MAKALAH PSIKOPATOLOGI
MOOD DISORDERS AND SUICIDE
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah
kami yang berjudul “Mood Disorders and Suicide” dapat tersusun sampai dengan selesai.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi persyaratan tugas mata kuliah psikopatologi di
Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar. Kami sangat berharap semoga makalah ini
dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1
BAB II
PEMBAHASAN
Jenis episode suasana hati utama lainnya adalah episode manik (manic
episode) yang menunjukkan suasana hati yang meningkat, gembira atau ekspansif
berlangsung selama seminggu untuk dapat ditegakkan diagnosis. Simtom
tambahan mulai dari rentang simtom perilaku sampai kepada kondisi aktivitas
mental dapat meningkat harus terjadi pada periode waktu yang sama.
1. Periode yang berbeda dari suasana hati yang meningkat secara abnormal dan
terus-menerus, ekspansif, atau mudah tersinggung yang berlangsung
setidaknya satu minggu.
2
2. Derajat signifikan dari: harga diri yang meningkat, berkurangnya kebutuhan
tidur, lebih banyak bicara, ide yang beterbangan, distractibility (keteralihan),
peningkatan aktivitas yang diarahkan pada tujuan atau agitasi psikomotor,
keterlibatan berlebihan dalam perilaku berisiko tinggi.
3. Gangguan mood cukup parah sehingga menyebabkan gangguan fungsi sosial
atau memerlukan rawat inap, atau terdapat ciri psikotik.
4. episode ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu zat atau
kondisi medis umum.
c. Gangguan Depresi
1. Deskripsi Klinis
3
atau selama gangguan. Terjadinya hanya dalam satu episode depresi yang
terisolasi seumur hidup sekarang sudah jarang diketahui.
Tingkat gejala depresi paling tinggi umumnya terjadi pada dewasa muda,
menurun pada masa dewasa menengah, dan kemudian meningkat lagi pada
usia yang lebih tua. Peneliti telah menemukan prevalensi yang lebih rendah
(0,07%) dari gejala depresi ringan persisten pada anak-anak dibandingkan
dengan orang dewasa (3% sampai 6%), tetapi gejala cenderung stabil
sepanjang masa kanak-kanak. 76% dari sampel anak-anak dengan gejala
depresi ringan yang menetap kemudian berkembang menjadi gangguan
depresi berat.
4
d. Dari Dukacita Menjadi Depresi
Gejala umum kesedihan akut yang dalam batas normal dalam 6-12 bulan pertama:
1. Perasaan rindu yang kuat dan berulang, sangat ingin bertemu kembali dengan
orang yang meninggal; bahkan mungkin keinginan untuk mati untuk bersama
orang yang dicintai yang telah meninggal.
2. Rasa sedih atau penyesalan yang mendalam, episode menangis atau terisak,
biasanya diselingi dengan periode istirahat dan bahkan emosi positif.
3. Aliran pikiran atau bayangan mengenai orang yang sudah meninggal, bahkan
mungkin berhalusinasi melihat atau mendengar orang yang sudah meninggal.
4. Kesulitan untuk menerima kenyataan kematian, ada beberapa perasaan pahit
atau marah tentang kematian.
5. Distres somatik, misalnya, desahan tak terkendali, gejala pencernaan,
kehilangan nafsu makan, mulut kering, perasaan hampa, gangguan tidur,
kelelahan, kelelahan atau kelemahan, kegelisahan, aktivitas tanpa tujuan,
kesulitan memulai atau mempertahankan keteraturan aktivitas, dan perubahan
sensorium.
6. Merasa terputus dari dunia atau orang lain, merasa acuh tak acuh, tidak tertarik,
atau mudah tersinggung dengan orang lain
5
1. Gejala kesedihan akut yang persisten dan intens.
2. Adanya pikiran, perasaan, atau perilaku yang mencerminkan kekhawatiran
yang berlebihan atau mengganggu tentang keadaan atau akibat kematian.
1) Pada sebagian besar siklus menstruasi, setidaknya ada lima gejala yang
muncul pada minggu terakhir sebelum onset menstruasi, mulai membaik
dalam beberapa hari setelah onset menstruasi, dan menjadi minimal atau
tidak ada dalam minggu pasca-menstruasi.
