Anda di halaman 1dari 12

TUGAS KEPERAWATAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

(TUNANETRA)

Disusun oleh : Kelompok 2

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BHAKTI MANDALA HUSADA
Jln. Cut Nyak Dhien No. 16, Kalisapu, Slawi, Kab. Tegal
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tunanetra merupakan suatu kondisi tidak berfungsinya indera penglihatan


pada seseorang secara sebagian (low vision) atau secara keseluruhan (totally
blind). Hal ini dapat terjadi sebelum lahir, saat lahir dan setelah lahir. Faktor
penyebab ketunanetraan pada masa sebelum kelahiran (pre-natal) sangat erat
hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam
kandungan. Penyebab ketunatetraan pada masa sejak atau setelah kelahiran
(post-natal) diantaranya kerusakan pada mata atau syaraf mata pada waktu
persalinan akibat beturan benda keras.

Tujuan dari dilakukannya pendidikan untuk tunanetra bukan dari


kemampuan kognitif, melainkan untuk melatih kemandirian anak tunanetra.
Setiap tunanetra dituntut untuk dapat hidup mandiri. Mandiri di sini berarti ia
bisa mengurus segala keperluan dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain.
Mereka harus dapat hidup mandiri supaya mereka dapat bersosialisasi dan
dapat menciptakan kehidupan yang layak seperti orang normal pada umumnya.
Maka dari itu, tunanetra harus mendapatkan pendidikan yang layak.

B. Tujuan

Untuk mengetahui
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Tunanetra
Kata “tunanetra” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata
“tuna” yang artinya rusak atau cacat dan kata “netra” yang artinya adalah mata
atau alat penglihatan, jadi kata tunanetra adalah rusak penglihatan. Sedangkan
orang yang buta adalah orang yang rusak penglihatannya secara total. Jadi,
orang yang tunanetra belum tentumengalami kebutaan total tetapi orang yang
buta sudah pasti tunanetra. Scholl dalam Hidayat dan Suwandi (2013)
mengemukakan bahwa orang memiliki kebutaan menurut hukum legal
blindness apabila ketajaman penglihatan sentralnya 20/200 feet atau kurang
pada penglihatan terbaiknya setelah dikoreksi dengan kacamata atau
ketajamanpenglihatan sentralnya lebih dari 20/200 feet, tetapi ada kerusakan
padalantang pandangnya membentuk sudut yang tidak lebih besar dari
20derajat pada mata terbaiknya. Secara umum para medis mendefinisikan
tunanetra sebagai orang yang memiliki ketajaman sentral 20/200 feet atau
ketajaman penglihatannya hanya pada jarak 6 meter atau kurang, walaupun
dengan menggunakan kacamata, atau daerah penglihatannya sempit sehingga
jarak sudutnya tidak lebih dari 20 derajat. Sedangkan orang dengan penglihatan
normal akan mampu melihat dengan jelas sampai pada jarak 60 meter atau 200
kaki (Hidayat & Suwandi, 2013).Berdasarkan definisi yang telah disebutkan di
atas dapat disimpulkan bahwa tunanetra tergolong dalam dua kelompok, yaitu
tunanetra dengan buta total dan tunanetra yang awas atau memiliki
keterbatasan penglihatan. Selain itu, adapula seorang yang mengalami
kebutaan semenjak lahir ataupun mengalami kebutaan akibat kecelakaan,
pertambahan usia atau tidak sejak lahir.
B. Klasifikasi Ketunanetraan
Orang yang mengalami cacat netra telah diklasifikasikan menurut
beberapa sudut pandang. Pradopo (1977) mengklasifikasikan ketunanetraan
menjadi 2, yaitu:
a. Terjadinya kecacatan, yakni sejak seseorang menderita tunanetra yang dapat
digolongkan sebagai berikut:
1) Penderita tunanetra sejak lahir, yakni mereka yang sama sekali tidak
memiliki pengalaman melihat.
2) Penderita tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil, yaitu mereka yang
sudah memiliki kesan serta penglihatan visual, tetapi belum kuat dan
mudah terlupakan.
3) Penderita tunanetra pada usia sekolah atau usia remaja, kesan-kesan
pengalaman visual meninggalkan pegaruh yang mendalam terhadap
proses perkembangan pribadi.
4) Penderita tunanetra pada usia dewasa, merupakan mereka yang dengan
segala kesadaran masih mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian
diri.
5) Penderita tunanetra pada usia lanjut, yaitu mereka yang sebagian besar
sudah sulit mengalami latihan-latihan diri.
b. Berdasarkan kemampuan daya lihat, yaitu:
1) Penderita tunanetra ringan, yaitu mereka yang mempunyai kelainan atau
kekurangan daya penglihatan.
2) Penderita tunanetra setengah berat, yaitu mereka yang mengalami
sebagian daya penglihatan.
3) Penderita tunanetra berat, yaitu mereka yang sama sekali tidak dapat
melihat atau yang sering disebut buta.

