Anda di halaman 1dari 27

Mata Kuliah : Psikopatologi

Dosen Pengampu : 1. Dr. Sitti Murdiana, S.Psi.,M.Psi., Psikolog

2. Harlina Hamid, S.Psi.,M.Si.,M.Psi., Psikolog

MAKALAH PSIKOPATOLOGI
MOOD DISORDERS AND SUICIDE

Disusun Oleh Kelas D Kelompok 5:


1. Khairunnisa Az-Zahrah Syamsuddin (200701501034)
2. Nanda Rahmayani (200701501002)
3. Aisyah Arifuddin (200701502016)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah
kami yang berjudul “Mood Disorders and Suicide” dapat tersusun sampai dengan selesai.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi persyaratan tugas mata kuliah psikopatologi di
Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar. Kami sangat berharap semoga makalah ini
dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Makassar, Agustus 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii


DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 2
A. Gambaran Umum dan Jenis-Jenis Mood Disorders ....................................................... 2
B. Prevalensi Mood Disorders............................................................................................. 7
C. Penyebab Mood Disorders .............................................................................................. 9
D. Penanganan Mood Disorders ........................................................................................ 15
E. Hubungan Mood Disorders dan Suicide ....................................................................... 20
F. Penyebab dan Faktor Suicide ........................................................................................ 20
G. Penanganan Suicide ...................................................................................................... 21
BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 23
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 23
B. Saran ............................................................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 24

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mood merupakan kondisi suasana hati yang terus mewarnai kehidupan


psikologis. Gangguan mood mencangkup gangguan emosi pada diri seseorang, mulai
dari kesedihan pada depresi hingga perasaan ingin bunuh diri jika sudah melebihi batas
kemampuan seseorang. Gangguan mood (mood disorder) yang cukup parah atau sudah
berlangsung lama akan mengganggu kemampuan individu untuk memenuhi tanggung
jawab sehari-hari.

Banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi depresi dan terpuruk.


Rintangan hidup yang dialami seseorang dapat membuatnya mengalami stress bahkan
bisa menjadi depresi jika sudah putus asa dan tidak kuat menghadapi masalah tersebut.
Depresi tidak hanya dialami oleh orang dewasa tetapi juga dapat dialami oleh anak-
anak karena tidak mengenal kelas sosial. Apabila orang berada dalam emosi yang
negatif seperti rasa sedih, benci, putus asa, iri, kecemasan, dan kurang bersyukur maka
sistem kekebalan tubuh akan melemah. Oleh sebab itu akan dibahas mengenai
gangguan mood hingga bunuh diri.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana definisi dan jenis-jenis mood disorders?


2. Bagaimana prevalensi mood disorders?
3. Apa saja yang menjadi penyebab mood disorders?
4. Bagaimana penanganan mood disorders?
5. Bagaimana hubungan mood disorders dan suicide?
6. Apa saja yang menjadi penyebab dan faktor suicide?
7. Bagaimana penanganan suicide?

C. Tujuan

1. Untuk menjelaskan gambaran umum dan jenis-jenis mood disorders.


2. Untuk menjelaskan prevalensi mood disorders.
3. Untuk menjelaskan penyebab mood disorders.
4. Untuk menjelaskan penanganan mood disorders.
5. Untuk menjelaskan hubungan mood disorders dan suicide.
6. Untuk menjelaskan penyebab dan faktor suicide.
7. Untuk menjelaskan penanganan suicide.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum dan Jenis-Jenis Mood Disorders

a. Gambaran Umum Depresi dan Mania

Episode depresi mayor (major depressive episode) merupakan jenis episode


depresi yang paling sering didiagnosis dan paling parah. Kriteria DSM-5
menggambarkannya sebagai keadaan suasana hati yang tertekan berlangsung
selama dua minggu disertai dengan gejala kognitif, fungsi fisik yang terganggu
hingga hilangnya minat aktivitas. Dari beberapa gejala tersebut terdapat indikator
paling sentral episode depresi mayor penuh ialah perubahan fisik (disebut gejala
somatik atau vegetatif).

Jenis episode suasana hati utama lainnya adalah episode manik (manic
episode) yang menunjukkan suasana hati yang meningkat, gembira atau ekspansif
berlangsung selama seminggu untuk dapat ditegakkan diagnosis. Simtom
tambahan mulai dari rentang simtom perilaku sampai kepada kondisi aktivitas
mental dapat meningkat harus terjadi pada periode waktu yang sama.

Ciri-ciri major depressive episode adalah sebagai berikut:

1. Mood depresi atau mood irritable pada anak-anak atau remaja.


2. Penurunan minat pada sebagian besar aktivitas sehari-hari.
3. Penurunan berat badan yang signifikan saat tidak berdiet, penambahan berat
badan, atau penurunan atau peningkatan nafsu makan yang signifikan.
4. Insomnia atau hipersomnia.
5. Agitasi atau retardasi psikomotor yang nyata.
6. Kelelahan atau kehilangan energi dalam gerakan sekecil apa pun
membutuhkan usaha yang luar biasa.
7. Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan
8. Berkurangnya kemampuan untuk berpikir, berkonsentrasi, atau membuat
keputusan.
9. Pikiran berulang tentang kematian, ide atau usaha bunuh diri
10. Distress yang signifikan secara klinis.
11. Gejala bukan karena efek suatu zat (misalnya, penyalahgunaan obat) atau
kondisi medis umum (misalnya, hipotiroidisme).

Ciri-ciri manic episode adalah sebagai berikut:

1. Periode yang berbeda dari suasana hati yang meningkat secara abnormal dan
terus-menerus, ekspansif, atau mudah tersinggung yang berlangsung
setidaknya satu minggu.

2
2. Derajat signifikan dari: harga diri yang meningkat, berkurangnya kebutuhan
tidur, lebih banyak bicara, ide yang beterbangan, distractibility (keteralihan),
peningkatan aktivitas yang diarahkan pada tujuan atau agitasi psikomotor,
keterlibatan berlebihan dalam perilaku berisiko tinggi.
3. Gangguan mood cukup parah sehingga menyebabkan gangguan fungsi sosial
atau memerlukan rawat inap, atau terdapat ciri psikotik.
4. episode ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu zat atau
kondisi medis umum.

Dalam bentuk yang lebih ringan, DSM-5 juga mendefinisikan episode


hipomanik, versi episode manik yang berlangsung hanya empat hari tidak terlalu
parah karena tidak menyebabkan gangguan dalam fungsi sosial atau pekerjaan.
Episode hipomanik berada di bawah level episode manik, tetapi kehadirannya
berkontribusi pada definisi beberapa gangguan mood.

b. Struktur Mood Disorders

Individu yang mengalami depresi atau mania dikatakan menderita unipolar


mood disorders, karena suasana hatinya kontinum dari depresi ke mania. Unipolar
mania jarang terjadi karena kebanyakan orang dengan gangguan mood unipolar
akhirnya mengalami depresi. Di sisi lain, manic episode lebih sering terjadi pada
remaja. Seseorang yang mengalami episode depresi dan mania secara bergantian
dikatakan memiliki bipolar mood disorder. Seorang individu dapat mengalami
gejala manik tetapi merasa tertekan atau cemas pada saat yang sama, atau depresi
dengan beberapa gejala: gila. Episode ini dicirikan memiliki "fitur campuran".

1. Mood Disorders, salah satu kelompok gangguan yang melibatkan gangguan


parah dan bertahan di emosionalitas mulai dari kegembiraan sampai depresi
berat.
2. Major Depressive Episode, pengalaman depresi yang paling umum saat
seseorang merasa tidak berharga, kehilangan minat, gangguan dalam aktivitas
tubuh seperti tidur, dan ketidakmampuan untuk merasakan perasaan senang,
bertahan setidaknya 2 minggu.
3. Mania, periode kegembiraan atau euforia berlebihan yang tidak normal terkait
dengan beberapa mood disorder.
4. Hypomanic Episode, versi episode manik yang lebih ringan dan tidak terlalu
mengganggu yang merupakan salah satu kriteria untuk beberapa mood
disorder.

c. Gangguan Depresi

1. Deskripsi Klinis

Major depressive disorder dapat didefinisikan dengan adanya depresi dan


tidak pernah memiliki episode manik, hipomanik, atau campuran baik sebelum

3
atau selama gangguan. Terjadinya hanya dalam satu episode depresi yang
terisolasi seumur hidup sekarang sudah jarang diketahui.

