Umpan Balik
Berdasarkan hasil diskusi yang dilakukan, mungkin Saudara memperoleh hal-hal baru yang dapat
menambah pemahaman Saudara terkait dengan keberagaman peserta didik dan bagaimana sikap yang
dapat dilakukan terhadap peserta didik tersebut.
Keberagaman Fisik:
Ada peserta didik yang tinggi, sedang, pendek untuk ukuranpada kelasnya
Ada peserta didik yang gemuk. Sedang, kurus untuk ukuranpada kelasnya
Ada peserta yang memiliki kelengkapan dan fungsi standar pada anggota tubuhnya, ada juga peserta
didik yang memiliki hambatan dalam kelengkapan dan fungsi anggota tubuhnya.
Keberagaman Sensorik:
Ada peserta didik yang memiliki penglihatan tanpa hambatan, ada peserta didik yang memiliki
hambatan penglihatan
Ada peserta didik yang memiliki pendengaran tanpa hambatan, ada peserta didik yang memiliki
hambatan pendengaran
Ada peserta dengan hambatan perilaku dan emosi, kesulitan belajar spesifik, autis, dan sebagainya
Kemudian Sikap dan tindakan yang harus lakukan guru terhadap keberagaman peserta didik:
Menciptakan suasana yang aman, nyaman dan ramah bagi semua peserta didik
Memberikan kebutuhan layanan pembelajaran, khususnya bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus
dengan tetap memberikan perhatian yang sama untuk kelas.
Untuk lebih jelasnnya, Saudara dapat mencermati materi yang disajikan pada halaman berikutnya.
Keberagaman peserta didik di kelas inklusif memiliki karakteristik tersendiri, baik pada peserta didik
reguler maupun pada peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK). Keberadaan PDBK dipayungi Undang
Undang Dasar 1945 pasal 31, ayat 1 mengamanatkan bahwa; “Setiap warga Negara berhak
mendapatkan pendidikan” dan ayat 2; “Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya’. Dengan demikian, peserta didik dalam kelas walaupun berbeda
keyakinan, fisik, gender, latar belakang keluarga, harapan, kemampuan, kelebihan peserta didik memiliki
hak untuk belajar.
Implementasi di kelas, guru secara perlahan dan pasti memberikan penanaman sikap simpati dan
empati kepada peserta didik reguler bahwa dalam masyarakat itu memiliki karakteristik keragaman
bentuk, keyakinan, sosial, dan karakter peserta didik berkebutuhan khusus. Dengan demikian, ciptakan
susana kebersamaan dalam berbagai aktivitas agar seluruh peserta didik membaur dan saling interaksi,
sehingga akan tampak mereka bersosialisasi dan saling tolong menolong antarsesama.
Guru sangat penting memberikan wawasan kepada peserta didik bahwa masyarakat majemuk
tradisional perlu mempertimbangkan adanya pluralitas horizontal (adanya perbedaan etnik, sub-sub
etnik) dan pluralitas vertical (adanya pelapisan-pelapisan sosial).
Penamaan istilah “peserta didik” kepada siswa di sekolah dewasa ini sudah tepat, mengingat cara
pandang ini yang lebih positif dibanding dengan istilah “murid atau siswa”. Hal ini, kata “peserta didik”
dapat mengakomodasi keberagaman peserta didik dalam melihat kebutuhannya.
Kata “kebutuhan khusus” menjadi dasar dalam melihat apa yang menjadi masalah dan kebutuhan
peserta didik dan bukan pada label yang menyertainya. Oleh karena itu, guru hendaknya memandang
setiap Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) memiliki karakteristik unik. Karakteristik PDBK ini
berkaitan dengan bagaimana cara terbaik dalam memenuhi kebutuhan khususnya. Pandangan ini akan
menuntun guru dalam menyusun akomodasi program untuk mengatasi hambatan dan mengoptimalkan
potensi peserta didik.
Permendiknas No 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru bahwa
dalam Kompetensi Paedagogik Guru salah satunya adalah memahami krakteristik peserta didik maka
diharapkan sebelaum melakukan pembelajaran setiap guru dapat melakukan identifikasi dan asesmen.
Hal ini untuk dijadikan sebagai dasar dalam memenuhi kebutuhan belajar peserta didik.
indikatorKebearagaman peserta didik di sekolah inlklusif adalah suatu kenyataan yang untuk dibuat
sebagai “sesuatu yang aneh” akan tetapi keberagaman peserta didik tersebut harus menjadi sebuah
“tantangan” bagi guru untuk memberikan layanan pembelajaran akomodatif bagi setiap peserta didik.
