DISUSUN OLEH:
Kelompok 3
FAKULTAS PSIKOLOGI
2023
A. ANALISA KASUS PELANGGARAN KODE ETIK BERDASARKAN
PRINSIP UMUM, AL-QUR’AN, DAN HADIST
“Seorang Magister Sains (Ilmuwan Psikologi) Yang Melakukan Tes Psikologi Dan
Memberikan Hasil Asesmen”
Sumber: https://www.scribd.com/document/443378439/Contoh-kasus-kode-
etikpsi.
A. PENJELASAN KASUS
Sebut saja namanya bapak L, ia lulusan S2 magister sains dalam bidang psikologi.
Setelah beberapa bulan dari kelulusannya ia direkrut menjadi dosen di sebuah Sekolah
Tinggi di salah satu lembaga pendidikan di tempat tinggalnya. Satu hari ia diminta oleh
pihak pengelola SMA swasta di daerahnya untuk melakukan tes psikologi yang
bertujuan untuk melihat kemampuan minat dan bakat penjurusan kelas III (IPA, IPS
dan Bahasa). Masyarakat setempat terutama pihak sekolah SMA tersebut selama ini
memang tidak mengetahui secara pasti mengenai program study yang ditempuh L
apakah ia mengambil magister profesi atau magister sains begitu juga dengan
perbedaan ranah keduanya, mereka hanya mengetahui kalau L sudah menempuh
pendidikan tinggi S2 psikologi. Mendapat tawaran untuk melakukan pengetesan
semacam itu, tanpa pkir panjang L langsung menerima dan melakukan tes psikologi
serta mengumumkan hasil tes kepada pihak sekolah tentang siapa saja siswa yang bisa
masuk di kelas IPA, IPS dan bahasa. L melakukan tes psikologi tersebut ternyata tidak
sendirian, ia bekerja sama dengan M (pr) yang memang seorang psikolog. Mereka
berteman akrab sejak seperguruan waktu dulu mereka menempuh S2 hanya saja M
adalah adik tingkat L dan dulu sempat terjalin hubungan dekat antara keduanya
sehingga M merasa sungkan jika menolak kerj sama dengan L. Anehnya M menerima
ajakan kerja sama L dengan senang hati dan tidak mempermasalahkan apapun yang
berhubungan ranah psikologi yang semestinya meskipun pada sebenarnya ia sendiri
sudah paham bahwa L tidak boleh melakukan hal tersebut. Antara keduanya memang
terjalin kerja sama akan tetapi yang memegang peranan utama dalam tes psikologi
tersebut adalah L, sedangkan M sebagai psikolog sendiri hanya sebatas pendamping L
mulai dari pemberian tes sampai pada penyampaian data dan hasil asesmen.
B. ANALISA BERDASARKAN PSINSIP UMUM KODE ETIK
PSIKOLOGI, AL-QUR'AN DAN HADIST
1. Pada pasal 2 ayat 1 yang berbunyi "Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus
menekankan pada hak asasi manusia dalam melaksanakan layanan psikologi”.
Berdasarkan ayat tersebut dari kasus ini L sudah jelas melanggar kode etik
psikologi, karena telah berbohong kepada pihak sekolah dengan tidak
memberitahukan mengenai batasan dan juga bukan hak serta bidang dia untuk
melakukan sebuah tes psikologi atau psikotes.
2. Pada pasal 2 ayat 2 yang berbunyi "Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
menghormati martabat setiap orang serta hak-hak individu akan keleluasaan
pribadi, kerahasiaan dan pilihan pribadi seseorang", berdasarkan ayat tersebut
pada kasus ini menyatakann bahwa kasus tersebut telah melannggar kode etik
psikologi, karena agar menghormati dan menghargai hak-hak individu dari
pihak sekolah, L seharusnya memberitahukan kepada pihak sekolah mengenai
batasan kompetensinya dimana ia tidak berwenang untuk melakukan sebuah tes
psikologi. Seharusnya L bisa mengalihkan tawaran tersebut kepada temannya
saja yaitu psikolog M karena dia lebih berwenang untuk melakukan tes
psikologi tersebut. Dengan perilaku yang seperti itu L dianggap tidak
menghormati martabat dan hak-hak individu akan keleluasaan pribadi.
