Anda di halaman 1dari 19

Konsep Keberagaman Peserta Didik

Umpan Balik

Berdasarkan hasil diskusi yang dilakukan, mungkin Saudara memperoleh hal-hal baru yang dapat
menambah pemahaman Saudara terkait dengan keberagaman peserta didik dan bagaimana sikap yang
dapat dilakukan terhadap peserta didik tersebut.

Ada beberapa peserta didik yang memiliki keberagaman seperti:

Keberagaman Fisik:

Ada peserta didik yang tinggi, sedang, pendek untuk ukuranpada kelasnya

Ada peserta didik yang gemuk. Sedang, kurus untuk ukuranpada kelasnya

Ada peserta didik jenis kelamin dan perempuan

Ada peserta yang memiliki kelengkapan dan fungsi standar pada anggota tubuhnya, ada juga peserta
didik yang memiliki hambatan dalam kelengkapan dan fungsi anggota tubuhnya.

Keberagaman Sensorik:

Ada peserta didik yang memiliki penglihatan tanpa hambatan, ada peserta didik yang memiliki
hambatan penglihatan

Ada peserta didik yang memiliki pendengaran tanpa hambatan, ada peserta didik yang memiliki
hambatan pendengaran

Keberagaman Sosial ekonomi dan demografis:

Ada peserta didik dari keluarga kaya, sedang, miskin

Ada peserta didik dari perkotaan dan pedesaan

Ada peserta didik yang tinggal di perumahan dan masyarakat/perkampungan

Keragaman jenis lainnya:

Ada peserta dengan hambatan perilaku dan emosi, kesulitan belajar spesifik, autis, dan sebagainya

Kemudian Sikap dan tindakan yang harus lakukan guru terhadap keberagaman peserta didik:

Menerima keragamaan peserta didik yang ada di kelas


Memahami perbedaan unik setiap individu peserta didik

Menciptakan suasana yang aman, nyaman dan ramah bagi semua peserta didik

Memberikan kebutuhan layanan pembelajaran, khususnya bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus
dengan tetap memberikan perhatian yang sama untuk kelas.

Untuk lebih jelasnnya, Saudara dapat mencermati materi yang disajikan pada halaman berikutnya.

Konsep Keberagaman Peserta Didik

Pengertian Keberagaman Peserta Didik

Keberagaman peserta didik di kelas inklusif memiliki karakteristik tersendiri, baik pada peserta didik
reguler maupun pada peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK). Keberadaan PDBK dipayungi Undang
Undang Dasar 1945 pasal 31, ayat 1 mengamanatkan bahwa; “Setiap warga Negara berhak
mendapatkan pendidikan” dan ayat 2; “Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya’. Dengan demikian, peserta didik dalam kelas walaupun berbeda
keyakinan, fisik, gender, latar belakang keluarga, harapan, kemampuan, kelebihan peserta didik memiliki
hak untuk belajar.

Implementasi di kelas, guru secara perlahan dan pasti memberikan penanaman sikap simpati dan
empati kepada peserta didik reguler bahwa dalam masyarakat itu memiliki karakteristik keragaman
bentuk, keyakinan, sosial, dan karakter peserta didik berkebutuhan khusus. Dengan demikian, ciptakan
susana kebersamaan dalam berbagai aktivitas agar seluruh peserta didik membaur dan saling interaksi,
sehingga akan tampak mereka bersosialisasi dan saling tolong menolong antarsesama.

Konsep Keberagaman Peserta Didik

Pengertian Keberagaman Peserta Didik

Guru sangat penting memberikan wawasan kepada peserta didik bahwa masyarakat majemuk
tradisional perlu mempertimbangkan adanya pluralitas horizontal (adanya perbedaan etnik, sub-sub
etnik) dan pluralitas vertical (adanya pelapisan-pelapisan sosial).

Penamaan istilah “peserta didik” kepada siswa di sekolah dewasa ini sudah tepat, mengingat cara
pandang ini yang lebih positif dibanding dengan istilah “murid atau siswa”. Hal ini, kata “peserta didik”
dapat mengakomodasi keberagaman peserta didik dalam melihat kebutuhannya.

Kata “kebutuhan khusus” menjadi dasar dalam melihat apa yang menjadi masalah dan kebutuhan
peserta didik dan bukan pada label yang menyertainya. Oleh karena itu, guru hendaknya memandang
setiap Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) memiliki karakteristik unik. Karakteristik PDBK ini
berkaitan dengan bagaimana cara terbaik dalam memenuhi kebutuhan khususnya. Pandangan ini akan
menuntun guru dalam menyusun akomodasi program untuk mengatasi hambatan dan mengoptimalkan
potensi peserta didik.
Permendiknas No 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru bahwa
dalam Kompetensi Paedagogik Guru salah satunya adalah memahami krakteristik peserta didik maka
diharapkan sebelaum melakukan pembelajaran setiap guru dapat melakukan identifikasi dan asesmen.
Hal ini untuk dijadikan sebagai dasar dalam memenuhi kebutuhan belajar peserta didik.

Konsep Keberagaman Peserta Didik

Indikator Kualitas Hidup Peserta Didik

indikatorKebearagaman peserta didik di sekolah inlklusif adalah suatu kenyataan yang untuk dibuat
sebagai “sesuatu yang aneh” akan tetapi keberagaman peserta didik tersebut harus menjadi sebuah
“tantangan” bagi guru untuk memberikan layanan pembelajaran akomodatif bagi setiap peserta didik.
Peserta didik reguler maupun peserta didik berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama untuk
memperoleh layanan pembelajaran dalam upaya mencapai kualitas hidup.

