Anda di halaman 1dari 18

TERAPI EKSPOSUR IN VIVO DALAM MENURUNKAN TINGKAT

KECEMASAN PADA PENDERITA AUTOMATONOPHOBIA

Anita Dewi

Program Studi Psikologi, UIN Sunan Gunung Djati Bandung;


Anitadewi1912@gmail.com

Abstrak
Bermain merupakan kegiatan utama yang dilakukan oleh anak-anak
untuk mempelajari banyak hal sekaligus mengembangkan kemampuannya,
termasuk bermain boneka Faktor utama penyebabnya adalah pengalaman masa lalu
dimana ketika bermain boneka, bola mata boneka ditusuk dan kemudian berputar sehingga timbul
kesan menyeramkam terhadap boneka (Barbie). Pengalaman traumatik tersebut kemudian secara
otomatis dan konsisten terhubung dengan boneka (Barbie). Automatonophobia adalah
salah satu jenis ketakutan terhadap figur yang menyerupai manusia, seperti
boneka, patung, boneka, animatronik, atau robot. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk melakukan studi kasus untuk menjelaskan terapi ekposur in vivo untuk
mengurangi kecemasan pada pasien phobia boneka barbie. Teknik sampling yang
digunakan adalah nonprobability purposive sampling. Penelitian ini menggunakan teknik
wawancara, observasi dan pemberian treatment. Subjek penelitian adalah remaja 18 tahun
penderita automatonophobia. Hasil terapi menunjukkan bahwa terapi eksposur in vivo
dapat menurunkan tingkat kecemasan yang dijumlahkan senilai 495 menjadi 68 .
Pemberian sendiri yang dilakukan dalam terapi ini cukup membantu untuk efektivitas
terapi. Maka penggunaan terapi ini disarankan untuk merunkan tingkat kecemasan pada
penderita automatonophobia. Namun sebaiknya pelatihan terapi dilanjukan pada situasi
nyata sehingga anga pada hirarki kecemasan bisa benar-benar mendekati angka 0.

Kata Kunci: Automatonophobia, terapi eksposur in vivo.


Abstract
Play is the main activity carried out by children to learn many things while developing
their abilities, including playing with dolls. The main factor is the past experience where when
playing with dolls, the puppet's eyeballs are stabbed and then spinning so that they appear to
scare the doll (Barbie). The traumatic experience is then automatically and consistently
connected to the doll (Barbie). Automatonophobia is a type of fear of figures that resemble
humans, such as dolls, statues, puppets, animatronics, or robots. The purpose of this study is to
conduct a case study to explain exposure therapy in vivo to reduce anxiety in Barbie doll phobia
patients. The sampling technique used is nonprobability purposive sampling. This study uses
interviews, observation and treatment. Subjects were automatonophobia sufferers. The
therapeutic results show that in vivo exposure therapy can reduce the anxiety level which is
added up to 495 to 68. Giving yourself done in this therapy is quite helpful for the effectiveness of
therapy. So the use of this therapy is recommended to reduce the level of anxiety in patients with
automatonophobia. However, therapeutic training should be continued in a real situation so that
the anxiety hierarchy can actually approach 0.
Keywords: Automatonophobia, exposure in vivo therapy.