C. Faktor Penyebab Tunanetra

Faktor penyebab ketunanetraan dapat terjadi berdasarkan waktu kecacatan,


ketunanetraan bisa terjadi pada saat kandungan. Keadaan ini terjadi dengan
penyebab utama faktor keturunan, semisal terjadi perkawinan antar keluarga
dekat atau sedarah dan perkawinan antar tunanetra. Selain itu, ketunanetraan
didalam kandungan bisa juga terjadi karena penyakit seperti vitrus
rubella/campak jerman, glaucoma, retinopati diabetes, retinoblastoma dan
kekurangan vitamin A (Hidayat & Suwandi, 2013).

Sedangkan Pradopo (1977) menyatakan bahwa terdapat dua faktor yang


menyebabkan seseorang menderita tunanetra, antara lain:

a. Faktor endogen, merupakan faktor yang sangat erat hubungannya dengan


masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan atau
yang disebut juga dengan faktor genetik. Adapun ciri yang disebabkan oleh
faktor keturunan adalah bola mata yang normal tetapi tidak dapat menerima
energi positif sinar atau cahaya, yang kadang-kadang seluruh bola matanya
tertutup oleh selaput putih atau keruh.

b. Faktor eksogen atau faktor luar, seperti:

1) Penyakit yaitu virus rubella yang menjadikan seseorang mengalami


campak pada tingkat akut yang ditandai dengan kondisi panas yang
meninggi akibat penyerangan virus yang lama kelamaan akan
mengganggu saraf penglihatan fungsi indera yang akan menjadi
permanen, dan ada juga yang diakibatkan oleh kuman syphilis,
degenerasi atau perapuhan pada lensa mata yang mengakibatkan
pandangan mata menjadi mengeruh.

2) Kecelakaan yaitu kecelakaan fisik akibat tabrakan atau jatuh yang


berakibat langsung yang merusak saraf netra atau akibat rusaknya saraf
tubuh yang lain atau saraf tulang belakang yang berkaitan erat dengan
fungsi saraf netra, akibat terkena radiasi ultra violet atau gas beracun
yanga dapat menyebabkan seseorang kehilangan fungsi mata untuk
melihat, dan dari segi kejiwaan yaitu stress psikis akibat perasaan
tertekan, kesedihan hati yang amat mendalam yang mengakibatkan
seseorang mengalami tunanetra permanen.

D. Batasan karakteristik

1. Tunanetra

a. Fisik

Keadaan fisik anak tunanetra tidak berbeda dengan anak sebaya lainnya.
Perbedaan nyata diantara mereka hanya terdapat pada organ
penglihatannya.

