Anda di halaman 1dari 28

USULAN PENELITIAN

PENINGKATAN KEMAMPUAN PENGUASAAN RUANG MELALUI PELATIHAN


ORIENTASI DAN MOBILITAS PADA MURID TUNANETRA
DI SLB A YAPTI MAKASSAR

YANTO EDUARD L. FONATABA

1545042016

JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2019
JUDUL :PENINGKATAN KEMAMPUAN PENGUASAAN RUANG
MELALUI LATIHAN ORIENTASI DAN MOBILITAS (OM)
MURID TUNANETRA KELAS III DI SLB A YAPTI MAKASSAR

A. PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Sistem pendidikan nasional merumuskan bahwa tujuan pendidikan nasional

adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya,

yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi

pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,

kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan

kebangsaan.

Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan.

Sebagaimana dalam pasal 5 ayat 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang

Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mengatakan “setiap warga Negara

mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan.

Warga Negara yang menjadi subjek pendidikan tidak semuanya memiliki

fisik, mental, emosi, dan social yang normal. Di antara mereka ada yang memiliki

kelainan, meskipun demikian mereka adalah warga Negara yang berhak memperoleh

kesempatan yang seluas-luasnya untuk mendapat pendidikan sesuai dengan kondisi

dan kemampuan masing-masing. Sebagai warga negara, anak tunanetra juga memiliki
hak yang sama untuk mendapat pendidikan, sebagaimana dalam pasal 5 ayat 2

Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)

menyebutkan “warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,

intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Berkaitan dengan

hal itu maka anak tunagrahita berhak mendapat pengajaran dan keterampilan dasar

mulai dari berhitung, membaca, dan menulis.

Anak tunanetra adalah seorang anak yang mengalami kelainan pada indra

penglihatan, kelainan penglihatan tersebut mempengaruhi proses belajar. Salah satu

keterbatasan anak tunanetra adalah kesulitan berpindah dari satu tempat ketempat

yang lain sehingga perlu pelatihan penguasaan ruang melalui pelatihan Orientas dan

Mobilitas (OM). Dengan pembelajaran orientasi dan mobilitas diharapkan

penyandang tunanetra dapat meningkat dalam keanekaragaman pengalaman,

kemampuan berpindah tempat dan penguasaan ruang, serta interaksi dengan

lingkungannya.

Juang Sunanto (2005: 117), Mengemukakan bahwa :

“ latihan orintasi dan mobilitas mencakup latihan sensori,


pengembangan motorik, keterampilan orintasi formal, dan
keterampilan mobilitasformal. Latihan orintasi dan mobilitas untuk
siswa tunanetra untuk bergerak dalam suatu lingkungan dengan
efisien dan selamat meliputi, lingkungan rumah, sekolah maupun
masyarakat.”

Seperti yang telah dijelaskan Juang Sunanto diatas latihan

pengembangan konsep dan latihan sensori serta latihan motorik perlu

dilatihkan pada anak tunanetra sebelum mereka belajar orientasi fan


mobilitas. Penguasaan keterampilan orientasi dan mobilitas yang baik pada

anak-anak tunanetra membantu mereka menjadi pejalan yang percaya diri

dan mandiri pada saat dewasa ketika mereka berjalan di area yang sudah

mereka kenal maupun belum mereka kenal.

Sejatinya murid tunanetra walupun terhambat dalam kemampuan

penglihatan, tetapi mereka juga harus mampu menguasai ruang sehingga

mereka bisa mandiri tanpa bergantung pada orang lain dengan pengajaran

atau pelatihan orientasi dan mobilitas diharapkan murid tunanetra tersebut

dapat mrnguasai ruang sehingga mereka tidak ketakutan bahkan ragu ketika

mereka ingin berpindah tempat dari satu tempat ketempat yang lainnya.

Hasil observasi yang dilakukan peneliti pada 13 Maret 2019

menunjukan bahwa penguasaan ruang dan pemahaman pembelajran orientasi

dan mobilitas di SLB A Yapti Makassar masih sangat kurang atau kurang

optimal. Murid masih kesulitan dalam berpindah dari tempat satu ke tempat

yang lainnya karena kurangnya pengembangan motorik, pemahaman dan

pengetahuan tentang orientasi dan mobilitas. Murid tunanetra kelas III masih

merasa ketakutan ketika berpindah tempat sendiri sehingga mereka masih

dibantu pendamping ataupun guru di sekolah.


Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengkaji secara

empiris tentang “ Peningkatan Kemampuan Penguasaan Ruang Melalui Pelatihan

Orientasi dan Mobilitas (OM) pada murid Tunanetra kelas III di SLB A Yapti

Makassar”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah kemampuan penguasaan ruang murid tunanetra kelas III di

SLB A Yapti Makassar sebelum penerapan pelatihan orientasi dan

mobilitas?