2) Satu atau lebih dari gejala berikut pasti muncul; (1) labilitas afektif,
misalnya perubahan suasana hati, (2) cepat marah atau perasaan marah (3)
suasana hati yang tertekan (4) kecemasan dan ketegangan.
3) Munculnya gejala tambahan untuk mencapai total lima gejala ketika
digabungkan dengan gejala di atas; (1) penurunan minat pada aktivitas
biasanya, (2) kesulitan berkonsentrasi, (3) lesu, mudah lelah, kekurangan
energi, (4) perubahan nafsu makan yang nyata; makan berlebihan atau
mengidam makanan tertentu, (5) hipersomnia atau insomnia (5) perasaan
kelelahan atau diluar kendali (7) gejala fisik seperti nyeri payudara atau
pembengkakan payudara.
4) Distres atau gangguan klinis yang signifikan mengenai pekerjaan,
sekolah, kegiatan sosial, atau hubungan.
5) Gejala tidak disebabkan oleh efek suatu zat, misalnya penyalahgunaan
obat atau kondisi medis lainnya.
6
g. Bipolar Disorders
Usia rata-rata onset untuk gangguan bipolar I adalah dari 15 hingga 18 dan
untuk gangguan bipolar II dari 19 hingga 22, meskipun kasus keduanya dapat
dimulai pada masa kanak-kanak. Ini agak lebih muda dari rata-rata usia onset
untuk gangguan depresi mayor, dan gangguan bipolar mulai lebih akut; yaitu,
mereka berkembang lebih tiba-tiba. Sekitar sepertiga dari kasus gangguan
bipolar dimulai pada masa remaja, dan awitan sering didahului oleh osilasi
kecil dalam suasana hati atau perubahan suasana hati siklotimik ringan. Antara
10% dan 25% orang dengan gangguan bipolar II akan berkembang menjadi
gangguan bipolar I.
7
Gangguan depresi meningkat drastis pada masa remaja. Di antara anak-
anak usia dua hingga lima tahun, tingkat depresi berat sekitar 1,5%, tetapi sebanyak
20% hingga 50% anak-anak mengalami beberapa gejala depresi yang cukup parah
untuk memenuhi kriteria diagnostik. Prevalensi keseluruhan gangguan depresi
mayor berkurang seiring bertambahnya usia seseorang. Tetapi gejala yang lebih
ringan dengan gangguan depresi mayor tampaknya lebih umum di kalangan orang
tua karena terkait dengan penyakit dan kelemahan.
Gangguan bipolar tampaknya terjadi pada tingkat yang sama (1%) di masa
kanak-kanak dan remaja. Prevalensi kronisitas mood disorder pada semua umur
kelompok memang tinggi, yang menunjukkan dampak yang substansial tidak
hanya pada individu yang terkena dampak dan keluarga tetapi juga pada
masyarakat.
c. Lintas Budaya
8
dari satu suku ke suku lainnya. Namun, kondisi sosial dan ekonomi yang buruk di
banyak wilayah memenuhi persyaratan stres yang kronis, yang mempengaruhi
timbulnya gangguan mood, terutama gangguan depresi berat.
a. Dimensi Biologis
Bukti penelitian mendukung asumsi bahwa ada hubungan yang erat antara
depresi, kecemasan, dan panik, serta gangguan emosional lainnya. Sebagai
contoh, data dari studi keluarga menunjukkan bahwa semakin banyak tanda
dan gejala kecemasan dan depresi pada pasien, maka semakin besar tingkat
9
kecemasan, depresi, atau keduanya pada kerabat dekat dan anak-anaknya.
Faktor genetik yang sama berkontribusi pada kecemasan dan depresi. Ada
kemungkinan, kecuali mania, kerentanan biologis untuk mood disorders tidak
spesifik untuk suatu gangguan tetapi mungkin mencerminkan kecenderungan
yang lebih umum untuk kecemasan atau mood disorders, atau lebih mungkin
untuk temperamen dasar yang mendasari semua gangguan emosional, seperti
neuroticism. Bentuk spesifik dari gangguan tersebut ditentukan oleh
psikologis unik, sosial, atau faktor biologis tambahan.
3. Sistem Neurotransmitter
4. Sistem Endokrin
10
membuat organisme tidak mampu mengembangkan neuron baru
(neurogenesis). Dengan demikian, beberapa ahli teori menduga bahwa
hubungan antara hormon stres yang tinggi dan depresi adalah penekanan
neurogenesis di hipokampus. Temuan ini menunjukkan bahwa rendahnya
volume hipokampus dapat berkontribusi dalam timbulnya depresi.