Gejala tunanetra yang dapat diamati dari segi fisik diantaranya:

1) Mata juling

2) Sering berkedip

3) Menyipitkan mata

4) (kelopak) mata merah

5) Mata infeksi

6) Gerakan mata tak beraturan dan cepat

7) Mata selalu berair (mengeluarkan air mata)

8) Pembengkakan pada kulit tempat tumbuh bulu mata.

b. Perilaku

1) Ada beberapa gejala tingkah laku yang tampak sebagai petunjuk dalam
mengenal anak yang mengalami gangguan penglihatan secara dini:

1. Menggosok mata secara berlebihan


2. Menutup atau melindungi mata sebelah, memiringkan kepala
atau mencondongkan kepala ke depan.
3. Sukar membaca atau dalam mengerjakan pekerjaan lain yang
sangat memerlukan penggunaan mata.
4. Berkedip lebih banyak daripada biasanya atau lekas marah
apabila mengerjakan suatu pekerjaan.
5. Membawa bukunya ke dekat mata.
6. Tidak dapat melihat benda-benda yang agak jauh.
7. Menyipitkan mata atau mengkerutkan dahi.
8. Tidak tertarik perhatiannya pada objek penglihatan atau pada
tugas-tugas yang memerlukan penglihatan seperti melihat
gambar atau membaca.
9. Janggal dalam bermain yang memerlukan kerjasama tangan dan
mata.
10. Menghindar dari tugas-tugas yang memerlukan penglihatan atau
memerlukan penglihatan jarak jauh.

2) Penjelasan lainnya berdasarkan adanya beberapa keluhan seperti:

(a) Mata gatal, panas atau merasa ingin menggaruk karena gatal.

(b) Banyak mengeluh tentang ketidakmampuan dalam melihat.

(c) Merasa pusing atau sakit kepala.

(d) Kabur atau penglihatan ganda.

c. Psikhis

Secara psikhis anak tunanetra dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Mental/intelektual
Intelektual atau kecerdasan anak tunanetra umumnya tidak berbeda
jauh dengan anak normal/awas. Kecenderungan IQ anak tunanetra
ada pada batas atas sampai batas bawah, jadi ada anak yang sangat
pintar, cukup pintar dan ada yang kurang pintar. Intelegensi mereka
lengkap yakni memiliki kemampuan dedikasi, analogi, asosiasi dan
sebagainya. Mereka juga punya emosi negatif dan positif, seperti
sedih, gembira, punya rasa benci, kecewa, gelisah, bahagia dan
sebagainya.
2) Sosial
Hubungan sosial yang pertama terjadi dengan anak adalah hubungan
dengan ibu, ayah, dan anggota keluarga lain yang ada di lingkungan
keluarga. Kadang kala ada orang tua dan anggota keluarga yang tidak
siap menerima kehadiran anak tunanetra, sehingga muncul
ketegangan, gelisah di antara keluarga. Akibat dari keterbatasan
rangsangan visual untuk menerima perlakuan orang lain terhadap
dirinya.
Tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan kepribadian
dengan timbulnya beberapa masalah antara lain:
(1) Curiga terhadap orang lain
Akibat dari keterbatasan rangsangan visual, anak tunanetra
kurang mampu berorientasi dengan llingkungan, sehingga
kemampuan mobilitaspun akan terganggu. Sikap berhati-hati
yang berlebihan dapat berkembang menjadi sifat curiga terhadap
orang lain.
Untuk mengurangi rasa kecewa akibat keterbatasan kemampuan
bergerak dan berbuat, maka latihan-latihan orientasi dan
mobilitas, upaya mempertajam fungsi indera lainnya akan
membantu anak tunanetra dalam menumbuhkan sikap disiplin dan
rasa percaya diri.
(2) Perasaan mudah tersinggung
Perasaan mudah tersinggung dapat disebabkan oleh terbatasnya
rangsangan visual yang diterima. Pengalaman sehari-hari yang
selalu menumbuhkan kecewa menjadikan seorang tunanetra yang
emosional.
(3) Ketergantungan yang berlebihan
Ketergantungan ialah suatu sikap tidak mau mengatasi kesulitan
diri sendiri, cenderung mengharapkan pertolongan orang lain.
Anak tunanetra harus diberi kesempatan untuk menolong diri
sendiri, berbuat dan bertanggung jawab. Kegiatan sederhana
seperti makan, minum, mandi, berpakaian, dibiasakan dilakukan
sendiri sejak kecil.

