DISUSUN OLEH
KELOMPOK 3
2
interpretasi ini hanya dapat ditemukan oleh individu sendiri bukan oleh orang l
ain atau konselor.
Cognitive behavior therapy meyakini bahwa perilaku individu memiliki
dampak kuat terhadap pemikiran dan emosi individu, sehingga mengubah peril
aku dapat menjadi cara untuk mengubah pemikiran dan emosi individu. Cognit
ive behavior therapy juga berpendapat bahwa proses kognisi seperti pikiran, int
erpetrasi, persepsi, maupun keyakinan individu terhadap kejadian yang mereka
alami memiliki pengaruh terhadap respon, perilaku, dan emosi individu.
3
seseorang dari perilaku yang mengganggu kehidupan yang efektif sesuai
dengan nilai demokrasi tentang hak individu untuk bebas mengejar sasaran
yang dikehendaki sepanjang sasaran itu sesuai dengan kebaikan masyarakat
secara umum. Peranan seorang konselor dalam proses konseling ini, antara lain
adalah :
1. Konselor berperan sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam mendiagnosis
tingkah laku yang ditunjukan oleh konseli.
2. Konselor harus menerima dan memahami konseli tanpa mengadili atau
mengkritik.
3. Konselor juga harus dapat membuat suasana yang hangat, empatik dan
memberikan kebebasan bagi konseli untuk mengekspresikan diri.
4. Memberikan informasi dan menjelaskan proses yang dibutuhkan anggota
untuk melakukan perubahan.
5. Konselor harus memberikan reinforcement.
6. Mendorong konseli untuk mentransfer tingkah lakunya dalam kehidupan
nyata.
4
2. CBT lebih cepat dan dibatasi waktu. CBT merupakan konseling yang
memberikan bantuan dalam waktu yang relative lebih singkat dibandingkan
dengan pendekatan lainnya.
3. Hubungan antara konseli dengan konselor terjalin dengan baik. Hubungan
ini bertujuan agar konseling dapat berjalan dengan baik. Konselor meyakini
bahwa sangat penting untuk mendapatkan kepercayaan dari konseli. Namun,
hal ini tidak cukup bila tidak diiringi dengan keyakinan bahwa konseli dapat
belajar mengubah cara pandang atau berpikir sehingga akhirnya konseli
dapat memberikan konseling bagi dirinya sendiri.
4. CBT merupakan konseling kolaboratif yang dilakukan konselor dan konseli.
Konselor harus mampu memahami maksud dan tujuan yang diharapkan
konseli. serta membantu konseli mewujudkannya.
5. CBT memiliki program yang terstruktur dan terarah.
6. CBT menggunakan metode sokratik. Konselor ingin memperoleh
pemahaman yang baik terhadap hal-hal yang dipikirkan oleh konseli.
7. CBT didasarkan pada model pendidikan. CBT didasarkan atas dukungan
secara ilmiah terhadap asumsi tingkah laku dan emosional yang dipelajari.
8. CBT merupakan teori dan teknik didasarkan atas metode induktif. Metode
induktif mendorong konseli untuk memperhatikan pemikirannya sebagai
sebuah jawaban sementara yang dapat dipertanyakan dan diuji
kebenarannya.
5
1. Cognitive behavioral therapy didasarkan pada formulasi yang terus
berkembang dari permasalahan konseli dan konseptualisasi kognitif konseli.
Konselor mengkoordinasikan penemuan-penemuan konseptualisasi kognitif
konseli yang menyimpang dan meluruskannya sehingga dapat membantu
konseli dalam penyesuaian antara berpikir, merasa, dan bertindak.
2. Cognitive behavioral therapy didasarkan pada pemahaman yang sama
antara konselor dan konseli terhadap permasalahan yang dihadapi konseli.
Melalui situasi konseling yang penuh dengan kehangatan, empati, peduli,
dan orisinilitas respon terhadap permasalahan konseli akan membuat
pemahaman yang sama terhadap permasalahan yang dihadapi konseli,
kondisi tersebut akan menunjukkan sebuah keberhasilan dari konseling.
3. Cognitive behavioral therapy memerlukan kolaborasi dan partisipasi aktif.
Menempatkan konseli sebagai tim dalam konseling maka keputusan
konseling merupakan keputusan yang disepakati dengan konseli. Konseli
akan lebih aktif dalam mengikuti setiap sesi konseling, karena konseli
mengetahui apa yang harus dilakukan dari setiap sesi konseling.
