Anda di halaman 1dari 21

Konsep Keberagaman Peserta Didik

1. Pengertian Keberagaman Peserta Didik


Keberagaman peserta didik di kelas inklusif memiliki karakteristik tersendiri, baik pada
peserta didik reguler maupun pada peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK). Keberadaan
PDBK dipayungi Undang Undang Dasar 1945 pasal 31, ayat 1 mengamanatkan bahwa;
“Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan” dan ayat 2; setiap warga Negara
wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’. Dengan demikian,
peserta didik dalam kelas walaupun berbeda keyakinan, fisik, gender, latar belakang
keluarga, harapan, kemampuan, kelebihan peserta didik memiliki hak untuk belajar.

Implementasi di kelas, guru secara perlahan dan pasti memberikan penanaman sikap simpati
dan empati kepada peserta didik reguler bahwa dalam masyarakat itu memiliki karakteristik
keragaman bentuk, keyakinan, sosial, dan karakter peserta didik berkebutuhan khusus.
Dengan demikian, ciptakan susana kebersamaan dalam berbagai aktivitas agar seluruh
peserta didik membaur dan saling interaksi, sehingga akan tampak mereka bersosialisasi dan
saling tolong menolong antarsesama.

Begitupun gurunya untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan baik, harus memahami
berbagai perbedaan. Setiap individu memiliki karakteristik sendiri, baik dalam gaya belajar
atau kemampuan mengaktulisasikan berbagai kemampuan dan keterampilannya, misalnya
perbedaan jender. Murid laki-laki memiliki karakteristik yang berbeda dengan murid
perempuan. Misalnya, cara berpikir peserta didik laki-laki berbeda dengan murid
perempuan. Namun, tidak menutup kemungkinan karakteristik jender dapat dipertukarkan.

Perbedaan mereka tampak dari kekuatan fisik, perkembangan psikoseksual, minat belajar
pada bidang berlainan, ketekunan, ketelitian, kecenderungan metode pembelajaran yang
lebih sesuai untuk masing-masing jenis kelamin, dan seterusnya. Ada kemungkinan murid
perempuan sangat berminat dalam bidang olah raga, sedangkan murid laki-laki sangat
menyukai pelajaran tata boga. Seorang guru perlu mengenali keunggulan peserta didik tanpa
harus melakukan stereotip jender.
Dengan demikian, guru sangat penting memberikan wawasan kepada peserta didik bahwa
masyarakat majemuk tradisional perlu mempertimbangkan adanya pluralitas horizontal
(adanya perbedaan etnik, sub-sub etnik) dan pluralitas vertical (adanya pelapisan-pelapisan
sosial).

Penamaan istilah “peserta didik” kepada peserta didik di sekolah dewasa ini sudah tepat,
mengingat cara pandang ini yang lebih positif dibanding dengan istilah “murid atau peserta
didik”. Hal ini, kata “peserta didik” dapat mengakomodasi keberagaman peserta didik dalam
melihat kebutuhannya.

Kata “kebutuhan khusus” menjadi dasar dalam melihat apa yang menjadi masalah dan kebutuhan
peserta didik dan bukan pada label yang menyertainya. Oleh karena itu, guru hendaknya memandang
setiap Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) memiliki karakteristik unik. Karakteristik PDBK ini
berkaitan dengan bagaimana cara terbaik dalam memenuhi kebutuhan khususnya. Pandangan ini
akan menuntun guru dalam menyusun akomodasi program untuk mengatasi hambatan dan
mengoptimalkan potensi peserta didik.

Dengan demikian, upaya-upaya pemberian layanan pendidikan terhadap PDBK hendaknya berfokus
pada potensi-potensi yang dapat dikembangkan melalui pengamatan guru secara berkesinambungan
dan sistematik dalam proses identifikasi dan asesmen.

Hal ini, sejalan dengan Permendiknas No 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi Guru bahwa dalam Kompetensi Paedagogik Guru salah satunya
adalah memahami krakteristik peserta didik maka diharapkan sebelaum melakukan
pembelajaran setiap guru dapat melakukan identifikasi dan asesmen. Hal ini untuk dijadikan
sebagai dasar dalam memenuhi kebutuhan belajar peserta didik.

2. Indikator Kualitas Hidup Peserta Didik


Kebearagaman peserta didik di sekolah inlklusif adalah suatu kenyataan yang untuk dibuat
sebagai “sesuatu yang aneh” akan tetapi keberagaman peserta didik tersebut harus menjadi
sebuah “tantangan” bagi guru untuk memberikan layanan pembelajaran akomodatif bagi
setiap peserta didik. Peserta didik reguler maupun peserta didik berkebutuhan khusus
memiliki hak yang sama untuk memperoleh layanan pembelajaran dalam upaya mencapai
kualitas hidup.
Ada empat indikator kualitas hidup bagi setaip peserta didik, yakni sebagai berikut:
a) To Live, setiap peserta didik di sekolah inklusif memilki hak untuk hidup
mengembangkan potensi dirinya, tanpa harus terhalangi atau dibatasi oleh kondisi
hambatan yang dimilikinya. Peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah inklusif tidak
boleh dibiarkan hanya sebagai “pelengkap kuota kelas inklusif”, tetapi keberadaan
peserta didik di kelas inklusif harus menjadi tantangan bagi guru untuk berkreatif dalam
mengembangkan layanan pembelajaran akomodatif.

