Anda di halaman 1dari 37

TUGAS KULIAH PSIKOTERAPI

TEKNIK DAN PROSEDUR TERAPI PERILAKU

OLEH:
Indah Puji Handayani
NIM : S571908006

PEMBIMBING:
Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr., Sp.KJ (K)

PPDS I PSIKIATRI FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET/ RSUD Dr.MOEWARDI
SURAKARTA
2021

1
HALAMAN PERSETUJUAN

Naskah untuk presentasi tugas kuliah psikoterapi : Terapi perilaku (teori dasar)
telah disetujui untuk dipresentasikan
pada tanggal ................ 2021, jam .......... WIB

Pembimbing Tandatangan

Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr., Sp.KJ (K) .............................................

2
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi : Kuliah Psikoterapi


Nama : Indah Puji Handayani

Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Psikiatri


Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret - RSUD Dr. Moewardi
Surakarta

Telah disetujui dan disahkan pada:

Tanggal___________Bulan______________2021
Oleh Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran UNS/RSUD Dr. MOEWARDI
Surakarta

Pembimbing

Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr., Sp.KJ (K)

3
BAB I
PENDAHULUAN

Semua Perilaku, terlepas dari apakah perilaku adaptif atau maladaptif,


adalah akibat dari prinsip dasar yang sama dari pencapaian dan pemeliharaan
perilaku. Teori menyatakan bahwa terdapat dua jenis perilaku abnormal: deficit
perilaku yang disebabkan dari kegagalan untuk belajar dan perilaku maladatif
yang merupakan akibat dari mempelajari hal yang tidak sesuai. (Kaplan&Sadock,
2010)

Terapis memusatkan perhatian pada usaha untuk membantu pasien


mengadakan perubahan-perubahan tingkah laku yang jelas (kelihatan), tetapi
terapis juga sering menggunakan tehnik-tehnik kognitif untuk mengubah distorsi-
distorsi kognitif dan kepercayaan-kepercayaan pasien yang merusak diri sendiri
(Corey, 2011. Semiun, 2010).

Prinsip-prinsip pembelajaran selalu beroperasi dan mempengaruhi


aktivitas manusia. Teori belajar adalah bernilai mengetahui, telah disebutkan
"seperti hukum gravitasi, hukum belajar selalu berlaku." Karena begitu banyak
perilaku manusia (termasuk perilaku terbuka, pola pikir, dan emosi) diperoleh
melalui pembelajaran, prinsip-prinsip pembelajaran sering terlibat dalam etiologi
dan pemeliharaan gangguan kejiwaan. Selain itu, karena perubahan perilaku,
tujuan dari semua psikoterapi, juga sangat dipengaruhi oleh proses belajar, prinsip
belajar dapat mempengaruhi efektivitas terapi. Bahkan, tidak ada terapi yang
dapat dikatakan kebal terhadap efek dari pembelajaran. Bahkan resep sederhana
dari obat dapat membawa proses pembelajaran ke dalam bermain karena pasien
akan memiliki kesempatan untuk belajar tentang efek obat dan efek samping,
belajar mematuhi instruksi dan petunjuk untuk mengambil, dan perlu belajar
untuk mengatasi resistensi terhadap kepatuhan. ( Kaplan & Sadock,2009)

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. TERAPI PERILAKU
A. Definisi
Terapi tingkah laku adalah pendekatan dan penerapan secara
sistematis tehnik-tehnik yang diambil dari prinsip-prinsip teori belajar
(learning theory) untuk membantu klien menguatkan perilaku yang
diinginkan dan menghilangkan tingkah laku yang tidak diinginkan (Corey,
2011).

B. Tujuan Terapi Tingkah Laku


Dalam terapi perilaku, terapis perlu melaksanakan dan
memformulasikan sebuah assesmen perilaku sehingga tujuan penanganan
dapat diseleksi dan ditetapkan. Asesmen semacam itu mencakup deskripsi
tentang apa masalahnya, bagaimana masalah itu timbul, dan apa yang
mempertahankannya. Deskripsi tersebut dalam bentuk hipotesis yang akan
diuji dalam terapi. Produk akhir dari assesmen perilaku adalah spesifikasi
eksak tentang variabel-variabel apa yang perlu dimodifikasi, baik itu
anteseden situasional, komponen perilaku bermasalah itu, dan atau
penguat (reinforcer) konsekuennya. Tujuan utama disebut perilaku target.
(Bandura).

C. Prosedur / Langkah-langkah Terapi Perilaku


Kuehnel dan Liberman (1986) (cit. Corey, 1996 ; cit. Hayat, 2010)
melukiskan inti terapi perilaku sebagai proses dari penentuan dan
pemberian spesifikasi terhadap problema behavioral klien yang melalui
enam langkah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi perilaku yang dianggap mal-adaptif atau bermasalah
(asesmen).
2. Menentukan aset serta kekuatan yang dimiliki klien (observasi
behavioral).

5
3. Membuat informasi yang terkumpul ke dalam konteks dimana perilaku
bermasalah itu terjadi. Fase ini mencakup pengidentifikasikan anteseden
serta konsekuensi dari problema perilaku itu (self-monitoring atau
pengawasan diri).
4. Mencakup strategi untuk mengukur setiap perilaku bermasalah yang telah
diidentifikasi itu. Dengan memberi penilaian pada frekuensi perilaku yang
dimaksud menghasilkan evaluasi dasar yang bisa digunakan sebagai titik
referensi untuk menentukan keefektifan dari intervensi yang akan
dilakukan.
5. Penguat - penguat potensial klien disurvai untuk mengidentifikasi orang,
aktivitas, dan benda-benda yang bisa memberi motivasi dilakukannya
penanganan dan bisa tetap terjadinya perubahan setelah terapi berakhir.
6. Mencakup formulasi dari sasaran penanganan. Dengan bekerja sama, klien
dan perilaku klinis mengeksplorasi perilaku alternatif yang bisa
menyelesaikan masalah itu. Yang juga dimasukkan dalam penilaian adalah
berfungsinya klien dalam ranah afektif, kognitif, behavioral, dan
interpersonal. Tugas konselor adalah mengaplikasikan prinsip dari
mempelajari manusia untuk memberi fasilitas pada penggantian perilaku
mal-adaptif dengan perilaku yang lebih adaptif.

D. Teknik-teknik Utama Terapi Tingkah Laku


Teknik-teknik tingkah laku harus menunjukkan keefektifannya
melalui alat-alat yang objektif dan ada usaha yang konstan untuk
memperbaikinya. Krumboltz dan Thorensen (dikutip dari Huber &
Millman, 1972 , hlm. 350) menyatakan bahwa “ konseling tingkah laku
adalah suatu sistem yang mengoreksi dirinya sendiri”). Meskipun para
terapis tingkah laku boleh jadi membuat kekeliruan-kekeliruan dalam
mendiagnosis atau dalam menerapkan tehnik-tehnik, akibat kekeliruan-
kekeliruan itu akan jelas bagi mereka. Mereka menerima umpan balik
langsung dari kliennya, baik kliennya itu sembuh ataupun tidak.
Sebagaimana dinyatakan oleh Krumboltz dan Thorensen (hlm. 350), “
Teknik-teknik yang tidak berfungsi akan selalu disisihkan dan teknik-

6
teknik baru bisa dicoba. Mereka menegaskan bahwa tehnik-tehnik harus
disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan individual klien dan bahwa
tidak pernah ada tehnik yang diterapkan secara rutin pada setiap klien
tanpa disertai metode-metode alternatif untuk mencapai tujuan-tujuan
klien. (Corey, 2011).
1. Relaksasi
Keadaan relaks adalah keadaan pada mana seseorang berada dalam
keadaan tenang, dalam suasana emosi yang tenang, tidak sebaliknya yakni
misalnya tegang atau bergelora. Untuk mencapai keadaan seperti ini,
diperlukan suatu tehnik melalui berbagai prosedur antara lain prosedur
aktif dan prosedur pasif (Gunarsa, 2010).
Latihan relaksasi telah menjadi makin populer sebagai metode
mengajar seseorang untuk menangani stres yang dihasilkan oleh
kehidupan sehari-hari. Sasarannya adalah agar otot-otot menjadi kendur
dan mental menjadi relak dan mudah dipelajari. Setelah klien belajar
dasar-dasar dari prosedur relaksasi maka hal yang esensiil adalah bahwa
mereka mempraktekkan latihan-latihan ini setiap hari agar bisa
mendapatkan hasil yang maksimal (Hayat, 2010).
Peranan tehnik relaksasi sebagai dasar penting dalam kegiatan
teraupetik, telah diketahui dan dilaksanakan sejak berabad-abad yang lalu.
Namun peranan tehnik relaksasi yang berkaitan dengan terapi perilaku,
mulai dikembangkan sejak Edmund Jacobson mulai banyak menelitinya
pada awal tahun 30-an. Jacobson dianggap sebagai orang pertama yang
melakukan penelitian dalam bidang psikofisiologik mengenai relaksasi.
Jacobson menemukan jika seseorang berada dalam keadaan relaks yang
dalam, ia tidak akan memperlihatkan respons terkejut terhadap suara yang
keras. Pada tahun 1938, Jacobson membuat tehnik relaksasi yang disebut
sebagai tenik atau latihan relaksasi progresif (progressive relaxation
training ) untuk membawa seseorang sampai ke keadaan relaks pada otot-
ototnya. Jacobson percaya bahwa jika seseorang berada dalam keadaan
seperti itu, akan terjadi pengurangan timbulnya reaksi emosi yang
menggelora, baik pada susunan saraf pusat, maupun pada susunan saraf

