Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kode Etik Psikologi Indonesia merupakan ketentuan tertulis yang diharapkan


menjadi pedoman dalam bersikap dan berperilaku, serta pegangan teguh seluruh
Psikolog dan kelompok Ilmuwan Psikologi, dalam menjalankan aktivitas profesinya
sesuai dengan kompetensi dan kewenangan masing- masing, guna menciptakan
kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera. (HIMPSI, 2010). Keberadaan kode etik
sendiri merupakan hasil refleksi etis yang selalu lentur dalam mengakomodasikan dan
beradaptasi terhadap dinamika kehidupan bermasyarakat, sehingga nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya selalu mengacu pada kemutakhiran.
Dalam bidang psikologi, intervensi merupakan suatu kegiatan yang berproses
secara sistematis dan terencana sesuai dengan hasil asesmen yang telah dilaksanakan
sebelumnya. Proses intervensi ini dilaksanakan dalam rangka sebagai tahap akhir
untuk memperbaiki maupun mengubah serta usaha berbentuk preventif maupun
kuratif terhadap keadaan seseorang terhadap hal-hal yang bersifat merugikan diri
sendiri dan lingkungan. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai hal-hal yang
meliputi intervensi berdasarkan kode etik psikologi.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa saja dasar-dasar intervensi dalam kode etik psikologi?


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DASAR INTERVENSI

Kode Etik Psikologi Indonesia (HIMPSI): Pasal 68-70

Intervensi psikologi secara singkat didefinisikan sebagai sebuah metode yang


menyebabkan adanya perubahan pada perilaku, pemikiran, atau perasaan seseorang
(Trull & Prinstein, 2013). HIMPSI (2010) dengan lebih detail lagi menyatakan bahwa
intervensi adalah kegiatan sistematis dan terencana yang dilakukan berdasarkan pada
hasil asesmen di mana tidak hanya bertujuan mengubah seseorang, namun juga
sekelompok orang atau masyarakat sebagai usaha ke arah yang lebih baik (kuratif)
dan juga cara mencegah keadaan yang lebih buruk (preventif). Dari definisi tersebut
terlihat bahwa intervensi dapat berbentuk intervensi individual kelompok, komunitas,
organisasi, maupun sistem.

Dalam Pasal 68, Kode Etik Psikologi Indonesia juga dinyatakan bahwa
intervensi dalam psikologi dapat dilakukan dalam berbagai bentuk metode sebagai
berikut:

1. Psikoedukasi

Psikoedukasi merupakan kegiatan untuk meningkatkan


pemahaman dan atau keterampilan demi mencegah munculnya atau
meluasnya gangguan psikologis dalam kelompok, komunitas, atau
masyarakat serta meningkatkan pemahaman bagi lingkungan tentang
gangguan yang dialami seseorang setelah menjalani psikoterapi.

Psikoedukasi dapat berbentuk pelatihan yang dilakukan oleh


perguruan tinggi, HIMPSI, atau lembaga lain yang mendapat
pengakuan HIMPSI, atau tanpa pelatihan, melalui pemberian ceramah,
penyebarluasan leaflet, brosur, iklan layanan masyarakat, dan bentuk
lainnya untuk mengedukasi masyarakat mengenai suatu isu atau
masalah yang sedang berkembang.

2. Konseling Psikologi
Konseling merupakan kegiatan untuk membantu mengatasi
masalah psikologis individu yang berfokus pada aktivitas pencegahan
dan mengembangkan potensi positif klien (penerima jasa) dengan
menggunakan prosedur berdasarkan pada teori yang relevan.

3. Terapi Psikologi

Terapi psikologi merupakan kegiatan untuk memulihkan


gangguan psikologis atau masalah kepribadian klien dengan
menggunakan prosedur baku berdasarkan pada teori yang relevan
dengan teori-teori psikoterapi. Terapi psikologi biasanya dikenal
dengan istilah psikoterapi dan dapat dilakukan secara individu ataupun
kelompok. Istilah untuk subyek yang menjalani layanan terapi
psikologi adalah klien. Orang yang menjalankan terapi psikologi
disebut psikoterapis.

