Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

MATA KULIAH PSIKOLOGI FORENSIK


ASESMEN RESIKO

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Forensik

Dosen Pengampu :
Dr.phil. Dian Veronika Sakti Kaloeti, S.Psi., M.Psi

Disusun oleh :
Kelompok 1
Bella Averina Jonathan 15000119130298
Bernadus Advendo David P 15000119130285
Caterina Eka Christianto 15000119130185
Eugenia Nadia 15000119130245
Hizkia Dewangga 15000119140087
Maria Ivana Wibawa 15000119130105
Theresia Conia 15000119140235
Uli Patricia Pasmayu 15000119130328

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan rahmatnya yang telah
diberikanNya atas kemudahan dan kelancaran bagi penulis dalam menyusun makalah Psikologi
Forensik dengan judul “Asesmen Resiko” sehingga dapat terselesaikan dengan baik. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Dosen pengampu mata kuliah Psikologi Forensik yaitu
Dr.phil. Dian Veronika Sakti Kaloeti, S.Psi., M.Psi.
Kami juga menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna dan kekurangan di dalamnya.
Kami juga menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna dan kekurangan di dalamnya. Maka
dari itu, penulis mengharapkan adanya kritik maupun saran dari pembaca yang bersifat
membangun agar makalah ini nantinya dapat lebih baik lagi. Sekian dari penulis dan apabila
terdapat kekurangan dari makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya, kritik dan saran
sangat terbuka untuk menyempurnakan makalah ini. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Semarang, 26 Februari 2022

Penyusun

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar 1
Daftar Isi 2
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang 3
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan 4
Bab II Pembahasan
A. Pengertian Asesmen Risiko 5
B. Fungsi Asesmen Risiko 6
C. Pendekatan dalam Asesmen Risiko 6
D. Tugas Psikolog Forensik 7
E. Contoh Langkah-LangkahAsesmen 8
F. Jenis Asesmen Risiko 9
G. Faktor-Faktor dalam Asesmen Risiko 11
H. Contoh Kasus 12
Bab III Penutup
A. Kesimpulan 14
B. Saran 14
Daftar Pustaka 15
Lembar Partisipasi 16

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Psikologi forensik merupakan hubungan antara psikologi dan hukum, hal ini
menunjukkan bahwa psikologi dapat memberikan kontribusi praktis terhadap prinsip-
prinsip psikologi terapan dalam konteks hukum. Psikologi forensik adalah sejenis
penelitian dan teori psikologi yang melibatkan pengaruh faktor kognitif, emosional, dan
perilaku terhadap prosedur hukum (Ikawati, 2019). Konsekuensi kesalahan manusia
dapat mempengaruhi semua aspek bidang hukum, termasuk penilaian yang bias,
ketergantungan pada stereotip, ingatan yang salah, dan keputusan yang salah atau tidak
adil. Karena keterkaitan antara psikologi dan hukum, psikolog sering diminta untuk
membantu mereka sebagai saksi ahli dan konselor pengadilan.
Oleh karena itu, asesmen resiko sangatlah dibutuhkan. Asesmen resiko merupakan
hal yang sangat dibutuhkan dalam dunia psikologi forensik karena asesmen resiko
merupakan metode sistematis untuk menentukan apakah suatu kegiatan memiliki risiko
yang dapat diterima atau tidak. Ada penilaian risiko, proses analisis, dan menafsirkan
risiko dengan kegiatan dasar tertentu. Kegiatan asesmen risiko dapat berupa
mengidentifikasi dan menganalisis risiko yang mungkin terjadi, serta melihat
pembentukan hubungan risiko dan manfaat dari potensi bahaya atau dampak yang
ditimbulkan. Dari hal tersebut, maka psikolog forensik dapat membantu pihak berwajib
dalam menentukan penyimpangan-penyimpangan proses hukum, menegakkan hukum,
dan menciptakan lingkungan yang sehat dan nyaman dengan proses hukum yang adil.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan asesmen resiko?
2. Apa fungsi asesmen resiko?
3. Bagaimana pendekatan dalam asesmen resiko?
4. Apa tugas psikolog forensik?
5. Bagaimana langkah-langkah asesmen resiko?
6. Apa saja instrumen asesmen resiko?