Jika major depressive episode terjadi berulang dan dipisahkan setidaknya


selama dua bulan, Major Depressive Disorder (MDD) tercatat kembali
kambuh. Kekambuhan dapat digunakan untuk memprediksi gangguan di masa
depan sehingga dalam memilih perawatan akan tepat. Dari 35% hingga 85%
orang dengan episode tunggal major depressive disorder kemudian mengalami
episode berulang. Durasi rata-rata episode depresi mayor berulang adalah
empat sampai lima bulan, agak lebih pendek dari rata-rata durasi episode
pertama.

Depresi unipolar merupakan kondisi kronis yang dapat bertambah dan


berkurang seiring waktu tetapi jarang menghilang. Gangguan depresi persisten
(dysthymia) memiliki banyak kesamaan gejala dengan gangguan depresi
mayor tetapi dengan persentase yang lebih kecil dan gejala yang lebih sedikit,
tetapi depresi relatif tetap dalam waktu yang lama, kadang-kadang 20 atau 30
tahun atau lebih.

Gangguan depresi persisten didefinisikan sebagai suasana hati yang


berlanjut selama dua tahun, di mana tidak terlepas dari gejala episode depresif
berat selama lebih dari dua bulan. Gangguan depresi persisten dianggap lebih
parah, karena pasien mengalami tingkat komorbiditas yang lebih tinggi dengan
gangguan mental lainnya, kurang responsif terhadap pengobatan sehingga
tingkat perbaikan dapat lebih lambat. Dikatakan depresi ganda apabila
menderita depresi persisten kemudian mengalami episode depresi berat.

2. Onset dan Durasi

Tingkat gejala depresi paling tinggi umumnya terjadi pada dewasa muda,
menurun pada masa dewasa menengah, dan kemudian meningkat lagi pada
usia yang lebih tua. Peneliti telah menemukan prevalensi yang lebih rendah
(0,07%) dari gejala depresi ringan persisten pada anak-anak dibandingkan
dengan orang dewasa (3% sampai 6%), tetapi gejala cenderung stabil
sepanjang masa kanak-kanak. 76% dari sampel anak-anak dengan gejala
depresi ringan yang menetap kemudian berkembang menjadi gangguan
depresi berat.

Gangguan depresi persisten dapat berlangsung 20 sampai 30 tahun atau


lebih, meskipun penelitian telah melaporkan rata-rata durasi sekitar lima tahun
pada orang dewasa dan empat tahun pada anak-anak. Lebih buruk lagi, pasien
dengan gangguan depresi persisten dengan gejala depresi yang lebih ringan
(dysthymia) cenderung mencoba bunuh diri daripada kelompok pembanding
dengan (non-persisten) episode gangguan depresi mayor selama periode lima
tahun. Episode depresif berat dan persisten relatif terjadi secara bersamaan
(depresi ganda).

4
d. Dari Dukacita Menjadi Depresi

Biasanya proses berduka secara alami mencapai puncaknya dalam enam


bulan pertama, meskipun beberapa orang bisa berduka selama satu tahun atau
lebih. Kenangan pahit dan sebagian besar kenangan positif dari orang yang telah
meninggal kemudian dimasukkan ke dalam memori. Berduka merupakan cara
alami kita menghadapi dan menangani kehilangan. Saat berduka berlangsung di
luar waktu biasanya, seperti setelah enam bulan hingga satu tahun atau lebih,
peluang untuk pulih dari kesedihan yang parah tanpa pengobatan sangat berkurang,
dan untuk sekitar 7% dari individu yang berduka, berproses memiliki gangguan.
Pada tahap ini, pikiran untuk bunuh diri meningkat secara substansial dan berfokus
untuk bergabung dengan almarhum tercinta.

Gejala umum kesedihan akut yang dalam batas normal dalam 6-12 bulan pertama:

1. Perasaan rindu yang kuat dan berulang, sangat ingin bertemu kembali dengan
orang yang meninggal; bahkan mungkin keinginan untuk mati untuk bersama
orang yang dicintai yang telah meninggal.
2. Rasa sedih atau penyesalan yang mendalam, episode menangis atau terisak,
biasanya diselingi dengan periode istirahat dan bahkan emosi positif.
3. Aliran pikiran atau bayangan mengenai orang yang sudah meninggal, bahkan
mungkin berhalusinasi melihat atau mendengar orang yang sudah meninggal.
4. Kesulitan untuk menerima kenyataan kematian, ada beberapa perasaan pahit
atau marah tentang kematian.
5. Distres somatik, misalnya, desahan tak terkendali, gejala pencernaan,
kehilangan nafsu makan, mulut kering, perasaan hampa, gangguan tidur,
kelelahan, kelelahan atau kelemahan, kegelisahan, aktivitas tanpa tujuan,
kesulitan memulai atau mempertahankan keteraturan aktivitas, dan perubahan
sensorium.
6. Merasa terputus dari dunia atau orang lain, merasa acuh tak acuh, tidak tertarik,
atau mudah tersinggung dengan orang lain

Gejala duka cita terintegrasi yang dalam batas normal:

1. Rasa telah menyesuaikan diri dengan kehilangan.


2. Rasa minat dan memiliki tujuan, kemampuan untuk berfungsi, dan pulih nya
kapasitas untuk kegembiraan dan kepuasan.
3. Perasaan emosional kesepian emosional tetap ada.
4. Pikiran dan ingatan tentang orang yang meninggal dapat diakses tetapi tidak
lagi mendominasi pikiran.
5. Kadang-kadang mengalami pengalaman halusinasi mengenai almarhum.
6. Lonjakan kesedihan sebagai respons terhadap hari penting atau pengingat
berkala lainnya yang berkaitan dengan kehilangan tersebut.

Gejala kesedihan yang rumit:

5
1. Gejala kesedihan akut yang persisten dan intens.
2. Adanya pikiran, perasaan, atau perilaku yang mencerminkan kekhawatiran
yang berlebihan atau mengganggu tentang keadaan atau akibat kematian.

e. Gangguan Depresi lainnya

1. Premenstrual Dysphoric Disorder (PMDD)

Premenstrual dysphoric disolder atau PMDD merupakan masalah


emosional signifikan yang secara klinis dapat terjadi selama fase siklus
reproduksi pra menstruasi seorang wanita. Fitur dari premenstrual dysphoric
disorder meliputi:

1) Pada sebagian besar siklus menstruasi, setidaknya ada lima gejala yang
muncul pada minggu terakhir sebelum onset menstruasi, mulai membaik
dalam beberapa hari setelah onset menstruasi, dan menjadi minimal atau
tidak ada dalam minggu pasca-menstruasi.
2) Satu atau lebih dari gejala berikut pasti muncul; (1) labilitas afektif,
misalnya perubahan suasana hati, (2) cepat marah atau perasaan marah (3)
suasana hati yang tertekan (4) kecemasan dan ketegangan.
3) Munculnya gejala tambahan untuk mencapai total lima gejala ketika
digabungkan dengan gejala di atas; (1) penurunan minat pada aktivitas
biasanya, (2) kesulitan berkonsentrasi, (3) lesu, mudah lelah, kekurangan
energi, (4) perubahan nafsu makan yang nyata; makan berlebihan atau
mengidam makanan tertentu, (5) hipersomnia atau insomnia (5) perasaan
kelelahan atau diluar kendali (7) gejala fisik seperti nyeri payudara atau
pembengkakan payudara.
4) Distres atau gangguan klinis yang signifikan mengenai pekerjaan,
sekolah, kegiatan sosial, atau hubungan.
5) Gejala tidak disebabkan oleh efek suatu zat, misalnya penyalahgunaan
obat atau kondisi medis lainnya.

f. Gangguan Mood Dysregulation Disorder

Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dengan iritabilitas kronis serta


kesulitan mengatur emosi sering mengalami tantrum yang berisiko pada gangguan
depresi dan kecemasan berlebih dari episode manik. Meskipun gejalanya
menunjukkan beberapa kesamaan dengan gejala gangguan bipolar, sangat
dikhawatirkan apabila anak-anak salah diagnosis. Dalam mengonsumsi obat untuk
gangguan bipolar dengan efek samping yang substansial akan menimbulkan lebih
banyak risiko bagi anak-anak tersebut dibanding manfaatnya. Berbeda dengan
kondisi ADHD, pengaruh negatif mendorong iritabilitas dan ketidakmampuan
dalam mengatur suasana hati. Oleh karena itu, tujuan yang sangat penting dalam
waktu dekat yaitu mengembangkan dan mengevaluasi pengobatan pada kondisi ini,
baik psikologis maupun obat-obatan.

