Anda di halaman 1dari 20

TUGAS KULIAH PSIKOTERAPI

PROSES TERAPEUTIK TERAPI PERILAKU

Oleh :

Joko Susanto

Supervisor :

Prof. Dr. dr. Aris Sudiyanto, SpKJ (K)

PPDS PSIKIATRI FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET/ RSUD Dr.MOEWARDI
SURAKARTA
2021
HALAMAN PERSETUJUAN

Naskah untuk presentasi tugas kuliah psikoterapi “Proses Terapeutik Terapi


Perilaku”

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada


Tanggal.........Bulan..........................Tahun 2021

Pembimbing Tanda Tangan

Prof. Dr. dr. Aris Sudiyanto, Sp.KJ (K) .....................................

Sie Ilmiah

....................................................... ......................................

1
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi : Tugas Kuliah Psikoterapi “Proses Terapeutik Terapi Perilaku”


Nama : Joko Susanto

Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Psikiatri


Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret - RSUD Dr. Moewardi
Surakarta

Telah disetujui dan disahkan pada

Tanggal...... Bulan..................... 2021


Oleh Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran UNS/RSUD Dr. MOEWARDI
Surakarta

Supervisor

Prof. Dr. dr. Aris Sudiyanto, Sp.KJ (K)

2
PROSES TERAPI PERILAKU

PENDAHULUAN

Behaviorisme adalah suatu pandangan ilmiah tentang tingkah laku


manusia. Dalil dasarnya adalah bahwa tingkah laku itu tertib dan bahwa
eksperimen yang dikendalikan dengan cermat akan menyingkapkan hukum-
hukum yang mengendalikan tingkah laku. Behaviorisme ditandai oleh sikap
membatasi metode-metode dan prosedur-prosedur pada data yang dapat diamati.
Pendekatan behavioristik tidak menguraikan asumsi-asumsi filosofis
tertentu tentang manusia secara langsung. Setiap orang dipandang memiliki
kecenderungan positif dan negatif yang sama. Manusia pada dasarnya dibentuk
dan ditentukan oleh lingkungan sosial budayanya. Segenap tingkah laku manusia
itu dipelajari. Meskipun berkeyakinan bahwa segenap tingkah laku pada dasarnya
merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan lingkungan dan faktor-faktor genetik,
para behavioris memasukan pembuatan putusan sebagai salah satu bentuk tingkah
laku. Pandangan para behavioris tentang manusia seringkali didistorsi oleh
penguraian yang terlampau menyederhanakan tentang individu sebagai bidak
nasib yang tak berdaya yang semata-mata ditentukan oleh pengaruh-pengaruh
lingkungan dan keturunan dan orang dikerdilkan menjadi sekedar organisme
pemberi respons. Terapi tingkah laku kontemporer bukanlah suatu pendekatan
yang sepenuhnya deterministik dan mekanistik, yang menyingkirkan potensi para
klien untuk memilih. Hanya “para behavioris yang radikal” yang menyingkirkan
kemungkinan menentukan diri dari individu.
Nye (1975), dalam pembahasannya tentang behaviorisme radikalnya
Skinner menyebutkan bahwa para behavioris radikal menekankan manusia
sebagai subjek yang dikendalikan oleh kondisi-kondisi lingkungan. Pendirian
deterministik mereka yang kuat berkaitan erat dengan komitmen pencarian pola-
pola tingkah laku yang dapat diamati. Mereka menjabarkan melalui rincian
spesifik berbagai faktor yang dapat diamati yang mempengaruhi belajar serta
membuat argumen bahwa manusia dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan
eksternal. (Corey, 2010)

3
Pandangan “behavioris radikal” tidak memberi tempat kepada asumsi yang
menyebutkan bahwa tingkah laku manusia dipengaruhi oleh pilihan dan
kebebasan. Filsafat behavioristik radikal menolak konsep tentang individu sebagai
agen bebas yang membentuk nasibnya sendiri. Situasi-situasi dalam dunia objektif
masa lampau dan hari ini menentukan tingkah laku. Lingkungan adalah
pembentuk utama keberadaan manusia.
John Watson, pendiri behaviorisme adalah seorang behavioris radikal yang
pernah menyatakan bahwa ia bisa mengambil sejumlah bayi yang sehat dan
menjadikan bayi-bayi itu menjadi apa saja yang diinginkannya -menjadi dokter,
ahli hukum, seniman, perampok, pencopet- melalui bentukan lingkungan. Jadi,
Watson menyingkirkan dari psikologi konsep-konsep seperti kesadaran,
determinasi diri, dan berbagai fenomena subjektif lainnya. Ia mendirikan suatu
psikologi tentang kondisi-kondisi tingkah laku yang dapat diamati. Marquis
(1974) menyatakan bahwa terapi tingkah laku itu mirip keahlian teknik dalam arti
ia menerapkan informasi-informasi ilmiah guna menemukan pemecahan-
pemecahan teknis atas masalah-masalah manusia. Jadi, behaviorisme berfokus
pada bagaimana orang-orang belajar dan kondisi-kondisi apa saja yang
menentukan tingkah laku mereka. (Corey, 2010)
Berdasarkan uraian tentang teori-teori behaviorisme dapat ditekankan di
sini bahwa perilaku yang tampak adalah lebih utama dibandingkan dengan
perasaan atau sikap individu. Kalimat seseorang yang mengatakan dirinya : “saya
merasa tidak bahagia, saya kesepian” dalam pandangan behaviorisme sebenarnya
merupakan manifestasi dari keinginannya untuk dapat berperilaku yang lebih
berhasil. Dengan demikian memahami kepribadian harus melihat apa yang terjadi
dengan perilakunya (Latipun, 2008).
Terapi tingkah laku berbeda dengan sebagian besar pendekatan terapi lainnya,
ditandai oleh :
1. Pemusatan perhatian kepada tingkah laku yang tampak dan spesifik,
2. Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment,
3. Perumusan prosedur treatment yang spesifik yang sesuai dengan masalah,
4. Penaksiran objektif atas hasil-hasil terapi.