Peserta didik reguler maupun peserta didik berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama untuk
memperoleh layanan pembelajaran dalam upaya mencapai kualitas hidup.
Ada empat indikator kualitas hidup bagi setiap peserta didik, yakni sebagai berikut:
To Live, setiap peserta didik di sekolah inklusif memilki hak untuk hidup mengembangkan potensi
dirinya, tanpa harus terhalangi atau dibatasi oleh kondisi hambatan yang dimilikinya. Peserta didik
berkebutuhan khusus di sekolah inklusif tidak boleh dibiarkan hanya sebagai “pelengkap kuota kelas
inklusif”, tetapi keberadaan peserta didik di kelas inklusif harus menjadi tantangan bagi guru untuk
berkreatif dalam mengembangkan layanan pembelajaran akomodatif.
To Love, setiap peserta didik di sekolah inklusif harus merasa terlindungi, mengikuti kegiatan
pembelajaran dan aktivitas sekolah lainnya secara ramah, nyaman dan tidak dibiarkan mendapat bully
dari peserta didik lainnya. Bahkan guru harus mengembangkan sikap saling menyayangi, mencintai
sebagai sesama warga sekolah.
To Play, setiap peserta didik di sekolah inklusif harus memperooleh kesempatan yang sama untuk
mengikuti aktivitas belajar secara aktif dan bermain di sekolah, seperti dalam diskusi kelompok, kegiatan
ekstrakurikuler, dan perlombaan yang diadakan sekolah. Peserta didik berkebutuhan khusus harus
memperoleh hak yang sama untuk memperoleh kesempatan aktivitas permainan di kelas dan
lingkungan sekolah.
To Work, setiap peserta dididk di sekolah inklusif memperoleh hak yang sama untuk mengembangkan
dirinya dalam upaya mengembangkan potensi dirinya untuk nantinya menjadi individu yang mandiri
dalam memasuki dunia kerja. Peserta didik berkebutuhan khusus tidak boleh dihadirkan di kelas hanya
sebagai “pelengkap penderita” akan tetapi harus diberikan layanan pendidikan yang mengakomodasi
kebutuhan layanan pendidikannya.
Klasifikasi Peserta Didik
Jenis Peserta Didik
Sekolah inklusif adalah Lembaga pendidikan yang dihadirkan dengan tujuan untuk membuka
aksesibilitas semua warga masyarakat usia belajar untuk memperoleh layanan pembelajaran tanpa
terhalang oleh hambatan fisik, mental akademik, sensorik dan kondisi sosial ekonomi. Keragaman
peserta didik pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif sangat beragam, karena
sekolah inklusif memberikan akses yang terbuka bagi semua peserta didik.
Peserta didik reguler. Peserta didik reguler adalah peserta didik yang tidak memiliki hambatan tertentu,
misalnya hambatan fisik, mental kognitif, sensorik dan hambatan lainnya yang menyebabkan mereka
mengalami kendala dalam mengikuti pembelajaran secara klasikal.
Peserta didik berkebutuhan khusus. Peserta didik berkebutuhan khusus adalah peserta didik yang
memiliki hambatan tertentu, seperti hambatan penglihatan, hambatan pendengaran, hambatan
intelektual, hambatan fisik, hambatan dengan autistik, dan hambatan lainnya seperti anak hiperaktif,
lamban belajar, rendah konsentrasi dan gangguan perilaku tertentu.
Peserta didik berkebutuhan layanan khusus. Peserta didik berkebutuhan layanan khusus adalah peserta
didik yang mengalami hambatan secara eksternal, seperti anak korban bencana alam, anak korban HIV,
anak korban kekerasan rumah tangga dan lingkungan.
Anak Berkebutuhan Khusus dapat diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan pendidikan yang
disesuaikan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara individual.
Dalam paradigma pendidikan, keberagaman peserta didik yang kebutuhan khusus sangat dihargai
karena setiap anak memiliki latar belakang kehidupan budaya dan perkembangan yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, setiap anak memiliki kebutuhan khusus serta hambatan belajar yang berbeda-beda
pula, sehingga setiap anak sesungguhnya memerlukan layanan pendidikan yang disesuaikan sejalan
dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak.
Pemahaman anak berkebutuhan khusus terhadap konteks, ada yang bersifat biologis, psikologis, sosio-
kultural. Dasar biologis anak berkebutuhan khusus bisa dikaitkan dengan kelainan genetik dan
menjelaskan secara biologis penggolongan anak berkebutuhan khusus, seperti brain injury yang bisa
mengakibatkan kecacatan tunaganda.
