Anda di halaman 1dari 14

Perspektif Berdasarkan Perilaku Manusia : Psikologi, Sosiologi dan

Psikologi Sosial
Menurut Robbins (2003), Ketiga hal tersebut, yaitu psikologi, sosiologi dan
psikologi sosial menjadi kontribusi utama dari ilmu keperilakuan. Ketiganya
melakukan pencarian untuk menguraikan dan menjelaskan perilaku manusia,
walaupun secara keseluruhan mereka memiliki perspektif yang berbeda mengenai
kondisi manusia. terutama merasa tertarik dengan bagaimana cara individu
bertindak. Fokusnya didasarkan pada tindakan orang-orang ketika mereka
bereaksi terhadap stimuli dalam lingkungan mereka, dan perilaku manusia
dijelaskan dalam kaitannya dengan ciri, arah dan motivasi individu. Keutamaan
psikologi didasarkan pada seseorang sebagai suatu organisasi.
Psikologi, merupakan ilmu pengetahuan yang berusaha mengukur, menjelaskan
dan kadang mengubah perilaku manusia. Para psikolog memperhatikan studi dan
upaya memahami perilaku individual. Mereka yang telah menyumbangkan dan
terus menambah pengetahuan tentang perilaku organisasional teoritikus
pembelajaran, teoritikus keperibadian, psikologi konseling dan psikologi industri
dan organisasi.
Bila psikologi memfokuskan perhatian mereka pada individu, sosiologi
mempelajari sistem sosial di mana individu-individu mengisi peran-peran mereka,
jadi sosiologi mempelajari orang-orang dalam hubungan dengan manusia-manusia
sesamanya. Secara spesifik, sosiolog telah memberikan sumbangan mereka yang
terbesar kepada perilaku organisasi melalui studi mereka terhadap perilaku
kelompok dalam organisasi, terutama organisasi yang formal dan rumit. Beberapa
bidang dalam perilaku organisasi yang menerima masukan yang berharga dari
para sosiolog adalah dinamika kelompok, desain tim kerja, budaya organisasi,
teknologi organisasi, birokrasi, komunikasi, kekuasaan dan konflik.
Psikologi sosial, adalah suatu bidang dalam psikologi, tetapi memadukan konsep-
konsep baik dari psikologi maupun sosiologi yang memusatkan perhatian pada
perilaku kelompok sosial. Penekanan keduanya adalah pada interaksi antara
orang-orang dan bukan pada rangsangan fisik. Perilaku diterangkan dalam
hubungannya dengan ilmu sosial, pengaruh sosial dan ilmu dinamika kelompok.
Disamping itu para psikologi sosial memberikan sumbangan yang berarti dalam
bidang-bidang pengukuran, pemahaman, dan perubahan sikap, pola komunikasi,
cara-cara dalam kegiatan dapat memuaskan kebutuhan individu dan proses
pengambilan keputusan kelompok.
Kita sering berpikir bahwa yang namanya dunia psikologi adalah dunia yang
berkaitan dengan persoalan perasaan, motivasi, kepribadian, dan yang sejenisnya.
Dan kalau berpikir tentang sosiologi, secara umum cenderung memikirkan
persoalan kemasyarakatan. Kajian utama psikologi adalah pada persoalan
kepribadian, mental, perilaku, dan dimensi-dimensi lain yang ada dalam diri
manusia sebagai individu. Sosiologi lebih mengabdikan kajiannya pada budaya
dan struktur sosial yang keduanya mempengaruhi interaksi, perilaku, dan
kepribadian. Kedua bidang ilmu tersebut bertemu di daerah yang dinamakan
psikologi sosial.
Dengan demikian para psikolog berwenang merambah bidang ini, demikian pula
para sosiolog. Namun karena perbedaan latar belakang maka para psikolog akan
menekankan pengaruh situasi sosial terhadap proses dasar psikologikal - persepsi,
kognisi, emosi, dan sejenisnya. Sedangkan para sosiolog akan lebih menekankan
pada bagaimana budaya dan struktur sosial mempengaruhi perilaku dan interaksi
para individu dalam konteks sosial, dan lalu bagaimana pola perilaku dan interaksi
tadi mengubah budaya dan struktur sosial. Jadi psikologi akan cenderung
memusatkan pada atribut dinamis dari seseorang; sedangkan sosiologi akan
mengkonsentrasikan pada atribut dan dinamika seseorang, perilaku, interaksi,
struktur sosial, dan budaya, sebagai faktor-faktor yang saling mempengaruhi satu
sama lainnya