4
Terapi tingkah laku tidak berlandaskan sekumpulan konsep yang
sistematik, juga tidak berakar pada suatu teori yang dikembangkan dengan baik.
Sekalipun memiliki banyak teknik, terapi tingkah laku hanya memiliki sedikit
konsep. Terapi ini merupakan suatu pendekatan induktif yang berlandaskan
eksperimen-eksperimen dan menerapkan metode eksperimental pada proses
terapeutik. Pertanyaan terapis boleh jadi, “Tingkah laku spesifik apa yang oleh
indvidu ini ingin diubah dan tingkah laku baru yang bagaimana yang ingin
dipelajarinya?” kekhususan ini membutuhkan suatu pengamatan yang cermat atas
tingkah laku klien. Penjabaran-penjabaran yang kabur dan umum tidak bisa
diterima; tingkah laku yang oleh klien diinginkan berubah, dispesifikasi. Yang
juga penting adalah bahwa kondisi-kondisi yang menjadi penyebab timbulnya
tingkah laku masalah diidentifikasi sehingga kondisi-kondisi yang baru bisa
diciptakan guna memodifikasi tingkah laku. Urusan terapeutik utama adalah
mengisolasi tingkah laku masalah dan kemudian menciptakan cara-cara untuk
mengubahnya.
Karena tingkah laku yang dituju dispesifikasi dengan jelas, tujuan-tujuan
treatment dirinci dan metode-metode terapeutik diterangkan, maka hasil-hasil
terapi menjadi dapat dievaluasi. Terapi tingkah laku memasukkan kriteria yang
didefinisikan dengan baik bagi perbaikan atau penyembuhan. Karena terapi
tingkah laku menekankan evaluasi atas keefektifan teknik-teknik yang digunakan,
maka evolusi dan perbaikan yang berkesinambuangan atas prosedur-prosedur
treatment menandai proses terapeutik. (Corey, 2010)
Perilaku individu terbentuk karena berinteraksi dengan lingkungannya.
Perilaku menjadi kuat jika mendapat ganjaran, atau sebaliknya perilakunya
melemah jika mendapat hukuman. Kecenderungan tingkah laku tertentu akan
selalu terkait dalam hubungannya dengan ganjaran atau hukuman.
Kebiasaan individu dapat terjadi kalau dia mendapatkan ganjaran.
Ganjaran menjadi bagian terpenting bagi upaya pembentukan perilaku pada
individu. Tanpa stimulus perilaku tidak dapat dipertahankan dan terjadi
extinction, yaitu penurunan kekuatan perilaku karena tidak memperoleh stimulus
sebagaimana yang diharapkan individu.

5
Hukuman memiliki fungsi yang bertentangan dengan ganjaran. Pemberian
hukuman kepada individu dapat mengurangi atau meniadakan perilaku tertentu.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perilaku dapat dimanipulasi dengan
penyajian ganjaran dan hukuman. Manipulasi penyajian stimulus ini dapat
menggunakan penjadwalan baik yang dilakukan secara kontinyu maupun
menggunakan interval tertentu.
Penganut paham behavioral berkeyakinan bahwa perilaku dapat
dimodifikasi dengan mempelajari kondisi dan pengalaman. Mereka memberikan
perhatian pada perilaku yang dapat dibuktikan secara empirik dan dapat diukur.
Perilaku yang tidak dapat memenuhi persyaratan untuk dapat diamati dan diukur
itu menjadi hal yang tidak penting bahkan diabaikan. Oleh karena itu, dinamika
emosional dan konsep diri sebagaimana yang menjadi perhatian dalam pendekatan
lainnya seperti yang dianut oleh Freudian dan Rogerian tidak menjadi kajian
pendekatan behavioral. (Latipun, 2008)
Berdasarkan teori tentang perilaku sebagaimana yang dikemukakan ahli-
ahli behavioral, konselor behavioral menurut Dustin dan George dalam
menjalankan fungsinya berdasarkan atas asumsi-asumsi berikut :
1. Memandang manusia secara intrinsik bukan sebagai baik atau buruk, tetapi
sebagai hasil dari pengalaman yang memiliki potensi untuk segala jenis
perilaku.
2. Manusia mampu untuk mengkonsepsikan dan mengendalikan perilakunya.
3. Manusia mampu mendapatkan perilaku baru.
4. Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain sebagaimana perilakunya
juga dipengaruhi orang lain. (Latipun, 2008)