7
otonom dan lebih lanjut dapat meningkatkan perasaan segar dan sehat,
jasmani maupun rohani. Hal ini sesuai dengan teori emosinya James-
Lange, yang mengemukakan adanya interaksi antara emosi, misalnya
kecemasan, dengan kondisi tubuh, misalnya peregangan pada otot-otot,
maka akan terjadi juga pengurangan ketegangan atau kecemasan dan
akibat-akibat lain karena keadaan tersebut ( Gunarsa, 2010 ).
Latihan dalam relaksasi; klien bisa diajari untuk relaks di recliner
chair ( kursi yang dapat direbahkan), atau di atas matras, atau paling tidak
di kursi tegak dengan sandaran kepala yang nyaman. Sejak awal terapis
dapat mengupayakan agar klien melihat latihan relaksasi sebagai kegiatan
belajar keterampilan mengatasi masalah yang dapat digunakan dalam
kehidupan sehari-hari dan bukan sekedar memperlakukan klien sebagai
orang yang pasif. Lebih jauh, klien seharusnya paham bahwa kesuksesan
dalam belajar relaksasi, seperti halnya belajar keterampilan apapun,
membutuhkan latihan dan PR relaksasi akan dibutuhkan. Sebelum
memulai relaksasi, terapis dapat menyarankan klien untuk mengenakan
pakaian yang longgar, yang nyaman untuk dikenakan selama wawancara
dan selama mengerjakan PR relaksasi, dan akan membantu untuk
menyingkirkan benda-benda seperti kacamata dan sepatu ( Jones, 2011 ).
Bernstein dan Borkovec (1973) melihat bahwa dalam mengajarkan
relaksasi otot, ada suksesi kejadian-kejadian yang harus diamati dengan
setiap kelompok otot. Siklus peregangan-relaks ini memiliki lima elemen:
(a) focus, memfokuskan perhatian pada kelompok otot tertentu; (b) tense,
meregangkan kelompok otot itu; (c) hold, mempertahankan ketegangan itu
selama lima sampai tujuh detik; (d) release, melepaskan ketegangan di
dalam kelompok otot tersebut; dan (e) relax, memfokuskan perhatian pada
melepaskan ketegangan dan relaksasi lebih jauh pada kelompok otot
tersebut. Klien perlu belajar kelima siklus tersebut ini sedemikian rupa
sehingga ia dapat menerapkannya di dalam pekerjaan rumahnya. Setelah
menjelaskan siklus peregangan-relaks dasar, terapis kemudian bisa
mendemonstrasikannya dengan mempraktikkan siklus itu dengan telapak

8
tangan dan lengan bawah bagian kanannya dan di setiap tahap meminta
klien untuk melakukan hal yang sama (Jones, 2011).
Setelah itu terapis akan memimpin klien untuk mempraktekkannya
dengan kelompok-kelompok otot lainnya, dengan mendemonstrasikan
caranya, bila perlu. Enam belas kelompok otot yang sering digunakan
adalah pergelangan tangan dan lengan bawah kanan; bisep kanan;
pergelangan tangan dan lengan bawah kiri; bisep kiri; dahi; mata; hidung;
dan pipi bagian atas; rahang; dan pipi bagian bawah; leher dan
tenggorokan; dada dan pundak; perut; paha kanan; betis kanan; telapak
kaki kanan, paha kiri; betis kiri dan telapak kaki kiri. Lengan cenderung
dilakukan di awal, karena mudah untuk didemonstrasikan. Bagi
kebanyakan klien, merelakskan bagian-bagian wajah sangat penting
karena efek penghambat-kecemasan yang paling jelas biasanya didapatkan
di sana. Pada orang-orang kidal, instruksi peregangan untuk sisi kiri tubuh
seharusnya didahulukan sebelum yang kanan ( Jones, 2011 ).
Setelah klien mempelajari cara meregangkan berbagai kelompok
otot, klien diinstruksikan untuk tetap memejamkan matanya selama latihan
dan praktek relaksasi. Menjelang akhir sesi relaksasi, terapis dapat
meminta klien untuk merangkum kegiatan relaksasinya, dengan kalimat, “
Jadi, bagaimana relaksasi Anda hari ini?” dan mendiskusikan isu-isu yang
timbul. Pemberhentian sesi relaksasi dapat dilakukan dengan menghitung
mundur lima sampai satu dan ketika sampai ke hitungan satu terapis
meminta klien untuk bangun dengan relaks seakan-akan baru terbangun
dari tidur yang damai ( Jones, 2011 ).
Pentingnya melatih relaksasi otot bisa lebih ditekankan lagi pada
akhir sesi relaksasi pertama. Klien mungkin akan diberi tugas pekerjaan
rumah berupa mempraktekkan relaksasi otot selama 15 menit per hari.
Terapis perlu menanyakan kepada klien apakah klien mengantisipasi
adanya kendala latihan, misalnya kesulitan untuk menemukan tempat yang
tenang, dan membantu klien merancang strategi untuk memastikan hasil
PR yang baik. Ada beberapa bukti bahwa klien yang memonitor latihan
relaksasi jauh lebih mungkin untuk terus melakukannya (Tasto dan Hinkle,

9
1973). Konsekuensinya, akan membantu bagi terapis untuk memberikan
logs kepada kliennya untuk memonitor PR relaksasinya (Jones, 2011)
a. Prosedur relaksasi otot singkat: Jika prosedur relaksasi otot lengkap
telah dipelajari dan klien mampu mencapai relaksasi yang dalam, prosedur
relaksasi otot yang lebih singkat dapat diintroduksikan. Bernstein dan
Borkovec (1973) memberikan contoh-contoh prosedur relaksasi otot
pendek berurutan. Salah satu variasinya adalah meregangkan tujuh
kelompok otot: otot lengan kanan, otot lengan kiri, dan otot wajah masing-
masing diregangkan sebagai satu kelompok; otot leher dan tenggorokan
diregangkan seperti yang dilakukan sebelumnya; dan otot dada, otot
pundak, dan otot perut, otot tungkai dan telapak kaki kanan, dan otot-otot
tungkai dan telapak kaki kiri masing-masing diregangkan sebagai satu
kelompok. Variasi empat kelompok otot, melibatkan kelompok-kelompok
relaksasi simultan maupun sekuensial: otot-otot lengan; otot-otot wajah,
leher, dan tenggorokan; otot-otot dada, pundak, dan perut; dan otot-otot
tungkai dan telapak kaki (Jones, 2011).
Relaksasi otot simultan melibatkan meregangkan secara virtual
semua otot sekaligus. Pernyataan seorang terapis mungkin berbunyi: “
Kalau saya beri tanda, saya ingin Anda memejamkan mata kuat-kuat,
ambil nafas dalam-dalam, dan secara bersama-sama kepalkan kedua tinju
dan kendurkan kedua otot bisep, kerutkan dahi dalam-dalam, tarik
bersama-sama kedua tulang belikat, dan regangkan kedua tungkai dan
telapak kaki Anda. Sekarang ambil napas dalam-dalam dan regangkan
semuanya…..tahan selama lima detik……sekarang lepaskan dan
kendurkan secepat dan sedalam mungkin”. Setelah siap, prosedur relaksasi
otot singkat seharusnya dimasukkan ke dalam kerangka kerja relaksasi
klien.
b. Relaksasi mental: Sering kali sebagai bagian dari desensitisasi sistematik,
klien didorong untuk terlibat relaksasi mental. Relaksasi semacam itu
biasanya melibatkan membayangkan sebuah pemandangan yang damai,
misalnya “berbaring di padang rumput di musim panas yang hangat,
merasakan hembusan angin yang lembut, sambil memandangi awan di

10
langit biru”. Terapis dapat menemukan pemandangan mana yang dianggap
paling kondusif oleh klien untuk relaksasi. Seringkali, relaksasi mental
digunakan setelah menjalani prosedur relaksasi otot.
c. Pertimbangan latihan relaksasi: terapis perilaku berbeda dalam hal
jumlah sesi yang mereka gunakan untuk latihan relaksasi. Pasien juga
berbeda dalam hal kecepatan mencapai kapasitas untuk relaks. Wolpe
( 1990 ) mengajarkan relaksasi otot progresif dalam kira-kira enam sesi
dan meminta pasiennya untuk berlatih di rumah selama 15 menit per hari.
Bernstein dan Borkovec (1973) mengusulkan jadwal latihan relaksasi 10
sesi , yang menggunakan tiga sesi pertama untuk melatih mengendurkan
semua kelompok otot , empat sesi berikutnya untuk relaksasi otot singkat,
dan tiga sesi terakhir untuk prosedur relaksasi verbal. Sekali lagi, praktek
PR harian diberikan. Terapis mungkin membuat variasi jadwal latihan
relaksasinya menurut kebutuhan klien dan beban kerjanya. Bagaimanapun,
penting bahwa subjek mempunyai jumlah sesi yang cukup untuk belajar
relaksasi secara adekuat (Jones, 2011).
Prosedur relaksasi seringkali dipakai dengan dikombinasikan dengan
sejumlah tehnik behavioral yang lain. Termasuk di dalamnya adalah prosedur
disensitisasi sistematik, latihan memberi tekanan, program penanganan diri,
instruksi yang sudah direkam, relaksasi yang distimulasi oleh umpan balik
biologis (biofeedback), hipnosis, meditasi, dan latihan otogenik mengajar
pengontrolan dari fungsi tubuh dan imajinal melalui otosugesti ( Hayat, 2010).
Penggunaan yang paling umum latihan relaksasi ini adalah untuk
masalah yang ada hubungannya dengan stress dan kecemasan, yang sering
dimanifestasikan dalam gejala psikosomatik. Penyakit lainnya yang bisa
tertolong oleh latihan relaksasi mencakup tekanan darah tinggi dan masalah
cardiovascular yang lain, sakit kepala migraine, asma, dan insomnia ( Hayat,
2010 ).