B. KUALIFIKASI KONSELOR DAN PSIKOTERAPIS

Kode Etik Psikologi Indonesia (HIMPSI): Pasal 72.

Dalam konseling psikologi ataupun psikoterapi, orang yang memberikan jasa


itu disebut sebagai konselor atau psikoterapis. Untuk menjadi seorang konselor
ataupun psikoterapis, seseorang harus memiliki beberapa persyaratan. HIMPSI
(2010), dalam Pasal 72 Kode Etik Psikologi Indonesia, menyatakan bahwa seorang
konselor atau psikoterapis merupakan individu yang memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:

1. Memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk menjalankan konseling ataupun terapi


psikologi yang akan dilakukan secara mandiri maupun dalam supervisi sesuai
kaidah pelaksanaan konseling atau terapi.

2. Mengutamakan dasar-dasar profesional (sikap profesional artinya mengandalkan


pengetahuan ilmiah tentang keberhasilan konseling atau terapi, bertanggungjawab
dan senantiasa mempertahankan dan meningkatkan derajat kompetensinya dalam
menjalankan praktik psikologi).

3. Memberikan jasa konseling atau terapi kepada semua pihak yang membutuhkan.
4. Mampu bertanggungjawab untuk menghindari dampak buruk akibat proses
konseling atau terapi yang dilaksanakannya.

Sama seperti kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan oleh psikolog (misalnya,


penelitian atau asesmen) maka sebelum melaksanakan konseling atau psikoterapi
seorang psikolog sesegera mungkin harus menginformasikan kepada klien mengenai
kegiatan yang akan dilakukan secara terperinci melalui pemberian informed consent.
Informed consent merupakan sebuah konsep di mana seorang praktisi mendapatkan
persetujuan dari klien untuk memberikan terapi atau mengeluarkan informasi setelah
klien diberikan informasi yang penting dan tepat (APA, 2003). Adanya aturan
mengenai pemberian informed consent di dalam sebuah intervensi, baik itu konseling
ataupun terapi, sudah diatur oleh HIMPSI pada Pasal 73 Kode Etik Pikologi Indonesia
dan juga pada Code of Conduct yang dibuat oleh APA (2010) pada Pasal 10.01.

Pemberian dan penandatanganan informed consent sendiri merupakan hak


klien yang harus dihargai oleh setiap psikolog. Justice Benjamin Cardozo dari
Mahkamah Agung Amerika Serikat pada 1914 menyatakan bahwa setiap manusia
dewasa memiliki hak untuk menentukan apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya
(dikutip dalam Lakin, 1991). Dalam buku yang sama, Lakin (1991) juga menyatakan
bahwa adanya infored consent menegaskan status klien sebagai individu yang
mandiri, berpikir secara individual, mampu menentukan hal yang sesuai dengan
keinginannya. Hal ini juga sesuai dengan Kode Etik Psikologi Indonesia pada Pasal
73 bahwa individu yang menandatangi irformed consent memiliki persyaratan bahwa
ia mampu menyatakan persetujuan, telah mendapatkan informasi yang signifikan serta
tidak dipaksa dalam memberikan persetujuan. Artinya, individu yang dapat
menandatangani informed consent merupakan individu yang dianggap sudah dewasa,
mandiri, dan memiliki kemampuan untuk menentukan apa yang akan dilakukan sesuai
dengan keinginannya.