1. Pendahuluan
Bermain merupakan kegiatan utama yang dilakukan oleh anak-anak
untuk mempelajari banyak hal sekaligus mengembangkan
kemampuannya, termasuk bermain boneka. Selain itu bermain boneka
juga dapat meningkatkan keterampilan sosial anak, meningkatkan
imajinasi anak, mengembangkan keterampilan Bahasa dan
Komunikasi, dan bermain merupakan salah satu konteks peting dalam
perkembangan kognitif. Menurut Freud dan Erikson, bermain membantu anak dalam
mengatasi kecemasan dan konflik-konfliknya. Bermain memungkinkan anak dapat
mengatasi masalah-masalah hidup dan memungkinkan anak untuk mengeluarkan
kelebihan energi dan melepaskan ketegangan yang tertahan. Para terapis menggunakan
terapi bermain untuk mengatasi frustasi, menganalisis konflik-konflik anak, serta cara-
cara mengatasinya (Drews, Carey, & Schaefer, 2003). Anak-anak dapat merasa kurang
terancam dan cenderung lebih dapat mengekspresikan perasaan-perasaan sebenarnya
dalam konteks bermain.
Namun demikian, kenyataannya pada salah satu kasus bermain boneka (Barbie) justru
menjadi penyebab timbulnya ketakutan. Jika ketakutan tersebut berlebihan dan tidak
rasional yang menimbulkan ketidaknyamanan dalam diri, hal tersebut perlu diselidiki.
Ketakutan yang berlebihan pada suatu hal atau fenomena disebut phobia. Phobia bisa
dikatakan dapat menghambat kehidupan orang yang mengidapnya.
Faktor utama penyebabnya adalah pengalaman masa lalu dimana ketika bermain
boneka, bola mata boneka ditusuk dan kemudian berputar sehingga timbul kesan
menyeramkam terhadap boneka (Barbie). Pengalaman traumatik tersebut kemudian
secara otomatis dan konsisten terhubung dengan boneka (Barbie) . Sehingga itulah yang
menjadi penyebab seseorang tidak suka bermain boneka (berbie) karena ia merasa takut
ketika dihadapkan dengan sebuah boneka (Barbie). Bahkan rasa takut ini juga muncul
meskipun stimulus tersebut tidak nyata ada tapi hanya dengan membayangkan saja.
Berdasarkan diagnostik ilmu psikologi/psikiatri yang tercantum dalam DSM IV
(Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder IV), phobia tersebut merupakan
bagian dari 3 jenis phobia. Pengelompokan phobia berdasarkan kategorisasi DSM-IV,
yaitu:
1. Social phobia / phobia sosial (Phobia terhadap pemaparan situasi sosial) yaitu rasa takut
akan penilaian orang lain atau takut tampil memalukan didepan publik sehingga
cenderung menghindari atau meminimalkan interaksi dengan orang lain, seperti takut jadi
pusat perhatian, orang seperti ini senang menghindari tempat-tempat ramai.
2. Agoraphobia /phobia kompleks (Phobia terhadap tempat atau situasi ramai dan terbuka)
merupakan rasa takut berada dalam tempat yang padat dan ramai (crowded, bustling
place), misalnya di kendaraan umum/ mall; orang seperti ini bisa saja takut keluar rumah.
3. Specific phobia / phobia sederhana atau spesifik (Phobia terhadap suatu obyek/keadaan
tertentu) yaitu merupakan rasa takut yang irasional terhadap objek, kondisi, atau aktivitas
tertentu. seperti pada binatang, tempat tertutup, ketinggian, dan lain lain.
Dengan demikian, maka seseorang yang memiliki phobia terhadap
boneka (Barbie) termasuk ke dalam phobia yang sederhana atau
spesifik dan istilah phobia bagi orang yang takut terhadap boneka
(Barbie) tersebut dinamakan automatonophobia. Apapun penyebabnya
orang yang menderita phobia dapat mengalami kegelisahan dan gangguan emosi yang
dapat sepenuhnya mengacaukan kemampuan untuk bekerja. Kekacauan itu timbul bila
penderita automatonophobia menampakkan gejala-gejalanya. Beberapa orang ketika
berhadapan dengan ketakutannya pada boneka (Barbie), mungkin mulai berkeringat,
langsung merasa tidak nyaman, dan berlari menjauhi boneka.
Terapi eksposur in vivo dianggap efektif dalam menangani penderita phobia spesifik,
misalnya phobia boneka (Barbie). Melalui teknik ini subjek dihadapkan pada stimulus
yang
menimbulkan rasa takut secara bertahap. Subjek akan dihadapkan pada hirarki stimulus
yang menimbulkan rasa takut sambil menerapkan relaksasi untuk membuat dirinya
nyaman. Setelah anak merasa nyaman dan tingkat ketakutannya berkurang, ia akan
dihadapkan pada stimulus yang lebih sulit.
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti akan melakukan penelitian
tentang: “Terapi Eksposur In Vivo Dalam Menurunkan Tingkat Kecemasan Pada
Penderita Automatonophobia”.