2. Desensitisasi
Desensitisasi sistematik adalah salah satu teknik yang paling luas
digunakan dalam terapi tingkah laku. Desensitisasi sistematik digunakan untuk

11
menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dan ia menyertakan
pemunculan tingkah laku atau respons yang berlawanan dengan tingkah laku
yang hendak dihapuskan itu. Desensitisasi diarahkan pada mengajar klien
untuk menampilkan suatu respons yang tidak konsisten dengan kecemasan
(Corey, 2011).
Disensitisasi sistematik didasarkan pada prinsip kondisioning klasik.
Asumsi dasar yang mendasari tehnik ini adalah bahwa responsi terhadap
kecemasan itu dapat dipelajari, atau dikondisikan, dan bisa dicegah dengan
memberi subtitusi berupa suatu aktivitas yang sifatnya memusuhinya. Prosedur
itu digunakan terutama bagi reaksi kecemasan dan penghindaran. Hal itu
mencakup:
1. Pertama, analisis behavioral dari stimulus yang menyebabkan kecemasan
dan dibangunnya suatu hirarki dari situasi penghasil kecemasan,
2. Kemudian prosedur relaksasi itu diajarkan dan dipasangkan dengan
skenario yang dikhayalkan. Situasinya dikemukakan dalam suatu urut-
urutan yang berangkat dari yang paling ringan sampai yang paling
mengancam.
3. Stimulus yang menghasilkan kecemasan berkali-kali dipasangkan dengan
latihan relaksasi sampai hubungan antara stimulus-stimulus serta responsi
terhadap kecemasan itu terhapus ( Hayat, 2010 ).
Desensitisasi sistematis dikembangkan oleh Joseph Wolpe ( 1969 )
Pendekatan ini bertumpu pada fakta bahwa seseorang tidak dapat secara
serempak merasa cemas dan relaks. Wolpe menggunakan ” relaksasi” sebagai
cara mengimbangi stimulus yang ditakuti ( Semiun, 2010 ). Morris (1986)
membuat garis besar tentang desensitisasi sistematik menjadi tiga langkah:
(a)latihan bersantai atau relaksasi, (b) pengembangan hirarkhi kecemasan, dan
(c) desensitisasi sistematik yang tepat atau mengkhayalkan stimulus-stimulus
yang menimbulkan kecemasan yang diimbangi dengan relaksasi ( Hayat,
2010).
a. Latihan bersantai
Selama beberapa sesi-sesi permulaan klien diberi pelajaran bagaimana
caranya untuk relaksasi. Langkah dalam latihan bersantai ini didasarkan

12
pada versi yang dimodifikasi dari tehnik yang dikembangkan oleh
Jacobson( 1938) dan dilukiskan secara rinci oleh Wolpe(1969) sebagai
berikut:
(a) Konselor menggunakan nada suara yang tenang, lembut dan
menyenangkan untuk mengajar pengendoran otot secara progresif.
Klien dibujuk untuk menciptakan suatu angan-angan tentang peristiwa
santai yang pernah dialami sebelumnya, seperti duduk di tepi danau
ataupun bercengkerama di padang rumput yang indah. Adalah hal
yang penting kalau klien mencapai keadaan tenang dan damai.
(b) Kemudian klien diberi pelajaran bagaimana mengendorkan semua otot
selagi memandang berbagai bagian tubuhnya, dengan tekanan pada
urat pada wajah. Otot lengan yang pertama kali dikendorkan, diikuti
oleh kepala, leher, dan bahu, punggung, perut, dan toraks, kemudian
bagian bawah dari tubuh. Klien disuruh mempraktekkan relaksasi di
luar sesi terapi kira-kira 30 menit setiap hari.

b. Pengembangan Hirarkhi Kecemasan


Setelah wawancara permulaan dan selama tahap latihan relaksasi,
konselor bekerja dengan klien untuk mengembangkan hirarki kecemasan
untuk setiap kawasan yang telah teridentifikasi. Stimulus yang menyulut
kecemasan pada kawasan yang telah teridentifikasi, stimulus yang
menyulut kecemasan pada kawasan tertentu, seperti penolakan,
kecemburuan, kritikan, ketidaksetujuan, atau fobia yang lain, dianalisis.
Konselor menyusun daftar urutan situasi yang menyulut timbulnya
kecemasan dan penampilan yang makin meningkat. Hirarki itu diatur dalam
urut-urutan mulai dari situasi yang terburuk yang bisa dibayangkan oleh
klien sampai ke situasi yang menimbulkan kecemasan yang paling sedikit.
Misalnya saja, apabila sudah ditetapkan bahwa klien ada kecemasan yang
dikaitkan dengan rasa takut kalau tidak diterima, situasi yang mungkin
menimbulkan kecemasan paling parah adalah kalau tidak bisa diterima oleh
kawan hidup, kemudian oleh teman dekat, selanjutnya oleh rekan kerja.

13
Situasi mengganggu yang paling ringan mungkin apabila orang belum
dikenal tidak mempedulikannya pada suatu pesta ( Hayat, 2010 ).
Pada misalnya, orang yang mengalami ketakutan yang tidak masuk
akal terhadap tempat-tempat yang tinggi (ketinggian). Mungkin ada
beberapa hal di mana ketakutan muncul seperti berada dalam bangunan-
bangunan yang tinggi, mengendarai mobil di tempat yang tinggi, terbang
dengan pesawat terbang yang kecil, dan sebagainya. Untuk setiap hal itu
sejumlah stimulus diurut berdasarkan bagaimana stimulus-stimulus tersebut
menimbulkan ketakutan, mulai dari yang sangat kurang menakutkan
sampai dengan yang sangat menakutkan. Misalnya, urutan dari stimulus-
stimulus terbang dalam sebuah pesawat terbang yang kecil mungkin
berupa:
a. Berpikir mengenai terbang dengan sebuah pesawat terbang yang kecil
pada suatu waktu di masa yang akan datang.
b. Mengetahui bahwa dalam dua minggu Anda harus terbang dengan se-
buah pesawat terbang yang kecil.
c. Mengetahui bahwa minggu depan Anda harus terbang dengan sebuah
pesawat terbang yang kecil.
d. Berpikir bahwa besok Anda harus terbang dengan sebuah pesawat ter-
bang yang kecil.
e. Mengetahui bahwa hari ini Anda harus terbang dengan sebuah pesawat
terbang yang kecil.
f. Anda mengendarai mobil ke lapangan udara untuk terbang.
g. Membeli tiket di lapangan udara untuk terbang.
h. Melihat barang di bagasi Anda diletakkan di pesawat terbang.
i. Berjalan menuju pesawat terbang tersebut.
j. Memasuki pesawat terbang kecil tersebut.
k. Menggunakan sabuk pengaman.
l. Mendengar suara mesin pesawat terbang dihidupkan.
m. Mendengar pilot diijinkan terbang.
n. Merasa pesawat terbang berjalan di landasan pacu.
o. Lepas landas.

14
p. Merasa pesawat terbang, terbang tinggi.
q. Menengok keluar jendela pesawat terbang ketika pesawat terbang itu
terbang tinggi.
r. Mencapai ketinggian di mana pesawat terbang akan menjelajah.
s. Menengok keluar jendela pada ketinggian penjelajahan pesawat
terbang.
t. Mengalami angin ribut selama penerbangan.
u. Menengok keluar jendela selama angin ribut ( Semiun, 2010 ).

c. Desensitisasi Sistematik yang Tepat


Desensitisasi tidak dimulai sampai beberapa sesi setelah
wawancara permulaan selesai dilakukan. Diperlukan waktu yang cukup
bagi klien untuk mempelajari bersantai di kantor, untuk dipraktikkan di
rumah, dan untuk itu menyusun hirarki kecemasan. Proses desensitisasi
dimulai dengan klien yang telah rileks dengan sempurna dengan mata
yang tertutup. Skenario netral dikembangkan, dan klien diminta untuk
membayangkannya. Apabila klien tetap relaks, dia diminta untuk
membayangkan skenario yang paling sedikit menimbulkan kecemasan
dalam hirarki situasi yang telah dikembangkan. Konselor bergerak maju
dalam hirarkhi sampai klien memberi isyarat bahwa pada situasi itulah
klien mengalami kecemasan dan pada saat itu pula skenario dihentikan.
Kemudian pengendoran ketegangan dimulai lagi, dan klien melanjutkan
naik ke hirarki diatasnya. Penanganan berhenti manakala klien tetap dalam
keadaan relaks pada saat ia membayangkan skenario di mana dulu pernah
merupakan keadaan yang paling banyak mengganggu dan menimbulkan
kecemasan (Hayat, 2010).
Pekerjaan rumah dan tindak lanjut merupakan komponen yang
esensiil dari desensitisasi yang berhasil. Klien bisa mempraktikkan
prosedur bersantai yang telah disaring setiap hari, yaitu pada saat mereka
memvisualisasikan skenario yang sudah disempurnakan pada sesi
sebalumnya. Lambat laun, mereka juga membiarkan diri ada dalam situasi

