Anda di halaman 1dari 11

Makalah Presentasi kel.

1
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Psikologi Lintas Budaya dan Agama

Dosen : M. Johan Nasrul Huda

Di susun oleh :
M. Maruf El Munir

(14710005)

Rara Salsabila Syani

(14710006)

Siti Muridatul Hasanah (14710016)


Ayu Wening Permoni

(14710034)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN
KALIJAGA YOGYAKARTA
2015

BUDAYA, AGAMA DAN PERILAKU SOSIAL


Perilaku Sosial
Pengertian Perilaku Sosial Perilaku sosial adalah suasana saling
ketergantungan yang merupakan keharusan untuk menjamin keberadaan
manusia (Rusli Ibrahim, 2001). Sebagai bukti bahwa manusia dalam
memnuhi kebutuhan hidup sebagai diri pribadi tidak dapat melakukannya
sendiri melainkan memerlukan bantuan dari orang lain.Ada ikatan saling
ketergantungan diantara satu orang dengan yang lainnya inilah
bagaimana manusia dikenal dengan makhluk sosial.
Pada aspek eksternal situasi sosial memegang peranan yang cukup
penting. Situasi sosial diartikan sebagai tiap-tiap situasi di mana terdapat
saling hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain (W.A.
Gerungan, 1978:77). Dengan kata lain setiap situasi yang menyebabkan
terjadinya interaksi sosial dapatlah dikatakan sebagai situasi sosial.
Faktor-Faktor Pembentuk Perilaku Sosial Baron dan Byrne
berpendapat bahwa ada empat kategori utama yang dapat membentuk
perilaku sosial seseorang, yaitu:
a.
b.
c.
d.

Perilaku dan karakteristik orang lain


Proses kognitif
Faktor lingkungan
Tatar Budaya

Tatar budaya sebagai tampat perilaku dan pemikiran sosial itu


terjadi Misalnya, seseorang yang berasal dari etnis budaya tertentu
mungkin akan terasa berperilaku sosial aneh ketika berada dalam
lingkungan masyarakat yang beretnis budaya lain atau berbeda. Dalam
konteks pembelajaran pendidikan jasmani yang terpenting adalah untuk
saling menghargai perbedaan yang dimiliki oleh setiap anak. Sama halnya
dalam tatar agama, seseorang yang berasal dari lingkungan agama
tertentu mungkin akan terasa berperilaku sosial aneh ketika berada dalam
lingkungan masyarakat yang beragama lain atau berbeda.

MANUSIA SEBAGAI HOMO SOCIUS


Manusia adalah makhluk sosial sehingga sebagian besar dari
kehidupannya melibatkan interaksi dngan orang lain. Budaya dapat
dipertimbangkan memilik pengaruh pada arena sosial. Cara-cara kita

berinteraksi dengan orang lain, mempersepsi diri sendiri maupun orang


lain, dan bekerja dengan orang lain sangat dipengaruhi oleh budaya
dimana kita hidup. Kita semua telah mempelajari cara-cara tertentu untuk
bertingkah laku, mempersepsi dan bekerja dengan orang lain berdasarkan
pada aturan-aturan dan norma-norma yang disepakati dalam budaya kita.

Budaya dan Perilaku Sosial


DIRI DALAM KONTEKS SOSIAL (SOCIAL SELF)
Pemantauan

diri

(self-monitoring)

merupakan

proses

dimana

individu mengadakan emantauan terhadap pengelolaan kesan yang


dilakukannya pada saat berhubungan dengan orang lain. Dengan kata
lain, self-monitoring adalah penyesuaian perilaku seseorang terhadap
norma-norma situasional atau harapan orang-orang lain (Worchel, dkk.,
2000).
Individu

yang

memiliki

self-monitoring

tinggi

akan

lebih

memusatkan perhatian pada kesan yang mereka berikan pada orang lain,
sementara individu yang mempunyai self-monitoring rendah memberikan
lebih banyak perhatian pada perasaan-perasan yang dialami dirinya
sendiri. Dengan demikian, individu yang memiliki self-monitoring tinggi,
perilakunya lebih ditentukan oleh apa yang pantas/layak sesuai dengan
situasi

daripada

oleh

sikap,

pikiran

dan

perasaan

mereka

yang

sebenarnya. Konsep ini pertama dikemukakan oleh Snyder (1979), yang


menyusun tes untuk menguji tingkat monitoring yang dilakukan subjek
Amerika terhadap perilaku mereka sendiri.
Gudykunst dkk. (1990, 1992) menyatakan bahwa skala snyder
hanya

mengukur

tipe

self-monitoring

budaya

individualis.