Beberapa Hal Penting Dalam Perilaku Organisasi


Ada beberapa teori perilaku organisasional yang mencerminkan inti yang
ditangani oleh teori-teori, yaitu :
1. Teori Peran
Walau Park menjelaskan dampak masyarakat atas perilaku kita dalam
hubungannya dengan peran, namun jauh sebelumnya Robert Linton (1936),
seorang antropolog, telah mengembangkan Teori Peran. Teori Peran
menggambarkan interaksi sosial dalam terminologi aktor-aktor yang bermain
sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh budaya. Sesuai dengan teori ini,
harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita
untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini, seseorang yang
mempunyai peran tertentu misalnya sebagai dokter, mahasiswa, orang tua, wanita,
dan lain sebagainya, diharapkan agar seseorang tadi berperilaku sesuai dengan
peran tersebut. Mengapa seseorang mengobati orang lain, karena dia adalah
seorang dokter. Jadi karena statusnya adalah dokter maka dia harus mengobati
pasien yang datang kepadanya. Perilaku ditentukan oleh peran sosial
Kemudian, sosiolog yang bernama Glen Elder (1975) membantu memperluas
penggunaan teori peran. Pendekatannya yang dinamakan life-course
memaknakan bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada setiap
anggotanya untuk mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-kategori
usia yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Contohnya, sebagian besar warga
Amerika Serikat akan menjadi murid sekolah ketika berusia empat atau lima
tahun, menjadi peserta pemilu pada usia delapan belas tahun, bekerja pada usia
tujuh belah tahun, mempunyai istri/suami pada usia dua puluh tujuh, pensiun pada
usia enam puluh tahun. Di Indonesia berbeda. Usia sekolah dimulai sejak tujuh
tahun, punya pasangan hidup sudah bisa usia tujuh belas tahun, pensiun usia lima
puluh lima tahun. Urutan tadi dinamakan tahapan usia (age grading). Dalam
masyarakat kontemporer kehidupan kita dibagi ke dalam masa kanak-kanak, masa
remaja, masa dewasa, dan masa tua, di mana setiap masa mempunyai bermacam-
macam pembagian lagi.
2. Struktur Sosial
Telah kita catat bahwa telah terjadi perdebatan di antara para ilmuwan sosial
dalam hal menjelaskan perilaku sosial seseorang. Untuk menjelaskan perilaku
sosial seseorang dapat dikaji sebagai sesuatu proses yang (1) instinktif, (2) karena
kebiasaan, dan (3) juga yang bersumber dari proses mental. Mereka semua
tertarik, dan dengan cara sebaik mungkin lalu menguraikan hubungan antara
masyarakat dengan individu. William James dan John Dewey menekankan pada
penjelasan kebiasaan individual, tetapi mereka juga mencatat bahwa kebiasaan
individu mencerminkan kebiasaan kelompok - yaitu adat-istiadat masyarakat atau
struktur sosial. Para sosiolog yakin bahwa struktur sosial terdiri atas jalinan
interaksi antar manusia dengan cara yang relatif stabil. Kita mewarisi struktur
sosial dalam satu pola perilaku yang diturunkan oleh satu generasi ke generasi
berikutnya, melalui proses sosialisasi. Disebabkan oleh struktur sosial, kita
mengalami kehidupan sosial yang telah terpolakan. James menguraikan
pentingnya dampak struktur sosial atas "diri" (self) - perasaan kita terhadap diri
kita sendiri. Masyarakat mempengaruhi diri (self).
Sosiolog lain Robert Park dari Universitas Chicago memandang bahwa
masyarakat mengorganisasikan, mengintegrasikan, dan mengarahkan kekuatan-
kekuatan individu- individu ke dalam berbagai macam peran (roles). Melalui
peran inilah kita menjadi tahu siapa diri kita. Kita adalah seorang anak, orang tua,
guru, mahasiswa, laki-laki, perempuan, Islam, Kristen. Konsep kita tentang diri
kita tergantung pada peran yang kita lakukan dalam masyarakat. Beberapa teori
yang melandasi persektif strukturan adalah Teori Peran (Role Theory), Teori
Pernyataan - Harapan (Expectation-States Theory), dan Posmodernisme.
3. Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni Bahasa,
sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia
sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.
Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada
budaya dan menyesuiakan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya
itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak,
dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-
unsur sosial-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi
dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu
perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung
pandangan atas keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil
bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di
Amerika, "keselarasan individu dengan alam" d Jepang dan "kepatuhan kolektif"
di Cina. Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut membekali anggota-
anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan
dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling
bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren
untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan
perilaku orang lain.
4.Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi adalah sebagai suatu keadaan dimana seseorang karyawan
memihak organisasi tertentu serta tujuan tujuan dan keinginannya untuk
mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Menurut Robbins
(2003), didefinisikan bahwa keterlibatan pekerjaaan yang tinggi berarti memihak
pada pekerjaan tertentu seseorang individu, sementara komitmen organisasional
yang tinggi berarti memihak organisasi yang merekrut individu tersebut. Dalam
organisasi sekolah guru merupakan tenaga profesional yang berhadapan langsung
dengan siswa, maka guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik mampu
menjalankan kebijakan-kebijakan dengan tujuan-tujuan tertentu dan mempunyai
komimen yang kuat terhadap sekolah tempat dia bekerja.
Menurut L. Mathis-John H. Jackson, komitmen organisasi adalah tingkat sampai
dimana karyawan yakin dan menerima tujuan organisasional, serta berkeinginan
untuk tinggal bersama atau meninggalkan perusahaan pada akhirnya tercermin
dalam ketidakhadiran dan angka perputaran karyawan.
Menurut Griffin, komitmen organisasi (organisational commitment) adalah sikap
yang mencerminkan sejauh mana seseorang individu mengenal dan terikat pada
organisasinya. Seseorang individu yang memiliki komitmen tinggi kemungkinan
akan melihat dirinya sebagai anggota sejati organisasi.
Menurut Luthan (1998), komitmen organisasi didefinisikan sebagai :
keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu;
keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi; dan
keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi.
Dengan kata lain, ini merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan
pada organisasi dan proses berkelanjutan di mana anggota organisasi
mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta
kemajuan yang berkelanjutan
Menurut Allen dan Meyer (1991), ada tiga Dimensi komitment organisasi adalah :
1) Komitmen afektif (affective comitment): Keterikatan emosional karyawan,
dan keterlibatan dalam organisasi,
2) Komitmen berkelanjutan (continuence commitment): Komitmen
berdasarkan kerugian yang berhubungan dengan keluarnya karyawan dari
organisasi. Hal ini mungkin karena kehilangan senioritas atas promosi atau
benefit,
3) Komitmen normatif (normative commiment): Perasaan wajib untuk tetap
berada dalam organisasi karena memang harus begitu; tindakan tersebut
merupakan hal benar yang harus dilakukan.
Dessler memberikan pedoman khusus untuk mengimplementasikan sistem
manajemen yang mungkin membantu memecahkan masalah dan meningkatkan
komitmen organisasi pada diri karyawan :
Berkomitmen pada nilai manusia: Membuat aturan tertulis, memperkerjakan
menejer yang baik dan tepat, dan mempertahankan komunikasi.
Memperjelas dan mengkomukasikan misi : Memperjelas misi dan ideologi;
berkharisma; menggunakan praktik perekrutan berdasarkan nilai; menekankan
orientasi berdasarkan nilai dan pelatihan; membentujk tradisi,
Menjamin keadilan organisasi: Memiliki prosedur penyampaian keluhan yang
koprehensif; menyediakan komunikasi dua arah yang ekstensif,
Menciptakan rasa komunitas: Membangun homogenitas berdasarkan nilai;
keadilan; menekankan kerja sama, saling mendukung, dan kerja tim, berkumpul
bersama,
Mendukung perkembangan karyawan: Melakukan aktualisasi; memberikan
pekerjaan menantang pada tahun pertama; memajukan dan memberdayakan;
mempromosikan dari dalam; menyediakan aktivitas perkembangan; menyediakan