15
nyata sebagai cara selanjutnya dalam hal menangani kecemasan mereka
(Hayat, 2010).
Desensitisasi yang sistematis merupakan tehnik yang cocok untuk
menangani fobia, dan juga telah digunakan secara efektif untuk
menangani mimpi yang buruk, anoreksia nervosa, obsesi, pemberang,
gagap, dan depresi (Hayat, 2010).
Desensitisasi sistematik keliru apabila menganggap tehnik ini
hanya bisa diterapkan pada penanganan ketakutan-ketakutan. Desensitisasi
sistematik bisa diterapkan secara efektif pada berbagai situasi penghasil
kecemasan , mencakup situasi interpersonal, ketakutan menghadapi ujian ,
ketakutan-ketakutan yang digeneralisasi, kecemasan-kecemasan neurotik,
serta impotensi dan frigiditas seksual (Corey, 2011).
Wolpe (1969) mencatat tiga penyebab kegagalan dalam
pelaksanaan desensitisasi sistematik: (1) kesulitan-kesulitan dalam
relaksasi, yang bisa jadi menunjuk pada kesulitan-kesulitan dalam
komunikasi antara terapis dan klien atau kepada keterhambatan yang
ekstrem yang dialami oleh klien, (2) tingkatan-tingkatan yang
menyesatkan atau tidak relevan, yang ada kemungkinan melibatkan
penanganan tingkatan yang keliru, dan (3) ketidakmemadaian dalam
membayangkan (Corey, 2011).
Bagaimana penerapan desensitisasi pada terapi kelompok ? Shaffer
dan Galinsky (1974), dalam pembahasannya tentang terapi tingkah laku
kelompok, menunjukkan bahwa belum ada keterangan yang muncul
tentang model kelompok. Pendekatan-pendekatan terapi tingkah laku
kelompok secara khas memperkenalkan prosedur-prosedur terapi tingkah
laku yang berorientasi individual ke dalam setting kelompok. Pada
kelompok-kelompok yang menggunakan prosedur desensitisasi sistematik,
tehnik-tehnik individual diterapkan langsung pada kelompok. Shaffer dan
Galensky menunjuk Lazarus sebagai salah seorang yang pertama
menggunakan prosedur desensitisasi dalam terapi kelompok ( Corey,
2011).

16
Prosedur kelompok dianjurkan pula bagi para klien yang
mengalami kecemasan berada dalam situasi-situasi yang spesifik.
Kelompok biasanya terdiri atas para partisipan yang memiliki ketakutan-
ketakutan dan kecemasan-kecemasan yang sama. Iklim kelompok
dipandang sebagai agen yang suportif dan memperkuat. Para anggota
kelompok saling memberikan dukungan dalam kegiatan-kegiatan
pengambilan resiko, di dalam maupun di luar kelompok, dan perkuatan
diberikan bagi keberhasilan-keberhasilan (Corey, 2011).

3. Terapi Implosif dan Pembanjiran


Terapi implosif dikembangkan berdasarkan atas asumsi bahwa
seseorang yang secara berulang-ulang dihadapkan pada suatu situasi penghasil
kecemasan dan konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan ternyata tidak
muncul, maka kecemasan akan menghilang (Latipun, 2008)
Seperti halnya dengan desensitisasi sistematik, prosedur ini menyuruh
pasien untuk membayangkan (berpikir tentang) hal yang menyebabkan
kecemasan. Tetapi, tehnik ini berbeda dengan desensitisasi sistematik karena
latihan relaksasi tidak dibutuhkan atau digunakan. Terapi implosif ini
dikembangkan oleh Stampfl dan Levis (1967). Pendekatan ini didasarkan pada
penghapusan. Sebagaimana digunakan oleh Stampfl dan Levis, penghapusan
adalah mereduksikan secara bertahap terjadinya respons kecemasan karena
terus menerus disajikan situasi stimulus yang menimbulkan ketakutan tanpa
adanya perkuatan yang membuat ketakutan berlangsung terus (Semiun, 2010).
Teknik pembanjiran berbeda dengan tehnik desensitisasi sistematik
dalam arti tehnik pembanjiran tidak menggunakan agen pengkondisian balik
maupun tingkatan kecemasan. Terapis memunculkan stimulus-stimulus
penghasil kecemasan, klien membayangkan situasi, dan terapis berusaha
mempertahankan kecemasan klien (Corey, 2011).
Stampfl (1975) mengembangkan teknik yang berhubungan dengan
teknik pembanjiran, yang disebut “ terapi implosif” : Seperti halnya dengan
desensitisasi sistematik, terapi implosif berasumsi bahwa tingkah laku
neurotik melibatkan penghindaran terkondisi atas stimulus-stimulus penghasil

17
kecemasan. Terapi implosif berbeda dengan desensitisasi sistematik dalam
usaha terapis untuk menghadirkan luapan emosi yang masif. Alasan yang
digunakan oleh tehnik ini adalah bahwa jika seseorang secara berulang-ulang
dihadapkan pada suatu situasi penghasil kecemasan dan konsekuensi-
konsekuensi yang menakutkan tidak muncul, maka kecemasan tereduksi atau
terhapus. Klien diarahkan untuk membayangkan situasi-situasi (stimulus-
stimulus) yang mengancam. Dengan secara berulang-ulang dan dimunculkan
dalam setting terapi di mana konsekuensi-konsekuensi yang diharapkan dan
menakutkan tidak muncul, stimulus-stimulus yang mengancam kehilangan
daya menghasilkan kecemasannya, dan penghindaran neurotik pun terhapus
(Corey, 2011).
Dalam menggunakan terapi implosif, terapis terlebih dahulu
menyusun suatu Avoidance Serial Cue Hierarchy. Dari wawancara-
wawancara dengan pasien, terapis mengembangkan suatu urutan isyarat-
isyarat penting yang terlibat dalam ketakutan pasien. Misalnya, apabila
seseorang takut terbang, maka isyarat yang rendah dalam hirearki itu mungkin
mengendarai mobil menuju ke lapangan udara, sedangkan isyarat yang tinggi
mungkin berada dalam pesawat terbang yang lepas landas pada waktu angin
rebut. Dalam membuat hirearki, terapis harus terlebih dahulu memasukkan
isyarat-isyarat yang dianggap dapat menimbulkan tingkat maksimum
kecemasan dalam diri pasien. Suatu contoh dari hierarki ini digambarkan oleh
Hogan dan Kirchner (1967: 109) (Semiun, 2010).

a. Ketakutan akan tikus


Bayangkan Anda menyentuh seekor tikus di laboratorium… Tikus
itu mulai menggigit jari Anda… dan kemudian lari melintasi lengan Anda.
Tiba-tiba tikus itu menggigit lengan Anda, dan kemudian Anda merasa ia
lari dengan cepat ke seluruh tubuh Anda… Ia mulai menggigit leher Anda
dan mengibaskan ekornya di wajah Anda… kemudian mencakar wajah
Anda, dan kemudian berpindah ke rambut Anda… Anda berusaha
mengeluarkannya dengan lengan Anda yang berdarah, tetapi Anda tidak
dapat melakukannya. Tikus itu kemudian menuju ke mata Anda… Anda

18
membuka mulut Anda dan ia melompat masuk ke dalam mulut Anda dan
Anda menelannya… Tikus itu kemudian menghabiskan berbagai organ
dari bagian dalam tubuh Anda--- seperti lambung dan usus Anda yang
menyebabkan Anda merasa sangat tidak enak dan sakit… dan sebagainya
(Semiun, 2010).
Setelah hierarki ini dikembangkan, terapis menjelaskan terapi
implosif kepada pasien. Kemudian, adegan-adegan disajikan kepada
pasien dan pasien diminta berusaha membayangkan adegan-adegan itu
sehidup-sehidupnya, dan mendorong pasien untuk “ menghidupkan”
adegan-adegan itu dengan emosi.
Tujuan dari terapi implosif adalah menghapuskan ketakutan dengan
menyuruh pasien membangkitkan dalam pikirannya pengalaman-
pengalaman yang sangat menakutkan sehingga tanpa adanya perkuatan
akan mengurangi ketakutan terhadap situasi tertentu. Stampl dan Levis
(1967: 500) menyatakan bahwa:
“ … suatu usaha dilakukan oleh terapis untuk mencapai suatu tingkat
maksimal munculnya kecemasan pasien. Bila suatu tingkat kecemasan
yang tinggi tercapai, maka pasien ditahan pada tingkat ini sampai kelihatan
suatu tanda yang menunjukkan bahwa nilai dari isyarat-isyarat yang
menimbulkan kecemasan berkurang secara spontan… Proses ini diulang
beberapa kali, dan variasi-variasi baru diajukan untuk menimbulkan suatu
respons kecemasan yang hebat setelah kelihatan adanya tanda awal bahwa
ketakutan itu berkurang. Respons ini diulangi sampai kecemasan itu
berkurang secara signifikan” (Semiun, 2010).
Sesi-sesi berakhir setelah 30-60 menit serta pada umumnya setelah
pasien merasa kurang cemas terhadap adegan-adegan implosif. Antara
sesi-sesi itu, pasien disuruh untuk mempraktekkan dalam khayalannya
adegan-adegan implosif itu di rumah supaya ia dapat menangani
ketakutan-ketakutannya secara efektif (Semiun, 2010).
Stampfl (1975) juga mencatat sejumlah studi yang membuktikan
kemanjuran terapi implosif dalam menangani para pasien gangguan jiwa
yang dirumahsakitkan, para pasien neurotik, para pasien psikotik, dan

19
orang-orang yang menderita fobia. Stampfl menyatakan bahwa terapi
implosif berbeda dengan terapi-terapi konvensional dalam arti terapi
implosif tidak menekankan pemahaman sebagai agen teraupetik. Terapi
implosif adalah suatu metode langsung yang menantang pasien “ untuk
menatap mimpi-mimpi buruknya”
(Corey, 2011).
Perlu dikemukakan di sini bahwa bila terapi implosif dilakukan
secara tidak tepat, maka ada bahaya terapi ini bukannya mengurangi,
melainkan meningkatkan ketakutan pada situasi tertentu. Dengan
demikian, terapi implosif harus dilakukan hanya oleh para terapis terampil
yang telah mendapat latihan yang luas dalam tehnik ini (Semiun, 2010).