4. Cognitive behavioral therapy berorientasi pada tujuan dan berfokus pada
permasalahan. Melalui evaluasi ini diharapkan adanya respon konseli
terhadap pikiran-pikiran yang mengganggu tujuannya, dengan kata lain
tetap berfokus pada permasalahan konseli.
5. Cognitive behavioral therapy berfokus pada kejadian saat ini. Konseling
dimulai dari menganalisis permasalahan konseli pada saat ini dan disini.
Perhatian konseling beralih pada dua keadaan. Pertama, ketika konseli
mengungkapkan sumber kekuatan dan melakukan kesalahannya. Kedua,
ketika konseli terjebak pada proses berpikir dan menyimpang dan keyakinan
konseli dimasa lalunya yang berpotensi merubah kepercayaan dan tingkah
laku ke arah yang lebih baik.
6. Cognitive behavioral therapy merupakan edukasi, bertujuan mengajarkan
konseli untuk menjadi terapis bagi dirinya sendiri, dan menekankan pada
pencegahan.
6
7. Cognitive behavioral therapy berlangsung pada waktu yang terbatas. Agar
proses konseli tidak membutuhkan waktu yang panjang, diharapkan secara
kontinyu konselor dapat membantu dan melatih konseli untuk melakukan
self-help.
8. Sesi Cognitive behavioral therapy yang terstruktur
9. Cognitive behavioral therapy mengajarkan konseli untuk mengidentifikasi,
mengevaluasi, dan menanggapi pemikiran disfungsional dan keyakinan
mereka.
10. Cognitive behavioral therapy menggunakan berbagai teknik untuk
merubah pemikiran, perasaan, dan tingkah laku.
7
menitikberatkan pada masa kini tanpa mengabaikan masa lalu klien.
Pendekatan CBT mengajarkan seorang individu untuk mengurangi kecemasan
yang terjadi pada individu tersebut (Sabrina, 2020). CBT juga menitikberatkan
pada restrukturisasi atau penmbenahan kognitif yang menyimpang akibat
kejadian yang merugikan dirinya baik fisik maupun psikis (Yahya & Egalia,
2016).
Aspek kognitif dalam pendekatan CBT antara lain mengubah cara
berpikirnya yang seperti apa, sikap yang muncul seperti apa, asumsi asumsi
yang dilakukan bagaimana serta memfasilitasi konseli belajar mengenali dan
mengubah kesalahan dalam aspek berpikirnya. Sedangkan aspek behavioral
dalam pendekatan CBT yaitu untuk mengubah hubungan yang salah antara
situasi permasalahan yang dihadapi dengan kebiasaan yang sering dilakukan,
seperti mengubah perilaku-perilaku yang negatif menjadi perilaku positif, serta
mampu berfikir dan bertindak sebagaimana peraturan-peraturan yang telah
ditetapkan agar menjadi individu yang bermartabat dan bemanfaat.
8
6. Menghentikan pikiran. Konseli belajar untuk menghentikan pikiran negatif
dan mengubahnya menjadi pikiran positif.
7. Desensitization systematic. Digantinya respon takut dan cemas dengan
respon relaksasi dengan cara mengemukakan permasalahan secara berulang-
ulang dan berurutan dari respon takut terberat sampai yang teringan untuk
mengurangi intensitas emosional konseli.
8. Pelatihan keterampilan sosial. Melatih konseli untuk dapat menyesuaikan
dirinya dengan lingkungan sosialnya.
9. Assertiveness skill training atau pelatihan keterampilan supaya bisa
bertindak tegas.
10. Penugasan rumah. Mempraktikan perilaku baru dan strategi kognitif antara
sesi konseling.
11. In vivo exposure. Mengatasi situasi yang menyebabkan masalah dengan
memasuki situasi tersebut.
12. Convert conditioning, upaya pengkondisian tersembunyi dengan
menekankan kepada proses psikologis yang terjadi didalam diri individu.
Peranannya didalam mengontrol perilaku berdasarkan kepada imajinasi dan
presepsi.