keamanan kepada karyawan tanpa jaminan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi
Mardiana (2004) mengemukakan komitmen yang dimiliki oleh seorang karyawan
terhadap organisasi atau perusahaan dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain :
1) Karakteristik individu, Karakteristik individu merupakan gambaran dari
pribadi seseorang yang dibawa dalam tatanan organisasi, dalam dunia kerja dan
memiliki kecenderungan untuk selalu berkembang dan mempengaruhi dalam
melaksanakan aktivitas pekerjaan. Karakteristik individu disini dapat berupa
minat, sikap, kebutuhan, tingkat pendidikan dan motif berprestasi.
2) Karakteristik pekerjaan, Karakteristik pekerjaan dapat berupa variasi
kecakapan, identitas tugas,tugas, otonomi dan umpan balik.
3) Pengalaman kerja., Pengalaman kerja merupakan suatu ukuran lamanya
seseorang bekerja di suatu organisasi atau instansi, semakin lama seseorang
bekerja pada suatu organisasi, maka orang tersebut dapat dikatakan semakin
berpengalaman dan dengan pengalaman tersebut diharapkan seseorang dapat lebih
produktif dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya.
Mowday, Porter dan Steers (Sjabadhyni, Graito dan Wutun, 2001) mengemukakan
hal-hal yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi antara lain karakteristik
pribadi, karakteristik yang berkaitan dengan peran, karakteristik struktural dan
pengalaman kerja. Lebih lanjut, Morrow (Prayitno, 2005) menyebutkan komitmen
organisasi dipengaruhi antara lain :
1) Karakteristik personal yang berupa usia, masa kerja dan pendidikan.
2) Fungsi situasional yang berhubungan dengan lingkungan kerja seperti
konflik peran dan iklim organisasi.
3) Marchington (Kurniawan, 2006) menyebutkan lima faktor yang
mempengaruhi komitmen organisasi yaitu :
4) Kondisi fisik lingkungan kerja.
5) Perasaan atau keinginan untuk bekerja pada pemimpin atau perusahaan yang
baik.
6) Rasa aman dalam bekerja, dalam hal ini terkait dengan munculnya kondisi
job insecurity yang dirasakan oleh karyawan.
7) Pembayaran upah.
8) Penghargaan atau peluang dalam bekerja.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa komitmen karyawan
kepada organisasi dipengaruhi oleh faktor individu yang bersangkutan dan faktor
lingkungan kerja atau organisasi. Faktor yang berkaitan dengan diri individu
seperti minat, sikap, tingkat pendidikan dan motif berprestasi serta pengalaman
kerja. Faktor yang berkaitan dengan lingkungan kerja atau organisasi seperti
kondisi fisik lingkungan kerja, konflik peran yang dialami oleh karyawan dan rasa
aman dalam bekerja, dalam hal ini terkait dengan munculnya kondisi job
insecurity yang dirasakan karyawan.
Aspek-aspek Komitmen Organisasi
Steers (Kuntjoro, 2002) mengemukakan terdapat tiga aspek utama dari komitmen
organisasi yaitu :
Identifikasi, Identifikasi merupakan bentuk kepercayaan pegawai terhadap
organisasi. Hal ini dapat dilakukan dengan memodifikasi tujuan organisasi
sehingga mencakup beberapa tujuan pribadi para pegawai atau dengan kata lain
organisasi memasukkan pula kebutuhan dan keinginan pegawai dalam tujuan
organisasinya. Hal ini akan membuahkan suasana saling mendukung diantara para
pegawai dengan organisasi. Lebih lanjut, suasana tersebut akan membawa
pegawai dengan rela menyumbangkan sesuatu bagi tercapainya tujuan organisasi,
karena pegawai menerima tujuan organisasi yang dipercayai telah disusun demi
memenuhi kebutuhan pribadi mereka pula.
Keterlibatan, Keterlibatan atau partisipasi pegawai dalam aktivitas-aktivitas kerja,
penting untuk diperhatikan karena adanya keterlibatan pegawai menyebabkan
mereka akan mau dan senang bekerja sama baik dengan pimpinan ataupun dengan
sesame teman kerja. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memancing
keterlibatan pegawai adalah keikut sertaan pegawai dalam berbagai kesempatan
pembuatan keputusan sehingga menumbuhkan keyakinan pada pegawai bahwa
apa yang telah diputuskan adalah merupakan keputusan bersama.
Loyalitas, Loyalitas pegawai terhadap organisasi memiliki makna kesediaan
seseorang untuk melanggengkan hubungannya dengan organisasi, kalau perlu
dengan mengorbankan kepentingan pribadinya tanpa mengharapkan apapun dari
organisasi. Kesediaan pegawai untuk mempertahankan diri bekerja dalam
