Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bagi anak dengan hambatan penglihatan seperti tunanetra memasuki sekolah
umum adalah saat-saat yang kritis, apalagi mereka sudah merasakan bahwa
dirinya berbeda dengan temannya yang normal. Hal ini dapat mengundang
berbagai reaksi tertentu yang mungkin menyenangkan atau sebaliknya.
Ketidaksiapan mental anak tunanetra dalam memasuki sekolah (baik sekolah
umum maupun SLB) seringkali mengakibatkan anak tunanetra gagal dalam
mengembangkan kemamuan sosialnya, dalam hal ini yaitu bergaul dan bekerja
sama dengan kelompok sebaya.
Dengan demikian permasalahan utama anak tunanetra yang mengikuti
pendidikan di sekolah umum adalah adanya hambatan dalam sosialisasi. Mereka
mengalami kesulitan dalam mencapai tugas perkembangan yang menyangkut
aspek sosialisasi, yaitu belajar bergaul dan bekerjasama dengan kelompok
sebayanya. Dalam bimbingan perkembangan, aspek aspek sosialisasi ini termasuk
dalam layanan dasar bimbingan (bidang bimbingan sosial pribadi). Untuk itu,
perlu pemahaman tentang bimbingan perkembangan khususnya layanan dasar
bimbingan. Layanan dasar bimbingan, pada dasarnya merupakan upaya membawa
kegiatan bimbingan ke dalam kegiatan kurikulum yang terjadwal. Kegiatan
tersebut dapat merupakan bagian mata pelajaran di sekolah atau dapat
diorganisasikan dalam bentuk topik-topik khusus yang dilaksanakan secara
terpadu dalam kegiatan kurikuler dan dikembangkan dengan memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan siswa, tujuan pengajaran, dan perwujudan tujuan yang
diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan individu.
Perkembangan sosial berarti dikuasainya seperangkat kemampuan untuk
bertingkah laku sesuai dengan tuntutan masyarakat. Salah satu tugas
perkembangan anak usia sekolah adalah belajar bergaul dan bekerjasama dengan
kelompok seusianya. Pada masa ini anak menjadi anggota suatu kelompok sebaya
yang secara bertahap menggantikan peran keluarga dalam kehidupan anak dan
sangat berperan terhadap pembentukan sikap dan tingkah laku anak. Dengan

1
demikian bergaul dan bekerjasama dengan kelompok sebaya merupakan suatau
proses sosialisasi. Proses sosialisasi ini dapat digolongkan menjadi beberapa
proses, yaitu: (1) proses perkembangan tingkah laku yang dapat diterima oleh
kelompok, karena tingkah laku tersebut dianggap sesuai dengan standar yang
berlaku dalam kelompok tersebut, (2) proses perkembangan pelaksanaan peran-
peran sosial yang berhubungan dalam suatu kelompok yang merupakan kebiasaan
yang ditentukan dan dituntut oleh suatu kelompok sosial tertentu, (3) proses
perkembangan sikap sosial, yaitu sikap individu terhadap orang lain yang
berhubungan dengan pemahaman bahasa yang digunakan dalam proses sosialisasi.
Demikian pula dengan hambatan perkembangan bahasa yang dialami oleh
anak tunarungu dapat berdampak pada kesulitan mereka dalam memaknai arti
kata, sehingga anak ini bisa mengembangkan konsep kata melalui manipulasi
gerak bibir. Berdasarkan penelitian Lewis , (1998:27) menunjukkan bahwa
“ketunarunguan yang dialami seorang anak dapat mengakibatkan perasaan harga
diri kurang dan mudah curiga terhadap orang lain”. Dampak dari kondisi ini,
mereka tidak dapat menyesuaikan diri atau bahkan menarik diri dari lingkungan
sosial sehingga mereka tidak dapat mewujudkan diri dalam peran sosialnya secara
optimal.
Jika mengamati perilaku individu tunarungu, pada dasarnya mereka
mempunyai kebutuhan-kebutuhan sebagaimana anak-anak pada umumnya, yaitu:
(1) mendapatkan pendidikan dan masa depan yang baik, (2) cita-cita dalam
kehidupannya, (3) berkeluarga dan mendapatkan pekerjaan yang layak, (4)
mendapat akses informasi tentang pekerjaan, (5) menyadari keadaan dirinya
tunarungu, (6) bimbingan tentang pekerjaan, (7) pengetahuan/keterampilan yang
menunjang pekerjaannya, (8) pengakuan dari keluarga, masyaraka, dan perusahaa-
perusahaan swasta maupun negeri dimana mereka bekerja. Dalam hal ini, sekolah
sangat berperan dalam memenuhi kebutuhan dan pembentukan kemampuan diri
siswa untuk merencanakan masa depan individu yang mengalami hambatan lain:
bagaimana pihak sekolah bersama orang tua menyiapkan pendidikan lanjut anak
dengan hambatan anak tunarungu/SLB-B ataupun sekolah umum. Apakah mereka
dapat bersaing dan dapat memiliki karir yang layak di dunia kerja yang
memandang ketunarunguan sebagai suatu hambatan ?