3
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi asesmen resiko.
2. Mengetahui fungsi asesmen resiko.
3. Mengetahui pendekatan dalam asesmen resiko
4. Mengetahui tugas dari psikolog forensik.
5. Mengetahui langkah-langkah asesmen resiko.
6. Mengetahui instrumen-instrumen dalam asesmen resiko.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Asesmen Risiko


Asesmen risiko adalah kegiatan psikolog forensik yang dilakukan agar langkah
kebijakan hukum dilaksanakan sesuai dengan harapan sehingga dalam proses peradilan,
asesmen risiko sangat penting bagi penegak hukum dalam menentukan putusan perkara.
Asesmen risiko adalah proses memperkirakan adanya kemungkinan akan terjadinya
pelanggaran yang seringkali mempengaruhi dan merupakan suatu hal yang kritis dalam
berbagai hubungan di peradilan pidana dan sistem kesehatan mental forensik (Spivak dan
Shepherd, 2020). Asesmen risiko adalah suatu metode sistematis yang
mempertimbangkan penerimaan kegiatan legal yang beresiko (Huss, 2014; Cringhton &
Towl, 2015). Asesmen resiko forensik adalah perhitungan kemungkinan akan perilaku
antisosial atau kriminal, kekerasan, atau kejahatan seksual terjadi (Kemshall dalam Singh
dan Fazel, 2010).
Dalam lingkup forensik, karena asesmen risiko yang dinamis sehingga selalu berubah
dalam prosesnya, maka para ahli membentuk metode baru yang disebut manajemen
risiko. Perbedaan dari manajemen risiko dengan asesmen risiko adalah:
1. Asesmen risiko memiliki tujuan untuk menganalisa kemungkinan seseorang
menjadi pelaku kejahatan, sedangkan manajemen risiko memiliki tujuan untuk
menurunkan kemungkinan agresi terjadi.
2. Asesmen risiko memiliki risiko yang statis dan dinamis, sedangkan manajemen
risiko lebih berfokus kepada hal-hal dinamis untuk menurunkan kemungkinan
terjadinya suatu kejahatan.
3. Jika dilihat dari kegiatan kontrol setelah asesmen, dalam asesmen risiko, pada
pelaku biasanya tidak diterapkan kontrol setelah ia terbebas dari hukuman.
Sedangkan dengan manajemen risiko, diberlakukan adanya kegiatan kontrol
setelah pelaku bebas dari hukuman untuk meninjau perkembangan dari pelaku
ketika pelaku sudah kembali ke masyarakat.
4. Asesmen risiko memiliki sistem administrasi tunggal, berbeda dengan manajemen
risiko yang memiliki sistem administrasi ganda.

5
B. Fungsi Asesmen Risiko (ivana)
Dalam Binus University (2015) Fungsi Asesmen Risiko adalah:
1. Menilai berbagai jenis bencana yang mungkin terjadi dan akibat yang bakal
ditimbulkan (penyimpangan-penyimpangan proses hukum).
2. Mencari tahu bagaimana cara organisasi untuk mengetahuinya (menegakkan
hukum).
3. Menyusun/menciptakan lingkungan yang sehat dan nyaman (proses hukum yang
adil).

C. Pendekatan dalam Asesmen Risiko


Crighton dan Towl (2015) menyatakan bahwa terdapat 3 pendekatan yang biasa
digunakan dalam asesmen risiko, yaitu :
1. Hasil yang muncul merupakan sebuah probabilitas.
Pendekatan ini merupakan sebuah pendekatan yang lekat dengan paradigma
statistik umum, contohnya adalah seperti hasil dari melempar dadu maupun koin.
Pendekatan ini merupakan salah satu pendekatan yang konvensional dalam
memprediksi suatu hasil asesmen risiko.
2. Probabilitas hasil yang muncul di masa mendatang merupakan hasil dari sampel
peristiwa di masa lampau.
Pendekatan ini merupakan suatu pendekatan yang mencakup hal-hal seperti
perkiraan aktuaria berdasarkan populasi. Dalam pendekatan ini, pada umumnya
hasil probabilitas di masa lalu tidak begitu diketahui, namun dapat diperkirakan
berdasarkan contoh dari apa yang terjadi dari populasi yang serupa. Risiko yang
dimaksud dalam hal ini merupakan kasus individual yang berdasarkan pada data
yang diambil dari populasi yang tampaknya serupa. Jika populasi dipilih dengan
baik maka mereka akan memprediksi hasil pada tingkat yang lebih baik daripada
peluang.
3. Perkiraan kemungkinan yang terjadi di masa mendatang berdasarkan pengalaman,
pengetahuan, dan perhatian yang dapat diterapkan pada konteks yang
bersangkutan.