Tujuan-tujuan Terapeutik
Tujuan konseling dan psikoterapi menduduki suatu tempat yang sangat
penting dalam terapi tingkah laku. Klien menyeleksi tujuan-tujuan terapi yang
secara spesifik ditentukan pada permulaan proses terapi. Penaksiran terus-menerus
dilakukan sepanjang terapi untuk menentukan sejauh mana tujuan-tujuan
terapeutik itu secara efektif tercapai.

6
Tujuan umum terapi tingkah laku adalah menciptakan kondisi-kondisi
baru bagi proses belajar. Dasar alasannya ialah bahwa segenap tingkah laku
adalah dipelajari (learned). Termasuk tingkah laku yang maladaptif. Jika tingkah
laku neurotik learned, maka ia bisa unlearnes (dihapus dari ingatan), dan tingkah
laku yang lebih efektif bisa diperoleh. Terapi tingkah laku pada hakikatnya terdiri
atas proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif dan pemberian
pengalaman-pengalaman belajar yang di dalamnya terdapat respon-respon yang
layak, namun belum dipelajari.
Ada beberapa kesalahpahaman yang menyangkut masalah tentang tujuan-
tujuan dalam terapi tingkah laku. Salah satu kesalahpahaman yang umum adalah
bahwa tujuan terapi semata-mata menghilangkan gejala-gejala gangguan tingkah
laku dan bahwa setelah gejala-gejala itu terhapus, gejala-gejala baru akan muncul
karena penyebab-penyebab yang mendasarinya tidak ditangani. Hampir semua
terapis tingkah laku akan menolak anggapan yang menyebutkan bahwa
pendekatan mereka hanya menangani gejala-gejala, sebab mereka melihat terapis
sebagai pemikul tugas menghapus tingkah laku yang maladaptif dan membantu
klien untuk menggantikannya dengan tingkah laku yang lebih adjustive (dapat
disesuaikan).
Kesalahpahaman umum lainnya adalah bahwa tujuan-tujuan klien
ditentukan dan dipaksakan oleh terapis tingkah laku. Tampaknya ada unsur
kebenaran dalam anggapan tersebut, terutama jika menyinggung beberapa situasi,
misalnya situsasi di Rumah Sakit Jiwa. Bagaimanapun, kecenderungan yang ada
dalam terapi tingkah laku modern bergerak ke arah keterlibatan klien dalam
menyeleksi tujuan-tujuan dan memandang hubungan kerja yang baik antara
terapis dan klien sebagai diperlukan (meski dipandang belum cukup) guna
memperjelas tujuan-tujuan terapi dan bagi kerja yang kooperatif ke arah
pencapaian tujuan-tujun terapi tersebut.
Jika para tokoh perintis tingkah laku tampaknya menitikberatkan
kecakapan terapis dalam menetapkan tujuan-tujuan dan tingkah laku, para
pempraktek kontemporer memberikan penekanan pada keaktifan klien dalam
memilih tujuan-tujuan dan pada keterlibatan aktif klien dalam proses terapi.

7
Mereka menjelaskan bahwa terapi tidak bisa dipaksakan kepada klien yang tidak
berkesediaan dan bahwa terapis dan klien perlu bekerja sama untuk mencapai
sasaran-sasaran bersama. Dalam membahas masalah-masalah yang berhubungan
dengan praktek terapi tingkah laku yang mutakhir ini, Goldstein mengajukan
komentar sebagai berikut:
“Tak pelak lagi, proses terapi tingkah laku bukan pengondisian ulang yang terang-
terangan atas pasien. Terapis tidak bisa memaksakan pengondisian atau belajar
ulang kepada siapapun, sebab teknik-teknik yang paling manjur pun akan tidak
berguna tanpa kerja sama dan motivasi pasien. Teknik-teknik terapeutik apapun
yang digunakan harus diletakkan dalam konteks suatu “hubungan kerja” antara
terapis dan pasien. Hubungan kerja adalah suatu hubungan di mana terapis dan
pasien bekerja sama ke arah tujuan yang telah disepakati bersama. Jika ini tidak
dilakukan, maka sebagaimana ditunjukkan oleh banyak kasus, terapi akan menjadi
tidak efektif”.
Tujuan-tujuan yang luas dan umum tidak dapat diterima oleh para terapis
tingkah laku. Contohnya, seorang klien mendatangi terapi dengan tujuan
mengaktualkan diri. Tujuan umum semacam itu perlu diterjemahkan ke dalam
perubahan tingkah laku yang spesifik yang diinginkan klien serta dianalisis ke
dalam tindakan-tindakan spesifik yang diharapkan oleh klien sehingga baik terapis
maupun klien mampu menaksir secara lebih kongkret kemana dan bagaimana
mereka bergerak. Misalnya, tujuan mengaktualkan diri bisa dipecah ke dalam
beberapa subtujuan yang lebih kongkret sebagai berikut : (1) membantu klien
untuk menjadi lebih asertif dan mengekspresikan pemikiran-pemikiran dan hasrat-
hasratnya dalam situasi-situasi yang membangkitakan tingkah laku asertif, (2)
membantu klien dalam menghapus ketakutan-ketakutan yang tidak realistis yang
menghambat dirinya dari keterlibatan dalam peristiwa-peristiwa sosial, dan (3)
konflik batin yang menghambat klien dari pembuatan putusan-putusan yang
penting bagi kehidupannya.
Krumboltz dan Thorensen telah mengembangkan tiga kriteria bagi
perumusan tujuan yang bisa diterima dalam konseling tingkah laku sebagai
berikut : (1) Tujuan yang dirumuskan haruslah tujuan yang diinginkan oleh klien,