2
Pada saat ini hanya sedikit siswa dengan hambatan pendengaran seperti anak
tunarungu yang dapat kesempatan bersaing dan memiliki karir yang layak. Hasil
penelitian Wagino (2002: 68) menunjukkan bahwa: “hanya 7% anak tunarungu
yang berhasil mengembangkan karirnya dengan baik”. Mengingat kompleknya
permasalahan dan dampak yang ditimbulkan oleh ketunarunguan, baik yang
menyangkut pengembangan bicara dan bahasa, kepribadian, emosi, penyesuaian
sosial, dan program bimbingan karir yang belum dilaksanakan secara sistematis,
maka mereka mengalami kesulitan untuk bersaing mendapatkan kesempatan
berkarir di dunia kerja.
Berdasarkan permasalan tersebut, maka upaya mempersiapkan individu
tunarungu dalam memasuki dunia kerja sangat mendesak untuk direalisasikan,
mengingat mereka akan hidup dalam masyarakat dengan kehidupan penuh
dinamika. Perabahan-perabahan itu mencakup seluruh segi kehidupan, yang
membutuhkan kemampuan beradapatasi dan persaingan kerja yang sangat ketat.
Kondisi ini menuntut siswa tunarungu mempunyai keterampilan yang dapat
diandalkan untuk bekal hidupnya. Dengan adanya hambatan pada fungsi
pendengaran ini, maka mereka membutuhkan pelayanan bimbingan karir yang
sesuai dengan kebutuhan siswa tunarungu.

B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan di bahas dalam proses penyusunan makalah
ini adalah “BIMBINGAN PADA SISWA DENGAN HAMBATAN
PENGLIHATAN DAN PENDENGARAN“.
Untuk memberikan kejelasan makna serta menghindari meluasnya
pembahasan, maka dalam makalah ini masalahnya dibatasi pada:
a) Apa definisi dari tunanetra dan tunarungu ?
b) Apa saja klasifikasi, penyebab, dan pencegahan dari tunanetra dan
tunarungu ?
c) Apa tujuan, fungsi, dan program layanan dasar bimbingan bagi anak
tunanetra ?
d) Apa konsep dasar bimbingan karir, tujuan, fungsi, dan pengembanganan
program bagi anak tunarungu ?

3
C. Tujuan Penulisan
Pada dasarnya tujuan penulisan makalah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu
tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini adalah
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Bimbingan Anak Berkebutuhan
Khusus.
Adapun tujuan khusus dari penyusunan makalah ini adalah:
a) Untuk mengetahui definisi dari tunanetra dan tunarungu.
b) Untuk mengetahui klasifikasi, penyebab, dan pencegahan dari tunanetra dan
tunarungu.
c) Untuk mengetahui tujuan, fungsi, dan program layanan dasar bimbingan pada
siswa tunanetra.
d) Untuk mengetahui konsep dasar bimbingan karir, tujuan, fungsi, dan
pengembangan program bimbingan karir bagi siswa tunarungu.

D. Metode Penulisan
Dalam proses penyusunan makalah ini menggunakan metode pengumpulan
sumber – sumber dari bedah buku dan internet. Metode ini dipilih karena pada
hakikatnya sesuai dengan kegiatan penyusunan dan penulisan yang hendak
dilakukan.

