Anda di halaman 1dari 14

ORTOPEDAGOGIK ANAK TUNAGRAHITA

Deskripsi Tunagrahita
A. PENGERTIAN ANAK TUNAGRAHITA
Anak tunagrahita adalah kondisi anak yang kecerdasannya jauh dibawah rata – rata
yang ditandai oleh keterbatasan intelejensi dan ketidak cakapan dalam interaksi social. Anak
tuna grahita atau dikenal juga dengan istilah terbelakang mental karena keterbatasan
kecerdasannya sukar untuk mengkuti program pendidikan disekolah biasa secara klasikal,
oleh karena itu anak terbelakang mental membutuhkan pelayanan pendidikan secara khusus,
yakni disesuaikan dengan kemampuan anak itu.
Untuk memahami anak tuna grahita atau terbelakang mental ada baiknya memahami
terlebih dahulu konsep Mental Age (MA). Mental age adalah kemampuan mental yang
dimiliki oleh seorang anak pada usia tertentu. Sebagai contoh anak yang berumur 6 tahun
akan memiliki MA 6 tahun. Jika seorang anak memiliki MA lebih tinggi dari umurnya
(Cronology Age), maka anak tersebut memiliki kemampuan mental atau kecerdasan diatas
rata – rata. Anak tunagrahita selalu memiliki MA lebih rendah CA-nya secara jelas. Misalnya
anak normal mempunyai IQ 100, maka anak tunagrahita mempunyai IQ 70 yaitu ia
mengalami keterlambatan 2 x 15 = 30 maka diperoleh IQ 70 tersebut. Penyesuaian perilaku
maksudnya saat ini seorang dikatakan tunagrahita bukanlah hanya dilihat IQ-nya akan tetapi
perlu dilihat sampai sejauh mana anak ini dapat menyesuaikan diri. Jadi bila anak ini dapat
menyesuaikan diri maka tidaklah lengkap ia dipandang sebagai anak tunagrahita. Terjadi
pada masa perkembangan maksudnya bila ketunagrahitaan ini terjadi setelah usia dewasa
maka ia tidak tergolong tunagrahita.
Tunagrahita atau terbelakang mental merupakan kondisi dimana perkembangan yang
optimal ada beberapa karakteristik umum anak tunagrahita yang dapat kita pelajari, sebagai
berikut :
a. Keterbelakangan intelegensi
Intelegensi merupakan fungsi yang kompleks yang dapat diartikan sebagai
kemampuan untuk mempelajari informasi dan ketrampilan – ketrampilan menyesuaikan diri
dengan masalah – masalah dan situasi – situasi kehidupan baru, belajar dari pengalaman masa
lalu, berfikir abstrak, kreatif, dapat menilai secara kritis, menghindari kesal;ahn – kesalahan,
mengatasi kesulitan – kesulitan, dan kemampuan untuk merencanakan masa depan. Anak
tuna grahita memiliki kekurangan dalam semua hal tersebut. Kapasitas belajar anak tuna
grahita terutama yang bersifat abstrak seperti belajar berhitung, menulis, dan membaca juga
terbatas, kemampuan belajarnya cenderung tanpa pengertian atau cenderung belajar dengan
membeo.
b. Keterbatasan social
Di samping memiliki keterbatasan intelegensi, anak tunagrahita juga memiliki
kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat, oleh karena itu mereka memerlukan
bantuan. Anak tunagrahita cenderung berteman dengan anak yang lebih muda dari usianya,
ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab
social dengan bijaksana, sehingga mereka harus selalu dibimbing dan diawasi. Mereka juga
mudah dipengaruhi. Cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.
c. Keterbatasan fungsi – fungsi mental lainnya
Anak tunagrahita memerlukan waktu lebih lama untuk melaksanakan reaksi pada
situasi yang baru dikenalnya. Mereka memperlihatkan reaksi terbaiknya bila mengikuti hal –
hal rutin yang secara konsisten dialaminya dari hari – ke hari. Anak tunagrahita tidak dapat
menghadapi sesuatu kegiatan atau tugas dalam jangka waktu lama. Anak tunagrahita
memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa. Mereka bukannya mengalami kerusakan
artikulasi akan tetapi pusat pengolahan (perbendaharaan kata yang kurang berfungsi
sebagaimana mestinya). Karena itu mereka membutuhkan kata – kata konkrit dan sering
didengarnya. Selain itu perbedaan dan persamaan harus ditunjukkan secara berulang – ulang.
Latihan - ;latihan sederhana seperti mengajarkan konsep besar dan kecil, keras dan lemah,
pertama, kedua, dan terakhir, perlu menggunakan pendekatan yang konkrit.
Selain itu anak tuna grahita kurang mampu untuk mempertimbangkan sesuatu,
membedakan antara yang baik dan yang buruk, dan membedakan yang benar dengan
yang salah. Ini semua karena kemampuannya yang terbatas, sehingga anak tunagrahita tidak
dapat membayangkan terlebih dahulu konsekuensi dari sesuatu perbuatan.