3. Pada pasal 2 ayat 3 yang berbunyi "Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
menyadari bahwa diperlukan kehati-hatian khusus untuk melindungi hak dan
kesejahteraan individu atau komunitas yang karena keterbatasan yang ada dapat
mempengaruhi otonomi dalam pengambilan keputusan". Dalam kasus tersebut
dengan kata lain L sudah membohongi pihak sekolah atas profesi, wewenang
dan batasan kompetensinya. Hal ini dapat membuat pihak sekolah merasa
dirugikan karena yang melakukan tes psikologi tersebut bukanlah seorang
psikolog dan akan mengakibatkan hasil tes yang telah dilakukan tersebut bisa
dianggap tidak valid atau di ragukan hasilnya. Meskipun L di dampingi oleh M
yang mana merupakan seorang psikolog.
QS. An-Nisa: 58
ٰ َه َ ّللََْا اّللوَ ْم ْت َحِ ِ ّلل ََّ ِ مهن َّللنَيّلل ّللْم َّللتم ْ َأ ّللُِاّللِ ِّلل َاه ّللل َه ِ َ ِا ِ َ ّللكَ َما ا ْ ّللَُّؤُِ ِ ّلل ََّ ّْللم َ ْك ْر ْم َأ
َِّ ِهّلل َِّ ِهّلل ْ ََٖ ّْلل
ٰ ك ْم َأ اَته َِّ
ٰ ۢت َن َِ َه ّللمهَّّلل
ِهّلل ّللَرن َِرِ ّلل.
Dari ayat Al-Quran diatas dapat disimpulkan bahwa setiap manusia itu
memiliki hak asasi dan serta jatahnya masing-masing. Dari kasus ini dapat diketahui
bahwasanya L dan M sama saja merebut hak dari pihak sekolah yaitu untuk mengetahui
suatu kebenaran. Dengan kata lain L dan M ini telah membohongi pihak sekolah.
1. Pada pasal 2 ayat 1 yang berbunyi "Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus
mendasarkan pada dasar dan etika ilmiah terutama pada pengetahuan yang sudah
diyakini kebenarannya oleh komunitas psikologi". Pada kasus ini L dan M telah
melanggar kode etik psikologi karena mereka dianggap melakukan pemalsuan atau
kebohongan terhadap wewenang dan profesi mereka. Hal ini dianggap melanggar etika
terutama pada pengetahuan yang sudah diyakini kebenarannya oleh komunitas
psikologi. Dimana L yang seharusnya tidak melakukan tes psikologi dan M yang
seharusnya sudah mengetahui hal tersebut salah seharusnya ia memberitahu dan
mengarahkan ke hal yang benar agar L tidak melakukan hal tersebut akan tetapi mereka
tetap saja melakukannya.
2. Pada pasal 2 ayat 2 yang berbunyi "Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi senantiasa
menjaga ketepatan, kejujuran, kebenaran dalam keilmuan, pengajaran, pengamalan dan
praktik psikologi". Dalam kasus ini L dan M telah melanggar kode etik psikologi
karena mereka tidak jujur, menyembunyikan kebenaran kepada pihak sekolah, serta L
tidak memiliki wewenang untuk melakukan tes psikologi akan tetapi ia tetap
melakukan tes psikologi tersebut.
3. Pada pasal 2 ayat 3 yang berbunyi "Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak
mencuri, berbohong, terlibat pemalsuan (fraud), tipuan atau distorsi fakta yang
direncanakan dengan sengaja memberikan fakta-fakta yang tidak benar". Dalam kasus
tersebut, L dan M melakukan kebohongan, pemalsuan dan penipuan serta
menyembunyikan fakta yang sebenarnya yaitu dengan sengaja tidak memberitahukan
kepada pihak sekolah bahwa L bukanlah seorang psikolog dan ia tidak berhak untuk
melakukan tes psikologi tersebut.
Dari ayat tersebut dapat dilihat bahwa L dan M telah melakukan pembohongan
yaitu dengan tidak mengatakan yang sebenarnya mengenai wewenang L dalam
melakukan tes psikologi.