Ada empat indikator kualitas hidup bagi setiap peserta didik, yakni sebagai berikut:

To Live, setiap peserta didik di sekolah inklusif memilki hak untuk hidup mengembangkan potensi
dirinya, tanpa harus terhalangi atau dibatasi oleh kondisi hambatan yang dimilikinya. Peserta didik
berkebutuhan khusus di sekolah inklusif tidak boleh dibiarkan hanya sebagai “pelengkap kuota kelas
inklusif”, tetapi keberadaan peserta didik di kelas inklusif harus menjadi tantangan bagi guru untuk
berkreatif dalam mengembangkan layanan pembelajaran akomodatif.

To Love, setiap peserta didik di sekolah inklusif harus merasa terlindungi, mengikuti kegiatan
pembelajaran dan aktivitas sekolah lainnya secara ramah, nyaman dan tidak dibiarkan mendapat bully
dari peserta didik lainnya. Bahkan guru harus mengembangkan sikap saling menyayangi, mencintai
sebagai sesama warga sekolah.

To Play, setiap peserta didik di sekolah inklusif harus memperooleh kesempatan yang sama untuk
mengikuti aktivitas belajar secara aktif dan bermain di sekolah, seperti dalam diskusi kelompok, kegiatan
ekstrakurikuler, dan perlombaan yang diadakan sekolah. Peserta didik berkebutuhan khusus harus
memperoleh hak yang sama untuk memperoleh kesempatan aktivitas permainan di kelas dan
lingkungan sekolah.

To Work, setiap peserta dididk di sekolah inklusif memperoleh hak yang sama untuk mengembangkan
dirinya dalam upaya mengembangkan potensi dirinya untuk nantinya menjadi individu yang mandiri
dalam memasuki dunia kerja. Peserta didik berkebutuhan khusus tidak boleh dihadirkan di kelas hanya
sebagai “pelengkap penderita” akan tetapi harus diberikan layanan pendidikan yang mengakomodasi
kebutuhan layanan pendidikannya.
Klasifikasi Peserta Didik
Jenis Peserta Didik

Sekolah inklusif adalah Lembaga pendidikan yang dihadirkan dengan tujuan untuk membuka
aksesibilitas semua warga masyarakat usia belajar untuk memperoleh layanan pembelajaran tanpa
terhalang oleh hambatan fisik, mental akademik, sensorik dan kondisi sosial ekonomi. Keragaman
peserta didik pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif sangat beragam, karena
sekolah inklusif memberikan akses yang terbuka bagi semua peserta didik.

Peserta didik di sekolah inklusif, ada tiga klasifikasi besar, yaitu:

Peserta didik reguler. Peserta didik reguler adalah peserta didik yang tidak memiliki hambatan tertentu,
misalnya hambatan fisik, mental kognitif, sensorik dan hambatan lainnya yang menyebabkan mereka
mengalami kendala dalam mengikuti pembelajaran secara klasikal.

Peserta didik berkebutuhan khusus. Peserta didik berkebutuhan khusus adalah peserta didik yang
memiliki hambatan tertentu, seperti hambatan penglihatan, hambatan pendengaran, hambatan
intelektual, hambatan fisik, hambatan dengan autistik, dan hambatan lainnya seperti anak hiperaktif,
lamban belajar, rendah konsentrasi dan gangguan perilaku tertentu.

Peserta didik berkebutuhan layanan khusus. Peserta didik berkebutuhan layanan khusus adalah peserta
didik yang mengalami hambatan secara eksternal, seperti anak korban bencana alam, anak korban HIV,
anak korban kekerasan rumah tangga dan lingkungan.

Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

Anak Berkebutuhan Khusus dapat diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan pendidikan yang
disesuaikan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara individual.

Dalam paradigma pendidikan, keberagaman peserta didik yang kebutuhan khusus sangat dihargai
karena setiap anak memiliki latar belakang kehidupan budaya dan perkembangan yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, setiap anak memiliki kebutuhan khusus serta hambatan belajar yang berbeda-beda
pula, sehingga setiap anak sesungguhnya memerlukan layanan pendidikan yang disesuaikan sejalan
dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak.

Pemahaman anak berkebutuhan khusus terhadap konteks, ada yang bersifat biologis, psikologis, sosio-
kultural. Dasar biologis anak berkebutuhan khusus bisa dikaitkan dengan kelainan genetik dan
menjelaskan secara biologis penggolongan anak berkebutuhan khusus, seperti brain injury yang bisa
mengakibatkan kecacatan tunaganda.
Dalam konteks psikologis, anak berkebutuhan khusus lebih mudah dikenali dari sikap dan perilaku,
seperti gangguan pada kemampuan belajar pada anak slow learner, gangguan kemampuan emosional
dan berinteraksi pada anak autis, gangguan kemampuan berbicara pada anak autis dan Attention Deficit
Hiperaktif Disorder (ADHD). Konsep sosio-kultural mengenal anak berkebutuhan khusus sebagai anak
dengan kemampuan dan perilaku yang tidak pada umumnya, sehingga memerlukan penanganan
khusus.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus (Heward, 2002) adalah anak dengan
karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada
ketidakmampuan mental, emosi atau fisik.

Anak kebutuhan khusus (special needs children) dapat diartikan secara simpel sebagai anak yang lambat
(slow) atau mangalami gangguan (retarded) yang sangat sukar untuk berhasil di sekolah sebagaimana
anak-anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang secara pendidikan memerlukan
layanan yang spesifik yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya.

Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

Banyak istilah yang dipergunakan sebagai variasi dari kebutuhan khusus, seperti disability, impairment,
dan handicap. Menurut World Health Organization (WHO), definisi masing-masing istilah adalah sebagai
berikut:

Disability yaitu keterbatasan atau kurangnya kemampuan (yang dihasilkan dari impairment) untuk
menampilkan aktivitas sesuai dengan aturannya atau masih dalam batas normal, biasanya digunakan
dalam level individu.

Impairment yaitu kehilangan atau ketidaknormalan dalam hal psikologis, atau struktur anatomi atau
fungsinya, biasanya digunakan pada level organ.