Untuk lebih jelasnya mengenai peristilahan tunagrahita sebagai berikut :


1. Mental Retardation, banyak digunakan di Amerika Serikat dan diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia sebagai latar belakang mental.
2. Feebleminded (lemah pikiran, digunakan di Inggris untuk melukiskan kelompok tunagrahita
ringan.
3. Mental Subnormality, digunakan di Inggris dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
sebagai latar belakang mental.
4. Mental Deficiency, menunjukkan kapasitas kecerdasan yang menurun akibat penyakit yang
menyerang organ tubuh.
5. Mentally Handicapped, dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah cacat mental.
6. Intellectualy Handicapped, merupakan istilah yang banyak digunakan di New
Zealand.
7. Intellectual Disabled, istilah ini banyak digunakan PBB.
Kata mental dalam peristilahan di atas adalah fungsi kecerdasan intelektual dan bukan
kondisi psikologis. Adapun peristilahan di Indonesia mengenai penyandang tunagrahita,
mengalami perkembangan seperti berikut :
a) Lemah pikiran, lemah ingatan digunakan sekitar tahun 1967.
b) Terbelakang mental digunakan sejak tahun 1967 hingga 1983.
c) Tunagrahita, digunakan sejak tahun 1983 hingga sekarang dan diperkuat dengan terbitan
peraturan pemerintah No. 72/1991 tentang pendidikan luar biasa.

B. KLASIFIKASI ANAK TUNAGRAHITA


Klasifikasi yang digunakan sekarang adalah yang ditemukan oleh AAMD (Hallahan,
1982:43) sebagai berikut :
a) Mild mental retardation (tunagrahita IQ-nya 70 – 55 ringan).
b) Moderate mental retardation (tunagrahita IQ-nya 55 – 40 sedang).
c) Severe mental retardation (tunnagrahita IQ-nya 40 – 25 berat).
d) Profound mental retardation (tunagrahita IQ-nya 25 ke bawah sangat berat).

Pengelompokan pada umumnya berdasarkan pada intelegensinya, yang terdiri


dari terbelakang ringan, sedang, dan berat. Kemampuan intelegensi anak tunagrahita diukur
dengan tes Standford Bine dan skala Weschler (WISC)
1. TUNAGRAHITA RINGAN
Disebut juga moron atau debil. Kelompok ini memiliki IQ antara 68-62 menurut
binet, sedangkan menurut skala Weschler (WISC) memiliki IQ 69-55. Mereka masih dapat
belajar membaca,menulis dan berhitung sederhana dengan bimbingan dan pendidikan yang
baik,anak terbelakang ringan pada saatnya akan dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya
sendiri. Anak terbelakang mental ringan dapat dimiliki menjadi tenaga kerja semi skilled
seperti pekerjaan laundry,peternakan,pekerjaan rumahtangga,bahkan jika dibimbing dengan
baik dapat bekerja di pabrik – pabrik dengan sedikit pengawasan. Namun demikian,mereka
tidak mampu melakukan penyesuaian social secara independen. Ia bahkan sering berbuat
kesalahan. Pada umumnya anak tunanetra ringan tidak mengalami gangguan fisik .secara
fisik mereka tampak seperti anak normal pada umumnya. Bila dikehendaki mereka ini masih
dapat bersekolah,maka mereka akan dilayani pada kelas khusus dengan guru dari pendidikan
luar biasa.
2. TUNA GRAHITA SEDANG
Anak tunagrahita sedang disebut juga imbisil.kelompok ini memiliki IQ 51-36
berdasarkan skala binned sedangkan menurut skala wischler (WISC) memiliki IQ 54-40.
Anak Tunagrahita sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara akademik seperti belajar
menulis,membaca dan berhitung.walaupun mereka dapat belajar secara akademik seperti
belajar menulis,membaca dan berhitung,mengrurus diri seperti mandi,berpakaian,makan dan
minum dalam kehidupan sehari – hari masih membutuhkan pengawasan yang terus menerus.
3. TUNAGRAHITA BERAT
Kelompok anak tunagrahita berat sering disebut idiot.kelompok dapat dibedalkan lagi
antara anak tunagrahita berat (severe) dan sangat berat (profound).Anak tunagrahita berat
memerlukan bantuan secara total dalam hal berpakaian,mandi,makan,dll.bahkan mereka
memerlukan perlindungan dari bahaya sampai sepanjang hidupnya

