Implementasi di kelas, guru secara perlahan dan pasti memberikan penanaman sikap simpati
dan empati kepada peserta didik reguler bahwa dalam masyarakat itu memiliki karakteristik
keragaman bentuk, keyakinan, sosial, dan karakter peserta didik berkebutuhan khusus.
Dengan demikian, ciptakan susana kebersamaan dalam berbagai aktivitas agar seluruh
peserta didik membaur dan saling interaksi, sehingga akan tampak mereka bersosialisasi dan
saling tolong menolong antarsesama.
Begitupun gurunya untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan baik, harus memahami
berbagai perbedaan. Setiap individu memiliki karakteristik sendiri, baik dalam gaya belajar
atau kemampuan mengaktulisasikan berbagai kemampuan dan keterampilannya, misalnya
perbedaan jender. Murid laki-laki memiliki karakteristik yang berbeda dengan murid
perempuan. Misalnya, cara berpikir peserta didik laki-laki berbeda dengan murid
perempuan. Namun, tidak menutup kemungkinan karakteristik jender dapat dipertukarkan.
Perbedaan mereka tampak dari kekuatan fisik, perkembangan psikoseksual, minat belajar
pada bidang berlainan, ketekunan, ketelitian, kecenderungan metode pembelajaran yang
lebih sesuai untuk masing-masing jenis kelamin, dan seterusnya. Ada kemungkinan murid
perempuan sangat berminat dalam bidang olah raga, sedangkan murid laki-laki sangat
menyukai pelajaran tata boga. Seorang guru perlu mengenali keunggulan peserta didik tanpa
harus melakukan stereotip jender.
Dengan demikian, guru sangat penting memberikan wawasan kepada peserta didik bahwa
masyarakat majemuk tradisional perlu mempertimbangkan adanya pluralitas horizontal
(adanya perbedaan etnik, sub-sub etnik) dan pluralitas vertical (adanya pelapisan-pelapisan
sosial).
Penamaan istilah “peserta didik” kepada peserta didik di sekolah dewasa ini sudah tepat,
mengingat cara pandang ini yang lebih positif dibanding dengan istilah “murid atau peserta
didik”. Hal ini, kata “peserta didik” dapat mengakomodasi keberagaman peserta didik dalam
melihat kebutuhannya.
Kata “kebutuhan khusus” menjadi dasar dalam melihat apa yang menjadi masalah dan kebutuhan
peserta didik dan bukan pada label yang menyertainya. Oleh karena itu, guru hendaknya memandang
setiap Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) memiliki karakteristik unik. Karakteristik PDBK ini
berkaitan dengan bagaimana cara terbaik dalam memenuhi kebutuhan khususnya. Pandangan ini
akan menuntun guru dalam menyusun akomodasi program untuk mengatasi hambatan dan
mengoptimalkan potensi peserta didik.
Dengan demikian, upaya-upaya pemberian layanan pendidikan terhadap PDBK hendaknya berfokus
pada potensi-potensi yang dapat dikembangkan melalui pengamatan guru secara berkesinambungan
dan sistematik dalam proses identifikasi dan asesmen.
Hal ini, sejalan dengan Permendiknas No 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi Guru bahwa dalam Kompetensi Paedagogik Guru salah satunya
adalah memahami krakteristik peserta didik maka diharapkan sebelaum melakukan
pembelajaran setiap guru dapat melakukan identifikasi dan asesmen. Hal ini untuk dijadikan
sebagai dasar dalam memenuhi kebutuhan belajar peserta didik.
b) To Love, setiap peserta didik di sekolah inklusif harus merasa terlindungi, mengikuti
kegiatan pembelajaran dan aktivitas sekolah lainnya secara ramah, nyaman dan tidak
dibiarkan mendapat bully dari peserta didik lainnya. Bahkan guru harus
mengembangkan sikap saling menyayangi, mencintai sebagai sesama warga sekolah.
c) To Play, setiap peserta didik di sekolah inklusif harus memperooleh kesempatan yang
sama untuk mengikuti aktivitas belajar secara aktif dan bermain di sekolah, seperti
dalam diskusi kelompok, kegiatan ekstrakurikuler, dan perlombaan yang diadakan
sekolah. Peserta didik berkebutuhan khusus harus memperoleh hak yang sama untuk
memperoleh kesempatan aktivitas permainan di kelas dan lingkungan sekolah.
d) To Work, setiap peserta dididk di sekolah inklusif memperoleh hak yang sama untuk
mengembangkan dirinya dalam upaya mengembangkan potensi dirinya untuk nantinya
menjadi individu yang mandiri dalam memasuki dunia kerja. Peserta didik berkebutuhan
khusus tidak boleh dihadirkan di kelas hanya sebagai “pelengkap penderita” akan tetapi
harus diberikan layanan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan layanan
pendidikannya.
