Anda di halaman 1dari 39

PENDEKATAN EKSISTENSIAL

Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Psikoterapi

Dosen Pengampu : Rina Rifayanti., S.Psi., M.Psi., Psikolog

Disusun Oleh :

1. Zulfa Alisya 1802105063 7. Meiliyanti P1802105079

2. Stefanny Ayu D 1802105068 8. Ahmad Nur Faizi 1802105083

3. Arina Sabila 1802105069 9. Chintya Eka N 1802105088

4. Jihan Safitri 1802105070 10. Farida Nur R 1802105098

5. Novi Rizky R. D 1802105071 11. Jakson Lumban G1802105097

6. Alda Niarisma 1802105077

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha

Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat

menyelesaikan makalah psikologi terapi dengan baik.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan

dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk

itu kami menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah

berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada

kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena

itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca

agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah in idapat memberikan manfaat

maupun inpirasi terhadap pembaca.

Samarinda, 02 Sebtember 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................ 2

C. Tujuan Pembahasan.............................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................... 3

A. Biografi Viktor Frankl .......................................................... 3

B. Konsep-Konsep Utama ........................................................ 5

C. Proses-Proses Terapeutik ..................................................... 7

D. Penerapan: Teknik-Teknik dan Prosedur Terapeutik ........... 15

BAB III PENUTUP ............................................................................... 34

A. Kesimpulan........................................................................... 34

B. Saran ..................................................................................... 35

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 36

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendekatan Eksistensial menekankan renungan-renungan filosofis tentang

apa artinya menjadi manusia yang utuh. Banyak ahli psikologi yang berorientasi

eksistensial yang mengajukan argumen menentang pembatasan studi tingkah laku

manusia pada metode-metode yang digunakan oleh ilmu pengetahuan alam.

Sebagai contoh, Bugental (1965), Rogers (1961), May (1953, 1958, 1961, 1967,

1969), Frankl (1959, 1963), Jourard (1968, 1971), Maslow (1968, 1970) dan

Arbuckle (1975) yang mengemukakan kebutuhan psikologi akan suatu persperktif

yang lebih luas yang mencakup pengalaman subjektif klien atas dunia pribadinya.

Tujuan dasar banyak pendekatan psikoterapi adalah membantu individu

agar mampu bertindak, menerima kebebasan dan tanggung jawab untuk tindakan-

tindakannya. Terapi eksistensial, terutama, berpijak pada premis bahwa manusia

tidak bisa melarikan diri dari kebebasan dan bahwa kebebasan dan tanggung

jawab itu saling berkaitan. Dalam penerapan-penerapan terapeutiknya, pendekatan

eksistensial memusatkan perhatian pada asumsi-asumsi filosofis yang melandasi

terapi. Pendekatan eksistensial humanistik menyajikan suatu landasan filosofis

bagi orang-orang dalam hubungan dengan sesamanya yang menjadi ciri-khas,

kebutuhan yang unik dan menjadi tujuan konselingnya, dan melalui implikasi-

implikasi bagi usaha membantu individu dalam menghadapi pertanyaan-

pertanyaan dasar yang menyangkut keberadaan manusia.

1
2

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana biografi Viktor Frankl?

2. Bagaimana konsep dasar landasan pendekatan eksistensial ?

3. Bagaimana proses-proses teraupeutik?

4. Bagaimana penerapan teknik-teknik dan prosedur teraupeutik?

C. Tujuan Pembahasan

1. Mengetahui biografi Viktor Frankl

2. Mengetahui konsep dasar landasan pendektan eksistensial

3. Mengetahui proses teraupeutik

4. Mengetahui cara penerapan teknik-teknik dan prosedur teraupeutik


BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Viktor Frankl

Viktor Frankl (1905–1997) lahir dan bersekolah

di Wina. Ia mendirikan Pusat Penasihat Pemuda

di sana pada tahun 1928 dan mengarahkan

mereka hingga tahun 1938. Dari tahun 1942

hingga 1945 Frankl adalah seorang tahanan di

kamp konsentrasi Nazi di Auschwitz dan

Dachau, tempat orang tua, saudara laki-laki, istri, dan anak-anaknya meninggal.

Dia dengan jelas mengingat pengalamannya yang mengerikan di kamp-kamp ini,

namun dia mampu menggunakannya dengan cara yang konstruktif dan tidak

membiarkannya mengurangi cinta dan antusiasmenya terhadap kehidupan. Dia

berkeliling dunia, memberikan ceramah di Eropa, Amerika Latin, Asia Tenggara,

dan Amerika Serikat.

Frankl menerima gelar MD pada tahun 1930 dan gelar PhD dalam bidang

filsafat pada tahun 1949, keduanya dari Universitas Wina. Ia menjadi profesor di

Universitas Wina dan kemudian menjadi pembicara terkemuka di Universitas

Internasional Amerika Serikat di San Diego. Dia adalah profesor tamu di

universitas Harvard, Stanford, dan Metodis Selatan. Karya Frankl telah

diterjemahkan ke lebih dari 20 bahasa, dan idenya terus memberikan dampak

besar pada perkembangan terapi eksistensial. Bukunya yang menarik Man’s

3
4

Search for Meaning (1963), yang aslinya berjudul From Death Camp to

Existentialism, telah menjadi buku terlaris di seluruh dunia.

Meskipun Frankl mulai mengembangkan pendekatan eksistensial terhadap

praktik klinis sebelum tahun-tahun suramnya di kamp kematian Nazi,

pengalamannya di sana menegaskan pandangannya. Frankl (1963) mengamati dan

secara pribadi mengalami kebenaran yang diungkapkan oleh filsuf dan penulis

eksistensial, termasuk pandangan bahwa cinta adalah tujuan tertinggi yang dapat

dicita-citakan manusia dan bahwa keselamatan kita adalah melalui cinta. Bahwa

kami memiliki pilihan dalam setiap situasi adalah gagasan lain yang dikonfirmasi

oleh pengalamannya di kamp konsentrasi. Bahkan dalam situasi yang mengerikan,

dia yakin, kita bisa mempertahankan sisa kebebasan spiritual dan kemandirian

pikiran. Dia belajar dari pengalaman bahwa segala sesuatu dapat diambil dari

seseorang kecuali satu hal: "“the last of human freedoms—to choose one’s

attitude in any given set of circumstances, to choose one’s own way" (hal. 104).

Frankl percaya bahwa hakikat manusia terletak pada pencarian makna dan tujuan.

Kita dapat menemukan makna ini melalui tindakan dan perbuatan kita, dengan

mengalami suatu nilai (seperti cinta atau pencapaian melalui pekerjaan), dan

dengan penderitaan.

Frankl tahu dan membaca Freud dan menghadiri beberapa pertemuan

kelompok psikoanalitik Freud. Frankl mengakui utangnya kepada Freud,

meskipun dia tidak setuju dengan kekakuan sistem psikoanalitik Freud. Frankl

sering berkomentar bahwa Freud adalah seorang psikolog yang mendalam dan

bahwa dia adalah seorang psikolog tinggi badan yang dibangun di atas fondasi
5

Freud. Bereaksi melawan sebagian besar gagasan deterministik Freud, Frankl

mengembangkan teori dan praktik psikoterapi yang menekankan konsep

kebebasan, tanggung jawab, makna, dan pencarian nilai. Dia membangun reputasi

internasionalnya sebagai pendiri dari apa yang disebut "“The Third School of

Viennese Psychoanalysis.”