2. Bagaimanakah penerapan pelatihan orientasi mobilitas untuk

meningkatkan kemampuan penguasaan ruang murid tunanetra kelas II di

SLB A Yapti Makassar.?

3. Bagaimanakah peningkatan kemampuan penguasaan ruang murid

tunanetra setelah penerapan pelatihan orientasi dan mobilitas pada murid

tunanetra kelas III di SLB A Yapti Makassar ?


C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan

penelitian yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kemampuan penguasaan ruang murid tunanetra kelas III di

SLB A Yapti Makassar sebelum penerapan pelatihan orientasi dan mobilitas.

2. Untuk mengetahuipenerapan pelatihan orientasi mobilitas untuk

meningkatkan kemampuan penguasaan ruang murid tunanetra kelas II di SLB

A Yapti Makassar.

3. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan penguasaan ruang murid

tunanetra setelah penerapan pelatihan orientasi dan mobilitas pada murid

tunanetra kelas III di SLB A Yapti Makassar.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan member manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

a. Untuk lembaga pendidikan, khusus pendidikan luar biasa bisa menjadi bahan

informasi tentang pengembangan dan pelatihan orientasi dan mobilitasdalam

proses peningkatan penguasaan ruang.

b. Dapat dijadikan sumber informasi dalam melakukan penelitian yang

berhubungan dengan efektivitas proses pembelajaran penguasaan ruangpada

anak tunanetra khususnya bagi mahasiswa jurusan pendidikan luar biasa.


2. Manfaat praktis

a. Bagi guru, Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu

pemecahan masalah pada proses pembelajaran penguasaan ruang untuk

mempertimbangkan pelatihan penguasaan ruangpada murid tunanetra.

b. Bagi murid, penerapan pelatihan orientasi dan mobilitas diharapkan dapat

lebih memotivasi, menyenangkan agar lebih giat belajar dan mampu

penguasaan ruang.

c. Bagi sekolah, penilitian ini diharapkan memberi informasi dan masukan

dalam pelatihan orientasi dan mobilitas mampu meningkatkan penguasaan

ruang dan kualitas dan efektivitas pembelajaran di Sekolah.

d. Bagi orang tua, Dapat membangkitkan semangat dan meningkatkan kesadaran

orang tua agar merasa ikut bertanggung jawab terhadap pendidikan anaknya.
II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR DAN PERNYATAAN
PENELITIAN
A. Tinjauan Pustaka

1. Kajian Tentang Anak Tunanetra

a. Pengertian Anak Tunanetra


Istilah “tunanetra” merupakan gabungan dua buah kata, yakni, “tuna”
dan netra”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2001: 971), kata
Tuna mengandung arti rusak, luka, kurang. Sedangkan “netra” artinya mata. Sehingga
istilah tunanetra mengandung arti kerusakan mata atau mata rusak. Menurut Nolan
(Widjajanti & Hitepeuw, 1995 : 5) menjelaskan bahwa :
dikatakan buta (blind) bila ketajaman penglihatan
terbaiknya setelah dikoreksi Seseorang dengan kacamata
atau ketajaman penglihatan sentralnya lebih dari 20/200
tetapi diameter terluas dari lintang pandangnya
membentuk sudut yang tidak lebih besar dari 2 derajat.

Baraga (Yusuf, 1995: 23) menjelaskan bahwa dikatakan tunanetra apabila:


Keadaan penglihatan sedemikian rupa sehingga
mengganggu untuk mencapai belajarnya secara optimal
kecuali jika dilakukan penyesuaian dalam metode
pengajaran, pengalaman belajar, sifat-sifat bahan yang
diajarkan, dan lingkungan belajarnya. Tunanetra adalah
yang menggunakan huruf braille.

Tunanetra juga dapat diartikan sebagai seseorang yang mengalami hambatan


penglihatan sedemikian rupa dan hanya dapat menggunakan indra lain seperti
perabaan, atau indera lainnya yang masih berfungsi, sehingga harus dilakukan
penyesuaian dalam metode pengajaran, pengalaman belajar, serta sifat-sifat bahan
yang diajarkan.
Hardman ( Widjajanti & Hitepeuw, 1995: 5) menyatakan bahwa murid
yang tidak dapat menggunakan penglihatannya dan bergantung pada indera lain
seperti pendengaran, perabaan.
Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud murid tunanetra adalah mereka yang mengalami kelainan penglihatan
sedemikian rupa sehingga tidak dapat menggunakan indera penglihatannya dan
hanya bergantung pada indera pendengaran, perabaan, serta indera lainnya
yangmasih berfungsi khususnya dalam pendidikan sehingga membutuhkan perhatian
atau layanan secara khusus.

b. Klasifikasi Tunanetra
Ditinjau dari segi derajat kecacatannya, maka tunanetra dapat diklasifikasikan
menjadi tiga kelompok, yakni ringan, sedang, dan berat. Untuk kepentingan
pendidikan,
Nuito (Yusuf, 1995: 21) mengelompokkan tunanetra kedalam dua kelompok
besar, yakni :
a. Blind atau buta menggambarkan suatu kondisi
dimana penglihatan tidak dapat diandalkan lagi
meskipun dengan alat bantu, tergantung pada fungsi-
fungsi indra lainnya.
b. Low vision (kurang lihat) menggambarkan kondisi
penglihatan dengan ketajaman yang kurang, daya
tahan rendah mempunyai kesulitan dengan tugas-
tugas utama yang menuntut fungsi penglihatan tetapi
masih dapat berfungsi dengan alat bantu atau alat
khusus namun tetap terbatas.

