(TUNANETRA)
PENDAHULUAN
B. Tujuan
Untuk mengetahui
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Tunanetra
Kata “tunanetra” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata
“tuna” yang artinya rusak atau cacat dan kata “netra” yang artinya adalah mata
atau alat penglihatan, jadi kata tunanetra adalah rusak penglihatan. Sedangkan
orang yang buta adalah orang yang rusak penglihatannya secara total. Jadi,
orang yang tunanetra belum tentumengalami kebutaan total tetapi orang yang
buta sudah pasti tunanetra. Scholl dalam Hidayat dan Suwandi (2013)
mengemukakan bahwa orang memiliki kebutaan menurut hukum legal
blindness apabila ketajaman penglihatan sentralnya 20/200 feet atau kurang
pada penglihatan terbaiknya setelah dikoreksi dengan kacamata atau
ketajamanpenglihatan sentralnya lebih dari 20/200 feet, tetapi ada kerusakan
padalantang pandangnya membentuk sudut yang tidak lebih besar dari
20derajat pada mata terbaiknya. Secara umum para medis mendefinisikan
tunanetra sebagai orang yang memiliki ketajaman sentral 20/200 feet atau
ketajaman penglihatannya hanya pada jarak 6 meter atau kurang, walaupun
dengan menggunakan kacamata, atau daerah penglihatannya sempit sehingga
jarak sudutnya tidak lebih dari 20 derajat. Sedangkan orang dengan penglihatan
normal akan mampu melihat dengan jelas sampai pada jarak 60 meter atau 200
kaki (Hidayat & Suwandi, 2013).Berdasarkan definisi yang telah disebutkan di
atas dapat disimpulkan bahwa tunanetra tergolong dalam dua kelompok, yaitu
tunanetra dengan buta total dan tunanetra yang awas atau memiliki
keterbatasan penglihatan. Selain itu, adapula seorang yang mengalami
kebutaan semenjak lahir ataupun mengalami kebutaan akibat kecelakaan,
pertambahan usia atau tidak sejak lahir.
B. Klasifikasi Ketunanetraan
Orang yang mengalami cacat netra telah diklasifikasikan menurut
beberapa sudut pandang. Pradopo (1977) mengklasifikasikan ketunanetraan
menjadi 2, yaitu:
a. Terjadinya kecacatan, yakni sejak seseorang menderita tunanetra yang dapat
digolongkan sebagai berikut:
1) Penderita tunanetra sejak lahir, yakni mereka yang sama sekali tidak
memiliki pengalaman melihat.
2) Penderita tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil, yaitu mereka yang
sudah memiliki kesan serta penglihatan visual, tetapi belum kuat dan
mudah terlupakan.
3) Penderita tunanetra pada usia sekolah atau usia remaja, kesan-kesan
pengalaman visual meninggalkan pegaruh yang mendalam terhadap
proses perkembangan pribadi.
4) Penderita tunanetra pada usia dewasa, merupakan mereka yang dengan
segala kesadaran masih mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian
diri.
5) Penderita tunanetra pada usia lanjut, yaitu mereka yang sebagian besar
sudah sulit mengalami latihan-latihan diri.
b. Berdasarkan kemampuan daya lihat, yaitu:
1) Penderita tunanetra ringan, yaitu mereka yang mempunyai kelainan atau
kekurangan daya penglihatan.
2) Penderita tunanetra setengah berat, yaitu mereka yang mengalami
sebagian daya penglihatan.
3) Penderita tunanetra berat, yaitu mereka yang sama sekali tidak dapat
melihat atau yang sering disebut buta.
D. Batasan karakteristik
1. Tunanetra
a. Fisik
Keadaan fisik anak tunanetra tidak berbeda dengan anak sebaya lainnya.
Perbedaan nyata diantara mereka hanya terdapat pada organ
penglihatannya.