b) To Love, setiap peserta didik di sekolah inklusif harus merasa terlindungi, mengikuti
kegiatan pembelajaran dan aktivitas sekolah lainnya secara ramah, nyaman dan tidak
dibiarkan mendapat bully dari peserta didik lainnya. Bahkan guru harus
mengembangkan sikap saling menyayangi, mencintai sebagai sesama warga sekolah.

c) To Play, setiap peserta didik di sekolah inklusif harus memperooleh kesempatan yang
sama untuk mengikuti aktivitas belajar secara aktif dan bermain di sekolah, seperti
dalam diskusi kelompok, kegiatan ekstrakurikuler, dan perlombaan yang diadakan
sekolah. Peserta didik berkebutuhan khusus harus memperoleh hak yang sama untuk
memperoleh kesempatan aktivitas permainan di kelas dan lingkungan sekolah.

d) To Work, setiap peserta dididk di sekolah inklusif memperoleh hak yang sama untuk
mengembangkan dirinya dalam upaya mengembangkan potensi dirinya untuk nantinya
menjadi individu yang mandiri dalam memasuki dunia kerja. Peserta didik berkebutuhan
khusus tidak boleh dihadirkan di kelas hanya sebagai “pelengkap penderita” akan tetapi
harus diberikan layanan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan layanan
pendidikannya.

Jenis Hambatan Peserta Didik Berkebutuhan Khusus


1. Anak Berkebutuhan Khusus dengan Hambatan Sensorik
Anak berkebutuhan khusus dikelompokkan sesuai dengan jenis hambatan yang dialami.
Anak berkebutuhan khusus menurut Gunawan (2011) yaitu sebagai berikut.

a. Anak dengan Hambatan Penglihatan (Tunanetra)


Anak dengan hambatan penglihatan menurut Gunawan (2011) adalah anak yang
mengalami gangguan daya penglihatan sedemikian rupa, sehingga membutuhkan
layanan, khusus dalam pendidikan maupun kehidupannya. Dilihat dari sisi kependidikan
dan rehabilitasi peserta didik hambatan penglihatan adalah mereka yang memiki
hambatan penglihatan sehingga menghalangi dirinya untuk berfungsi dalam pendidikan
dan aktifitas rehabilitatif tanpa menggunakan alat khusus, material khusus, latihan
khusus, dan atau bantuan lain secara khusus.

Klasifikasi gangguan penglihatan berdasarkan tingkat ketajaman penglihatan dan dalam


perspektif pendidikan menurut Gunawan (2011) dapat dikelompokkan menjadi 2
kelompok, yaitu kelompok low vision dan hambatan penglihatan total (Totally Blind).

1) Low vision
Kelompok ini adalah kelompok hambatan penglihatan yang masih mampu melihat
dengan ketajaman penglihatan (acuity) 20/70. Kelompok ini mampu melihat dari
jarak 6 meter, jauh lebih dekat dibandingkan dengan pelihatan orang normal (21
meter). Gambaran umum dari kelompok ini, mereka masih mampu mengenal
bentuk objek dari berbagai jarak, menghitung jari dari berbagai jarak.

2) Hambatan penglihatan total


Peserta didik dikatakan memiliki hambatan penglihatan secara total mereka yang
tidak bisa memfungsikan kemampuan visualnya tidak memiliki penglihatan atau pun
mereka yang bisa merasakan adanya sinar seperti mengetahui siang dan malam
tanpa mengetahui sumber cahayanya.

Akibat dari adanya hambatan ini peserta didik diajarkan untuk memahami kemampuan
membaca dan menulis braille dan orientasi mobilitas (OM) untuk membantu mereka
dalam menjalankan daily activities.

b. Anak dengan Hambatan Pendengaran (Tunarungu)


Banyak istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang mengalami
kehilangan/gangguan pendengaran. Salah satunya menurut Nakata dalam Rahardja
(2006) yang mengungkapkan bahwa anak dengan hambatan pendengaran atau anak
tunarungu adalah mereka yang mempunyai kemampuan mendengar di kedua telinganya
hampir di atas 60 desibel, yaitu mereka yang tidak mungkin atau kesulitan secara
signifikan untuk memahami suara pembicaraan normal meskipun dengan
mempergunakan alat bantu dengar atau alat- alat lainnya.

Tunarungu merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan keadaan kehilangan


pendengaran yang dialami seseorang. Dalam bahasa Inggris terdapat istilah hearing
impairment, istilah ini menggambarkan adanya kerusakan atau gangguan secara fisik.

Akibat dari adanya kerusakan itu akan mengakibatkan gangguan pada fungsi
pendengaran. Anak mengalami kesulitan untuk memperoleh dan mengolah informasi
yang bersifat auditif, sehingga dapat menimbulkan hambatan dalam melakukan interaksi
dan komunikasi secara verbal.