4. Latihan Perilaku Asertif


Latihan perilaku asertif digunakan untuk melatih individu yang mengalami
kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar.
Latihan ini terutama berguna di antaranya untuk membantu orang yang tidak
mampu mengungkapkan perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan “ tidak ”,
mengungkapkan afeksi dan respon positif lainnya. Cara yang digunakan adalah
dengan permainan peran dengan bimbingan konselor. Diskusi-diskusi kelompok
diterapkan untuk latihan asertif ini (Latipun, 2008).
Latihan asertif juga akan membantu bagi orang yang menunjukkan
kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk
mendahuluinya, dan pada orang yang merasa tidak punya hak untuk memiliki
perasaan-perasan dan pikiran-pikiran sendiri (Corey, 2011).
Latihan asertif dirancang untuk membuat seseorang menyadari, merasa,
dan bertindak berdasarkan asumsi bahwa ia berhak untuk menjadi dirinya sendiri
dan untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya dengan bebas. Respons-respons
asertif pada umumnya bukanlah respons-respons agresif. Perbedaan antara dua
tipe interaksi ini adalah penting. Jika, misalnya, seorang istri mempunyai ibu
mertua yang sangat kritis, respons-respons agresif dari sang istri akan berupa:
mengejek ibu mertua; melakukan dengan sengaja hal-hal yang diketahuinya yang
akan mengganggu ibu mertuanya (tidak mengunjungi ibu mertua, menyajikan

20
jenis makanan yang tidak disukai oleh ibu mertua, tidak membersihkan rumah);
mendorong suami untuk menyuruh ibunya untuk “diam”; bertengkar dengan ibu
mertua. Sebaliknya, suatu respons asertif yang efektif akan mengimbangi kritik
dengan berkata, misalnya, “ Bu, kritikmu terhadapku sangat menyakitiku. Aku
tahu ibu berusaha membantuku bila ibu memberi nasehat, tetapi aku merasa bila
ibu melakukan itu maka ibu mengkritikku. Aku mengetahui bahwa ibu tidak
menginginkan aku melakukan kesalahan, tetapi untuk tumbuh aku perlu
melakukan kesalahan-kesalahan dan belajar dari kesalahan-kesalahan itu. Bila ibu
benar-benar ingin membantuku, biarlah aku melakukannya sendiri dan
bertanggung jawab terhadap akibat-akibatnya. Tipe hubungan yang kuinginkan
dengan ibu adalah suatu hubungan orang dewasa yang akrab, dan bukan suatu
hubungan ibu dan anak (Semiun, 2010).
Latihan asertif menjadi metode yang sangat sering digunakan dalam
mengubah tingkah laku interpersonal yang tidak adaptif. Tehnik ini sangat efektif
dalam mengubah tingkah laku takut dan tingkah laku agresif. Wolpe (1958)
adalah orang pertama yang mengembangkan pendekatan ini dan dikembangkan
lebih lanjut oleh berbagai pengarang, termasuk Alberti dan Emmons (1970) serta
Fensterheim dan Baer (1975) (Semiun, 2010).
Sedangkan pengertian perilaku asertif adalah perilaku antar perorangan
(interpersonal) yang melibatkan aspek kejujuran dan keterbukaan pikiran dan
perasaan. Perilaku asertif ditandai oleh kesesuaian sosial dan seseorang yang
berperilaku asertif mempertimbangkan perasaan dan kesejahteraan orang lain.
Adanya keterampilan sosial pada seseorang, menunjukkan adanya kemampuan
untuk menyesuaikan diri (Gunarsa, 2010). Secara sederhana dapat dikemukakan
bahwa tingkah laku asertif adalah kemampuan untuk mengungkapkan diri tanpa
menyakiti atau menginjak orang lain (Semiun, 2010).
Wolpe menulis:” Perilaku asertif adalah ekspresi verbal dan motorik yang
sesuai dari emosi apa pun selain kecemasan” (1990: 135)( Jones, 2011).

21
Menurut Christoff & Kelly (1985), ada tiga kategori perilaku asertif yakni:
1. Asertif penolakan. Ditandai oleh ucapan untuk memperhalus seperti: maaf !
2. Asertif pujian. Ditandai oleh kemampuan untuk mengekspresikan perasaan
positif seperti menghargai, menyukai, mencintai, mengagumi, memuji, dan
bersyukur.
3. Asertif permintaan. Jenis asertif ini terjadi kalau seseorang meminta orang lain
melakukan sesuatu yang memungkinkan kebutuhan atau tujuan seseorang
tercapai, tanpa tekanan atau paksaan. Dari uraian ini terlihat bahwa perilaku
asertif adalah perilaku yang menunjukkan adanya keterampilan untuk bisa
menyesuaikan dalam hubungan interpersonal, dalam lingkungan sosial.
Sebaliknya dari perilaku yang tidak asertif, ialah misalnya, agresivitas
(Gunarsa, 2010).
Masalah-masalah asertif beragam, mulai dari rasa malu yang hebat,
introversi, dan mengundurkan diri hingga marah secara tidak tepat yang
menyebabkan individu menjauhkan diri dari orang lain. Orang yang nonasertif
sering menyetujui tanpa protes, penuh ketakutan, gentar, dan takut
mengungkapkan perasaan-perasaan spontannya dalam berbagai situasi. Sering kali
muncul perasaan jengkel dan cemas yang menyebabkan perasaan tidak senang
yang menyeluruh, perasaan harga diri yang rendah, sakit kepala karena tegang,
keletihan, dan mungkin ledakan amarah yang merusak, dan agresi. Beberapa
orang sangat malu dan takut dalam hampir semua interaksi. Orang lain asertif
dalam bidang tertentu, sedangkan dalam bidang lain tidak. Misalnya seseorang
mungkin sangat efektif dan asertif dalam tugasnya sebagai manajer suatu
perusahaan, namun sangat kikuk dan takut untuk berpacaran (Semiun, 2010).
Ada tiga daya dasar dalam berinteraksi dengan orang lain, yaitu
nonasertif, agresif, dan asertif. Karakteristik dari tiga gaya ini disimpulkan oleh
Alberti dan Emmons (1975:24).
“ Dalam gaya nonasertif, Anda mungkin ragu-ragu, berbicara pelan-pelan,
memalingkan muka, menghindari persoalan, setuju tanpa memperhatikan
perasaan-perasaan Anda sendiri, tidak mengungkapkan pendapat-pendapat,
menilai diri Anda” di bawah” orang-orang lain, menyakiti diri Anda untuk
menghindari setiap kesempatan menyakiti orang-orang lain.

22
Dalam gaya agresif, Anda cenderung untuk menjawab sebelum orang lain
selesai berbicara, berbicara dengan suara keras dan kasar, membelalak kepada
orang lain, berbicara “melewati” hal yang dibicarakan (menuduh, menyalahkan,
merendahkan), menjelaskan perasaan dan pendapat Anda dengan penuh gairah,
menilai diri Anda “melebihi” orang lain, dan menyakiti orang-orang lain supaya
jangan menyakiti diri sendiri.
Dalam gaya asertif, Anda akan menjawab secara spontan, berbicara
dengan nada dan volume percakapan, memandang kepada orang lain, berbicara
sesuai dengan pokok persoalan, mengungkapkan perasaan dan pendapat pribadi
Anda secara terus-terang (kemarahan, cinta, perbedaan pendapat, penderitaan,
menilai diri Anda sama dengan orang lain, tidak menyakiti diri Anda atau orang
lain (Semiun, 2010).
Menurut Alberti (1977), latihan asertif (atau terapi perilaku asertif-
assertive behavior therapy, atau latihan keterampilan sosial- social skills training)
adalah prosedur latihan yang diberikan kepada klien untuk melatih perilaku
penyesuaian sosial melalui ekspresi diri dari perasaan, sikap, harapan, pendapat,
dan haknya. Prosedurnya adalah:
1. Latihan keterampilan, di mana perilaku verbal maupun nonverbal diajarkan,
dilatih, dan diintegrasikan ke dalam rangkaian perilakunya. Tehnik untuk
melakukan hal ini adalah: peniruan dengan contoh (modeling), umpan balik
secara sistematik, tugas pekerjaan rumah, latihan-latihan khusus antara lain
melalui permainan.
2. Mengurangi kecemasan, yang diperoleh secara langsung (misalnya,
pengebalan) atau tidak langsung, sebagai hasil tambahan dari latihan
keterampilan. Tehnik untuk melakukan hal ini antara lain dengan pendekatan
tradisional untuk pengebalan, baik melalui imajinasi maupun keadaan aktual.
3. Menstruktur kembali aspek kognitif, di mana nilai-nilai, kepercayaan, sikap
yang membatasi ekspresi diri pada klien, diubah oleh pemahaman dan hal-hal
yang dicapai dari perilakunya. Tehnik untuk melakukan hal ini meliputi
penyajian dikdatik tentang hak-hak manusia, kondisioning sosial, uraian nilai-
nilai dan pengambilan keputusan. Sebagaimana diketahui, bahwa hambatan
untuk mengekspresikan diri pada seseorang, yaitu masyarakat, kebudayaan,