IQ
Level Keterbelakangan
Stanforrd Binet Skala Weschler

Ringan 68-52 69-55

Sedang 51-36 54-40

Berat 32-20 39-25

Sangat Berat 19 24

C. PERKEMBANGAN FISIK ANAK TUNAGRAHITA


Fungsi-fungsi perkembangan anak tunagraita ada yang tertinggal jauh oleh anak
normal.adapula yang sama atau hamper menyamai anak normal.perkembangan jasmani dan
motorik anak tunagrahita tidak secepat perkembangan anak normal pada umumnya.hasil
penelitian menunjukan bahwa 3 th – 12 th ada dalam kategori kurang sekali. Sedangkan anak
normal pada umur yang sama ada dalam kategori kurang (M.Umardjani,1984). Dengan
demikian tingkat jasmani anak tunagrahita setingkat lebih rendah dibandingkan dengan anak
normal pada umur yang sama. Banyak hasil penelitian menunjukan bahwa pada anak
terbelakang korelasi tersebut lebih besar dari pada yang terdapat pada anak normal.dalam hal
kesegaran jasmani M Umarjani (1984) menemukan bahwa korelasi anak terbelakang putra
dan putri masing – masing 0,96 dengan taraf signifikan 0,01 serta 0,617 dengan taraf
signifikan 0,05.perkembangan motorik mencakup dua hal yaitu gross motor (seperti berjalan,
melompat, melempar) dan fine motor (seperti menulis, menyulam, menggunting dsb) pada
anak-anak yang pertama berkembang adalah gross, sedangkan fine motor.kita mempelajari
gerak-gerak jari dengan mudah, tetapi lain halnya dengan anak tunagrahita mereka
mengalami kesulitan untuk menguasainya. Banyak gerak-gerak yang kita pelajari hampir
secara instingtif, harus dipelajari anak tunagrahita secara khusus. Adapun gerak-gerak yang
termasuk gerak fundamental menurut Wessel (1974) terdiri dari tiga kelompok yaitu
Locomotor, object control dan rhythmic skill. Perincian sebagai berikut :
Locomotor Skill, meliputi :
 Functional run
 Functional leap
 Functional horizontal jump
 Functional vertical jump
 Functional hop
 Functional gallop
 Functional slide
 Functional skip object control, meliputi :
 Functional underhand roll
 Functional underhand throw
 Functional overhand throw
 Functional kick
 Functional continous bounce
 Functional catch
 Functional underhand strike
 Functional overhand strike
 Functional forehand strike
 Functional backhand strike
 Functional two – janded sidearm rytmic skill, meliputi :
 Functional movements to an even beat
 Functional movements to an uneven beat
 Accent and phrasing
 Limitate movements
 Communication
D. PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK TUNAGRAHITA
Suppes (1974) menjelaskan bahwa kognisi merupakan bidang yang luas yang meliputi
semua kemampuan akademik yang berhhubungan dengan wilayah persepsi. Mussen, Conger,
dan Kagan (1974) paling sedikit terdiri dari 5 proses yaitu persepsi, memory, kemunculan ide
– ide evaluasi penalaran dan proses – proses itu meliputi sejumlah unit yaitu skema,
gambaran, symbol, konsep dan kaidah – kaidah. Kognisi adalah bidang yang luas dan
beragam, peneliti tidak dapat memusatkan pada satu proses kognitif umur pada waktu
tertentu. Anak terbelakang menunjukkan deficit pemerolehan pengetahuan seperti yang
digambarakan proses kognisi meliputi proses dimana pengetahuan itu diperoleh, disimpan
dan dimanfaatkan. Jika terjadi gangguan perkembangan intelektual akan tercermin pada
proses kognitif. Yang dikemukakan Mussen dkk (persepsi, memory, ide – ide, evaluasi, dan
penalaran).
Beberapa penjelasan tentang kekurangan anak tunagrahita pada ingatan jangka
pendek dapat diapahami dengan pendekatan konsep neuro-biologis. Spitz (1963) menerapkan
teori kejenuhan cortical (Cortical Satiation Theory) terhadap anak tunagrahita Spitz
mengajukan sebuah hipotesis bahwa sel cortical (Cortical cells) anak tunagrahita lebih lambat
dalam perubahan kimia, listrik, dan perubahan fisik. Perubahan-perubahan temporer pada sel
ortical lebih lambat kembali pada keadaan semula. Perubahan-perubahan yang terjadi pada
sel cortical lebih sulit.
Fleksibilitas mental yang kurang pada anak tunagrahita mengakibatkan kesulitan
dalam pengorganisasian bahan yang akan dipelajari. Oleh karena itu sukar bagi anak
tunagrahita untuk menangkap informasi yang kompleks.