organisasi adalah hal yang penting dalam menunjang komitmen pegawai terhadap
organisasi tempat pegawai tersebut bekerja.
5. Konflik Peran
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang
atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan
pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam
suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri
fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.
Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik
merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat
pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan
kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan
hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai
sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan
integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Maramis (1994) mengemukakan konflik terjadi apabila seseorang tidak dapat
memilih antara dua atau lebih macam kebutuhan atau tujuan. Puspa dan Riyanto
(1999) menyatakan konflik peran merupakan suatu gejala psikologis yang dialami
oleh anggota organisasi yang bisa menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja
dan secara potensial akan menurunkan motivasi kerja karyawan. Brief (Andraeni,
2005) mendefinisikan konflik peran adalah adanya ketidak cocokan antara
harapan-harapan yang berkaitan dengan suatu peran. Lebih lanjut, Leigh
(Andraeni, 2005) menyatakan bahwa konflik peran merupakan hasil dari
ketidakkonsistenan harapan berbagai pihak atau persepsi adanya ketidakcocokan
antara tuntutan peran dengan kebutuhan, nilai-nilai individu, dan sebagainya.
Sebagai akibatnya, individu yang mengalami konflik peran berada dalam suasana
terombang-ambing, terjepit dan serba salah. Indrawijaya (2000) menyebutkan
konflik peran merupakan kondisi yang terjadi bila seseorang melakukan berbagai
macam peranan dimana kondisi tersebut terjadi karena tekanan yang datang dari
luar diri seseorang misalnya dari orang yang ada kaitan hierarki seperti dari
pimpinan, kolega yang setingkat dan dari bawahan atau bahkan dari orang luar
organisasi seperti teman separtai, kerabat atau keluarga.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik peran
merupakan suatu gejala psikologis yang dialami oleh anggota organisasi sebagai
hasil dari ketidak konsistenan harapan-harapan berbagai pihak atau persepsi
adanya ketidakcocokan antara tuntutan peran dengan kebutuhan, nilainilai
individu dan tekanan baik yang berasal dari luar individu maupun yang berasal
dari orang luar organisasi atau perusahaan.
Jenis-jenis Konflik Peran
Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1996) mengemukakan bahwa konflik peran
dapat dibagi menjadi tiga macam antara lain :
Konflik peran pribadi (person role conflict), Konflik peran pribadi terjadi ketika
persyaratan-persyaratan peran melanggar nilai dasar, sikap dan kebutuhan
individu yang menduduki posisi tersebut. Sebagai contohnya seorang penyelia
yang mendapatkan kesulitan untuk memecat bawahannya karena soal keluarga,
atau seorang eksekutif yang lebih senang mengundurkan diri daripada melakukan
kegiatan yang tidak pantas.
Konflik intra peran (intra role conflict) Konflik intra peran terjadi apabila
beberapa orang yang berbeda-beda menentukan sebuah peran menurut rangkaian
harapan yang berbeda-beda sehingga tidak mungkin bagi orang yang menduduki
peran tersebut untuk memenuhi semuanya. Hal ini mungkin akan terjadi apabila
peran tertentu mempunyai serangkaian peran yang kompleks, dalam arti banyak
hubungan peran yang berbeda-beda. Sebagai contohnya seorang penyelia di
situasi industri mempunyai serangkaian peran yang agak kompleks sehingga dapat
mengalami konflik intra peran.
Konflik antar peran (inter role conflict) Konflik antar peran muncul karena orang
menghadapi berbagai peran. Hal ini terjadi karena individu sekaligus memainkan
banyak peran, beberapa diantara peran ini mempunyai harapan yang saling
bertentangan. Sebagai contohnya seorang ilmuwan yang bekerja di pabrik kimia,
yang juga merangkap menjadi anggota manajemen, mungkin mengalami konflik
peran semacam ini.
Dalam situasi tersebut, ilmuwan tersebut mungkin diharapkan berperilaku sesuai
dengan harapan manajemen maupun sesuai dengan harapan ahli kimia
profesional.