Handicap yaitu ketidakberuntungan individu yang dihasilkan dari impairment atau disability yang
membatasi atau menghambat pemenuhan peran yang normal pada individu.

Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus


Konsep anak berkebutuhan khusus memiliki arti yang lebih luas dibandingkan dengan pengertian anak
luar biasa. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam pendidikan memerlukan pelayanan yang
spesifik, berbeda dengan anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus ini mengalami hambatan
dalam belajar dan perkembangan. Oleh sebab itu, mereka memerlukan layanan pendidikan yang sesuai
dengan kebutuhan belajar masing-masing anak.

Hal ini sesuai dengan pendapat Alimin (2007) yang mengungkapkan bahwa anak berkebutuhan khusus
dapat diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan pendidikan yang disesuiakan dengan hambatan
belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara individual. Dengan kata lain, lingkungan belajar,
teknik, media, dan lainnya harus menyesuaikan dengan ABK.

Anak Berkebutuhan Khusus Temporer/Sementara


Alimin (2007) menjelaskan bahwa anak berkebutuhan khusus temporer/sementara (temporary special
needs) adalah anak-anak yang mengalami hambatan akibat dari faktor-faktor lingkungan seperti:

anak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat sering menerima kekerasan dalam rumah
tangga

mengalami kesulitan konsentrasi karena sering diperlakukan kasar oleh orang tuanya

mengalami kesulitan kumulatif dalam membaca dan berhitung akibat kekeliruan guru dalam mengajar

anak-anak yang mengalami trauma akibat dari bencana alam yang mereka alami.

Anak Berkebutuhan Khusus Temporer/Sementara

Alimin (2007) menjelaskan bahwa anak berkebutuhan khusus


temporer/sementara (temporary special needs) adalah anak-anak yang mengalami
hambatan akibat dari faktor-faktor lingkungan seperti:

a. anak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat sering menerima


kekerasan dalam rumah tangga
b. mengalami kesulitan konsentrasi karena sering diperlakukan kasar oleh orang
tuanya
c. mengalami kesulitan kumulatif dalam membaca dan berhitung akibat kekeliruan guru
dalam mengajar
d. anak-anak yang mengalami trauma akibat dari bencana alam yang mereka alami.

Jenis Hambatan Peserta Didik Berkebutuhan Khusus


Anak dengan Hambatan Sensorik - Penglihatan (Tunanetra)
Menurut Gunawan (2011), anak dengan hambatan penglihatan adalah anak yang mengalami gangguan
daya penglihatan sedemikian rupa, sehingga membutuhkan layanan, khusus dalam pendidikan maupun
kehidupannya. Dilihat dari sisi kependidikan dan rehabilitasi peserta didik hambatan penglihatan adalah
mereka yang memiki hambatan penglihatan sehingga menghalangi dirinya untuk berfungsi dalam
pendidikan dan aktifitas rehabilitatif tanpa menggunakan alat khusus, material khusus, latihan khusus,
dan atau bantuan lain secara khusus.

Klasifikasi gangguan penglihatan berdasarkan tingkat ketajaman penglihatan dan dalam


perspektif pendidikan menurut Gunawan (2011) dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok,
yaitu kelompok low vision dan hambatan penglihatan total (Totally Blind).
1. Low Vision
Kelompok ini adalah kelompok hambatan penglihatan yang masih mampu melihat dengan
ketajaman penglihatan (acuity) 20/70. Kelompok ini mampu melihat dari jarak 6 meter, jauh
lebih dekat dibandingkan dengan pelihatan orang normal (21 meter). Gambaran umum dari
kelompok ini, mereka masih mampu mengenal bentuk objek dari berbagai jarak,
menghitung jari dari berbagai jarak.

2. Hambatan penglihatan total


Peserta didik dikatakan memiliki hambatan penglihatan secara total mereka yang tidak bisa
memfungsikan kemampuan visualnya tidak memiliki penglihatan atau pun mereka yang
bisa merasakan adanya sinar seperti mengetahui siang dan malam tanpa mengetahui
sumber cahayanya.

Akibat dari adanya hambatan ini peserta didik diajarkan untuk memahami kemampuan
membaca dan menulis braille dan orientasi mobilitas (OM) untuk membantu mereka dalam
menjalankan daily activities.

Anak dengan Hambatan Sensorik - Pendengaran (Tunarungu)


Menurut Nakata dalam Rahardja (2006) yang mengungkapkan bahwa anak dengan hambatan
pendengaran atau anak tunarungu adalah ereka yang mempunyai kemampuan mendengar di kedua
telinganya hampir di atas 60 desibel, yaitu mereka yang tidak mungkin atau kesulitan secara signifikan
untuk memahami suara pembicaraan normal meskipun dengan mempergunakan alat bantu dengar atau
alat-alat lainnya.

Tunarungu merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan keadaan kehilangan


pendengaran yang dialami seseorang. Dalam bahasa Inggris terdapat istilah hearing
impairment, istilah ini menggambarkan adanya kerusakan atau gangguan secara
fisik. Akibat dari adanya kerusakan itu akan mengakibatkan gangguan pada fungsi
pendengaran. Anak mengalami kesulitan untuk memperoleh dan mengolah informasi yang
bersifat auditif, sehingga dapat menimbulkan hambatan dalam melakukan interaksi dan
komunikasi secara verbal.