E. PERKEMBANGAN BAHASA ANAK TUNAGRAHITA


Secara umum perkembangan bahasa digambarkan oleh Myklebust (1960), meliputi 5
tahap perkembangan, seperti dapat dilihat dalam gambar berikut :
a. Inerlanguage
Inerlanguage adalah aspek bahasa yang pertama berkembang. Muncul kira – kira pada
usia 6 bulan. Karakteristik perilaku yang muncul pada tahap ini adalah pembentukan konsep
– konsep sederhana, seperti anak mendemonstrasikan pengetahuannya tentang hubungan
sederhana antara satu objek dengan objek yang lainnya. Tahap berikut dari perkembangan
innerlanguage adalah anak dapat memahami hubungan – hubungan yang lebih kompleks dan
dapat bermain dengan mainan dalam situasi yang bermakna. Contohnya menyusun perabot
didalam rumah – rumahan. Bentuk yang lebih komples dari perkembangan innerlanguage
adalah mentransformasikan pengalaman ke dalam symbol bahasa.
b. Receptive Language
Setelah innerlanguage berkembang, maka tahap berikutnya dalah receptive language
muncul. Pada kira – kira umur 8 bulan anak mulai mengerti sedikit – sedikit tentang apa yang
dikatakan orang lain kepadanya, anak mulai merespon apabila namanya dipanggil dan mulai
mengerti perintah. Menjelang kira – kira umur 4 tahunan anak lebih menguasai kemahiran
mendengar dan setelah itu proses penerimaan (receptive process) memberikan perluasan
kepada sistim bahasa verbal. Terhadap hubungan timbal balik antara innerlanguage dengan
receptive language. Perkembangan innerlanguage, melewati fase pembentukan konsep –
konsep sederhana menjadi tergantung kepada receptive language.
c. Ekspressive Language
Aspek terakhir dari perkembangan bahasa adalah bahasa ekspresif (ekspresive
language). Menurut Myklebust ekspresive language berkembang setelah pemantapan
pemahan. Bahasa ekspresif anak muncul pada usia kira – kira 1 tahun. Perkembangan bahasa
erat kaitannya dengan perkembangan kognisi, keduanya mempunyai hubungan timbale balik.
Perkembangan kognisi anak tugrahita mengalami hambatan, karenanya perkembangan
bahasanya juga akan terhambat. Anak tuna grahita pada umumnya tidak bias menggunakan
kalimat majemuk, dalam percakapan sehari – hari mereka lebih banyak menggunakan kalimat
tunggal. Ketika anak tunagrahita dibandingkan dengan anak normal pada CA yang sama,
anak tunagrahita pada umumnya mengalami gangguan artikulasi, kualitas suara, dan ritme.
Selain itu anak tunagrahita mengalami kelambatan dalam perkembangan bicara (ekspresive
auditori language). Dalam perkembangan morfologi anak normal menguasai peningkatan
sejumlah morfem sejalan dengan perkembangan umum. Demikian juga anak tunagrahita dan
anak normal yang memiliki MA yang sama memperlihatkan level yang sama dalam
perkembangan morfologi. Akan tetapi anak tunagrahita yang memiliki CA yang sama dengan
anak normal, anak tunagrahita memiliki tahap lebih rendah dengan perkembangan
morfologinya.
Ada penelitian yang menarik yang dilakukan oleh Endang Rochyadi (1983) mengenai
kemampuan berbahasa anak tunagrahita khususnya berkaitan dengan sintaksis dan
perbendaharaan kata. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa MA berkolerasi dengan
kemampuan tata bahasa (sintaksis), sedangkan CA berkolerasi dengan perbendaharaan kata.
Ini berarti bahwa sintaksis memerlukan kemampuan kecerdasan yang baik.