Kirk, SA (1989) mengklasifikasikan penyandang tunanetra berdasarkan


kemampuan penyesuaiannya dalam pemberian layanan pendidikan khusus yang
diperlukan. Klasifikasi dimaksud adalah:

a)      Kemampuan melihat sedang (moderate visual disability). Dimana pada taraf ini
mereka masih dapat melaksanakan tugas-tugas visual yang dilakukan orang
awas dengan menggunakan alat bantu khusus serta dengan bantuan cahaya yang
cukup.

b)      Ketidakmampuan melihat taraf berat (severe visual disability). Pada taraf ini,
mereka memiliki penglihatan yang kurang baik, atau kurang akurat meskipun
dengan menggunakan alat Bantu visual dan modifikasi, sehingga mereka
membutuhkan banyak dan tenaga dalam mengerjakan tugas-tugas visual.

c)      Ketidakmampuan melihat taraf sangat berat (profound visual disability). Pada
taraf ini mereka mengalami kesulitan dalam melakukan tugas-tugas visual, dan
tidak dapat melakukan tugas-tugas visual yang lebih detail seperti membaca dan
menulis. Untuk itu mereka sudah tidak dapat memanfaatkan penglihatannya
dalam pendidikan, dan mengandalkan indra perabaan dan pendengaran dalam
menempuh pendidikan.

Menurut Lowenfeld, (1955:p.219), klasifikasi anak tunanetra yang didasarkan


pada waktu terjadinya ketunanetraan, yaitu :

a)      Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yakni mereka yang sama sekali tidak
memiliki pengalaman penglihatan.

b)      Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki kesan-kesan
serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.

c)      Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; mereka telah memiliki
kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap
proses perkembangan pribadi.

d)     Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang dengan segala
kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.

e)      Tunanetra dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-
latihan penyesuaian diri.

f)       Tunanetra akibat bawaan (partial sight bawaan).

Menurut Howard dan Orlansky, klasifikasi didasarkan pada kelainan-kelainan


yang terjadi pada mata, yaitu:Kelainan ini disebabkan karena adanya kesalahan
pembiasan pada mata. Hal ini terjadi bila cahaya tidak terfokus sehingga tidak jatuh
pada retina. Peristiwa ini dapat diperbaiki dengan memberikan lensa atau lensa
kontak. Kelainan-kelainan itu, antara lain :

a)      Myopia; adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di
belakang retina. Penglihatan akan menjadi jelas kalau objek didekatkan. Untuk
membantu proses penglihatan pada penderita Myopia digunakan kacamata
koreksi dengan lensa negatif.
b)      Hyperopia; adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh di
depan retina. Penglihatan akan menjadi jelas jika objek dijauhkan. Untuk
membantu proses penglihatan pada penderita Hyperopia digunakan kacamata
koreksi dengan lensa positif.

c)      Astigmatisme; adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan


karena ketidakberesan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola
mata sehingga bayangan benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak
terfokus jatuh pada retina. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita
astigmatisme digunakan kacamata koreksi dengan lensa silindris.

Berdasarkan klasifikasi tunanetra menurut para ahli di atas maka dapat


disimpulkan bahwa tunanetra dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
tunanetra ringan, Tunanetra sedang, dan Tunanetra berat. ada yang terjadi sebelum
lahir, pada saat lahir, dan setelah lahir. Selain itu, ada yang masih memungkinkan
untuk menggunakan alat bantu dan ada yang tidak dapat lagi menggunakan alat
bantu.

