PEMBAHASAN
A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini masyarakat pada umumnya memiliki anggapan bahwa anak
berkebutuhan khusus merupakan anak-anak yang tidak memiliki kemampuan
apapun. Salah satu anak berkebutuhan khusus yang tidak dikenal oleh
masyarakat umum adalah tunagrahita. Tunagrahita merupakan sebuah istilah
bagi mereka yang mengalami gangguan mental ataupun keterbelakangan
mental khususnya dalam hal kecerdasan dan kemampuan dalam berinteraksi
dengan lingkungan sekitarnya. Tidak sedikit yang menganggap anak tunagrahita
adalah “anak buangan”, “cacat mental”, “mental subnormal”, “bodoh”, dan “idiot”.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah anak
“keterbelakangan mental”. Pada kenyataannya istilah itu adalah sebutan untuk
anak tunagrahita.
Bagi masyarakat awam, anak cacat adalah anak yang terlahir karena
kutukan bagi orang tuanya sehingga setiap orang tua yang mempunyai anak
cacat (tuna) merasa malu dan menyembunyikan anak tersebut. Akan tetapi, ada
pula yang berpendapat bahwa anak cacat adalah anak yang membawa
keberuntungan. Masyarakat perlu lebih peduli terhadap anak-anak berkebutuhan
khusus sehingga mereka akan mendapat layanan pendidikan khusus untuk
mengembangkan potensinya secara optimal.
Anak tunagrahita adalah mereka yang kecerdasannya jelas-jelas berada
di bawah rata-rata. Disamping itu mereka mengalami keterbelakangan dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Mereka memiliki hambatan pada dua
sisi, yaitu pada sisi kemampuan intelektualnya yang berada dibawah anak pada
umumnya. Anak tunagrahita memiliki kemampuan intelektual yang berada pada
dua standar deviasi dibawah normal jika diukur dengan tes intelegensi
dibandingkan dengan anak normal lainnya. Hambatan yang kedua anak
tunagrahita dapat dilihat pada sisi prilaku adaptifnya atau kesulitan dirinya untuk
mampu bertingkah laku sesuai dengan situasi yang belum dikenal sebelumnya.
1
B. FOKUS PEBAHASAN
1. Penertian Tunagrahita
2. Klasifikasi Anak Tunagrahita
3. Perkembangan Fisik Anak Tunagrahita
4. Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita
5. Perkembangan Bahasa Anak Tunagrahita
6. Emosi, Penyesuaian Sosial, Dan Kepribadian Anak Tunagrahita
7. Dampak Ketunagrahitaan
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
dalam penyesuaian perilaku dan terjadi pada masa perkembangan” (Kauffman
dan Hallahan, 1986)
Yang menarik dari pernyataan di atas adalah bahwa keterbelakangan
mental yang hanya sedikit saja tidak termasuk tunagrahita. Dikatakan bahwa bila
seorang anak mengalami keterbatasan kecerdasan (IQ) 2 kali standar deviasi
barulah termasuk tunagrahita. Contoh, anak normal mempunyai IQ 100, maka
anak tunagrahita mempunyai IQ 70 yaitu ia mengalami keterlambatan 2 x 15 =
30 maka diperoleh IQ 70 tersebut.
Penyesuaian perilaku, maksudnya saat ini seseorang dikatakan
tunagrahita tidak hanya dilihat IQ-nya akan tetapi perlu dilihat sampai sejauh
mana anak ini dapat menyesuaikan diri. Jadi jika anak ini dapat menyesuaikan
diri, maka tidaklah lengkap ia dipandang sebagai anak tunagrahita. Terjadi pada
masa perkembangan, maksudnya bila ketunagrahitaan ini terjadi setelah usia
dewasa, maka ia tidak tergolong tunagrahitaan ini terjadi setelah usia , maka ia
tidak tergolong tunagrahita.