Gangguan pendengaran (tuli atau kurang dengar) tunarungu adalah mereka yang tidak
mendengar atau kurang mendengar sebagai akibat pendengarannya yang terganggu fungsi
indera pendengarannya baik menggunakan alat bantu dengar maupun tidak. Namun
demikian, mereka masih tetap memerlukan layanan pendidikan khusus karena gangguan
pendengaran berdampak pada aspek-aspek berikut:

1. Aspek Motorik
Anak tunarungu yang tidak memiliki kecacatan lain dapat mencapai tugas-tugas
perkembangan motorik (early major motor milestones), seperti duduk, merangkak,
berdiri dengan tanpa bantuan, dan berjalan sama seperti yang terjadi pada anak
yang mendengar (Preisler dalam Alimin, 2007).
Namun beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa anak dengan hambatan
pendengaran memiliki kesulitan dalam hal keseimbangan dan koordinasi gerak
umum, dalam menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan kecepatan serta
gerakan-gerakan yang kompleks (Ittyerah, Sharma, dalam Alimin, 2007).

2. Aspek bicara dan bahasa


Keterampilan berbicara dan bahasa merupakan bidang perkembangan yang paling
banyak dipengaruhi oleh hambatan pendengaran. Khususnya anak dengan
hambatan pendengaran dibawa sejak lahir. Menurut Rahardja (2006) bagi anak
dengan hambatan pendengaran congenital atau berat, suara yang keras tidak dapat
didengarnya meskipun dengan menggunakan alat bantu dengar.
Individu tersebut tidak dapat menerima informasi melalui suara, tetapi mereka
sebaiknya belajar bahasa bibir. Suara yang dikeluarkan oleh anak dengan hambatan
pendengaran biasanya sering sulit untuk dimengerti karena mereka mengalami
kesulitan dalam membeda-bedakan artikulasi, kualitas suara, dan tekanan suara.

Jenis Hambatan Peserta Didik Berkebutuhan Khusus


Anak dengan Hambatan Mental Kognitif - Hambatan Intelektual (Tunagrahita)
Anak dengan Hambatan Intelektual (Tunagrahita)

Menurut Gunawan (2011) anak mengalami hambatan intelektual adalah anak yang secara
nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental-intelektual di
bawah rata-rata, sehingga mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.
Mereka memerlukan layanan pendidikan khusus. Anak mengalami hambatan intelektual
ialah anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Berbagai istilah
yang dikemukakan mengenai anak mengalami hambatan intelektual, selalu menunjuk pada
keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum berada di bawah usia kronologisnya
secara meyakinkan sehingga membutuhkan layanan pendidikan khusus.

Potensi dan kemampuan setiap anak anak mengalami hambatan intelektual berbeda-beda,
maka untuk kepentingan pendidikan diperlukan pengelompokkan anak mengalami
hambatan intelektual. Pengelompokkan itu berdasarkan berat ringannya ketunaan, atas
dasar itu anak tungrahita dapat dikelompokkan.

1. Hambatan Intelektual Ringan


Anak mengalami hambatan intelektual ringan umumnya memiliki kondisi fisik yang tidak
berbeda. Mereka mempunyai IQ antara kisaran 50 s/d 70 dan juga termasuk kelompok
mampu didik, mereka masih bisa dididik (diajarkan) membaca, menulis dan berhitung, anak
anak mengalami hambatan intelektual ringan biasanya bisa menyelesaikan pendidikan
setingkat kelas IV SD Umum.

2. Hambatan Intelektual Sedang


Anak anak mengalami hambatan intelektual sedang termasuk kelompok latih. Kondisi
fisiknya sudah dapat terlihat, tetapi ada sebagian anak mengalami hambatan intelektual
yang mempunyai fisik normal. Kelompok ini mempunyai IQ antara 30 s/d 50. Mereka
biasanya menyelesaikan pendidikan setingkat kelas 2 SD Umum.
3. Hambatan Intelektual Berat
Kelompok ini termasuk yang sangat rendah intelegensinya tidak mampu menerima
pendidikan secara akademis. Anak anak mengalami hambatan intelektual berat termasuk
kelompok mampu rawat, IQ mereka rata-rata 30 ke bawah. Dalam kegiatan sehari-hari
mereka membutuhkan bantuan orang lain.

Anak dengan Hambatan Mental Kognitif - Hambatan Intelektual (Tunagrahita)


Hambatan intelektual mengacu pada intelektual umum yang secara signifikan berada di bawah rata-rata.
Anak mengalami hambatan intelektual mengalami hambatan dalam tingkah laku dan penyesuaian diri.
Semua gangguan tersebut berlangsung atau terjadi pada masa perkembangannya. Lebih lanjut,
Gunawan (2011) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan anak mengalami hambatan intelektual
apabila memiliki tiga indikator, yaitu:

1. keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum atau di bawah rata- rata


2. ketidakmampuan dalam prilaku sosial/adaptif
3. hambatan perilaku sosial/adaptif terjadi pada usia perkembangan yaitu sampai
dengan usia 18 tahun.

Anak dengan Hambatan Mental Kognitif - Hambatan Intelektual (Tunagrahita)


Penggolongan anak anak mengalami hambatan intelektual menurut kriteria perilaku adaptif tidak
berdasarkan taraf intelegensi, tetapi berdasarkan kematangan sosial. Hal ini juga mempunyai empat
taraf, yaitu ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Secara umum dampak dari gangguan intelektual
dapat dilihat pada ciri-ciri sebagai berikut.

1. Lamban dalam mempelajari hal-hal baru, mempunyai kesulitan dalam mempelajari


konsep yang abstrak, dan selalu cepat lupa apa yang di pelajari apabila tanpa
latihan terus menerus.
2. Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru.
3. Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak mengalami hambatan intelektual
berat.
4. Cacat fisik dan perkembangan gerak. Anak mengalami hambatan intelektual berat
mempunyai keterbatasan dalam gerak fisik, ada yang tidak dapat berjalan, tidak
dapat berdiri atau bangun tanpa bantuan. Mereka lambat dalam mengerjakan tugas-
tugas yang sangat sederhana, sulit menjangkau sesuatu, dan mendongakkan
kepala.
5. Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri. Sebagian dari anak mengalami
hambatan intelektual berat sangat sulit untuk mengurus diri sendiri, seperti;
berpakaian, makan, mengurus kebersihan diri. Mereka selalu memerlukan latihan
khusus untuk mempelajari kemampuan dasar.
6. Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim. Anak mengalami hambatan intelektual
ringan dapat bermain bersama dengan anak reguler, tetapi anak yang mempunyai
anak mengalami hambatan intelektual berat tidak melakukan hal tersebut. Hal itu
mungkin disebabkan kesulitan bagi anak mengalami hambatan intelektual dalam
memberikan perhatian terhadap lawan main.
7. Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus. Banyak anak mengalami hambatan
intelektual berat bertingkah laku tanpa tujuan yang jelas.