6
Pendekatan ini merupakan gabungan dari dua pendekatan sebelumnya dengan
menambahkan informasi-informasi tambahan untuk mendapatkan akurasi data.
Pendekatan ini merupakan gabungan dari penilaian aktuaria dengan pendekatan
klinis yang terstruktur dengan harapan mampu untuk meningkatkan akurasi
prediksi asesmen.

Bentuk ideal dari asesmen risiko ini pun melibatkan sejumlah prinsip metodologis,
yaitu : 1) Upaya tepat menyebutkan bahaya yang sedang dinilai, 2) Upaya menentukan
kemungkinan hasil yang muncul, 3) Upaya menilai probabilitas hasil yang spesifik, dan
4) Upaya untuk menilai tingkat keparahan secara spesifik.

D. Tugas Psikolog Forensik


Cakupan kerja dan aktivitas yang dilakukan oleh psikolog cukuplah luas dan
beragam. Berkenaan dengan luas dan beragamnya cakupan dan tugas psikolog, forensik,
maka Bartol dan Bartol (2011) mengungkapkan spesialisasi atau pembagian divisi dalam
praktik psikologi forensik sebagai berikut :
1. Psikolog Forensik sebagai Klinisi
Psikolog forensik klinis merupakan salah satu spesialisasi dalam bidang psikologi
forensik. Sebagai klinisi, psikolog forensik dengan spesialisasi ini menekankan
pada aktivitas asesmen dan intervensi psikologis kepada setiap pihak yang
bersinggungan dengan proses hukum. Adapun isu-isu yang sering ditangani oleh
psikolog forensik ini antara lain:
1) Mediasi bagi kasus perceraian atau hak asuh anak.
2) Penentuan bagi kesiapan keadaan mental seseorang yang akan menghadapi
persidangan.
3) Memberikan kesaksian sebagai saksi ahli dalam persidangan mengenai
keadaan psikologis pihak yang diperkarakan.
4) Penyeleksian personal aparat penegak hukum.
5) Memberikan kritik kepada kepolisian terhadap insiden-insiden tertentu.
6) Mendesain dan melakukan intervensi bagi para tahanan maupun aparat.

7
2. Psikolog Forensik sebagai Peneliti
Psikolog forensik yang bertugas dalam meneliti perkara-perkara yang terjadi biasa
disebut sebagai psikolog forensik eksperimental. Psikolog forensik dengan divisi
ini menekankan aktivitasnya pada penelitian tentang perilaku manusia yang
berkaitan dengan sistem hukum yang berlaku. Adapun berikut adalah beberapa
aktivitas yang biasa dilakukan psikolog forensik pada spesialisasi ini:
1) Menguji efektivitas suatu strategi asesmen risiko
2) Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan hakim
atau juri
3) Mengembangkan instrumen atau alat ukur psikologis yang membantu dalam
proses investigasi psikologis dalam persidangan
4) Mengevaluasi intervensi yang diberikan kepada pelaku maupun korban dalam
suatu perkara
5) Meneliti tentang gaya bertanya terhadap saksi mata dalam memberikan
kesaksian di dalam persidangan
6) Menguji efek intervensi manajemen stres kepada polisi dan aparat penegak
hukum lainnya

3. Psikolog Forensik sebagai Ahli Hukum


Psikolog forensik yang juga merupakan sebagai ahli hukum merupakan
spesialisasi yang cukup jarang ditemui. Psikolog forensik ini bertugas dalam
menganalisa suatu aturan yang berlaku bahkan bertanggung jawab dalam
merancang peraturan yang berkaitan erat dengan psikologi maupun kesehatan
mental.