6
g. Bipolar Disorders

Fitur pengidentifikasi utama dari gangguan bipolar adalah kecenderungan


episode manik untuk bergantian dengan episode depresi mayor dalam perjalanan
roller-coaster tanpa akhir dari puncak kegembiraan ke kedalaman keputusasaan.
Gangguan bipolar II, di mana episode depresi mayor bergantian dengan episode
hipomanik dari episode manik penuh. Versi gangguan bipolar yang lebih ringan
tetapi lebih kronis disebut gangguan siklotimik. Gangguan siklotimik adalah
perubahan kronis dari peningkatan mood dan depresi yang tidak mencapai tingkat
keparahan episode manik atau depresi mayor. Individu dengan gangguan
siklotimik cenderung berada dalam satu kondisi mood atau yang lain selama
bertahun-tahun dengan periode mood netral (atau euthymic) yang relatif sedikit.
Pola ini harus berlangsung setidaknya selama dua tahun (satu tahun untuk anak-
anak dan remaja) untuk memenuhi kriteria gangguan tersebut. Selanjutnya, orang
dengan siklotimia harus dirawat karena peningkatan risiko mereka untuk
mengembangkan gangguan bipolar I atau bipolar II yang lebih parah.

1. Onset dan Durasi

Usia rata-rata onset untuk gangguan bipolar I adalah dari 15 hingga 18 dan
untuk gangguan bipolar II dari 19 hingga 22, meskipun kasus keduanya dapat
dimulai pada masa kanak-kanak. Ini agak lebih muda dari rata-rata usia onset
untuk gangguan depresi mayor, dan gangguan bipolar mulai lebih akut; yaitu,
mereka berkembang lebih tiba-tiba. Sekitar sepertiga dari kasus gangguan
bipolar dimulai pada masa remaja, dan awitan sering didahului oleh osilasi
kecil dalam suasana hati atau perubahan suasana hati siklotimik ringan. Antara
10% dan 25% orang dengan gangguan bipolar II akan berkembang menjadi
gangguan bipolar I.

Meskipun gangguan unipolar dan bipolar telah dianggap sebagai gangguan


yang berbeda, beberapa penelitian menunjukkan bahwa mereka mungkin
berada dalam kontinum (disebut "spektrum" dalam psikopatologi).

B. Prevalensi Mood Disorders

Perkiraan prevalensi mood disorders di seluruh dunia menunjukkan bahwa


sekitar 16% dari populasi mengalami major depressive disorder seumur hidup dan
sekitar 6% terjadi pada tahun lalu. Tingkat prevalensi untuk kombinasi gangguan
depresi persisten dan kronis depresi berat sekitar 3,5%. Dan untuk bipolar disorder,
perkiraan adalah 1% prevalensi seumur hidup dan 0,8% selama setahun terakhir.
Tingkat prevalensi untuk gangguan depresi persisten (dysthymia) dan gangguan bipolar
mencerminkan fakta bahwa gangguan ini adalah kondisi kronis yang berlangsung
seumur hidup.

a. Prevalensi pada Anak, Remaja, dan Dewasa

7
Gangguan depresi meningkat drastis pada masa remaja. Di antara anak-
anak usia dua hingga lima tahun, tingkat depresi berat sekitar 1,5%, tetapi sebanyak
20% hingga 50% anak-anak mengalami beberapa gejala depresi yang cukup parah
untuk memenuhi kriteria diagnostik. Prevalensi keseluruhan gangguan depresi
mayor berkurang seiring bertambahnya usia seseorang. Tetapi gejala yang lebih
ringan dengan gangguan depresi mayor tampaknya lebih umum di kalangan orang
tua karena terkait dengan penyakit dan kelemahan.

Gangguan bipolar tampaknya terjadi pada tingkat yang sama (1%) di masa
kanak-kanak dan remaja. Prevalensi kronisitas mood disorder pada semua umur
kelompok memang tinggi, yang menunjukkan dampak yang substansial tidak
hanya pada individu yang terkena dampak dan keluarga tetapi juga pada
masyarakat.

b. Pengaruh Perkembangan Rentang Hidup pada Mood Disorders

Depresi prasekolah adalah prediktor yang signifikan untuk mengetahui


depresi pada usia enam sampai 13 tahun. Depresi prasekolah juga merupakan
faktor risiko untuk masalah lain, seperti kecemasan. gangguan dan ADHD pada
usia sekolah. Satu perbedaan perkembangan antara anak-anak dan remaja
dibandingkan dengan orang dewasa menyangkut pola komorbiditas. Misalnya,
depresi masa kanak-kanak (dan mania) sering dikaitkan dengan kesalahan pasa
diagnosis sebagai ADHD atau gangguan perilaku di mana agresi dan bahkan
perilaku destruktif sering terjadi. Gangguan perilaku dan depresi sering terjadi
bersamaan pada gangguan bipolar.

Sekitar 13% dari 1.265 jumlah kelompok remaja yang mengalami


gangguan depresi mayor antara usia 14 dan 16 tahun. Kemudian, antara usia 16
dan 21, kelompok ini secara signifikan berisiko mengalami depresi berat, gangguan
kecemasan, ketergantungan nikotin, upaya bunuh diri, dan penyalahgunaan obat
dan alkohol, serta pendidikan yang kurang berprestasi dan pengasuhan dini,
dibandingkan dengan remaja yang tidak depresi. Depresi pada anak-anak atau
remaja adalah peristiwa yang berbahaya dan harus segera diobati atau melakukan
pencegahan sebelumnya. Untungnya, terapi perilaku kognitif (CBT) dapat secara
efektif mencegah timbulnya episode depresi pada remaja yang berisiko.

c. Lintas Budaya

Terdapat banyak kecenderungan budaya yang sama di setiap budaya


terhadap mood disorder, yang berhubungan dengan kecemasan dan depresi. Rasa
lemah atau lelah menggambarkan gangguan mental maupun fisik. Meskipun gejala
somatik yang terjadi pada gangguan mood sama di seluruh budaya, sulit untuk
membandingkan perasaan subjektif. Cara orang berpikir tentang depresi mungkin
dipengaruhi oleh pandangan budaya individu dan peran individu dalam
masyarakat. prevalensi yang berbeda pada dua suku mungkin karena perbedaan
dalam metode wawancara atau karena kondisi dan budaya dapat sangat berbeda

8
dari satu suku ke suku lainnya. Namun, kondisi sosial dan ekonomi yang buruk di
banyak wilayah memenuhi persyaratan stres yang kronis, yang mempengaruhi
timbulnya gangguan mood, terutama gangguan depresi berat.

C. Penyebab Mood Disorders

Dalam psikopatologi, penyebab mood disorders dapat dipengaruhi oleh


beberapa faktor, yaitu dimensi biologis, psikologis, dan sosial.

a. Dimensi Biologis

1. Pengaruh Keluarga dan Genetik

Dalam studi, ditemukan bahwa gen berhubungan dengan mood disorders.


Bukti terbaik mengenai hal ini berasal dari studi kembar. Sejumlah penelitian
mengenai studi kembar menunjukkan bahwa gangguan mood disorders itu
dapat diwariskan. Salah satu studi terkuat menunjukkan bahwa kembar identik
memiliki kemungkinan dua hingga tiga kali lebih besar untuk memiliki mood
disorders daripada kembar fraternal jika salah satu memiliki mood disorders.
Namun, jika salah satu kembar identik memiliki kelainan unipolar,
kemungkinan dari kembar yang satunya yang memiliki gangguan bipolar
sangat tipis. Meta-analisis besar studi kembar, memperkirakan heritabilitas
depresi menjadi 37%.