B. Konsep-Konsep Utama

1. Pandangan tentang Sifat Manusia

Psikologi eksistensial-humanistik berfokus pada kondisi manusia.

Pendekatan ini terutama adalah suatu sikap yang menekankan pada

pemahaman manusia alih-alih suatu sistem teknik-teknik yang digunakan

untuk mempengaruhi klien. Oleh karena itu, pendekatan eksistensial-

humanistik bukan suatu aliran terapi, bukan pula suatu teori tunggal yang

sistematik. Pendekatan terapi eksistensial juga bukan suatu pendekatan

terapi tunggal, melainkan suatu pendekatan yang mencakup terapi-terapi

yang berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep-konsep dan

asumsi-asumsi tentang manusia. Karena konsep-konsep eksistensial

tentang manusia akan dibahas lebih rinci pada pembahasan selanjutnya,

yakni pada pembahasan tentang penerapan teknik-teknik dan prosedur-

prosedur terapeutik, maka pada pembahasan berikut konsep-konsep

tentang manusia itu akan dirangkum secara ringkas. Yang akan diungkap

berikut ini adalah konsep-konsep utama dari pendekatan eksistensial yang

membentuk landasan bagi praktek terapeutik.


6

2. Kesadaran diri

Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri,

suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia

mampu berpikir dan memutuskan. Semakin kuat kesadaran diri itu pada

seseorang, maka akan semakin besar pula kebebasan yang ada pada orang

itu. Kesanggupan untuk memilih alternatif-alternatif yakni memutuskan

secara bebas di dalam kerangka pembatasnya adalah suatu aspek yang

esensial pada manusia. Kebebasan memilih dan bertindak itu disertai

tanggungjawab. Para eksistensialis menekankan bahwa manusia

bertanggungjawab atas keberadaan dan nasibnya. Manusia bukanlah

bidak dari kekuatan-kekuatan yang deterministik dari pengondisian.

3. Kebebasan, tanggung jawab, dan kecemasan

Kesadaran atas kebebasan dan tanggungjawab bisa menimbulkan

kecemasan yang menjadi atribut dasar pada manusia. Kecemasan

eksistensial juga bisa diakibatkan oleh kesadaran atas keterbatasannya dan

atas kemungkinan yang tak terhindarkan untuk mati (non-being).

Kesadaran atas kematian memiliki arti penting bagi kehidupan individu

sekarang, sebab kesadaran tersebut menghadapkan individu pada

kenyataan bahwa dia memiliki waktu yang terbatas untuk mengaktualkan

potensi-potensinya. Dosa eksistensial, yang juga merupakan bagian dari

kondisi manusia, adalah akibat dari kegagalan individu untuk benar-benar

menjadi sesuatu sesuai dengan kemampuannya.


7

4. Penciptaan makna

Manusia itu unik, dalam arti bahwa dia berusaha untuk

menemukan tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan

memberikan makna bagi kehidupan. Menjadi manusia juga berarti

menghadapi kesendirian : manusia (lahir ke dunia sendirian dan mati

sendirian pula). Sungguhpun pada hakikatnya sendirian, manusia memliki

kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang

bermakna, sebab manusia adalah makhluk rasional. Kegagalan dalam

menciptakan hubungan yang bermakna bisa menimbulkan kondisi-kondisi

isolasi. depersonalisasi, alineasi, keterasingan. dan kesepian. Manusia juga

berusaha untuk mengaktualkan diri, yakni mengungkapkan potensi-potensi

manusiawinya. Sampai taraf tertentu, jika tidak mampu mengaktualkan

diri, ia bisa menjadi “sakit”. Patologi dipandang sebagai kegagalan

menggunakan kebebasan untuk mewujudkan potensi-potensi seseorang.

C. Proses-Proses Terapeutik

1. Tujuan-tujuan Terapeutik

Terapi eksistensial bertujuan agar klien mengalami keberadaannya

secara otentik dengan menjadi sadar atas keberadaan dan potensi-potensi

serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak berdasarkan

kemampuannya. Bugental (1965) menyebut keotentikan sebagai "urusan

utama psikoterapi” dan ”nilai eksistensial pokok”. Terdapat tiga

karakteristik dari keberadaan otentik: (1) menyadari sepenuhnya keadaan


8

sekarang (2) memilih bagaimana hidup pada saat sekarang, dan (3) memikul

tanggung jawab untuk memilih. Klien yang neurotik adalah orang yang

kehilangan rasa ada, dan tujuan terapi adalah membantunya agar ia

memperoleh atau menemukan kembali kemanusiaannya yang hilang.

Pada dasarnya, tujuan terapi eksistensial adalah meluaskan

kesadaran diri klien, dan karenanya meningkatkan kesanggupan pilihannya,

yakni menjadi bebas dan bertanggung jawab atas arah hidupnya.

Penerimaan tanggung jawab itu bukan suatu hal yang mudah; banyak orang

yang takut akan beratnya bertanggung jawab atas menjadi apa dia sekarang

dan akan menjadi apa dia selanjutnya. Mereka harus memilih, misalnya,

akan tetap berpegang pada kehidupan yang dikenalnya atau akan membuka

diri kepada kehidupan yang kurang pasti dan lebih menantang. Justru

tiadanya jaminan-jaminan dalam kehidupan itulah yang menimbulkan

kecemasan. Oleh karena itu, terapi eksistensial juga bertujuan membantu

klien agar mampu menghadapi kecemasan sehubungan dengan tindakan

memilih diri, dan menerima kenyataan bahwa dirinya lebih dari sekadar

korban kekuatan-kekuatan deterministik di luar dirinya.

2. Fungsi dan Peran Terapis

Tugas utama terapis adalah berusaha memahami klien sebaga ia

dalam-dunia. Teknik yang digunakan mengikuti alih-alih mendahulu

pemahaman. Karena menekankan pada pengalaman klien sekarang, para

terapis eksistensial menunjukkan keleluasaan dalam menggunakan metode-

metode, dan prosedur yang digunakan oleh mereka bisa bervariasi tidak
9

hanya dari klien yang satu kepada klien yang lainnya, tetapi juga dari satu

ke lain fase terapi yang dijalani oleh klien yang sama.

Meskipun terapi eksistensial bukan merupakan metode tunggal, dI

kalangan terapis eksistensial dan humanistik ada kesepakatan menyangkut

tugas-tugas dan tanggung jawab terapis. Buhler dan Allen (1972) sepakat

bahwa psikoterapi difokuskan pada pendekatan terhadap hubungan manusia

alih-alih sistem teknik. Menurut Buhler dan Allen, para ahli psikologi

humanistik memiliki orientasi bersama yang mencakup hal-hal berikut:

1) Mengakui pentingnya pendekatan dari pribadi ke pribadi.