Dalam hadist ini sudah jelas sekali bahwa perbuatan bohong dan menutupi
kebenarannya akan mengarahkan kepada perbuatan kejahatan. Pada kasus ini L dan M
telah melakuan perbuatan berbohong, maka dari itu jika dilihat dari kode etik maka
mereka telah melakukan pelanggaran terhadap kode etik psikologi.
3. PRINSIP C: Profesional
a) Pelanggaran Pasal 2 Ayat 1
b) Pelanggaran Pasal 2 Ayat 3
c) Pelanggaran Pasal 2 Ayat 4
1. Pada pasal 2 ayat 1 yang berbunyi "Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus
memiliki kompetensi dalam melaksanakan segala bentuk layanan psikologi, penelitian,
pengajaran, pelatihan, layanan psikologi dengan menekankan pada tanggung jawab,
kejujuran, batasan kompetensi, obyektif dan integritas". Dalam kasus tersebut L dan M
tidak memiliki profesionalitas dalam bekerja dan memahami kode etik yang berlaku.
Pada kasus ini L dan M juga mengabaikan rasa kejujuran, melupakan tanggung
jawabnya dan tidak memberitahukan kepada pihak sekolah terkait dengan batasan
kompetensi yang dimiliki oleh L.
3. Pada pasal 2 ayat 4 yang berbunyi "Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat
berkonsultasi, bekerjasama dan/atau merujuk pada teman sejawat, profesional lain
dan/atau institusi-institusi lain untuk memberikan layanan terbaik kepada pengguna
layanan psikologi". Dalam kasus ini L dan M sudah melanggar kode etik dimana L
yang seharusnya menyadari batasan kompetensinya saat pihak sekolah meminta
dirinya untuk melakukan tes psikologi harusnya L langsung menolak dan ia bisa
merekomendasikan atau menyerahkan pekerjaan tersebut kepada M saja yang jelas-
jelas adalah seorang psikolog. Dan juga salahnya di M karena tidak mengarahkan L ke
hal yang benar tetapi malah menerima ajakan L dengan alasan tidak enakan untuk
menolaknya.
ُْ ّلل َ ّلل ُا ل ْ َ ل ّّلل ّلل َ َّ ْ ا ْ ِ ّلل َّ ُ ّلل ا َّلل ُِ ّلل اْ ُِْ ِ ّلل مهَّْ ّلل ُ ّللوّلل
ْ ُ ُ ّللَه ّللْ ّلل َّ ّلل مه َ ِ ّلل
ۢس ّلل ِ ْ َ ل ّ اْ ْ ّلل َ ا
Artinya: “Dan sungguh, mereka sebelum itu telah berjanji kepada Allah, tidak akan
berbalik ke belakang (mundur). Dan perjanjian dengan Allah akan diminta
pertanggungjawabannya”. (QS. Al-Ahzab: 15)
Adapun pada hadist yang diriwayatkan oleh Anas ra. Rasulullah SAW bersabda, “Allah
SWT akan mempertanyakan semua orang yang memegang amanah atas amanah yang
ia tanggung, apakah ia memeliharanya atau menyiakanya? Hingga Allah SWT akan
mempertanyakan seseorang pada keluarganya.” (HR. Muslim)
Dari hadist tersebut dapat kita ambil kesimpulan dari kasus diatas, bahwa kita
semua manusia akan mempertanggung jawabkan atas semua perbuatan yang telah kita
lakukan di dunia, baik itu perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Maka dari itu,
bapak L sudah seharusnya bisa bertanggung jawab atas apa yang sudah ia lakukan.
4. PRINSIP D: Keadilan
ِلل ِ َ ْت َِِرَْيّلل كيّلل ا ّلل ْم َحاْ َحِ ّللُ ّلل ِ َ ّللم َن ّللْ ِ ّلل َُْْح
Berdasarkan ayat tersebut bahwa sudah jelas sekali bahwa kita tidak
diperbolehkan untuk melakukan sesuatu yang dapat merugikan diri sendiri dan juga
orang lain. Dari kasus tersebut sudah jelas sekali bahwa hasil dari perbuatan L dan M
ini dapat merugikan dirinya sendiri dan juga pihak dari sekolah.