2. Low Vision

Beberapa ciri yang tampak pada anak low vision antara lain:

1. Menulis dan membaca dengan jarak yang sangat dekat


2. Hanya dapat membaca huruf yang berukuran besar.
3. Mata tampak lain; terlihat putih di tengah mata (katarak) atau kornea
(bagian bening di depan mata) terlihat berkabut.
4. Terlihat tidak menatap lurus ke depan.
5. Memicingkan mata atau mengerutkan kening terutama di cahaya terang
atau saat mencoba melihat sesuatu.
6. Lebih sulit melihat pada malam hari daripada siang hari.
7. Pernah menjalani operasi mata dan atau memakai kacamata yang sangat
tebal tetapi masih tidak dapat melihat dengan jelas.
E. Dampak Ketunanetraan

Penglihatan merupakan salah satu saluran informasi yang sangat penting


bagi manusia selain pendengaran, pengecap, pembau, dan perabaan.
Pengalaman manusia kira-kira 80 persen dibentuk berdasarkan informasi dari
penglihatan. Di bandingkan dengan indera yang lain indera penglihatan
mempunyai jangkauan yang lebih luas. Pada saat seseorang melihat sebuah
mobil maka ada banyak informasi yang sekaligus diperoleh seperti misalnya
warna mobil, ukuran mobil, bentuk mobil, dan lain-lain termasuk detail bagian-
bagiannya. Informasi semacam itu tidak mudah diperoleh dengan indera selain
penglihatan. Kehilangan indera penglihatan berarti kehilangan saluran
informasi visual. Sebagai akibatnya penyandang tunanetra akan kekurangan
atau kehilangan informasi yang bersifat visual. Seseorang yang kehilangan atau
mengalami kelainan penglihatan, sebagai kompensasi, harus berupaya untuk
meningkatkan indera lain yang masih berfungsi. Seberapa jauh dampak
kehilangan atau kelainan penglihatan terhadap kemampuan seseorang
tergantung pada banyak faktor misalnya kapan (sebelum atau sesudah lahir,
masa balita atau sesudah lima tahun) terjadinya kelainan, berat ringannya
kelainan, jenis kelainan dan lain-lain. Seseorang yang kehilangan penglihatan
sebelum lahir sering sampai usia lima tahun pengalaman visualnya sangat
sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Sedangkan yang kehilangan
penglihatan setelah usia lima tahun atau lebih dewasa biasanya masih memiliki
pengalaman visual yang lebih baik tetapi memiliki dampak yang lebih buruk
terhadap penerimaan diri. Ketunanetraan memiliki dampak baik secara
langsung maupun tidak langsung terhadap penyandangnya. Dampak secara
langsung menyebabkan penyandang tunanetra tidak dapat menggunakan
penglihatan dalam kegiatan sehari-hari seperti membaca dan menulis. Sebagai
gantinya mereka harus menggunakan indera perabaan untuk membaca dan
menulis. Sedangkan dampak secara tidak langsung sangat tergantung pada
banyak faktor, misalnya seberapa berat ketunanetraan yang dialami, kapan
ketunanetraan terjadi, serta bagaimana sikap keluarga dan masyarakat terhadap
penyandang tunanetra tersebut. Dampak tidak langsung inilah yang justru
sering kali menimbulkan dampak negatif. Hilangnya indera penglihatan
menurut Lowenfeld (1973:34) menimbulkan tiga keterbatasan, yaitu
keterbatasan dalam hal luas dan variasi pengalaman, keterbatasan dalam hal
bergerak, dan keterbatasan dalam hal interaksi dengan lingkungan. Dengan
menyadari akanketerbatasan tersebut, para pendidikan atau orang tua
diharapkan dapat memberikan intervensi sedini mungkin untuk mengurangi
keterbatasan tersebut.
Di samping itu, dampak ketunanetraan dapat terjadi pada beberapa aspek,
seperti aspek psikologis, aspek fisik atau aspek emosi dan sosial. Berikut ini
akan dibahas dampak ketunanetraan terhadap perkembangan dan pertumbuhan
berbagai aspek.