2. Tinjauan Pustaka, Kerangka Pemikiran, dan Hipotesis


2.1 Tinjauan Pustaka
Terapi Eksposur In Vivo
Terapi Eksposur In Vivo adalah bentuk Cognitive Behavior
Therapy yang digunakan untuk mengurangi rasa takut. Menurut APA
Dictionary of Psychology terapi eksposur in vivo merupakan salah satu
dari jenis terapi eksposur, umumnya digunakan untuk mengobati
individu dengan fobia, gangguan obsesif-kompulsif, dan gangguan
kecemasan lainnya, di mana klien secara langsung mengalami situasi
yang memicu kecemasan atau rangsangan dalam kondisi dunia nyata.
Eksposur In vivo lebih tepat diterapkan pada individu yang
mengalami kesulitan dalam membayangkan stimulus yang ditakuti
(Martin & Pear, 2007). Oleh karena subjek mengalami kontak langsung
dengan stimulus yang menimbulkan rasa takut, maka efektivitas
Eksposur In Vivo lebih jelas terlihat karena subjek lebih mudah
mengontrol emosi. Prosesnya, seseorang dimasukkan dalam kondisi rileks yang
mendalam, lalu dalam keadaan rileks kepada orang tersebut dihadirkan situasi-situasi
yang menimbulkan perasaan cemas melalui alam imaginasinya. Ketika perasaan cemas
muncul ketika proses berlangsung, peserta akan diminta berhenti membayangkan situasi
tersebut dan diminta untuk melakukan rileksasi. Dengan menghadirkan kondisi-kondisi
yang menimbulkan cemas secara kontinu, level kecemasan akan melemah secara
progresif, hingga akhirnya orang tersebut tidak lagi merasakan cemas terhadap stimulus-
stimulus tadi (Wolpe, 1969).
Dalam Tesis (Hegar Ayu, 2012) Terdapat tiga tahapan untuk Terapi
Eksposur In Vivo , yaitu:
1) Relaksasi
Pelatihan relaksasi merupakan strategi yang digunakan untuk menurunkan autonomic
arousal yang merupakan komponen dari rasa takut dan cemas. Ketika subjek merasa takut
atau cemas, respon fisiologis yang muncul adalah ketegangan pada otot, detak jantung
yang cepat, berkeringat dingin, atau nafas yang tersengal-sengal. Gejala-gejala tersebut
merupakan bagian dari autonomic arousal yang muncul ketika menghadapi stimulus yang
ditakuti. Dengan menggunakan prosedur relaksasi, subjek melakukan aktivitas yang
berfungsi berlawanan dengan autonomic arousal seperti menurunkan ketegangan otot,
menghangatkan tangan, bernafas dengan pelan, dll. Ketika melakukan prosedur aktivitas
yang berlawanan dengan respon otonomi tubuh, maka ketakutan akan berkurang.
2) Hirarki Stimulus yang Ditakuti
Setelah mempelajari dan menguasai prosedur relaksasi, terapis dan subjek menyusun
hirarki stimulus yang menimbulkan ketakutan terhadap boneka (Barbie). Pertama subjek
diminta untuk menuliskan berbagai stimulus yang di takuti. Setelah itu subjek memberi
rating kecemasan yang bernilai 0-100 pada masingmasing stimulus. Dari daftar stimulus
tersebut lalu, terapis menyusun stimulus mulai dari yang menimbulkan rasa takut paling
rendah sampai dengan yang paling tinggi.
3) Exposure
Setelah hirarki stimulus yang ditakuti tersusun, secara bertahap subjek mulai dihadapkan
langsung dengan stimulus-stimulus tersebut sambil menerapkan teknik relaksasi yang
telah dipelajari. Pada sesi awal, stimulus yang dihadapkan pada subjek adalah
menimbulkan ketakutan paling rendah. Setelah subjek merasa nyaman dan tingkat
ketakutannya berkurang, ia akan dihadapkan pada stimulus yang lebih sulit. Demikian
seterusnya sampai akhirnya subjek dihadapkan pada stimulus yang paling ditakuti.
Hanya saja setelah ditinjau dalam beberapa hal Terapi In Vivo Eksposur ini masih
memiliki kekurangan, terapi In Vivo Eksposur dapat mengubah perilaku tetapi tidak dapat
mengubah perasaan subjek terhadap benda yang ditakuti nya.
- Automatonophobia

Automatonophobia adalah salah satu jenis ketakutan terhadap


figur yang menyerupai manusia, seperti boneka, patung, boneka,
animatronik, atau robot. Automatonophobia adalah phobia spesifik, atau ketakutan
akan sesuatu yang menyebabkan stres dan kecemasan yang signifikan dan berlebihan dan
dapat secara negatif memengaruhi kualitas hidup seseorang. Automatonofobia
menyebabkan respons rasa takut yang otomatis dan tak terkendali pada benda yang
menyerupai manusia. Pemandangan atau pemikiran tokoh-tokoh seperti manusia ini dapat
memicu kecemasan bagi sebagian orang.