Miles dan Perreault (Munandar, 2001) membedakan empat jenis konflik peran
yaitu :
- Konflik peran pribadi, muncul bilamana seorang karyawan ingin
melakukan tugas berbeda dari yang disarankan dalam uraian pekerjaannya.
- Konflik intra sender, muncul bilamana seorang karyawan menerima
penugasan tanpa memiliki tenga kerja yang cukup untuk dapat menyelesaikan
tugas dengan berhasil.
- Konflik inter sender, muncul bilamana seorang karyawan diminta untuk
berperilaku sedemikian rupa sehingga terdapat orang merasa puas dengan
hasilnya, sedangkan orang lain tidak.
- Konflik peran dengan beban berlebih, muncul bilamana seorang karyawan
mendapat penugasan kerja yang terlalu banyak dan tidak dapat ditangani secara
efektif.
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan jenis-jenis konflik peran
dapat dibagi menjadi konflik peran pribadi, konflik intra peran dan konflik antar
peran. Konflik peran pribadi terjadi apabila persyaratan peran melanggar nilai
dasar, sikap dan kebutuhan individu yang menduduki suatu posisi. Konflik intra
peran terjadi apabila beberapa orang yang berbeda-beda menentukan sebuah peran
menurut rangkaian harapan yang berbeda-beda. Konflik antar peran muncul
karena orang menghadapi berbagai peran.
Penyebab Konflik Peran
Pasewark dan Strawser (Ratnawati dan Kusuma, 2002) mengemukakan konflik
peran terjadi karena adanya lebih dari satu permintaan dari sumber yang berbeda
yang menimbulkan suatu ketidak pastian pada karyawan. Indrawijaya (2000)
mengemukakan bahwa konflik peran dapat disebabkan oleh adanya :
Konflik fungsional merupakan konflik peran yang terjadi oleh adanya berbagai
macam subsistem dalam organisasi. Setiap sub sistem yang mempunyai fungsi
tertentu dalam suatu organisasi cenderung melahirkan norma kelompok (norma
hubungan sosial, norma kerja dan norma kekuasaan) dan membentuk sistem nilai
tertentu. Konflik fungsional dapat juga terjadi karena adanya ketidak cocokan
tugas atau tujuan yang harus dicapai. Schmidt dan Kochan (Indrawijaya, 2000)
menyatakan bahwa persepsi mengenai adanya ketidak cocokan tugas atau tujuan
yang harus dicapai merupakan penyebab terciptanya konflik peran.
Konflik hierarkis merupakan keadaan dimana suatu kelompok mendapatkan
tekanan dari luar. Tekanan dari luar tersebut dapat berupa penyediaan anggaran,
pemberian status dan persetujuan pengangkatan pegawai.
Konflik kesamaan fungsi merupakan konflik yang timbul oleh adanya kesamaan
fungsi yang harus dilakukan oleh berbagai anggota kelompok sehingga dapat pula
menghasilkan perilaku persaingan yang cukup sehat.
Wolfe dan Snoke (Cahyono dan Ghozali, 2002) mengemukakan konflik peran
timbul karena adanya dua perintah yang berbeda yang diterima secara bersamaan
dimana pelaksanaan salah satu perintah saja akan mengakibatkan terabaikannya
perintah yang lain. Seorang profesional dalam melaksanakan tugasnya terutama
ketika menghadapi suatu masalah tertentu maka sering menerima dua perintah
sekaligus. Perintah pertama datangnya dari kode etik profesi sedangkan perintah
kedua datangnya dari sistem pengendalian yang berlaku di perusahaan. Apabila
seorang profesional bertindak sesuai dengan kode etiknya maka individu yang
bersangkutan akan merasa tidak berperan sebagai karyawan perusahaan dengan
baik. Sebaliknya, apabila seorang professional bertindak sesuai dengan prosedur
yang ditentukan perusahaan maka individu yang bersangkutan akan merasa telah
bertindak secara tidak profesional.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik peran muncul oleh
karena adanya dua perintah yang berbeda yang diterima oleh seorang karyawan
secara bersamaan dimana dalam pelaksanaan salah satu perintah akan
mengakibatkan terabaikannya perintah yang lain sehingga dapat menimbulkan
suatu ketidak pastian pada diri karyawan.
6. Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan adalah suatu keadaan sewaktu seseorang pada posisi yang
memerlukan kepercayaan, seperti pengacara, politikus, eksekutif atau direktur
suatu perusahaan, memiliki kepentingan profesional dan pribadi yang
bersinggungan. Persinggungan kepentingan ini dapat menyulitkan orang tersebut
untuk menjalankan tugasnya. Suatu konflik kepentingan dapat timbul bahkan jika
hal tersebut tidak menimbulkan tindakan yang tidak etis atau tidak pantas. Suatu