1. Dampak terhadap Perkembangan Motorik


Ketunanetraan itu sendiri tidak mempengaruhi secara langsung terhadap
perkembangan dan pertumbuhan fisik yang menyebabkan anak tunanetra
mengalami hambatan atau keterlambatan. Perkembangan motorik anak
tunanetra pada bulan-bulan awal tidak berbeda dengan anak awas (Scholl,
1986: 73). Tetapi perkembangan selanjutnya perkembangan motorik anak
tunanetra tampak berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh kurangnya stimulasi
visual, ketidakmampuan menirukan orang lain, dan pengaruh faktor
lingkungan. Pada anak-anak yang awas (melihat) kegiatan motorik sangat
dipengaruhi oleh rangsangan visual yang ada di sekitar anak. Ketika anak
melihat benda yang menarik perhatiannya timbul keinginan untuk meraih
benda tersebut. Dengan kegiatan semacam ini yang terjadi terus menerus
dengan sendirinya memberikan dampak positif terhadap perkembangan
motoric Sebaliknya, pada anak tunanetra karena tidak dapat melihat benda
di sekitarnya sehingga anak kehilangan stimulasi visual yang dapat
merangsang anak untuk melakukan kegiatan motorik. Akibat hilangnya
stimulasi visual, anak tunanetra kehilangan motivasi bergerak dan sering
kali mengalami hambatan keterampilan fisik khususnya dalam
menggunakan tubuhnya seperti koordinasi tangan dan motorik halus untuk
mengenal lingkungan. Tidak seperti anak awas, anak tunanetra tidak dapat
belajar melakukan gerakan atau aktivitas motorik dengan cara meniru
orang lain. Anak-anak awas sering kali belajar melalui meniru dan melihat
orang lain yang lebih dewasa di sepanjang hidupnya. Banyak anak
tunanetra mengalami keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan fisik
karena faktor lingkungan. Orang tua sering memberikan perlindungan yang
berlebihan dan kurang memberi kesempatan pada anak tunanetra untuk
belajar bergerak atau melakukan aktivitas motorik dan menggunakan
tubuhnya untuk mengenal lingkungannya. Orang tua sering salah mengerti
bahwa kalau tidak melindungi anak dianggap tidak menyayangi anaknya.

2. Dampak terhadap Perkembangan Kognitif

Kognitif adalah persepsi individu tentang orang lain dan obyek-obyek yang
diorganisasikannya secara selektif. Respon individu terhadap orang dan
obyek tergantung pada bagaimana orang dan obyek tersebut tampak dalam
dunia kognitifnya, dan dunia setiap orang itu bersifat individual. arena
tunanetra harus menggantikan fungsi indera penglihatan dengan indera-
indera lainnya untuk mempersepsi lingkungannya dan banyak di antara
mereka tidak pernah mempunyai pengalaman visual, sehingga konsep
tentang dunia ini mungkin berbeda dari konsep orang awas pada umumnya.
Perkembangan psikomotor sangat menentukan perkembangan kognitif dan
memperluas kemampuan mental anak-anak. Eksplorasi dengan kegiatan
motorik terhadap benda-benda di sekitar anak sangat merangsang
perkembangan persepsi dan persepsi selanjutnya akan membantu
membentuk konsep-konsep. Melalui konsep-konsep inilah kemudian
pengetahuan anak tentang lingkungan dapat terbangun. Agar konsep-konsep
menjadi bermakna, konsep harus dibangun berdasarkan pengalaman
sensoris. Dengan hilangnya penglihatan, anak tunanetra mengalami
hambatan dalam perkembangan kognitif khususnya dalam hal stimulasi
sensoris dan perkembangan pembentukan konsep-konsep.