Walaupun pemberian informed consent merupakan hal yang diwajibkan,


namun dalam pelaksanaannya tetap harus melihat kapasitas dari individu yang
diberikan. Ada beberapa karakteristik klien yang memang tidak memiliki kapasitas
untuk memberikan persetujuan atau setuju terhadap kontrak akibat gangguan mental
yang dimilikinya (Moore, dalam Hare Mustin, Marecek, Kaplan, & Liss-Levinson,
2006). Sementara itu, bagi individu yang masih berusia anak-anak, secara umum
pelaksanaan informed consent akan dilakukan oleh orang tua atau wali yang sah
sebagai pihak yang akan mengambil tanggung jawab mereka (Morrison, Morrison, &
Holdridge-Crane, dalam Margolin, 2006). Namun, akhir-akhir ini terdapat pendapat
yang mulai muncul bahwa anak sebaiknya diizinkan untuk belajar menggunakan
haknya di dalam pelaksanaan perawatan psikologis, misalnya bagi remaja yang
melakukan konseling berkaitan dengan aborsi atau obat-obatan terlarang. Hal ini
didasari oleh pemikiran bahwa anak anak membutuhkan perlindungan yang cukup
besar dan orangtua tidak selalu mengetahui apa yang terbaik bagi anak-anaknya.
Dalam menghadapi anak-anak, seorang praktisi atau terapis kemudian harus mencoba
menjelaskan mengenai prosedur, dalam bahasa yang disederhanakan dan dapat
dimengerti oleh anak, dan bertanya kepada anak mengenai hal yang telah dijelaskan
kepada mereka sebagai cara untuk mengetahui pemahaman anak (Margolin, 2006).

C. PROSEDUR DALAM PEMBERIAN INFORMED CONSENT

Beberapa tahapan yang dapat dilakukan dalam prosedur mengenai informed consent
adalah sebagai berikut (Kaplan, dalam Corey, Corey, & Callananl, 2011).

1. Membuat lembar informed consent yang lengkap.


2. Meminta klien untuk datang lebih awal sebelum sesi pertama sehingga memiliki
waktu untuk membaca informed consent.
3. Menanyakan kepada klien apakah ia memiliki pertanyaan mengenai proses terapi
berdasarkan pada yang telah mereka baca pada brosur informed consent
4. Mengulas kebijakan dan aturan mengenai kerahasiaan.
5. Meminta klieri untuk menuliskan pernyataan bahwa ia telah membaca dan
memahami isi dari informed consent.
6. Memberikan salinan informed consent untuk dibawa pulang sebagai referensi.
7. Menanyakan kembali mengenai lembar tersebut pada awal sesi kedua.

Hare-Mustin, Marecek, Kaplan, dan Liss-Levinson (2006) menyatakan


beberapa psikoterapis menemukan bahwa waktu yang paling optimal untuk
mengedukasi klien mengenai terapi adalah pada akhir waktu wawancara pertama.
Namun, ini tidak berlaku untuk klien yang memasuki terapi dalam situasi krisis.
Untuk klien yang berada dalam keadaan yang sangat sedih, seorang psikoterapis dapat
menyeimbangkan antara kebutuhan untuk menawarkan dukungan dan memberikan
pertolongan dengan segera dan tanggungjawab untuk memeriksa apakah klien telah
datang ke tempat yang tepat untuk mencari bantuan. Dari beberapa pendapat tersebut,
dapat diambil kesimpulan bahwa informed consent memang sebaiknya diberikan
sejak awal, sebelum klien melakukan sebuah terapi atau sebelum melakukan suatu
tindakan yang membutuhkan persetujuan klien. Namun, dalam beberapa situasi,
pemberian informed consent dapat ditangguhkan selama hal ini bertujuan untuk
kesejahteraan klien.

Pemberian informasi mengenai terapi ataupun terapi alternatif dapat dilakukan


secara lisan, tulisan, ataupun rekaman audio atau video (Hare Mustin, Marecek,
Kaplan, dan Liss-Levinson, 2006). Namun, pada akhirnya informed consent secara
tertulis dapat membantu seorang praktisi dan juga klien untuk memiliki bukti atas
persetujuan yang telah dilakukannya. Persetujuan tertulis juga direkomendasikan oleh
HIMPSI dalam Pasal 73 Kode Etik Pikologi Indonesia.