Pengelompokkan (klasifikasi) bagi anak yang mengalami hambatan pendengaran yang


saat ini digunakan pada umumnya menurut Kirk (dalam Depdikbud, 1995:29) dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
 0 dB Menunjukkan pendengaran yang optimal.
 0 – 26 dB Menunjukkan seseorang masih mempunyai pendengaran yang normal.
 27 – 40 dB Mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh, membutuhkan
tempat duduk yang strategis letaknya dan memerlukan terapi bicara (tergolong
tunarungu ringan).
 41 – 55 dB Mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas,
membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara (tunarungu sedang).
 56 – 70 dB Hanya bisa mendengar suara dari jarak yang dekat, masih mempunyai
sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu
mendengar serta dengan cara yang khusus (tunarungu agak berat).
 71- 90 dB Hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang – kadang
dianggap tuli, membutuhkan pendidikan luar biasa yang intensif, membutuhkan
alat bantu dengar dan latihan bicara secara khusus (tunarungu berat).
 91 dB ke atas mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak
bergantung pada penglihatan daripada pendengaran untuk proses menerima
informasi dan yang bersangkutan dianggap tuli (tunarungu berat sekali)

Menurut Moores dalam Alimin (2007) menjelaskan bahwa anak mengalami disability
dalam berkomunikasi akibat dari kehilangan fungsi pendengaran (impairment). Istilah
hearing impairment diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi istilah
tunarungu, yang di dalamnya terkandung dua kategori yaitu yang disebut dengan deaf
dan hard of hearing.

Moores (1982:6) menjelaskan “tuli” adalah mereka yang memiliki ketidakmampuan


mendengar dalam tingkat 70 dB ISO atau lebih, sehingga tidak mengerti pembicaraan
orang lain mengakibatkan kesulitan dalam memproses informasi bahasa melalui
pendengarannya sehingga ia tidak dapat memahami pembicaraan orang lain dengan
memakai maupun tidak memakai alat bantu dengar (hearing aid). Adapun orang yang
“kurang dengar” adalah mereka yang memiliki ketidakmampuan dengar dalam tingkat
35 sampai 69 dB.

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gangguan pendengaran (tuli atau
kurang dengar) tunarungu adalah mereka yang tidak mendengar atau kurang mendengar
sebagai akibat pendengarannya yang terganggu fungsi indera pendengarannya baik
menggunakan alat bantu dengar maupun tidak. Namun demikian, mereka masih tetap
memerlukan layanan pendidikan khusus karena gangguan pendengaran berdampak
pada aspek-aspek di bawah ini.

1) Aspek Motorik
Anak tunarungu yang tidak memiliki kecacatan lain dapat mencapai tugas-tugas
perkembangan motorik (early major motor milestones), seperti duduk, merangkak,
berdiri dengan tanpa bantuan, dan berjalan sama seperti yang terjadi pada anak
yang mendengar (Preisler dalam Alimin, 2007).

Namun demikian, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa anak dengan


hambatan pendengaran memiliki kesulitan dalam hal keseimbangan dan koordinasi
gerak umum, dalam menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan kecepatan serta
gerakan-gerakan yang kompleks (Ittyerah, Sharma, dalam Alimin, 2007).

2) Aspek bicara dan bahasa


Keterampilan berbicara dan bahasa merupakan bidang perkembangan yang paling
banyak dipengaruhi oleh hambatan pendengaran. Khususnya anak dengan
hambatan pendengaran dibawa sejak lahir. Menurut Rahardja (2006) bagi anak
dengan hambatan pendengaran congenital atau berat, suara yang keras tidak dapat
didengarnya meskipun dengan menggunakan alat bantu dengar.

Individu tersebut tidak dapat menerima informasi melalui suara, tetapi mereka
sebaiknya belajar bahasa bibir. Suara yang dikeluarkan oleh anak dengan hambatan
pendengaran biasanya sering sulit untuk dimengerti karena mereka mengalami
kesulitan dalam membeda-bedakan artikulasi, kualitas suara, dan tekanan suara.

2. Anak dengan Hambatan Intelektual (Tunagrahita)


Menurut Gunawan (2011) anak mengalami hambatan intelektual adalah anak yang secara
nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental-intelektual di
bawah rata-rata, sehingga mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.
Mereka memerlukan layanan pendidikan khusus. Anak mengalami hambatan intelektual
ialah anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Berbagai istilah yang
dikemukakan mengenai anak mengalami hambatan intelektual, selalu menunjuk pada
keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum berada di bawah usia kronologisnya secara
meyakinkan sehingga membutuhkan layanan pendidikan khusus.

Potensi dan kemampuan setiap anak anak mengalami hambatan intelektual berbeda-beda,
maka untuk kepentingan pendidikan diperlukan pengelompokkan anak mengalami
hambatan intelektual. Pengelompokkan itu berdasarkan berat ringannya ketunaan, atas
dasar itu anak tungrahita dapat dikelompokkan.

1) Hambatan Intelektual Ringan


Anak mengalami hambatan intelektual ringan umumnya memiliki kondisi fisik yang tidak
berbeda. Mereka mempunyai IQ antara kisaran 50 s/d 70 dan juga termasuk kelompok
mampu didik, mereka masih bisa dididik (diajarkan) membaca, menulis dan berhitung,
anak anak mengalami hambatan intelektual ringan biasanya bisa menyelesaikan
pendidikan setingkat kelas IV SD Umum.

2) Hambatan Intelektual Sedang


Anak anak mengalami hambatan intelektual sedang termasuk kelompok latih. Kondisi
fisiknya sudah dapat terlihat, tetapi ada sebagian anak mengalami hambatan intelektual
yang mempunyai fisik normal. Kelompok ini mempunyai IQ antara 30 s/d 50. Mereka
biasanya menyelesaikan pendidikan setingkat kelas 2 SD Umum.