2) Menyadari peran dari tanggung jawab terapis.

3) Mengakui sifat timbal balik dari hubungan terapeutik.

4) Berorientasi pada pertumbuhan.

5) Menekankan keharusan terapis terlibat dengan klien sebagai suatu

pribadi yang menyeluruh.

6) Mengakui bahwa putusan-putusan dan pilihan-pilihan akhir terletak

di tangan klien.

7) Memandang terapis sebagai model, dalam arti bahwa terapis

dengan gaya hidup dan pandangan humanistiknya tentang manusia

bisa secara implisit menunjukkan kepada klien potensi bagi

tindakan kreatif dan positif.

8) Mengakui kebebasan klien untuk mengungkapkan pandangan dan

untuk mengembangkan tujuan-tujuan dan nilainya sendiri.


10

9) Bekerja ke arah mengurangi kebergantungan klien sena

meningkatkan kebebasan klien.

May (1961) mandang tugas terapis di antaranya adalah membantu

klien agar menyadari keberadaannya dalam dunia: "Ini adalah saat ketika

pasien melihat dirinya sebagai orang yang terancam, yang hadir di dunia

yang mengancam dan sebagai subjek yang memiliki dunia”.

Frankl (1959) menjabarkan peran terapis sebagai ”spesialis mata

daripada sebagai pelukis”. yang bertugas ”memperluas dan memperlebar

lapangan visual pasien sehingga spektrum keseluruhan dari makna dan nilai-

nilai menjadi disadari dan dapat diamati oleh pasien".

Untuk contoh mengenai bagaimana seorang terapis yang berorientasi

eksistensial bekerja dalam penemuan tetapi, bisa ditunjuk surat klien yang

telah diungkapkan di muka. Jika klien mengungkapkan perasaan-

perasaannya kepada terapis pada pertemuan terapi, maka terapis akan

bertindak sebagai berikut.

1) Memberikan reaksi-reaksi pribadi dalam kaitan dengan apa yang

dikatakan oleh klien.

2) Terlibat dalam sejumlah pertanyaan pribadi yang relevan dan

pantas tentang pengalaman-pengalaman yang mirip dengan yang

dialami oleh klien.

3) Meminta kepada klien untuk mengungkapkan ketakutannya

terhadap keharusan memilih dalam dunia yang tak pasti.


11

4) Menantang klien untuk melihat seluruh cara dia menghindari

pembuatan pumsan-putusan dan memberikan penilaian terhadap

penghindaran itu.

5) Mendorong klien untuk memeriksa jalan hidupnya pada periode

sejak memulai terapi dengan bertanya: ”Jika Anda bisa secara ajaib

kembali kepada cara Anda ingat kepada diri Anda sendiri sebelum

terapi, maukah anda melakukannya sekarang?”

6) Beri tahukan kepada klien bahwa ia sedang mempelajari apa yang

dialaminya sesungguhnya adalah suatu sifat yang khas sebagai

manusia. bahwa dia pada akhirnya sendirian, bahwa dia harus

memutuskan untuk dirinya sendiri, bahwa dia akan mengalami

kecemasan atas ketidakpastian putusan-putusan yang dibuat, dan

bahwa dia akan berjuang untuk menetapkan makna kehidupannya

di dunia yang sering tampak tak bermakna.

3. Pengalaman Klien dalam Terapi

Dalam terapi eksistensial, klien mampu mengalami secara subjektif

persepsi-persepsi tentang dunianya. Dia harus aktif dalam proses terapeutik,

sebab dia harus memutuskan ketakutan-ketakutan, perasaan-perasaan

berdosa, dan kecemasan-kecemasan apa yang akan dieksplorasinya.

Memutuskan untuk menjalani terapi saja sering merupakan tindakan yang

menakutkan, seperti ditunjukkan oleh catatan salah seorang klien yang tidak

diungkapkannya selama periode terapi. Rasakan kecemasan yang dialami


12

oleh klien ketika dia memutuskan untuk meninggalkan keamanan dan

memulai mencari dirinya sendiri :

”Saya memulai terapi hari ini. Saya merasa takut, tetapi tidak tahu

karena apa. Sekarang saya tahu. Pertama, saya takut kepada Jerry. Dia

memiliki kekuatan untuk mengubah saya. Saya memberinya kekuatan itu,

dan saya tidak bisa kembali. Itulah yang benar-benar membingungkan saya.

Tidak ada yang sama… saya masih belum mengenal diri saya sendiri, hanya

tahu bahwa tidak ada yang sama. Saya sedih dan takut akan hal itu. Saya

cemas, keamanan akan hilang dari diri saya, dan saya takut, siapa saya

nantinya. Saya sedih tidak bisa kembali. Saya telah membuka pintu ke

dalam diri sendiri dan ngeri menemukan apa yang terdapat di dalamnya,

menghadapi diri yang baru, menemui dan berhubungan dengan orang-orang

dengan cara yang berbeda. Saya menduga, saya memiliki kecemasan yang

mengambang tentang segala hal, tetapi saya terutama takut terhadap diri

sendiri.”

Pendek kata, klien dalam terapi eksistensial terlibat dalam

pembukaan pintu menuju diri sendiri. Pengalaman sering menakutkan, atau

menyenangkan, mendepresikan, atau gabungan dari semua perasaan

tersebut. Dengan membuka pintu yang tertutup, klien mulai melonggarkan

belenggu deterministik yang telah menyebabkan dia terpenjara secara

psikologis. Lambat laun klien menjadi sadar, apa dia tadinya dan siapa dia

sekarang, serta klien Iebih mampu menetapkan masa depan macam apa
13

yang diinginkannya. Melalui proses terapi, klien bisa mengeksplorasi

alternatif-alternatif guna membuat pandangan-pandangannya menjadi riel.

4. Hubungan antara Terapis dan Klien

Hubungan terapeutik sangat penting bagi terapis eksistensia|.

Penekanan diletakkan pada pertemuan antar manusia dan perjalanan

bersama alih-alih pada teknik-teknik yang mempengaruhi klien. Isi

pertemuan terapi adalah pengalaman klien sekarang, bukan ”masalah” klien.

Hubungan dengan orang lain dalam kehadiran yang otentik difokuskan

kepada ”di sini dan sekarang”. Masa lampau atau masa depan hanya penting

bila waktunya berhubungan langsung.

Dalam menulis tentang hubungan terapeutik, Sidney Jourard (1971)

mengimbau agar terapis, melalui tingkah lakunya yang otentik dan terbuka,

mengajak klien kepada keotentikan. Jourard meminta agar terapis

membangun hubungan Aku-Kamu, di mana pembukaan diri terapis yang

spontan menunjang pertumbuhan dan keotentikan klien. Sebagaimana

dinyatakan oleh Jourard (1971), ”Manipulasi melahirkan kontramanipulasi,

Pembukaan diri melahirkan pembukaan diri pula”. la juga menekankan

bahwa hubungan terapeutik bisa mengubah terapis sebagaimana ia

mengubah klien. ”Hal itu berarti bahwa siapa yang menginginkan ada dan

pertumbuhannya tidak berubah, tidak perlu menjadi terapis”.