9
1. Berhasil menangani permasalahan yang dialami konseli.
2. Efektif, fokus, dan praktis mengatasi masalah tertentu,
3. Tidak sulit dan rumit dalam memfasilitasi konseli mengatasi masalahnya, da
n
4. Waktu yang digunakan dalam proses konseling relatif singkat.
K. Kasus
Berdasarkan hasil penemuan dilapangan maka kelompok mendapatkan
sebuah kasus anak berkebutuhan khusus dengan jenis tunarungu. Anak yang
mengalami tunarungu tersebut adalah seorang anak perempuan yang bernama
Chelsi dia adalah seorang anak perempuan dari 2 bersaudara yang mempunyai
kakak perempuan yang berinisial U, ibu yang berinisial NK dan ayah yang
berisial GT. Chelsi saat ini berusia 12 tahun dan mempunyai hobby menari
daerah bahkan menari modern (dance). Chelsi saat ini sedang menempuh
pendidikan di sekolah inklusi jenjang Sekolah Dasar Negeri 007 payang kelas
6. SD Negeri 007 payang yang berlamatkan di kampung payang rt. 01
kecamatan muara lawa, kabupaten kutai barat, provinsi kalimantan timur.
Salah anggota kelompok kami berkesempatan untuk melakukan
wawancara kepada narasumber yang berinisial NK yang juga selaku ibu orang
tua dari chelsi anak yang mengalami gangguan jenis tunarungu. Ibu NK
mengatakan bahwa chelsi awal-awal mulai mengalami gangguan terhadap
pendengaran sekitar pada usia 2-3 tahun awalnya mengira tidak akan terjadi
apa-apa pada pendengarannya, tetapi saat chelsi mulai memasuki usia 4-5 ke
atas orang tua mulai panik melihat kondisin chelsi saat itu menunjukkan sulit
berbicara bahkan sulit mendengar layaknya pada anak normal biasa.
Melihat kondisi perkembangan anak mereka chelsi yang setiap tahun
tidak memiliki perubahan pada pendengaran dan malah membuat sulit
berbicara, membuat kedua orang tua chelsi memutuskan untuk membawa
chelsi untuk dicek ke doker. Chlesi dirujuk di Rumah Sakit Umum Dareah
Abdul Wahab Sjahrabie yang berlokasi di kota samarinda. Chlesi diperiksa
oleh dokter THT, dan setelah beberapa hari diperiksa maka keluar hasil dari
10
pemeriksaan, maka dokter menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada kedua
orang tua chelsi bahwa kondisi pendengaran yang dialami oleh anak mereka
sudah terbilang cukup parah dan dokter pun menyarankan agar chelsi untuk
menggunakan alat bantu pendengar yang akan dipasang pada telinga, alat
tersebut diharapkan agar cukup membantu chelsi dalam menangkap suara atau
bunyi yang ada disekitarnya. Maka setiap ingin pergi keluar atau kesekolah
orang tua akan memasangkan alat pendengar tersebut pada chelsi.
Ibu Nk mengatakan sejak kelas 6 sd chelsi mulai menunjukkan tanda-
tanda perilaku seperti malas sekolah atau tidak ingin turun kesekolah lagi hal
itu dikarenakan chelsi merasa malu dan minder karena kondisinya tersebut,
chelsi juga sekarang terlihat sering marah-marah bahkan dia sering memukul-
mukul kakaknya jika sedang marah. Dan ibu Nk mengatakan bahwa chelsi
sering tidak masuk sekolah makanya wali kelasnya yang sering pergi kerumah
untuk antar tugas untuk chelsi kerjakann, chelsi kalau disuruh belajar atau
kerjakan tugas chelsi selalu mengatakan malas dan capek. Maka dari itu
ibunya NK mengatakan bahwa dialah yang sering membantu untuk
mengerjakan tugas chelsi.
L. Penyelesaian Kasus
Untuk saat ini penanganan yang dapat dilakukan oleh orang tua chelsi
kepada anak mereka chelsi yaitu dengan memberikan alat bantuan pendengar
yang disarankan oleh dokter, dan sebagai orang tua mereka mengharapkan
semoga dengan adanya alat bantu pendengar ini bisa membatu anaknya chelsi
dapat sedikit mendengar, dan juga orang tua chelsi serta keluarga besar yang
ada juga terus memberikan dukungan doa dan semangat serta motivasi-
motivasi kepada chelsi agar dia tetap semangat disekolah maupun
dikehidupannya sehari-hari.