Tunagrahita atau terbelakang mental merupakan kondisi di mana
perkembangan kecerdasannya mengalami hambatan sehingga tidak mencapai
tahap perkembangan yang optimal. Ada beberapa karakteristik umum
tunagrahita yang dapat kita pelajari, yaitu:
1. Keterbatasan inteligensi
Inteligensi merupakan fungsi yang kompleks yang dapat diartikan
sebagai kemampuan untuk mempelajari informasi dan keterampilan-
keterampilan menyesuaikan diri dengan masalah-masalah dan situasi-
situasi kehidupan baru, belajar dari pengalaman masa lalu, berpikir abstrak,
kreatif, dapat menilai secara kritis, menghindari kesalahan-kesalahan,
mengatasi kesulitan-kesulitan, dan kemampuan untuk merencanakan masa
depan. Anak tunagrahita memiliki kekurangan dalam semua hal tersebut.
Kapasitas belajar anak tunagrahita terutama yang bersifat abstrak seperti
belajar dan berhitung, menulis dan membaca juga terbatas. Kemampuan
belajarnya cenderung tanpa pengertian atau cenderung belajar dengan
membeo.
4
2. Keterbatasan sosial
Disamping memiliki keterbatasan inteligensi, anak tunagrahita juga
memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat, oleh
karena itu mereka memerlukan bantuan.
Anak tunagrahita cenderung berteman dengan anak yang lebih muda
usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu
memikul tanggung jawab sosial dengan bijaksana, sehingga mereka harus
selalu dibimbing dan diawasi. Mereka juga mudah dipengaruhi dan
cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.
3. Keterbatasan Fungsi-fungsi Mental Lainnya
Anak tunagrahita memerlukan waktu lebih lama untuk menyelesaikan
reaksi pada situasi yang baru dikenalnya. Mereka memperlihatkan reaksi
terbaiknya bila mengikuti hal-hal yang rutin dan secara konsisten dialaminya
dari hari ke hari. Anak tunagrahita tidak dapat menghadapi sesuatu kegiatan
atau tugas dalam jangka waktu yang lama.
Anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa.
Mereka bukannya mengalami kerusakan artikulasi, akan tetapi pusat
pengolahan (perbendaharaan kata) yang kurang berfungsi sebagaimana
mestinya. Karena alasan itu mereka membutuhkan kata-kata konkret yang
sering didengarnya. Selain itu perbedaan dan persamaan harus ditunjukkan
secara berulang-ulang. Latihan-latihan sederhana seperti mengajarkan
konsep besar dan kecil, keras dan lemah, pertama, kedua, dan terakhir,
perlu menggunakan pendekatan yang konkret.
Level IQ
keterbelakangan Stanford Binet Skala Weschler
Ringan 68-52 69-55
Sedang 51-36 54-40
Berat 32-20 39-25
Sangat berat >19 >24
- Functional run
- Functional leap
- Functional horizontal jump
- Functional vertical jump
7
- Functional hop
- Functional gallop
- Functional slide
- Functional skip
8
D. PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK TUNAGRAHITA
Suppes (1974) menjelaskan bahwa kognisi merupakan bidang yang luas
yang meliputi semua keterampilan akademik yang berhubungan dengan wilayah
persepsi. Messen, conger, dan kagan (1974) menjelaskan bahwa kognisi paling
sedikit terdiri dari lima proses, yaitu: (1) pesepsi, (2) memori, (3) pemunculan
ide-ide, (4) evaluasi, (5) penalaran. Proses-proses itu meliputi sejumlah unit
yaitu skema, gambaran, symbol, konsep, dan kaidah-kaidah. Para peneliti
bidang ini tertarik pada perubahan urutan proses kognitif yang dihubungkan
dengan umur dan pengalaman. Ahli-ahli psikologi perkembangan berusaha
untuk memahami mekanisme perubahan kognitif pada berbagai perkembangan
kognitif.
Ternyata kognisi adalah bidang yang luas dan beragam, peneliti tidak
dapat memusatkan pada satu proses kogntif dalam rentang umur tertentu.