Setelah

melakukan wawancara dengan responden orang Jepang dan Cina, mereka


membuat suatu skala baru yang mereka anggap memenuhi prinsip etic.
Dengan skala itu, mereka dapat menunjukkan bahwa orang Amerika dan
Inggris memiliki skor tinggi pada item-item yang mengukur monitoring

perilaku diri sendiri, sedangkan orang Jepang dan Cina memiliki skor tinggi
pada monitoring orang lain, supaya mereka dapat menentukan perilaku
yang layak secara sosial.
Konsep yang paling kuat dan menyeluruh mempengaruhi perilaku
kita adalah self concept. Self concept adalah ide atau citra tentang diri
sendiri dan alasan di balik berbagai perilaku yang kita munculkan. Ada
tiga label yang menggambarkan diri, yaitu : 1. sifat (atribut) didalam diri
sendiri, 2. Perilaku,

pikiran, perasan dimasa lalu, serta 3. Perilaku,

pikirkan, perasaan di masa depan.


Self

concept

dapat

terbentuk

dati

praktek

budaya,

dimana

seseorang mendapat perilaku nyata, obyektif, dan kasat mata dalam


budaya tertentu. Pada dasarnya pandangan budaya mengenai dunia pada
tingkat kognitif tidak perlu berdasarkan kepada kenyataan. Dalam hal
ini,self contcept merupakan bagian dari pandangan budaya sehingga ia
tidak

perlu

sesuai

dengan

kenyataan

yang

ada.

Budaya

juga

mempengaruhi pembentukan identitas sosial pada diri seseorang. Misal di


Indonesia identitas sosial ini di ungkap dalam bentuk sumpah pemuda.
PERSEPSI SOSIAL (MEMPERSEPSI ORANG LAIN)
Perbedaan

antara

bagaimana

orang-orang

dalam

budaya

individualistis dan kolektivis menggambarkan diri mereka dan lingkungan


fisik mereka adalah berakar pada proses kognisi sosial, maka seharusnya
kita harapkan akan menemukan perbedaan yang sama ketika kita
menyelidiki proses mereka dalam mempersepsi orang lain. Korten (1974)
membandingkan persepsi tentang orang lain antara pelajar Amerika dan
Ethiopia. Orang Amerika memberikan ciri-ciri khas orang lain dengan
istilah-istilah

yang

berhubungan

dengan

kemampuan

(abilitas),

pengetahuan dan gaya emosionalnya. Sedangkan mahasiswa Ethiopia


cenderung menggunakan gambaran tentang interaksinya dengan orang
lain, dan tentang opini dan keyakinannya, dimana keduanya merupakan
descriptor yang lebih berkaitan dengan konteks.
Perbedaan tersebut nampaknya berakar dari perbedaan dalam
proses kognisi sosial, dimana budaya kolektif yang menekankan nilai

kolektif secara primer lebih memfokuskan perhatiannya pada konteks


tindakan dan bagaimana tindakan-tindakan yang berbeda itu dipertautkan
bersama.

Sedangkan

budaya

individualis

yang

menekankan

nilai

kebebasan lebih memfokuskan perhatiannya pada tindakan-tindakan dari


diri merekan sendiri dan orang lain.
PERBEDAAN GAYA ATRIBUSI SECARA LINTAS BUDAYA
Atribusi adalah penarikan kesimpulan yang dilakukan individu
tentang penyebab kejadian-kejadian dan perilaku-perilaku orang lain.
Atribusi

adalah

bagian

terpenting

dalam

interaksi

sosial,

karena

mencerminkan cara-cara kita dalam memahami dunia sekeliling kita


termasuk kejadian-kejadian dan perilaku diri kita sendiri meupun yang
dilakukan orang lain.
Studi

tentang

gaya

atribusi

sebelumnya

yang

menggunakan

sebagian besar subjek penelitian orang-orang Amerika telah menunjukkan


adanya beberapa kekeliruan (bias) dalam menafsirkan dunia sekeliling
kita dan perilaku orang lain.
a. Fundamental
kecenderungan

attribution
untuk

error adalah

menjelaskan

bias

perilaku

kerena

orang

lain

adanya
dengan

menggunakan atribusi internal, tetapi menjelaskan perilakunya sendiri


dengan menggunakan atribusi eksternal.
b. Self-serving

bias adalah

kecenderungan

untuk

mengantribusikan

kesuksesan diri sendiri pada faktor-faktor internal (missalnya kemampuan


atau usaha) dan kegagalan pada faktor-faktor situasional (adanya
gangguan teman atau ada urusan dirumah).
c.