Dalam konteks psikologis, anak berkebutuhan khusus lebih mudah dikenali dari sikap dan perilaku,
seperti gangguan pada kemampuan belajar pada anak slow learner, gangguan kemampuan emosional
dan berinteraksi pada anak autis, gangguan kemampuan berbicara pada anak autis dan Attention Deficit
Hiperaktif Disorder (ADHD). Konsep sosio-kultural mengenal anak berkebutuhan khusus sebagai anak
dengan kemampuan dan perilaku yang tidak pada umumnya, sehingga memerlukan penanganan
khusus.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus (Heward, 2002) adalah anak dengan
karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada
ketidakmampuan mental, emosi atau fisik.
Anak kebutuhan khusus (special needs children) dapat diartikan secara simpel sebagai anak yang lambat
(slow) atau mangalami gangguan (retarded) yang sangat sukar untuk berhasil di sekolah sebagaimana
anak-anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang secara pendidikan memerlukan
layanan yang spesifik yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya.
Banyak istilah yang dipergunakan sebagai variasi dari kebutuhan khusus, seperti disability, impairment,
dan handicap. Menurut World Health Organization (WHO), definisi masing-masing istilah adalah sebagai
berikut:
Disability yaitu keterbatasan atau kurangnya kemampuan (yang dihasilkan dari impairment) untuk
menampilkan aktivitas sesuai dengan aturannya atau masih dalam batas normal, biasanya digunakan
dalam level individu.
Impairment yaitu kehilangan atau ketidaknormalan dalam hal psikologis, atau struktur anatomi atau
fungsinya, biasanya digunakan pada level organ.
Handicap yaitu ketidakberuntungan individu yang dihasilkan dari impairment atau disability yang
membatasi atau menghambat pemenuhan peran yang normal pada individu.
Hal ini sesuai dengan pendapat Alimin (2007) yang mengungkapkan bahwa anak berkebutuhan khusus
dapat diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan pendidikan yang disesuiakan dengan hambatan
belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara individual. Dengan kata lain, lingkungan belajar,
teknik, media, dan lainnya harus menyesuaikan dengan ABK.
anak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat sering menerima kekerasan dalam rumah
tangga
mengalami kesulitan konsentrasi karena sering diperlakukan kasar oleh orang tuanya
mengalami kesulitan kumulatif dalam membaca dan berhitung akibat kekeliruan guru dalam mengajar
anak-anak yang mengalami trauma akibat dari bencana alam yang mereka alami.
Akibat dari adanya hambatan ini peserta didik diajarkan untuk memahami kemampuan
membaca dan menulis braille dan orientasi mobilitas (OM) untuk membantu mereka dalam
menjalankan daily activities.
Gangguan pendengaran (tuli atau kurang dengar) tunarungu adalah mereka yang tidak
mendengar atau kurang mendengar sebagai akibat pendengarannya yang terganggu fungsi
indera pendengarannya baik menggunakan alat bantu dengar maupun tidak. Namun
demikian, mereka masih tetap memerlukan layanan pendidikan khusus karena gangguan
pendengaran berdampak pada aspek-aspek berikut:
1. Aspek Motorik
Anak tunarungu yang tidak memiliki kecacatan lain dapat mencapai tugas-tugas
perkembangan motorik (early major motor milestones), seperti duduk, merangkak,
berdiri dengan tanpa bantuan, dan berjalan sama seperti yang terjadi pada anak
yang mendengar (Preisler dalam Alimin, 2007).
Namun beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa anak dengan hambatan
pendengaran memiliki kesulitan dalam hal keseimbangan dan koordinasi gerak
umum, dalam menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan kecepatan serta
gerakan-gerakan yang kompleks (Ittyerah, Sharma, dalam Alimin, 2007).
Menurut Gunawan (2011) anak mengalami hambatan intelektual adalah anak yang secara
nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental-intelektual di
bawah rata-rata, sehingga mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.
Mereka memerlukan layanan pendidikan khusus. Anak mengalami hambatan intelektual
ialah anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Berbagai istilah
yang dikemukakan mengenai anak mengalami hambatan intelektual, selalu menunjuk pada
keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum berada di bawah usia kronologisnya
secara meyakinkan sehingga membutuhkan layanan pendidikan khusus.