Penelitian yang terbaru menjelaskan bahwa gangguan bipolar memberi


peningkatan risiko dalam mengembangkan mood disorders pada kerabat
dekat, tetapi belum tentu mengalami gangguan bipolar. Banyak bukti
penelitian yang menunjukkan bahwa mood disorders bersifat familial dan
hampir pasti mencerminkan kerentanan genetik, terutama bagi perempuan.
Studi saat ini mulai mengidentifikasi pola gen berbeda yang mungkin
memberikan kerentanan, setidaknya untuk beberapa jenis depresi. Dalam hal
ini, kemungkinan akan ditemukan banyak tambahan pola kombinasi gen yang
berkontribusi pada varietas depresi. Kesimpulannya, perkiraan terbaik dari
kontribusi genetik untuk depresi jatuh dalam kisaran sekitar 40% untuk wanita
tetapi secara signifikan lebih sedikit untuk pria (sekitar 20%). Kontribusi
genetik untuk gangguan bipolar tampaknya agak lebih tinggi. Tiga faktor
genetik terpisah mendasari sindrom depresi berat yaitu faktor pertama
berhubungan dengan gejala kognitif dan psikomotorik, faktor kedua terkait
dengan suasana hati, dan faktor ketiga dengan gejala neurovegetatif
(melankolis).

2. Depresi dan Kecemasan

Bukti penelitian mendukung asumsi bahwa ada hubungan yang erat antara
depresi, kecemasan, dan panik, serta gangguan emosional lainnya. Sebagai
contoh, data dari studi keluarga menunjukkan bahwa semakin banyak tanda
dan gejala kecemasan dan depresi pada pasien, maka semakin besar tingkat

9
kecemasan, depresi, atau keduanya pada kerabat dekat dan anak-anaknya.
Faktor genetik yang sama berkontribusi pada kecemasan dan depresi. Ada
kemungkinan, kecuali mania, kerentanan biologis untuk mood disorders tidak
spesifik untuk suatu gangguan tetapi mungkin mencerminkan kecenderungan
yang lebih umum untuk kecemasan atau mood disorders, atau lebih mungkin
untuk temperamen dasar yang mendasari semua gangguan emosional, seperti
neuroticism. Bentuk spesifik dari gangguan tersebut ditentukan oleh
psikologis unik, sosial, atau faktor biologis tambahan.

3. Sistem Neurotransmitter

Sistem neurotransmitter memiliki banyak subtipe dan berinteraksi dalam


banyak cara yang kompleks antara satu sama lain dengan neuromodulator
(produk dari sistem endokrin). Rendahnya kadar serotonin menjadi penyebab
terjadinya mood disorders, tetapi hanya dalam kaitannya dengan
neurotransmitter lain, termasuk norepinefrin dan dopamin. Serotonin
berfungsi untuk mengatur reaksi emosional kita. Kita menjadi lebih impulsif
dan suasana hati yang cepat berubah dikarenakan kadar serotonin yang rendah.
Ini mungkin karena salah satu fungsi serotonin adalah untuk mengatur sistem
yang melibatkan norepinefrin dan dopamin. Menurut hipotesis "permisif",
ketika serotonin berada di tingkat rendah, neurotransmiter lain "diizinkan"
untuk jangkauan yang lebih luas, menjadi tidak teratur, dan berkontribusi pada
ketidakteraturan suasana hati, termasuk depresi.

4. Sistem Endokrin

Hal ini berfokus pada neurotransmitter ke sistem endokrin dan "hipotesis


stres" dari etiologi depresi. Hipotesis ini berfokus pada aktivitas berlebihan di
sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenokortikal (HPA), yang menghasilkan
hormon stres. Aktivitas neurotransmitter di hipotalamus mengatur pelepasan
hormon yang mempengaruhi sumbu HPA. Salah satu kelenjar yang
dipengaruhi oleh hipofisis adalah bagian kortikal dari kelenjar adrenal, yang
menghasilkan hormon stres kortisol yang melengkapi sumbu HPA. Kortisol
disebut hormon stres karena ia meningkat selama terjadinya peristiwa
kehidupan yang penuh tekanan. Dapat diketahui bahwa kadar kortisol
meningkat pada pasien depresi, hal ini masuk akal mengingat hubungan antara
depresi dan stres hidup yang parah. Temuan menunjukkan bahwa hormon ini
dapat berbahaya bagi neuron karena mereka mengurangi bahan utama yang
menjaga neuron sehat dan berkembang. Gangguan kecemasan yang dialami
individu meningkatkan kadar hormon stres dalam waktu yang lama dan
mengalami beberapa penyusutan struktur otak yang disebut hipokampus.
Hipokampus bertanggung jawab untuk menjaga dan mengendalikan hormon
stres dan melayani fungsi penting dalam memfasilitasi proses kognitif seperti
penyimpanan jangka pendek. Dalam penelitian baru, setidaknya pada hewan,
ditemukan bahwa kelebihan produksi hormon stres dalam jangka panjang

10
membuat organisme tidak mampu mengembangkan neuron baru
(neurogenesis). Dengan demikian, beberapa ahli teori menduga bahwa
hubungan antara hormon stres yang tinggi dan depresi adalah penekanan
neurogenesis di hipokampus. Temuan ini menunjukkan bahwa rendahnya
volume hipokampus dapat berkontribusi dalam timbulnya depresi.

5. Tidur dan Ritme Sirkadian

Gangguan tidur merupakan ciri dari sebagian besar mood disorders. Pada
orang yang mengalami depresi, secara signifikan memiliki periode yang lebih
pendek setelah tertidur sebelum memasuki tahapan tidur rapid eye movement
(REM). Untuk memasuki tidur REM lebih cepat, pasien depresi mengalami
aktivitas REM yang lebih intens. Aktivitas durasi tidur pendek dan panjang
yang tidak biasa dikaitkan dengan peningkatan risiko depresi pada orang
dewasa.

Gangguan pola tidur pada anak depresi kurang menonjol dibandingkan


pada orang dewasa, mungkin karena anak-anak tidur sangat nyenyak.
Gangguan tidur bahkan lebih parah di antara orang dewasa yang lebih tua yang
depresi. Faktanya, insomnia sering dialami oleh orang dewasa yang lebih tua,
hal ini adalah faktor risiko untuk onset dan persistensi depresi. Peneliti
menemukan bahwa hubungan antara tidur dan suasana hati adalah dua arah,
artinya, perasaan negatif memprediksi gangguan tidur dan gangguan tidur
kemudian menghasilkan suasana hati yang negatif. Pengobatan gangguan tidur
secara langsung dapat secara positif mempengaruhi suasana hati, tidak hanya
di insomnia tetapi juga pada mood disorders. Pola tidur mencerminkan ritme
biologis, mungkin ada hubungan antara seasonal affective disorder (SAD),
gangguan tidur pada pasien depresi, dan gangguan yang lebih umum dalam
ritme biologis. Hal ini karena kebanyakan mamalia sangat sensitif terhadap
panjang hari di garis lintang di tempat mereka hidup dan “jam biologis” yang
mengontrol makan, tidur, dan perubahan berat badan. Dengan demikian,
gangguan substansial dalam ritme sirkadian mungkin sangat bermasalah untuk
beberapa individu yang rentan.

b. Dimensi Psikologis

1. Peristiwa Kehidupan yang Penuh Tekanan

Stres dan trauma menjadi salah satu hal mencolok yang berkontribusi
untuk etiologi semua gangguan psikologis. Kebanyakan orang yang
mengalami depresi melaporkan bahwa mereka telah kehilangan pekerjaan,
bercerai, memiliki anak, atau lulus sekolah dan memulai karir. Dalam
sejumlah besar penelitian, jelas bahwa peristiwa hidup yang penuh tekanan
sangat terkait dengan timbulnya mood disorders. Para ilmuwan telah
menegaskan bahwa penghinaan, kehilangan, dan penolakan sosial adalah
peristiwa kehidupan stres yang paling kuat yang cenderung menyebabkan

11
depresi. Jelas ada hubungan yang kuat antara stres dan depresi, dan para
ilmuwan menemukan bahwa ada hubungan sebab-akibat antara keduanya. Hal
ini mengacu pada model korelasi gen-lingkungan. Salah satu contohnya adalah
orang yang cenderung sulit dalam hubungan karena karakteristik kepribadian
berbasis genetik yang kemudian mengarah pada depresi. Sekitar sepertiga dari
hubungan antara peristiwa kehidupan yang penuh tekanan dan depresi
bukanlah pengaturan biasa dimana stres memicu depresi melainkan kerentanan
individu untuk depresi yang menempatkan diri mereka dalam lingkungan yang
berisiko tinggi memiliki tekanan, seperti hubungan yang sulit atau situasi
berisiko.