Jourand adalah satu contoh yang baik tentang seorang terapis yang

mengembangkan gaya diri yang berorientasi humanistik. la menunjukkan

bahwa menjadi unik, otentik, dan menggunakan teknik-teknik yang beragam


14

dalam kerangka humanistik adalah suatu hal yang mungkin. Terapis

mengundang klien untuk tumbuh dengan mencontoh tingkah laku yang

otentik. Terapis mampu menjadi jernih ketika kejernihan itu diperlukan

dalam hubungan terapeutik, dan dengan kemanusiawiannya dia

menstimulasi klien untuk mengetuk potensinya ke arah yang nyata

(realness). Jouand (1971) menguraikan evolusinya sendiri sebagai seorang

terapis dalam bukunya yang berjudul The Transparent Self:

”Tingkah laku saya sebagai seorang terapis telah berubah secara

perlahan tetapi radikal selama beberapa tahun. Saya menjadi pendengar

terbaik di antara yang pernah saya alami, bahkan barangkali lebih baik.

Kesanggupan saya untuk memberikan empati dan penilaian saya yang

menyeluruh sekarang lebih besar dibanding dengan yang saya miliki

sebelumnya. Saya merefleksikan perasaan-perasaan dan isi sebagaimana

yang saya lakukan, tetapi itu dilakukan hanya apabila saya ingin agar klien

mengetahui apa yang saya dengar daripadanya. Akan tetapi, kadang-kadang

tahu-tahu saya memberikan saran, mengajari, tertawa, menjadi marah,

menafsirkan, menceritakan khayalan-khayalan sendiri, mengajukan

pertanyaan-pertanyaan... Pendek kata, melakukan apa saja yang timbul dari

diri saya sepanjang pertemuan terapi sebagai tanggapan terhadap orang lain.

Perubahan ini bisa berarti bahwa saya tumbuh sebagai pribadi dan sebagai

terapis atau berarti bahwa melalui kekurangan pengawasan yang ketat, saya

tenggelam di dalam "disiplin”. Sekalipun demikian, saya tetap


15

mendiskusikan pekerjaan saya dengan rekan-rekan, dan saya tidak

terisolasi.”

Jourard tetap berpendapat bahwa jika terapis menyembunyikan diri

dalam pertemuan terapi, maka dia terlibat dalam tingkah laku tidak ootentik

yang sama dengan yang menimbulkan gejala-gejala pada diri klien. Menurut

Jourard, cara untuk membantu klien agar menemukan dirinya yang sejati

serta agar tidak menjadi asing dengan dirinya sendiri adalah, terapis secara

spontan membukakan pengalaman otentiknya kepada klien pada saat yang

tepat dalam pertemuan terapi. Hal ini bukan berarti bahwa terapis harus

menghentikan penggunaan teknik-teknik, diagnosis-diagnosis, dan

penilaian-penilaiannya, melainkan terapis harus sering menyatakan atau

menyampaikan kepada klien bahwa dia tidak ingin mengungkapkan apa

yang dipikirkan atau dirasakannya.

D. Penerapan : Teknik-Teknik dan Prosedur Terapeutik

Tidak seperti kebanyakan pendekatan terapi, pendekatan eksistensial-

humanistik tidak memiliki teknik-teknik yang ditentukan secara ketat.

Prosedur-prosedur terapeutik bisa dipungut dari beberapa pendekatan terapi

lainnya. Metode-metode yang berasal dari terapi Gestalt dan Analisis

Transaksional sering digunakan, dan sejumlah prinsip dan prosedur

psikoanalisis bisa diintegrasikan kedalam pendekatan eksistensial-humanistik.

Rollo May (1953, 1958, 1961), seorang pikoanalisis asal Amerika

yang diakui luas atas pengembangan psikoterapi ekistensial di Amerika, juga


16

telah mengintegrasikan metodologi dan konsep-konsep psikoanalisis ke dalam

psikoterapi eksistensial.

Pada pembahasan dibawah ini diungkap dalil-dalil yang mendasari

praktek eksistensial-humanistik. Dalil-dalil ini, yang dikembangkan dari suatu

survei atas karya-karya para penulis psikologi eksistensial, berasal dari Frankl

(1959, 1963), May (1953, 1958, 1961), Maslow (1968), Jourard (1971), dan

Bugental (1965), merepresentasikan sejumlah tema yang penting, yang

merinci praktek-praktek terapi.

Tema-tema dan Dalil-dalil Utama Eksistensial : Penerapan-penerapan

pada Praktek Terapi

Dalil 1 : Kesadaran Diri

Kesadaran diri membedakan manusia dengan mahkluk-mahkluk lain.

Manusia bisa tampil di luar diri dan berefleksi atas keberadaannya. Pada inti

keberadaan manusia, kesadaran membukakan kepada kita bahwa:

1. Manusia adalah mahkluk yang terbatas, dan tidak selamanya mampu

mengaktualkan potensi-potensi.

2. Manusia memiliki potensi mengambil atau tidak mengambil tindakan.

3. Manusia memiliki suatu ukuran pilihan tentang tindakan-tindakan yang

akan diambil, karena itu manusia menciptakan sebagian dari nasib dirinya

sendiri.

4. Manusia pada dasarnya sendirian, tetapi memiliki kebutuhan untuk

berhubungan dengan orang lain; manusia menyadari bahwa mereka

terpisah, tetapi juga terkait dengan orang lain.


17

5. Makna adalah sesuatu yang tidak diperoleh begitu saja, tetapi merupakan

hasil dari pencarian dan penciptaan tujuan yang unik.

6. Kecemasan eksistensial adalah bagian hidup yang esensial sebab dengan

meningkatnya kesadaran manusia akan keharusan memilih, maka manusia

akan mengalami peningkatan tanggung jawab atas konsekuensi-

konsekuensi tindakan memilih.

7. Kecemasan timbul dari penerimaan ketidakpastian masa depan.

8. Kita bisa mengalami kondisi-kondisi kesepian, ketidakbermaknaan,

kekosongan, rasa berdosa, dan isolasi, sebab kesadaran adalah

kesanggupan yang mendorong manusia untuk mengenal kondisi-kondisi

tersebut.

Berikut ini merupakan daftar dari beberapa pemunculan kesadaran

yang dialami seseorang, baik dalam konseling individual maupun dalam

konseling kelompok :

1. Mereka menjadi sadar bahwa dalam usaha yang nekat untuk dicintai,

mereka sebenarnya kehilangan pengalaman dicintai.

2. Mereka melihat, bagaimana mereka menukarkan keamanan yang diperoleh

dari kebergantungan dengan kecemasan-kecemasan.

3. Mereka mengakui, bagaimana mereka berusaha mengingkari berbagai

ketidakkonsistenan diri mereka sendiri.

4. Mereka mulai melihat bahwa identitas diri mereka tertambat pada

penentuan orang lain.


18

5. Mereka belajar bahwa diri mereka dengan berbagai cara dibiarkan menjadi

tawanan pengalaman-pengalaman dan putusan-putusan masa lampau.