Potensi dan kemampuan setiap anak anak mengalami hambatan intelektual berbeda-beda,
maka untuk kepentingan pendidikan diperlukan pengelompokkan anak mengalami
hambatan intelektual. Pengelompokkan itu berdasarkan berat ringannya ketunaan, atas
dasar itu anak tungrahita dapat dikelompokkan.
Nakata (2003) dalam Djadja R, (2006) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan
gangguan gerak adalah:
Pada dasarnya anak gangguan gerak dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu:
Adapun yang termasuk kelompok pertama, seperti cerebral palsy yang meliputi
jenis spastic, athetosis, rigid, hipotonia, tremor, ataxia, dan campuran.
Sedangkan yang termasuk pada kelompok kedua, seperti poliomyelitis, muscle
dystrophy dan spina bifida. Sedangkan anak anak yang mengalami kelumpuhan yang
dikarenakan kerusakan pada otot motorik yang sering diderita oleh anak-anak pasca polio
dan muscle dystrophy lain mengakibatkan gangguan motorik terutama gerakan lokomosi,
gerakan ditempat, dan mobilisasi. Ada sebagian anak dengan gangguan gerak yang berat,
ringan, dan sedang. Untuk berpindah tempat perlu alat ambulasi, juga perlu alat bantu
dalam memenuhi kebutuhannya, yaitu memenuhi kebutuhan gerak.
Secara umum anak hambatan perilaku dan emosi (anak yang mengalami gangguan emosi
dan perilaku) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Cenderung membangkang.
b. Mudah terangsang emosinya/emosional/mudah marah.
c. Sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu.
d. Sering bertindak melanggar norma sosial/norma susila/hukum.
e. Cenderung prestasi belajar dan motivasi rendah sering bolos jarang masuk sekolah.
Anak Autis
Autisme berdasarkan Individuals with Disabilities Education (IDEA) yang dikutip oleh Rahardja (2006)
adalah kelainan perkembangan yang secara signifikan berpengaruh terhadap komunikasi verbal dan non
verbal serta interaksi sosial, umumnya terjadi pada usia sebelum tiga tahun, yang berpengaruh buruk
terhadap kinerja pendidikan anak.
Karakteristik yang lain sering menyertai autisme seperti melakukan kegiatan yang berulang-
ulang dan gerakan stereotip, penolakan terhadap perubahan lingkungan atau perubahan
dalam rutinitas sehari- hari, dan memberikan respon yang tidak semestinya terhadap
pengalaman sensori. Secara umum anak autis memiliki karakteristik sebagai berikut:
Dalam dunia pendidikan, anak autis ini dapat digolongkan ke dalam beberapa spektrum,
yaitu sebagai berikut:
a. Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat tinggi. (High function
children with autism).
b. Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat menengah (Middle
function children with autism).
c. Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat rendah (Low function
children with autism)
Anak Autis
Autisme berdasarkan Individuals with Disabilities Education (IDEA) yang dikutip oleh Rahardja (2006)
adalah kelainan perkembangan yang secara signifikan berpengaruh terhadap komunikasi verbal dan non
verbal serta interaksi sosial, umumnya terjadi pada usia sebelum tiga tahun, yang berpengaruh buruk
terhadap kinerja pendidikan anak.
Karakteristik yang lain sering menyertai autisme seperti melakukan kegiatan yang berulang-
ulang dan gerakan stereotip, penolakan terhadap perubahan lingkungan atau perubahan
dalam rutinitas sehari- hari, dan memberikan respon yang tidak semestinya terhadap
pengalaman sensori. Secara umum anak autis memiliki karakteristik sebagai berikut:
Dalam dunia pendidikan, anak autis ini dapat digolongkan ke dalam beberapa spektrum,
yaitu sebagai berikut:
a. Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat tinggi. (High function
children with autism).
b. Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat menengah (Middle
function children with autism).
c. Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat rendah (Low function
children with autism)
Anak-anak berbakat istimewa secara alami memiliki karakteristik yang khas yang
membedakannya dengan anak-anak normal. Karakteristik ini mencakup beberapa domain
penting, termasuk di dalamnya: domain intelektual-koginitif, domain persepsi-emosi, domain
motivasi dan nilai- nilai hidup, domain aktifitas, serta domain relasi sosial.
