PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
TINJAUAN PUSTAKA
A. DASAR INTERVENSI
Dalam Pasal 68, Kode Etik Psikologi Indonesia juga dinyatakan bahwa
intervensi dalam psikologi dapat dilakukan dalam berbagai bentuk metode sebagai
berikut:
1. Psikoedukasi
2. Konseling Psikologi
Konseling merupakan kegiatan untuk membantu mengatasi
masalah psikologis individu yang berfokus pada aktivitas pencegahan
dan mengembangkan potensi positif klien (penerima jasa) dengan
menggunakan prosedur berdasarkan pada teori yang relevan.
3. Terapi Psikologi
3. Memberikan jasa konseling atau terapi kepada semua pihak yang membutuhkan.
4. Mampu bertanggungjawab untuk menghindari dampak buruk akibat proses
konseling atau terapi yang dilaksanakannya.
Beberapa tahapan yang dapat dilakukan dalam prosedur mengenai informed consent
adalah sebagai berikut (Kaplan, dalam Corey, Corey, & Callananl, 2011).
Kode Etik Psikologi Indonesia (HIMPSI): Pasal 74 dan Code of Conduct (APA):
Pasal 10.02
Kode Etik Psikologi Indonesia (HIMPSI): Pasal 74 dan Code of Conduct (APA):
Pasal 10.02
Dalam konseling atau terapi pasangan maupun terapi keluarga, fokus terapi
telah berpindah dari individu menjadi sistem keluarga di mana konseling atau terapi
memiliki prioritas uiama untuk mencapai tujuan keluarga sebagai unit dan bukan lagi
pada tujuan individual (Corey, Corey, & Callanan, 2011). Artinya, unit tersebut yang
menjadi klien dalam proses konseling atau terapi, bukan lagi individu. Corey, Corey,
dan Callahan (2011) juga menyatakan bahwa dalam kode etik yang dikeluarkan oleh
American Association for Marriage and Farnily Therapy (AAMFT) pada 2001, salah
satu prinsip yarig harus diperhatikan oleh konselor atau terapis keluarga adalah
mendahulukan kesejahteraan keluarga dan individu yang berada di dalamnya. Hal
inilah yang juga menjadi tantangan bagi seorang konselor atau terapis saat
menghadapi konflik etis di dalam proses terapinya. Dalam menghadapi klien
individual, seorang psikolog dapat saja mengalami kesulitan saat harus berkonfrontasi
dengan hal-hal yang berkaitan dengan isu etis. Hal ini akan menjadi lebih sulit
dilakukan saat berhadapan dengan sejumlah anggota keluarga dalam satu pertemuan
yang sama (Margolin, dalam Corey, Corey, & Callahan, 2011). Kesulitan itu terjadi
karena adanya intervensi yang berguna bagi satu individu dapat menjadi beban bagi
anggota keluarga lainnya, bahkan dapat memperburuk kondisi yang ada
(countertherapeutic).
Prinsip lain yang juga menjadi perhatian di dalam konseling atau terapi yang
melibatkan beberapa orang adalah mengenai kerahasiaan informasi individu yang
terlibat di dalamnya. Tantangan dalam isu kerahasiaan ini akan semakin meningkat
jika seorang praktisi bekerja sama dengan beberapa individu di dalam satu ruangan
(Kleist & Bitter dalam Corey, dk., 2011). Corey dkk, (2011) menyatakan bahwa para
terapis memiliki beberapa pandangan dalam melihat isu kerahasiaan saat menghadapi
sebuah terapi pasangan atau keluarga. Pandangan pertama adalah saat sesi bersama
seorang terapis tidak seharusnya memberitahukan informasi yang diberikan oleh
individu saat mereka melakukan sesi pribadi. Pada pandangan ini beberapa konselor
atau terapis bersedia untuk bertemu dengan individu secara terpisah, tetapi beberapa
lainnya tidak mau melakukannya demi mendukung terjaganya rahasia. Sementara itu,
pandangan kedua, yang didukung beberapa terapis lainnya, menyatakan kepada
pasangan atau keluarga bahwa mereka akan melatih asesmen mereka mengenai
informasi apa yang akan diceritakan dari sesi pribadi mereka pada saat sesi bersama.
Terdapat juga pandangan lain yang menyatakan bahwa mereka memiliki kebijakan
untuk menolak menjaga informasi sebagai sesuatu hal rahasia yang didapatkan dari
sesi individual. Menurut pandangan ini, rahasia merupakan hal yang
counterproductive bagi konseling atau terapi pasangan maupun keluarga. Khusus
bagi pandangan terakhir ini, konselor atau terapis harus sering mengingatkan adanya
kebijakan "tidak ada rahasia" ini kepada pasangan ataupun keluarga (Benitez dalam
Corey, Corey, & Callanan, 2011). Namun, terlepas dari apapun pandangan seorang
terapis atau konselor dalam menghadapi isu kerahasiaan ini, yang pasti kebijakan
mengenai kerahasiaan dan pelepasan informasi ini harus diketahui oleh semua
individu yang terlibat di dalamnya serta disepakati oleh semua pihak (Corey, Corey.