konflik kepentingan dapat mengurangi kepercayaan terhadap seseorang atau suatu
profesi.
Menurut prinsip manajemen yang dikemukakan oleh Henry Fayol (1914),
kepentingan pribadi atau kelompok harus tunduk kepada kepentingan organisasi
secara keseluruhan. Maka sudah sangat dipahami bila dalam praktek bisnis, demi
kepentingan orang yang lebih banyak atau organisasi, manajemen harus
memutuskan hubungan kerja dengan seorang atau beberapa orang karyawan,
walaupun karyawan tersebut mungkin telah selama puluhan tahun ikut serta dalam
mengembangkan dan membesarkan perusahaan. Karena menganut pandangan
bahwa urusan pribadi harus dipisahkan dari bisnis serta bahwa kepentingan
perusahaan harus lebih didahulukan daripada pribadi, maka banyak eksekutif yang
sukses dalam memimpin danmengatur perusahaan, tetapi gagal dalam memimpin
dan mengatur keluarga.
Banyak bukti riset yang menunjukkan bahwa konflik kepentingan pekerja dan
keluarga sangat merugikan karyawan dan perusahaan. Konflik kerja dan keluarga
cenderung berpengaruh negatif terhadap kinerja karyawan. Hasil-hasil riset
tersebut merekomendasikan perlunya manajemen perusahaan untuk mengambil
kebijakan yang menginterpretasikan kepentingan pekerjaan dengan kepentingan
pribadi.
7. Pemberdayaan Karyawan
Perberdayaan karyawan berarti penciptaan sebuah lingkungan di mana karyawan
memiliki wewenang yang lebih untuk menyelesaikan pekerjaan mereka dengan
konsekuensi mereka bertanggungjawab atas hasil penciptaan sebuah lingkungan
karyawan dimana karyawan memiliki wewenang yang lebih banyak untuk
menyelesaikan pekerjaan mereka dengan konsekuensi mereka bertanggungjawab
atas hasil pekerjaan tersebut.
Masud (2002) menuliskan bahwa terdapat beberapa faktor yang mendorong
organisasi dalam melaksanakan pemberdayan. Beberapa di antaranya adalah
tuntutan pelanggan yang semakin tinggi terhadap kualitas produk maupun
layanan, jaminan keamanan, perlindungan konsumen, persaingan dalam efisiensi
dan inovasi produk, penggunaan teknologi baru yang canggih, peraturan
pemerintah dan lain sebagainya. Apabila organisasi melaksanakan pemberdayaan
karyawan, maka berarti bahwa karyawan tersebut diperlakukan sesuai denga teori
Y, artinya pimpinan organisasi tersebut menganut paham atau cara pandang bahwa
karyawan di perusahaan tersebut adalah karyawan yang mempunyai kaeakteristik
yang pada umumnya positif.
Akan tetapi dalam kenyataannya, terdapat banyak pengertian mengenai apa yang
dimaksud dengan pemberdayaan dan bagaimana cara untuk melakukan
pemberdayaan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya defenisi atau pengertian yang
diberikan oleh para ahli di berbagai literatur. Namun, terdapat kesamaan dalam hal
maksud dilakukannya pemberdayaan dalam organisasi, yaitu antara lain untuk :
1. Meningkatkan motivasi guna mengurangi kesalahan dan mendorong
karyawan untuk bertanggung jawab terhadap tindakannya.
2. Meningkatkan dan mengembangkan kreativitas dan inovasi.
3. Mendorong peningkatan kualitas produk dan jasa.
4. Meningkatkan kepuasan pelanggan dengan mendekatkan karyawan terhadap
pelanggan, sehingga karyawan dapat melayani dengan lebih baik.
5. Meningkatkan kesetiaan pada saat yang sama mengurangi tingkat
kemangkiran.
6. Mendorong kerja sama yang lebih baik dengan sesama rekan kerja dalam
meningkatkan pengawasan dan produktivitas.
7. Mengurangi tugas pengawasan (pengendalian) dari manajemen menengah
dalam pekerjaan operasional sehari-hari, sehingga para manajer lebih mempunyai
waktu dan perhatian terhadap masalah-masalah yang lebih besar.
8. Menyiapkan karyawan untuk berkembang dan menghadapi perubahan dan
tuntutan persaingan.
9. Meningkatkan daya saing bisnis.
Untuk melaksanakan pemberdayaan tersebut, biasanya organisasi kemudian
menyususun dan menentukan visi serta misi organisasi. Disampingi itu,
perusahaan melaksanakan pula rencana strategis dan berbagai macam pelatihan
yang berkaitan dengan pemberdayaan karyawan, seperti : membangun kerja sama
tim, pemberdayaan kepemimpinan dan motivasi, kepekaan emosional di tempat
kerja, peningkatan kualitas terus-menerus, pelatihan ketrampilan khusus yang
berkaitan dengan pekerjaan dan lain sebagainya.
Tabel 6.3
Kejahatan dan Pelanggaran di Indonesia

