8 years ago
Advertisements
Pada akhir abad ke-19 bentuk layanan pendidikan bagi ABK bergeser dari system segregasi
di sekolah-sekolah khusus kepada munculnya kelas-kelas khusus di sekolah biasa. Ini
merupakan suatu upaya menghindarkan isolasi ABK dari teman-temannya yang normal.
Bentuk kelas ini semakin memasyarakat tidak hanya di Eropa, tetapi juga di Amerika Serikat
dan di negara-negara lainnya.
Pada tahun 1960-an bentuk layanan pendidikan khusus yang terpisah dari pendidikan anak
normal (segregasi) mulai dipertanyakan keefektifannya. Beberapa peneliti melihat
kemanfaatan penyelenggaraan kelas khusus dengan membandingkannya dengan anak-anak
tunagrahita ringan dan gangguan emosi ringan yang tetap berada di kelas biasa tanpa layanan
khusus. Kedua kelompok tersebut ternyata tidak berbeda, berarti penyediaan layanan di
kelas-kelas khusus tidak membawa manfaat sama sekali. Sunardi (1995) mengemukakan
bahwa tulisan yang sangat berpengaruh sampai sekarang adalah tulisan Dunn (1968). Dengan
mengutip hasil berbagai penelitian, Dunn menekankan bahwa penyelenggaraan kelas khusus
bagi anak tunagrahita ringan tidak dapat dipertanggungjawabkan dan harus dihapuskan.
Meskipun penelitian yang dikutip banyak mendapat kritik, tulisan tersebut sangat
berpengaruh terhadap perkembangan system layanan PLB selanjutnya, terutama dorongan
agar ABK dapat belajar di kelas biasa bersama teman sebayanya yang normal. Salah satu
hasil dari pengembangan ini adalah satu model yang memungkinkan seorang anak untuk
tetap berada di kelas biasa sebagian waktu belajarnya dan menerima layanan khusus sesuai
dengan kebutuhannya. Konsep inilah yang kemudian dikenal dengan mainstreaming.
Puncak kemenangan ABK untuk memperoleh layanan pendidikan yang layak adalah dengan
diundangkannya Public Law 94-142 pada tahun 1975. Pokok-pokok yang termuat dalam
undang-undang tersebut kemudian menjadi prinsip utama konsep mainstreaming , yaitu:
1. Zero reject (tidak ada seorang ABK pun yang ditolak untuk belajar di sekolah umum)
2. Nondiscriminatory evaluation (evaluasi yang nondiskriminatif)
3. Individualized educational programs (program pendidikan individual)
4. Least restrictive environment (lingkungan yang paling bebas)
5. Parent participation (keikutsertaan orang tua)
Berbeda dengan perkembangan PLB di Indonesia. Dalam rangka meningkatkan kualitas
sumber daya manusia yang produktif dan mampu berpartisipasi aktif dalam pembangunan,
pemerintah Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) telah mengambil beberapa
langkah maju dalam upaya mengusahakan layanan pendidikan bagi ABK. Hal ini dilakukan
demi tercapainya usaha perluasan dan pemerataan kesempatan belajar yang berlaku bagi
semua anak usia sekolah termasuk ABK. Langkah nyata ini diawali dengan mengadakan
kerjasama dengan Helen Keller International Incorporated (HKI,Inc) di New York USA,
yang perjanjian kerjasamanya ditandatangani pada tanggal 8 September 1977 berupa
Perintisan Pelaksanaan Program Pendidikan Integrasi bagi Anak Tunanetra. Untuk ini telah
ditatar 33 orang guru lulusan SGPLB untuk menjadi Guru Pembimbing Khusus (GPK) bagi
anak tunanetra di Sekolah Integrasi (tahun 1979-1980).
Perintisan/ uji cobapun dilakukan oleh Balitbang Dikbud pada tahun 1984 di beberapa
sekolah umum di kota besar di Indonesia (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya)
untuk menerima ABK, terutama anak tunanetra dengan potensi akademik normal. Uji coba
ini dinyatakan berhasil, dan pada tahun yang sama pula disusunlah Buku Petunjuk Teknis
Pendidikan Integrasi di Sekolah Dasar (dalam rangka penuntasan anak usia 7-12 menuju
pelaksanaan wajib belajar) kemudian disusul oleh SK Mendikbud nomor 022/U/1986 tanggal
4 Januari 1986 tentang Pendidikan Integrasi bagi Anak Cacat. Dengan berdasar pada SK
tersebut, maka program pendidikan integrasi bagi ABK mutlak harus dilaksanakan, karena
dianggap cukup efektif, relatif lebih murah (tidak perlu membangun gedung baru dan
mengangkat guru baru), juga dapat mempercepat proses sosialisasi dan kemandirian ABK.