4
BAB II
BIMBINGAN PADA SISWA DENGAN HAMBATAN PENGLIHATAN
DAN PENDENGARAN

A. DEFINISI TUNANETRA DAN TUNARUNGU


1. Definisi Tunanetra
Pada umumnya masyarakat tidak asing lagi dengan orang yang mengalami
gangguan penglihatan atau yang dikenal dengan tunanetra karena mereka ini
merupakan salah satu kelompok anak luar biasa yang banyak ditemukan oleh
masyarakat. Namun, masyarakat sering menyebutnya orang buta terhadap
tunanetra. Sebenarnya penggunaan istilah buta seperti itu, kurang tepat, sebab
tidak semua tunanetra mengalami kebutaan. Istilah buta dimaksudkan untuk
menunjukan seseorang yang sudah rusak penglihatannya sedemikian rupa
sehingga sulit sekali untuk difungsikan sebagai alat untuk melihat, sedangkan
istilah tunanetra digunakan untuk menunjukan adanya gradasi atau tingkatan
kerusakan/gangguan penglihatan mulai yang berat sampai yang sangat berat,
bahkan buta total. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang tunanetra
belum tentu buta, sedangkan orang buta sudah pasti tunanetra. Dengan kata lain,
kebutaan merupakan tingkat ketunanetraan yang paling berat.
Bagi penderitanya sendiri atau orang yang mengalami kelainan penglihatan
sekalipun itu termasuk kelompok buta, pada umumnya lebih senang dengan
sebutan tunanetra dari pada buta. Sebutan tunanetra dirasakan mereka lebih halus
dibandingkan buta. Oleh karena itu, istilah buta hendaknya tidak digunakan untuk
sebutan atau panggilan terhadap orang yang memiliki kelaianan penglihatan,
tetapi hanya digunakan dalam pengelompokan untuk keperluan layanan
pendidikan yang sesuai dengan tingkat kemampuan penglihatannya.
Agar menjadi lebih jelas apa itu tunanetra, berikut ini akan dikemukakan,
beberapa definisi tentang tunanetra. Dari segi harfiah, kata tunanetra terdiri dari
kata tuna dan netra. Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia (Amran Y S
Chaniago 1995:540), kata tuna berarti tidak memiliki, tidak punya, luka atau
rusak, sedangkan netra berarti penglihatan. Dengan demikian, tunanetra
mempunyai arti, tidak memiliki atau rusak penglihatannya.

5
Secara umum, istilah tunanetra digunakan untuk menggambarkan tingkatan
kerusakan atau gangguan penglihatan yang berat sampai pada yang sangat berat,
yang dikelompokan secara umum menjadi buta dan kurang lihat. Sebagian ahli
mengelompokkan menjadi kurang lihat (low vision), buta (blind), dan buta total
(totally blind). Perlu anda pahami bahwa kerusakan yang terjadi pada organ
penglihatan (mata) dapat meliputi kerusakan yang ringan sampai yang sangat
berat. Anak yang memiliki kerusakan ringan pada penglihatannya (seperti myopia
dan hypermetropia ringan) masih dapat dikoreksi dengan menggunakan kacamata
dan bisa mengikuti pendidikan seperti anak yang lainnya, secara umum tidak
dikelompokan pada tunanetra. Berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi
lainnya tentang tunanetra.
Anak tunanetra diartikan sebagai anak yang cacat indera penglihatannya .
dalam arti indera penglihatan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Menurut
Barraga (dalam Kusumah, 1990:2) mengemukakan bahwa “seorang anak
dikatakan kelainan penglihatan jika kecacatannya tersebut dapat mengganggu
prestasi belajar secara optimal, kecuali jika dilakukan penyesuaian dalam metode-
metode penyajian pelajaran, sifat-sifat bahan yang digunakan dan/atau lingkungan
belajarnya”.
Barraga dalam Samuel, A. Kirk (1989:348) mengemukakan bahwa orang
yang buta memiliki persepsi sinar tanpa proyeksi (yang berarti mereka merasakan
adanya sinar tetapi tidak mampu untuk memproyeksiskan atau mengidentifikasi
sumber sinarnya) atau sama sekali tidak memiliki persepsi sinar, sedangkan Faye
dalam Samuel A. Kirk (1989:348) mendefinisikan orang yang kurang lihat
sebagai orang yang meskipun sudah diperbaiki penglihatannya masih lebih rendah
atau kurang dari normal tetapi memiliki penglihatan yang dapat dipergunakan
secara berarti.
Ahli lain, yaitu De Mott (1982:272) mengemukakan bahwa istilah buta
diberikan kepada orang yang sama sekali tidak memiliki penglihatan atau yang
hanya memiliki persepsi cahaya. Siswa yang buta akan diajarkan Braille,
sedangkan orang yang kurang lihat (low vision) adalah mereka yang memiliki
tingkat ketajaman penglihatan sentral antara 20/70 dan 20/70 feet. Siswa yang
dikelompokan ke dalam klasifikasi ini membutuhkan bantuan khusus atau