Seseorang dengan fobia telah meningkatkan deteksi ancaman visual dari


ketakutan mereka, bahkan ketika hanya melihat gambar ketakutan itu. Gejala termasuk
gejala psikologis dan fisik kecemasan . Dalam beberapa kasus penderita
automatonophobia akan mengalami gejala psikologis seperti agitasi, kegelisahan,
penurunan konsentrasi, sulit tidur, dan serangan kecemasan. Penderita automatonophobia
juga akan biasanya mengalami beberapa gejala fisik seperti peningkatan denyut jantung,
kesulitan bernapas dan sakit dada, menangis, mual, diare, berkeringat dan gemetar, serta
pusing dan disorientasi (Mariann R. Weierich & Teresa A. Treat, 2014).

Penyebab lain dari fobia adalah kejadian yang menakutkan yang terjadi pada
masa kanak-kanak. Berdasarkan penelitian Rene Garcia (2017) terkait penyebab utama
untuk pengembangan phobia. Automatonofobia berkembang karena peristiwa traumatis
yang berkaitan dengan benda berwujud seperti manusia. Peristiwa traumatis ini bisa
berupa film menyeramkan dengan tokoh-tokoh seperti manusia atau acara langsung yang
melibatkan tokoh-tokoh mirip manusia. Phobia ini dapat berkembang karena berbagai
alasan, seperti:
1) Genetika
Memiliki kerabat dengan automatonofobia dapat meningkatkan risiko Anda mengalami
fobia yang sama. Dalam satu penelitian, para peneliti menemukan bahwa pengembangan
phobia spesifik bahkan mungkin terkait dengan gen spesifik yang juga mempengaruhi
orang untuk meningkatkan gangguan kecemasan sepanjang hidup mereka.
2) Lingkungan Hidup
Penyebutan peristiwa traumatis yang terkait dengan figur mirip manusia dapat
menyebabkan automatonofobia pada beberapa individu.
3) Pengembangan Otak
Perkembangan awal otak dapat membuat seseorang lebih rentan terkena fobia jenis ini.

2.2 KerangkaPemikiran
Automatonophobia Gejala
Kegelisahan ,sulit tidur,
(Ketakutan terhadap
KONDISI AWAL boneka yang menyerupai
serangan kecemasan,
kesulitan bernapas dan sakit
manusia) dada

Pemberian Terapi
TINDAKAN In Vivo Eksposur
Relaksasi Hirarki Stimulus Eksposur

Terdapat penurunan
tingkat kecemasan
KONDISI AKHIR pada subjek

2.3 Hipotesis Penelitian


Berdasarkan latar belakang penelitian ini, hipotesis yang akan diuji kebenarannya
ialah adanya pengaruh terapi Eksposur In Vivo dalam menurunkan tingkat kecemasan
pada penderita automatonohobia.
3. Metodologi Penelitian
3.1 Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoda penelitian
eksperimen. Menurut Hadi (1985), penelitian eksperimen adalah penelitian yang
dilakukan untuk mengetahui akibat yang ditimbulkan dari suatu perlakuan yang diberikan
secara sengaja oleh peneliti.

Adapun data yang telah didapat peneliti yaitu merupakan hasil dari observasi,
wawancara dari narasumber yang bersangkutan langsung (subjek) dan reaksi subjek
terhadap treatment yang diberikan oleh peneliti.
1) Observasi
Menurut Sutrisno Hadi, pengertian observasi adalah suatu kegiatan yang sangat kompleks
yang terdiri dari berbagai macam proses, baik proses biologis maupun proses psikologis
yang lebih mementingkan proses-proses ingatan dan pengamatan. Observasi yang
dilakukan yaitu observasi sistematis, yaitu observasi yang ditentukan dulu kerangkanya
kemudian diobservasi berdasarkan kategorinya.
2) Wawancara
Lexy J. Moleong (1991:135) mendefinisikan bahwa wawancara dengan tujuan
percakapan tertentu. Dalam metode ini peneliti dan responden secara langsung (tatap
muka) untuk memperoleh informasi secara lisan dengan mendapatkan data tujuan yang
bisa menjelaskan masalah penelitian.
3) Treatment
Treatment yang diberikan yaitu terapi eksposur in vivo yang di jalani selama 6 hari
dengan 23 kali pemberian treatment.