23
umur, jenis kelamin, status sosial-ekonomi, keluarga, perlu diperhatikan
karena kaitannya dengan hak-hak pribadi seseorang (Gunarsa, 2010).
Langkah-langkah dalam Latihan Asertif (Semiun, 2010)
1. Periksa interaksi-interaksi Anda. Apakah ada situasi-situasi yang perlu
ditangani Anda dengan lebih asertif? Apakah Anda sering kali menahan
pendapat dan perasaan Anda karena takut terhadap apa yang akan terjadi
bila Anda mengungkapkan pendapat dan perasaan tersebut? Apakah Anda
kadang-kadang merasa tidak tenang dan melampiaskan kemarahan pada
orang lain? Mempelajari interaksi-interaksi Anda dipermudah dengan
mencatat dalam buku harian selama seminggu atau lebih lama dari itu
tentang situasi-situasi di mana Anda bertindak takut-takut, situasi-situasi
di mana Anda agresif, dan situasi-situasi yang ditangani Anda secara
asertif.
2. Pilihlah interaksi-interaksi itu yang berguna bagi Anda untuk menjadi
lebih asertif. Interaksi-interaksi itu mungkin berupa situasi-situasi di mana
Anda terlalu sopan, terlalu sering meminta maaf, takut-takut, dan
membiarkan orang lain mengambil keuntungan dari Anda, dan pada saat
yang sama juga muncul perasaan-perasaan benci, marah, malu, takut
terhadap orang lain, atau mengkritik diri sendiri karena tidak berani
mengungkapkan diri Anda. Interaksi-interaksi yang sangat agresif di mana
kemarahan Anda meledak, atau menginjak orang lain juga perlu ditangani.
3. Pusatkan perhatian Anda pada suatu peristiwa khusus pada masa lampau.
Pejamkan mata Anda untuk beberapa menit dan bayangkan dengan
gambling segala sesuatu secara terperinci, termasuk apa yang Anda dan
orang lain katakan, dan bagaimana perasaaan-perasaan Anda pada waktu
itu serta sesudahnya.
4. Tulislah dan tinjau lagi respon-respon Anda. Kemukakan pertanyaan-
pertanyaan berikut kepada diri Anda untuk menentukan bagaimana Anda
mempresentasikan diri Anda:
a. Kontak mata; apakah Anda melihat secara langsung kepada orang lain,
dalam pandangan yang tetap relaks? Melihat ke bawah atau

24
memalingkan muka menunjukkan kurang percaya diri. Membelalak
adalah respons agresif.
b. Gerak-gerak isyarat; apakah gerak-gerak isyarat Anda tepat, bebas,
relaks, dan digunakan secara efektif untuk menekankan pesan-pesan
Anda? Sikap-sikap yang kaku dan aneh menunjukkan perasaan gugup,
gerak-gerak isyarat lain( tangan mengepal karena marah) menunjukkan
sikap agresif.
c. Sikap tubuh: apakah Anda memperlihatkan pentingnya pesan Anda
dengan berhadapan muka secara langsung dengan orang lain, dengan
mencondongkan badan kepada orang tersebut, dengan
mempertahankan kepala Anda tegak, dengan duduk atau berdiri dekat
dengan orang tersebut?
d. Ekspresi muka; apakah ekspresi muka Anda menunjukkan sikap keras
dan tegas yang sesuai dengan respons asertif?
e. Nada dan volume suara; apakah respons Anda dinyatakan dalam nada
percakapan yang tegas? Berteriak mungkin menunjukkan kemarahan.
Berbicara pelan-pelan menunjukkan rasa malu, dan suara yang pecah-
pecah menunjukkan rasa gugup. Rekaman kaset dan mendengarkan
suara seseorang adalah jalan untuk mempraktekkan peningkatan atau
penurunan volume suara.
f. Berbicara dengan lancer; apakah pembicaraan Anda berlangsung
dengan lancar, jelas, dan lambat? Berbicara dengan cepat atau ragu-
ragu dalam berbicara menunjukkan perasaan gugup. Respons-respons
asertif rekaman tape yang dicoba Anda untuk situasi-situasi yang
bermasalah merupakan suatu cara untuk memperbaiki kelancaran
berbicara.
g. Pemilihan waktu; apakah reaksi-reaksi verbal Anda terhadap suatu
situasi bermasalah dinyatakan dalam waktu yang sangat dekat dengan
kejadian itu yang memungkinkan Anda dan orang lain menentukan
waktu dengan tepat untuk meninjau kembali kejadian tersebut? Pada
umumnya ungkapan-ungkapan spontan adalah yang terbaik, tetapi
situasi-situasi tertentu harus ditangani pada waktu kemudian.

25
Misalnya, menantang beberapa pernyataan yang salah dari atasan harus
dilakukan secara privat dan bukan di depan suatu kelompok di mana
dia sedang memberikan ceramah.
h. Isi pesan; untuk situasi yang bermasalah, yang manakah dari respons-
respons Anda nonasertif atau asertif. Pelajarilah isinya dan pikirkan
mengapa Anda merespons dalam gaya nonasertif atau asertif. (Di sini
sangat berguna kalau mengidentifikasikan self-talk yang menyebabkan
Anda bertindak nonasertif atau agresif serta menantang self-talk ini
dengan tantangan-tantangan diri yang rasional dan asertif).
5. Amatilah satu atau dua model yang efektif. Amatilah pendekatan verbal
dan nonverbal yang secara asertif digunakan untuk menangani interaksi-
interaksi yang menjadi masalah bagi Anda. Bandingkan konsekuensi-
konsekuensi antara pendekatan mereka dan pendekatan Anda. Jika
mungkin, diskusikanlah pendekatan mereka dan perasaan mereka pada
saat menggunakannya.
6. Buatlah daftar tentang berbagai alternatif pendekatan untuk menjadi
lebih asertif.
7. Pejamkanlah mata Anda dan visualisasikan diri Anda menggunakan
setiap dari pendekatan alternatif di atas. Untuk setiap pendekatan,
pikirkan secara mendalam apa saja rangkaian keseluruhan dari interaksi
yang akan terjadi beserta konsekuensinya. Pilih satu pendekatan, atau
kombinasi dari pendekatan, yang menurut Anda paling efektif untuk Anda
gunakan. Melalui imajinasi, praktekkan pendekatan ini sampai Anda
merasa yakin bahwa pendekatan itu akan berhasil bagi diri Anda.
8. Lakukan permainan peran tentang pendekatan tersebut dengan orang
lain, bisa dengan teman atau konselor. Jika bagian tertentu dari
pendekatan Anda terdengar janggal, aneh, takut-takut atau agresif, buat
modifikasinya hingga Anda menjadi nyaman dengan pendekatan tersebut.
Dapatkan umpan balik dari orang lain tentang kekuatan dan kelemahan
pendekatan Anda. Bandingkan interaksi Anda dengan panduan verbal atau
nonverbal untuk tingkah laku asertif pada “Langkah 4”. Ini dapat berguna
bagi orang lain untuk meniru melalui permainan peran satu atau lebih

26
strategi asertif, yang kemudian akan Anda, dengan berganti peran, latih
penggunaannya.
9. Ulangi langkah 7 dan 8 hingga Anda mengembangkan suatu pendekatan
asertif yang menurut Anda akan berhasil paling baik bagi Anda, di mana
Anda merasa nyaman dan Anda yakini akan berhasil.
10. Gunakan pendekatan Anda dalam situasi hidup sesungguhnya. Langkah-
langkah sebelumnya dirancang untuk mempersiapkan diri Anda
menghadapi situasi sesungguhnya. Memang akan menjadi agak cemas saat
pertama kali mencoba bersikap asertif. Jika Anda masih terlalu takut untuk
mencoba menjadi asertif, ulangi “Langkah 5 sampai 8”. Untuk beberapa
individu yang gagal dalam mengembangkan rasa percaya diri yang
dibutuhkan untuk mencoba bersikap asertif, sangat disarankan untuk
meminta konseling kepada yang professional; mengekspresikan diri Anda
dan interaksi efektif dengan orang lain adalah sangat penting bagi
kebahagiaan pribadi.
11. Pikirkan efektivitas dari usaha Anda.Apakah Anda “tetap tenang” Dengan
mempertimbangkan garis pedoman nonverbal untuk tingkah laku
nonasertif yang dibicarakan pada “ Langkah 4”, komponen-komponen
manakah dari respons-respons Anda yang asertif, agresif, dan nonasertif?
Apakah konsekuensi-konsekuensi dari usaha Anda? Bagaimana perasaan
Anda setelah mencoba interaksi-interaksi yang baru ini? Jika mungkin,
bicarakanlah bagaimana Anda lakukan terhadap pertanyaan-pertanyaan ini
dengan seorang teman yang mungkin telah mengamati interaksi-interaksi
itu.
12. Harapkan beberapa keberhasilan, tetapi bukan kepuasan pribadi yang
penuh dengan usaha-usaha awal Anda. Pertumbuhan pribadi dan
berinteraksi secara lebih efektif dengan orang lain merupakan suatu proses
belajar yang berkesinambungan. Tepat kalau dikatakan, “ Tepuklah
punggung Anda untuk kekuatan-kekuatan dari pendekatan Anda; yang
Anda peroleh. Tetapi, perhatikan juga daerah-daerah yang perlu
diperbaiki, dan gunakanlah langkah-langkah di atas untuk memperbaiki
usaha-usaha asertif Anda. Langkah-langkah ini secara sistematis masuk

27
akal, tetapi tidak harus diikuti secara kaku. Setiap orang harus
mengembangkan suatu proses yang sangat baik untuk dirinya sendiri.