c. Karakteristik Tunanetra
Widjajantin dan Hitipeuw (1995: 11-14) menyebutkan karakteristik tunanetra
sebagai berikut:
1). Rasa curiga pada orang lain
2). Perasaan mudah tersinggung
3). Ketergantungan yang berlebihan
4). Blindism
5). Rasa rendah diri
6). Suka melamun
B7). Tangan ke depan dan badan agak membungkuk
8). Fantasi yang kuat untuk mengingat suatu objek
9). Kritis
10). Pemberani
11). Perhatian terpusat (konsentrasi).
Pendapat di atas diuraikan sebagai berikut :
(a. Rasa curiga pada orang lain
Keterbatasan akan rangsang penglihatan yang diterimanya akan
menyebabkan penyandang tunanetra kurang mampu berorientasi
dengan lingkungannya. Akibatnya kemampuan mobilitasnya
terganggu.
(b. Perasaan mudah tersinggung
Perasaan tersinggung ini timbul karena pengalaman sehari-hari yang
selalu menyebabkan kecewa, curiga pada orang lain. Akibatnya murid
tunanetra menjadi emosional, sehingga segala senda gurau, tekanan
suara tertentu atau singgungan fisik yang tidak sengaja dari orang lain
dapat menyinggung perasaannya.
(c. Ketergantungan yang berlebihan
Sikap ketergantungan yang berlebihan akan sikap tunanetra yang lain.
Mereka tidak mau mengatasi kesulitan diri sendiri. Mereka cenderung
untuk mengharapkan uluran tangan dari orang lain. Hal ini terjadi
karena dua sebab. Sebab pertama datang dari diri tunanetra. Sebab
kedua datang dari luar diri tunanetra.
(d. Blindism
Blindism merupakan gerakan-gerakan yang dilakukan tunanetra tanpa
mereka sadari. Semua gerakan ini tidak terkontrol oleh tunanetra,
sehingga orang lain akan pusing bila selalu melihat gerakan-gerakan
tersebut.
(e. Rasa rendah diri
Tunanetra selalu menganggap dirinya lebih rendah dari orang lain. Hal ini
disebabkan mereka selalu merasa diabaikan oleh orang lain.
(f.Tangan ke depan dan badan agak membungkuk
Tunanetra cenderung untuk agak membungkuk badan dan tangan ke depan.
Maksudnya untuk melindungi diri dari sentuhan benda atau terantuk
benda yang tajam
(g. Suka melamun
Mata yang tidak berfungsi mengakibatkan tunanetra tidak dapat mengamati
lingkungan, maka waktu yang kosong dipergunakan untuk melamun.
(h. Fantasi yang kuat untuk mengingat suatu obyek
Fantasi ini sangat berkaitan dengan melamun. Lamunannya akan
menimbulkan pada siatu obyek yang pernah diperhatikan dengan
rabaannya. Fantasi ini cukup bermanfaat untuk perkembangan
pendidikan tunanetra.
(i. Kritis
Keterbatasan dalam penglihatan dan kekuatan dalam berfantasi
mengakibatkan tunanetra sering bertanya pada hal-hal yang belum
dimengerti sehingga mereka tidak salah konsep. Tunanetra tidak
pernah berhenti bertanya bila ia belum mengerti.
(j. Pemberani
Tunanetra akan melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh tanpa ragu-
ragu. Sikap ini terjadi bila mereka mempunyai konsep dasar yang
benar tentang gerak dan lingkungannya, sehingga kadang-kadang
menimbulkan rasa cemas dan was-was bagi orang lain yang melihat.
(k. Perhatian terpusat (terkonsentrasi)
Kebutuhan menyebabkan dalam melakukan sesuatu kegiatan akan
terpusat. Perhatian yang terpusat ini sangat mendukung kepekaan indra
yang masih ada dan normal.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa rasa curiga, ketergantungan
yang berlebihan dan blindism merupakan salah satu karakteristik murid
tunanetra
2. Kajian Tentang Orientasi dan Mobilitas

a. Pengertian Orientasi dan Mobilitas

Orang awas seringmelihat seseorang berpergian dari suatu tempat menuju ke

tempat lain dengan berjalan kaki atau berkendaraan, dan tahap tertentu yang

menunjang keberhasilan tersebut. Tidak pernah bertanya pada diri sendiri : mengapa

mereka bisa sampai ditujuan dengan tepat dan cepat tanpa menemui sesuatu rintangan

atau hambatan yang sangat sulit diatasi? Pertanyaan ini sebenanrnya tidak hanya

berlaku pada seseorang yang mengalami gangguan dalam penglihatannya

(Tunanetra), tetapi juga berlaku pada orang-orang yang berpenglihatan normal atau

awas. Dengan merenungi jawaban pertanyaan diatas maka akan terungkap bahwa

akan terungkap bahwa dalam melakukan perjalanan itu ada proses dan tahap yang

harus dilaluinya.

a. Orientasi

1. Pengertian Orientasi : orientasi adalah proses penggunaan indera-indera yang

masih berfungsi untuk menetapkan posisi diri dan hubungannya dengan objek lain di

sekitarnya “ (Irham Hosni, 1996 : 5). Pendapat tersebut menjelaskan Bahwa orientasi

adalah proses penggunaan semua indera yang masih berfungsi misalnya indera non

visual bagi tunanetra yaitu indera perabaan, pendengaran, indera penciuman, dan

indera pencecapan. Indera tersbut berfungsi untuk menetapkan posisi diri dan

hubungannya dengan objek lain.