3) Hambatan Intelektual Berat


Kelompok ini termasuk yang sangat rendah intelegensinya tidak mampu menerima
pendidikan secara akademis. Anak anak mengalami hambatan intelektual berat
termasuk kelompok mampu rawat, IQ mereka rata-rata 30 ke bawah. Dalam kegiatan
sehari-hari mereka membutuhkan bantuan orang lain.

Hambatan intelektual mengacu pada intelektual umum yang secara signifikan berada di
bawah rata-rata. Anak mengalami hambatan intelektual mengalami hambatan dalam
tingkah laku dan penyesuaian diri. Semua gangguan tersebut berlangsung atau terjadi
pada masa perkembangannya. Lebih lanjut, Gunawan (2011) mengemukakan bahwa
seseorang dikatakan anak mengalami hambatan intelektual apabila memiliki tiga
indikator, yaitu:
 keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum atau di bawah rata-rata;
 ketidakmampuan dalam prilaku sosial/adaptif; dan

 hambatan perilaku sosial/adaptif terjadi pada usia perkembangan yaitu sampai


dengan usia 18 tahun.

Klasifikasi anak mengalami hambatan intelektual secara sosial-psikologis terbagi dua


kriteria, yaitu: psikometrik dan perilaku adaptif. Ada empat taraf anak mengalami
hambatan intelektual berdasarkan psikometrik (skor IQ-nya).

Tabel. 1 Tingkat Kecerdasan (IQ anak mengalami hambatan intelektual)


Klasifikasi IQ Mental Age
Stanford Binet Skala Weschler (Tahun)
(SB) (WISC)
Ringan (mild mental
68-52 69-55 8,3-10,9
retardation)
Sedang (moderate mental
51-36 54-40 5,7-8,2
retardation)
Berat (severe mental
35-20 39-25 3,2-5,6
retardation)
Parah (profound mental
≥ 19 ≥ 24 ≥ 3,1
retardation)
Sumber: http://repository.upi.edu/operator/
Penggolongan anak anak mengalami hambatan intelektual menurut kriteria perilaku
adaptif tidak berdasarkan taraf intelegensi, tetapi berdasarkan kematangan sosial. Hal
ini juga mempunyai empat taraf, yaitu ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Secara
umum dampak dari gangguan intelektual dapat dilihat pada ciri-ciri sebagai berikut.
 Lamban dalam mempelajari hal-hal baru, mempunyai kesulitan dalam mempelajari
konsep yang abstrak, dan selalu cepat lupa apa yang di pelajari apabila tanpa latihan
terus menerus.
 Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru.
 Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak mengalami hambatan intelektual
berat.
 Cacat fisik dan perkembangan gerak. Anak mengalami hambatan intelektual berat
mempunyai keterbatasan dalam gerak fisik, ada yang tidak dapat berjalan, tidak
dapat berdiri atau bangun tanpa bantuan. Mereka lambat dalam mengerjakan
tugas-tugas yang sangat sederhana, sulit menjangkau sesuatu, dan mendongakkan
kepala.
 Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri. Sebagian dari anak mengalami
hambatan intelektual berat sangat sulit untuk mengurus diri sendiri, seperti;
berpakaian, makan, mengurus kebersihan diri. Mereka selalu memerlukan latihan
khusus untuk mempelajari kemampuan dasar.
 Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim. Anak mengalami hambatan intelektual
ringan dapat bermain bersama dengan anak reguler, tetapi anak yang mempunyai
anak mengalami hambatan intelektual berat tidak melakukan hal tersebut. Hal itu
mungkin disebabkan kesulitan bagi anak mengalami hambatan intelektual dalam
memberikan perhatian terhadap lawan main.
 Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus. Banyak anak mengalami hambatan
intelektual berat bertingkah laku tanpa tujuan yang jelas.
3. Anak dengan Hambatan Fisik (Tunadaksa)
Ada berbagai macam definisi tentang anak yang mengalami gangguan gerak, tergantung dari
siapa dan sudut mana melihatnya. Nakata (2003) dalam Djadja R, (2006) mengemukakan
bahwa yang dimaksud dengan gangguan gerak adalah:
a) Mereka yang tingkat kecacatan fisiknya mengakibatkan mereka mengalami kesulitan
yang berat atau ketidakmungkinan melakukan gerak dasar dalam kehidupan sehari-hari
seperti berjalan dan menulis meskipun dengan memgunakan alat-alat bantu pendukung.
b) Mereka yang tingkat kecacatan fisiknya tidak lebih dari nomor 1 di atas yang selalu
memerlukan observasi dan bimbingan medis.

Anak gangguan gerak, dilihat dari persentase anak berkebutuhan khusus yang lain, termasuk
kelompok yang jumlahnya relatif kecil yaitu diperkirakan 0,06% dari populasi anak usia
sekolah. Sedangkan jenis kelainannya bermacam-macam dan bervariasi, sehingga
permasalahan yang dihadapi sangat kompleks.

Pada dasarnya anak gangguan gerak dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu (1)
Kelainan pada sistem serebral (cerebral system) dan (2) kelainan pada sistem otot dan rangka
(musculus skeletal system). Adapun yang termasuk kelompok pertama, seperti cerebral palsy
yang meliputi jenis spastic, athetosis, rigid, hipotonia, tremor, ataxia, dan campuran.