1. Program pendidikan integrasi dapat diselenggarakan pada satuan pendidikan TK, SD/MI,
SLTP/MTs, dan SMU/MAN
2. Siswa yang mengikuti program pendidikan integrasi adalah ABK yang memiliki kecerdasan
normal (yaitu program pendidikan integrasi penuh)
3. Guru Pembimbing Khusus (GPK) berasal dari SLB dengan surat penugasan secara resmi dari
Kantor Depdikbud
4. Masyarakat yang dinilai mampu dari segi teknik edukatif, dapat membantu pembangunan
penyelenggaraan program pendidikan integrasi.
Penyelenggaraan program pendidikan integrasi ini lebih diperkuat dengan munculnya
Undang-undang RI nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selanjutnya
Surat Edaran Dirjen Dikdasmen nomor 6718/C/I/89 tanggal 15 Juli 1989 tentang perluasan
kesempatan belajar bagi anak berkelainan di sekolah umum; Surat Direktur Pendidikan Dasar
nomor 0267/C2/U,1994 tanggal 30 Maret 1994 tentang Penyelenggaraan Pendidikan
Integrasi; serta Undang-undang nomor 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat, bab III pasal
5, yang menyatakan: “Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama
dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan”, pasal 6 menyatakan: “Setiap penyandang
cacat berhak memperoleh pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang
pendidikan”. Pada Bab IV pasal 12 dinyatakan bahwa “Setiap lembaga pendidikan
memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat sebagai peserta
didik pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan yang sesuai dengan jenis dan derajat
kecacatan serta kemampuannya”.
Perlu dipahami bahwa sebenarnya istilah sekolah integrasi tidak identik dengan
konsep mainstreaming. Mainstreaming menghendaki agar pendidikan bagi ABK kembali ke
jalur induknya, yaitu sekolah umum (biasa). Adapun sekolah integrasi merupakan salah satu
bentuk mainstreaming, atau dengan perkataan lain, konsep mainstreaming jauh lebih luas
dari pada konsep sekolah integrasi. Keluasan pengertian mainstreaming dapat dilihat secara
lebih jelas pada rentangan kemungkinan penyedian layanan pendidikan (service delivery).
Secara garis besar, rentangan penyediaan layanan pendidikan dimulai dari yang paling
terbatas (the most restrictive), yaitu pembelajaran di tempat khusus seperti rumah sakit atau
di rumah, sampai yang paling tidak terbatas (the least restrictive), yaitu kelas biasa tanpa
tambahan bimbingan khusus (Deno, 1970). Di sini jelas bahwa layanan pendidikan bagi ABK
tidak harus selalu di sekolah atau kelas biasa. Penempatan seorang ABK dilakukan
berdasarkan potensi dan kelemahan anak, tetapi pada prinsipnya, seorang anak harus
ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak terbatas. Itulah sebabnya,
konsep mainstreaming sering dianggap identik dengan konsep The Least Restrictive
Environment (LRE).
Berdasarkan informasi Direktur PLB dalam pidatonya tentang “Kebijakan dan Program
Pembinaan PLB Tahun 2005” tanggal 23 Agustus di Bandung, mengemukakan bahwa
Sekolah Integrasi (2004) kurang lebih ada 500 sekolah dengan jumlah siswa berkebutuhan
khusus kurang lebih sebanyak 2.750 siswa, yang meliputi: 467 Sekolah Dasar (SD) dengan
2.573 siswa ABK; 28 SMP dengan 136 siswa ABK, dan 9 SMA/K dengan 41 siswa ABK.
Angka secara statistik setiap tahun mungkin bisa bertambah, tapi alangkah baiknya adalah
layanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus secara kualitaslah yang harusnya
lebih maju. Semoga postingan kali ini sedikit memberikan manfaat. Semoga pendidikan bagi
anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia semakin maju.
PENDIDIKAN SEGREGASI
Sistem pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan dimana anak berkebutuhan khusus
terpisah dari sistem pendidikan anak pada umumnya. Penyelengggaraan sistem pendidikan
segregasif dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk
anak pada umumnya.