Adakah hubungan antara kognitif dan inteligensi? Anak terbelakang
menunjukkan deficit dalam perolehan pengetahuan seperti yang digambarkan
dalam situasi tes. Kognisi meliputi proses di mana pengetahuan itu diperoleh,
disimpan, dan dimanfaatkan. Jika terjadi gangguan perkembangan intelektual
maka akan tercermin pada satu atau beberapa proses kognitif seperti
penjelasan yang dikemukakan oleh mussen, dkk (persepsi, memori,
pemunculan ide-ide, ecaluasi, dan penalaran).
Para ahli psikologi perkembangan umumnya beranggapan bahwa jika
anak tunagrahita dibandingkan dengan anak normal yang mempunyai MA yang
sama secara teoretis akan memiliki tahap perkembangan kognitif yang sama
(Zigler, 1969). Pendapat ini didasarkan pada semua asumsi bahwa individu
secara aktif mengkonstruksikan struktur internalnya melalui interaksi dengan
lingkungan.
Pendapat seperti itu tidak seluruhnya benar sebab ada beberapa
penelitian yang membuktikan bahwa anak tunagrahita yang memiliki MA yang
sama dengan anak normal tidak memiliki keterampilan kognitif yang lebih unggul
daripada anak tunagrahita. Anak normal memiliki kaidah dan strategi dalam
memecahkan masalah, sedangkan anak tunagrahita bersifat trial and error.
Dalam percobaan terhadap anak tunagrahita sedang yang berumur 6
tahun, ternyata anak yang dalam pelajarannya mendapat penjelasan tentang
prestasilah yang lebih baik daripada hanya memperhatikan tanpa
9
penjelasan.anak yang mendapat kesempatan meniru setelah observasi
mencapai prestasi yang lebih baik daripada yang hanya melakukan observasi.
Mediasi dalam pendidikan anak tunagrahita sangat penting artinya bagi transfer
kearah tugas-tugas yang lebih kompleks.
Berkenaan dengan memori, anak tunagrahita berbeda dengan anak
normal pada short term memory. Anak tunagrahita tampaknya tidak berbeda
dengan anak normal dalam long term memory, daya ingatnya sama dengan
anak normal. Akan tetapi bukti-bukti menunjukkan anak tunagrahita berbeda
dengan anak normal dalam hal mengingat yang segera (immediate memory).
1. Inner language
Inner language adalah aspek bahasa yang pertama berkembang.
muncul kira-kira pada usia 6 bulan. Karakteristik perilaku yang muncul pada
tahap ini adalah pembukaan konsep-konsep sederhana, seperti anak
mendemonstrasikan pengetahuannya tentang hubungan sederhana antara
satu objek dengan objek lainnya. Tahap berikut dari perkembangan inner
10
language adalah anak dapat memahami hubungan-hubungan yang lebih
kompleks dan dapat bermain dengan mainan dalam situasi yang bermakna.
2. Receptive language
Setelah inner language berkembang, maka tahap berikutnya adalah
receptive language. Anak pada usia kira-kira 8 bulan mulai mengerti sedikit-
sedikit tentang apa yang dikatakan orang lain kepadanya. Anak mulai
merespon apabila namanya dipanggil dan mulai sedikit mengerti perintah.
Menjelang kira-kira umur 4 tahun, anak lebih menguasai kemahiran
mendengar dan setelah itu proses penerimaan (receptive process)
memberikan perluasan kepada sistem bahasa verbal. Terdapat hubungan
timbal balik antara inner language dengan receptive language.
Perkembangan inner language melewati fase pembentukan konsep-konsep
sederhana menjadi tergantung kepada pemahaman dan receptive language.
3. Expressive language
Aspek terakhir dari perkembangan bahasa adalah bahasa ekspresif
(expressive language). Menurut myklebust expressive language berkembang
setelah pemantapan pemahaman. Bahasa ekspresif anak muncul pada usia
kira-kira satu tahun. Perkembangan bahasa erat kaitannya dengan
perkembangan kognisi, keduanya mempunyai hubungan timbal balik.