Sedangkan yang termasuk pada kelompok kedua, seperti poliomyelitis, muscle dystrophy dan
spina bifida. Sedangkan anak anak yang mengalami kelumpuhan yang dikarenakan
kerusakan pada otot motorik yang sering diderita oleh anak-anak pasca polio dan muscle
dystrophy lain mengakibatkan gangguan motorik terutama gerakan lokomosi, gerakan
ditempat, dan mobilisasi. Ada sebagian anak dengan gangguan gerak yang berat, ringan, dan
sedang. Untuk berpindah tempat perlu alat ambulasi, juga perlu alat bantu dalam memenuhi
kebutuhannya, yaitu memenuhi kebutuhan gerak.

4. Anak dengan Hambatan Lainnya


a. Anak dengan Gangguan Perilaku dan Emosi
Menurut Gunawan (2011) anak dengan gangguan perilaku adalah anak yang berperilaku
menyimpang baik pada taraf sedang, berat dan sangat berat, terjadi pada usia anak dan
remaja, sebagai akibat terganggunya perkembangan emosi dan sosial atau keduanya,
sehingga merugikan dirinya sendiri maupun lingkungan, maka dalam mengembangkan
potensinya memerlukan pelayanan dan pendidikan secara khusus.

Di dalam dunia Pendidikan Khusus dikenal dengan nama anak hambatan perilaku dan
emosi (behavioral disorder). Kelainan tingkah laku ditetapkan bila mengandung unsur:
 Tingkah laku anak menyimpang dari standar yang diterima umum.
 Derajat penyimpangan tingkah laku dari standar umum sudah ekstrim.
 Lamanya waktu pola tingkah laku itu dilakukan.

Secara umum anak hambatan perilaku dan emosi (anak yang mengalami gangguan emosi
dan perilaku) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
 Cenderung membangkang.
 Mudah terangsang emosinya/emosional/mudah marah.
 Sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu.
 Sering bertindak melanggar norma sosial/norma susila/hukum.
 Cenderung prestasi belajar dan motivasi rendah sering bolos jarang masuk sekolah.

b. Anak Autis
Autisme berdasarkan Individuals with Disabilities Education (IDEA) yang dikutip oleh
Rahardja (2006) adalah kelainan perkembangan yang secara signifikan berpengaruh
terhadap komunikasi verbal dan non verbal serta interaksi sosial, umumnya terjadi pada
usia sebelum tiga tahun, yang berpengaruh buruk terhadap kinerja pendidikan anak.

Karakteristik yang lain sering menyertai autisme seperti melakukan kegiatan yang
berulang-ulang dan gerakan stereotip, penolakan terhadap perubahan lingkungan atau
perubahan dalam rutinitas sehari- hari, dan memberikan respon yang tidak semestinya
terhadap pengalaman sensori. Secara umum anak autis memiliki karakteristik sebagai
berikut.
 Mengalami hambatan di dalam bahasa.
 Kesulitan dalam mengenal dan merespon emosi dengan isyarat sosial.
 Kekakuan dan miskin dalam mengekspresikan perasaan.
 Kurang memiliki perasaan dan empati.
 Sering berperilaku di luar kontrol dan meledak-ledak.
 Secara menyeluruh mengalami masalah dalam perilaku.
 Kurang memahami akan keberadaan dirinya sendiri.
 Keterbatasan dalam mengekspresikan diri
 Berperilaku monoton dan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan
lingkungan.

Dalam dunia pendidikan, anak autis ini dapat digolongkan ke dalam beberapa spektrum,
yaitu sebagai berikut.
 Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat tinggi. (High function
children with autism).
 Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat menengah (Middle
function children with autism).
 Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat rendah (Low function
children with autism).

c. Anak Cerdas Istimewa Berbakat Istimewa


Anak yang memiliki potensi kecerdasan istimewa (gifted) dan anak yang memiliki bakat
istimewa (talented) adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan (intelegensi),
kreativitas, dan tanggung jawab terhadap tugas (task commitment) di atas kemampuan
anak-anak seusianya (anak normal), sehingga untuk mengoptimalkan potensinya,
diperlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak cerdas dan berbakat istimewa disebut
sebagai gifted & talented children (Dudi Gunawan, 2011).
Anak-anak berbakat istimewa secara alami memiliki karakteristik yang khas yang
membedakannya dengan anak-anak normal. Karakteristik ini mencakup beberapa
domain penting, termasuk di dalamnya: domain intelektual-koginitif, domain persepsi-
emosi, domain motivasi dan nilai- nilai hidup, domain aktifitas, serta domain relasi sosial.