Peristiwa yang penuh tekanan dan gangguan bipolar juga memiliki


hubungan yang kuat. Pertama, biasanya peristiwa kehidupan yang penuh
tekanan yang negatif memicu depresi, tapi peristiwa yang agak berbeda dan
lebih positif dapat memicu mania. Kedua, ketika siklus gangguan dimulai,
sebuah proses psikologis atau proses patofisiologis mengambil alih dan
memastikan kekacauan akan berlanjut. Ketiga, beberapa pencetus episode
manik tampaknya berkaitan dengan kurang tidur, seperti pada periode post
partum atau sebagai akibat dari jetlag—yaitu, ritme sirkadian yang terganggu.
Dalam kebanyakan kasus gangguan bipolar, peristiwa kehidupan yang penuh
tekanan secara substansial tidak hanya dalam memprovokasi kekambuhan
tetapi juga mencegah pemulihan.

2. Ketidakberdayaan yang Dipelajari

Learned helplessness theory of depression merupakan teori yang


dikembangkan oleh Martin Seligman yang mengemukakan bahwa seseorang
menjadi cemas dan depresi ketika mereka membuat atribusi bahwa mereka
tidak memiliki kendali atas stres dalam hidup mereka. Kecemasan adalah
respon pertama dari situasi stres, yang kemudian diikuti dengan depresi. Gaya
atribusi depresif adalah (1) internal, dimana individu mengaitkan peristiwa
negatif dengan kegagalan pribadi (“itu semua salahku”); (2) stabil, dalam hal
ini, bahkan setelah peristiwa negatif tertentu berlalu, ia beratribusi bahwa "hal-
hal buruk tambahan akan selalu menjadi kesalahan saya"; dan (3) global
dimana atribusi meluas di berbagai masalah. Pemikiran ini merupakan
kerentanan psikologis yang berkontribusi pada pengembangan gangguan
kecemasan. Seseorang yang memiliki kerentanan genetik non-spesifik baik
kecemasan atau depresi, mengaktifkan perasaan bahwa peristiwa kehidupan
yang penuh tekanan tidak dapat dikendalikan. Teori ketidakberdayaan
menekankan pengaruh atribusi negatif dan menyoroti perkembangan rasa
putus asa sebagai penyebab penting dari banyak bentuk depresi.

3. Gaya Kognitif Negatif

12
Menurut Aaron T. Beck, depresi mungkin merupakan hasil dari
kecenderungan untuk menafsirkan peristiwa sehari-hari secara negatif.
Seseorang dengan depresi membuat segalanya menjadi hal yang buruk; bagi
mereka kemunduran terkecil adalah bencana yang besar. Pasien depresi yang
berpikir seperti ini diklasifikasikan dalam jenis "kesalahan kognitif".
Contohnya adalah inferensi yang sewenang- wenang dan generalisasi yang
berlebihan. Inferensi sewenang-wenang terbukti ketika individu yang depresi
lebih menekankan hal negatif daripada aspek positif dari suatu situasi. Seorang
guru sekolah menengah mungkin menganggap dia adalah instruktur yang
buruk karena dua siswa di kelasnya tertidur. Dia gagal mempertimbangkan
alasan lain mereka mungkin tidur dan menyimpulkan bahwa cara mengajarnya
yang salah. Sebagai contoh generalisasi yang berlebihan, ketika profesor anda
membuat suatu komentar kritis tentang makalah anda, anda kemudian
menganggap anda akan gagal di kelas meskipun banyak komentar positif dan
nilai yang bagus pada tugas lain. dalam hal ini seseorang, terlalu
menggeneralisasi satu komentar kecil. Menurut Beck, orang yang depresi
berpikir seperti ini sepanjang waktu. Mereka Membuat kesalahan kognitif
dalam berpikir negatif tentang diri mereka sendiri, dunia terdekat mereka, dan
masa depan mereka, tiga area ini disebut depressive cognitive triad. .Selain itu,
Beck berteori, serangkaian peristiwa negatif di masa kanak-kanak, individu
dapat mengembangkan skema negatif yang mendalam yang bertahan lama
dalam sistem kepercayaan kognitif tentang beberapa aspek kehidupan Dengan
skema negatif, seseorang akan selalu berpikir bahwa mereka tidak akan pernah
melakukan hal yang benar. Dalam pandangan ini, kesalahan kognitif dan
skema ini bersifat otomatis, yaitu, belum tentu disadari oleh individu. Individu
bahkan mungkin tidak menyadari pikiran negatif dan tidak logisnya. Dengan
demikian, peristiwa negatif kecil dapat menyebabkan episode depresi mayor.

4. Kerentanan Kognitif untuk Depresi

Seligman dan Beck mengembangkan teori mereka secara independen, dan


bukti menunjukkan model mereka adalah independen karena beberapa orang
mungkin memiliki pandangan negatif (sikap disfungsional), sedangkan yang
lain menjelaskan hal-hal negatif (atribut putus asa). Studi menunjukkan
depresi selalu dikaitkan dengan gaya pesimis dan kognisi negatif. Kerentanan
kognitif, mempengaruhi beberapa orang untuk melihat peristiwa secara
negatif, yang kemudian menempatkan mereka pada risiko depresi.

c. Dimensi Sosial dan Budaya

1. Hubungan Perkawinan

Depresi dan gangguan bipolar sangat dipengaruhi oleh stres interpersonal,


terutama ketidakpuasan perkawinan. Depresi dan gangguan bipolar, terutama
jika berlanjut, dapat menyebabkan kemerosotan substansial dalam hubungan

13
perkawinan, hal ini bisa terjadi karena berada di sekitar seseorang yang terus-
menerus negatif, pemarah, dan pesimis dapat melelahkan. Karena emosi itu
menular, pasangan mungkin mulai merasa buruk juga, jenis interaksi ini
memicu argumen atau, lebih buruk lagi, membuat pasangan yang tidak depresi
ingin pergi.

2. Mood Disorders pada Wanita

Data tentang prevalensi mood disorders menunjukkan ketiidakseimbangan


pada gender. Meskipun gangguan bipolar terbagi rata antara pria dan wanita,
hampir 70% dari individu dengan gangguan depresi mayor dan gangguan
depresif presisten (dysthymia) adalah perempuan. Yang sangat mencolok
adalah bahwa ketidakseimbangan gender ini konstan di seluruh dunia,
meskipun tingkat gangguan secara keseluruhan dapat bervariasi dari berbagai
negara. Sumber perbedaan ini adalah budaya, yaitu dalam peran gender untuk
pria dan wanita dalam masyarakat. Laki-laki sangat didorong untuk mandiri,
mahir, dan asertif; sedangkan perempuan diharapkan lebih pasif, sensitif
terhadap orang lain, dan mungkin lebih bergantung pada orang lain daripada
laki-laki (kebutuhan untuk berafiliasi). Budaya ketergantungan dan kepasifan
ini mungkin menempatkan wanita pada risiko tinggi untuk gangguan
emosional dengan meningkatkan perasaan tidak terkendali dan tidak berdaya
mereka. Gaya didik orang tua juga mendorong stereotip peran gender yang
kemudian mengembangkangkan kerentanan psikologis yang merupakan awal
untuk depresi atau kecemasan, seperti gaya overprotektif yang mencegah anak
mengembangkan inisiatifnya.

Wanita cenderung menempatkan nilai yang lebih besar pada hubungan


intim daripada laki-laki yang dapat menjadi pelindung jika jaringan sosial
mereka kuat, tetapi juga dapat membahayakan mereka. Gangguan dalam
hubungan, dikombinasikan dengan ketidakmampuan untuk mengatasi
gangguan, tampaknya jauh lebih merusak wanita daripada pria. Wanita
cenderung lebih banyak merenung daripada laki-laki tentang situasi mereka
dan menyalahkan diri sendiri. Gaya respons ini kemudian memicu
perkembangan depresi ketika mereka stres. Pria cenderung mengabaikan
perasaan, mungkin karena mereka lebih terlibat dalam aktivitas berpikir
mereka. Wanita juga berada pada posisi yang kurang menguntungkan dalam
masyarakat, mereka mengalami lebih banyak diskriminasi, kemiskinan,
pelecehan seksual daripada laki-laki. Mereka juga mendapatkan lebih sedikit
rasa hormat dan mengumpulkan lebih sedikit kekuatan.