Gangguan tidur merupakan ciri dari sebagian besar mood disorders. Pada
orang yang mengalami depresi, secara signifikan memiliki periode yang lebih
pendek setelah tertidur sebelum memasuki tahapan tidur rapid eye movement
(REM). Untuk memasuki tidur REM lebih cepat, pasien depresi mengalami
aktivitas REM yang lebih intens. Aktivitas durasi tidur pendek dan panjang
yang tidak biasa dikaitkan dengan peningkatan risiko depresi pada orang
dewasa.
b. Dimensi Psikologis
Stres dan trauma menjadi salah satu hal mencolok yang berkontribusi
untuk etiologi semua gangguan psikologis. Kebanyakan orang yang
mengalami depresi melaporkan bahwa mereka telah kehilangan pekerjaan,
bercerai, memiliki anak, atau lulus sekolah dan memulai karir. Dalam
sejumlah besar penelitian, jelas bahwa peristiwa hidup yang penuh tekanan
sangat terkait dengan timbulnya mood disorders. Para ilmuwan telah
menegaskan bahwa penghinaan, kehilangan, dan penolakan sosial adalah
peristiwa kehidupan stres yang paling kuat yang cenderung menyebabkan
11
depresi. Jelas ada hubungan yang kuat antara stres dan depresi, dan para
ilmuwan menemukan bahwa ada hubungan sebab-akibat antara keduanya. Hal
ini mengacu pada model korelasi gen-lingkungan. Salah satu contohnya adalah
orang yang cenderung sulit dalam hubungan karena karakteristik kepribadian
berbasis genetik yang kemudian mengarah pada depresi. Sekitar sepertiga dari
hubungan antara peristiwa kehidupan yang penuh tekanan dan depresi
bukanlah pengaturan biasa dimana stres memicu depresi melainkan kerentanan
individu untuk depresi yang menempatkan diri mereka dalam lingkungan yang
berisiko tinggi memiliki tekanan, seperti hubungan yang sulit atau situasi
berisiko.
12
Menurut Aaron T. Beck, depresi mungkin merupakan hasil dari
kecenderungan untuk menafsirkan peristiwa sehari-hari secara negatif.
Seseorang dengan depresi membuat segalanya menjadi hal yang buruk; bagi
mereka kemunduran terkecil adalah bencana yang besar. Pasien depresi yang
berpikir seperti ini diklasifikasikan dalam jenis "kesalahan kognitif".
Contohnya adalah inferensi yang sewenang- wenang dan generalisasi yang
berlebihan. Inferensi sewenang-wenang terbukti ketika individu yang depresi
lebih menekankan hal negatif daripada aspek positif dari suatu situasi. Seorang
guru sekolah menengah mungkin menganggap dia adalah instruktur yang
buruk karena dua siswa di kelasnya tertidur. Dia gagal mempertimbangkan
alasan lain mereka mungkin tidur dan menyimpulkan bahwa cara mengajarnya
yang salah. Sebagai contoh generalisasi yang berlebihan, ketika profesor anda
membuat suatu komentar kritis tentang makalah anda, anda kemudian
menganggap anda akan gagal di kelas meskipun banyak komentar positif dan
nilai yang bagus pada tugas lain. dalam hal ini seseorang, terlalu
menggeneralisasi satu komentar kecil. Menurut Beck, orang yang depresi
berpikir seperti ini sepanjang waktu. Mereka Membuat kesalahan kognitif
dalam berpikir negatif tentang diri mereka sendiri, dunia terdekat mereka, dan
masa depan mereka, tiga area ini disebut depressive cognitive triad. .Selain itu,
Beck berteori, serangkaian peristiwa negatif di masa kanak-kanak, individu
dapat mengembangkan skema negatif yang mendalam yang bertahan lama
dalam sistem kepercayaan kognitif tentang beberapa aspek kehidupan Dengan
skema negatif, seseorang akan selalu berpikir bahwa mereka tidak akan pernah
melakukan hal yang benar. Dalam pandangan ini, kesalahan kognitif dan
skema ini bersifat otomatis, yaitu, belum tentu disadari oleh individu. Individu
bahkan mungkin tidak menyadari pikiran negatif dan tidak logisnya. Dengan
demikian, peristiwa negatif kecil dapat menyebabkan episode depresi mayor.