Berikut beberapa karakteristik yang paling sering diidentifikasi terdapat pada anak
berbakat istimewa pada masing-masing domain di atas. Namun demikian perlu dicatat
bahwa tidak semua anak-anak berbakat istimewa (gifted) selalu menunjukkan atau
memiliki karakteristik intelektual-kognitif seperti di bawah ini (Gunwan, 2011):
 Menunjukkan atau memiliki ide-ide yang orisinal, gagasan-gagasan yang tidak lazim,
pikiran-pikiran kreatif.
 Mampu menghubungkan ide-ide yang nampak tidak berkaitan menjadi suatu
konsep yang utuh.
 Menunjukkan kemampuan bernalar yang sangat tinggi.
 Mampu menggeneralisasikan suatu masalah yang rumit menjadi suatu hal yang
sederhana dan mudah dipahami.
 Memiliki kecepatan yang sangat tinggi dalam memecahkan masalah.
 Menunjukkan daya imajinasi yang luar biasa.
 Memiliki perbendaharaan kosakata yang sangat kaya dan mampu
mengartikulasikannya dengan baik.
 Biasanya fasih dalam berkomunikasi lisan, senang bermain atau merangkai kata-
kata.
 Sangat cepat dalam memahami pembicaraan atau pelajaran yang diberikan.
 Memiliki daya ingat jangka panjang (long term memory) yang kuat.
 Mampu menangkap ide-ide abstrak dalam konsep matematika dan/atau sains.
 Memiliki kemampuan membaca yang sangat cepat.
 Banyak gagasan dan mampu menginspirasi orang lain.
 Memikirkan sesuatu secara kompleks, abstrak, dan dalam.
 Mampu memikirkan tentang beragam gagasan atau persoalan dalam waktu yang
bersamaan dan cepat mengaitkan satu dengan yang lainnya.
d. Kesulitan Belajar Spesifik (Disleksia, Diskalkulia, Disgrafia)
Anak yang mengalami learning disabilities (LD) atau Specific Learning Diificulties (SLD)
secara umum dapat diartikan suatu kesulitan belajar pada anak yang ditandai oleh
ketidakmampuan dalam mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya dan berdampak
pada hasil akademiknya. Kesulitan belajar merupakan hambatan atau gangguan
belajar pada anak atau remaja yang ditandai adanya kesenjangan yang signifikan
antara taraf intelegensi dan kemampuan akademik yang seharusnya dicapai oleh
anak seusianya.

Anak LD atau SLD adalah masalah belajar primer yang disebabkan karena adanya deficit
atau kekurangan fungsi dalam satu atau lebih area inteligensi. Penyebabnya gangguan
neurologis dan genetik. Istilah LD atau SLD hanya dikenakan pada anak-anak yang
mempunyai inteligensia normal hingga tinggi. Gangguan ini merupakan gangguan yang
kasat mata, berupa kesalahan dalam hal membaca (disleksia), menulis (disgrafia), dan
berhitung (diskalkulia). Kesalahan yang terjadi akan selalu dalam kesalahan sama secara
terus menerus, dan dibawa seumur hidup (long live disabilities). Adapun karakteristiknya
dapat diidentifikasi dari hal-hal berikut ini.

PDBK yang mengalami kesulitan membaca (disleksia)


 Perkembangan kemampuan membaca terlambat,
 Kemampuan memahami isi bacaan rendah,
 Kalau membaca sering banyak kesalahan

PDBK yang mengalami kesulitan belajar menulis (disgrafia)


 Kalau menyalin tulisan sering terlambat selesai,
 Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan 5, 6 dengan
9, dan sebagainya,
 Hasil tulisannya jelek dan tidak terbaca,
 Tulisannya banyak salah/terbalik/huruf hilang,
 Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris.

PDBK yang mengalami kesulitan belajar berhitung (diskalkulia)


 Sering salah menulis angka 2 dengan 5, 6 dengan 9, dan sebagainya
 Rancu atau bingung dengan simbol-simbol matematis. Misalnya tanda +, -, x, :, dan
sebagainya.

Kebutuhan Pembelajaran PDBK


1. Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Sensorik
a. Anak dengan Hambatan Penglihatan (Tunanetra)
Layanan khusus dalam pendidikan bagi anak dengan gangguan penglihatan yaitu dalam
membaca menulis dan berhitung diperlukan huruf Braille bagi yang hambatan
penglihatan total. Bagi yang masih memiliki sisa penglihatan diperlukan kaca pembesar
atau huruf cetak yang besar, media yang dapat diraba dan didengar atau diperbesar. Di
samping itu, diperlukan latihan Orientasi dan Mobilitas (OM) yang penerapannya bukan
hanya di sekolah, melainkan dapat diterapkan di lingkungan tempat tinggalnya.

Seseorang dikatakan hambatan penglihatan total atau buta total (totally blind) jika
mengalami hambatan visual yang sangat berat sampai tidak dapat melihat sama sekali.
Penyandang buta total mempergunakan kemampuan perabaan dan pendengaran
sebagai saluran utama dalam belajar. Orang seperti ini biasanya mempergunakan huruf
Braille sebagai media membaca dan memerlukan latihan orientasi dan mobilitas.

Hambatan penglihatanan akan berdampak dalam kemampuan kognitif, kemampuan


akademis, sosial emosional, perilaku, perkembangan bahasa, perkembangan motorik,
orientasi dan mobilitas.

b. Anak dengan Hambatan Pendengaran (Tunarungu)


Seperti sudah dikemukan sebelumnya, peserta didik yang mengalami hambatan
pendengaran perlu Alat Bantu Dengar (ABD), tetapi walaupun telah diberikan
pertolongan dengan ABD, mereka masih tetap memerlukan layanan pendidikan khusus
karena gangguan pendengaran berdampak pada aspek-aspek di bawah ini.