D. INFORMASI DALAM INFORMED CONSENT

Informed consent umumnya berisi informasi spesifik mengenai tujuan


konseling atau terapi, proses atau prosedur konseling atau terapi yang akan dilakukan,
risiko yang berpotensi terjadi, keuntungan yang bisa didapatkan, biaya, keterlibatan
pihak ketiga jika diperlukan, alternatif konseling atau terapi, hak dan tanggungjawab
klien, batasan kerahasiaan, adanya supervisi atau tidak serta pilihan untuk berhenti di
tengah-tengah proses konseling atau terapi (APA, 2010; HIMPSI, 2010; Corey,
Corey, & Callanan, 2011). Kadang kala situasi yang dialami oleh klien, seperti
ketidakstabilan klien, kondisi tertekan, kebingungan, membuat munculnya kesulitan
untuk membuka semua informasi yang relevan (Morse, dalam Widiger & Rorer,
2006). Jika pemberian informasi yang akan dilakukan, terutama berkaitan dengan
risiko perawatan, akan membuat klien menjadi sangat kebingungan sehingga ia tidak
mampu membuat keputusan yang rasional, seorang praktisi memiliki hak istimewa
untuk menahan informasi tersebut (Meisel, Roth, & Lidz dalam Widiger & Rorer,
2006). Namun, dalam melakukan hal ini sebaiknya seorang praktisi sudah
memperhatikan segala kondisi dan dilakukan untuk kesejahteraan klien.
E. KONSELING ATAU PSIKOTERAPI YANG MELIBATKAN PASANGAN
ATAU KELUARGA

Kode Etik Psikologi Indonesia (HIMPSI): Pasal 74 dan Code of Conduct (APA):
Pasal 10.02

Dalam konseling atau terapi individual, terkadang psikolog perlu memberikan


penanganan pada beberapa orang yang memiliki hubungan, seperti keluarga, relasi
yang memiliki hubungan dekat (significant others), atau orangtua dan anak. Selain itu,
pada kasus yang lain, terkadang kesulitan atau gangguan yang dialami oleh seorang
klien tidak hanya bersumber dari dirinya sendiri, namun juga merupakan akibat dari
masalah di dalam sistem yang dimilikinya, seperti sistem keluarga. Masalah ini
membuat diperlukannya anggota keluarga lain untuk hadir di dalam kegiatan
konseling atau psikoterapi demi memperbaiki sistem yang ada. Hal ini merupakan
dasar dari munculnya konseling atau terapi pasangan dan keluarga, di mana pasangan
atau keluarga yang mengikuti konseling atau terapi dianggap sebagai suatu unit yang
berada di dalam usaha untuk memahami kesulitan yang dialami dan menemukan cara
mengatasinya (Trull & Prinstein, 2013).
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, dalam konseling atau terapi asangan
dan keluarga, pasti melibatkan lebih dari satu orang. Konseling atau terapi keluarga
biasanya melibatkan anggota keluarga di dalam aktivitasnya, misalnya orangtua dan
anak, sedangkan konseling atau terapi pasangan melibatkan dua orang sebagai
pasangan. Dalam hal ini, pasangan tidak hanya terbatas pada pasangan yang sudah
menikah, namun juga terbuka untuk pasangan yang belum menikah dan pasangan lain
di luar konteks hubungan romantis (Trull & Prinstein, 2013).

F. STANDAR ETIS DALAM TERAPI PASANGAN ATAU KELUARGA

Kode Etik Psikologi Indonesia (HIMPSI): Pasal 74 dan Code of Conduct (APA):
Pasal 10.02