6. Mereka menemukan sejumlah besar faset pada diri mereka sendiri, dan

menjadi sadar bahwa dengan merepresi satu sisi dari keberadaan mereka,

mereka merepresi keberadaan yang lainnya.

7. Mereka bisa belajar bahwa mereka tidak bisa mengabaikan masa depan

maupun masa lampau.

8. Mereka dapat menyadari bahwa mereka dirisaukan oleh ajal dan kematian.

9. Mereka mampu menerima keterbatasan-keterbatasan diri, tapi tetap merasa

pantas.

10. Mereka bisa mengakui bahwa mereka gagal untuk hidup pada saat

sekarang karena dikuasai oleh masa lampau maupun oleh rencana masa

depan.

Dalam pengertian yang sesungguhnya, peningkatan kesadaran diri

yang mencakup kesadaran atas alternatif-alternatif, motivasi-motivasi, faktor-

faktor yang membentuk pribadi, dan atas tujuan-tujuan pribadi, adalah tujuan

segenap konseling.

Dalil 2 : Kebebasan dan Tanggung Jawab

Manusia adalah mahkluk yang menentukan diri, dalam arti bahwa dia

memiliki kebebasan untuk memilih di antara alternatif-alternatif. Karena

manusia pada dasarnya bebas, maka dia harus bertanggung jawab atas

pengarahan hidup dan penentuan nasibnya sendiri.


19

Pendekatan eksistensial meletakkan kebebasan, determinasi diri,

keinginan dan putusan pada pusat keberadaan manusia. Pandangan

eksistensial adalah bahwa individu, dengan putusan-putusannya, membentuk

nasib dan mengukir keberadaannya sendiri.

Kebebasan adalah kesanggupan untuk meletakkan perkembangan di

tangan sendiri dan untuk memilih di antara alternatif-alternatif. Tentu saja

kebebasan memiliki batas-batas, dan pilihan-pilihan dibatasi oleh faktor-

faktor luar. Akan tetapi, kita memang memiliki unsur memilih.

Barangkali soal utama dalam konseling dan psikoterapi adalah

kebebasan dan tanggung jawab. Tema eksistensial inti adalah bahwa kita

menciptakan diri. Para eksistensialis tidak melihat dasar bagi konseling dan

psikoterapi tanpa pengakuan atas kebebasan dan tanggung jawab yang

dimiliki oleh masing-masing individu. Terapis perlu mengajarkan klien

bahwa dia bisa mulai membuat pilihan. Meskipun klien boleh jadi telah

menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk melarikan diri dari kebebasan

memilih.

Dalil 3 : Keterpusatan dan Kebutuhan akan orang lain

Setiap individu memiliki kebutuhan untuk memelihara keunikan dan

keterpusatannya, tetapi pada saat yang sama ia memiliki kebutuhan untuk

keluar dari dirinya sendiri dan untuk berhubungan dengan orang lain maupun

dengan alam.

Penemuan siapa kita sesungguhnya bukanlah suatu proses yang

otomatis dan membutuhkan keberanian. Secara paradoksal kita juga memiliki


20

kebutuhan yang kuat untuk keluar dari keberadaan kita. Kita membutuhkan

hubungan dengan keberadaan-keberadaan yang lain. Kita harus memberikan

diri kita kepada orang lain dan terlibat dengan mereka.

1. Keberanian untuk ada

Usaha menemukan inti dan belajar bagaimana hidup dari dalam

memerlu keberanian. Kita berjuang untuk menemukan, untuk menciptakan,

dan untuk memelihara inti dari ada kita. Salah satu ketakutan terbesar dari

para klien adalah bahwa mereka akan tidak menemukan inti, diri, dan

substansi, menemukan kenyataan bahwa mereka hanyalah refleksi-refleksi

pengharapan orang lain atas diri mereka. Seorang klien mungkin mengatakan,

”Ketakutan saya adalah menemukan bahwa saya bukan siapa-siapa, bahwa

benar-benar tidak ada suatu apapun bagi saya, dan bahwa saya tidak memilih

diri. Saya akan menemukan bahwa saya adalah kerang yang kosong, hampa

dan tidak ada lagi yang eksis jika saya menanggalkan topeng saya.”

Para terapis eksistensial bisa memulai dengan meminta kepada para

kliennya untuk mengakui perasaannya sendiri bahwa mereka tidak lebih dari

sejumlah pengharapan orang lain, dan bahwa mereka hanyalah introyek-

introyek dari orang tua dan orang tua pengganti. Bagaimana perasaan mereka

pada saat ini? Apakah mereka ditakdirkan untuk tetap seperti itu? Adakah

jalan keluar? Dapatkah mereka menciptakan suatu diri setelah menemukan

bahwa mereka tanpa diri.? Dari mana mereka bisa memulai? Sekali klien

menunjukkan keberanian untuk mengakui ketakutannya, mengungkapkan

ketakutan dengan kata-kata dan membaginya, maka ketakutan itu tidak akan
21

begitu menyelubunginya. Penulis menemukan bahwa tempat untuk mulai

bekerja bagi terapis adalah mengajak klien untuk menerima cara-cara dia

hidup di luar dirinya sendiri dan mengeksplorasi cara-cara untuk keluar dari

pusatnya sendiri.

Kesulitan yang dialami oleh banyak orang di antara kita adalah

pencarian arah, jawaban-jawaban, nilai-nilai dan keyakinan keyakinan dari

orang lain yang dianggap penting di lingkungan kita. Kita lebih suka menjual

diri dengan menjadi apa yang diharapkan oleh orang lain daripada menaruh

kepercayaan pada diri sendiri untuk menemukan jawaban-jawaban bagi

konflik-konflik dalam kehidupan kita. Ada kita menjadi berakar pada ada

orang lain, dan kita menjadi orang asing bagi diri kita sendiri.

Kebutuhan akan diri berkaitan dengan kebutuhan untuk menjalani

hubungan yang bermakna dengan orang lain. Jika kita hidup dalam isolasi

dan tidak memiliki hubungan yang nyata dengan orang lain, maka kita

mengalami perasaan terabaikan, terasingkan, dan terkucilkan. Salah satu

fungsi terapi adalah membantu klien untuk membedakan kebergantungan

yang neurotik kepada orang lain dan hubungan terapeutik di mana hubungan

kedua belah pihak ditingkatkan. Terapis bisa memberikan tantangan pada

para klien untuk memeriksa apa yang diperoleh dari hubungan mereka,

bagaimana mereka menghindari hubungan yang akrab, bagaimana mereka

mencegah hubungan yang setara, dan cara-cara yang memungkinkan mereka

menciptakan hubungan manusiawi yang terapeutik, sehat, dan matang.


22

2. Pengalaman kesendirian

Para eksistensialis berdalil bahwa bagian dari kondisi manusia adalah

pengalaman kesendirian. Bagaimana, kita bisa memperoleh kekuatan dari

pengalaman melihat kepada diri sendiri dan dari merasakan kesendirian dan

keterpisahan. Rasa terisolasi muncul ketika kita menyadari bahwa kita tidak

bisa bergantung pada orang lain dalam mengukuhkan diri, yakni kita

sendirilah yang harus memberikan makna kepada hidup kita, kita sendiri

Yang harus menetapkan bagaimana kita akan hidup, kita sendiri yang harus

menemukan jawaban-jawaban, dan kita sendiri yang harus memutuskan

apakah kita akan menjadi sesuatu atau tidak menjadi sesuatu. Jika kita tidak

sanggup menoleransi diri ketika kita mengalami kesendirian, bagaimana

mungkin kita mengharapkan orang lain bisa diperkaya oleh kehadiran kita.