3.2 Subjek Penelitian


Subjek dari penelitian ini yang peneliti gunakan adalah seorang remaja yang
berusia 18 tahun, anak pertama dari dua bersaudara dengan status belum menikah, subjek
memiliki phobia terhadap boneka Barbie yang disebut automatonophobia.

3.3 Teknik Sampling


Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
nonprobability purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan
sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Karena peneliti merasa sampel yang
diambil paling mengetahui tentang masalah yang akan diteliti oleh peneliti. Penggunaan
purposive sampling dalam penelitian ini yaitu bertujuan untuk dapat mengetahui
bagaimana pengaruh terapi eksposur in vivo dalam menurunkan tingkat kecemasan pada
penderita automatonophobia.

3.4 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada penelitian eksperimen ini adalah kamera handphone,
buku tulis, bolpoin, dan boneka barbie. Handphone digunakan untuk merekam keaadaan
subjek sebelum diberikan treatment dan setelah diberikan treatment . Buku tulis dan
bolpoin digunakan untuk mecatat setiap perubahan yang terjadi. Boneka Barbie
digunakan sebagai stimulus yang memicu kecemasan kepada subjek.

3.5 Prosedur Penelitian


Pada hari pertama melakukan eksperimen, peneliti tidak memberikan treatment
apapun kepada subjek yang diteliti tetapi peneliti mendatangkan langsung objek yang
ditakuti; pada hari kedua subjek diminta untuk mebuat hirarki kecemasan kemudian
melakukan relaksasi, mendengar kata Barbie dan membayangkan boneka Barbie; pada
hari ketiga subjek diminta untuk mengulang treatment pada hari kedua kemudian diminta
melihat foto dan menonton video boneka Barbie; keempat subjek kembali mengulangi
treatment pada hari ketiga kemudian peneliti memberikan stimulus yang ditakuti dalam
jarak jauh kemudian jarak dekat; pada hari terakhir subjek mengulangi treatment pada
hari keempat kemudian subjek diminta unuk memegang objek yang ditakutinya. Setiap di
akhir pemberian treatment, subjek harus menuliskan rating pada hirarki ketakutannya.
3.6 Lokasi dan Waktu
Penelitan eksperimen ini dilakukan dirumah subjek penelitian yang berada di
daerah Cipaku, Kab. Bandung Jawa Barat. Waktu pelaksanaan eksperimen pertama
dilakukan hari Jumat, 27 Maret 2020; ekperimen kedua dilakukan pada hari Sabtu, 28
Maret 2020; eksperimen ketiga dilakukan hari minggu, 29 Maret 2020; eksperimen
keempat dilakukan hari Senin, 30 Maret 2020; eksperimen kelima dilakukan pada hari
Selasa, 31 Maret 2020; eksperimen terakhir dilakukan pada hari Rabu, 1 April 2020.
Eksperimen dilakukan setiap pukul 16.00.

4. Hasil Penelitian
4.1 Identitas Narasumber dan Subjek Penelitian
Identitas objek penelitian yang dicantumkan dibawah ini merupakan identitas
yang asli dan dapat dipertanggungjawabkan.
Nama : Ayu Sofianti
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Bandung, 05 Agustus 2001
Usia : 18 tahun
atus/Pekerjaan : Belum Menikah
amat :Dsn. Ebah RT002/RW002 Desa Cipaku
Kec. Paseh Kab. Bandung
4.2 Hasil Wawancara
Untuk menggali informasi tentang subjek penelitian, maka peneliti mewawancarai
narasumber, dan berikut hasil wawancaranya :
Pertanyaan Jawaban
1 Sejak kapan anda Sejak kecil ketika saya berusia 2 tahun, saya
mengalami bermain boneka bayi bersama teman. Kemudian
automatonophobia? ketika bermain, mata boneka saya ditusuk oleh
teman, mata boneka itu jadi aneh dan memutar.
Salahnya mata boneka itu langsung saya tatap
makin lama menatap makin menyeramkan. Nah
dari situ, ibu saya menganggap ketakutan itu
bersifat sementara kemudian karena boneka bayi itu
sudah rusak, ibu saya membelikan boneka Barbie
tapi saya tetap takut sampai sekarang.
2 Apa yang anda Deg-degan, menangis, takut, tapi biasanya saya lari.
rasakan ketika Dulu waktu SD saya jadi nangis karena teman saya
melihat Barbie? yang jahil memberi Barbie kemudian malam
harinya saya mimpi Barbie dan jatuh sakit. Bahkan
sampai sekarang rasanya tidak nyaman sekalipun
hanya melihat Barbie.
3 Apa yang anda Gimana ya, ketika ada Barbie dan saya melihat
takuti dari boneka langsung takut. Tapi biasanya saya takut menatap
Barbie? matanya dan kemudian dalam mimpi saya boneka
Barbie itu jalan-jalan seolah hidup. Kadang
memakai baju yang ada gambar Barbie pun saya
merasa geli dan agak takut. Dulu di kamar sempat
ada poster Barbie tapi langsung di lepas lagi,
soalnya seperti ada yang memperhatikan.
4 Apa gejala yang SMA paling parah, saya sampai pingsan. Karena
paling parah ketika Barbie itu dilempar ke arah saya. Saya kaget dan
anda melihat taku sekali, otomatis saya langsung menangis,
Barbie? kemudian sulit bernafas, menurut keterangan dari
teman saya yang lain setelah menangis saya jatuh
pingsan.
5 Apa saja dampak Malu, karena konyol.
takut Barbie bagi
anda?
6 Apa harapan anda Saya pingin ada orang yang sama takut Barbie.
pada ketakutan Juga saya tidak ada pikiran untuk sembuh, jadi saya
anda? pasrah tidak apa-apa seumur hidup untuk takut
Barbie.
Dari hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa subjek mengalami trauma
terhadap suatu peristiwa masa lalu sehingga subjek mengalami automatonophobia.