1) Mata juling
2) Sering berkedip
3) Menyipitkan mata
5) Mata infeksi
b. Perilaku
1) Ada beberapa gejala tingkah laku yang tampak sebagai petunjuk dalam
mengenal anak yang mengalami gangguan penglihatan secara dini:
(a) Mata gatal, panas atau merasa ingin menggaruk karena gatal.
c. Psikhis
1) Mental/intelektual
Intelektual atau kecerdasan anak tunanetra umumnya tidak berbeda
jauh dengan anak normal/awas. Kecenderungan IQ anak tunanetra
ada pada batas atas sampai batas bawah, jadi ada anak yang sangat
pintar, cukup pintar dan ada yang kurang pintar. Intelegensi mereka
lengkap yakni memiliki kemampuan dedikasi, analogi, asosiasi dan
sebagainya. Mereka juga punya emosi negatif dan positif, seperti
sedih, gembira, punya rasa benci, kecewa, gelisah, bahagia dan
sebagainya.
2) Sosial
Hubungan sosial yang pertama terjadi dengan anak adalah hubungan
dengan ibu, ayah, dan anggota keluarga lain yang ada di lingkungan
keluarga. Kadang kala ada orang tua dan anggota keluarga yang tidak
siap menerima kehadiran anak tunanetra, sehingga muncul
ketegangan, gelisah di antara keluarga. Akibat dari keterbatasan
rangsangan visual untuk menerima perlakuan orang lain terhadap
dirinya.
Tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan kepribadian
dengan timbulnya beberapa masalah antara lain:
(1) Curiga terhadap orang lain
Akibat dari keterbatasan rangsangan visual, anak tunanetra
kurang mampu berorientasi dengan llingkungan, sehingga
kemampuan mobilitaspun akan terganggu. Sikap berhati-hati
yang berlebihan dapat berkembang menjadi sifat curiga terhadap
orang lain.
Untuk mengurangi rasa kecewa akibat keterbatasan kemampuan
bergerak dan berbuat, maka latihan-latihan orientasi dan
mobilitas, upaya mempertajam fungsi indera lainnya akan
membantu anak tunanetra dalam menumbuhkan sikap disiplin dan
rasa percaya diri.
(2) Perasaan mudah tersinggung
Perasaan mudah tersinggung dapat disebabkan oleh terbatasnya
rangsangan visual yang diterima. Pengalaman sehari-hari yang
selalu menumbuhkan kecewa menjadikan seorang tunanetra yang
emosional.
(3) Ketergantungan yang berlebihan
Ketergantungan ialah suatu sikap tidak mau mengatasi kesulitan
diri sendiri, cenderung mengharapkan pertolongan orang lain.
Anak tunanetra harus diberi kesempatan untuk menolong diri
sendiri, berbuat dan bertanggung jawab. Kegiatan sederhana
seperti makan, minum, mandi, berpakaian, dibiasakan dilakukan
sendiri sejak kecil.
2. Low Vision
Beberapa ciri yang tampak pada anak low vision antara lain:
Kognitif adalah persepsi individu tentang orang lain dan obyek-obyek yang
diorganisasikannya secara selektif. Respon individu terhadap orang dan
obyek tergantung pada bagaimana orang dan obyek tersebut tampak dalam
dunia kognitifnya, dan dunia setiap orang itu bersifat individual. arena
tunanetra harus menggantikan fungsi indera penglihatan dengan indera-
indera lainnya untuk mempersepsi lingkungannya dan banyak di antara
mereka tidak pernah mempunyai pengalaman visual, sehingga konsep
tentang dunia ini mungkin berbeda dari konsep orang awas pada umumnya.
Perkembangan psikomotor sangat menentukan perkembangan kognitif dan
memperluas kemampuan mental anak-anak. Eksplorasi dengan kegiatan
motorik terhadap benda-benda di sekitar anak sangat merangsang
perkembangan persepsi dan persepsi selanjutnya akan membantu
membentuk konsep-konsep. Melalui konsep-konsep inilah kemudian
pengetahuan anak tentang lingkungan dapat terbangun. Agar konsep-konsep
menjadi bermakna, konsep harus dibangun berdasarkan pengalaman
sensoris. Dengan hilangnya penglihatan, anak tunanetra mengalami
hambatan dalam perkembangan kognitif khususnya dalam hal stimulasi
sensoris dan perkembangan pembentukan konsep-konsep.