8
(2) konselor harus bersedia membantu klien dalam mencapai tujuannya, (3) harus
terdapat kemungkinan untuk menaksir sejauh mana klien bisa mencapai
tujuannya. Akan tetapi, bagaimana jika klien tidak bisa mendefinisikan
masalahnya dengan jelas dan hanya bisa menghadirkan tujuan-tujuan yang sama?
Krumboltz dan Thorensen sepakat bahwa pada umumnya klien tidak menjabarkan
masalah-masalah dalam bahasa yang sederhana dan jelas. Tugas terapis adalah
mendengarkan kesulitan klien secara aktif dan empatik. Terapis memantulkan
kembali apa yang dipahaminya untuk memastikan apakah persepsinya tentang
pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaan klien benar. Lebih dari itu, terapis
membantu klien menjabarkan bagaimana dia akan bertindak di luar cara-cara yang
ditempuh sebelumnya. Dengan berfokus pada tingkah laku yang spesifik yang ada
pada kehidupan klien sekarang, terapis membantu klien menerjemahkan
kebingungan yang dialaminya ke dalam suatu tujuan kongkret yang mungkin
untuk dicapai.
Tujuan terapi perilaku (Jones, 2011) adalah:
1. Mengatasi defisit dalam repertoar perilaku
2. Memperkuat perilaku adaptif
3. Melemahkan atau mengeliminasi perilaku maladaptif
4. Tidak adanya reaksi kecemasan yang bersifat melemahkan
5. Kapasitas untuk relaks
6. Kemampuan untuk bersifat tegas terhadap diri sendiri
7. Ketrampilan sosial yang efektif
8. Keadekuatan fungsi seksual
9. Kapasitas pengendalian diri (self control)
Tujuan-tujuan diatas adalah untuk individu. Diantara para teoritisi
perilaku, Skinner secara khusus memfokuskan pada kebutuhan akan kelompok
untuk mendesain lingkungan yang manusianya dapat berperilaku dengan cara
yang lebih memperkuat (reinforcing). Jadi, tujuan perilaku lainnya dapat
difokuskan pada kelompok dan memasukkan kapasitas untuk self-control
kelompok, baik melalui shaping konsekuensi lingkungan maupun self-relation
kognitif.

9
Teori dasar Metode Terapi Perilaku
 Perilaku maladaptif dan kecemasan persisten telah dibiasakan (conditioned)
atau dipelajari (learned).
 Terapi  untuk perilaku maladaptif adalah dengan penghilangan kebiasaan
(deconditioning) atau ditinggalkan (unlearning).

 Untuk menguatkan perilaku adalah dengan pembiasaan perilaku (operant and


clasical conditioning).

Proses Psikoterapi Perilaku


I. Asesmen
Sejak awal terapis perilaku selalu melaksanakan asesmen perilaku, yang
kadang-kadang dikenal sebagai analisis fungsional, untuk mengidentifikasi dan
memahami bidang-bidang permasalahan klien (Cormier&Nurius,2002; wolpe,
1990). Assesmen perilaku yang adekuat memungkinkan terapi untuk
mengidentifikasi konteks, anteseden, dan konsekuensi respons yang ingin mereka
tangani , sementara assesmen perilaku yang tidak adekuat dapat membuat metode-
metode yang salah diterapkan pada masalah yang salah pula. Setelah sesi-sesi
pertama, assesmen perilaku dimaksudkan untuk membantu baik dalam
mengevaluasi efektivitas penanganan maupun dalam memutuskan untuk
melanjutkan, tidak melanjutkan, atau mengubah penanganan.
Jika klien membuat pernyataan seperti “Rasa-rasanya belakangan ini saya
sangat depresi”, “Saya rasa saya tidak punya banyak kawan” atau “Saya sangat
tegang di tempat kerja”, terapis perilaku mengupayakan analisis yang didasarkan
pada asesmen SRC, di mana S mengacu pada Stimulus atau anteseden-anteseden
situasional, R mengacu pada variabel-variabel respons, dan C mengacu pada
konsekuensi atau variabel-variabel konsekuen. Maksud analisis SRC adalah untuk
mencari variabel-variabel kunci yang mengontrol perilaku klien. Kadang-kadang
ini mungkin tersembunyi, misalnya, agresi di tempat kerja mungkin merefleksikan
hubungan perkawinan yang buruk. Asesmen perilaku dimaksudkan untuk
spesifitas yang sangat tinggi. Sebagai contoh, dalam menganalisis sebuah respons,