Anak dengan Hambatan Fisik - Hambatan Anggota Gerak (Tunadaksa)


Anak dengan Hambatan Anggota Gerak (Tunadaksa)

Nakata (2003) dalam Djadja R, (2006) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan
gangguan gerak adalah:

1. Mereka yang tingkat kecacatan fisiknya mengakibatkan mereka mengalami kesulitan


yang berat atau ketidakmungkinan melakukan gerak dasar dalam kehidupan sehari-
hari seperti berjalan dan menulis meskipun dengan memgunakan alat-alat bantu
pendukung.
2. Mereka yang tingkat kecacatan fisiknya tidak lebih dari nomor 1 di atas yang selalu
memerlukan observasi dan bimbingan medis.

Pada dasarnya anak gangguan gerak dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu:

1. Kelainan pada sistem serebral (cerebral system)


2. Kelainan pada sistem otot dan rangka (musculus skeletal system).

Adapun yang termasuk kelompok pertama, seperti cerebral palsy yang meliputi
jenis spastic, athetosis, rigid, hipotonia, tremor, ataxia, dan campuran.
Sedangkan yang termasuk pada kelompok kedua, seperti poliomyelitis, muscle
dystrophy dan spina bifida. Sedangkan anak anak yang mengalami kelumpuhan yang
dikarenakan kerusakan pada otot motorik yang sering diderita oleh anak-anak pasca polio
dan muscle dystrophy lain mengakibatkan gangguan motorik terutama gerakan lokomosi,
gerakan ditempat, dan mobilisasi. Ada sebagian anak dengan gangguan gerak yang berat,
ringan, dan sedang. Untuk berpindah tempat perlu alat ambulasi, juga perlu alat bantu
dalam memenuhi kebutuhannya, yaitu memenuhi kebutuhan gerak.

Anak dengan Gangguan Perilaku dan Emosi


Menurut Gunawan (2011) anak dengan gangguan perilaku adalah anak yang berperilaku menyimpang
baik pada taraf sedang, berat dan sangat berat, terjadi pada usia anak dan remaja, sebagai akibat
terganggunya perkembangan emosi dan sosial atau keduanya, sehingga merugikan dirinya sendiri
maupun lingkungan, maka dalam mengembangkan potensinya memerlukan pelayanan dan pendidikan
secara khusus.
Di dalam dunia Pendidikan Khusus dikenal dengan nama anak hambatan perilaku dan
emosi (behavioral disorder). Kelainan tingkah laku ditetapkan bila mengandung unsur:

1. Tingkah laku anak menyimpang dari standar yang diterima umum.


2. Derajat penyimpangan tingkah laku dari standar umum sudah ekstrim.
3. Lamanya waktu pola tingkah laku itu dilakukan.

Secara umum anak hambatan perilaku dan emosi (anak yang mengalami gangguan emosi
dan perilaku) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Cenderung membangkang.
b. Mudah terangsang emosinya/emosional/mudah marah.
c. Sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu.
d. Sering bertindak melanggar norma sosial/norma susila/hukum.
e. Cenderung prestasi belajar dan motivasi rendah sering bolos jarang masuk sekolah.

Anak Autis
Autisme berdasarkan Individuals with Disabilities Education (IDEA) yang dikutip oleh Rahardja (2006)
adalah kelainan perkembangan yang secara signifikan berpengaruh terhadap komunikasi verbal dan non
verbal serta interaksi sosial, umumnya terjadi pada usia sebelum tiga tahun, yang berpengaruh buruk
terhadap kinerja pendidikan anak.

Karakteristik yang lain sering menyertai autisme seperti melakukan kegiatan yang berulang-
ulang dan gerakan stereotip, penolakan terhadap perubahan lingkungan atau perubahan
dalam rutinitas sehari- hari, dan memberikan respon yang tidak semestinya terhadap
pengalaman sensori. Secara umum anak autis memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Mengalami hambatan di dalam bahasa.


2. Kesulitan dalam mengenal dan merespon emosi dengan isyarat sosial.
3. Kekakuan dan miskin dalam mengekspresikan perasaan.
4. Kurang memiliki perasaan dan empati.
5. Sering berperilaku di luar kontrol dan meledak-ledak.
6. Secara menyeluruh mengalami masalah dalam perilaku.
7. Kurang memahami akan keberadaan dirinya sendiri.
8. Keterbatasan dalam mengekspresikan diri
9. Berperilaku monoton dan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan
lingkungan.

Dalam dunia pendidikan, anak autis ini dapat digolongkan ke dalam beberapa spektrum,
yaitu sebagai berikut:

a. Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat tinggi. (High function
children with autism).
b. Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat menengah (Middle
function children with autism).
c. Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat rendah (Low function
children with autism)

Anak Autis
Autisme berdasarkan Individuals with Disabilities Education (IDEA) yang dikutip oleh Rahardja (2006)
adalah kelainan perkembangan yang secara signifikan berpengaruh terhadap komunikasi verbal dan non
verbal serta interaksi sosial, umumnya terjadi pada usia sebelum tiga tahun, yang berpengaruh buruk
terhadap kinerja pendidikan anak.