E. Contoh Langkah-Langkah Asesmen


1. Diskusi dengan penyidik mengenai anatomi kasus dan mendalami profil korban dan
lingkungan tempat tinggal;
2. Merencanakan asesmen psikologis terhadap orang-orang di dekat korban
(wawancara, observasi, atau pemberian instrumen tes);
3. Mendeteksi potensi dan kondisi psikologi secara umum (kepribadian dan kondisi
psikologis lain terutama indikasi psikopatologis);

8
4. Melakukan asesmen berkaitan dengan kondisi masing-masing subjek yang berkaitan
dengan kasus;
5. Fokus pada kualitas relasi subjek dengan korban (interaksi dan hubungan);
6. Berkoordinasi dan mengkomunikasikan dengan penyidik mengenai langkah-langkah
yang telah, sedang, atau akan ditempuh dengan mempertimbangkan saran-saran
terdahulu yang asesor berikan;
7. Mengeksplorasi pertanyaan saat berdiskusi dan mengaitkan dengan teori.

F. Jenis Asesmen Risiko


Berdasarkan Huss (2014), terdapat tiga jenis utama asesmen risiko, yakni Clinical
Risk Assessment (CRA), Actuarial Risk Assessment Instruments (ARAI), Structured
Professional Judgment (SPJ).
Clinical Risk Assessment (CRA) merupakan jenis asesmen risiko yang menggunakan
pendapat para profesional di bidang klinis sebagai pertimbangan pengukurannya. Disini,
para profesional memberikan pendapatnya berdasarkan apa yang dipelajari di jenjang
pendidikan dan pengalaman profesionalnya. Jenis asesmen ini bersifat subjektif dan
informal serta pemberian sarannya tidak dilandaskan pada perhitungan data statistik
(Kaloeti, Indrawaty, dan Alfaruqy; 2019). Selain itu, di awal perkembangan, banyak
penelitian yang menunjukan ketidakakuratan asesmen secara klinis. Namun, berdasarkan
penelitian yang baru-baru ini dilakukan, asesmen jenis ini mulai menunjukan
keakuratannya. Apabila pada penelitian Cocozza dan Steadman (dalam Huss, 2014) CRA
hanya menunjukan tingkat akurasi sebesar 20%-35%, Monahan (dalam Huss, 2014)
menjelaskan bahwa tingkat akurasi CRA sekarang lebih dari 50 %. Selain itu, jenis
asesmen ini dapat pula digunakan untuk meningkatkan akurasi hasil instrumen asesmen
jenis aktuarial. Oleh karena itu, CRA masih kerap digunakan untuk asesmen risiko
hingga saat ini.
Berbeda dengan sebelumnya, jenis asesmen ini berupa jenis alat ukur risiko yang
sifatnya objektif, formal, algoritmik, dan punya bias statistik. Beberapa alat ukur dengan
jenis asesmen akutarial antara lain adalah Violence Risk Assessment Guide (VRAG),
Hare Psychopathy Checklist-Revised (PCL-R), Classification of Violence Risk (COVR).
VRAG merupakan instrumen asesmen risiko jenis aktuarial yang pertama kali sukses
dikembangkan. VRAG menggunakan nilai total dari 12 aitem untuk mengetahui kategori

9
risiko yang dimiliki individu dalam 7 hingga 10 tahun kedepan. Aitem-aitem tersebut
antara lain:
1. Perolehan skor total Hare Psychopathy Checklist-Revised (PCL-R).
2. Ketidakmampuan dasar sekolah.
3. Pemisahan dari kedua orang tua sebelum 16 tahun.
4. Skor ringkasan untuk tindak non-kejahatan yang terjadi sebelum melakukan
tindak kejahatan.
5. Status melakukan saat melakukan kejahatan.
6. Usia saat melakukan kejahatan.
7. Kegagalan sebelumnya dalam proses pembebasan, seperti masa percobaan
hukuman atau pembebasan bersyarat.
8. Tingkat keparahan pada korban tindak kejahatan.
9. Simptom skizofrenia.
10. Kriteria gangguan kepribadian.
11. Penyalahgunaan alkohol.
12. Apabila korban merupakan wanita, apakah korban masih menderita akibat
kejahatan yang dilakukan