1. Hubungan Perkawinan
13
perkawinan, hal ini bisa terjadi karena berada di sekitar seseorang yang terus-
menerus negatif, pemarah, dan pesimis dapat melelahkan. Karena emosi itu
menular, pasangan mungkin mulai merasa buruk juga, jenis interaksi ini
memicu argumen atau, lebih buruk lagi, membuat pasangan yang tidak depresi
ingin pergi.
3. Dukungan Sosial
Pengaruh sosia memiliki efek yang kuat pada fungsi psikologis dan
biologis. Maka tidak mengherankan jika faktor-faktor sosial mempengaruhi
depresi. Salah satu contoh, risiko depresi bagi orang yang hidup sendiri hampir
14
80% lebih tinggi daripada orang yang tinggal bersama orang lain. Studi
prospektif menegaskan pentingnya dukungan sosial (atau kurangnya
dukungan sosial) dalam memprediksi timbulnya gejala depresi di kemudian
hari Dukungan sosial juga penting dalam mempercepat pemulihan dari episode
depresi. Temuan tentang pentingnya dukungan sosial telah menyebabkan
pendekatan terapi psikologis baru yang menarik untuk gangguan emosi yang
disebut psikoterapi interpersonal.
d. Teori Integratif
Tapi pada gangguan bipolar, dan khususnya pada aktivasi episode manik,
memiliki dasar genetik yang agak berbeda, serta respon yang berbeda terhadap
dukungan sosial. Ilmuwan mulai berteori bahwa individu dengan gangguan
bipolar, juga sangat sensitif dengan pengalaman peristiwa kehidupan yang
berhubungan dengan perjuangan untuk mencapai tujuan penting, dikarenakan
sirkuit otak yang overaktif yang disebut behavioral approach system (BAS).
Dalam kasus ini, peristiwa kehidupan yang penuh tekanan yang lebih positif tetapi
masih membuat stres, seperti memulai yang pekerjaan baru, atau begadang untuk
menyelesaikan tugas penting, mungkin memicu episode manik pada individu
rentan. Orang dengan gangguan bipolar juga sangat sensitif terhadap gangguan
dalam ritme sirkadian. Jadi individu dengan gangguan bipolar mungkin memiliki
sirkuit otak yang mempengaruhi mereka untuk depresi maupun mania.
Kesimpulannya, faktor biologis, psikologis, dan sosial, semuanya mempengaruhi
perkembangan mood disorders. Seperti halnya gangguan kecemasan dan gangguan
stres lainnya, keadaan psikososial tertentu, seperti sebagai pengalaman belajar
awal, dapat berinteraksi dengan kerentanan genetik dan karakteristik kepribadian
untuk menghasilkan berbagai macam gangguan emosional.
a. Pengobatan
1. Antidepresan
15
Empat jenis dasar obat antidepresan yang digunakan untuk mengobati
gangguan depresi: selective-serotonin reuptake inhibitors (SSRIs), mixed
reuptake inhibitors, tricyclic antidepressant, dan inhibitor monoamine oxidase
(MAO). Hanya pasien dengan depresi berat yang mengambil obat
antidepresan. Kelas obat saat ini dianggap sebagai pilihan pertama dalam
perawatan obat untuk depresi, obat ini tampaknya memiliki efek pada sistem
neurotransmitter serotonin (meskipun obat tersebut mempengaruhi sistem lain
sampai batas tertentu). SSRIs ini secara khusus memblokir reuptake
presinaptik serotonin. Obat ini sementara hanya meningkatkan kadar serotonin
di situs reseptor, tetapi mekanisme jangka panjang yang tepat tidak diketahui,
meskipun kadar serotonin akhirnya meningkat. Satu kesimpulan yang
mungkin adalah bahwa SSRIs dapat menyebabkan peningkatan pemikiran
tentang bunuh diri dalam beberapa minggu pertama di beberapa remaja tetapi,
begitu obat mulai bekerja setelah satu bulan atau lebih maka dapat mencegah
depresi yang mengarah ke bunuh diri. SSRIs memiliki efek samping, yang
paling menonjol di antaranya adalah agitasi fisik, disfungsi seksual, hasrat
seksual rendah (yang lazim, terjadi pada 50% sampai 75% kasus), insomnia,
dan gangguan pencernaan. Kelas antidepresan lainnya (kadang-kadang disebut
mixed reuptake inhibitors) memiliki mekanisme aksi neurobiologis yang agak
berbeda. Yang paling terkenal, venlafaxine (Effexor) berkaitan dengan
tricyclic antidepressant, tetapi bertindak dengan cara yang sedikit berbeda, ia
memblokir pengambilan kembali norepinefrin serta serotonin. Beberapa efek
samping yang terkait dengan SSRIs dapat dikurangi dengan venlafaxine,
seperti risiko kerusakan sistem kardiovaskular, tetapi efek samping lainnya
tetap ada yaitu mual dan disfungsi seksual.