Hal terakhir dari perkembangan bahasa berkaitan dengan kemampuan bahasa yang
disebut semantic. Anak – anak memperlihatkan perkembangan semantic sama seperti pada
komponen lainnya. Anak terbelakang menunjukkan perkembangan semantic lebih lambat
dari pada anak normal. Tetapi tidak ada bukti bahwa mereka memiliki perbedaan pola
perkembangan sistaksis. Perkembangan vocabulary anak tunagrahita telah diteliti secara luas.
Hasilnya menunjukkan bahwa anak tunagrahita lebih lambat dari pada anak normal dari pada
kata permenit lebih banyak menggunakan kata – kata positif, lebih sering menggunakan kata
– kata yang lebih umum, hamper tidak pernah menggunakan kata – kata yang lebih umum,
hamper tidak pernah menggukan kata ganti, lebih sering menggunakan kata – kata bentuk
tunggal, dan anak tunagrahita dapat menggunakan kata – kata bervariasi.

F. EMOSI PENYESUAIAN SOCIAL DAN KEPRIBADIAN ANAK TUNAGRAHITA


Perkembangan dorongan (drive) dan emosi berkaitan dengan derajat ketunagrahitaan
seorang anak. Anak tunagrahita berat tidak dapat menunjukkan dorongan pemeliharaan
dirinya sendiri. Mereka tidak bisa menunjukkan rasa lapar atau haus dan tidak dapat
menghindari bahaya. Pada anak tunagrahita sedang, dorongan berkembang lebih baik tetapi
kehidupan emosinya terbatas pada emosi – emosi yang sederhana.
Pada anak terbelakang ringan kehidupan emosinya tidak jauh berbeda dengan anak
normal akan tetapi tidak sekaya anak normal. Anak tunagrahita dapat memperlihatkan
kesedihan tetapi sukar untuk menggambarkan suasana terharu. Mereka bisa mengekspresikan
kegembiraan, tetapi sulit untuk mengungkapkan kekaguman. Kepribaian dan penyesuaian
social merupakan proses yang saling berkaitan.
Kepribadian seseorang mencerminkan cara yang tersebut berinteraksi dengan
lingkungan. Sebaliknya pengalaman – pengalaman penyesuaian diri sangat besar
pengaruhnya terhadap kepribadian. Dalam kepribadian tercakup susunan fisik, karakteristik
emosi, serta karakteristik seseorang. Di dalamnya juga tercakup cara – cara memberikan
respon terhadap rangsangan yang datingnya dari dalam maupun dari luar baik rangsangan
fisik maupun social. Apakah anak tunagrahita memiliki karakteristik khusus dalam
kepribadiannya.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Mc Iver dengan menggunakan Children’s