ARAI juga memiliki alat ukur bernama Classification of Violence Risk (COVR)
dengan pendekatan Iterative Classification Tree (ICT). Pendekatan ICT berfokus pada
model yang interaktif dan kontinjensi untuk mengukur tingkat risiko pelaku kejahatan
pada individu. Berbeda dengan VRAG, COVR yang menggunakan pendekatan ICT akan
mengklasifikasikan seseorang ke dua kategori, sangat berisiko atau tidak terlalu berisiko
(high/low risk) lewat mengukur orang tersebut dari berbagai aspek (tidak hanya 12 aspek
seperti VRAG). Meskipun terlihat seperti cara yang meyakinkan karena hasil pengukuran
berdasarkan pada data langsung individu yang diteliti, keakuratan ARAI masih belum
meyakinkan. ARAI ternyata belum menunjukan tingkat akurasinya yang baik apabila
diterapkan pada individu lain (yang bukan menjadi sampel pengembangan
instrumennya). Dengan kata lain, ARAI memiliki masalah pada penggunaan secara
general. Selain itu, penerapan ARAI yang nomotetik tidak sesuai dengan prinsip asesmen
risiko yang ideografik (pengukuran seharusnya ditekankan pada skala individu, bukan
kelompok).

10
Selain kedua jenis asesmen di atas, terdapat pula jenis asesmen yang menggabungkan
cara kerja keduanya yang dikenal dengan Structured Professional Judgement (SPJ)
dengan salah satu instrumennya yang bernama Historical, Clinical, Risk Management-20
(HCR-20). Asesmen risiko yang satu ini memiliki fokus pengukuran yang ditekankan
pada pengalaman masa lalu individu dan implikasinya pada kondisi klinis seseorang. Di
sini, instrument dengan pendekatan SPJ seperti HCR-20 menggunakan aitem-aitem
pengukur layaknya COVR akan tetapi untuk hasil asesmen tidak secara mentah diambil
dari skor total HCR-20 tetapi disaring lagi dengan pandangan ahli klinis.

G. Faktor-Faktor dalam Asesmen Risiko


Meskipun telah dibentuk jenis asesmen yang menggabungkan sisi klinis dan
aktuarial, pendapat yang kontradiktif antara masing-masing jenis asesmen masih terus
terjadi hingga saat ini. Beberapa psikolog forensik masih bersikukuh menganggap
asesmen aktuarial adalah jenis yang paling baik digunakan dan jenis asesmen lain
seharusnya tidak perlu diakui keberadaannya, sedangkan beberapa lagi menganggap
penggunaan SPJ akan memperumit penggunaan asesmen yang telah ada, dan lain-lain.
Namun, Skeem dan Monahan (2011, dalam Huss, 2014) menengahkan keadaan yang
penuh kontradiksi ini dengan baik dimana mereka berpendapat bahwa akan lebih
bermanfaat apabila para psikolog forensik terus mencoba memaksimalkan pengetahuan
tentang penyebab dan pencegahan dalam asesmen risiko sembari terus merancang
instrumen asesmen spesifik.
Dari pendapat diatas, penulis memahami bahwa hal terpenting dari bahasan asesmen
risiko adalah memahami faktor-faktor yang perlu diperhatikan, seperti faktor prediktor
risiko, faktor risiko statis dan faktor risiko dinamis, serta faktor protektif dari risiko yang
mungkin muncul. Faktor risiko statis berisikan variabel peningkat potensi melakukan
kejahatan dari individu yang tidak dapat diubah. Faktor ini dikenal juga dengan sebutan
faktor historis yang mencakup etnis, struktur biologis individu, dan lainnya. Sedangkan
Faktor risiko dinamis berisikan variabel peningkat potensi melakukan kejahatan pada
individu yang masih mungkin diubah. Cakupan faktor ini seperti kurangnya dukungan
sosial, penyalahgunaan obat dan alkohol, kurang wawasan dalam bermasyarakat, dan
sebagainya. Di lain sisi, faktor protektif berbicara mengenai hal-hal yang dapat dilakukan
untuk mengurangi kemungkinan individu tersebut melakukan kejahatan. Hal-hal yang

11
tercakup dalam faktor protektif seperti pemberian dukungan sosial, pelatihan atau edukasi
sebelum bebas dari tahanan, dan pemberian akomodasi untuk hidup setelah bebas dari
tahanan.