4. 3 Proses Pemberian Treatment


Pada eksperimen pertama dilakukan observasi dan wawancara tetapi subjek belum
diberikan treatment apapun. Instrumen penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah
buku tulis, bolpoin, kamera handphone, dan boneka Barbie. Setelah melakukan
wawancara dengan subjek, peneliti kemudian memberikan boneka Barbie sebagai objek
pemicu kecemasan pada subjek. Dari eksperimen pertama ini, diperoleh hasil bahwa
subjek terlihat takut saat ia melihat melihat boneka barbie. Gejala fisik yang muncul
akibat dari ketakutannya adalah meremas tangan kemudian menjauhi objek yang ditakuti.
Pada eksperimen kedua subjek diminta untuk melakukan relaksasi sebagai treatment
pertama sebagai langkah awal untuk mengatasi kecemasan. Pemberian treatment pertama
ini subjek diminta untuk melakukan relaksasi pernafasan yaitu dengan menarik nafas
panjang kemudian menghembuskannya secara perlahan. Kemudian subjek diminta
melakukan relaksasi otot. Teknik relaksasi otot dilakukan dengan mengencangkan otot
tertentu selama 5-10 detik, kemudian melepaskannya secara perlahan. Dimulai dari otot
dahi, otot mata, otot wajah, otot leher, otot bahu, otot, perut, otot tangan dan otot kaki.
Kemudian subjek diminta untuk membuat hirarki stimulus yang menimbulkan ketakutan
dan memberi rating kecemasan yang bernilai 0-100. Pada saat menyusun hirarki
ketakutan, subjek sesekali mengigit bibirnya.
Pada eksperimen ketiga peneliti kembali memberikan tratment relaksasi
pernafasan dan relaksasi otot. Kemudian subjek diminta untuk melakukan aplikasi dari
hirarki ketakutan no 1 dan 2. Saat mendengar kata Barbie subjek mengaku takut kerena
berpikir ada Barbie disekitarnya. Ketika subjek diminta membayangan Barbie gejala fisik
akibat ketakutan yang nampak pada saat treatment ini dilakukan subjek menggigit bibir,
meremas tangan, dan mengekerutkan dahi.
Pada eksperimen keempat subjek kembali melakukan relaksasi pernafasan dan
relaksasi otot, kemudian subjek mengulangi aplikasi dari hirarki ketakutan yang
dilakukan hari sebelumnya. Setelah itu sesuai hirarki ke-3 peneliti menunjukan gambar
boneka Barbie, awalnya subjek merasa ragu untuk menatap gambar tersebut tapi
kemudian subjek berani menatap gambar walaupun hanya 3 detik. Kemudian subjek
diminta untuk menonton video yang diunduh dari internet
(https://www.youtube.com/watch?v=JI2r_WVRucU) diluar dugaan subjek justru
menikmati cerita dari tayangan tersebut walaupun sesekali meremas tangan tanpa
disadari.
Pada eksperimen kelima subjek sudah hafal urutan relaksasi, kemudian subjek
diminta untuk mengulangi aplikasi dari hirarki yang dilakukan sebelumnya. Pada
eksperimen kali ini subjek dapat menatap gambar Barbie selama 5 detik dan dapat
menonton video tanpa meremas tangan. Selanjutnya subjek didatangkan langsung boneka
Barbie dengan jarak yang jauh, subjek dapat menatap boneka Barbie selama 8 detik.
Ketika jarak antara boneka Barbie dan subjek diperkecil menjadi lebih dekat subjek mulai
meremas tangan dan berkeringat namun kemudian sedikit-sedikit subjek dapat
mengendalikan gejala tersebut dengan melakukan teknik relaksasi atas perintah peneliti.
Pada ekperimen terakhir banyak perubahan signifikan yang ditunjukan oleh
subjek; subjek dapat mengulangi treatment yang dilakukan sebelumnya dengan baik,
subjek dapat menatap gambar Barbie lebih lama, tidak meremas tangan ketika berdekatan
dengan boneka Barbie. Kemudian subjek diminta untuk memegang Barbie pada awalnya
subjek terlihat ketakutan saat peneliti memberikan perintah tersebut, kemudian peneliti
memberikan perintah untuk melakukan relaksasi pernafasan dan relaksasi otot. Setelah
itu secara bertahap subjek dapat memegang barbie mengunakan satu jari, dua jari dan
pada akhirnya bersedia dan dapat memegang Barbie selama 10 detik. Namun, subjek
mengaku masih ada sedikit rasa takut ketika subjek menatap boneka Barbie secara
langsung.