Dari hadist tersebut dapat dilihat bahwa kata mudharat disini bisa diartikan
sebagai hal yang merugikan atau membahayakan orang lain. Dalam hadist ini pun
melarang kita untuk melakukan perbuatan mudharat dan hal yang menimbulkan
mudharat. Dari kasus ini telah jelas bahwasanya L dan M telah melakukan perbuatan
mudharat yang mengakibatkan dapat mengarah kepada praktik yang salah serta
membuat pihak sekolah merasa dirugikan.
5. PRINSIP E: Manfaat
Pada pasal 2 ayat 3 yang berbunyi "Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi perlu
waspada terhadap kemungkinan adanya faktor-faktor pribadi, keuangan, sosial,
organisasi maupun politik yang mengarah pada penyalahgunaan atas pengaruh
mereka". Pada kasus ini L dan M telah melanggar kode etik dimana mereka sudah
melakukan penyalahgunakan pengaruh mereka di bidang psikologi terutama L sendiri.
Karena L dan M merupakan teman akrab sehingga menyebabkan M merasa sungkan
dan tidak enakan untuk menolak ajakan L. Sehingga ia hanya bisa menerima ajakan L
tersebut untuk membantu dan membiarkan ia tetap melaksanakan tes psikologi sampai
selesai penyampaian data asesmen.
“Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
(HR. Al-Qadlaa'iy dalam Musnad Asy-Syihaab)
Dari hadist diatas bisa diartikan bawah manusia yang baik adalah manusia yang
dapat bermanfaat bagi manusia lainnya. Dari kasus ini sudah dapat dikatakan bahwa
bapak L dan Psikolog M tersebut sudah menyimpang dari apa yang sudah ditegaskan
di hadist tersebut karena perbuatan mereka telah menyebabkan kerugian bagi orang-
orang dan tidak menghasilkan manfaat apapun.
DRAMA KASUS PELANGGARAN KODE ETIK PSIKOLOGI
A. Tokoh
Bapak L : Sulamain Indrawan
Psikolog M : Julia
Pihak sekolah : Indri Srimulya
2. Menti Susanti
Sebut saja namanya bapak L, ia lulusan S2 magister sains dalam bidang psikologi.
Setelah beberapa bulan dari kelulusannya ia direkrut menjadi dosen di sebuah Sekolah
Tinggi di salah satu lembaga pendidikan di tempat tinggalnya. Suatu hari ia diminta
oleh pihak pengelola SMA swasta di daerahnya untuk melakukan tes psikologi yang
bertujuan untuk melihat kemampuan minat dan bakat penjurusan kelas III (IPA, IPS
dan Bahasa).
(Sebelumnya pihak sekolah sudah membuat janji dengan Bapak L di suatu tempat
makan untuk bertemu dan membahas tentang akan di lakukannya sebuah tes psikologi
tersebut)
Pihak sekolah : Iya betul pak, baik pak bagaimana kalau kita langsung saja.
Begini pak berhubung bapak kan merupakan lulusan S2
Psikologi, nah jadi saya mewakili dari pihak sekolah ingin
meminta bapak untuk melakukan tes psikologi yang bertujuan
untuk melihat kemampuan minat dan bakat penjurusan Siswa
kelas III kami baik dari jurusan IPA, IPS dan Bahasa. Apakah
bapak bisa melakukannya pak?
Bapak L :Ohh iya boleh buk, saya bisa melakukannya tapi nanti saya akan
mengajak rekan saya untuk membantu saya selama tes psikologi
tersebut dilaksanakan.
Pihak sekolah : Oh iya silahkan pak bagaimana baiknya menurut bapak saja.
Nanti untuk tanggal pelaksanaan tesnya akan kami kabari lagi ya
pak.
Pihak sekolah : Mungkin itu saja pak, saya izin duluan ya pak karena ada hal
lain yang harus saya lalukan.