Perkembangan kognisi anak tunagrahita mengalami hambatan, karenanya
perkembangan bahasanya juga akan terhambat.
Anak tunagrahita pada umumnya tidak bisa menggunakan kalimat
majemuk, dalam percakapan sehari-hari banyak menggunakan kalimat
tunggal. Ketika anak tunagrahita dibandingkan dengan anak normal pada CA
yang sama , anak tunagrahita pada umumnya mengalami gangguajn
artikulasi, kualitas suara, dan ritme. Selain itu anak tunagrahita mengalami
kelambatan dalam perkembangan bicara (expressive auditory language)
11
sedang, dorongan berkembang lebih baik tetapi kehidupan emosinya terbatas
pada emosi-emosi yang sederhana.
Pada anak terbelakang ringan, kehidupan emosinya tidak jauh berbeda
dengan anak normal, akan tetapi tidak sekaya anak normal. Anak tunagrahita
dapat memperlihatkan kesedihan tetapi sukar untuk menggambarkan suasana
terharu. Mereka bisa mengekspresikan kegembiraan tetapi sulit mengungkapkan
kekaguman.
Kanak-kanak san penyesuaian sosial merupakan proses yang saling
berkaitan. Kepribadian sosial mencerminkan cara orang tersebut berinteraksi
dengan lingkungan. Sebaiknya, pengalaman-pengalaman penyesuaian diri
sangat besar pengaruhnya terhadap kepribadian.
Dalam kepribadian tercakup susunan fisik, karakter emosi,serta
karakteristik sosial seseorang. Di dalamnya juga tercakup cara-cara memberikan
respon terhadap rangsangan yang datangnya dari dalam maupun dari luar, baik
rangsangan fisik maupun rangsangan sosial. Apakah anak tunagrahita memiliki
karakteristik khusus dalam kepribadiannya?
Penyesuaian diri merupakan proses psikologis yang terjadi ketika kita
menghadapi berbagai situasi. Seperti anak normal, anak tunagrahita akan
menghayati suatu emosi, jika kebutuhannya terhalangi. Emosi-emosi yang positif
adalah cinta, girang, dan simpatik. Emosi-emosi ini tampak pada anak
tunagrahita yang masih muda terhadap peristiwa-peristiwa yang bersifat konkret.
Jika lingkungan bersifat positif terhadapnya maka mereka akan lebih mampu
menunjukkan emosi-emosi yang positif itu. Emosi-emosi yang negative adalah
perasaan takut,giris,marah, dan benci. Anak terbelakang yang masih muda akan
merasa takut terhadap hal-hal yang berkenaan dengan hubungan sosial.
Dalam tingkah laku sosial, tercakup hal-hal seperti keterikatan dan
ketergantungan, hubungan kesebayaan, self concept, dan tingkah laku moral.
Yang dimaksud dengan tingkah laku keterikatan dan ketergantungan adalah
kontak anak dengan orang dewasa (orang lain). Masalah keterikatan anak dan
ketergantungan anak terbelakang telah teliti oleh zigler (1961) dan steneman
(1962,1969).seperti halnya anak normal, anak tunagrahita yang masih muda
mula-mula memiliki tingkah laku keterikatan kepada orang tua dan orang
dewasa lainnya. Dengan bertambahnya umur, keterikatan ini dialihkan kepada
teman sebaya. Ketika anak merasa takut, giris, tegang, dan kehilangan orang
12
yang menjadi tempat bergantung, kecenderungan ketergantungannya
bertambah. Berbeda dengan anak normal, anak tunagrahita lebih banyak
bergantung pada orang lain, dan kurang terpengaruh oleh bantuan sosial.