Tabel. 1 Hasil Perubahan Stimulus Ketakutan

No Hir A Angka di Akhir Pemberian Treatment A


arki n n
Ket g g
aku k k
tan a a

S S
e e
b s
e u
l d
u a
m h

t T
e e
r r
a a
p p
i i
2 2 2 3 3 1
7 8 9 0 1 /
/ / / / / 4
3 3 3 4 4 /
/ / / / / 2
2 2 2 2 2 0
0 0 0 0 0
1 Men 5 - - 2 1 0 0 0
den 0 5 5
gar
kata
barb
ie
2 Me 5 - - 4 2 1 0 0
mba 5 0 0 0
yan
gka
n
barb
ie
3 Mel 6 - - - 3 1 5 5
ihat 0 5 0
gam
bar
barb
ie
4 Men 6 - - - 1 8 3 3
onto 5 5
n
vide
o
barb
ie
5 Mel 7 - - - - 2 1 1
ihat 5 0 0 0
barb
ie
dari
jauh
6 Mel 9 - . - - 3 2 2
ihat 0 5 0 0
barb
ie
dari
dek
at
7 Me 1 - - - - . 3 3
meg 0 0 0
ang 0
barb
ie
Jum 4 6
lah 9 8
5

Grafik 1. Hasil Pengamatan Tingkat Kecemasan Subjek Pada Boneka Barbie

Chart Title
Sebelum Terapi Setelah Terapi
100
80
60
40
20
0
5. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik tersebut, dapat
diketahui bahwa adanya perubahan pada tingkat kecemasan subjek terhadap boneka Barbie, yang
berasal dari takut sekali menjadi biasa saja. Terapi eksposur in vivo berhasil menurunkan
tingkat kecemasan pada penderita phobia boneka barbie dari tingkat kecemasan awal
sebelum terapi jumlah hirarki ketakutan sebesar 495 menjadi 68 sesudah di terapi. Proses
terapi mampu menurunkan angka kecemasan pada hirarki kecemasan dimulai dari
kecemasan yang paling rendah berlinai 50 (mendengar kata barbie), lalu ke situasi
stimulus yang lebih tinggi, hingga situasi dengan kecemasan kategori cemas tinggi yakni
bernilai 100 (saat memegang barbie).
Ada tujuh situasi di terapi ini yang disusun berdasarkan keluhan dari subjek.
Proses membayangkan satu persatu situasi sepanjang sesi terapi, menyebabkan
penurunan tingkat kecemasan pada situasi berikutnya. Pada kasus ini, terapi eksposur in
vivo hanya mampu menurunkan level kecemasan sampai nilai berjumlah 68, yakni tingat
kecemasan tidak sampai pada angka 0 atau mendekati 0. Untuk mencapai angka hingga
0, pada akhir terapi adalah hal yang diinginkan, namun tidak semua kasus dapat sampai
pada angka 0. Pada kasus ini nilai akhir berjumah 68 sudah sangat berarti. Berdasarkan
hasil tersebut dapat dilihat bahwa setelah treatment diberikan terjadi perubahan angka
yakni dari yang berjumlah 495 menjadi 68 pada subjek.
Sesuai dengan saran Kazdin, yakni dalam menjelaskan keberhasilan perubahan
yang diperoleh melalui terapi dapat dilihat dari berbagai jenis data, bisa saja data yang
bersifat kualitatif berupa laporan yang dirasakan subjek penelitian. Disamping itu
observasi langsung perubahan perilaku juga bisa dijadikan data untuk menjelaskan
sejauhmana perubahan perilaku yang sudah di peroleh dalam terapi. Dalam penelitian ini
dilakukan wawancara sepanjang terapi dan juga dilakukan pengukuran perubahan
perilaku di akhir terapi. Berikut ini uraian yang bisa dijadikan data untuk menjelaskan
sejauhmana kegunaan yang diperoleh dari terapi dalam penelitian ini:
- Pendapat subjek
Subjek mengakui pada sebalum pemberian terapi membayangkan nya saja menimbulkan
rasa cemas tetapi setelah di terapi subjek menyatakan dalam dirinya ada perubahan yang
drastis dan keberanian untuk memegang barbie, meskipun masih merasakan cemas dan
belum berani menatap boneka barbie secara langsung.