10
informasi tentang durasi, frekuensi, generalitas, dan kekuatan respons seharusnya
dikumpulkan. Terapis jarang melontarkan pertanyaan “mengapa”. Oleh karena
pertanyaan yang dimulai dengan bagaimana, kapan, di mana, dan apa lebih tepat.
(Wilson, 2005)
Terapis perilaku berbeda dalam hal sejauh mana mereka mengumpulkan
bahan historis tentang bagaimana presenting concerns klien dipelajari, meskipun
hal ini mungkin penting dalam mendapatkan gambaran yang akurat. (Wolpe,
1990). Misalnya, mengumpulkan bahan historis tentang presenting concerns¸
kehidupan keluarga, perkembangan pendidikan dan pekerjaan, dan perkembangan
seksual klien. Ia juga mengeksplorasi hubungan-hubungan sosial klien saat ini.
Elemen-elemen lainnya dalam asesmen awal termasuk observasi tentang
perilaku verbal dan nonverbal klien. Orang-orang yang kikuk secara sosial pun
mungkin mendemonstrasikan paling tidak sebagian masalahnya selama
wawancara. Terapis mencatat aset pribadi klien dan caranya mengatasi dan
menghindari masalah. Selain itu, terapis mengakses motivasi klien untuk berubah,
semua pengaruh dilingkungannya yang mungkin menghambat atau membantu
perubahan, dan ekspektasi klien tentang kemungkinan berubah. Terapis juga
mencatat hal yang dianggap memperkuat, misalnya perhatian pribadi atau pujian,
karena itu mungkin berguna untuk membangkitkan perubahan perilaku.
Ada sejumlah sumber tambahan untuk data asesmen, salah satu atau
beberapa di antaranya mungkin berguna baik untuk menghasilkan hipotesis yang
lebih akurat tentang tujuan penanganan dan untuk mengumpulkan informasi basal
untuk mengukur kemajuan dan hasil terapi.
II. Observasi behavioral
Kadang-kadang terapis mengumpulkan informasi perilaku dengan minta
klien untuk melakukan role-playing (memainkan peran) situasi yang kliennya
mengalami kesulitan; terapis memainkan pihak yang lain. Pada kesempatan lain
terapis bersama klien masuk ke berbagai lingkup kehidupan nyata untuk
mengamati perilakunya. Salah satu contohnya mungkin pergi ke restoran bersama
klien yang mengalami kesulitan untuk makan dan minum di depan umum,
kemudian mengamati dan mendiskusikan perilaku dan emosi klien selama ia

11
melakukan itu atau tidak lama setelah itu. Akan tetapi, klien mungkin berperilaku
dengan cara yang berbeda dari biasanya dengan kehadiran terapis.
Bentuk observasi lain dalam lingkup kehidupan nyata adalah
mengumpulkan informasi dari orang-orang yang berinteraksi dengan klien dalam
kehidupan sehari-hari mereka, misalnya orang tua, guru dalam kasus anak-anak,
atau pasangan dalam kasus orang yang sudah menikah. Terapis perlu
mempertimbangkan sejauh mana perilaku yang dilaporkan mewakili perilaku
klien dalam situasi tertentu dan potensi kontaminasi oleh bisa observer. Jika klien
tahu bahwa dirinya sedang diobservasi, klien mungkin akan berperilaku berbeda.
III. Self Monitoring (Pengawasan Diri)
Klien dapat diminta untuk mengumpulkan data dasar dengan memonitor
perilakunya saat ini. Salah satu caranya adalah meminta klien untuk mengisi
lembar catatan harian tiga-kolom yang menginvestigasi elemen-elemen SRC dari
perilaku yang dimonitor dengan cara masing-masing kolom diberi judul situasi
(S), respons (R), dan konsekuensi (C). Catatan monitoring perilaku harian itu bisa
dibuat selama seminggu atau berapapun lamanya waktu yang dibutuhkan untuk
mendapatkan informasi yang relevan.
IV. Kuesioner
Terapis dapat meminta klien untuk mengisi kuesioner laporan dirinya.
Ukuran-ukurannya dapat difokuskan pada perilaku terbuka (bagaimana klien
bertindak), pada emosi (bagaimana klien merasakan), dan pada persepsi terhadap
lingkungannya. Mungkin tipe kuesioner yang paling lazim digunakan adalah
kuesioner yang meminta klien untuk menandai situasi-situasi yang menyebabkan
kecemasannya. Salah satu contohnya adalah Fear Survey Schedule dari Wolpe
dan Lang (1969) yang memberi pada klien lima kategori, mulai dari “Sama sekali
tidak” sampai “Amat Sangat”, untuk merating seberapa jauh gangguan yang
dirasakannya saat ini (Wolpe, 1990). Salah satu kuesioner yang difokuskan pada
laporan perilaku sendiri adalah Assertive Inventory dari Alberti dan Emmons
(2001), dengan item-item seperti “Apakah Anda bersuara keras atau memprotes
ketika seseorang mengambil tempat Anda dalam antrean?”. Jenis kuesioner lain,
yang difokuskan pada kegiatan, peristiwa dan pengalaman yang dianggap