Aspek Motorik
Anak tunarungu yang tidak memiliki hambatan lain dapat mencapai tugas-tugas
perkembangan motorik (early major motor milestones), seperti duduk, merangkak,
berdiri dengan tanpa bantuan, dan berjalan sama seperti yang terjadi pada anak yang
mendengar (Preisler, 1995, dalam Alimin, 2007). Namun demikian, beberapa hasil
penelitian menunjukkan bahwa anak yang mengalami hambatan pendengaran memiliki
kesulitan dalam hal kesimbangan dan koordinasi gerak umum, dalam menyelesaikan
tugas-tugas yang memerlukan kecepatan serta gerakan-gerakan yang kompleks.

Aspek bicara dan bahasa


Keterampilan berbicara dan bahasa merupakan bidang perkembangan yang paling
banyak dipengaruhi oleh peserta didik hambatan pendengaran. Khususnya anak-anak
yang mengalami hambatan pendengaran dibawa sejak lahir. Menurut Rahardja (2006)
bagi individu yang congenital atau berat, suara yang keras tidak dapat didengarnya
meskipun dengan menggunakan alat bantu dengar.

Individu ini tidak dapat menerima informasi melalui suara, tetapi mereka sebaiknya
belajar bahasa bibir. Suara yang dikeluarkan oleh individu dengan hambatan
pendengaran biasanya sering sulit untuk dimengerti, karena mereka mengalami
kesulitan dalam membeda-bedakan artikulasi, kualitas suara, dan tekanan suara.

Kebutuhan pembelajaran peserta didik hambatan pendengaran menurut Gunawan


(2011) secara umum tidak berbeda dengan anak pada umumnya. Akan tetapi, mereka
memerlukan perhatian dalam kegiatan pembelajaran antara lain:
1) Tidak mengajak anak untuk berbicara dengan cara membelakanginya.
2) Anak hendaknya didudukkan paling depan, sehingga memiliki peluang untuk mudah
membaca bibir guru.
3) Perhatikan postur anak yang sering memiringkan kepala untuk mendengarkan.
4) Dorong anak untuk selalu memperhatikan wajah guru, bicaralah dengan anak
dengan posisi berhadapan dan bila memungkinkan kepala guru sejajar dengan
kepala anak.
5) Guru bicara dengan volume biasa tetapi dengan gerakan bibirnya yang harus jelas.

c. Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Intelektual (Tunagrahita)


Pendidikan bagi peserta didik anak mengalami hambatan intelektual seharusnya
ditujukan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki anak secara optimal, agar mereka
dapat hidup mandiri dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana mereka
berada. Secara umum kebutuhan pembelajaran anak anak mengalami hambatan
intelektual adalah sebagai berikut.

1) Perbedaan anak mengalami hambatan intelektual dengan anak normal dalam


proses belajar adalah terletak pada hambatan dan masalah atau karakteristik
belajarnya.

2) Perbedaan karakteristik belajar anak anak mengalami hambatan intelektual dengan


anak sebayanya, anak anak mengalami hambatan intelektual mengalami masalah
dalam hal yaitu:
 Tingkat kemahirannya dalam memecahkan masalah
 Melakukan generalisasi dan mentransfer sesuatu yang baru
 Minat dan perhatian terhadap penyelesaian tugas.

d. Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Fisik (Tunadaksa)


Berkaitan dengan pembelajaran, tujuannya adalah untuk membantu menyiapkan
peserta didik agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan
sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik
dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan
kemampuannya dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan (uu no.2 tahun
1989 tentang uspn dan pp no.72 tentang plb).
Connor (1975) mengemukakan sekurang-kurangnya tujuh aspek yang perlu
dikembangkan pada diri masing-masing anak tunadaksa melalui pendidikan, yaitu:
• Pengembangan intelektual dan akademik
• Membantu perkembangan fisik
• Meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri anak
• Mematangkan aspek sosial
• Mematangkan moral dan spiritual
• Meningkatkan ekspresi diri
• Mempersiapkan masa depan anak
Pengembangan diri pada anak tunadaksa perlu memperhatikan:
• Program pembelajaran yang diindividualisasikan
• Prinsip pembelajaran: prinsip multisensory dan Individualisasi
• Penataan lingkungan belajar: bangunan gedung memprioritaskan tiga
kemudahan: mudah keluar masuk, mudah bergerak dalam ruangan, dan mudah
mengadakan penyesuaian.
• Personil: guru plb, guru reguler, dokter ahli anak, dokter ahli rehabilitasi medis,
dokter ahli ortopedi, dokter ahli syaraf, psikolog, guru bimbingan dan penyuluhan, social
worker, fisioterapist, occupational therapist, speechterapist, orthotic dan prosthetic.
e. Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Lainnya
1) Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Perilaku dan Emosi
Kebutuhan pembelajaran bagi anak hambatan perilaku dan emosi yang harus
diperhatikan oleh guru antara lain adalah:
 Mengetahui strategi pencegahan dan intervensi bagi individu yang beresiko
mengalami gangguan emosi dan perilaku.
 Menggunakan variasi teknik yang tidak kaku dan keras untuk mengontrol
tingkah laku target dan menjaga atensi dalam pembelajaran.
 Menjaga rutinitas pembelajaran dengan konsisten, dan terampil dalam problem
solving dan mengatasi konflik.
 Merencanakan dan mengimplementasikan reinforcement secara individual dan
modifikasi lingkungan dengan level yang sesuai dengan tingkat perilaku.
 Mengintegrasikan proses belajar mengajar (akademik), pendidikan afektif, dan
manajemen perilaku baik secara individual maupun kelompok.
 Melakukan asesmen atas tingkah laku sosial yang sesuai dan problematik pada
peserta didik secara individual.
 Perlu adanya penataan lingkungan yang kondusif (menyenangkan) bagi setiap
anak.
 Kurikulum hendaknya disesuaikan dengan hambatan dan masalah yang
dihadapi oleh setiap anak.
 Adanya kegiatan yang bersifat kompensatoris sesuai dengan bakat dan minat
anak.
 Perlu adanya pengembangan akhlak atau mental melalui kegiatan sehari-hari,
dan contoh dari lingkungan.