6
modifikasi materi atau membutuhkan kedua-duanya dalam pendidikannya di
sekolah.
Geraldine T. Scholl (1986: 26), mengemukakan bahwa orang yang memiliki
kebutaan menurut hukum (legal blindness), apabila ketajaman penglihatan
sentralnya 20/200 feet atau kurang pada penglihatan terbaiknya setelah dikoreksi
dengan kecamata atau ketajaman penglihatan sentralnya lebih dari 20/200 feet,
tetapi ada kerusakan pada lantang pandangnya sedemikian luas sehingga diameter
terluas dari lantang pandangnya membentuk sudut yang tidak lebih besar dari 20
derajat pada mata terbaiknya.
Ukuran ketajaman penglihatan sentral 20/200 feet/kaki bahwa orang normal
dapat melihat suatu benda tertentu pada jarak 200 feet/kaki atau 60 meter, tetapi
mereka yang terbatas penglihatannya hanya mampu melihat pada jarak 20 kaki/ 6
m. Ukuran ketajaman penglihatan diperoleh melalui tes dengan menggunakan
kartu Snellen. Kartu Snellen tersebut ada 3 macam, yaitu kartu bentuk E, bentuk
abjad, serta bentuk gambar-gambar. Tetapi yang paling sering digunakan adalah
bentuk E dan abjad, sedangkan bentuk gambar dianggap kurang efektif karena
tidak semua gambar benda dikenal oleh anak-anak.
Sedangkan pada jurnal yang kami kutip menyatakan bahwa Definisi
Tunanetra adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi
penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki
penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbataan dalam indra penglihatan maka
proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan
indra pendengaran. Oleh karena itu prinsip yang harus diperhatikan dalam
memberikan pengajaran kepada individu tunanetra adalah media yang digunakan
harus bersifat taktual dan bersuara, contohnya adalah penggunaan tulisan braille,
gambar timbul, benda model dan benda nyata. sedangkan media yang bersuara
adalah tape recorder dan peranti lunak JAWS. Untuk membantu tunanetra
beraktivitas di sekolah luar biasa mereka belajar mengenai Orientasi dan
Mobilitas. Orientasi dan Mobilitas diantaranya mempelajari bagaimana tunanetra
mengetahui tempat dan arah serta bagaimana menggunakan tongkat putih (tongkat
khusus tunanetra yang terbuat dari alumunium)