12
rewarding oleh klien, adalah Pleasant Events Schedule dari MacPhillamy dan
Lewinsohn (Lewinsohn et al., 1986). Kuesioner semacam ini berguna untuk
mengidentifikasi beberapa penguat aktual dan potensial yang dapat digunakan
bersama penanganan.
Sumber data asesmen lainnya adalah : informasi medis, termasuk
mendapatkan asesmen medis jika ada kecurigaan masalah berbasis fisiologis atau
masalah dengan implikasi medis; dan catatan dari penanganan psikologis atau
psikiatris sebelumnya.
V. Penanganan
Bergantung tujuan di akhir asesmen perilaku, terapi perilaku menawarkan
beragam intervensi penanganan, seperti prosedur reinforcement (penguatan),
desensitisasi, exposure (paparan) dan latihan asertif. Tugas pekerjaan rumah
adalah bagian reguler dari terapi perilaku.
Asesmen perilaku dan monitoring terjadi di sepanjang perjalanan terapi
perilaku dan bukan hanya di awal saja. Salah satu fungsi monitoring semacam itu
adalah untuk melihat apakah tujuan penanganannya sedang dicapai. Fungsi
lainnya adalah untuk melihat apakah terapis atau klien perlu merubah tujuan
terapi. Mungkin situasi baru tertentu seperti menikah atau mendapat posisi dengan
tanggung jawab yang lebih besar di pekerjaan, dapat mencetuskan perubahan
tujuan. Jika tujuannya diubah, intervensi penanganannya pun harus disesuaikan.
Penanganan terapi perilaku sering kali berjangka pendek. Sebagai contoh,
seorang terapis mungkin membuat kontrak dengan seorang klien untuk
menyelesaikan sebuah rencana penanganan selama dua atau tiga bulan (kira-kira
delapan sampai 12 sesi) dan mereevaluasi kemajuannya di akhir periode ini
(Wilson, 2005). Terapi yang berlangsung selama antara 25-50 sesi juga cukup
lazim, sedangkan kontak lebih dari 100 sesi jarang dilakukan. Richard (2002)
memberikan kerangka waktu yang bahkan lebih pendek lagi untuk terapi perilaku
secara tradisional, 8 sampai 10 minggu dan dalam praktik, sering kali jauh lebih
pendek. Panjang sesi-sesi terapi perilaku bervariasi, mulai dari jam terapi
tradisional sampai 30 menit atau bahkan 15 menit jika intervensi-intervensi
tertentu digunakan.

13
Oleh karena tujuan terapi sering telah dinyatakan dengan jelas pada awal
terapi, terapis dan klien dapat memonitor kemajuan dalam pencapaian tujuan dan
membuat keputusan penghentian terapi sesuai dengan tujuan tersebut. Banyak
terapis perilaku menghindari mengakhiri terapi dengan tiba –tiba dengan
memperpanjang waktu di antara sesi-sesi terapi suksesif, dari mingguan menjadi
dua mingguan atau bulanan dan seterusnya. Kontak telepon sebagai follow-up
(tindak lanjut) juga dapat membantu terapis dan klien memonitor kemajuan dan
menangani isu-isu yang berhubungan dengan mempertahankan hasil yang telah
dicapai.
VI. Intervensi Terapeutik
Terapis perilaku memiliki repertoar intervensi yang mereka sesuaikan
untuk membantu klien mencapai tujuannya. Bilamana mungkin, mereka
mengandalkan pada temuan-temuan penelitian tentang efektifitas sebuah
intervensi jika diterapkan untuk masalah tertentu. Dalam kasus yang bukti-bukti
empiriknya tidak cukup jelas atau tidak ada, terapis menggunakan ketajaman
klinis dan judgement dalam kerangka kerja prinsip-prinsip perilaku.\

Fungsi dan Peran Terapis


Terapis tingkah laku harus memainkan peran aktif dan direktif dalam
pemberian treatment, yakni terapis menerapkan pengetahuan ilmiah pada
pencarian pemecahan masalah-masalah manusia, para kliennya. Terapis tingkah
laku secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam mendiagnosis
tingkah laku yang maladaptif dan dalam menentukan prosedur-prosedur
penyembuhan yang diharapkan, mengarah pada tingkah laku yang baru dan
adjustive.
Sebagai hasil tinjauannya yang seksama atas kepustakaan psikoterapi,
Krasner (1967) mengajukan argumen bahwa peran seorang terapis, terlepas dari
aliansi teoritisnya, sesungguhnya adalah “mesin perkuatan”. Apapun yang
dilakukannya, terapis pada dasarnya terlibat dalam pemberian perkuatan-
perkuatan sosial, baik yang positif maupun yang negatif. Bahkan meskipun
mempersepsikan dirinya sebagai pihak yang netral sehubungan dengan