G. DAMPAK KETUNAGRAHITAAN
Orang yang paling banyak menanggung beban akibat ketunagrahitaan
adalah orang tua dan keluarga anak tersebut. Oleh sebab itu dikatakan bahwa
penanganan anak tunagrahita berada dalam resiko, mereka menghadapi resiko
yang berat. Saudara-saudara anak tersebut pun menghadapi hal-hal yang
bersifat emosional.
Saat yang krisis adalah ketika keluarga itu pertama kali menyadari bahwa
anak mereka tidak normal seperti anak lainnya. Jika anak tersebut menunjukkan
gejala-gejala kelainan fisik (misalnya mongol,) maka kelainan anak dapat
segera diketahui sejak anak dilahirkan. Tetapi jika anak tersebut tidak
mempunyai kelainan fisik, maka orang tua hanya akan mengetahui dari hasil
pemeriksaan. Cara menyampaikan hasil pemeriksaan sangatlah penting. Orang
tua mungkin menolak kenyataan atau menerima dengan beberapa persyaratan
tertentu.
Perasaan dan tingkah laku orang tua itu berbeda-beda dan dapat dibagi
menjadi:
1. Perasaan melindungi anak secara berlebihan, yang bisa dibagi dalam wujud:
a. Proteksi biologis
b. Perubahan emosi yang tiba-tiba, hal ini mendorong untuk:
Menolak kehadiran anak dengan memberikan sikap dingin
Menolak dengan rasionalisasi, menahan anaknya di rumah dengan
mendatangkan orang yang terlatih untuk mengurusnya
Merasa berkewajiban untuk memelihara tetapi melakukan tanpa
memberikan kehangatan
Memeliharanya dengan berlebihan sebagai kompensasi terhadap
perasaan menolak.
2. Ada perasaan bersalah melahirkan anak berkelainan, kemudian terjadi
praduga yang berlebihan dalam hal:
a. Merasa ada yang tidak beres tentang urusan keturunan, perasaan ini
mendorong timbulnya suatu perasaan depresi.
13
b. Merasa kurang mampu mengasuhnya, perasaan ini menghilangkan
kepercayaan kepada diri sendiri dalam mengasuhnya.
3. Kehilangan kepercayaan akan mempunyai anak yang normal.
a. Karena kehilangan kepercayaan tersebut orang tua cepat marah dan
menyebabkan tingkah laku agresif.
b. Kedudukan tersebut dapat mengakibatkan depresi
c. Pada permulaan, mereka segera mampu menyesuaikan diri sebagai oang
tua anak tunagrahita, akan tetapi mereka terganggu lagi saat menghadapi
peristiwa-peristiwa krisis.
4. Terkejut dan kehilangan kepercayaan diri,kemudian berkonsultasi untuk
mendapat berita-berita yang lebih baik.
5. Banyak tulisan yang menyatakan bahwa orang tua merasa berdosa
sebenarnya perasaan itu tidak selalu ada . perasaan tersebut bersifat
kompleks dan mengakibatkan depresi.
6. Mereka bingung dan malu, yang mengakibatkan orang tua kuang suka
bergaul dengan tentangga dan lebih suka menyendiri:
Adapun saat-saat kritis itu terjadi ketika:
Pertama kali mengetahui bahwa anaknya cacat
Memasuki usia sekolah, pada saat tersebut sangat penting kemampuan
masuk sekolah sebagai tanda bahwa anak tersebut nomal
Meninggalkan sekolah
Orang tua bertambah tua sehingga tidak mampu lagi memelihara anaknya
yang cacat.
Pada saat-saat kritis seperti ini biasanya orang tua lebih mudah menerima
saran dan petunjuk. Setelah kejutan yang pertama, orang tua ingin mengetahui
mengapa anaknya tunagrahita . mereka dan anak-anaknya yang normal ingin
mengetahui apakah sudah melahirkan anak yang tunagrahita mereka dapat
melahirkan anak normal.
15
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
16
DAFTAR PUSTAKA
Somantri, S. 2012. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama
17