Karakteristik yang lain sering menyertai autisme seperti melakukan kegiatan yang berulang-
ulang dan gerakan stereotip, penolakan terhadap perubahan lingkungan atau perubahan
dalam rutinitas sehari- hari, dan memberikan respon yang tidak semestinya terhadap
pengalaman sensori. Secara umum anak autis memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Mengalami hambatan di dalam bahasa.


2. Kesulitan dalam mengenal dan merespon emosi dengan isyarat sosial.
3. Kekakuan dan miskin dalam mengekspresikan perasaan.
4. Kurang memiliki perasaan dan empati.
5. Sering berperilaku di luar kontrol dan meledak-ledak.
6. Secara menyeluruh mengalami masalah dalam perilaku.
7. Kurang memahami akan keberadaan dirinya sendiri.
8. Keterbatasan dalam mengekspresikan diri
9. Berperilaku monoton dan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan
lingkungan.

Dalam dunia pendidikan, anak autis ini dapat digolongkan ke dalam beberapa spektrum,
yaitu sebagai berikut:

a. Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat tinggi. (High function
children with autism).
b. Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat menengah (Middle
function children with autism).
c. Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat rendah (Low function
children with autism)

Anak Cerdas Istimewa Berbakat Istimewa


Anak yang memiliki potensi kecerdasan istimewa (gifted) dan anak yang memiliki bakat istimewa
(talented) adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan (intelegensi), kreativitas, dan tanggung jawab
terhadap tugas (task commitment) di atas kemampuan anak-anak seusianya (anak normal), sehingga
untuk mengoptimalkan potensinya, diperlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak cerdas dan berbakat
istimewa disebut sebagai gifted & talented children (Dudi Gunawan, 2011).

Anak-anak berbakat istimewa secara alami memiliki karakteristik yang khas yang
membedakannya dengan anak-anak normal. Karakteristik ini mencakup beberapa domain
penting, termasuk di dalamnya: domain intelektual-koginitif, domain persepsi-emosi, domain
motivasi dan nilai- nilai hidup, domain aktifitas, serta domain relasi sosial.
Berikut beberapa karakteristik yang paling sering diidentifikasi terdapat pada anak berbakat
istimewa pada masing-masing domain di atas. Namun demikian perlu dicatat bahwa tidak
semua anak-anak berbakat istimewa (gifted) selalu menunjukkan atau memiliki karakteristik
intelektual-kognitif seperti di bawah ini (Gunwan, 2011):

a. Menunjukkan atau memiliki ide-ide yang orisinal, gagasan-gagasan yang tidak lazim,
pikiran-pikiran kreatif.
b. Mampu menghubungkan ide-ide yang nampak tidak berkaitan menjadi suatu konsep
yang utuh.
c. Menunjukkan kemampuan bernalar yang sangat tinggi.
d. Mampu menggeneralisasikan suatu masalah yang rumit menjadi suatu hal yang
sederhana dan mudah dipahami.
e. Memiliki kecepatan yang sangat tinggi dalam memecahkan masalah.
f. Menunjukkan daya imajinasi yang luar biasa.
g. Memiliki perbendaharaan kosakata yang sangat kaya dan mampu
mengartikulasikannya dengan baik.
h. Biasanya fasih dalam berkomunikasi lisan, senang bermain atau merangkai kata-
kata.
i. Sangat cepat dalam memahami pembicaraan atau pelajaran yang diberikan.
j. Memiliki daya ingat jangka panjang (long term memory) yang kuat.
k. Mampu menangkap ide-ide abstrak dalam konsep matematika dan/atau sains.
l. Memiliki kemampuan membaca yang sangat cepat.
m. Banyak gagasan dan mampu menginspirasi orang lain.
n. Memikirkan sesuatu secara kompleks, abstrak, dan dalam.
o. Mampu memikirkan tentang beragam gagasan atau persoalan dalam waktu yang
bersamaan dan cepat mengaitkan satu dengan yang lainnya.

Kesulitan Belajar Spesifik (Disleksia, Diskalkulia, Disgrafia)


Anak yang mengalami learning disabilities (LD) atau Specific Learning Diificulties (SLD) secara umum
dapat diartikan suatu kesulitan belajar pada anak yang ditandai oleh ketidakmampuan dalam mengikuti
pelajaran sebagaimana mestinya dan berdampak pada hasil akademiknya. Kesulitan belajar merupakan
hambatan atau gangguan belajar pada anak atau remaja yang ditandai adanya kesenjangan yang
signifikan antara taraf intelegensi dan kemampuan akademik yang seharusnya dicapai oleh anak
seusianya.

Anak LD atau SLD adalah masalah belajar primer yang disebabkan karena adanya deficit
atau kekurangan fungsi dalam satu atau lebih area inteligensi. Penyebabnya gangguan
neurologis dan genetik. Istilah LD atau SLD hanya dikenakan pada anak-anak yang
mempunyai inteligensia normal hingga tinggi. Gangguan ini merupakan gangguan yang
kasat mata, berupa kesalahan dalam hal membaca (disleksia), menulis (disgrafia), dan
berhitung (diskalkulia). Kesalahan yang terjadi akan selalu dalam kesalahan sama secara
terus menerus, dan dibawa seumur hidup (long live disabilities). Adapun karakteristiknya
dapat diidentifikasi dari hal-hal berikut ini.

PDBK yang mengalami kesulitan membaca (disleksia)

a. Perkembangan kemampuan membaca terlambat


b. Kemampuan memahami isi bacaan rendah
c. Kalau membaca sering banyak kesalahan

PDBK yang mengalami kesulitan belajar menulis (disgrafia)

a. Kalau menyalin tulisan sering terlambat selesai


b. Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan 5, 6
dengan 9, dan sebagainya
c. Hasil tulisannya jelek dan tidak terbaca
d. Tulisannya banyak salah/terbalik/huruf hilang
e. Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris.