Personality Questionare ternyata bahwa anak – anak tunagrahita mempunyai beberapa
kekurangan. Anak tunagrahita pria memiliki kekurangan berupa tidak matangnya emosi,
depresi, bersikap dingin, menyendiri, tidak dapat dipercaya, impulsif, lancaag dan merusak.
Anak tunagrahita wanita mudah dipengaruhi, kurang tabah, ceroboh, kurang dapat menahan
diri dan cenderung melanggar ketentuan dalam hal lain anak tunagrahita sama dengan anak
normal. Kekurangan – kekurangan dalam hal kepribadian akan berakibat pada proses
penyesuaian diri.
Penyesuaian diri merupakan proses psikologis yang terjadi ketika kita menghadapi
berbagai situasi. Seperti anak normal, anak tunagrahita akan menghayati suatu emosi, jika
kebutuhannya terhalangi. Emosi – emosi yang positif adalah cinta, girang, simpatik. Emosi
ini tampak pada anak tuna grahita yang masih muda terhadap peristiwa – peristiwa yang
bersifat konkret, lingkungan bersifat positif terhadapnya, maka mereka akan lebih mampu
menunjukkan emosi – emosi yang positif itu. Emosi – emosi yang negative adalah perasaan
takut, giris, marah, dan benci. Anak terbelakang yang masih muda takut kepada hal – hal
yang mengancam keselamatannya. Anak tunagrahita yang lebih tua takut terhadap hal – hal
yang berkenaan dengan hubungan social.
Dalam tingkah laku social tercakup hal – hal seperti keterikatan dan ketergantrungan,
hubungan kesebayaan, self concept dan tingkah laku moral. Yang dimaksud dengan tingkah
laku keterikatan dan ketergantungan adalah kontak anak dengan orang dewasa (orang lain).
Masalah keterikatan dan ketergantungan anak terbelakang telah diteliti oleh Zigler (1961) dan
Steneman (1962, 1969). Seperti halnya anak normal, anak tunagrahita yang masih muda mula
– mula memiliki tingkah laku keterikatan kepada orang tua dan orang dewasa yang lain.
Dengan bertambahnya umur keterkaitan ini dialihkan kepada teman sebaya.
Ketergantungan yang tadinya bersifat satu pihak menjadai hubungan yang timbal balik.
Ketika anak merasa takut, giris, tegang, dan kehilangan orang tempat bergantung,
kecenderungan ketergantungannya bertambah. Berbeda dengan anak normal, anak
tunagrahita lebih banyak bersifat bergantung pada orang lain, dan kurang terpengaruh oleh
bantuan social. Dalam hubungan kesebayaan seperti halnya dengan anak kecil menolak anak
yang lain, tetapi setelah bertambah umur, mereka mengadakan kontak dan melakukan
kegiatan – kegiatan yang bersifat kerjasama. Berbeda dengan anak normal, anak tuna grahita
jarang diterima, sering ditolak oleh kelompok serta jarang menyadari posisi diri dalam
kelompok

G. DAMPAK KETUNAGRAHITAAN
Orang yang paling banyak menanggung beban akibat ketunagrahitaan adalah orang
tua dan keluarga anak tersebut. Oleh karena itu dikatakan bahwa penanganan anak
tunagrahita merupakan psikiatri keluarga. Keluarga anak tunagrahita berada dalam resiko,
mereka menghadapi resiko yang berat. Saudara – saudara anak tersebut pun menghadapi hal
– hal yang bersifat emosional.
Saat yang krisis adalah ketika keluarga itu pertama kali menyadari bahwa anak tersebut tidak
normal seperti yang lain. Jika anak tersebut menunjukkan gejala – gejala kelainan fisik
(misalnya mongolisme) maka kelainan anak dapat segera diketahui sejak anak dilahirkan.
Tetapi jika anak tersebut tidak mempunyai kelainan fisik, maka orang tua hanya akan
mengetahui dari hasil penelitian. Cara menyampaikan hasil penelitian sangatlah penting.
Orang tua mungkin menolak kenyataan atau menerima dengan beberapa persyaratan tertentu.
Dalam memberitahukan kepada orang tua hendaknya dilakukan terhadap kedua –
duanya (suami istri) secara bersamaan. Dianjurkan sejak awal sudah diperkenalkan dengan
orang yang juga mempunyai anak cacat. Orang tua hendaknya menyadari bahwa mereka
tidak sendirian. Lahirnya anak cacat (tunagrahita) selalu merupakan tragedy.
Reaksi orang tua berbeda – beda tergantung pada berbagai factor, misalnya apakah
kecacatan tersebut dapat segera diketahuinya atau terhambat diketahuinya. Factor lain yang
juga yang sangat penting ialah derajat ketunagrahitaannya dan jelas tidaknya kecacatan
tersebut terlihat orang lain.
Perasaan dan tingkah laku orang tua itu berbeda – beda dan dapat dibagi menjadi :
a. Proteksi biologis
b. Perubahan tiba – tiba, hal ini mendorong untuk
1. Menolak kehadiran anak dengan memberikan sikap dingin.
2. Menolak dengan rasionalisasi, menahan anaknya di rumah dengan mendatangkan orang yang
terlatih untuk mengurusnya.
3. Merasa berkewajiban untuk memelihara tetapi melakukan tanpa memberikan kehangatan.
4. Memelihara dengan berlebihan sebagai kompensasi terhadap perasaan menolak.
c. Merasa ada yang tidak beres tentang urusan keturunan
1. Perasaan ini mendorong timbulnya suatu perasaan depresi.
2. Merasa kurang mampu mengasuhnya perasaan ini mehilangkan kepercayaan kepada diri
sendiri dalam mengasuhnya.
3. Kehilangan kepercayaan akan mempunyai anak yang normal.
a. Karena kehilangan kepercayaan tersebut orang tua cepat marah, tingkah laku agresif.
b. Kedudukan tersebut dapat mengakibatkan depresi.
c. Pada permulaan mereka segera mampu menyesuaikan diri sebagai orang tua anak
tunagrahita, akan tetapi mereka terganggu lagi saat – saat menghadapi peristiwa – peristiwa
kritis.
d. Terkejut dan kehilangan kepercayaan diri, kemudian berkonsultasi untuk mendapat berita –
berita yang lebih baik.
e. Banyak tulisan yang menyatakan bahwa orang tua merasa berdosa. Sebenarnya perasaan
tersebut tidak selalu ada. Perasaan tersebut bersifat kompleks dan dapat mengakibatkan
depresi.
f. Merasa bingung dan malu, yang mengakibatkan orang tua kurang suka bergaul dan lebih suka
menyendiri.
Adapun saat – saat kritis itu terjadi pada saat berikut :
1. Pertama kali mengetahui bahwa anaknya cacat.
2. Memasuki pada umur sekolah, pada saat tersebut sangat penting kemampuan masuk sekolah
biasa, sebagai tanda bahwa anak tersebut normal.
3. Meninggalkan sekolah.
4. Orang tua bertambah tua, sehingga tidak mampu lagi memelihara anaknya yang cacat.