Seseorang tunanetra untuk dapat mengorientasikan dirinya dalam lingkungan,

maka orang tunanetra tersebut harus terlebih dahulu faham betul tentang konsep
dirinya. Apabila ia dapat dengan baik mengetahui konsep dirinya, orang tunanetra

akan mudah membawa dirinya memasuki lingkungan atau membawa lingkungan ke

arah dirinya. Pengertian tersebut ditegaskan dalam kajian berikut. Dalam melakukan

perjalanan terdapat proses. Proses disini diartikan sebagai rangkaian kegiatan fisik

maupun mental yang bertujuan untuk mencapai keberhasilan dalam perjalanan dan

tempat yang dituju.

Orientasi juga terdapat proses penggunaan indera yang masih berfungsi untuk

menetapkan posisi dari hubungannya dengan obyek penting dalam lingkungannya.

Proses penggunaan indera yang masih berfungsi diartikan sebagai cara penggunaan

indera dalam menyalurkan rangsangan informasi sehingga dapat sampai dan diolah

oleh otak menjadi sesuatu informasi yang berguna dalam menetapkan posisi diri.

Informasi yang berfungsi artinya itu sesuai dengan apa yang dibutuhkan dan dapat

menerangkan tentang posisi diri seseorang.

2. Prinsip Orientasi

Sebagaimana dijelaskan bahwa orientasi adalah proses penggunaan indera

yang masih berfungsi untuk menetapkan posisi diri dalam hubungannya dengan

obyek lain di sekitarnya. Irham Hosni (1996: 7) Kegiatan orientasi akan selalu

bermuara dari ketiga pertanyaan tersebut. Untuk menjawab pertanyaan orientasi

tersebut di atas maka siswa tunanetra menggunakan inderanya yang masih berfungsi

seperti indera pendengaran, perabaan, pencecapan, kinestetik. Indera siswa tunanetra

yang masih berfungsi menyalurkan rangsangan informasi dari lingkungan ke otak dan
otak mengolahnya menjadi informasi. Informasi hasil olahan otak itulah yang

dijadikan dasar bagi siswa tunanetra untuk menjawab tentang di mana dia sekarang

berada, di mana obyek atau

tujuan itu berada, dan bagaimana langkah yang harus dilakukan sehingga bisa sampai

ke obyek atau tujuan yang dikehendaki. Sedangkan untuk tunanetra total

menggunakan indera nonvisualnya secara penuh karena sudah tidak memiliki sisa

penglihatan.

Untuk menetapkan posisi diri dalam hubungannya dengan obyek lain di

sekitarnya maka ada 3 (tiga) prinsip orientasi yang diformulasi ke dalam pertanyaan

pokok yaitu:

a. Di manakah saya sekarang berada?

b. Di manakah obyek atau tempat tujuan yang akan saya capai?

c. Bagaimana saya dapat sampai/ mencapai tempat tujuan itu?

Kegiatan orientasi akan selalu bermuara dari ketiga pertanyaan tersebut.

Untuk menjawab pertanyaan orientasi tersebut di atas maka siswa tunanetra

menggunakan inderanya yang masih berfungsi seperti indera pendengaran, perabaan,

pencecapan, kinestetik. Indera siswa tunanetra yang masih berfungsi menyalurkan

rangsangan informasi dari lingkungan ke otak dan otak mengolahnya menjadi

informasi. Informasi hasil olahan otak itulah yang dijadikan dasar bagi siswa

tunanetra untuk menjawab tentang di mana dia sekarang berada, di mana obyek atau
tujuan itu berada, dan bagaimana langkah yang harus dilakukan sehingga bisa sampai

ke obyek atau tujuan yang dikehendaki. Sedangkan untuk tunanetra total

menggunakan indera nonvisualnya secara penuh karena sudah tidak memiliki sisa

penglihatan.

3. Tujuan orientasi

Prinsip orientasi diformulasikan dalam 3 (tiga) pertanyaan dasar. Pertanyaan

dasar tersebut mencakup posisi dirinya, posisi tujuannya dan cara mencapai posisi

tujuan. Ketiga pertanyaan tersebut mencerminkan tujuan dari orientasi yaitu:

a). Mengetahui posisi dirinya.

Tanpa orientasi yang baik seorang tunanetra dalam bergerak akan menjauh

dari sasaran (tidak efektif) dan juga berpengaruh negatif terhadap fisik dan psikisnya.

Pengaruh negatif terhadap fisikdisebabkan oleh tidak tahunya posisi dirinya di

lingkungan sehingga ia

merasa tidak bebas dalam bergerak. Ketidak bebasan bergerak menyebabkan sikap

tubuh dan gaya jalan yang tidak wajar, seperti kaki diseret, kepala tunduk, dada

membungkuk dan sebagainya. Ketidaktahuan akan posisi dirinya di lingkungan

menimbulkan ketegangan pada diri seorang tunanetra. Selanjutnya ketegangan ini

akan merupakan beban psikologis dan

menyebabkan terganggunya proses berfikir yang realistis baik pada dirinya dan

lingkungannya.
b). Mengetahui posisi tujuan dan obyek di sekitarnya.