Sebelum kita bisa memiliki jalinan hubungan yang kuat dengan orang lain,

kita terlebih dahulu harus memiliki jalinan hubungan dengan diri kita sendiri.

Kita harus belajar mendengarkan diri kita sendiri. Kita terlebih dahulu harus

mampu berdiri tegak sendirian sebelum berdiri di samping orang lain.

Terdapat suatu paradoks dalam dalil yang menyebutkan bahwa

manusia secara eksistensial sendirian, tetapi juga berhubungan. Paradoks ini

menguraikan kondisi manusia. Keliru apabila kita berpikir bahwa kita bisa

dan perlu memperbaiki kondisi itu. Pada akhirnya kita sedirian. Kita

mengalami kesendirian eksistensial ketika kita mengakui dan menerima

bahwa kita memikul tanggung jawab atas pilihan-pilihan kita berikut hasil-
23

hasilnya bahwa komunikasi total dari individu yang satu dengan individu

yang lainnya tidak pernah bisa dicapai, bahwa kita adalah individu-individu

yang terpisah dari orang lain, dan bahwa kita adalah unik.

3. Pengalaman keberhubungan

Kita adalah makhluk yang relasional, dalam arti bahwa kita bergantung

pada hubungan dengan orang lain untuk kemanusiaan kita. Kita memiliki

kebutuhan untuk menjadi orang yang berarti dalam dunia orang lain, dan kita

butuh akan perasaan bahwa kehadiran orang lain penting dalam dunia kita.

Apabila kita memperbolehkan orang lain memiliki arti dalam dunia kita, maka

kita mengalami keterhubungan yang bermakna. Apabila kita mampu tegak

sendiri dan menyelam ke dalam diri sendiri untuk memperoleh kekuatan,

maka hubungan kita dengan orang lain berlandaskan pemenuhan bukan

deprivasi. Bagaimanapun, jika kita secara pribadi merasa mengalami

deprivasi, maka hanya sedikit yang diharapkan dari hubungan kita dengan

orang lain kecuali hubungan bergantung, parasitik, dan simbiotik.

Dalil 4: Pencarian Makna

Salah satu karakteristik yang khas pada manusia adalah perjuangannya

untuk merasakan arti dan maksud hidup. Manusia pada dasarnya selalu dalam

pencarian makna dan identitas pribadi.

Menurut pengalaman penulis, konflik-konflik yang mendasari

sehingga membawa orang-orang ke dalam konseling dan terapi adalah dilema-

dilema yang berkisar pada pertanyaan-pertanyaan eksistensial: Mengapa saya


24

berada? Apa yang saya inginkan dari hidup? Apa yang memberikan maksud

kepada hidup saya? Di mana sumber makna bagi saya dalam hidup ini?

Terapi eksistensial bisa menyediakan kerangka konseptual untuk

membantu klien dalam usahanya mencari makna hidup. Pertanyaan-

pertanyaan yang bisa diajukan oleh terapis kepada kliennya adalah: Apakah

Anda menyukai arah hidup Anda? Apakah Anda puas atas apa Anda sekarang

dan akan menjadi apa Anda? Apakah Anda aktif melakukan sesuatu yang

akan mendekatkan Anda pada ideal-diri Anda? Apakah Anda mengetahui apa

yang Anda inginkan? Jika Anda bingung mengenai siapa Anda dan apa yang

Anda inginkan, apa yang Anda lakukan untuk memperoleh kejelasan?

1. Masalah penyisihan nilai-nilai lama

Salah satu masalah dalam terapi adalah penyisihan nilai-nilai

tradisional (dan nilai-nilai yang dialihkan kepada seseorang) tanpa disertai

penemuan nilai-nilai lain yang sesuai untuk menggantikannya. Apa yang

dilakukan oleh terapis jika menghadapi klien yang tidak lagi berpegangan

pada nilai-nilai yang tidak pernah sungguh-sungguh ditantang atau

diinternalkan, dan klien tersebut sekarang mengalami keadaan hampa? Klien

membutuhkan petunjuk-petunjuk dan nilai-nilai baru yang cocok dengan

faset-faset yang ditemuinya. Tugas terapis dalam proses terapeutik adalah

membantu klien dalam menciptakan suatu sistem nilai berlandaskan cara

hidup yang konsisten dengan cara ada-nya klien.


25

Terapis harus menaruh kepercayaan terhadap kesanggupan klien dalam

menemukan sistem nilai yang bersumber pada dirinya sendiri dan yang

memungkinkan hidupnya bermakna. Klien tidak diragukan lagi akan bingung

dan mengalami kecemasan sebagai akibat tidak adanya nilai-nilai yang jelas.

Kepercayaan terapis terhadap klien adalah variabel yang penting dalam

mengajari klien agar mempercayai kesanggupannya sendiri dalam menemukan

sumber nilai-nilai baru dari dalam dirinya.

2. Belajar untuk menemukan makna dalam hidup

Logo terapi yang dikembangkan oleh Viktor Frankl, dirancang untuk

membantu individu dalam menemukan makna dalam hidupnya. Menurut

Frankl (1959), pencarian makna dalam hidup adalah salah satu ciri manusia.

“Keinginan kepada makna” adalah perjuangan utama manusia. Hidup tidak

memiliki makna dengan sendirinya. Manusialah yang harus menciptakan dan

menemukan makna hidup itu.

Dalam pandangan para eksistensialis, tugas utama konselor adalah

mengeksplorasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ketakberdayaan,

keputusasaan, ketakbermaknaan dan kekosongan eksistensial. Sebenarnya,

sejumlah eksistensialis menyatakan bahwa dari ketidakbermaknaan dan dunia

yang absurd kita bisa menemukan sumber kreativitas. Absurditas dan

ketakbermaknaan hidup membiarkan kita menciptakan makna di dunia ini.

Tugas proses terepeutik adalah menghadapi masalah ketidakbermaknaan dan

membantu klien dalam membuat makna dari dunia yang kacau.


26

Frankl (1959) menandaskan bahwa fungsi terapis bukanlah

menyampaikan kepada klien apa makna hidup yang harus diciptakannya,

melainkan mengungkapkan bahwa klien bisa menemukan makna, bahkan juga

dari penderitaan. Dengan pandangan itu Frankl bukan hendak menyebarkan

aroma yang pesimistik dari filsafat eksistensial, melainkan mengingatkan

bahwa penderitaan manusia (aspek-aspek tragis dan negatif dari hidup) bisa

diubah menjadi prestasi melalui sikap yang diambilnya dalam menghadapi

penderitaan itu. Frankl juga menekankan bahwa orang-orang bisa menghadapi

penderitaan, perasaan berdosa, kematian dan dalam konfrontasi, menantang

penderitaan, sehingga mencapai kemenangan. Ketidakbermaknaan dan

kehampaan eksistensial adalah masalah-masalah utama yang harus dihadapi

dalam proses terepeutik.