H. Contoh Kasus
Penulis menggunakan salah satu episode serial televisi dari Inggris berjudul “Near
Death Experience” dalam serial berjudul “A Touch of Frost”. Serial ini menceritakan
tentang seorang detektif dari kepolisian, Jack Frost (David Jason), yang dalam
menyelesaikan tugasnya untuk menyelidiki kasus pembunuhan dibantu oleh seorang
psikolog forensik, Martine Phillips (Sara Stewart). Dalam menyelidiki kasus ini Frost
tidak menemukan jejak peninggalan pelaku sehingga ia kesulitan untuk menemukan
pelakunya, sehingga petingginya menugaskan Martine untuk membantu menyelesaikan
kasus pembunuhan tersebut.
Martine setelah bertemu Frost kemudian ikut untuk melihat keadaan korban (24:50),
ia lalu melakukan observasi terhadap korban terutama untuk mengetahui bagaimana
pelaku membunuh korban. Dari situ kemudian ia menemukan hipotesis awalnya.
Berpindah dari tempat otopsi, (27:00) Martine bersama dengan Frost dan Sharpe
kemudian berdiskusi dan Martine menemukan bahwa pelaku pembunuhan pernah
melakukan pembunuhan serupa. Martine menjelaskan pada Frost mengenai metode yang
dilakukannya untuk menemukan pelaku kejahatan yakni dengan melihat perilaku dari
terduga pelaku yang bisa diprediksi (35:05). Frost meminta laporan Martine mengenai
observasinya dan Martine kemudian mengemukakan kondisi psikologis terduga pelaku
yang menurutnya tidak tepat (58:20, 1:04:16). Menurut Martine, pelaku telah
merencanakan pembunuhan dan seluruh pembunuhan yang pernah dilakukan tersebut
memiliki pola yang sama sehingga bisa saja pelaku melakukan pembunuhan yang lain
juga. Frost juga meminta analisa Martine terhadap pola pembunuhan pelaku yang bisa
jadi petunjuk (1:07:41). Kasus pembunuhan baru membuat kesimpulan baru bagi Martine
bahwa pelaku sudah semakin dekat sehingga ia perlu untuk melakukan wawancara
dengan terduga pelaku yang lain (1:09:49). Pelaku menghampiri Martine namun tidak
membunuhnya, karena Martine yakin bahwa pelaku sudah memiliki rencana kapan dan
pada siapa pembunuhan selanjutnya akan terjadi (1:12:55). Pada akhirnya penangkapan