Bapak L : Waalaikumsalam
(Pihak sekolah pun pergi meninggalkan bapak L keluar dari tempat makan tersebut,
sebelum pergi pihak sekolah dan bapak L berjabat tangan terlebih dahulu)
Keesokan harinya bapak L datang ke tempat psikolog M untuk mengajaknya
bekerja sama dalam melakukan tes psikologi tersebut. Bapak L dan Psikolog M ini
memang sudah menjadi teman akrab sejak seperguruan waktu dulu mereka menempuh
S2 hanya saja M adalah adik tingkat L dan dulu sempat terjalin hubungan dekat antara
keduanya sehingga M merasa sungkan jika menolak kerja sama dengan L.
Bapak L : Assalamualaikum
Bapak L :Hehe jadi gini, alasan saya datang kesini karena ingin mengajak
kamu untuk bekerja sama dengan saya.
Bapak L : Jadi kemarin saya diberikan tawaran dari salah satu sekolah
SMA untuk melakukan tes psikologi minat dan bakat untuk
menentukan penjurusan bagi siswa kelas III nya. Jadi disini saya
ingin mengajak kamu berhubung kamu juga kan merupakan
seorang psikolog. Tapi nanti saat pelakasanan tes tersebut
dilakukan kamu hanya sebatas untuk mendampingi saya saja
yaa.
Psikolog M : Ohh jadi begitu, baiklah saya bisa bekerja sama dengan mu,
tapi bukannya kamu hanya sebatas Ilmuwan Psikologi ya?.
Bapak L : Itu saja sih sebenarnya yang ingin saya sampaikan, nanti untuk
waktu pelaksanaan tes nya akan saya kabari ya setelah dapat
kabar dari pihak sekolahnya. Saya pamit dulu ya, terimakasih
sudah bersedia.
Psikolog M : Oke nanti kabari saja saya dari telepon juga tidak apa-apa.
Psikolog M : Waalaikumsalam
Bapak L : Waalaikumsalam, iya mba saya bisa, kalau begitu saya juga
akan mengabari rekan saya.
Bapak L : Ini saya mau ngabarin kalo untuk tes psikologi anak SMA nanti
akan dilaksanakan besok, apakah kamu bisa?
Ke esokan harinya, hari dimana tes psikologi itu dilaksanakan. Semua peserta
tes datang untuk mengikuti tes tersebut dan masuk ke ruangan yang telah dipersiapkan
sebelumnya. Lalu bapak L dan Psikolog M serta perwakilan dari pihak sekolah
memasuki ruangan tersebut dan tes tersebut langsung dilaksanakan. Tes tersebut
dipimpin atau di ambil alih oleh bapak L dan didampingi oleh psikolog M.
Beberapa menit kemudian pelaksanaan tes tersebut telah selesai, semua siswa di
persilahkan untuk keluar dari ruangan. Tak lama setelah itu disusul oleh panitia.
C. PEMBERIAN SANKSI
Menurut kami dari kasus tersebut setelah selidiki bahwa bapak L yang
merupakan lulusan S2 magister sains dalam bidang psikologi dan bukan merupakan
seorang psikolog beserta dengan rekannya yang merupakan psikolog M yang telah
melanggar kode etik psikologi Indonesia mengenai aturan-aturan dalam HIMPSI.
Selain pelanggaran pada prinsi umum (Pasal A, Pasal B Pasal C, Pasal D, Pasal E)
bapak L dan Psikolog M juga dapat diberikan sanski karena telah melakukan
pelanggaran pada pasal 4 ayat 3 dan masuk kedalam pelanggaran berat yang
menyatakan yaitu “Tindakan yang dilakukan oleh psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi yang secara sengaja memanipulasi tujuan, proses maupun hasil yang
mengakibatkan kerugiaan bagi salah satu dibawah ini:
a. Ilmu Psikologi
b. Profesi Psikologi
c. Pengguna jasa layanan psikologi
d. Individu yang menjalani pemeriksaan psikologi
e. Pihak-pihak yang terkait dan masyarakat umumnya
Maka pada pelanggaran tersebut akan diberi sanksi sesuai dengan pelanggaran apa
yang telah dilakukan oleh bapak L dan Psikolog M tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hadits.
Himpsi. (2010). Kode Etik Psikologi Indonesia. Jakarta: Himpsi. Wahyu, Dyah. 2020.