Sering ditemukan seorang tunanetra yang mempunyai kecurigaan

yang tinggi dibandingkan orang awas. Hal ini disebabkan karena ketidak tahuan

posisi dirinya di lingkungan serta ketidak tahuan reaksi lingkungan terhadap dirinya.

Misalnya seorang tunanetra yang berkomunikasi dengan orang lain, dia tidak bisa

menangkap reaksi yang dilakukan oleh gerakan tubuh seperti gerak wajah (mimik)

sewaktu berbicara atau situasi di sekitar kejadian. Keterbatasan dalam berinteraksi ini

menyebabkan sempitnya pengalaman dan miskinnya konsep, sehingga perasaan

cemburu cenderung tinggi.

c). Mengetahui cara bagaimana untuk mencapai tujuan dan obyektersebut.

Orientasi memberi arti terhadap perjalanan seorang tunanetra, sebabdi dalam

orientasi mengandung proses mencari jawaban pertanyaan tentang posisi diri, posisi

tujuan atau objek dan cara untuk sampai ke tujuan atau objek. Dalam mencari

jawaban pertanyaan tersebut terdapat proses berpikir “cognitive process”.Proses

kognitif sebetulnya adalah suatu lingkaran proses yang terangkai dan di dalamnya

terdiri dari lima proses. Kelima proses itu adalah proses presepsi, proses analisa,

proses seleksi, proses rencana, dan proses pelaksanaan. Rangkaian proses kognitif itu

digunakan oleh seorang tunanetra dalam mewujudkan ketrampilan orientasinya.


b. Mobilitas

Mobilitas merupakan suatu kemampuan, kesiapan


dan mudahnya bergerak. Bergerak di sini tidak
hanya diartikan berjalan tetapi lebih luas dari itu.
Bergerak bisa dari suatu posisi ke posisi yang lain
dari suatu tempat ke tempat yang lain. Bergerak dari
suatu posisi ke posisi lainmisalnya menggerakkan
tangan dari posisi menggenggam ke posisi tangan
terbuka atau dari posisi badan duduk ke posisi badan
berdiri. Bergerak dari suatu tempat ke tempat lain
mengandung arti adanya perpindahan. Misalnya
seorang berjalan dari ruang tamu ke ruangmakandan
sebagainya” (Irham Hosni, 1996: 12).

Dengan demikian, mobilitas merupakan kemampuan dari seseorang untuk

menggerakkan anggota tubuhnya dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu

posisi ke posisi lain, sampai seseorang itu melakukan pergerakan dari suatu tempat ke

tempat lain yang berbeda. Bagi siswa tunanetra bergerak dari satu tempat ke tempat

lain merupakan gerakan mobilitas yang diartikandalam bentuk gerakan tubuh untuk

mengembangkan potensi mobilitas yang baik. Mobilitas juga berarti kemampuan

bergerak dan berpindah dalam suatu lingkungan,karena mobilitas merupakan gerak

dan perpindahan fisik, maka kesiapan fisik sangat menentukan keterampilan orang

tunanetra dalam mobilitas.

Lebih lanjut irham Hosni (1996: 13) menjelaskan “mobilitas sebagai

kemampuan, kesiapan dan mudahnya bergerak tidak hanya kelihatan di saat ia

melakukan gerak tapi mobilitas diartikan sebagai daya dan kesiapan untuk melakukan

gerak”. Misalnya siswa tunanetra tidak bisa menggerakkan kakinya, tetapi ia punya
daya, kemampuan dan kesiapan menggunakan kokursi roda atau alat bantu lainnya

untuk bergerak.

c. Orientasi dan Mobilitas

Kemampuan mobilitas yang tinggi dalam segala aspek kehidupan merupakan

dambaan setiap individu, tidak terkecuali mereka yang menyandang ketunanetraan.

Bagi orang awas, kemampuan mobilitas ini telah dipelajari sejak lahir dan

berkembang pesat sampai mereka dewasa. Apakah bagi seorang tunanetra juga

demikian?

Penyandang tunanetra adalah seseorang yang karena sesuatu hal tidak dapat

menggunakan matanya sebagai saluran utama dalam memperoleh informasi dari

lingkungannya. Akibat ketunanetraan pada seseorang, secara otomatis ia akan

mengalami keterbatasan. Menurut Lowenfeld (1974: 34)“ blindness imposes, as a

direct result of the loss vision, three basiclimitations on an individual : (1) in the

range and variety of his experiences; (2) in his ability to get about; (3) in his

interaction with the environment”. Pengertian tersebut secara garis besar dapat

diartikan bahwa keterbatasan dasar pada individu penyandang tunanetra yakni

keterbatasan tingkat keanekaragaman pengalaman, kemampuan berpindah tempat

yangterbatas, serta dalam interaksi dengan lingkungan. Keterbatasanketerbatasan

tersebut akan berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar baik secara langsung

maupun secara tidak langsung. Dalam perkembangannya seorang anak tunanetra


mengalami hambatan atau sedikitterbelakang mobilitasnya bila dibandingkan dengan

anak awas.Untuk itu perlu diadakan penyesuaian dalam proses pembelajaran untuk

mengatasi atau meminimalisir keterbatasan penyandang tunanetra sehingga tidak

mengganggu proses belajarnya.