Pendidikan segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem
persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan
khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A
(untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita),
SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain. Satuan
pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai
satuan pendidikan khusus, maka sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari
sistem pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan,
sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah
segregasi ini antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena
lingkungan pergaulan yang terbatas.
PENDIDIKAN INTEGRASI
Menempatkan anak dengan disabilitas dengan anak pada umumnya secara penuh
Pendidikan yang berupaya mengoptimalkan perkembangan kognisi, emosi, jasmani, intuisi
Mengintegrasikan pendidikan anak autis dengan pendidikan pada umumnya
Mengintegrasikan apa yang dipelajari disekolah dengan tugas masa depan
Mengintegrasikan manusia sebagai mahluk individual sekaligus mahluk social
Konsekuensi dari perubahan-perubahan tersebut adalah bahwa beberapa siswa yang mungkin
sebelumnya menghabiskan seluruh waktu sekolahnya dalam lingkungan yang terpisah,
sekarang akan mempunyai kelas regular. Oleh karena itu merupakan hal yang penting bahwa
guru kelas regular merasa berkopeten untuk mengajar semua siswa.
1. Istilah Integrasi
Istilah yang luas untuk merujuk pada bersekolahnya seorang anak berkebutuhan khusus pada
sekolah regular. Dapat diartikan pada proses memindahkan seorang siswa pada lingkungan
yang tidak terlalu terpisah. Seorang anak berkebutuhan khusus yang bersekolah pada sekolah
regular, tetapi berada pada unit atau kelas khusus. Meskipun siswa tersebut berada pada kelas
khusus, jelas bahwa apabila kelas tersebut pada sekolah regular, peluang untuk berinteraksi
dengan warga sekolah secara umum jauh lebih besar dari pada anak yang berada pada
sekolah khusus yang terpisah.
Banyak sekolah yang mempunyai kelas khusus mempunyai program khusus untuk
mendorong interaksi antara siswa dengan dan tanpa kebutuhan pendidikan khusus. Misalnya,
pada beberapa sekolah, anak-anak menghabiskan pagi harinya pada kelas khusus dan
siangnya pada kelas regular. Para guru dan asisten dari kelas khusus biasa mendukung
penempatan pada kelas khusus. Peluang-peluang bagi interaksi tersebut, berdasarkan atas
prinsip normalisasi. Jauh mungkin untuk terjadi apabila anak tersebut diintegrasikan pada
sekolah reguler.
PENDIDIKAN INKLUSI
Inklusi memang mengikut sertakan anak berkebutuhan khusus. Namun, secara luas inklusif
juga berarti melibatkan seluruh peserta didik tanpa terkecuali, seperti:
1. anak yang menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa pengantar yang digunakan di
dalam kelas.
2. anak yang beresiko putus sekolah karena sakit, kelaparan atau tidak berprestasi dengan
baik.
3. anak yang berasal dari golongan agama atau kasta yang berbeda.
4. anak yang terinfeksi HIV atau AIDS, dan
5. anak yang berusia sekolah tetapi tidak sekolah.
Prinsip-prinsip dasar pendidikan inklusi, yang membedakan dengan sistem integrasi, apalagi
segregasi adalah:
1. Semua anak, siapapun dia, memiliki hak untuk menempuh pendidikan di sekolah mana pun,
dan sekolah wajib menerima murid, siapapun dia.
2. Setiap anak/murid adalah individu yang unik, olehkarenanya, sistem pendidikan harus dibuat
fleksibel, memberikan kemungkinan pada guru untuk melakukan penyesuaian, guna
mengakomodasikan kebutuhan khusus setiap siswa.
3. Sistem pendidikan dalam suatu negara harus dibuat satu sistem, dan sistem pendidikan
untuk anak-anak yang menyandang kecacatan merupakan bagian integral dari sistem pendidikan
umum tersebut; bukan terpisah atau khusus.
Guru-guru di sekolah umum harus memiliki wawasan dan keterampilan untuk mengajar
siswa, siapa pun dia. Itu sebabnya, pendidikan/pelatihan untuk guru harus melakukan
penyesuaian dengan sistem ini. Inklusi berarti bahwa sebagai guru bertanggung jawab untuk
mengucapkan bantuan dalam menjaring dan memberikan layanan pendidikan pada semua
anak dari otoritas sekolah, masyarakat, keluarga, lembaga pendidikan, layanan kesehatan,
pemimpin masyarakat, dan lain-lain.