3. Pandangan eksistensial tentang psikopatologi

Para terapis eksistensial memandang neurosis sebagai kehilangan rasa

ada, yang membawa serta pembatasan kesadaran dan penutupan

kemungkinan-kemungkinan yang merupakan manifestasi-manifestasi dari

ada. Mereka juga menyebut “frustasi eksistensial” atau “kehampaan

eksistensial” sebagai akibat kegagalan ketika mencari makna dalam hidup.

Ketidakbermaknaan mengakibatkan kekosongan dan kehampaan. Pria dan

wanita dihantui oleh kekosongan dalam hidup mereka. Oleh karenanya,

mereka menarik diri dari perjuangan mengembangkan dan mengaktualkan

potensi-potensi mereka yang unik.


27

Dosa eksistensial berkaitan dengan konsep psikopatologis. Dosa

esksistensial itu timbul dari perasaan tidak lengkap atau dari kesadaran

seseorang bahwa dirinya menjadi sebagaimana mestinya. Dosa eksistensial

juga merupakan kesadaran pada seseorang bahwa tindakan-tindakan dan

pilihan-pilihannya tidak bisa menyatakan potensi-potensinya secara penuh

sebagai pribadi. Penyempitan hidup yang dilakukan seseorang dalam usaha

mengatasi hal-hal yang tidak dikenalnya, menghasilkan pembatasan atas

perkembangan sebagai pribadi.

Kesehatan psikologis adalah pemanfaatan segenap potensi.

Sebaliknya, ketidakmampuan menggunakan potensi-potensi itu menyebabkan

sakit. Patologi yang dipandang sebagai sesuatu yang dipelajari adalah akibat

frustasi batin atau kegagalan untuk menjadi yang sesuai dengan

kemampuannya.

Dalil 5 : Kecemasan sebagai syarat hidup

1. Kecemasan sebagai sumber pertumbuhan

Sebagai karakteristik manusia yang mendasar, kecemasan adalah

reaksi terhadap ancaman. Kecemasan menyerang inti keberadaan. Kecemasan

adalah apa yang dirasakan ketika keberadaan diri terancam.

Kecemasan bisa menjadi perangsang pertumbuhan, dalam arti bahwa

kita mengalami kecemasan dengan meningkatnya kesadaran kita atas

kebebasan dan atas konsekuensi-konsekuensi dari penerimaan ataupun

penolakan kebebasan kita itu. Sebenarnya, apabila kita membuat suatu putusan

yang melibatkan rekonstruksi hidup kita, kecemasan yang menyertai


28

pembuatan putusan itu bisa menjadi tanda bahwa kita memang telah siap untuk

mengalami perubahan pribadi. Tanda itu konstruktif, sebab ia memberi tahu

kita bahwa tidak semua hal berjalan baik. Jika kita bisa menangkap pesan-

pesan yang terkandung dalam kecemasan, maka kita akan berani mengambil

langkah-langkah yang diperlukan guna mengubah arah hidup kita.

2. Pelarian dari kecemasan

Bentuk kecemasan yang konstruktif (kecemasan eksistensial) adalah

fungsi dari penerimaan kita atas kesendirian dan meskipun kita bisa

menemukan hubungan yang bermakna dengan orang lain, kita pada dasarnya

tetap sendirian. Kecemasan eksistensial juga muncul dari perasaan bersalah

yang dialami apabila kita gagal mengaktualkan potensi-potensi kita.

Namun demikian, banyak klien yang membutuhkan konseling

menginginkan penyelesaian-penyelesaian yang membuat mereka mampu tidak

menderita oleh kecemasan. Membuka diri terhadap hidup baru, bagaimanapun

berarti memuka diri terahadap kecemasan dan kita berkorban terlalu banyak

apabila memintas lingkaran kecemasan.

Orang-orang memiliki keberanian untuk menghadapi dirinya sendiri,

bagaimanapun, merasa takut. Kita meyakini bahwa orang yang memiliki

kesediaan untuk hidup dengan ditemani oleh kecemasan adalah orang yang

telah memperoleh keuntungan dari terapi pribadi. Orang yang terlalu cepat

melarikan diri ke dalam pola-pola yang menyenangkan bisa mengalami

kelegaan sementara, tetapi dalam jangka panjang dia bisa mengalami frustasi

karena terpaku pada cara-cara lama.


29

3. Implikasi-implikasi konseling bagi kecemasan

Kebanyakan orang mencari bantuan profesional karena mereka

mengalami kecemasan atau depresi. Banyak klien yang memasuki kantor

konselor disertai harapan bahwa konselor akan mencabut penderitaan mereka

atau setidaknya akan memberikan formula tertentu untuk mengurangi

kecemasan mereka. Konselor yang berorientasi eksistensial, bagaimanapun,

bekerja tidak semata-mata untuk menghilangkan gejala-gejala atau mengurangi

kecemasan. Sebenarnya, konsleor eksistensial tidak memandang kecemasan

sebagai hal yang tak diharapkan. Ia kan bekerja dengan cara tertentu sehingga

untuk sementara klien bisa mengalami peningkatan taraf kecemasan.

Pertanyaan-pertanyaan yang bisa diajukan adalah : Bagaimana klien

mengatasi kecemasan? Apakah kecemasan merupakan fungsi dari

pertumbuhan ataukah fungsi kebergantungan pada tingkah laku neurotik?

Apakah klien menunjukan keberanian untuk membiarkan dirinya menghadapi

kecemasan atas hal-hal yang tidak dikenalnya?

Kecemasan adalah bahan bagi konseling yang produktif, baik

konseling individual maupun konseling kelompok. Jika klien tidak mengalami

kecemasan, maka motivasinya untuk berubah akan rendah. Kecemasan dapat

ditransformasikan ke dalam energi yang dibutuhkan untuk bertahan

menghadapi resiko bereksperimen dengan tingkah laku baru.

Dalil 6 : Kesadaran atas kematian dan Non-Ada

Kesadaran atas kematian adala kondisi manusia yang mendasar yang

memberikan makna kepada hidup. Para eksistensial tidak memandang kematian


30

secara negatif. Menurut mereka, karakteristik yang khas pada manusia adalah

kemampuannya untuk memahami konsep masa depan dan tak bisa

dihindarkannya kematian. Justru kesadaran atas akan terjadinya ketiadaan

memberikan makna kepada keberadaan, sebab hal itu menjadikan setiap tindakan

manusia itu berarti.

Menurut May (1961), “Pengorbanan untuk mengingkari kematian adalah

kecemasan yang tak menentu, pengucilan diri. Untuk memahami dirinya dengan

sempurna, manusia harus menghadapi kematian dan sadar akan kematian

pribadinya”. Frankl (1965) sejalan dengan May dan menyebutkan bahwa

kematian memberikan makna kepada keberadaan manusia. Jika kita tidak akan

pernah mati, maka kita bisa menunda tindakan untuk selamanya. Akan tetapi,

karena kita terbatas, apa yang kita lakukan sekarang memiliki arti khusus. Bagi

Frankl, yang menentukan kebermaknaan hidup seseorang bukan lamanya,

melainkan bagaimana orang itu hidup.