PDBK yang mengalami kesulitan belajar berhitung (diskalkulia)

a. Sering salah menulis angka 2 dengan 5, 6 dengan 9, dan sebagainya


b. Rancu atau bingung dengan simbol-simbol matematis. Misalnya tanda +, -, x, :, dan
sebagainya.

Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Sensorik

c. Anak dengan Hambatan Penglihatan (Tunanetra)

d. Layanan khusus dalam pendidikan bagi anak dengan gangguan penglihatan yaitu
dalam membaca menulis dan berhitung diperlukan huruf Braille bagi yang
hambatan penglihatan total. Bagi yang masih memiliki sisa penglihatan diperlukan
kaca pembesar atau huruf cetak yang besar, media yang dapat diraba dan didengar
atau diperbesar. Di samping itu, diperlukan latihan Orientasi dan Mobilitas (OM)
yang penerapannya bukan hanya di sekolah, melainkan dapat diterapkan di
lingkungan tempat tinggalnya.

e. Seseorang dikatakan hambatan penglihatan total atau buta total (totally blind) jika
mengalami hambatan visual yang sangat berat sampai tidak dapat melihat sama
sekali. Penyandang buta total mempergunakan kemampuan perabaan dan
pendengaran sebagai saluran utama dalam belajar. Orang seperti ini biasanya
mempergunakan huruf Braille sebagai media membaca dan memerlukan latihan
orientasi dan mobilitas.

Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Sensorik

Anak dengan Hambatan Pendengaran (Tunarungu)

Seperti sudah dikemukan sebelumnya, peserta didik yang mengalami hambatan


pendengaran perlu Alat Bantu Dengar (ABD), tetapi walaupun telah diberikan pertolongan
dengan ABD, mereka masih tetap memerlukan layanan pendidikan khusus karena
gangguan pendengaran berdampak pada aspek-aspek di bawah ini.
a. Aspek Motorik
Anak tunarungu yang tidak memiliki hambatan lain dapat mencapai tugas-tugas
perkembangan motorik (early major motor milestones), seperti duduk, merangkak, berdiri
dengan tanpa bantuan, dan berjalan sama seperti yang terjadi pada anak yang mendengar
(Preisler, 1995, dalam Alimin, 2007). Namun demikian, beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa anak yang mengalami hambatan pendengaran memiliki kesulitan
dalam hal kesimbangan dan koordinasi gerak umum, dalam menyelesaikan tugas-tugas
yang memerlukan kecepatan serta gerakan-gerakan yang kompleks.

b. Aspek bicara dan bahasa


Keterampilan berbicara dan bahasa merupakan bidang perkembangan yang paling banyak
dipengaruhi oleh peserta didik hambatan pendengaran. Khususnya anak-anak yang
mengalami hambatan pendengaran dibawa sejak lahir. Menurut Rahardja (2006) bagi
individu yang congenital atau berat, suara yang keras tidak dapat didengarnya meskipun
dengan menggunakan alat bantu dengar.

Individu ini tidak dapat menerima informasi melalui suara, tetapi mereka sebaiknya belajar
bahasa bibir. Suara yang dikeluarkan oleh individu dengan hambatan pendengaran
biasanya sering sulit untuk dimengerti, karena mereka mengalami kesulitan dalam
membeda-bedakan artikulasi, kualitas suara, dan tekanan suara.

f. Hambatan penglihatanan akan berdampak dalam kemampuan kognitif, kemampuan


akademis, sosial emosional, perilaku, perkembangan bahasa, perkembangan
motorik, orientasi dan mobilitas

Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Sensorik

Anak dengan Hambatan Pendengaran (Tunarungu)

Kebutuhan pembelajaran peserta didik hambatan pendengaran menurut Gunawan (2011)


secara umum tidak berbeda dengan anak pada umumnya. Akan tetapi, mereka
memerlukan perhatian dalam kegiatan pembelajaran antara lain:

1. Tidak mengajak anak untuk berbicara dengan cara membelakanginya.


2. Anak hendaknya didudukkan paling depan, sehingga memiliki peluang untuk mudah
membaca bibir guru.
3. Perhatikan postur anak yang sering memiringkan kepala untuk mendengarkan.
4. Dorong anak untuk selalu memperhatikan wajah guru, bicaralah dengan anak
dengan posisi berhadapan dan bila memungkinkan kepala guru sejajar dengan
kepala anak.
5. Guru bicara dengan volume biasa tetapi dengan gerakan bibirnya yang harus jelas.

Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Mental Kognitif


Anak dengan Hambatan Intelektual (Tunagrahita)

Pendidikan bagi peserta didik anak mengalami hambatan intelektual seharusnya ditujukan
untuk mengembangkan potensi yang dimiliki anak secara optimal, agar mereka dapat hidup
mandiri dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana mereka berada. Secara
umum kebutuhan pembelajaran anak anak mengalami hambatan intelektual adalah
sebagai berikut:

1. Perbedaan anak mengalami hambatan intelektual dengan anak normal dalam


proses belajar adalah terletak pada hambatan dan masalah atau karakteristik
belajarnya.
2. Perbedaan karakteristik belajar anak anak mengalami hambatan intelektual dengan
anak sebayanya, anak anak mengalami hambatan intelektual mengalami masalah
dalam hal yaitu:

a. Tingkat kemahirannya dalam memecahkan masalah


b. Melakukan generalisasi dan mentransfer sesuatu yang baru
c. Minat dan perhatian terhadap penyelesaian tugas.

Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Fisik

Anak dengan Hambatan Gerak Anggota Tubuh (Tunadaksa)

Berkaitan dengan pembelajaran, tujuannya adalah untuk membantu menyiapkan peserta


didik agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi
maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan
lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuannya
dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan (uu no.2 tahun 1989 tentang uspn
dan pp no.72 tentang plb).