3. Dampak terhadap Perkembangan Bahasa Pada umumnya para ahli yakin


bahwa kehilangan penglihatan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
kemampuan memahami dan menggunakan bahasa, dan secara umum
mereka berkesimpulan bahwa tidak terdapat hambatan dalam bahasa anak
tunanetra. Merek mengacu pada banyak studi yang menunjukkan bahwa
siswa-siswa tunanetra tidak berbeda dari siswa-siswa yang awas dalam hasil
tes inteligensi verbal. Mereka juga mengemukakan bahwa berbagai studi
yang membandingkan anak-anak tunanetra dan awas tidak menemukan
perbedaan dalam aspek-aspek utama perkembangan bahasa. Karena persepsi
auditif lebih berperan daripada persepsi visual sebagai media belajar bahasa,
maka tidaklah mengherankan bila berbagai studi telah menemukan bahwa
anak tunanetra relatif tidak terhambat dalam fungsi bahasanya. Banyak anak
tunanetra bahkan lebih termotivasi daripada anak awas untuk menggunakan
bahasa karena bahasa merupakan saluran utama komunikasinya dengan
orang lain. Seperti halnya anak-anak awas, anak-anak tunanetra memahami
makna kata-kata yang dipelajarinya melalui konteksnya dan penggunaannya
di dalam bahasa. Sebagaimana anak awas, anak tunanetra belajar kata-kata
yang didengarnya meskipun kata-kata itu tidak terkait dengan pengalaman
nyata dan tak bermakna baginya. Kalaupun anak tunanetra mengalami
hambatan dalam perkembangan bahasanya, hal itu bukan semata-mata
akibat langsung dari ketunanetraannya melainkan terkait dengan cara orang
lain memperlakukannya. Ketunanetraan tidak menghambat pemrosesan
informasi ataupun pemahaman kaidah-kaidah bahasa.

4. Dampak terhadap Keterampilan Sosial Orang tua mempunyai peran penting


dalam perkembangan sosial anak. Perlakuan orang tua terhadap anaknya
yang tunanetra sangat ditentukan oleh sikapnya terhadap ketunanetraan itu,
dan emosi merupakan satu komponen dari sikap di samping dua komponen
lainnya yaitu kognisi dan kecenderungan tindakan. Ketunanetraan yang
terjadi pada seorang anak selalu menimbulkan masalah emosional pada
orang tuanya. Ayah dan ibunya akan merasa kecewa, sedih, malu dan
berbagai bentuk emosi lainnya. Mereka mungkin akan merasa bersalah atau
saling menyalahkan, mungkin akan diliputi oleh rasa marah yang dapat
meledak dalam berbagai cara. Persoalan seperti ini terjadi pada banyak
keluarga yang mempunyai anak cacat. Pada umumnya orang tua akan
mengalami masa duka karena anaknya yang cacat itu dalam tiga tahap;
tahap penolakan, tahap penyesalan, dan akhirnya tahap penerimaan,
meskipun untuk orang tua tertentu penerimaan itu mungkin akan tercapai
setelah bertahun-tahun. Proses dukacita ini merupakan proses yang umum
terjadi pada orang tua anak cacat. Sikap orang tua tersebut akan berpengaruh
terhadap hubungan di antara mereka (ayah dan ibu) dan hubungan mereka
dengan anak itu, dan hubungan tersebut pada gilirannya akan
mempengaruhi perkembangan emosi dan sosial anak.

5. Dampak terhadap Mobilitas Kemampuan yang paling terpengaruh oleh


ketunanetraan untuk penyesuaian sosial adalah kemampuan mobilitas yaitu
keterampilan untuk bergerak secara leluasa di dalam lingkungannya.
Keterampilan mobilitas ini sangat terkait dengan kemampuan orientasi,
yaitu kemampuan untuk memahami hubungan lokasi antara satu obyek
dengan obyek lainnya di dalam lingkungan (Hill dan Ponder,1976).Para
pakar dalam bidang orientasi dan mobilitas telah merumuskan dua cara yang
dapat ditempuh oleh individu tunanetra untuk memproses informasi tentang
lingkungannya, yaitu dengan metode urutan (sequential mode) yang
menggambarkan titik-titik di dalam lingkungan sebagai rute yang berurutan,
atau dengan metode peta kognitif yang memberikan gambaran topografis
tentang hubungan secara umum antara berbagai titik di dalam lingkungan
(Dodds, 1988).