3. Dukungan Sosial

Pengaruh sosia memiliki efek yang kuat pada fungsi psikologis dan
biologis. Maka tidak mengherankan jika faktor-faktor sosial mempengaruhi
depresi. Salah satu contoh, risiko depresi bagi orang yang hidup sendiri hampir

14
80% lebih tinggi daripada orang yang tinggal bersama orang lain. Studi
prospektif menegaskan pentingnya dukungan sosial (atau kurangnya
dukungan sosial) dalam memprediksi timbulnya gejala depresi di kemudian
hari Dukungan sosial juga penting dalam mempercepat pemulihan dari episode
depresi. Temuan tentang pentingnya dukungan sosial telah menyebabkan
pendekatan terapi psikologis baru yang menarik untuk gangguan emosi yang
disebut psikoterapi interpersonal.

d. Teori Integratif

Pada dasarnya, depresi dan kecemasan memiliki kesamaan, ditentukan


secara genetik karena kerentanan biologis yang dapat digambarkan sebagai respons
neurobiologis yang terlalu aktif terhadap peristiwa kehidupan yang penuh tekanan.
Kerentanan ini hanyalah kecenderungan umum untuk mengembangkan depresi
(atau kecemasan). Untuk memahami penyebab depresi, kita harus melihat
kerentanan psikologis serta pengalaman hidup yang berinteraksi dengan
kerentanan genetik. Orang yang mengalami mood disorders memiliki kerentanan
psikologis yang dialami sebagai perasaan tidak mampu untuk mengatasi kesulitan
yang mereka hadapi serta sebagai gaya kognitif depresif. Peristiwa kehidupan yang
penuh tekanan pada individu yang rentan, mengaktifkan hormon stres yang
kemudian memiliki efek luas pada sistem neurotransmitter, khususnya yang
melibatkan serotonin, norepinefrin, dan sistem faktor pelepas kortikotropin.

Tapi pada gangguan bipolar, dan khususnya pada aktivasi episode manik,
memiliki dasar genetik yang agak berbeda, serta respon yang berbeda terhadap
dukungan sosial. Ilmuwan mulai berteori bahwa individu dengan gangguan
bipolar, juga sangat sensitif dengan pengalaman peristiwa kehidupan yang
berhubungan dengan perjuangan untuk mencapai tujuan penting, dikarenakan
sirkuit otak yang overaktif yang disebut behavioral approach system (BAS).
Dalam kasus ini, peristiwa kehidupan yang penuh tekanan yang lebih positif tetapi
masih membuat stres, seperti memulai yang pekerjaan baru, atau begadang untuk
menyelesaikan tugas penting, mungkin memicu episode manik pada individu
rentan. Orang dengan gangguan bipolar juga sangat sensitif terhadap gangguan
dalam ritme sirkadian. Jadi individu dengan gangguan bipolar mungkin memiliki
sirkuit otak yang mempengaruhi mereka untuk depresi maupun mania.
Kesimpulannya, faktor biologis, psikologis, dan sosial, semuanya mempengaruhi
perkembangan mood disorders. Seperti halnya gangguan kecemasan dan gangguan
stres lainnya, keadaan psikososial tertentu, seperti sebagai pengalaman belajar
awal, dapat berinteraksi dengan kerentanan genetik dan karakteristik kepribadian
untuk menghasilkan berbagai macam gangguan emosional.

D. Penanganan Mood Disorders

a. Pengobatan
1. Antidepresan

15
Empat jenis dasar obat antidepresan yang digunakan untuk mengobati
gangguan depresi: selective-serotonin reuptake inhibitors (SSRIs), mixed
reuptake inhibitors, tricyclic antidepressant, dan inhibitor monoamine oxidase
(MAO). Hanya pasien dengan depresi berat yang mengambil obat
antidepresan. Kelas obat saat ini dianggap sebagai pilihan pertama dalam
perawatan obat untuk depresi, obat ini tampaknya memiliki efek pada sistem
neurotransmitter serotonin (meskipun obat tersebut mempengaruhi sistem lain
sampai batas tertentu). SSRIs ini secara khusus memblokir reuptake
presinaptik serotonin. Obat ini sementara hanya meningkatkan kadar serotonin
di situs reseptor, tetapi mekanisme jangka panjang yang tepat tidak diketahui,
meskipun kadar serotonin akhirnya meningkat. Satu kesimpulan yang
mungkin adalah bahwa SSRIs dapat menyebabkan peningkatan pemikiran
tentang bunuh diri dalam beberapa minggu pertama di beberapa remaja tetapi,
begitu obat mulai bekerja setelah satu bulan atau lebih maka dapat mencegah
depresi yang mengarah ke bunuh diri. SSRIs memiliki efek samping, yang
paling menonjol di antaranya adalah agitasi fisik, disfungsi seksual, hasrat
seksual rendah (yang lazim, terjadi pada 50% sampai 75% kasus), insomnia,
dan gangguan pencernaan. Kelas antidepresan lainnya (kadang-kadang disebut
mixed reuptake inhibitors) memiliki mekanisme aksi neurobiologis yang agak
berbeda. Yang paling terkenal, venlafaxine (Effexor) berkaitan dengan
tricyclic antidepressant, tetapi bertindak dengan cara yang sedikit berbeda, ia
memblokir pengambilan kembali norepinefrin serta serotonin. Beberapa efek
samping yang terkait dengan SSRIs dapat dikurangi dengan venlafaxine,
seperti risiko kerusakan sistem kardiovaskular, tetapi efek samping lainnya
tetap ada yaitu mual dan disfungsi seksual.

Inhibitor MAO bekerja secara berbeda. Seperti namanya, mereka


memblokir enzim MAO yang memecah neurotransmitter seperti norepinefrin
dan serotonin. Inhibitor MAO sama efektifnya dengan trisiklik, dengan efek
samping yang lebih sedikit. Tetapi inhibitor MAO jauh lebih jarang digunakan
karena dua konsekuensi yang berpotensi serius: mengonsumsi makanan dan
minuman yang mengandung tiramin, seperti keju, anggur merah, atau bir,
dapat menyebabkan episode hipertensi berat atau bahkan kematian. Selain itu,
banyak obat lain yang orang minum setiap hari, seperti obat flu, memiliki
dampak bahaya dan bahkan fatal jika berinteraksi dengan inhibitor MAO.
Inhibitor MAO biasanya diresepkan hanya ketika antidepresan lain tidak
efektif.

Tricyclic antidepressant adalah pengobatan yang paling banyak digunakan


untuk depresi sebelum pengenalan SSRIs, tetapi sekarang lebih jarang
digunakan. Varian yang paling terkenal adalah imipramine (Tofranil) dan
amitriptyline (Elavil). Belum jelas bagaimana obat ini bekerja, tetapi pada
awalnya, setidaknya mereka memblokir pengambilan kembali
neurotransmitter tertentu, memungkinkan mereka untuk berkumpul di sinaps

16
dan mengatur transmisi dari neurotransmiter tertentu. Efek samping dari obat
ini meliputi penglihatan kabur, mulut kering, konstipasi, kesulitan buang air
kecil, mengantuk, penambahan berat badan, dan kadang-kadang menyebabkan
disfungsi seksual. Namun, dengan pengelolaan yang hati-hati, banyak efek
samping yang hilang dari waktu ke waktu.

2. Lithium

Jenis lain dari obat antidepresan, lithium carbonate yakni garam umum
yang banyak tersedia di lingkungan alami. Efek samping lithium berpotensi
lebih serius daripada efek samping antidepresan lainnya. Dosis harus diatur
dengan hati-hati untuk mencegah toksisitas (keracunan) dan penurunan fungsi
tiroid, yang mungkin menyebabkan kurangnya energi yang terkait dengan
depresi. Penambahan berat badan juga sering terjadi. Meskipun begitu, lithium
memiliki keunggulan utama yang membedakannya dari antidepresan lainnya;
obat ini juga sering efektif dalam mencegah dan mengobati episode manik.
Oleh karena itu, sering disebut sebagai mood-stabilizing drug. Lithium
menjadi standar emas untuk pengobatan gangguan bipolar, meskipun
mekanisme tindakannya hanya dipahami sebagian. Pengobatan farmakologis
lainnya-untuk depresi bipolar akut termasuk antidepresan, antikonvulsan, dan
antipsikotik. Pasien yang tidak merespon lithium dapat menggunakan obat lain
dengan sifat antimanik, termasuk antikonvulsan seperti carbamazepine dan
valproate (Dival-proex), serta penghambat saluran kalsium seperti verapamil.

b. Electroconvulsive Therapy dan Transcranial Magnetic Stimulation

Ketika seseorang tidak merespon obat-obatan atau mereka sedang dalam


kasus yang sangat parah, dokter dapat mempertimbangkan electroconvulsive
therapy (ECT). Dalam pengobatan ini, pasien dibius untuk mengurangi
ketidaknyamanan dan diberikan obat pelemas otot untuk mencegah patah tulang
selama kejang. Kejutan listrik diberikan langsung melalui otak dalam waktu kurang
dari satu detik, menghasilkan kejang dan serangkaian serangan kejang singkat yang
biasanya berlangsung selama beberapa menit. Saat praktek, perawatan ini
diberikan sekali setiap hari untuk total enam hingga 10 perawatan (lebih sedikit
jika suasana hati pasien kembali normal). Efek samping pada umumnya terbatas
pada kehilangan ingatan jangka pendek dan kebingungan yang akan hilang setelah
seminggu atau dua minggu, meskipun beberapa pasien mungkin memiliki ingatan
jangka panjang. ECT meningkatkan kadar serotonin, memblokir hormon stres, dan
mempromosikan neurogenesis di hipokampus.