14
pertimbangan-pertimbangan nilai, terapis membentuk tingkah laku klien, baik
melalui cara-cara langsung maupun melalui cara-cara tidak langsung. Krasner
(1967, hlm. 202) menandaskan bahwa “terapis atau pemberi pengaruh adalah
suatu ‘mesin perkuatan’, yang dengan kehadirannya memasok perkuatan yang
digeneralisasikan pada setiap kesempatan dalam situasi terapi, terlepas dari teknik
atau kepribadian yang terlibat”. Ia menyatakan bahwa tingkah laku klien tunduk
pada manipulasi yang halus oleh tingkah laku terapis yang memperkuat. Hal itu
acap kali terjadi tanpa disadari, baik oleh klien maupun oleh terapis. Krasner
(1967), dengan mengutip kepustakaan, menunjukkan bahwa peran terapis adalah
memanipulasi dan mengendalikan psikoterapi dengan pengetahuan dan kecakapan
menggunakan teknik-teknik belajar dalam suatu situasi perkuatan sosial. Krasner
lebih lanjut menyatakan bahwa, meskipun sebagian besar terapis tidak senang
dengan peran “pengendali” atau “manipulator” tingkah laku, istilah-istilah
tersebut menerangkan secara cermat apa sesungguhnya peran terapis itu. Ia
mengutip bukti untuk menunjukkan bahwa atas dasar perannya, terapis memiliki
kekuatan untuk mempengaruhi dan mengendalikan tingkah laku dan nilai-nilai
manusia lain. Ketidaksediaan terapis untuk menerima situasi ini dan terus-
menerus tidak menyadari efek-efek tingkah lakunya atas para pasiennya itu pun
‘tidak etis’ (Krasner, 1967 hlm 204).
Goodstein (1972) juga menyebut peran terapis sebagai pemberi perkuatan.
Menurut Goodstein (hlm. 274), ”peran konselor adalah menunjang perkembangan
tingkah laku yang secara sosial layak dengan secara sitematis memperkuat jenis
tingkah laku klien semacam itu”. Minat, perhatian, dan persetujuan (ataupun
ketidakberminatan dan ketidaksetujuan) terapis adalah penguat-penguat yang
hebat bagi tingkah laku klien. Penguat-penguat tersebut bersifat interpersonal dan
melibatkan bahasa, baik verbal maupun nonverbal, serta acap kali tanpa disertai
kesadaran yang penuh dari terapis. Goodstein menyatakan bahwa peran
mengendalikan tingkah laku klien yang dimainkan oleh terapis melalui perkuatan
menjangkau situasi di luar konseling serta dimasukkan ke dalam tingkah laku
klien dalam dunia nyata : “Konselor mengganjar respons-respons tertentu yang
dilaporkan telah ditampilkan oleh klien dalam situasi-situasi kehidupan nyata dan

15
menghukum respons-respons yang lainnya. Ganjaran-ganjaran itu adalah
persetujuan, minat, dan keprihatinan...perkuatan semacam itu penting terutama
pada periode ketika klien mencoba respons-respons atau tingkah laku baru yang
belum secara tetap diberi perkuatan oleh orang lain dalam kehidupan klien”
(Goodstein, hlm. 275). Salah satu penyebab munculnya hasil yang tidak
memuaskan adalah bahwa terapis tidak cukup memperkuat tingkah laku yang baru
dikembangkan oleh klien.
Satu fungsi penting lainnya adalah peran terapis sebagai model bagi klien.
Bandura (1963) menunjukkan bahwa sebagian besar proses belajar yang muncul
melalui pengalaman langsung juga bisa diperoleh melalui pengamatan terhadap
tingkah laku orang lain. Ia mengungkapkan bahwa salah satu proses fundamental
yang memungkinkan klien bisa mempelajari tingkah laku baru adalah imitasi atau
percontohan sosial yang disajikan oleh terapis. Terapis sebagai pribadi menjadi
model yang penting bagi klien. Karena klien sering memandang terapis sebagai
orang yang patut diteladani, klien acap kali meniru sikap-sikap, nilai-niali,
kepercayaan-kepercayaan, dan tingkah laku terapis. Jadi, terapis harus menyadari
peranan penting yang dimainkannya dalam proses identifikasi. Bagi terapis, tidak
menyadari kekuatan yang dimilikinya dalam mempengaruhi dan membentuk cara
berpikir dan bertindak kliennya, berarti mengabaikan arti penting kepribadiannya
sendiri dalam proses terapi.