Connor (1975) mengemukakan sekurang-kurangnya tujuh aspek yang perlu dikembangkan


pada diri masing-masing anak tunadaksa melalui pendidikan, yaitu:

 Pengembangan intelektual dan akademik


 Membantu perkembangan fisik
 Meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri anak
 Mematangkan aspek sosial
 Mematangkan moral dan spiritual
 Meningkatkan ekspresi diri
 Mempersiapkan masa depan anak

Pengembangan diri pada anak tunadaksa perlu memperhatikan:

 Program pembelajaran yang diindividualisasikan


 Prinsip pembelajaran: prinsip multisensory dan Individualisasi
 Penataan lingkungan belajar: bangunan gedung memprioritaskan tiga kemudahan:
mudah keluar masuk, mudah bergerak dalam ruangan, dan mudah mengadakan
penyesuaian.
 Personil: guru plb, guru reguler, dokter ahli anak, dokter ahli rehabilitasi medis,
dokter ahli ortopedi, dokter ahli syaraf, psikolog, guru bimbingan dan penyuluhan,
social worker, fisioterapist, occupational therapist, speechterapist, orthotic dan
prosthetic.

Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Lainnya

Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Perilaku dan Emosi

Kebutuhan pembelajaran bagi anak hambatan perilaku dan emosi yang harus diperhatikan
oleh guru antara lain adalah:

1. Mengetahui strategi pencegahan dan intervensi bagi individu yang beresiko


mengalami gangguan emosi dan perilaku.
2. Menggunakan variasi teknik yang tidak kaku dan keras untuk mengontrol tingkah
laku target dan menjaga atensi dalam pembelajaran.
3. Menjaga rutinitas pembelajaran dengan konsisten, dan terampil dalam problem
solving dan mengatasi konflik.
4. Merencanakan dan mengimplementasikan reinforcement secara individual dan
modifikasi lingkungan dengan level yang sesuai dengan tingkat perilaku.
5. Mengintegrasikan proses belajar mengajar (akademik), pendidikan afektif, dan
manajemen perilaku baik secara individual maupun kelompok.
6. Melakukan asesmen atas tingkah laku sosial yang sesuai dan problematik pada
siswa secara individual.
7. Perlu adanya penataan lingkungan yang kondusif (menyenangkan) bagi setiap anak.
8. Kurikulum hendaknya disesuaikan dengan hambatan dan masalah yang dihadapi
oleh setiap anak.
9. Adanya kegiatan yang bersifat kompensatoris sesuai dengan bakat dan minat anak.
10. Perlu adanya pengembangan akhlak atau mental melalui kegiatan sehari-hari, dan
contoh dari lingkungan.

Kebutuhan Pembelajaran Anak Cerdas dan Bakat Istimewa

Kebutuhan pembelajaran bagi anak cerdas istimewa dan bakat istimewa adalah sebagai
berikut.

1. Program pengayaan horisontal, meliputi:

a. Mengembangkan kemampuan eksplorasi.


b. Mengembangkan pengayaan dalam arti memperdalam dan memperluas hal-hal
yang ada di luar kurikulum biasa.
c. Eksekutif intensif dalam arti memberikan kesempatan untuk mengikuti program
intensif bidang tertentu yang diminati secara tuntas dan mendalam dalam waktu
tertentu.
2. Program pengayaan vertikal, yaitu:

a. Acceleration, percepatan/maju berkelanjutan dalam mengikuti program yang sesuai


dengan kemampuannya, dan jangan dibatasi oleh jumlah waktu, atau tingkatan
kelas.
b. Independent study, memberikan seluas-luasnya kepada anak untuk belajar dan
menjelajahi sendiri bidang yang diminati.
c. Mentorship, memadukan antara yang diminati anak gifted dan tallented dengan para
ahli yang ada di masyarakat.

Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Autism

Kebutuhan pembelajaran bagi anak anak autis adalah sebagai berikut:

1. Diperlukan adanya pengembangan strategi untuk belajar dalam seting kelompok.


2. Perlu menggunakan beberapa teknik di dalam menghilangkan perilaku-perilaku
negatif yang muncul dan mengganggu kelangsungan proses belajar secara
keseluruhan (stereotip).
3. Guru perlu mengembangkan ekspresi dirinya secara verbal dengan berbagai
bantuan.
4. Guru terampil mengubah lingkungan belajar yang nyaman dan menyenangkan bagi
anak, sehingga tingkah laku anak dapat dikendalikan pada hal yang diharapkan.

Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Kesulitan Belajar Spesifik

Peserta didik yang mengalami hambatan belajar spesifik (disleksia, diskalkulia, disgrafia)
perlu adanya intervensi yang melibatkan seluruh indera dalam proses belajar mengajarnya.
Salah satu teknik yang dapat diterapkan adalah teknik multi sensori. Berikut hal-hal yang
harus dilakukan guru dalam menangani di dalam kelas;

1. Perkenalkan belajar alfabet secara sekuensial (berurutan) secara bertahap dan


berurut.
2. Alfabet diperkenalkan menggunakan huruf-huruf dari kayu atau plastik, sehingga
anak dapat melihat huruf, mengambilnya, merasakannya dengan mata terbuka atau
tertutup dan mengucapkan bunyinya.
3. Peserta didik perlu tahu bahwa huruf /i/ muncul sebelum /k/, Alfabet dapat dibagi ke
dalam beberapa kelompok, yang membuat mudah anak mengingat di kelompok
mana huruf tersebut berada.
4. Menyortir dan mencocokkan huruf kapital, huruf kecil, bentuk cetak, dan tulisan
tangan dari huruf; melatih keterampilan sequencing dengan huruf dan bentuk-bentuk
terpotong; dan melatih menempatkan tiap huruf dalam alfabet dalam hubungannya
dengan huruf lain.

Anda mungkin juga menyukai