1) Low vision
Kelompok ini adalah kelompok hambatan penglihatan yang masih mampu melihat
dengan ketajaman penglihatan (acuity) 20/70. Kelompok ini mampu melihat dari
jarak 6 meter, jauh lebih dekat dibandingkan dengan pelihatan orang normal (21
meter). Gambaran umum dari kelompok ini, mereka masih mampu mengenal
bentuk objek dari berbagai jarak, menghitung jari dari berbagai jarak.
Akibat dari adanya hambatan ini peserta didik diajarkan untuk memahami kemampuan
membaca dan menulis braille dan orientasi mobilitas (OM) untuk membantu mereka
dalam menjalankan daily activities.
Akibat dari adanya kerusakan itu akan mengakibatkan gangguan pada fungsi
pendengaran. Anak mengalami kesulitan untuk memperoleh dan mengolah informasi
yang bersifat auditif, sehingga dapat menimbulkan hambatan dalam melakukan interaksi
dan komunikasi secara verbal.
Menurut Moores dalam Alimin (2007) menjelaskan bahwa anak mengalami disability
dalam berkomunikasi akibat dari kehilangan fungsi pendengaran (impairment). Istilah
hearing impairment diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi istilah
tunarungu, yang di dalamnya terkandung dua kategori yaitu yang disebut dengan deaf
dan hard of hearing.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gangguan pendengaran (tuli atau
kurang dengar) tunarungu adalah mereka yang tidak mendengar atau kurang mendengar
sebagai akibat pendengarannya yang terganggu fungsi indera pendengarannya baik
menggunakan alat bantu dengar maupun tidak. Namun demikian, mereka masih tetap
memerlukan layanan pendidikan khusus karena gangguan pendengaran berdampak
pada aspek-aspek di bawah ini.
1) Aspek Motorik
Anak tunarungu yang tidak memiliki kecacatan lain dapat mencapai tugas-tugas
perkembangan motorik (early major motor milestones), seperti duduk, merangkak,
berdiri dengan tanpa bantuan, dan berjalan sama seperti yang terjadi pada anak
yang mendengar (Preisler dalam Alimin, 2007).
Individu tersebut tidak dapat menerima informasi melalui suara, tetapi mereka
sebaiknya belajar bahasa bibir. Suara yang dikeluarkan oleh anak dengan hambatan
pendengaran biasanya sering sulit untuk dimengerti karena mereka mengalami
kesulitan dalam membeda-bedakan artikulasi, kualitas suara, dan tekanan suara.
Potensi dan kemampuan setiap anak anak mengalami hambatan intelektual berbeda-beda,
maka untuk kepentingan pendidikan diperlukan pengelompokkan anak mengalami
hambatan intelektual. Pengelompokkan itu berdasarkan berat ringannya ketunaan, atas
dasar itu anak tungrahita dapat dikelompokkan.
Hambatan intelektual mengacu pada intelektual umum yang secara signifikan berada di
bawah rata-rata. Anak mengalami hambatan intelektual mengalami hambatan dalam
tingkah laku dan penyesuaian diri. Semua gangguan tersebut berlangsung atau terjadi
pada masa perkembangannya. Lebih lanjut, Gunawan (2011) mengemukakan bahwa
seseorang dikatakan anak mengalami hambatan intelektual apabila memiliki tiga
indikator, yaitu:
keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum atau di bawah rata-rata;
ketidakmampuan dalam prilaku sosial/adaptif; dan
Anak gangguan gerak, dilihat dari persentase anak berkebutuhan khusus yang lain, termasuk
kelompok yang jumlahnya relatif kecil yaitu diperkirakan 0,06% dari populasi anak usia
sekolah. Sedangkan jenis kelainannya bermacam-macam dan bervariasi, sehingga
permasalahan yang dihadapi sangat kompleks.
Pada dasarnya anak gangguan gerak dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu (1)
Kelainan pada sistem serebral (cerebral system) dan (2) kelainan pada sistem otot dan rangka
(musculus skeletal system). Adapun yang termasuk kelompok pertama, seperti cerebral palsy
yang meliputi jenis spastic, athetosis, rigid, hipotonia, tremor, ataxia, dan campuran.