Metode lain untuk mengubah aktivitas listrik di otak dengan medan magnet
yang kuat disebut dengan transcranial magnetic stimulation (TMS), yang bekerja
dengan menempatkan kumparan magnet di atas kepala individu untuk menemukan
lokasi denyut elektromagnetik yang tepat. Anestesi tidak diperlukan, dan efek
samping biasanya berupa sakit kepala. Hasil dari beberapa uji klinis dengan depresi

17
psikotik yang resisten terhadap pengobatan melaporkan bahwa ECT lebih efektif
daripada TMS. Mungkin karena TMS lebih sebanding dengan obat antidepresan
daripada ECT, dan studi melaporkan bahwa menggabungkan TMS dan obat-obatan
lebih menguntungkan dibandingkan dengan hanya menggunakan salah satu
pengobatan saja.

c. Penanganan Psikologis untuk Depresi

Ada dua pendekatan yang efektif untuk penanganan psikologis depresi,


yaitu cognitive-behavioral therapy dan interpersonal therapy.

1. Cognitive-Behavioral Therapy

Terapi ini merupakan pendekatan yang melibatkan identifikasi dan


mengubah gaya berpikir negatif yang berhubungan dengan gangguan
psikologis seperti; depresi dan kecemasan dan menggantinya dengan
keyakinan dan sikap yang lebih positif dan sikap yang pada akhirnya
memunculkan perilaku dan gaya koping yang lebih adaptif. Klien diajarkan
untuk memeriksa dengan cermat proses berpikir mereka saat mereka depresi
dan mengenali kesalahan "depresif" dalam pemikiran . Klien diajarkan bahwa
kesalahan dalam berpikir dapat secara langsung menyebabkan depresi.
Perawatan melibatkan mengoreksi kesalahan kognitif dan memberikan
pemikiran yang tidak terlalu membuat depresi dan lebih realistis. Dalam
melakukan hal ini, terapis harus sangat terampil dan terlatih.

2. Interpersonal Psychotherapy (IPT)

Pendekatan ini menekankan resolusi masalah interpersonal dan stres,


seperti perselisihan peran dalam konflik perkawinan, membentuk hubungan
dalam perkawinan, atau pekerjaan baru. Pendekatan Ini telah menunjukkan
keefektifan untuk masalah seperti depresi. Psikoterapi interpersonal berfokus
pada penyelesaian masalah dalam hubungan yang ada dan belajar untuk
membentuk hubungan interpersonal baru yang penting. IPT sangat terstruktur
dan membutuhkan waktu sekitar 15 hingga 20 sesi, biasanya dijadwalkan
sekali seminggu. Setelah mengidentifikasi stresor kehidupan yang memicu
depresi, terapis dan pasien bekerja secara kolaboratif pada masalah
interpersonal pasien. Biasanya berupa satu atau lebih dari empat masalah
interpersonal; berurusan dengan perselisihan peran interpersonal, seperti
konflik perkawinan; menyesuaikan diri dengan hilangnya suatu hubungan,
seperti kesedihan atas kematian orang yang dicintai; memperoleh yang
hubungan baru, seperti menikah atau membangun hubungan profesional; serta
mengidentifikasi dan mengoreksi defisit dalam keterampilan sosial yang
mencegah orang tersebut untuk memulai atau mempertahankan hubungan
penting. Untuk mengambil contoh umum, pekerjaan pertama terapis adalah
untuk mengidentifikasi dan mendefinisikan perselisihan interpersonal suami
istri. Jika perselisihan ini tampaknya dikaitkan dengan timbulnya gejala

18
depresi dan menghasilkan serangkaian argumen dan ketidaksetujuan yang
berkelanjutan tanpa resolusi, hal ini akan menjadi fokus untuk IPT. Setelah
membantu mengidentifikasi perselisihan, langkah selanjutnya adalah
membawanya ke resolusi. Pertama, terapis membantu pasien menentukan
tahap perselisihan.

1) Tahap negosiasi. Kedua pasangan menyadari itu adalah perselisihan, dan


mereka mencoba untuk menegosiasikannya kembali.
2) Tahap kebuntuan. Perselisihan membara menghasilkan kebencian tingkat
rendah, tetapi tidak dilakukan upaya untuk mengatasinya.
3) Tahap resolusi. Mitra mengambil beberapa tindakan, seperti perceraian,
perpisahan, atau komitmen kembali bersama.

Terapis bekerja dengan pasien untuk mendefinisikan perselisihan dengan


jelas bagi kedua belah pihak dan mengembangkan strategi khusus untuk
menyelesaikannya.

3. Pencegahan

Mengingat keseriusan mood disorders pada anak-anak dan remaja, maka


hal penting adalah untuk mencegah terjadinya gangguan ini dalam kelompok
usia ini. The Institute of Medicine (IOM) menggambarkan tiga jenis program:
program universal, yang berlaku untuk semua orang; intervensi yang dipilih,
yang menargetkan individu yang berisiko depresi karena faktor seperti
perceraian, alkoholisme, keluarga, dan sebagainya; dan intervensi yang
diindikasi, dimana individu sudah menunjukkan gejala depresi ringan.

d. Perawatan Gabugan untuk Depresi

Dalam sebuah penelitian besar tentang pengobatan depresi kronis, 681


pasien di 12 klinik di seluruh negeri menerima obat antidepresan, CBT yang dibuat
khusus untuk penyakit pasien depresi kronis , atau kombinasi dari dua penanganan
ini. Peneliti Menemukan bahwa 48% pasien yang menerima masing-masing
perawatan merespon dalam klinis secara memuaskan, dibandingkan dengan 73%
pasien yang menerima pengobatan gabungan. Karena penelitian ini hanya pada
sebagian dari pasien depresi, yaitu mereka dengan depresi persisten, temuan perlu
diulangi sebelum peneliti bisa mengatakan pengobatan gabungan berguna untuk
depresi secara umum. Selain itu, karena penelitian ini tidak termasuk kondisi
kelima dimana CBT dikombinasikan dengan plasebo, kita tidak dapat
mengesampingkan bahwa peningkatan efektivitas pengobatan gabungan adalah
akibat dari faktor plasebo. Namun demikian, pengobatan gabungan memang
memberikan beberapa keuntungan

e. Pencegahan Kekambuhan Depresi

Mengingat tingginya tingkat kekambuhan dalam depresi, oleh sebab itu


diperlukan perawatan pemeliharaan untuk mencegah kekambuhan atau

19
kekambuhan dalam jangka panjang. Perawatan pemeliharaan merupakan
kombinasi pengobatan psikososial berkelanjutan, obat-obatan, atau keduanya yang
dirancang untuk mencegah kekambuhan setelah terapi. Studi menunjukkan bahwa
secara keseluruhan, baik CBT maupun SSRIs mencegah kekambuhan sama
baiknya dan lebih baik daripada plasebo.