Pada saat – saat kritis seperti ini biasanya orang tua lebih mudah merasa saran dan
peyunjuk. Setelah kejutan yang pertama orang tua ingin mengetahui mengapa anaknya
tunagrahita. Mereka dan anak – anaknya yang normal ingin mengetahui apakah sesudah
melahirkan anak yang tuna grahita apakah mereka melahirkan anaknya yang normal.
Pada umumnya masyarakat kurang mengacuhkan anak tunagrahita, bahkan tidak
dapat membedakannya dari orang gila. Orang tua biasanya tidak memiliki gambaran
mengenai masa depan anaknya yang tunagrahita. Mereka tidak mengetahui layanan yang
dibutuhkan oleh anaknya yang tersedia di masyarakat. Saudara – saudaranya ketika
memasuki usia remaja mengetahui hal – hal menyangkut emosionalnya, kehadiran
saudaranya yang tunagrahita dirasakan sebagai beban baginya. Dilihat dari sudut tertentu,
baik juga seandainya anak tunagrahita dipisahkan di tempat – tempat penampungan. Tetapi
bila dilihat dari sudut lain pemisahan seperti ini dapat pula mengakibatkan ketegangan orang
tua, terlebih – lebih bagi ibu – ibu yang selama ini menyayangi orang tersebut.
H. PENYEBAB DAN CARA PENCEGAHAN KETUNAGRAHITAAN
1. Penyebab
Seseorang menjadi tunagrahita disebabkan oleh berbagai factor. Para ahli membagi
factor tersebt dalam beberapa kelompok :
a. Factor Keturunan
Meliputi hal – hal berikut.
 Kelainan kromosom, dapat dilihat dari bentuk dan nomornya, dilihat dari bentuknya dapat
berupa infresi (kelainan yang menyebabkan berubahnya urutan gene karena melilitnya
kromosom, delesi (kegagalan meiosis, yaitu salah satu pasangan tidak membelah sehingga
terjadi kekurangan kromosom pada salah satu sel), duplikasi (kromosom tidak berhasil
memisahkan diri sehingga tidak terjadi kelebihan kromosom pada salah satu sel yang lain),
translokasi (adanya kromosom yang patah dan patahannya menempel pada kromosom lain).
 Kelainan gene, terjadi pada waktu mutasi, tidak selamnya tampak dari luar (tetap dalam
tingkat genotip).

