapi perilaku kognitif efektif mengurangi kecemasan berbicara di depan
umum pada siswa (Purnamaningsih dan Utami, 1998).
2. Terapi perilaku kognitif dapat mengurangi efektif mengurangi perilaku
merokok dan kecemasan pada kepala keluarga (Hargiana et al., 2018).
3. Terapi perilkau kognitif efektif mencegah depresi dan kecemasan pada
pasien thalasemia (Mohamadian et al., 2018)
4. Terapi perilaku kognitif melalui penilaian pemecahan masalah efektif
mengurangi gejala depresi pada pasien depresi yang menjalani pengobatan
rawat jalan (Chen et al., 2006)
5. Terapi perilaku kognitif efektif menurunkan skor depresi, meningkatan
kadar serotonin dan perbaikan kualitas hidup pada pasien kanker leher
rahim stadium lanjut (Soetrisno et al., 2017)
6. Terapi perilaku kognitif sekitar dua jam per minggu selama dua bulan
efektif menurunkan skor depresi pada pasien yang terinfeksi HIV di Kenya
(Adina et al., 2017)
7. Terapi perilaku kognitif 12 sesi selama 12 minggu efektif menurunkan
skor depresi pada siswa perempuan di Pakistan (Zadeh & Lateef, 2012).
8. Terapi perilaku kognitif efektif menurunkan depresi ringan dan sedang
pada pasien yang berobat di pelayanan kesehatan tingkat pertama (Santoft
et al., 2019)
9. Susanti (2017) menyarankan penggunakan terapi perilaku kognitif pada
klien penyalahgunaan obat di pusat rehabilitasi.
10. Terapi perilaku kognitif dengan Metode Applied Behavior Analysis efektif
meningkatkan kemandirian pada anak autis (Syamsudin & Atmojo, 2014).

17
11. Terapi perilaku kognitif efektif menurunkan stres, depresi dan kecemasan
pada pasien multipel sklerosis (Pahlavanzadeh et al., 2017)
12. Kombinasi obat golongan SRI (Serotonin Reuptake Inhibitor) dan terapi
kognitif perilaku modifikasi pada pasien gangguan obsesif kompulsif
menunjukkan perbaikan klinis (Puspitosari, 2016).
13. Terapi perilaku kognitif pada pasien bulinemia nervosa berpengaruh pada
perubahan sistem serotonin (Brambilla et al., 2010)

D. KESIMPULAN
Terapi perilaku yang berasal dari konsep belajar sudah berkembang sejak
berabad-abad lamanya. Terapi perilaku sangat besar manfaatnya dalam
mengatasi masalah-masalah terkait pendidikan dan gangguan kejiwaan.
Penerapan terapi perilaku perlu disesuaikan dengan kondisi masalah dan
persetujuan klien supaya mendapatkan hasil yang optimal. Berbagai
penelitian menunjukkan efektifitas terapi perilaku pada kondisi tertentu
pada beberapa pasien.

18
DAFTAR PUSTAKA

Adina, J. O., Maritim, E. K., Sindabi, A. M., & Disiye, M. A. 2017. Effect of
cognitive behaviour therapy on depressive symptoms among HIV-infected
outpatients in Kenya. International Journal of Psychology and
Psychological Therapy, 17(2), 161-173.

Brambilla, F., Dalle Grave, R., Calugi, S., Marchesini, G., Baroni, S., &
Marazziti, D. 2010. Effects of cognitive-behavioral therapy on Eating
Disorders: neurotransmitter secretory response to treatment.
Psychoneuroendocrinology, 35(5), 729-737

Carter, K. & Seifert, C. M. 2017. Psikologi Umum. EGC. Jakarta.

Chen, S. Y., Jordan, C., & Thompson, S. 2006. The effect of cognitive behavioral
therapy (CBT) on depression: The role of problem-solving appraisal.
Research on Social Work Practice, 16(5), 500-510.

Corey, G. 2013. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Cetakan Ketujuh.
Refika Afitama. Bandung.

Hargiana, G., Keliat, B. A., & Mustikasari, M. 2018. The Effects of Cognitive
Behavioral Therapy on Smoking Behavior and Anxiety in Heads of Family
Who Smoke. Jurnal Keperawatan Indonesia, 21(2), 117-126.

Kaplan, H. I., Sadock, B. J., Grebb, J. A. 1994. Kaplan dan Sadock: Sinopsis
Psikiatri. Edisi Ketujuh. Williams & Wilkins. New York.

Mohamadian, F., Bagheri, M., Hashemi, M. S., & Sani, H. K. 2018. The effects of
cognitive behavioral therapy on depression and anxiety among patients with
thalassemia: a randomized controlled trial. Journal of caring sciences, 7(4),
219.

Pahlavanzadeh, S., Abbasi, S., & Alimohammadi, N. 2017. The effect of group
cognitive behavioral therapy on stress, anxiety, and depression of women
with multiple sclerosis. Iranian journal of nursing and midwifery research,
22(4), 271.

Palmer, S. 2011. Konseling dan Psikoterapi. Cetakan Pertama. Pustaka Belajar.


Yogyakarta.

Purnamaningsih, E. H., & Utami, M. S. Efektivitas Terapi Perilaku Kognitif


Untuk Mengurangi Kecemasan Berbicara Di Muka Umum. Jurnal
Psikologi, 25(1), 65-76.

19
Puspitosari, W. A. 2016. Terapi Kognitif dan Perilaku pada Gangguan Obsesif
Kompulsif. Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 9(2), 73-
79.

Sadock, B. J. & Sadock, V. A. 2010. Kaplan & Sadock: Buku Ajar Psikiatri
Klinis. Edisi Kedua. EGC. Jakarta.

Santoft, F., Axelsson, E., Öst, L. G., Hedman-Lagerlöf, M., Fust, J., & Hedman-
Lagerlöf, E. 2019. Cognitive behaviour therapy for depression in primary
care: systematic review and meta-analysis. Psychological medicine, 49(8),
1266-1274.

Susanti, H. 2017. The Changes of Behaviors and Cognitive Functions by


Cognitive Behavioural Therapy in the Drug Abusers. Jurnal Ners, 5(2),
171-180.

Soetrisno, S., Sulistyowati, S., Respati, S. H., & Nasrudin, M. 2017. Effect of
Cognitive Behavioral Therapy for Serotonin Level, Depression Score and
Quality Of Life in Cervical Cancer Patients. Folia Medica Indonesiana,
52(3), 231-234.

Syamsudin, M. M., & Atmojo, I. R. W. 2014. Efek Terapi Perilaku dengan


Metode Applied Behavior Analysis Terhadap Kemandirian Anak Autis.

Zadeh, Z. F., & Lateef, M. 2012. Effect of cognitive behavioural therapy (CBT)
on depressed female university students in Karachi. Procedia-Social and
Behavioral Sciences, 69, 798-806.

20

Anda mungkin juga menyukai