Dalam konseling atau terapi pasangan maupun terapi keluarga, fokus terapi
telah berpindah dari individu menjadi sistem keluarga di mana konseling atau terapi
memiliki prioritas uiama untuk mencapai tujuan keluarga sebagai unit dan bukan lagi
pada tujuan individual (Corey, Corey, & Callanan, 2011). Artinya, unit tersebut yang
menjadi klien dalam proses konseling atau terapi, bukan lagi individu. Corey, Corey,
dan Callahan (2011) juga menyatakan bahwa dalam kode etik yang dikeluarkan oleh
American Association for Marriage and Farnily Therapy (AAMFT) pada 2001, salah
satu prinsip yarig harus diperhatikan oleh konselor atau terapis keluarga adalah
mendahulukan kesejahteraan keluarga dan individu yang berada di dalamnya. Hal
inilah yang juga menjadi tantangan bagi seorang konselor atau terapis saat
menghadapi konflik etis di dalam proses terapinya. Dalam menghadapi klien
individual, seorang psikolog dapat saja mengalami kesulitan saat harus berkonfrontasi
dengan hal-hal yang berkaitan dengan isu etis. Hal ini akan menjadi lebih sulit
dilakukan saat berhadapan dengan sejumlah anggota keluarga dalam satu pertemuan
yang sama (Margolin, dalam Corey, Corey, & Callahan, 2011). Kesulitan itu terjadi
karena adanya intervensi yang berguna bagi satu individu dapat menjadi beban bagi
anggota keluarga lainnya, bahkan dapat memperburuk kondisi yang ada
(countertherapeutic).

Adanya intervensi yang melibatkan beberapa orang di dalam kegiatannya


membuat seorang psikolog perlu memperhatikan beberapa prinsip serta membuat
klarifikasi mengenai beberapa hal. Kode Etik HIMPSI (2010) pada Pasal ke 74 dan
juga Code of Conduct APA (2010) dalam Pasal 10.02 menyatakan beberapa hal yang
perlu diperhatikan oleh psikolog dalam kondisi tersebut.

1. Siapa yang menjadi klien.


2. Peran dan hubungan antara psikolog dengan masing-masing orang yang
terlibat.
3. Kemungkinan penggunaan jasa dan informasi yang diperoleh dari setiap orang
atau keluarga yang terlibat.
4. Jika psikolog harus bertindak dalam peran yang bertentangan dan berpotensi
konflik (misalnya, menjadi terapis keluarga dan kemudian menjadi saksi salah
satu pihak dalam kasus perceraian), psikolog harus mengambil langkah dalam
menjelaskan, atau memodifikasi, atau menarik diri dari peran-peran tersebut
secara tepat.

Prinsip lain yang juga menjadi perhatian di dalam konseling atau terapi yang
melibatkan beberapa orang adalah mengenai kerahasiaan informasi individu yang
terlibat di dalamnya. Tantangan dalam isu kerahasiaan ini akan semakin meningkat
jika seorang praktisi bekerja sama dengan beberapa individu di dalam satu ruangan
(Kleist & Bitter dalam Corey, dk., 2011). Corey dkk, (2011) menyatakan bahwa para
terapis memiliki beberapa pandangan dalam melihat isu kerahasiaan saat menghadapi
sebuah terapi pasangan atau keluarga. Pandangan pertama adalah saat sesi bersama
seorang terapis tidak seharusnya memberitahukan informasi yang diberikan oleh
individu saat mereka melakukan sesi pribadi. Pada pandangan ini beberapa konselor
atau terapis bersedia untuk bertemu dengan individu secara terpisah, tetapi beberapa
lainnya tidak mau melakukannya demi mendukung terjaganya rahasia. Sementara itu,
pandangan kedua, yang didukung beberapa terapis lainnya, menyatakan kepada
pasangan atau keluarga bahwa mereka akan melatih asesmen mereka mengenai
informasi apa yang akan diceritakan dari sesi pribadi mereka pada saat sesi bersama.
Terdapat juga pandangan lain yang menyatakan bahwa mereka memiliki kebijakan
untuk menolak menjaga informasi sebagai sesuatu hal rahasia yang didapatkan dari
sesi individual. Menurut pandangan ini, rahasia merupakan hal yang
counterproductive bagi konseling atau terapi pasangan maupun keluarga. Khusus
bagi pandangan terakhir ini, konselor atau terapis harus sering mengingatkan adanya
kebijakan "tidak ada rahasia" ini kepada pasangan ataupun keluarga (Benitez dalam
Corey, Corey, & Callanan, 2011). Namun, terlepas dari apapun pandangan seorang
terapis atau konselor dalam menghadapi isu kerahasiaan ini, yang pasti kebijakan
mengenai kerahasiaan dan pelepasan informasi ini harus diketahui oleh semua
individu yang terlibat di dalamnya serta disepakati oleh semua pihak (Corey, Corey.
& Callanan, 2011).