16
dan mengatur transmisi dari neurotransmiter tertentu. Efek samping dari obat
ini meliputi penglihatan kabur, mulut kering, konstipasi, kesulitan buang air
kecil, mengantuk, penambahan berat badan, dan kadang-kadang menyebabkan
disfungsi seksual. Namun, dengan pengelolaan yang hati-hati, banyak efek
samping yang hilang dari waktu ke waktu.
2. Lithium
Jenis lain dari obat antidepresan, lithium carbonate yakni garam umum
yang banyak tersedia di lingkungan alami. Efek samping lithium berpotensi
lebih serius daripada efek samping antidepresan lainnya. Dosis harus diatur
dengan hati-hati untuk mencegah toksisitas (keracunan) dan penurunan fungsi
tiroid, yang mungkin menyebabkan kurangnya energi yang terkait dengan
depresi. Penambahan berat badan juga sering terjadi. Meskipun begitu, lithium
memiliki keunggulan utama yang membedakannya dari antidepresan lainnya;
obat ini juga sering efektif dalam mencegah dan mengobati episode manik.
Oleh karena itu, sering disebut sebagai mood-stabilizing drug. Lithium
menjadi standar emas untuk pengobatan gangguan bipolar, meskipun
mekanisme tindakannya hanya dipahami sebagian. Pengobatan farmakologis
lainnya-untuk depresi bipolar akut termasuk antidepresan, antikonvulsan, dan
antipsikotik. Pasien yang tidak merespon lithium dapat menggunakan obat lain
dengan sifat antimanik, termasuk antikonvulsan seperti carbamazepine dan
valproate (Dival-proex), serta penghambat saluran kalsium seperti verapamil.
Metode lain untuk mengubah aktivitas listrik di otak dengan medan magnet
yang kuat disebut dengan transcranial magnetic stimulation (TMS), yang bekerja
dengan menempatkan kumparan magnet di atas kepala individu untuk menemukan
lokasi denyut elektromagnetik yang tepat. Anestesi tidak diperlukan, dan efek
samping biasanya berupa sakit kepala. Hasil dari beberapa uji klinis dengan depresi
17
psikotik yang resisten terhadap pengobatan melaporkan bahwa ECT lebih efektif
daripada TMS. Mungkin karena TMS lebih sebanding dengan obat antidepresan
daripada ECT, dan studi melaporkan bahwa menggabungkan TMS dan obat-obatan
lebih menguntungkan dibandingkan dengan hanya menggunakan salah satu
pengobatan saja.
1. Cognitive-Behavioral Therapy
18
depresi dan menghasilkan serangkaian argumen dan ketidaksetujuan yang
berkelanjutan tanpa resolusi, hal ini akan menjadi fokus untuk IPT. Setelah
membantu mengidentifikasi perselisihan, langkah selanjutnya adalah
membawanya ke resolusi. Pertama, terapis membantu pasien menentukan
tahap perselisihan.
3. Pencegahan
19
kekambuhan dalam jangka panjang. Perawatan pemeliharaan merupakan
kombinasi pengobatan psikososial berkelanjutan, obat-obatan, atau keduanya yang
dirancang untuk mencegah kekambuhan setelah terapi. Studi menunjukkan bahwa
secara keseluruhan, baik CBT maupun SSRIs mencegah kekambuhan sama
baiknya dan lebih baik daripada plasebo.
20
Sosiolog besar Emile Durkheim dalam bukunya yang berjudul “Suicide”
mengemukakan bahwa terdapat empat penyebab suicide dalam masyarakat. Pertama
adalah altruistic suicide yaitu jenis suicide yang diakibatkan karena integritas yang
tinggi, dimana seseorang merasa dirinya menjadi beban masyarakat atau merasa
kepentingan masyarakat lebih penting dibandingkan dengan kepentingan dirinya.