Devensive attribution adalah kecenderungan untuk menyalahkan

korban karena ketidak beruntungannya (misalnya dirampok).


Penelitian-penelitian lain membuktikan bahwa atribusi tidak hanya
dipengaruhi oleh budaya, tetapi dipengaruhi juga oleh faktor-faktor sosial
seperti kelas sosial dan ras. Tom & Cooper (1986) yang menyelidiki

atribusi dari guru-guru sekolah dasar kulit putih tentang performance


murid-muridnya yang bervariasi berdasar aspek-aspek kelas sosial, ras
dan gender. Hasilnya menunjukkan bahwa guru lebih mungkin untuk
memperhitungkan kesuksesan akan dicapai oleh murid-murid dari kelas
sosial

menengah,

kulit

putih

dan

memotong

kegagalan

mereka

dihubungkan dengan kelas sosial dan ras yang lain.


Berdasar pembahasan tentang hasil-hasil penelitian di atas, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa orang-orang dari budaya yang berbeda
memiliki gaya atribusi dan bias-bias yang berbeda pula. Atribusi dan biasbias yang ditemukan di Amerika, seperti self-serving bias, defensive
attribution, dan fundamental attribution error tidak akan ada dalam cara
yang sama atau memiliki makna yang sama dalam budaya-budaya lain.
Temuan-temuan ini secara khusus penting dalam pemahaman kita
mengenai interaksi antar budaya. Melakukan interpretasi tentang sebabsebab perilaku khususnya yang berkaitan dengan intense (niat) dan
kehendak baik adalah penting untuk kesuksesan beberapa tipe interaksi
sosial. Ada pesan menarik dalam hal ini, yaitu jangan terlalu cepat
mengatribusikan

perilaku

buruk

atau

perasaan

negatif

orang

lain

khususnya dalam setting hubungan antarbudaya, sebab barangkali


perilaku itu sebenarnya berakar dalam budayanya yang mendukung
perilaku tersebut dan dianggap bukan sesuatu yang buruk.
MEMBANDINGKAN DIRI SENDIRI DENGAN ORANG LAIN (SOCIAL
COPARISON)
Cara kita membandingkan sikap dan perilaku kita terhadap orang lain
telah menjadi topik utama dalam psikologi sosial. Alasan perbandingan
tersebut mengkin saja bervariasi tergantung pada nilai-nilai independen
atau interdependen. Pada kelompok budaya individualis perbandingan
sosial dapat memberikan umpan balik akan kualitas dan kemampuan, dan
dari sini akan memperkuat atau memperlemah perasaan tentang diri.
Sedangkan dalam kelompok budaya kolektif, perbandingan sosial dapat
menimbulkan perbedaan makna tergantung pada sasaran dengan siapa

perbandingan-perbandingan tersebut dibuat. Dalam hubungannya dengan


anggota lain dalam kelompoknya sendiri, perbandingan sosial akan
menjadi petunjuk anggota-anggota kelompok untuk merasakan konsensus
kelompok dan untuk mendeteksi bahaya-bahaya yang mungkin muncul
mengenai kesepakatan itu dimasa yang akan datang.
Takata (1987) Orang Jepang berekspresi lebih percaya bahwa estimasi
tentang kemampuan (abilitas) mereka adalah benar ketika mereka
mengerjakan lebih buruk dari orang lain. sedangkan ketika mengerjakan
lebih baik mereka menjadi ragu-ragu. Nampak sekali adanya selfefficating bias (bias tak ingin menonjolkan diri). Hasilnya ditemukan
bahwa subjek yang menerima estimasi abilitas yang rendah sedikit
tertarik untuk memperoleh informasi lebih lanjut, diduga karena mereka
telah merasa puas dengan evaluasi yang mereka terima.
Hasil penelitian ini bertentangan dengan nilai positif pada asertivitas
dan kepercayaan diri dalam budaya-budaya yang lebih individualis,
sebgaimana hasil penelitian Markus & Kitayama yang telah dibahas dalam
bab sebelumnya.
PERBEDAAN BUDAYA DALAM PERILAKU ANTAR KELOMPOK
Perbedaan budaya dalam hubungan ingroup-outgroup
Perbedaan budaya dalam memahami konsep ingroup dan outgroup
dipengaruhi oleh aturan-aturan dan standar-standar sosial dan budaya.
Menurut Triandis (1988), perbedaan hubungan diri dengan ingroup dan
diri dengan outgroup dengan menggunakan dimensi budaya yang dikenal
sebagai individualisme versus kolektivisme untuk memahami perbedaan
budaya dalam perilaku sosial.
Hubungan diri dengan ingroup (self-ingroup) dan diri denah
outgroup (self-outgroup) berbeda dalam budaya individualistis dengan
budaya kolektivistis, dan perbedaan ini menghasilkan perbedaan dalam
tipe perilaku ketika berinteraksi dengan orang lain.
Perbedaan karakteristik antara budaya individualis dan kolektif
dalam keanggotaan ingroup memiliki konsekuensi pada komitmen yang

dimiliki

orang

terhadap

kelompok-kelompok

yang

berbeda.