Sedangkan yang termasuk pada kelompok kedua, seperti poliomyelitis, muscle dystrophy dan
spina bifida. Sedangkan anak anak yang mengalami kelumpuhan yang dikarenakan
kerusakan pada otot motorik yang sering diderita oleh anak-anak pasca polio dan muscle
dystrophy lain mengakibatkan gangguan motorik terutama gerakan lokomosi, gerakan
ditempat, dan mobilisasi. Ada sebagian anak dengan gangguan gerak yang berat, ringan, dan
sedang. Untuk berpindah tempat perlu alat ambulasi, juga perlu alat bantu dalam memenuhi
kebutuhannya, yaitu memenuhi kebutuhan gerak.
Di dalam dunia Pendidikan Khusus dikenal dengan nama anak hambatan perilaku dan
emosi (behavioral disorder). Kelainan tingkah laku ditetapkan bila mengandung unsur:
Tingkah laku anak menyimpang dari standar yang diterima umum.
Derajat penyimpangan tingkah laku dari standar umum sudah ekstrim.
Lamanya waktu pola tingkah laku itu dilakukan.
Secara umum anak hambatan perilaku dan emosi (anak yang mengalami gangguan emosi
dan perilaku) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Cenderung membangkang.
Mudah terangsang emosinya/emosional/mudah marah.
Sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu.
Sering bertindak melanggar norma sosial/norma susila/hukum.
Cenderung prestasi belajar dan motivasi rendah sering bolos jarang masuk sekolah.
b. Anak Autis
Autisme berdasarkan Individuals with Disabilities Education (IDEA) yang dikutip oleh
Rahardja (2006) adalah kelainan perkembangan yang secara signifikan berpengaruh
terhadap komunikasi verbal dan non verbal serta interaksi sosial, umumnya terjadi pada
usia sebelum tiga tahun, yang berpengaruh buruk terhadap kinerja pendidikan anak.
Karakteristik yang lain sering menyertai autisme seperti melakukan kegiatan yang
berulang-ulang dan gerakan stereotip, penolakan terhadap perubahan lingkungan atau
perubahan dalam rutinitas sehari- hari, dan memberikan respon yang tidak semestinya
terhadap pengalaman sensori. Secara umum anak autis memiliki karakteristik sebagai
berikut.
Mengalami hambatan di dalam bahasa.
Kesulitan dalam mengenal dan merespon emosi dengan isyarat sosial.
Kekakuan dan miskin dalam mengekspresikan perasaan.
Kurang memiliki perasaan dan empati.
Sering berperilaku di luar kontrol dan meledak-ledak.
Secara menyeluruh mengalami masalah dalam perilaku.
Kurang memahami akan keberadaan dirinya sendiri.
Keterbatasan dalam mengekspresikan diri
Berperilaku monoton dan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan
lingkungan.
Dalam dunia pendidikan, anak autis ini dapat digolongkan ke dalam beberapa spektrum,
yaitu sebagai berikut.
Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat tinggi. (High function
children with autism).
Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat menengah (Middle
function children with autism).
Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat rendah (Low function
children with autism).
Berikut beberapa karakteristik yang paling sering diidentifikasi terdapat pada anak
berbakat istimewa pada masing-masing domain di atas. Namun demikian perlu dicatat
bahwa tidak semua anak-anak berbakat istimewa (gifted) selalu menunjukkan atau
memiliki karakteristik intelektual-kognitif seperti di bawah ini (Gunwan, 2011):
Menunjukkan atau memiliki ide-ide yang orisinal, gagasan-gagasan yang tidak lazim,
pikiran-pikiran kreatif.
Mampu menghubungkan ide-ide yang nampak tidak berkaitan menjadi suatu
konsep yang utuh.
Menunjukkan kemampuan bernalar yang sangat tinggi.
Mampu menggeneralisasikan suatu masalah yang rumit menjadi suatu hal yang
sederhana dan mudah dipahami.
Memiliki kecepatan yang sangat tinggi dalam memecahkan masalah.
Menunjukkan daya imajinasi yang luar biasa.
Memiliki perbendaharaan kosakata yang sangat kaya dan mampu
mengartikulasikannya dengan baik.
Biasanya fasih dalam berkomunikasi lisan, senang bermain atau merangkai kata-
kata.
Sangat cepat dalam memahami pembicaraan atau pelajaran yang diberikan.
Memiliki daya ingat jangka panjang (long term memory) yang kuat.
Mampu menangkap ide-ide abstrak dalam konsep matematika dan/atau sains.
Memiliki kemampuan membaca yang sangat cepat.
Banyak gagasan dan mampu menginspirasi orang lain.
Memikirkan sesuatu secara kompleks, abstrak, dan dalam.