Orientasi banyak berhubungan dengan mental dan mobilitas berhubungan

dengan fisik, sehingga orientasi dengan mobilitas harus terintegrasi di dalam satu

kesatuan pada diri kita” (Irham Hosni, 1996 : 17). Orientasi dan mobilitas merupakan

gerakan kerjasama antara pikiran,mental, dan fisik. Ketiganya memiliki hubungan

satu sama lain. Dengan demikian apabila terdapat salah satu unsur dari ketiga tersebut

mengalami ketidak berfungsian akan menimbulkan permasalahan khususnya dalam

melakukan orientasi dan mobilitas. Kenyataannya antara orientasi dengan mobilitas

tidak bisa dipisahkan dan sangat erat hubungannya. Semua gerakan yang bertujuan di

situ ada orientasi dan disaat melakukan orientasi disaat itu pula memerlukan

mobilitas. Kedua unsur tersebut tidak dapat dipisahkan karena keduanya (orientasi

dan mobilitas) berjalan serempak dan terpadu menuju satu tujuan.

Seperti yang suda dijelaskan diatas menurut Lowenfeld (1973: 34). Akibat

ketunanetraan dimungkinkan terjadinya keterbatasan dalam hal:

a. Luas dan variasi pengalaman

b. Kemampuan bergerak

c. Mengontrol dan berinteraksi dengan lingkungan


Ketiga keterbatasan orientasi dan mobilitas khususnya keterbatasan yang

kedua dan ketiga.Penguasaan keterampilan orientasi dan mobilitas pada siswa

tunanetra memungkinkan mereka dapat berinteraksi dengan lingkungannya dan

sekaligus memfasilitasi keterampilan sosialnya.

d. Peranan Orientasi dan Mobilitas

Peranan orientasi dan mobilitas dalam pendidikan bagi siswa tunanetra adalah

menyampaikan tujuan pendidikan ke taraf fungsional. Tujuan pendidikan berhasil

mencapai taraf fungsional apabila tujuan tersebut dapat digunakan oleh siswa

tunanetra di masyarakat.

Menurut Irham hosni (1996: 44) Tujuan tersebut


dapat memandirikan siswa tunanetra hidup di
masyarakat. Jadi peranan dari orientasi dan mobilitas
dalam pendidikan bagi siswa tunanetra adalah:

1). Pertama memperlancar proses tercapainya tujuan


pendidikan

2). Kedua memfungsikan hasil pendidikan dalam


kehidupan sehari-hari, sehingga membentuk fisik
yang baik, membentuk rasa percaya diri yang kuat,
menciptakan komunikasi partisipasi dan interaksi diri
dengan masyarakat. Secara ekonomis meningkatkan
taraf hidup siswa tunanetra di masyarakat.

3). Ketiga dapat membentuk dan merubah opini dari


masyarakat terhadap siswa tunanetra. Masyarakat
yang tadinya tidak menganggap keberadaan siswa
tunanetra, sekarang terbentuktenggapan untuk
memperhitungkannya sebagai anggota masyarakat
yang aktif. Pada awalnya masyarakat mempunyai
sikap yang berlebihan berubah menjadi sikap yang
wajar.
Ketiga peranan orientasi dan mobilitas yang telah dijelaskan di atas peranan

orientasi dan mobilitas mempunyai makna atau arti bahwa siswa tunanetra akan hidup

denganmandiri di masyarakat, tenang, nyaman dan damai jika ketiga peranan tersebut

dapat terpenuhi oleh masing-masing siswa tunanetra yang sudah tinggal di

lingkungan masyarakat khususnya bagi tunanetra yang sudah berkeluarga.

B. Kerangka Pikir

Berdasarkan proses pembelajaran terutama pada kegiatan roses pembelajaran


murid tunanetra kelas II di SLB-A YAPTI Makassar mengalami permasalahan,
kondisi ini menggambarkan kemampuan siswa dalam penguasaan ruang antusias
masih sangat rendah. Adapun penyebab dari rendahnya antusias penguasaan ruang
murid yaitu karena murid kesulitan dalam berpindah tempat dari satu ke tempat ke
tempat yang lain karena kurangnya pelatihana orientasi dan mobilitas pada murid.