Contoh-contoh penerapan terapi Asertif (Semiun, 2010)


Anda terbang dari Jakarta ke Surabaya untuk menghadiri suatu seminar di
Surabaya. Di pesawat terbang, di samping Anda duduk seseorang yang menyulut
rokok, Anda segera merasa asap rokok itu mengganggu dan bau rokok itu
membuat Anda lemas. Apa yang akan Anda lakukan?
1. Respons nonasertif; Anda berusaha mengadakan pembicaraan yang
menyenangkan selama 1 jam penerbangan tanpa menyinggung sedikit pun
asap rokok tersebut.
2. Respons agresif; Anda semakin merasa terganggu dan akhirnya meledak, “
Matikan rokok itu atau kalau tidak, aku akan melakukannya, baunya
memuakkan.”
3. Respons asertif; dalam nada percakapan yang tegas, Anda langsung
memandang kepadanya dan berkata,” Asap rokok Anda menggganggu saya.
Saya akan menghargainya bila Anda menghentikannya.”
Dalam suatu pesta dengan kawan-kawan akrab Anda, dengan senda gurau
suami Anda”merendahkan” Anda secara halus dengan berkata,”Para istri selalu
cerewet.” Apa yang akan Anda lakukan?
1. Respons non asertif; Anda tidak berkata apa pun, namun merasa sakit hati dan
bersikap diam.
2. Respons agresif; Anda menatap suami Anda dan bertanya kepadanya sambil
marah,” Budi, mengapa kamu selalu mengkritikku?”
3. Respons asertif; Anda meneruskan percakapan seperti biasa, menunggu
sampai perjalanan pulang, kemudian dengan tenang menatapnya dan berkata,”
Pada waktu kita berada di pesta malam ini kamu berkata bahwa para istri
selalu cerewet. Aku merasa kamu merendahkan aku pada waktu kamu
mengatakan itu. Apa maksudmu dengan mengatakan demikian?”

28
Membantu Seseorang untuk Menjadi Lebih Asertif (Semiun, 2010)
Baik sebagai teman maupun sebagai konselor, Anda dapat menjadi orang
yang benar-benar berguna dalam membantu orang lain untuk menjadi lebih
asertif. Berikut ini akan diberikan beberapa garis pedoman yang dapat Anda
lakukan.
1. Bersama-sama mengidentifikasikan situasi atau interaksi di mana
seseorang perlu menjadi lebih asertif. Dapatkan informasi mengenai situasi
atau interaksi tersebut dari pengamatan dan pengetahuan Anda tentang orang
itu dengan bertanya kepadanya dan berbicara secara mendalam mengenai
interaksi-interaksi di mana ia merasa bahwa ia perlu menjadi lebih asertif, dan
menyuruhnya untuk memiliki buku harian untuk mencatat interaksi-interaksi
di mana ia merasa jengkel karena ia nonasertif dan interaksi-interaksi di mana
ia sangat agresif.
2. Kembangkan bersama beberapa strategi untuk orang tersebut supaya ia
menjadi lebih asertif. Tugas-tugas kecil dengan kemungkinan besar
membawa hasil yang menguntungkan harus diberikan lebih dahulu. Banyak
pembicaraan dan persiapan harus dilakukan di antara Anda berdua dalam
menyiapkan diri terhadap “peristiwa yang sesungguhnya”. Untuk seseorang
yang pada umumnya pemalu, introvert, dan nonasertif dalam semua hubungan
interpersonal, mungkin perlu menyelidiki dan menjelaskan secara terperinci
hubungan antara tingkah laku nonasertif dan perasaan-perasaan marah atau
jengkel atau harga diri rendah. Di samping itu, untuk orang-orang yang sangat
pemalu, sikap-sikap tertentu mungkin perlu ditangani sebelum
mengembangkan strategi-strategi supaya orang itu menjadi lebih asertif.
3. Bermain peran adalah suatu tehnik yang sangat berguna untuk menyiapkan
seseorang supaya menjadi asertif. Orang yang membantu lebih dahulu
memberi contoh tentang suatu strategi asertif dengan berperan sebagai orang
yang sangat pemalu. Pada saat yang sama, orang yang pemalu itu memainkan
peran orang dengan siapa dia ingin menjadi lebih asertif. Kemudian peran
ditukar, orang yang pemalu itu memainkan perannya sendiri dan orang yang
membantu memainkan peran yang lain. Suatu contoh mungkin membuat hal
ini menjadi lebih jelas. Dengan menggunakan ilustrasi yang telah disinggung

29
sebelumnya di mana seorang istri mengalami masalah dalam berinteraksi
dengan ibu mertua yang sangat kritis, orang yang membantu akan memainkan
peran lebih dahulu peran dari sang istri, memberi contoh tentang strategi
asertif. Pada saat yang sama, sang istri memainkan peran dari ibu mertua.
Kemudian peran itu ditukar, sang istri mempraktekkan bermacam-macam
strategi asertif, sedangkan orang lain membantu berperan sebagai ibu mertua.
Tehnik tersebut dipraktekkan sampai sang istri itu menjadi senang dengan hal
itu dan mengembangkan kepercayaan diri yang cukup untuk menghadapi “
peristiwa yang sesungguhnya”. Di samping keuntungan-keuntungan yang
disinggung di atas, bermain peran dapat membawa keuntungan tambahan,
yakni mereduksikan kecemasan yang dialami oleh orang yang pemalu dalam
usaha untuk menjadi asertif. Untuk tujuan umpan balik, jika mungkin
rekamlah permainan peran pada tape atau video.
4. Jelaskan 12 langkah yang telah dijelaskan di atas untuk digunakan oleh
orang itu sendiri dalam menangani situasi bermasalah yang menyangkut
asertifitas. Jika mungkin, siapkanlah bahan bacaan tentang langkah-langkah
ini.
Walaupun setiap orang harus mampu mengungkapkan dirinya sendiri,
namun ada garis pedoman tambahan yang sering bermanfaat. Suatu aturan yang
baik adalah memulai kalimat-kalimat dengan “aku merasa” daripada membuat
pernyataan-pernyataan yang mengancam atau agresif. Sering kali kita terburu-
buru mengungkapkan perasaan kita yang sebenarnya kepada orang lain dengan
akibatnya yaitu bahwa kita menciptakan banyak salah pengertian, pertengkaran,
dan perasaan sakit hati. Perhatikan contoh berikut ini tentang dua orang yang
sibuk; seorang ibu yang bekerja dan putranya yang berusia 15 tahun.
Ibu : “ John, tolong gantikan ibu mencuci piring malam ini.”
John: “ Aku tidak bisa. Besok saja kukerjakan.”
Ibu : (Mulai marah) “Kamu tidak pernah melakukan apapun untuk ibumu.
John: Aku bilang aku akan mengerjakannya besok.”
Ibu :” Dan kamu selalu lupa. Ibu meminta kamu untuk membersihkan
kamarmu dua minggu lalu, dan kamu masih belum mengerjakannya.

30
(Sekarang marah) Ibu tidak tahu apa yang harus Ibu lakukan kepadamu.
Untuk itu, kamu tidak boleh pergi camping akhir minggu ini.”
Dan, pertengkaran telah dimulai. Bandingkan dengan pendekatan berikut.
Ibu: “John, Ibu merasa sangat lelah malam ini. Ibu mengalami hari yang
buruk di kantor, dan Ibu masih harus mencuci piring dan menyeterika.
Dapatkah kamu membantu ibu dengan mencuci piring-piring ini?”
John: “ Aku ikut sedih Ibu mengalami hari yang buruk. Aku rasa memang
aku seharusnya membantu Ibu melakukan pekerjaan ini, tetapi aku harus
ikut latihan bola basket lima menit lagi. Aku akan kembali jam 8.30,
dapatkah aku kerjakan setelah itu?”
Ibu: “ Ya, kalau kamu tidak lupa.”
John: “ Tidak akan.”

5. Teknik Pengkondisian Aversif


Tehnik ini dilakukan untuk meredakan perilaku simptomatik dengan
cara menyajikan stimulus yang tidak menyenangkan (menyakitkan) sehingga
perilaku yang tidak dikehendaki (simptomatik) tersebut terhambat
kemunculannya (Latipun, 2008). Sedangkan perdefinisi, tehnik pengondisian
Aversi adalah tehnik untuk menghubungkan ketakutan dengan tingkah laku-
tingkah laku bermasalah. Teknik aversif adalah tehnik untuk membangkitkan
tingkah laku untuk “menjauh”.(Semiun, 2010).
Dalam teknik aversif, stimulus-stimulus yang menyakitkan atau
aversif diberi secara berpasangan dengan respons-respons yang tidak
dikehendaki, seperti merokok, alkoholisme, atau respons-respons seksual yang
menyimpang. Misalnya, untuk membantu menyembuhkan peminum alkohol
yang bermasalah, maka cita rasa minuman alkohol dapat diberi berpasangan
dengan kejutan listrik atau dengan obat-obat yang menyebabkan rasa mual
atau muntah (Wilson, et al., 1975). Para perokok berhasil dirawat dengan
suatu bentuk tehnik pengondisian aversif, yang disebut rapid smoking, di
mana kecepatan mengisap rokok meningkat sampai pada keadaan yang
membahayakan (Lichtenstein, 1982). Keberhasilan dari tehnik aversif
dilaporkan juga untuk bermacam-macam masalah, seperti parafilia seksual

31
(Bancroft. et al., 1966), tingkah laku-tingkah laku yang berbahaya bagi diri
sendiri pada anak-anak autis (Bucher & Lovaas, 1968), dan alkoholisme
(Vogler,et al., 1970) (Semiun, 2010). Juga dapat dipakai pada perilaku
obsesif-kompulsif dan penggunaan zat adiktif (Latipun, 2008).

6. Intervensi – intervensi Penguatan (Reinforcement)


Intervensi-intervensi penguatan bermaksud memodifikasi perilaku
dengan mengubah konsekuensinya, sehingga merefleksikan prinsip-
prinsip pengondisian operant. Untuk menggunakan penguat secara
sistematis perlu ditemukan hal-hal yang memperkuat seseorang, dengan
cara menanyakan langsung kepada klien atau orang yang mengenal klien,
mengamati hal-hal yang ditemukan selama wawancara, dan meminta
klien melakukan self monitoring.
Perkuatan Positif adalah pembentukan suatu pola tingkah laku dengan
memberikan ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkah lau yang
diharapkan muncul, dengan memberikan penguat primer (makanan,
tidur), maupun sekunder (senyuman, pujian, penghargaan).
Pembentukan Respons bertujuan mengubah tingkah laku sekarang
secara bertahap dengan memperkuat unsur-unsur kecil dari tingkah laku
baru yang diinginkan secara berturut-turut sampai mencapai tingkah laku
yang diinginkan.
Perkuatan Intermitten. Pada awalnya perkuatan-perkuatan diberikan
segera setelah tingkah laku yang diinginkan muncul, sehingga penerima
perkuatan akan belajar, tingkah laku spesifik apa yang memperoleh
ganjaran. Namun, setelah frekuensi tingkah laku yang diinginkan
meningkat, frekuensi pemberian perkuatan dapat dikurangi.
Penghapusan. Untuk menghapus tingkah laku yang maladaptif, adalah
dengan menarik perkuatan dari tingkah laku tersebut.