Mampu memikirkan tentang beragam gagasan atau persoalan dalam waktu yang
bersamaan dan cepat mengaitkan satu dengan yang lainnya.
d. Kesulitan Belajar Spesifik (Disleksia, Diskalkulia, Disgrafia)
Anak yang mengalami learning disabilities (LD) atau Specific Learning Diificulties (SLD)
secara umum dapat diartikan suatu kesulitan belajar pada anak yang ditandai oleh
ketidakmampuan dalam mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya dan berdampak
pada hasil akademiknya. Kesulitan belajar merupakan hambatan atau gangguan
belajar pada anak atau remaja yang ditandai adanya kesenjangan yang signifikan
antara taraf intelegensi dan kemampuan akademik yang seharusnya dicapai oleh
anak seusianya.
Anak LD atau SLD adalah masalah belajar primer yang disebabkan karena adanya deficit
atau kekurangan fungsi dalam satu atau lebih area inteligensi. Penyebabnya gangguan
neurologis dan genetik. Istilah LD atau SLD hanya dikenakan pada anak-anak yang
mempunyai inteligensia normal hingga tinggi. Gangguan ini merupakan gangguan yang
kasat mata, berupa kesalahan dalam hal membaca (disleksia), menulis (disgrafia), dan
berhitung (diskalkulia). Kesalahan yang terjadi akan selalu dalam kesalahan sama secara
terus menerus, dan dibawa seumur hidup (long live disabilities). Adapun karakteristiknya
dapat diidentifikasi dari hal-hal berikut ini.
Seseorang dikatakan hambatan penglihatan total atau buta total (totally blind) jika
mengalami hambatan visual yang sangat berat sampai tidak dapat melihat sama sekali.
Penyandang buta total mempergunakan kemampuan perabaan dan pendengaran
sebagai saluran utama dalam belajar. Orang seperti ini biasanya mempergunakan huruf
Braille sebagai media membaca dan memerlukan latihan orientasi dan mobilitas.
Aspek Motorik
Anak tunarungu yang tidak memiliki hambatan lain dapat mencapai tugas-tugas
perkembangan motorik (early major motor milestones), seperti duduk, merangkak,
berdiri dengan tanpa bantuan, dan berjalan sama seperti yang terjadi pada anak yang
mendengar (Preisler, 1995, dalam Alimin, 2007). Namun demikian, beberapa hasil
penelitian menunjukkan bahwa anak yang mengalami hambatan pendengaran memiliki
kesulitan dalam hal kesimbangan dan koordinasi gerak umum, dalam menyelesaikan
tugas-tugas yang memerlukan kecepatan serta gerakan-gerakan yang kompleks.
Individu ini tidak dapat menerima informasi melalui suara, tetapi mereka sebaiknya
belajar bahasa bibir. Suara yang dikeluarkan oleh individu dengan hambatan
pendengaran biasanya sering sulit untuk dimengerti, karena mereka mengalami
kesulitan dalam membeda-bedakan artikulasi, kualitas suara, dan tekanan suara.
Menyortir dan mencocokkan huruf kapital, huruf kecil, bentuk cetak, dan tulisan
tangan dari huruf; melatih keterampilan sequencing dengan huruf dan bentuk-
bentuk terpotong; dan melatih menempatkan tiap huruf dalam alfabet dalam
hubungannya dengan huruf lain.
Alasan dari teknik ini karena saluran pembelajaran visual, auditori dan taktil-
kinestetik semua digunakan secara berkesinambungan. Teknik multisensori juga
melibatkan proses anak dalam hal (1) mengulang suara yang didengar; (2)
merasakan bentuk yang dibuat bunyi di mulut; (3) membuat bunyi dan
mendengarkan; dan (4) menulis huruf.
Visual (penglihatan)
Peserta didik belajar paling baik dengan cara melihat informasi. Karena itu, cara
mulai yang baik adalah dengan menggunakan kartu bergambar dengan kata-kata
tertulis di bawahnya (flash card). Pilihlah kata-kata yang sesuai dengan level belajar
anak. Selain itu, jika anak kesulitan dengan bunyi, tunjukkan di mana bunyi itu
dibuat di dalam mulut secara umum.
Auditori (pendengaran)
Anak-anak auditori belajar paling baik dengan cara mendengarkan apa yang
diajarkan. Untuk anak yang kesulitan pada masalah bunyi, ajarkan sepasang kata
singkat dan mintalah anak untuk mengatakan kata mana yang betul (tas/das). Juga,
mintalah mereka menulis huruf, kata, atau kalimat sementara guru
mengucapkannya.
Taktil (perabaan)
Anak-anak ini belajar paling baik dengan proses ‘menyentuh’. Ini adalah anak-anak
yang biasa terlihat memisahkan bagian suatu benda dan kemudian menyatukannya
kembali. Mereka belajar paling baik dengan melalui sentuhan, sehingga sangatlah
penting untuk memasukkan gaya belajar ini ke dalam perintah-perintah guru.