Dalam pelaksanaan terapi kelompok, individu yang berada di dalamnya tentu


saja memiliki motivasi dan keinginan yang berbeda-beda. Beberapa individu memang
dengan kesediaannya sendiri berpartisipasi dalam kegiatan terapi kelompok,
sedangkan individu lain berpartisipasi dalam kelompok karena ia harus berada di
sana; dengan kata lain ia mengikuti terapi kelompok karena diwajibkan. Corey,
Corey, dan Callanan (2011) menyatakan bahwa partisipasi sukarela dalam suatu
pelaksanaan terapi selompok merupakan awal kesuksesan dari terapi kelompok. Hal
ini disebabkan karena anggota kelompok akan menghasilkan perubahan yang
signifikan sejauh mereka mencari sesuatu untuk diri sendiri secara aktif. Sementara
itu, untuk anggota lain yang datang karena kewajiban, memang diperlukan usaha yang
lebih besar dari seorang terapis kelompok dalam menginformasikan semua hal
berkaitan dengan terapi yang akan dilakukan. Terapis kelompok juga harus benar-
benar memastikan bahwa anggota kelompok memahami hak dan tanggung jawab
yang mereka miliki dar menghormati anggota tersebut (Corey dkk., 2011).

Ada beberapa hal yang harus dijelaskan oleh seorang terapis kelompok kepada
anggotanya. HIMPSI (2010) dan APA (2010) menyatakan bahwa hal-hal yang harus
dijelaskan berupa peran dan tanggungjawab semua pihak di dalam kelompok ini serta
mengenai kerahasiaan di dalam kelompok Kerahasiaan dalam konseling atau terapi
kelompok pada umumnya memiliki prinsip yang sama dengan kerahasiaan dalam
korseling atau terapi pasangan atau keluarga. Dalam terapi kelompok ini seorang
terapis kelompok harus menjelaskan terlebih dahulu mengenai prinsip kerahasiaan di
dalam kelompok dan memastikan semua anggotanya memahami serta menyetujui
aturan yang dilakukan di dalam kelompok. Satu hal yang pasti adalah menjaga
kerahasiaan di dalam kelompok memiliki tantangan yang cukup berat dibandingkan
dengan konseling atau terapi individual. Seorang terapis kelompok tidak dapat
menjamin bahwa apa yang akan dibicarakan di dalam kelompok akan tetap dijaga
kerahasiaannya oleh anggota kelompok yang lain. Oleh karena itu, terapis kelompok
harus dapat secara jujur menjelaskan bahwa adanya rahasia yang absolut dalam
kelompok merupakan hal yang berat dan bahkan dalam beberapa waktu merupakan
hal yang tidak realistis (Lasky & Riva, dalam Corey, Corey, & Callanan, 2011).
Untuk menjaga hal tersebut, seorang terapis kelompok biasanya membuat adanya
informed consent yang tertulis di mana setiap anggota kelompok berjanji untuk
menjaga kerahasiaan identitas maupun informasi yang diberikan oleh anggota
kelompok lain. Kontrak atau perjanjian ini juga memuat adanya kebijakan untuk
terminasi jika ada anggota kelompok yang menyebarkan informasi anggota yang lain.
Selain menjaga kerahasiaan dalam kelompok, seorang terapis kelompok juga harus
memberitahukan adanya batasan dalam penjagaan kerahasiaan. Anggota kelompok
harus mengetahui bahwa dalam kondisi tertentu seperti adanya sikap salah satu
anggota kelompok yang membahayakan terapis kelompok atau salah satu anggota
kelompok maka terapis kelompok tersebut dapat saja mempertimbangkan kerahasiaan
data ini untuk melindungi anggota keluarga dan masyarakat secara umum.
G. HUBUNGAN SEKSUAL DENGAN KLIEN
Kode Etik Psikologi Indonesia (HIMPSI): Pasal 77 dan Code of Conduct (APA):
Pasal 10.05-10.08
HIMPSI dan APA mengatur mengenai pemberian konseling atau terapi
kepada mereka yang pernah terlibat keintiman atau keakraban seksual untuk
mencegah adanya hubungan ganda dalam sebuah konseling atau terapi. Secara jelas
dikatakan bahwa psikolog tidak dapat terlibat dalam keintiman atau keakraban seksual
dengan beberapa individu berikut:
1. Orang yang sedang menjalani konseling atau terapi.
2. Orang yang memiliki hubungan saudara, keluarga, atau relasi dekat
(significant others) dari orang yang akan melaksanakan proses konseling atau
terapi. Termasuk juga terapis tidak diperkenankan mengakhiri proses
konseling atau terapi dengan alasan untuk terlibat dalan keintiman ataui
keakraban seksual dengan pihak yang telah dijelaskan sebelumnya.
3. Orang yang menjadi mantan klien, setidaknya dua tahun setelah konseling
atau terapi berakhir. Pencegahan hubungan ganda dalam konseling atau terapi
juga dilakukan dengan cara tidak menerima atau memberikan jasa konseling
atau terapi kepada individu yang pernah terlibat keintiman atau keakraban
seksual dengan psikolog tersebut