Type Of Crimes 1981 1982 1983 1984 1985 1986


Crimes against public 1.595 1.702 1.094 926 805 621
order 2.997 3.941 3.234 2.816 3.510 3.088
Crimes against morality 2.147 1.842 2.261 2.114 1.923 1.245
Rape 1.972 1.327 1.889 2.092 2.420 1.835
Gambling 1.616 1.547 1.769 1.457 1.549 1.369
Murder 15.264 14.466 14.173 13.379 12.414 11.626
Aggravated assault 16.524 18.553 19.169 18.662 18.398 14.582
Assault
98.119 84.552 78.670 50.964 61.195 47.105
Burglari
11.738 16.480 13.516 26.884 10.854 11.051
Theft
Robbery 17.048 16.303 12.537 7.380 6.181 5.687
froud 13.592 13.955 15.251 14.910 13.617 10.078
Sumber : Mardjono Reksodiputra, Criminologi Australia.

Tabel 6.4
Provensi Teratas dalam Jumlah dan Tingkat Kejahatan 2003

Pringkat Jumlah Tingkat % dari


Provensi Kerawanan (Grime (grime seluruh
Total) Rate) Indonesia
DKI Jakarta (Polda Metro Jaya) 1 37,895 228 19%
Jawa Timur (Polda Jatim) 2 26,347 74 13%
Sumaatra Utara (Polda Sumut) 3 17,530 154 9%
Jawa Barat (Polda Jabar) 4 17,188 48 9%
Jawa Tengah (Polda Jateng) 5 12,528 36 6%
Total seluruh Indonesia 196,931 93 100%
Sumber : Pusdalop-Mabes Polri, Analisis dan Evaluasisituasi Kamtibnas 2003.

Tabel 6.5
Kejahatan Terhadap Orang
Dalam Lima Provensi dengan Kejahatan Terbanyak
Tahun 2006

Peringkat Pembunuhan Perkosaan Ringan Berat Penculikan


(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 Jawa Timur Jawa Timur Sulawesi Selatan Sumatra Utara DKI Jakarta
2 Sumatra Utara Sumatra Utara Sumatra Utara DKI Jakarta Sumatra Barat
3 Sulawesi Jawa Barat DKI Jakarta Jawa Timur Jawa Timur
4 Selatan DKI Jakarta Sumatra Barat Sumatra Selatan Sulawesi Utara
5 Jawa Barat Jatim dan NTT Sulawesi Selatan Jawa Barat
NTB Lampug
Sumber : Mabes Polri.

Tabel 6.6
Kejahatan Terhadap Harta Benda (hak milik)
Selama 2005 dan 2006 serta Perubahannya

Jenis Tindak Pidana 2005 2006 Presentase


Perubahannya
(1) (2) (3) (4)
1. Pembakaran dengan Sengaja 501 582 16,17
2. Pengerusakan/penghancuran barang 5.337 5.870 9,99
3. Pencurian dengan pemberatan 53.179 55.891 5,10
4. Pencuriangan ringan 2.368 2.978 25,76
5. Pencurian dengan kekerasan 8.978 2.491 -72,25
6. Pencurian dalam keluarga 394 603 53,05
7. Penipuan/perbuatan curang 25.206 27.527 9,21
8. Penadahan 457 514 13,72
9. Pencurian kendaran bermotor 26.771 28.574 6,73
10. Pencurian lainnya 2.640 3.845 45,64

Sumber : Mabes Polri.

Anda mungkin juga menyukai