32
7. Token Economy
Metode token economy dapat digunakan untuk membentuk tingkah
laku, apabila persetujuan dari pemerkuat-pemerkuat yang tidak bisa
diraba lainnya tidak dapat memberi pengaruh. Tingkah laku yang
diharapkan diberikan perkuatan yang bisa diraba (kepingan logam, dsb)
yang nantinya dapat ditukar dengan hak-hak atau objek istimewa yang
diinginkan. Metode ini menyerupai kehidupan nyata, misal buruh pekerja
yang menerima upah atas hasil pekerjaan mereka.
Keuntungan token economy :
1. Simbol ekonomi tidak kehilagan nilai insentifnya
2. Simbol ekonomi dapat menjadi jeda antara tingkah laku dengan
ganjarannya
3. Simbol ekonomi dapat digunakan sebagai pengukur yang kongkret
bagi motivasi individu untuk mengubah tingkah laku tertentu
4. Simbol ekonomi menjadi bentuk perkuatan positif
5. Klien dapat memutuskan waktu dan bagaimana menggunakannya
6. Simbol ekonomi menghubungkan situasi terapeutik dengan kehidupan
sehari-hari (Corey, 2011. Jones, 2011)

8. Peniruan Melalui Penokohan (Modeling)


Perilaku model digunakan untuk: (1) membentuk perilaku baru pada
klien, dan (2) memperkuat perilaku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini
konselor menunjukkan kepada klien tentang perilaku model, dapat
menggunakan model audio, model fisik, model hidup, atau lainnya yang
teramati dan dipahami jenis perilaku yang hendak dicontoh. Perilaku yang
berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa
pujian sebagai ganjaran sosial (Latipun, 2008)
Penokohan ini dapat berupa tokoh yang nyata, dalam film atau hanya
tokoh khayalan (Gunarsa, 2010). Tokoh tehnik ini adalah Bandura, dimana
menyatakan bahwa belajar yang bisa diperoleh melalui pengalaman langsung,
bisa pula diperoleh secara tidak langsung dengan mengamati tingkah laku
orang lain berikut konsekuensi-konsekuensinya. Jadi, kecakapan-kecakapan

33
sosial tertentu bisa diperoleh dengan mengamati dan mencontoh tingkah laku
model-model yang ada. Juga reaksi-reaksi emosional yang terganggu yang
dimiliki seseorang bisa dihapus dengan cara orang itu mengamati orang lain
yang mendekati objek-objek atau situasi-situasi yang ditakuti tanpa
mengalami akibat-akibat yang menakutkan dengan tindakan yang
dilakukannnya. Pengendalian diri pun bisa dipelajari melalui pengamatan atas
model yang dikenai hukuman. Status dan kehormatan model amat berarti dan
orang-orang pada umumnya dipengaruhi oleh tingkah laku model-model yang
menempati status yang tinggi dan terhormat di mata mereka sebagai
pengamat (Corey, 2011).
Ada beberapa istilah yang muncul sehubungan dengan prosedur
penokohan ini, ialah: penokohan (modeling), peniruan (imitation) dan belajar
melalui pengamatan (observational learning), dan vicarious learning (belajar
dengan menggantikan) telah digunakan dengan pengertian yang sama dan
secara bergantian. Semuanya berarti proses berbuat yang dilakukan oleh
perilaku seseorang individu atau kelompok model sebagai stimulus terjadinya
pikiran, sikap, dan perilaku yang serupa di pihak pengamat. Melalui proses
belajar dengan mengamati, klien sendiri bisa belajar untuk menunjukkan
perbuatan yang dikehendaki tanpa harus belajar lewat trial and error (Hayat,
2010).
Pengaruh dari peniruan melalui penokohan (modeling), menurut
Bandura (yang dikutip oleh Corey,1991) ada tiga hal, yakni:
1. Pengambilan respons atau keterampilan baru dan memperlihatkan dalam
perilakunya setelah memadukan apa yang diperoleh dari pengamatannya
dengan pola perilaku yang baru. Contohnya: Keterampilan baru dalam
olahraga, dalam hubungan sosial, bahasa atau pada anak dengan
penyimpangan perilaku yang tadinya tidak mau berbicara, kemudian mau
lebih banyak berbicara.
2. Hilangnya respons takut setelah melihat tokoh (sebagai model) melakukan
sesuatu yang oleh si pengamat menimbulkan perasaan takut, namun pada
tokoh yang dilihatnya tidak berakibat apa-apa atau akibatnya bahkan

34
positif. Contoh: Tokoh yang bermain-main dengan ular dan ternyata ia
tidak digigit.
3. Pengambilan sesuatu respons dari respons-respons yang diperlihatkan oleh
tokoh yang memberikan jalan untuk ditiru. Melalui pengamatan terhadap
tokoh, seseorang terdorong untuk melakukan sesuatu yang mungkin sudah
diketahui atau dipelajari dan ternyata tidak ada hambatan. Contoh: Remaja
yang berbicara mengenai sesuatu mode pakaian di televisi
(Gunarsa, 2010).
Macam-macam penokohan menurut Corey(2011) adalah:
1. Penokohan yang nyata (live model), contohnya misalnya adalah terapis
yang dijadikan model oleh pasien atau kliennya, atau guru, anggota
keluarga atau tokoh lain yang dikagumi.
2. Penokohan yang simbolik (symbolic model), adalah tokoh yang dilihat
melalui film, video, atau media lain. Contoh: Seseorang penderita neurosis
yang melihat tokoh dalam film dapat mengatasi masalahnya dan kemudian
ditirunya.
3. Penokohan ganda (multiple model) yang terjadi dalam kelompok. Seorang
anggota dari sesuatu kelompok mengubah sikap dan mempelajari sesuatu
sikap baru, setelah mengamati bagaimana anggota-anggota lain dalam
kelompoknya bersikap. Ini adalah salah satu dari efek yang diperoleh
secara tidak langsung pada sesorang yang mengikuti terapi kelompok
(Gunarsa, 2010).
Tehnik peniruan melalui penokohan, dapat dipakai untuk menghadapi
pasien atau klien yang menderita fobia, penderita ketergantungan atau
kecanduan obat-obatan atau alcohol, bahkan dapat dipakai untuk menghadapi
penderita dengan gangguan kepribadian yang berat, agar memperoleh
keterampilan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Juga bisa
dipergunakan dalam menghadapi anak dengan fobia tertentu seperti fobia
terhadap dokter gigi, atau anak-anak yang mengalami hambatan dalam
pergaulan, misalnya di sekolah
(Gunarsa, 2010).

35
BAB III
SIMPULAN

Dilakukan asesmen awal untuk menetapkan tujuan terapi, pemerkuat-


pemerkuat yang dapat digunakan, dan menentukan teknik khusus yang akan
digunakan.Terdapat berbagai teknik utama yang dapat dipilih sesuai dengan kasus
yang ingin ditangani, yaitu relaksasi, desensitisasi sistematik,
flooding/pembanjiran, terapi asertif, pengkondisian aversi, penokohan/modelling,
intervensi penguatan, dan token economy.
Intervensi terapi perilaku dapat menjadi penanganan pilihan untuk tingkah
laku individu yang maladaptif. Terapi ini memiliki kelebihan, diantaranya tujuan
akhir terapi yang jelas, waktu pelaksanaan terapi yang relatif singkat, dan dapat
diaplikasikan terhadap berbagai masalah yang sulit diatasi dengan terapi lain.
Setelah dicapai tingkah laku tujuan, dilakukan edukasi kepada pasien
untuk mencegah kekambuhan.

36
DAFTAR PUSTAKA

Corey G., 2011, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, PT Refika
Aditama, Bandung, Hal. 199-223.

Gunarsa, S., 2010, Konseling dan Psikoterapi, Libri, Jakarta, Hal. 191-226.

Hayat, A., 2010, Teori dan Teknik Pendekatan Konseling, Media Aksara
Publising, Banjarmasin, Hal. 95-148.

Jones, N., 2011, Teori dan Praktek Konseling dan Terapi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, Hal. 449-490.

Kaplan & Sadock, 2009. Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of


Psychiatry Ninth Edition Volume Two. Existential Psychotherapies.
Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. Hal. 2916-1, Teori-Teori
Kepribadian Psikoanalisis, Behaviorisme, Humanistik, Eresco, Bandung.

Kaplan & Sadock, 2010. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri
Klinis jilid 2, Binarupa Aksara Publisher, Jakarta

Latipun., 2008, Psikologi Konseling, UMM Press, Malang, Hal. 128-145.

Maramis W. F. & Maramis A. A., 2009, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Edisi 2,
Airlangga University Press, Surabaya, Hal. 50.

Nevid J. S., Rathus S. A., Greene B., 2003, Psikologi Abnormal, Penerbit
Erlangga, Jakarta, Hal. 109.

Semiun, Y., 2010, Kesehatan Mental 3, Kanisius, Yogyakarta, Hal. 515-545.

37

Anda mungkin juga menyukai