6. Simpulan Dan Saran


Dari hasil penelitian dan pembahasan terapi Eksposur In Vivo dapat disimpulkan
bahwa pengaruh yang signifikan antara terapi Eksposur In Vivo dengan penurunan
tingkat kecemasan penderita automatonophobia dengan penurunan tingkat kecemasan
dari 495 menjadi 68. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan bahwa terapi Ekposur
In Vivo dapat membantu menurunkan tingkat kecemasan pada penderita
automatonophobia dapat diterima.
Selama proses terapi dapat timbul persepsi yang menyadarkan penderita tentang
pemikiran yang irasional mengenai boneka barbie. Pengalaman ini berhasil menghadapi
beberapa situasi dalam terapi, juga membentuk sikap positif dan rasa percaya diri subjek
akan kemampuannya menghadapi sumber takut. Melatih menghadapi situasi di alam
nyata setelah terapi melalui alam imaginasi, efektif membantu proses penurunan
kecemasan.
Menghindari sesuatu yang ditakutkan tidak akan menyelesaikan permasalahan
karena penderita belum tentu bisa menghidari penyebab phobianya. Diperlukan
perawatan untuk melawan ketakutan yang berlebihan tersebut. Maka penggunaan terapi
ini disarankan untuk merunkan tingkat kecemasan pada penderita automatonophobia.
Namun sebaiknya pelatihan terapi dilanjukan pada situasi nyata sehingga anga pada
hirarki kecemasan bisa benar-benar mendekati angka 0.

Referensi

Jhon W. Santrock (2012). Life Span Develepment. Erlangga


Andrews G, Crino R, Hunt C, Lampe L, Page A (1994). Specific Phobias
Patient Treatment Manual. New York: Cambridge University Press 
Hegar A (2012). PENERAPAN IN VIVO DESENSITIZATION UNTUK MENINGKATKAN
PERILAKU BERSEKOLAH PADA ANAK DENGAN SCHOOL REFUSAL BEHAVIOR
(SRB)
Yoana Theolia Angie (2019). Teknik Relaksasi untuk Mengatasi Kecemasan.
https://www.alodokter.com/teknik-relaksasi-untuk-mengatasi-kecemasan
CLINICAL PRACTICE GUIDELINEPTSD CLINICAL PRACTICE GUIDELINEPTSD
Division 12 www.apa.org/ptsd-guideline
Mariann R. Weierich & Teresa A. Treat (2012). Mechanisms of Visual Threat Detection in
Specific Phobia. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4372506/
René Garcia (2017). Neurobiology of fear and specific phobias.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5580526/
REID WILSON (2012). Instructor’s Manual for EXPOSURE THERAPY FOR PHOBIAS
Automatonophobia or Fear of Human-Like Figures
https://www.verywellmind.com/automatonophobia-2671847
Automatonophobia: All About a Fear of Human-Like Figures
https://www.healthline.com/health/anxiety/automatonophobia#bottom-line
Specific Phobias https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/specific-phobias/diagnosis-
treatment/drc-20355162

Anda mungkin juga menyukai