F. Kondisi Psikologis Tunanetra

Hilangnya fungsi penglihatan akan menimbulkan keterbatasan tunanetra


untuk menjelajahi semua isi benda maupun orang lain yang berada di
lingkungan sekitarnya. Seorang tunanetra akan selalu menunggu aksi dari
benda atau orang lain sebelum melakukan reaksi (Hidayat &Suwandi, 2013).
Jadi mereka akan bergerak dan merespon apabila ada stimulus terlebih dahulu
yang datang padanya. Dengan demikian, kemampuan inisiatif untuk melakukan
kegiatan cenderung rendah atau mengkin tidak ada sama sekali. Kondisi seperti
ini bahkan dapat mengakibatkan seorang tunanetra kehilangan kemampuan
untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan sosial. Ketunanetraan
seringkali menimbulkan rasa ketidakberdayaan pada orang yang
mengalaminya. Menurut Abramson, Metalsky & Alloy,perasaan
ketidakberdayaan ini akan menimbulkan rasa keputusasaan dan depresi.
Depresi tersebut ditandai dengan munculnya peristiwa kehidupan yang negatif
yang dipersepsi sebagai bersifat global, permanen, dan diluar kontrol individu
(Nawawi, A., Tarsidi, D., Hosni, I., 2010).Tunanetra memandang dirinya
sebagai seseorang yang tidak berdaya dan inkompeten, ditambah dengan
perasaan cemas dan depresi. Hal ini akan mengakibatkan kehilangan rasa harga
diri, karena tunanetra tahu bahwa untuk memiliki kehidupan yang berkualitas
harus berbuat sesuatu untuk memperoleh apa yang diinginkan. Sedangkan
apabila keadaan ini diperparah oleh sikap negatif masyarakat terhadap
kecacatan tunanetra, maka individu yang bersangkutan akan menjadi putus asa
(Nawawi, A., Tarsidi, D., Hosni, I., 2010).F. Penyesuaian Diri
KetunanetraanKeterampilan orientasi dan mobilitas berpengaruh positif
terhadap perkembangan kehidupan tunanetra, baik fisik, fisiologis, psikologis,
sosial maupun ekonomi (Hidayat & Suwandi, 2013). Orientasi merupakan
penggunaan organ indera yang masih berfungsi dalam menentukan posisi diri,
dengan kata lain orientasi merujuk pada kemampuan seseorang untuk
mengetahui dan menyadari keadaan atau posisi dirinya dalam suatu lingkungan
dan hubungannya dengan obyek-obyek lain yang ada dalam lingkungan
tersebut. Sedangkan mobilitas yaitu kemampuan sertakesanggupan seorang
tunanetra untuk bergerak atau berpindah tempat secara mudah, cepat, tepat dan
selamat dengan teknik yang efektif. Orientasi dan mobilias secara fisik
tunanetra akan memiliki bentuk tubuh yang baik, secara fisiologi anggota
tubuhnya akan bekerja dengan baik dan postur tubuh yang lebih tertata sesuai
dengan fungsi dan tugas tubuh itu tersendiri. Secara psikologis, keterampilan
orientasi dan mobilitas akan berpengaruh terhadap peningkatan harga diri dan
kepercayaan diri. Dari segi sosial akan meningkatkan kemampuan diri untuk
berinteraksi dengan lingkungan sosial serta dengan mudah dapat diterima oleh
lingkungan. Sedangkan dari segi ekonomi ia akan lebih mudah memperoleh
pekerjaan sebagai bekal dalam kehidupannya.

Anda mungkin juga menyukai