Oleh karena itu, untuk meningkatkan peguasaan ruang murid, diperlukan


adanya suatu upaya yang dapat meningkatkan semangat dan antusias dalam
penguasaan ruang murid tunanetra Dalam hal ini, peneliti melakukan kegiatan
peningkatan penguasaan ruang melalui pelatihan orientasi dan mobilitas pada murid
tunanetra kelas dasar III di SLB A Yapti Makassar.Peningkatan penguasaan ruang
melalui Penggunaan pelatihan orientasi dan mobilitas ini diharapkan dapat membantu
anak tunanetra dalam meningkatkan kemampuan penguasaan ruang murid tunanetra.
C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan kajian teori dan kerangka pikir di atas, maka pertanyaan dalam

penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah kemampuan penguasaan ruang murid tunanetra kelas III di

SLB A Yapti Makassar sebelum penerapan pelatihan orientasi dan

mobilitas?

2. Bagaimanakah penerapan pelatihan orientasi mobilitas untuk

meningkatkan kemampuan penguasaan ruang murid tunanetra kelas II di

SLB A Yapti Makassar.?

3. Bagaimanakah peningkatan kemampuan penguasaan ruang murid

tunanetra setelah penerapan pelatihan orientasi dan mobilitas pada murid

tunanetra kelas III di SLB A Yapti Makassar ?


III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yaitu untuk mengetahui

kemampuan penguasaan ruang murid tunanetra kelas dasar III SLB A Yapti Makassar

sebelum dan sesudah penerapan pelatihan orientasi dan mobilitas (OM).

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif, yaitu memberikan

gambaran tentang peningkatana kemampuan penguasaan ruanag melalui pelatihan

orientasi dan mobilitas (OM) pada murid tunanetra kelas dasar III di SLB A Yapti

Makassar.

B. Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional

1. Variable Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua variable yaitu kemampuan penguasaan ruang

sebagai variable terikat dan penerapan pelatihan orientasi dan mobilitas (OM) sebagai

variable bebas.

C. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian adalah seluruh murid tunanetra kelas dasar III SLB

A Yapti Makassar yang berjumlah 1 murid.

Mengingat bahwa jumlah populasi tidak memenuhi persyaratan untuk

penarikan sampel, maka keseluruhan murid tunanetera kelas dasar IIISLB A Yapti

Makassar dilibatkan. Dengan demikian yang menjadi subjek penelitian adalah semua

murid sebanyak 1orang murid.

D. Sumber Data

a. Data Primer ialah data yang berasal dari sumber asli atau pertama yang

dimaksud data primer ialah seseorang yang menjadi narasumber dalam

penelitian ini, dengan mengajukan beberapa pertanyaan dari peneliti

kepada seseorang yang dikira sangat mengetahui permasalahan yang

sedang diteliti.

b. Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia sehingga kita tinggal

mencari dan mengumpulkan. Data sekunder akan lebih muda didapatkan

dibandingkan dengan data primer, karena data sekunder tidak memerlukan

wawancara kepada narasumber seperti yang diterapkan data primer. Data

skunder sudah tersedia hingga peneliti tinggal meneliti data tersebut.

Dalam penelitian ini data sekunder berupa catatan dokumentasi, buku,

jurnal, artikel dan dokumen lainya.


2. Defenisi Operasional

Untuk memperoleh pemahaman dan kesamaan pengertian terhadap penelitian ini

maka dianggap perlu didefinisikan secara operasional. Adapun definisi operasional

terhadap peubah penelitian tersebut di atas sebagai berikut :

Kemampuan penguasaan ruang dimana bagaimana kemampuan murid dalam

menguasai ruang yang terkecil yaitu lingkungan sekolah, dimana murid diharapkan

mampu berpindah tempat dari satu tempat ke tempat yang lain melalui pelatihan

orientasi dan mobilitas.


DAFTAR PUSTAKA

Widjayanti, A. dan Hitipeuw, I. 1991. Ortopedagogik Tunanetra I. Malang :


Penerbit FIP-IKIP

Yusuf, M. 1995. Pendidikan Tunanetra Dewasa. Jakarta : Dirjen Dikti.

Juang Sunanto. (2005). Mengembangkan Potensi Anak Berkelainan


Penglihatan. Jakarta: DepartemenPendidikandanKebudayaan, Direktorat Jenderal
Pendidikan tinggi.

Irham Hosni. (1996). Buku Ajar OrientasidanMobilitas. Jakarta: Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan tinggi.

Sinring, dkk. 2016. Panduan Penulisan SKRIPSI. Makassar : Fakultas Ilmu


Pendidikan Universitas Negeri Makassar.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: CV. Alfabeta.

Sumadi Suryabrata. 2012. Metodologi Penelitian. Jakarta : Grafindo Persada.

T. Sutjihati Somantri. 2005 Psikologi Anak Luar Biasa.Bandung : PT Refika


Aditama.

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem


Pendidikan Nasional. 2009. Bandung: Rhusty Publisher.

Anda mungkin juga menyukai