b. Gangguan metabolism dan gizi


Metabolism dan gizi merupakan factor yang sangat penting dalam individu terutama
dalam perkembangan sel – sel otak, kegagalan itu dapat menyebabkan gangguan fisik dan
mental pada individu. Kelainan itu antara lain phenylketonuria (akibat gangguan metabolism
asam amino) dengan gejala yang Nampak berupa : tunagrahita, kekurangan pigmen, kejang
syaraf, kelianan tingkah laku gargoylism (kerusakan metabolism saccharide yang menjadi
tempat penyimpanan asam mukopolysaccharide dalam hati limpa kecil dan otak gejala yang
Nampak ketidak normalan tinggi badan, kerangka tuuh yang tidak proposional, telapak
tangan lebar dan pendek, persendian kaku, lidah lebar dan menonjol dan tunagrahita,
cretinism (keadaan hypohydrodism kronik yang terjadi selama masa janin atau saat
dilahirkan) dengan gejala kelainan yang tampak ketidak normalan fisik yang khas pada
tunagrahita.
c. Infeksi dan keracunan
Keadaan ini disebabkan oleh terjangkitnya penyakit – penyakit selama janin dalam
kandungan. Penyakit yang dimaksud antara lain rubella yang mengakibatkan ketunagrahitaan
serta adanya kelainan pendengaran, penyakit jantung bawaan, berat badan sangat kurang
ketika dilahikan, syphilis bawaan, syndrome grafidity beracun.
d. Trauma dan zat radio aktif
Terjadi trauma pada otak ketika bayi dilahirkan atau terkena radiasi zat radio aktif
saat hamil dapat mengakibatkan ketunagrahitaan. Trauma yang terjadi pada saat dilahirkan
biasanya disebabkan oleh kelahiran yang sulit sehingga memerlukan alat bantu. Ketidak
tepatan penyinaran radiasi sinar X selama bayi dalam kandungan mengakibatkan cacat
mental microsephaly.
e. Masalah pada kelahiran
Masalah yang terjadi pada saat kelahiran misalnya kelahiran yang disertai hypoxia
yang dipasyikan bayi akan menderita kerusakan otak, kejang, dan nafas pendek. Kerusakan
juga disebabkan oleh trauma mekanis terutama pada kelahiran yang sulit.

f. Factor lingkungan
Studi yang dilakukan Kirk (Triman Prasadio, 1982:25) menemukan bahwa anak yang
berasal dari keluarga yang tingkat sosialnya ekonominya rendah menunjukkan
kecenderungan mempertahankan mental pada taraf yang sama bahkan prestasi belajarnya
berkurang dengan meningkatnya usia. Kurangnya rangsangan intelektual yang memadai
mengakibatkan timbulnya hambatan dalam perkembangan intelegensia sehingga anak dapat
berkembang menjadi anak retardasirental.

I. USAHA PENCEGAHAN TUNAGRAHITA


Berbagai alternative dan upaya – upaya pencegahan yang disarankan antara lain :
 Penyluh genetic, yaitu sesuatu usaha mengkomunikasikan berbagai informasi mengenai
masalah genetika.
 Diagnotis prenatal, yaitu usaha pemeriksaan kehamilan sehingga dapat diketahui lebih dini
apakah janin mengalami kelainan.
 Imunisasi, diakukan terhadap ibu hamil maupun anak balita.
 Tes darah, dilakuka terhadap pasangan yang akan menikah untuk menghindari kemungkian
menurunkan benih – benih kelainan.
 Melalui program KB, pasangan suami istri dapat mengatur kehamilan dan menciptakan
keluarga yang sejahtera baik fisik dan psikis.
 Tindakan operasi, dibutuhkan bila ada kelahiran dengan resiko tinggi misalnya kekurangan
oksigen, adanya trauma pada masa perenatal atau proses kelahiran.
 Sanitasi lingkungan, mengupayakan terciptanya lingkungan yang baik sehingga tidak
menghambat perkembangan bayi atau anak.
 Pemeliharaan kesehatan, terutama pada ibu hamil yang menyangkut pemeriksaan kesehatan
selama hamil, penyediaan vitamin, menghindaari radiasi.
 Intervensi dini, dibutuhkan oleh para orang tua agar dapat membantu perkebangan anak
secara dini.

http://noenoereggae.blogspot.com/2012/01/ortopedagogik-anak-
tunagrahita.html?zx=1049c00d920f7900

jam15.20 13032013

Anda mungkin juga menyukai