2) Kebutuhan Pembelajaran Anak Cerdas dan Bakat Istimewa


Kebutuhan pembelajaran bagi anak cerdas istimewa dan bakat istimewa adalah
sebagai berikut.
Program pengayaan horisontal, meliputi:
 Mengembangkan kemampuan eksplorasi.
 Mengembangkan pengayaan dalam arti memperdalam dan memperluas hal-hal
yang ada di luar kurikulum biasa.
 eksekutif intensif dalam arti memberikan kesempatan untuk mengikuti program
intensif bidang tertentu yang diminati secara tuntas dan mendalam dalam
waktu tertentu.

Program pengayaan vertikal, yaitu:


 Acceleration, percepatan/maju berkelanjutan dalam mengikuti program yang
sesuai dengan kemampuannya, dan jangan dibatasi oleh jumlah waktu, atau
tingkatan kelas.
 Independent study, memberikan seluas-luasnya kepada anak untuk belajar dan
menjelajahi sendiri bidang yang diminati.
 Mentorship, memadukan antara yang diminati anak gifted dan tallented dengan
para ahli yang ada di masyarakat.
3) Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Autism
Kebutuhan pembelajaran bagi anak anak autis adalah sebagai berikut:

 Diperlukan adanya pengembangan strategi untuk belajar dalam seting


kelompok.
 Perlu menggunakan beberapa teknik di dalam menghilangkan perilaku-perilaku
negatif yang muncul dan mengganggu kelangsungan proses belajar secara
keseluruhan (stereotip).
 Guru perlu mengembangkan ekspresi dirinya secara verbal dengan berbagai
bantuan.
 Guru terampil mengubah lingkungan belajar yang nyaman dan menyenangkan
bagi anak, sehingga tingkah laku anak dapat dikendalikan pada hal yang
diharapkan.

4) Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Kesulitan Belajar Spesifik

Peserta didik yang mengalami hambatan belajar spesifik (disleksia, diskalkulia,


disgrafia) perlu adanya intervensi yang melibatkan seluruh indera dalam proses
belajar mengajarnya. Salah satu teknik yang dapat diterapkan adalah teknik multi
sensori. Berikut hal-hal yang harus dilakukan guru dalam menangani di dalam kelas;
 Perkenalkan belajar alfabet secara sekuensial (berurutan) secara bertahap dan
berurut.
 Alfabet diperkenalkan menggunakan huruf-huruf dari kayu atau plastik,
sehingga anak dapat melihat huruf, mengambilnya, merasakannya dengan
mata terbuka atau tertutup dan mengucapkan bunyinya.
 Peserta didik perlu tahu bahwa huruf /i/ muncul sebelum /k/, Alfabet dapat
dibagi ke dalam beberapa kelompok, yang membuat mudah anak mengingat di
kelompok mana huruf tersebut berada.

 Menyortir dan mencocokkan huruf kapital, huruf kecil, bentuk cetak, dan tulisan
tangan dari huruf; melatih keterampilan sequencing dengan huruf dan bentuk-
bentuk terpotong; dan melatih menempatkan tiap huruf dalam alfabet dalam
hubungannya dengan huruf lain.
Alasan dari teknik ini karena saluran pembelajaran visual, auditori dan taktil-
kinestetik semua digunakan secara berkesinambungan. Teknik multisensori juga
melibatkan proses anak dalam hal (1) mengulang suara yang didengar; (2)
merasakan bentuk yang dibuat bunyi di mulut; (3) membuat bunyi dan
mendengarkan; dan (4) menulis huruf.

Visual (penglihatan)
Peserta didik belajar paling baik dengan cara melihat informasi. Karena itu, cara
mulai yang baik adalah dengan menggunakan kartu bergambar dengan kata-kata
tertulis di bawahnya (flash card). Pilihlah kata-kata yang sesuai dengan level belajar
anak. Selain itu, jika anak kesulitan dengan bunyi, tunjukkan di mana bunyi itu
dibuat di dalam mulut secara umum.

Auditori (pendengaran)
Anak-anak auditori belajar paling baik dengan cara mendengarkan apa yang
diajarkan. Untuk anak yang kesulitan pada masalah bunyi, ajarkan sepasang kata
singkat dan mintalah anak untuk mengatakan kata mana yang betul (tas/das). Juga,
mintalah mereka menulis huruf, kata, atau kalimat sementara guru
mengucapkannya.

Taktil (perabaan)
Anak-anak ini belajar paling baik dengan proses ‘menyentuh’. Ini adalah anak-anak
yang biasa terlihat memisahkan bagian suatu benda dan kemudian menyatukannya
kembali. Mereka belajar paling baik dengan melalui sentuhan, sehingga sangatlah
penting untuk memasukkan gaya belajar ini ke dalam perintah-perintah guru.

Anda mungkin juga menyukai