Sosialisasi terbatas
Penyelenggaraan pendidikan yang relative mahal
Bebas bersaing
Egoistik, menumbuhkan kesenjangan kualitas pendidikan
Efektif dan efisien untuk kepentingan individu
Menumbuhkan disintegrasi
Tidak terikat
Mahal dan butuh fasilitas banyak Spesifik dan spesialis
Memperlemah persatuan nasional
Potensial untuk pengembangan otonomi
Siswa berkebutuhan khusus dapat bermain bersama-sama dengan siswa pada umumnya. Ini
berarti ada proses sosialisasi sedini mungkin, saling mengenal antara siswa berkebutuhan khusus
dan yang tidak, begitu pula sebaliknya. Ini akan berdampak pada pertumbuhan sikap siswa-siswa
tersebut, yang akan bermanfaat pula kelak jika mereka telah dewasa.
Siswa berkebutuhan khusus mendapatkan suasana yang lebih kompetitif, karena di sekolah
umum ada lebih banyak siswa dibanding SLB.
Siswa berkebutuhan khusus dapat membangun rasa percaya diri yang lebih baik.
Siswa berkebutuhan khusus dapat bersekolah di mana saja, bahkan sekolah yang dekat
dengan tempat tinggalnya, asal ia memenuhi persyaratan yang diminta; jadi tidak perlu terpisah
dari keluarga mereka.
Dari sisi kurikulum, dengan menempuh pendidikan di sekolah umum, anak berkebutuhan
khusus akan mendapatkan materi pelajaran yang sama dengan siswa pada umumnya.
Kelemahan dari sistem integrasi ini adalah siswa anak berkebutuhan khusus harus
menyesuaikan diri dengan metode pengajaran dan kurikulum yang ada. Pada saat-saat
tertentu, kondisi ini dapat menyulitkan mereka. Misalnya, saat siswa diwajibkan mengikuti
mata pelajaran ”menggambar.” Karena memiliki hambatan penglihatan, tentu saja siswa yang
merupakan anak berkebutuhan khusus tidak bisa ”menggambar.” Tapi, karena mata pelajaran
ini wajib dengan kurikulum yang ”ketat”, ”tidak fleksibel,” tidaklah dimungkinkan bagi guru
maupun siswa berkebutuhan khusus untuk melakukan ”adaptasi atau subsitusi” –untuk mata
pelajaran ”menggambar” tersebut. Yang dimaksud substitusi adalah menggantikan mata
pelajaran tersebut dengan tugas lain yang memiliki nilai kompetensi sama. Misalnya,
menggambar adalah mata pelajaran yang melatih kreatifitas otak kanan untuk bidang visual;
bisa digantikan dengan tugas lain yang memiliki tujuan kompetensi sama atau setara,
misalnya mengarang.
Keuntungan dari pendidikan inklusi anak berkebutuhan khusus maupun anak pada umumnya
dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di
masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai potensinya masing-masing.
1. KESIMPULAN
Dengan adanya sistem pendidikan Segregasi, integrasi, dan Inklusi, para siswa yang
mempunyai disabilitas dapat menentukan alternatif sistem yang tepat untuk mendapatkan
haknya dalam memperoleh pendidikan. Sebagai pendidik, seharusnya berusaha untuk dapat
mendidik para siswanya baik itu dengan disabilitas ataupun yang tidak. Karena, pada
dasarnya tidak ada manusia yang sempurna.
Dikarenakan siswa tidak hanya membutuhkan ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk
dapat bergabung dalam masyarakat maka diperlukan sistem yang mengajarkan berinteraksi
dengan teman-teman sebaya ataupun yang lain.
Iklan
Bagikan ini:
Kategori: Keplban, Tanpa kategori
Berikan Komentar
Advertisements
Share this:
Related
Paradigma Pendidikan Khusus / PLB (Special Education)
June 20, 2012
In "Pendidikan Luar Biasa"
Pendidikan Integrasi
June 24, 2012
In "Pendidikan Luar Biasa"
Konsep Pendidikan Integrasi
September 19, 2012
In "Pendidikan Integrasi"
Categories: Pendidikan Integrasi
Leave a Comment