Pengalaman Klien Dalam Terapi


Salah satu sumbangan yang unik dari terapi tingkah laku adalah sistem
prosedur yang ditentukan dengan baik yang digunakan oleh terapis dalam
hubungan dengan peran yang juga ditentukan dengan baik. Terapi tingkah laku
juga memberikan kepada klien peran yang ditentukan dengan baik, dan
menekankan pentingnya kesadaran dan partisipasi klien dalam proses terapeutik.
Keterlibatan klien dalam proses terapeutik karenanya harus dianggap
sebagai kenyataan bahwa klien menjadi lebih aktif alih-alih menjadi penerima
tehnik-tehnik yang pasif seperti diisyaratkan oleh Carkhuff dan Berenson. Jelas,
klien harus secara aktif terlibat dalam pemilihan dan penentuan tujuan-tujuan,

16
harus memiliki motivasi untuk berubah, dan bersedia bekerja sama dalam
melaksanakan kegiatan-kegiatan terapeutik, baik selama pertemuan terapi maupun
diluar terapi, dalam situasi-situasi kehidupan nyata.
Marquis (1974), menggunakan prinsip pendekatan behavioral untuk
menunjang pengubahan kepribadian yang efektif, memandang perlunya peran
aktif klien dalam proses terapi. Ada tiga fase yang melibatkan partisipasi klien,
yaitu :
1. Tingkah laku klien sekarang dianalisis dan pemahaman yang jelas
menjangkau tingkah laku akhir dengan partisipasi aktif dari klien dalam
setiap bagian dari proses pemasangan tujuan.
2. Cara-cara alternative yang bisa diambil oleh klien dalam upaya mencapai
tujuan-tujuan, dieksplorasi.
3. Suatu program treatment direncanakan, yang biasanya berlandaskan langkah-
langkah kecil yang bertahap dari tingkah laku klien yang sekarang menuju
tingkah laku yang diharapkan membantu klien dalam mencapai tujuannya.

Satu aspek yang penting dari peran klien dalam terapi tingkah laku adalah
klien didorong untuk bereksperimen dengan tingkah laku baru dengan maksud
memperluas perbendaharaan tingkah laku adaptifnya. Terapi ini belum lengkap
apabila verbalisasi tidak atau belum diikuti oleh tindakan-tindakan. Klien harus
berbuat lebih dari sekedar memperoleh pemahaman, klien harus berani
mengambil resiko.Bahwa masalah kehidupan nyata harus dipecahkan dengan
tingkah laku baru diluar terapi.

Hubungan Antara Terapis dan Klien


Wolpe (1958,1969), menyatakan bahwa pembentukan hubungan pribadi
yang baik adalah salah satu aspek yang esensial dalam proses terapeutik. Peran
terapis yang esensial adalah peran sebagai agen pemberi perkuatan. Sebelum
intervensi terapeutik , terapis terlebih dahulu harus mengembangkan atmosfer
kepercayaan dengan memperlihatkan bahwa (1) ia memahami dan menerima

17
pasien, (2) kedua orang diantara mereka bekerja sama, dan (3) terapis memiliki
alat yang berguna dalam membantu kearah yang dikehendaki oleh pasien.

PENUTUP
Terapi perilaku adalah salah satu tehnik yang digunakan dalam
menyelesaikan tingkah laku yang ditimbulkan oleh dorongan dari dalam dan
dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang dilakukan melalui proses
belajar agar bisa bertindak dan bertingkah laku lebih efektif, lalu mampu
menanggapi situasi dan masalah dengan cara yang lebih efektif dan efisien. Terapi
perilaku (Behaviour therapy) adalah pendekatan untuk psikoterapi yang didasari
oleh Teori Belajar (learning theory) yang bertujuan untuk menyembuhkan
psikopatologi seperti; depression, anxiety disorders, phobias, dengan
menghilangkan perilaku memakai tehnik yang didesain menguatkan kembali
perilaku yang diinginkan dan yang tidak diinginkan.  
Tujuan terapi perilaku memfokuskan pada persoalan-persoalan perilaku
spesifik atau perilaku menyimpang yang bertujuan untuk menciptakan kondisi-
kondisi baru bagi proses belajar dengan dasar bahwa segenap tingkah laku itu
dipelajari, termasuk tingkah laku yang maladaptive.
Kelebihan terapi perilaku :
a. Pembuatan tujuan terapi antara konselor dan konseli diawal dijadikan acuan
keberhasilan proses terapi.
b. Memiliki berbagai macam tehnik konseling yang teruji dan selalu diperbaharui.
c. Waktu konseling relative singkat.
d. Kolaborasi yang baik antara konselor dan konseli dalam penetapan tujuan dan
pemilihan tehnik.
Kelemahan terapi perilaku :
a. Dapat mengubah perilaku tetapi tidak mengubah perasaan.
b. Mengabaikan faktor relasional penting dalam terapi.
c. Tidak memberikan wawasan.
d. Mengobati gejala dan bukan penyebab.
e. Melibatkan kontrol dan manipulasi oleh konselor.

18
DAFTAR PUSTAKA

Garry Martin. 2007. Behavior Modification, What is and How do it. Pearson
Prentice Hall, New Jersey

Gerald Corey. 2009. Konseling dan Psikoterapi,  Refika Aditama, Bandung

Richard Nelson-John, 2011: Teori dan Praktek Konseling dan Terapi, Edisi
keempat. Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Stephen Palmer. 2011: Konseling dan Psikoterapi. Pustaka Pelajar, Yogyakarta

19

Anda mungkin juga menyukai