Pada

umumnya karena memiliki sedikit outgroup, orang-orang dalam budaya


kolektif memiliki komitmen yang lebih besar terhadap group mereka dan
mengidentifikasi diri mereka , sehingga kelompok itu menjadi bagian yang
menyatu dengan konsep diri dan identitas mereka.
Di satu pihak, anggota budaya individualis tidak memerlukan
identitas diri dan konsep diri ke dalam kelompok yang mereka miliki.
Mereka memiliki komitmen rendah terhadap ingroup mereka dan mudah
berpindah dari satu ingroup ke ingroup yang lain. Dalam budaya kolektif,
fokus perhatian yang paling utama adalah hubungan ingroup, sedangkan
dalam budaya individualis lebih berfokus pada hubungan outgroup.
DAYA

TARIK

INTERPERSONAL

CINTA,

KEINTIMAN,

DAN

PERKAWINAN ANTARA BUDAYA


Daya tarik interpersonal mencakup rasa suka, persahabatan,
kagum,bieahi, dan cinta.

Hatfield dan Bresheid mengemukakan bahwa

ada dua jenis cinta yaitu Passionnate Love yang mencakup perasaan
seksual dan emosi yang intens, dan Companionate Love yang mencakup
kehangatan,kepevayaan, dan toleransi afektif kepada orang lain yang
kehidupannya telah terjalin satu sama lain dengan mendalam.
TELAAH LINTAS BUDAYA TENTANG DAYA TAEIK INTERPERSONAL,
CINTA DAN KEINTIMAN
Temuan temuan dari studi lintas budaya menunjukkan bagaimana
orang orang dari budaya yang berbeda berpikir atau menganggap tentang
cinta dan romans secara berbeda pula. Tetapi dalam beberapa penelitian
mengemukakan kesepakatan secara lintas budaya dalam pemilihan
pasangan.
Buss(1989) menemukan bahwa wanita menilai tanda tanda yang
berhubungan dengan sumber pencapaian materi pada potensi pria lebih
tinggi daripada penilaian pria, sementara pria menilai kemampuan
reproduksi lebih tinggi daripada wanita. Buss (1989) mengemukakan juga

bahwa

pemilihan

pasangan

yang

disukai

adalah

universal

dan

berkembang atas dasar tekanan seleksi yang berbeda pada pria dan
wanita.
PERKAWINAN ANTARA BUDAYA DAN ANTAR RAS
Pasangan dalam perkawinan antara budaya mengalami konflik
mengenai keintiman dan ekspresi cinta. Orang orang dari budaya berbeda
akan memperlihatkan prbedaaan dalam ekspresi emosi dasar seperti
marah atau kebahagiaan. Perkawinan antara budaya adalah contoh
pertama dari hubungan antar budaya. Menurut Gontaine ada dua
komponen kunci yang menentukan kesuksesan perkawinan antara budaya
yaitu : 1. Seseorang harus menyadari warisan budaya pasangannya, 2.
Mereka harus saling menghargai legitimasi warisan budaya dalam
berhubungan satu dengan yang lain.

PERILAKU AGRESI DALAM TELAAH LINTAS BUDAYA


Segall, dkk (1990) mengemukakan bahwa agresi secara sederhana
didefinisikan sebagai perilaku yang dengan sengaja menyakiti orang lain.
Faktor penyebab perilaku agresi adalah ekologis dan struktural. Setiap
masyarakat memiliki ragam yang luas tentang penerimaan bawahan atas
status mereka yang lebih rendah, sehingga perbedaan lintas budaya
dalam menilai agresivitas dari tindakan tindakan kekerasan dapat di
antisipasikan. Meskipun tindakan kriminal terjadi disemua masyarakat,
tetapi akan berbeda tingkat keiminalitasnya. Dengan menurunnya sistem
dukungan sosial akan menyebabkan adanya perbedaan yang dijelaskan
dari pengaruh budaya.