& Callanan, 2011).
Ada beberapa hal yang harus dijelaskan oleh seorang terapis kelompok kepada
anggotanya. HIMPSI (2010) dan APA (2010) menyatakan bahwa hal-hal yang harus
dijelaskan berupa peran dan tanggungjawab semua pihak di dalam kelompok ini serta
mengenai kerahasiaan di dalam kelompok Kerahasiaan dalam konseling atau terapi
kelompok pada umumnya memiliki prinsip yang sama dengan kerahasiaan dalam
korseling atau terapi pasangan atau keluarga. Dalam terapi kelompok ini seorang
terapis kelompok harus menjelaskan terlebih dahulu mengenai prinsip kerahasiaan di
dalam kelompok dan memastikan semua anggotanya memahami serta menyetujui
aturan yang dilakukan di dalam kelompok. Satu hal yang pasti adalah menjaga
kerahasiaan di dalam kelompok memiliki tantangan yang cukup berat dibandingkan
dengan konseling atau terapi individual. Seorang terapis kelompok tidak dapat
menjamin bahwa apa yang akan dibicarakan di dalam kelompok akan tetap dijaga
kerahasiaannya oleh anggota kelompok yang lain. Oleh karena itu, terapis kelompok
harus dapat secara jujur menjelaskan bahwa adanya rahasia yang absolut dalam
kelompok merupakan hal yang berat dan bahkan dalam beberapa waktu merupakan
hal yang tidak realistis (Lasky & Riva, dalam Corey, Corey, & Callanan, 2011).
Untuk menjaga hal tersebut, seorang terapis kelompok biasanya membuat adanya
informed consent yang tertulis di mana setiap anggota kelompok berjanji untuk
menjaga kerahasiaan identitas maupun informasi yang diberikan oleh anggota
kelompok lain. Kontrak atau perjanjian ini juga memuat adanya kebijakan untuk
terminasi jika ada anggota kelompok yang menyebarkan informasi anggota yang lain.
Selain menjaga kerahasiaan dalam kelompok, seorang terapis kelompok juga harus
memberitahukan adanya batasan dalam penjagaan kerahasiaan. Anggota kelompok
harus mengetahui bahwa dalam kondisi tertentu seperti adanya sikap salah satu
anggota kelompok yang membahayakan terapis kelompok atau salah satu anggota
kelompok maka terapis kelompok tersebut dapat saja mempertimbangkan kerahasiaan
data ini untuk melindungi anggota keluarga dan masyarakat secara umum.
G. HUBUNGAN SEKSUAL DENGAN KLIEN
Kode Etik Psikologi Indonesia (HIMPSI): Pasal 77 dan Code of Conduct (APA):
Pasal 10.05-10.08
HIMPSI dan APA mengatur mengenai pemberian konseling atau terapi
kepada mereka yang pernah terlibat keintiman atau keakraban seksual untuk
mencegah adanya hubungan ganda dalam sebuah konseling atau terapi. Secara jelas
dikatakan bahwa psikolog tidak dapat terlibat dalam keintiman atau keakraban seksual
dengan beberapa individu berikut:
1. Orang yang sedang menjalani konseling atau terapi.
2. Orang yang memiliki hubungan saudara, keluarga, atau relasi dekat
(significant others) dari orang yang akan melaksanakan proses konseling atau
terapi. Termasuk juga terapis tidak diperkenankan mengakhiri proses
konseling atau terapi dengan alasan untuk terlibat dalan keintiman ataui
keakraban seksual dengan pihak yang telah dijelaskan sebelumnya.
3. Orang yang menjadi mantan klien, setidaknya dua tahun setelah konseling
atau terapi berakhir. Pencegahan hubungan ganda dalam konseling atau terapi
juga dilakukan dengan cara tidak menerima atau memberikan jasa konseling
atau terapi kepada individu yang pernah terlibat keintiman atau keakraban
seksual dengan psikolog tersebut
Selain itu, adanya kondisi lain yang juga menjadi acuan bagi seorang
psikolog untuk menghentikan terapi berkaitan dengan kompetensi yang dimiliki.
Hal ini dilakukan berdasarkan pada prinsip di mana seorang psikolog yang tidak
kompeten dapat berisiko untuk menimbulkan bahaya bagi klien sehingga
terminasi dianggap sebagai rekomendasi yang baik untuk menghindari hal
tersebut.
BAB III
Himawan, Karel Karsten dkk. (2016). Kode Etik Psikologi dan Aplikasinya di
Indonesia. Jakarta : Salemba Humanika