1. Implikasi-implikasi konseling

Kita sampai pandangan bahwa kematian dan kehidupan adalah lawan

yang setara. Untuk tumbuh kita harus bersedia membiarkan sebagian dari masa

lampau akan berlalu. Bagian-bagian tertentu dari diri kita harus mati bila

dimensi-dimensi baru harus muncul. Kita tidak bisa berpegang pada aspek-

aspek neurotik masa lampau kita jika kita sekaligus mengharapkan sisi kita

yang lebih kreatif berkembang.

Satu teknik kelompok yang telah terbukti berguna adalah meminta

kepada kelompok orang (klien) untuk mengkhayalkan diri mereka berada


31

dalam ruangan yang sama dengan orang-orang yang sama sepuluh tahun yang

akan datang. Penulis meminta kepada mereka untuk membayangkan bahwa

mereka tidak mengikuti putusan-putusan yang telah mereka buat dan bahwa

mereka gagal menerima peluang untuk mengubah diri dengan cara-cara yang

sangat diinginkan. Mereka juga diminta membayangkan bahwa mereka tidak

menghadapi bagian-bagian diri yang ditakuti, bahwa urusan mereka yang tak

selesai tetap tidak terselesaikan, bahwa mereka tidak menganggap proyek-

proyek mereka, dan bahwa mereka memilih untk tetap seperti sekarang alih-

alih mengambil resiko untuk berubah. Kemudian penulis meminta kepada

mereka untuk berbicara tentang kehidupan mereka seakan-akan mereka tahu

bahwa diri mereka sedang mendekati ajal. Praktek ini bisa memobilisasi para

klien untuk memandang waktu yang mereka miliki secara serius dan ia bisa

mencegah mereka menerima kemungkinan bahwa mereka bisa menerima

keberadaan seperti zombie alih-alih kehidupan yang lebih sempurna.

Dalil 7 : Perjuangan untuk aktualisasi diri

Manusia berjuang untuk aktualisasi diri, yakni kecenderungan untuk

menjadi apa saja yang mereka mampu. Setiap orang memiliki dorongan bawaan

untuk menjadi seorang pribadi yakni mereka memiliki kecenderungan ke arah

pengembangan keunikan dan ketunggalan, penemuan identitas pribadi dan

perjuangan demi aktualisasi potensi-potensinya secara penuh. Jika seseorang

mampu mengaktualkan potensi-potensinya sebagai pribadi, maka dia akan

mengalami kepuasan yang paling dalam yang bisa dicapai oleh manusia, sebab

demikianlah alam mengharapkan mereka berbuat.


32

Menjadi pribadi bukanlah suatu proses yang otomatis, namun setiap

orang memiliki hasrat untuk menjadi suatu yang sesuai dengan kemampuannya.

Alam seolah-olah berkata kepada kita, “Kamu harus menjadi apa saja yang kamu

bisa.” Menjadi sesuatu memerlukan keberanian. Apakah kita ingin menjadi

sesuatu atau tidak menjadi sesuatu adalah pilihan kita. Ada pergulatan yang terus-

menerus di dalam diri kita. Meskipun kita ingin tumbuh ke arah kematangan,

kemandirian dan aktualisasi, kita menyadari bahwa perluasan diri adalah suatu

proses yang menyakitkan. Itulah sebabnya perjuangan itu adalah antara keamanan

dari kebergantungan dan kesenangan dengan sakitnya pertumbuhan.

Dalam upaya menciptakan psikologi humanistik yang berfokus pada

“bisa menjadi apa seseorang”, Maslow merancang suatu studi yang menggunakan

subjek-subjek yang terdiri dari orang-orang yang mengaktualkan diri. Beberapa

ciri yang ditemukan oleh Maslow (1968, 1970) pada orang-orang yang

mengaktualkan diri itu adalah : kesanggupan menoleransi dan bahkan menyambut

ketidaktentuan dalam hidup mereka, penerimaan terhadap diri sendiri dan orang

lain, kespontanan dan kreativitas, kebutuhan akan privacy dan kesendirian,

otomoni, kesanggupan menjalin hubungan interpersonal yang mendalam dan

intens, perhatian yang tulus terhadap orang lain, rasa humor, keterarahan kepada

diri sendiri (kebalikan dari kecenderungan untuk hidup berdasarkan pengharapan

orang lain), dan tidak adanya dikotomi-dikotomi yang artifisial (seperti kerja-

bermain, cinta-benci, lemah-kuat).

Carl Rogers (1961), seorang tokoh utama dalam penciptaan psikologi

humanistik, membangun teori dan praktek terapinya di atas konsep tentang


33

“pribadi yang berfungsi penuh”, yang sangat mirip dengan “orang yang

mengaktualkan diri” yang dikemukakan oleh Maslow. Rogers mempercayai dapat

dipercayainya sifat manusia dan memandang gerak ke arah berfungsi penuh

sebagai suatu kebutuhan dasar. Menurut Rogers, apabila manusia berfungsi secara

bebas, maka akan bersifat konstruktif dan dapat dipercaya.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Salah satu kritik terhadap pendekatan eksistensial bagi para praktek terapi

adalah bahwa ia tidak memiliki pernyataan yang sistematis mengenai prinsip-

prinsip dan praktek-praktek psikoterapi. Pendekatan ini paling sering dikritik

karena kelemahannya dalam metodologi. Pendekatan eksistensial menunjukan

bahwa manusia selalu ada dalam proses pemenjadian dan bahwa manusia secara

sinambung mengaktualkan dan memenuhi potensinya. Pendekatan eksistensial

secara tajam berfokus pada fakta-fakta utama keberadaan manusia kesadaran diri

dan kebebasan yang konsisten.

Bagi para eksistensialis, pemberian penghargaan kepada pandangan baru

tentang kematian adalah suatu hal yang positif, bukan sesuatu yang tidak sehat

yang menjadi pengganti ketakutan, sebab kematian memberikan makna pada

hidup. Selanjutnya para eksistensialis telah menyumbangkan suatu dimensi baru

kepada pemahaman atas kecemasan, perasaan berdosa, frustasi, kesepian dan

keterkucilan. Pendek kata, para klien yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan-

kebutuhan pokok untuk memelihara kelangsungan hidupnya dan yang tidak

berminat pada aktualisasi diri atau makna-makna eksistensial, kurang tepat untuk

ditangani melalui terapi eksistensial-humanistik

34
35

B. Saran

Memiliki kemampuan dalam konseling humanistik merupakan hal penting

yang dapat mengarahkan kita ke masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu kita

harus mengasah kemampuan dengan baik berdasarkan pengalaman-pengalaman

pribadi kita di lingkungan. Sehingga kita dapat memahami dan mengetahui hal-

hal atau masalah klien kita nantinya.

35
DAFTAR PUSTAKA

Coray Gerald. (2013). Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung: PT.

Refika Aditama

36

Anda mungkin juga menyukai