Agama dan Perilaku Sosial


KONSEP AGAMA
Max Weber dalam studi komparsinya membandingkan dua karakter
agama yang akan kita temui sepanjang sejarah peradaban manusia, yakni

agama tradisional atau biasa disebut sebagai agama magis dengan


agama modern atau yang biasa disebut dengan agama rasional.
Lima konsep agama sebagai sistem kebudayaan yang dikemukakan oleh
Geertz, yakni:
-

Sebuah sistem simbol simbol yang berlaku


Menetapkan suasana hati dan motivasi motivasi yang kuat, yang
meresapi, dan yang tahan lama dalam tradisi manusia
Merumuskan konsep konsep mengenai suatu tatanan umum
eksistensi
Membungkus konsep konsep ini dengan semacam pancaran
faktualitas
Suasana hati dan motivasi motivasi itu tampak realistis

Geertz, Religion as a Cultural System in Interpretation of Cultures 90:


1973

KEHIDUPAN BERAGAMA DAN PERILAKU SOSIAL


Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan
terhadap keyakinan adanya kekuatan gaib, luar biasa, atau supernatural
yang berpengaruh terhadap segala gejala alam. Kepercayaan itu
menimbulkan perilaku tertentu, seperti berdoa, memuja dan lainnya, serta
menimbulkan sikap mental tertentu, seperti rasa takut, rasa optimis,
pasrah, dan lainnya dari individu dan masyarakat yang mempercayainya.
Terdapat perbedaan kehidupan beragama di kalangan masyarakat
primitif dan masyarakat modern. Dalam masyarakat primitf, kehidupan
beragama tidka dapat dipisahkan dari aspek kehidupan lain; beragama
dan kegiatan sehari hari menyatu, beragama merupakan sistem sosial
budaya. Dalam masyarakat modern, kehidupan beragama hanya salah
satu aspek dari kehidupan sehari hari. Beragama merupakan subsistem
dari kehidupan, yaitu sistem peribadatan atau ritual.
Dalam psikologi sendiri, agama dapat menjadi 2 sisi mata pisau.
Di satu sisi, agama merupakan faktor pelindung yang dapat
menguatkan ketahanan seorang individu dalam menghadapi suatu
stressor. Sering kita lihat dalam kondisi bencana, bangsa ini cukup mampu
untuk bertahan karena meyakini konsep 'ikhlas', 'tawakal', bahwa
bencana yang menimpa merupakan ujian dari Tuhan untuk menaikkan
derajat umatnya, bahwa kesabaran dapat membawa mereka kepada
sesuatu yang indah di hari akhir, konsep tentang 'surga' dan berbagai
fasilitas didalamnya sebagai balasan dari 'perilaku sesuai agama'
menguatkan individu dari segala penderitaan yang dihadapi di dunia.
Di sisi lain, ketetapan moral yang ditawarkan secara pasti dalam
doktrin agama dapat menjadi sumber kecemasan yang sangat besar bagi

individu. Beberapa pasien depresi dan schizophrenia (penting untuk


diingat bahwa ada faktor biologi, sosial, kepribadian, dll sebagai penyebab
gangguan ini) mengakui adanya perasaan bersalah yang besar terhadap
perilaku mereka yang salah dari sudut pandang agama. Contoh lain,
Seorang istri religius yang benar-benar menjaga kehormatannya hingga
sebelum pernikahan merasakan tekanan yang sangat besar ketika
didiagnosa HIV positif yang tertular dari suaminya, meninggal tidak lama
setelah diagnosa karena menolak pengobatan dan depresi membuat daya
tahan tubuh menurun drastis.
Terlepas dari baik-buruknya, saya rasa agama merupakan hal yang
perlu untuk dimiliki manusia. Manusia membutuhkan pegangan hidup dan
agama
memberikan
pedoman
untuk
itu.
Iman bukanlah sesuatu yang perlu dikaji dengan menggunakan akal,
namun agama tidak juga melarang manusia menggunakan akal. Beberapa
ranah baik dikaji dengan menggunakan logika pengetahuan, dan ranah
Ketuhanan merupakan sesuatu yang sebaiknya tidak diotak-atik selain
melalui Iman. Setiap hal memiliki tempatnya masing-masing, dan akan
lebih baik jika dibiarkan tetap pada tempatnya.

Referensi
1. Saewono, Saelito. Psikologi Lintas Budaya. PT rajageagindo persada .
2014: jakarta
2. Dayakisni, Tei. Yuniaedi, Salis. Psikologi Lintas Budaya (edisi revisi).
Umm peess. 2012: malang

Anda mungkin juga menyukai