H. INTERUPSI, RUJUKAN, DAN PENGHENTIAN TERAPI


Kode Etik Psikologi Indonesia (HIMPSI): Pasal 79-80 dan Code of Conduct (APA):
Pasal 10.09-10.10
Seorang psikolog dapat saja menghadapi berbagai hal yang cukup dilematis
saat berhadapan dengan kondisi yang mengharuskannya untuk melakukan interupsi
dalam terapi, misalnya dengan melakukan rujukan kepada praktisi lain dan melakukan
penghentian terapi. HIMPSI dan APA telah mengatur beberapa hal berkaitan dengan
isu ini untuk membantu para psikolog dalam menghadapi situasi tersebut.
Penghentian terapi merupakan salah satu hal yang sebenarnya telah dibicarakan antara
psikolog dan klien dalam proses pelaksanaan informed consent yang diberikan kepada
klien sebelum mereka mengikuti sesi konseling atau terapi. HIMPSI (dalam Kode
Etik Psikologi Indonesia Pasal 80) maupun APA (dalam Code of Conduct Pasal
10.10) menyatakan beberapa kriteria berikut yang biasanya dijadikan acuan bagi
seorang psikolog untuk membantunya menentukan apakah seorang klien harus
dihentikan proses terapinya atau tidak.
1. Ketika orang yang menjalankan terapi tidak lagi membutuhkan terapi yang
dilakukan atau tidak mendapatkan keuntungan, bahkan cenderung dirugikan
jika terapi terus dilakukan.
2. Adanya kondisi yang mengancam individu yang sedang melaksanakan terapi
atau orang-orang lain yang terkait dengan individu yang melaksanakan terapi.

Selain itu, adanya kondisi lain yang juga menjadi acuan bagi seorang
psikolog untuk menghentikan terapi berkaitan dengan kompetensi yang dimiliki.
Hal ini dilakukan berdasarkan pada prinsip di mana seorang psikolog yang tidak
kompeten dapat berisiko untuk menimbulkan bahaya bagi klien sehingga
terminasi dianggap sebagai rekomendasi yang baik untuk menghindari hal
tersebut.
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN


DAFTAR PUSTAKA

Himawan, Karel Karsten dkk. (2016). Kode Etik Psikologi dan Aplikasinya di
Indonesia. Jakarta : Salemba Humanika

Anda mungkin juga menyukai