Pemberian treatment atau bimbingan kepada klien ini menggunakan
empat tahapan, yaitu sebagai berikut:
1. Tahap Pembukaan
11
Pada tahap pembukaan ini terdapat attending, dimana konselor melakukan
pendekatan kepada konseli atau melibatkan diri dan menyampaikan tujuan
yang akan dicapai. Sebelum melakukan penanganan berupa pemberian
layanan konseling, konselor perlu membangun rapport atau menciptakan
hubungan yang baik dengan konseli. Membangun rapport dapat dilakukan
dengan memanfaatkan keterampilan attending yang dimiliki oleh konselor.
Attending adalah cara yang menunjukkan bagaimana konselor menyiapkan
diri, bersikap, mendengarkan, memberikan perhatian kepada konseli
sehingga konseli merasa aman, nyaman, dan diperhatikan oleh konselor.
Bentuk attending yang dapat konselor lakukan seperti menyambut konseli
ketika datang ke ruang konseling, memberikan senyuman yang tulus, jabat
tangan jika memungkinkan, dan mempersilahkan konseli untuk duduk. Agar
hubungan antara konselor dengan konseli semakin baik, konselor dapat
menanyakan nama, kabar, hobi, alamat, dan hal-hal ringan lainnya yang
sekiranya tidak menyinggung dan dapat membangun hubungan yang lebih
baik antara konselor dengan konseli. Jika konselor mempunyai keterampilan
attending yang baik, maka akan tercipta hubungan yang baik antara konselor
dengan konseli. Dengan terciptanya hubungan yang baik antara konselor
dengan konseli, maka diharapkan konseli akan lebih terbuka kepada
konselor dalam mengutarakan masalahnya
2. Tahap Peralihan
Konselor menanyakan kepada konseli tentang kesiapan mengikuti
bimbingan. Apakah ada paksaan atau tidak dalam melakukan bimbingan.
Sebelum memasuki tahap inti konselor juga memberikan permainan agar
konseli tidak merasa jenuh selama bimbingan nanti. Pada tahap ini
diguanakan agar koselor mengetahui kesiapan koseli dalam mengikuti
kegiatan koseling yaitu pada tahap inti atau pemberian treatment.
3. Tahap Inti
Pada tahap ini adalah konselor memberikan treatment kepada konseli,
dimana konselor menggali masalah konseli, menggali pikiran yang salah,
dan perilaku yang salah. Setelah penggalian informasi dirasa cukup maka
12
selanjutnya konselor menata pandangan konseli tentang pikiran dan prilaku
yag dimiliki konselor pada saat ini merupakan pikira yang tidak bennar,
konseli diajak utuk mematahkan pikiran dan prilaku tersebut dega berbagai
cara seperti pemberian motivasi tentang bagaiamana seorag yang memiliki
nasib yang sama dengan dirinya mampu utuk mengembangkan dirinya
dilingkungan masyarakat dan pemberian role modell sebagai bentuk contoh
nyata agar menambah motivasi konseli.
4. Tahap Pengakhiran
Konselor memberikan tugas rumah kepada konseli, tugas rumah berupa
bagaimana konseli membuat laporan tentang konnseli mampu untuk
merubah pikiran serta prilaku yang tidak benar.
13
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Cognitive behavioral therapy (CBT) adalah perubahan dalam berpikir
yang dapat menghasilkan perubahan dalam perilaku individu. CBT
menitikberatkan pada masa kini tanpa mengabaikan masa lalu klien.
Pendekatan CBT didasarkan pada alasan teoritis mengenai cara manusia
merasa dan berperilaku, yang ditentukan oleh bagaimana mereka memandang
dan menstruktur pengalaman mereka sendiri. Fokus utama dari konseling CBT
adalah untuk membantu konseli dalam menguji dan merestrukturisasi
keyakinan inti yang mereka miliki.
Fungsi dan peran konselor juga dijelaskan untuk mengaplikasikan prinsip
dari mempelajari manusia untuk memberi fasilitas pada penggantian perilaku
maladaptif dengan perilaku yang lebih adaptif. Langkah penting dalam
memahami masalah partisipan dengan lebih tepat berdasarkan pendekatan
CBT, perlu dilakukan analisa fungsional atau analisa masalah berdasarkan
prinsip “S-O-R-C” yakni stimulus, Organism, response, dan Consequences.
B. Saran
Saran dari penulis untuk pembaca diharapkan materi yang kami bahas ini
bisa menambah wawasan pembaca sekaligus bisa memberikan pemahaman
bagi calon konselor terhadap konseling inklusi khususnya dengan
menggunakan Cognitive behavioral therapy (CBT) ini.
13
DAFTAR PUSTAKA
14