12
pelaku dilakukan pada saat pelaku hendak melakukan pembunuhan di tempat yang telah
diprediksi sebelumnya (1:23:52).
Dalam serial televisi tersebut, tidak digambarkan secara detail mengenai jenis
asesmen resiko apa yang dilakukan. Martine tampak telah melakukan asesmen
sebelumnya lalu membicarakannya pada Frost sebagai bahan pertimbangan serta
tambahan informasi dalam mencari pelaku. Namun, jelas tampak bahwa hasil asesmen
resiko tersebut menunjukkan bahwa pelaku merupakan serial killer yang akan melakukan
pembunuhan serupa pada korban selanjutnya. Selain itu, asesmen yang dilakukan juga
dapat mengurangi dugaan pada orang-orang yang terlibat dalam kasus tersebut sehingga
pelaku dapat secara tepat ditemukan. Martine menggunakan pendekatan probabilitas hasil
yang muncul di masa mendatang merupakan hasil dari sampel peristiwa di masa lampau.
Dengan menggabungkan informasi dari kasus pembunuhan serupa yang pernah terjadi
sebelumnya, Martine mengungkap bahwa pelaku bisa saja melakukan hal yang serupa
pada korban lain. Dari hal tersebut juga, Martine bersama Frost bisa menemukan target
selanjutnya dari pelaku sehingga bisa merencanakan dan melakukan penangkapan.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Asesmen risiko adalah kegiatan psikolog forensik yang dilakukan agar langkah
kebijakan hukum dilaksanakan sesuai dengan harapan dalam proses peradilan untuk
menentukan putusan suatu perkara. Terdapat tiga jenis utama asesmen risiko, yakni
Clinical Risk Assessment (CRA), Actuarial Risk Assessment Instruments (ARAI),
Structured Professional Judgment (SPJ). Namun, hal terpenting dari bahasan asesmen
risiko adalah memahami faktor-faktor yang perlu diperhatikan, seperti faktor prediktor
risiko, faktor risiko statis dan faktor risiko dinamis, serta faktor protektif dari risiko yang
mungkin muncul.
Dalam perkembangannya terdapat tiga pendekatan dalam asesmen risiko, yaitu : 1)
Hasil yang muncul merupakan sebuah probabilitas, 2) Probabilitas hasil yang muncul di
masa mendatang merupakan hasil dari sampel peristiwa di masa lampau, dan 3) Perkiraan
kemungkinan yang terjadi di masa mendatang berdasarkan pengalaman, pengetahuan,
dan perhatian yang dapat diterapkan pada konteks yang bersangkutan. Contoh penerapan
asesmen resiko dapat dilihat pada salah satu serial televisi “A Touch of Frost” dalam
episode yang berjudul “Near Death Experiences”.

B. Saran
Dengan terselesaikannya makalah ini penulis berharap kepada pembaca agar
memberikan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan penulisan makalah di
kemudian hari dan kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan
tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak dan dapat
dipertanggungjawabkan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Binus University. (2015). Mahasiswa Psikologi Binus Belajar Dari Psikolog Forensik Mabes
Polri. https://psychology.binus.ac.id/2015/01/15/mahasiswa-psikologi-binus-belajar-dari-
psikolog-forensik-mabes-polri/ (diakses pada 26 Febuari 2022)
Crighton, D. A. & Towl, G. J. (2015). Forensic psychology 2nd Edition. USA: Wiley.
Huss, M. T. (2014). Forensic psychology : research, clinical practice, and applications 2nd Ed.
USA: Wiley.
Ikawati, L. (2019). Fenomena Kejahatan Kriminologi Berdasarkan Ciri Psikis & Psikologis
Manusia. Jurnal Hukum Responsif, 7(2), 123-136.
http://jurnal.pancabudi.ac.id/index.php/hukumresponsif/article/view/737.
Kaloeti, D. V. S., Indrawati, E. S., & Alfaruqy, M. Z. (2019). Psikologi Forensik. Yogyakarta:
Psikosain
Wingfield, R. D. (Penulis), & Harrison, P. (Sutradara). (2005). Near death experience [Episode
serial televisi]. Dalam Reynolds, D. & Bates, R. (Produser Eksekutif). A touch of Frost.
Yorkshire, UK: Yorkshire Television.

15
LEMBAR PARTISIPASI

No. Nama NIM Partisipasi

1. Eugenia Nadia 15000119130245 - Menyusun kata pengantar


- Menyusun latar belakang,
rumusan masalah, dan tujuan

2. Bernadus Advendo David 15000119130285 - Menyusun contoh kasus

3. Uli Patricia Pasmayu 15000119130328 - Menyusun jenis asesmen risiko


- Menyusun faktor asesmen
risiko

4. Theresia Conia 15000119140235 - Menyusun contoh langkah-


langkah asesmen

5. Caterina Eka Christianto 15000119130185 - Menyusun pendekatan asesmen


risiko

6 Hizkia Dewangga 15000119140087 - Menyusun bagian tugas


Psikolog Forensik

7. Bella Averina 15000119130298 - Menyusun pengertian asesmen


risiko

8. Maria Ivana Wibawa 15000119130105 - Menyusun bagian fungsi


asesmen risiko

16

Anda mungkin juga menyukai