f. Penanganan Psikologis untuk Gangguan Bipolar

Meskipun obat-obatan, terutama lithium digunakan untuk gangguan


bipolar, kebanyakan dokter menekankan kebutuhan intervensi psikologis untuk
mengelola masalah interpersonal dan masalah praktis. Tujuan utama intervensi
psikologis adalah untuk meningkatkan kesesuaian dengan rejimen obat seperti
lithium. Keuntungan dari penambahan perawatan psikologis untuk pengobatan
pada pasien rawat inap meningkatkan kesesuaian terhadap pengobatan untuk
semua pasien dan menghasilkan hasil keseluruhan yang lebih baik untuk yang
pasien dibandingkan dengan hanya menggunakan obat saja. Perawatan psikologis
juga telah diarahkan pada aspek psikososial gangguan bipolar. Sebuah pengobatan
psikologis dikembangakan untuk mengatur ritme sirkadian dengan membantu
pasien mengatur siklus makan dan tidur mereka dan jadwal harian lainnya, juga
dalam mengatasi peristiwa kehidupan yang penuh tekanan dengan efektif,
khususnya masalah interpersonal, pendekatan ini disebut interpersonal and social
rhythm therapy (IPSRT), pasien menerima IPSRT bertahan lebih lama tanpa gejala
manik atau episode depresi dibandingkan dengan pasien yang menjalani standar
manajemen klinis intensif. CBT juga efektif untuk pasien bipolar dengan siklus
cepat. Sebuah studi menunjukkan bahwa hingga 30 sesi perawatan psikologis
intensif secara signifikan lebih efektif daripada pengobatan bipolar depresi
biasanya. Studi lain juga menunjukkan bahwa peserta yang menerima family-
focused therapy memiliki pemulihan yang lebih cepat pada gejala gangguan
suasana hati, terapi ini digunakan pada anak muda yang mengembangkan
gangguan bipolar karena pengaruh keluarga dan lingkungan.

E. Hubungan Mood Disorders dan Suicide

Suicide atau bunuh diri merupakan penyebab kematian ke-10 di Amerika


Serikat dan, berada pada peringkat ke-3 penyebab kematian di kalangan remaja. Suicide
sering dikaitkan dengan mood disorders tapi tetap bisa terjadi tanpa kehadiran mood
disorders atau dengan adanya gangguan lain. Seseorang dengan mood disorders
memiliki kecenderungan untuk menyakiti dirinya sendiri, bahkan memiliki ide untuk
melakukan bunuh diri. Dalam perilaku bunuh diri, ada tiga indeks yang penting: (1)
ide bunuh diri (pemikiran serius tentang bunuh diri), (2) Rencana bunuh diri (metode
terperinci untuk membunuh diri sendiri), dan (3) upaya bunuh diri (jika individu
selamat).

F. Penyebab dan Faktor Suicide

20
Sosiolog besar Emile Durkheim dalam bukunya yang berjudul “Suicide”
mengemukakan bahwa terdapat empat penyebab suicide dalam masyarakat. Pertama
adalah altruistic suicide yaitu jenis suicide yang diakibatkan karena integritas yang
tinggi, dimana seseorang merasa dirinya menjadi beban masyarakat atau merasa
kepentingan masyarakat lebih penting dibandingkan dengan kepentingan dirinya.
Kedua, egoistic suicide yaitu jenis suicide yang diakibatkan karena integrasi yang
rendah atau urusan pribadi. Ketiga, anomic suicide yaitu jenis suicide yang diakibatkan
karena situasi anomi (tanpa aturan) sehingga merasa tersesat dan bingung dalam
kehidupan sosialnya, misalnya kehilangan pekerjaan secara tiba-tiba dan yang keempat
yaitu fatalistic suicide yaitu suicide yang diakibatkan karena kondisi yang sangat
tertekan, adanya aturan, norma, keyakinan dan nilai-nilai dalam menjalani integrasi
sosial sehingga seseorang merasa kehilangan kebebasan.

Dalam konsep suicide Emile Durkheim, ia menekankan pada faktor sosial. Ia


mengatakan bahwa suicide terjadi karena faktor sosial berupa integritas dan regulasi
yang tidak seimbang. Namun, suicide yang disebabkan oleh faktor sosial kurang cukup
karena mengabaikan kebebasan individu manusia di dalam eksistensinya. Suicide juga
dapat dilihat dari aspek eksistensi manusia yang bebas dan juga kesadaran pilihan
individu manusia.

Faktor keluarga juga mempengaruhi risiko bunuh diri, di antara pasien depresi,
prediktor terkuat dari perilaku bunuh diri adalah memiliki riwayat keluarga yang
melakukan bunuh diri. Keturunan dari anggota keluarga yang telah mencoba bunuh diri
memiliki enam kali berisiko bunuh diri daripada yang tidak. Hal ini bisa jadi karena
dua faktor yaitu seseorang mengadopsi solusi familiar yang ia saksikan dalam anggota
keluarganya dan juga bisa jadi karena adanya sifat yang diwariskan, seperti sifat
impulsif. Selain itu, ada juga faktor neurobiologis, yakni kadar serotonin yang sangat
rendah berhubungan dengan impulsivitas, ketidakstabilan, dan kecenderungan untuk
bereaksi berlebihan terhadap situasi. Serotonin rendah dapat berkontribusi untuk
menciptakan kerentanan bertindak impulsif., termasuk membunuh diri sendiri.

Faktor risiko lainnya yang paling penting mengenai bunuh diri adalah peristiwa
yang parah dan penuh tekanan yang dialami, seperti kegagalan (nyata atau imajiner) di
sekolah atau di pekerjaan, penangkapan tak terduga, atau penolakan oleh orang yang
dicintai. Kekerasan fisik dan pelecehan seksual juga merupakan sumber stres, selain
itu, gangguan stres dan bencana alam juga meningkatkan kemungkinan bunuh diri,
khususnya dalam hal bencana ekstrim seperti gempa bumi besar. Mengingat kerentanan
psikologis yang sudah ada pada individu—termasuk gangguan psikologis, sifat
impulsif, dan kurangnya dukungan sosial—suatu peristiwa yang penuh tekanan yang
membuat stres sering kali dapat membuat individu merasa tersudutkan.

G. Penanganan Suicide

Dalam penanganan risiko suicide ini penting untuk mengetahui faktor suicide
dan tanda-tanda percobaan suicide. Penanganan tersebut dilakukan sesuai tingkat

21
risiko. Prinsip penanganan awal adalah empati dan lingkungan yang aman bagi pasien.
Sedangkan, pasien dengan risiko tinggi dianjurkan untuk mendapat perawatan seperti
terapi ataupun perawatan rawat inap. Sejumlah program telah dilaksanakan untuk
mengurangi tingkat bunuh diri. Institute of Medicine merekomendasikan penggunaan
layanan yang segera untuk teman dan kerabat dari korban. Langkah terpenting adalah
dengan membatasi akses ke senjata mematikan bagi siapa saja yang berisiko bunuh diri.
Layanan telepon hotline dan layanan intervensi krisis lainnya juga berguna. Relawan
hotline harus didukung oleh tenaga profesional kesehatan mental yang kompeten yang
dapat mengidentifikasi risiko yang berpotensi serius. Perawatan khusus untuk orang-
orang yang berisiko juga telah dikembangkan. Misalnya program pencegahan bunuh
diri untuk orang tua yang cenderung fokus pada penurunan faktor risiko seperti
mengobati depresi. Intervensi cognitive-behavioral juga terbukti mampu mengurangi
risiko bunuh diri.

22
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Gangguan mood adalah salah satu gangguan psikologis yang paling


umum, dan risiko terjadinya gangguan tersebut sangat tinggi di seluruh dunia,
terutama pada kalangan remaja. Gangguan mood ini terjadi karena beberapa
faktor yaitu faktor biologis, psikologis dan sosial. Adapun penanganan untuk
gangguan mood yaitu mengkonsumsi obat antidepresan dan berbagai terapi yang
dianjurkan oleh profesional kesehatan mental.

Suicide juga sering dikaitkan dengan gangguan mood, tetapi suicide bisa
terjadi tanpa gangguan mood atau dengan adanya gangguan lain.

B. Saran

Untuk melakukan pencegahan terhadap gangguan mood dan suicide


disarankan dengan mengkonsultasikannya kepada dokter atau psikolog.
Perubahan sederhana setelah konsultasi dapat membantu menangani perubahan
suasana hati yang ringan dan tidak nyaman.

23
DAFTAR PUSTAKA

Durand, V. M., Barlow, D. H., & Hofmann, S G. 2019. Essentials of Abnormal Psychology.
8th Ed. Boston: Cengage Learning, Inc.

24

Anda mungkin juga menyukai