Kedua, egoistic suicide yaitu jenis suicide yang diakibatkan karena integrasi yang
rendah atau urusan pribadi. Ketiga, anomic suicide yaitu jenis suicide yang diakibatkan
karena situasi anomi (tanpa aturan) sehingga merasa tersesat dan bingung dalam
kehidupan sosialnya, misalnya kehilangan pekerjaan secara tiba-tiba dan yang keempat
yaitu fatalistic suicide yaitu suicide yang diakibatkan karena kondisi yang sangat
tertekan, adanya aturan, norma, keyakinan dan nilai-nilai dalam menjalani integrasi
sosial sehingga seseorang merasa kehilangan kebebasan.
Faktor keluarga juga mempengaruhi risiko bunuh diri, di antara pasien depresi,
prediktor terkuat dari perilaku bunuh diri adalah memiliki riwayat keluarga yang
melakukan bunuh diri. Keturunan dari anggota keluarga yang telah mencoba bunuh diri
memiliki enam kali berisiko bunuh diri daripada yang tidak. Hal ini bisa jadi karena
dua faktor yaitu seseorang mengadopsi solusi familiar yang ia saksikan dalam anggota
keluarganya dan juga bisa jadi karena adanya sifat yang diwariskan, seperti sifat
impulsif. Selain itu, ada juga faktor neurobiologis, yakni kadar serotonin yang sangat
rendah berhubungan dengan impulsivitas, ketidakstabilan, dan kecenderungan untuk
bereaksi berlebihan terhadap situasi. Serotonin rendah dapat berkontribusi untuk
menciptakan kerentanan bertindak impulsif., termasuk membunuh diri sendiri.
Faktor risiko lainnya yang paling penting mengenai bunuh diri adalah peristiwa
yang parah dan penuh tekanan yang dialami, seperti kegagalan (nyata atau imajiner) di
sekolah atau di pekerjaan, penangkapan tak terduga, atau penolakan oleh orang yang
dicintai. Kekerasan fisik dan pelecehan seksual juga merupakan sumber stres, selain
itu, gangguan stres dan bencana alam juga meningkatkan kemungkinan bunuh diri,
khususnya dalam hal bencana ekstrim seperti gempa bumi besar. Mengingat kerentanan
psikologis yang sudah ada pada individu—termasuk gangguan psikologis, sifat
impulsif, dan kurangnya dukungan sosial—suatu peristiwa yang penuh tekanan yang
membuat stres sering kali dapat membuat individu merasa tersudutkan.
G. Penanganan Suicide
Dalam penanganan risiko suicide ini penting untuk mengetahui faktor suicide
dan tanda-tanda percobaan suicide. Penanganan tersebut dilakukan sesuai tingkat
21
risiko. Prinsip penanganan awal adalah empati dan lingkungan yang aman bagi pasien.
Sedangkan, pasien dengan risiko tinggi dianjurkan untuk mendapat perawatan seperti
terapi ataupun perawatan rawat inap. Sejumlah program telah dilaksanakan untuk
mengurangi tingkat bunuh diri. Institute of Medicine merekomendasikan penggunaan
layanan yang segera untuk teman dan kerabat dari korban. Langkah terpenting adalah
dengan membatasi akses ke senjata mematikan bagi siapa saja yang berisiko bunuh diri.
Layanan telepon hotline dan layanan intervensi krisis lainnya juga berguna. Relawan
hotline harus didukung oleh tenaga profesional kesehatan mental yang kompeten yang
dapat mengidentifikasi risiko yang berpotensi serius. Perawatan khusus untuk orang-
orang yang berisiko juga telah dikembangkan. Misalnya program pencegahan bunuh
diri untuk orang tua yang cenderung fokus pada penurunan faktor risiko seperti
mengobati depresi. Intervensi cognitive-behavioral juga terbukti mampu mengurangi
risiko bunuh diri.
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Suicide juga sering dikaitkan dengan gangguan mood, tetapi suicide bisa
terjadi tanpa gangguan mood atau dengan adanya gangguan lain.
B. Saran
23
DAFTAR PUSTAKA
Durand, V. M., Barlow, D. H., & Hofmann, S G. 2019. Essentials of Abnormal Psychology.
8th Ed. Boston: Cengage Learning, Inc.
24