Berikut beberapa karakteristik yang paling sering diidentifikasi terdapat pada anak berbakat
istimewa pada masing-masing domain di atas. Namun demikian perlu dicatat bahwa tidak
semua anak-anak berbakat istimewa (gifted) selalu menunjukkan atau memiliki karakteristik
intelektual-kognitif seperti di bawah ini (Gunwan, 2011):
a. Menunjukkan atau memiliki ide-ide yang orisinal, gagasan-gagasan yang tidak lazim,
pikiran-pikiran kreatif.
b. Mampu menghubungkan ide-ide yang nampak tidak berkaitan menjadi suatu konsep
yang utuh.
c. Menunjukkan kemampuan bernalar yang sangat tinggi.
d. Mampu menggeneralisasikan suatu masalah yang rumit menjadi suatu hal yang
sederhana dan mudah dipahami.
e. Memiliki kecepatan yang sangat tinggi dalam memecahkan masalah.
f. Menunjukkan daya imajinasi yang luar biasa.
g. Memiliki perbendaharaan kosakata yang sangat kaya dan mampu
mengartikulasikannya dengan baik.
h. Biasanya fasih dalam berkomunikasi lisan, senang bermain atau merangkai kata-
kata.
i. Sangat cepat dalam memahami pembicaraan atau pelajaran yang diberikan.
j. Memiliki daya ingat jangka panjang (long term memory) yang kuat.
k. Mampu menangkap ide-ide abstrak dalam konsep matematika dan/atau sains.
l. Memiliki kemampuan membaca yang sangat cepat.
m. Banyak gagasan dan mampu menginspirasi orang lain.
n. Memikirkan sesuatu secara kompleks, abstrak, dan dalam.
o. Mampu memikirkan tentang beragam gagasan atau persoalan dalam waktu yang
bersamaan dan cepat mengaitkan satu dengan yang lainnya.
Anak LD atau SLD adalah masalah belajar primer yang disebabkan karena adanya deficit
atau kekurangan fungsi dalam satu atau lebih area inteligensi. Penyebabnya gangguan
neurologis dan genetik. Istilah LD atau SLD hanya dikenakan pada anak-anak yang
mempunyai inteligensia normal hingga tinggi. Gangguan ini merupakan gangguan yang
kasat mata, berupa kesalahan dalam hal membaca (disleksia), menulis (disgrafia), dan
berhitung (diskalkulia). Kesalahan yang terjadi akan selalu dalam kesalahan sama secara
terus menerus, dan dibawa seumur hidup (long live disabilities). Adapun karakteristiknya
dapat diidentifikasi dari hal-hal berikut ini.
d. Layanan khusus dalam pendidikan bagi anak dengan gangguan penglihatan yaitu
dalam membaca menulis dan berhitung diperlukan huruf Braille bagi yang
hambatan penglihatan total. Bagi yang masih memiliki sisa penglihatan diperlukan
kaca pembesar atau huruf cetak yang besar, media yang dapat diraba dan didengar
atau diperbesar. Di samping itu, diperlukan latihan Orientasi dan Mobilitas (OM)
yang penerapannya bukan hanya di sekolah, melainkan dapat diterapkan di
lingkungan tempat tinggalnya.
e. Seseorang dikatakan hambatan penglihatan total atau buta total (totally blind) jika
mengalami hambatan visual yang sangat berat sampai tidak dapat melihat sama
sekali. Penyandang buta total mempergunakan kemampuan perabaan dan
pendengaran sebagai saluran utama dalam belajar. Orang seperti ini biasanya
mempergunakan huruf Braille sebagai media membaca dan memerlukan latihan
orientasi dan mobilitas.
Individu ini tidak dapat menerima informasi melalui suara, tetapi mereka sebaiknya belajar
bahasa bibir. Suara yang dikeluarkan oleh individu dengan hambatan pendengaran
biasanya sering sulit untuk dimengerti, karena mereka mengalami kesulitan dalam
membeda-bedakan artikulasi, kualitas suara, dan tekanan suara.
Pendidikan bagi peserta didik anak mengalami hambatan intelektual seharusnya ditujukan
untuk mengembangkan potensi yang dimiliki anak secara optimal, agar mereka dapat hidup
mandiri dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana mereka berada. Secara
umum kebutuhan pembelajaran anak anak mengalami hambatan intelektual adalah
sebagai berikut:
Kebutuhan pembelajaran bagi anak hambatan perilaku dan emosi yang harus diperhatikan
oleh guru antara lain adalah:
Kebutuhan pembelajaran bagi anak cerdas istimewa dan bakat istimewa adalah sebagai
berikut.
Peserta didik yang mengalami hambatan belajar spesifik (disleksia, diskalkulia, disgrafia)
perlu adanya intervensi yang melibatkan seluruh indera dalam proses belajar mengajarnya.
Salah satu teknik yang dapat diterapkan adalah teknik multi sensori. Berikut hal-hal yang
harus dilakukan guru dalam menangani di dalam kelas;