7
2. Definisi Tunarungu
Adapun yang dimaksud tunarungu merupakan hambatan pendengaran yang
dapat dibedakan ke dalam 2 kategori, yaitu „tuli berat‟ (deaf), dan „masih ada sisa
pendengaran‟ (hard of hearing). Mereka yang mempunyai kesulitan pendengaran
pada 70 dB (decibel) atau lebih disebut tuli (deaf). Kondisi ketulian ini akan
mempengaruhi pemahaman pada orang yang bicaranya lembut (kurang keras
suaranya), meskipun mereka telah menggunakan hearing aid (alat bantu dengar).
Sedangkan individu yang mempunyai sisa pendengaran (hard of hearing)
biasanya mengalami kesulitan pendengaran antara 35-69 dB, artinya mereka
masih dapat memahami pembicaraan orang lain. (Atang Setiawan, dkk, 2006:23)
Pendapat Hanahan dan Kauffman (1991:266), yaitu sebagai berikut.
Tunarungu merupakan satu istilah umum yang menunjukkan
ketidakmampuan mendengar dari yang ringan sampai yang berat sekali yang
digolongkan kepada tuli (deaf) dan kurang dengar (a hard of hearing).
Orang yang tuli (a deaf person) adalah seseorang yang mengalami
ketidakmampuan mendengar sehingga mengalami hambatan di dalam memproses
informasi bahasa melalui pendengarannya dengan atau tanpa menggunakan alat
bantu dengar (hearing aid), sedangkan orang yang kurang dengar (a hard of
hearing person) adalah seseorang yang biasanya dengan menggunakan alat bantu
dengar, sisa pendengarannya cukup memungkinkan untuk keberhasilan
memproses informasi bahasa melalui pendengarannya, artinya apabila orang yang
kurang dengar tersebut menggunakan hearing aid, ia masih dapat menangkap
pembicaraan melalui pendengarannya.
Ahli lain, yaitu Muores (1981:6) mengemukakan sebagai berikut.
Orang yang tuli (a deaf person) adalah seseorang yang mengalami
ketidakmampuan mendengar (biasanya pada tingkat 70 dB atau lebih) yang
menghambat pemahaman bicara melalui pendengarannya dengan atau tanpa
menggunakan alat bantu dengar, sedangkan orang yang kurang dengar (a hard of
hearing person) adalah seseorang yang mengalami ketidakmampuan mendengar
(biasanya pada tingkat 35-69 dB) sehingga mengalami kesulitan, tetapi tidak
menghambat pembicaraan melalui pendengarannya, tanpa atau dengan
menggunakan alat bantu dengar.

8
Sedangkan pada jurnal yang kami kutip menyatakan bahwa tunarungu
merupakan individu yang memiliki gangguan pendegaran baik permanen maupun
tidak permanen.
Dari definisi-definisi diatas maka dapat disimpilkan bahwa tunarungu
merupakan istilah umum untuk menunjukan kepada individu yang mengalami
hambatan pendengaran yang disebabkan oleh disfungsi saraf pendengaran atau
ketidakfungsian alat pendengaran. Sebagai akibat dari gangguan atau
ketidakmampuan pendengarannya, anak tunarungu (terutama yang mengalami
ketulian sejak lahir), mengalami kesulitan dalam memaknai kata, dan biasanya
mereka dalam mengembangkan konsep kata dengan cara memanipulasi gerak
bibir, di samping itu mereka mengalami hambatan dalam perkembangan bicara
dan bahasanya. Hal tersebut terjadi karena ada kaitan yang erat antara
pendengaran dengan kemampuan bicara dan berbahasa. Kemampuan berbicara
diperoleh melalui proses meniru bunyi-bunyi bahasa yang terdengar oleh bayi.
Bayi mendengar, akan memperoleh rangsangan bunyi-bunyi bahasa yang bisa
ditirunya sehingga bayi yang mendengar umumnya dapat mengikuti tahapan
perkembangan bicara secara normal, sedangkan bayi yang tunarungu tidak
memperoleh bunyi-bunyi bahasa yang dapat ditirunya sehingga tidak dapat
mengikuti tahapan perkembangan bicara secara normal atau kemampuan
bicaranya tidak terbentuk. Oleh karena itu, adakalanya anak seperti ini disebut
juga anak tuli bisu atau tunarungu wicara.
Istilah tunarungu wicara jarang digunakan karena tidak semua anak tunarungu
mengalami kebisuan. Ada sebagaian anak tunarungu yang mempunyai
kempampuan bicara yang baik, tetapi tentunya setelah mendapatkan penanganan
secara khusus. Meskipun tidak sebaik anak yang mendengar, namun bicaranya
dapat dipahami.
Anak tunarungu biasanya disertai dengan kelainan lain, seperti kecerdasan
yang rendah, kehilangan penglihatan atau kelainan yang lainnya dikelompokkan
ke dalam tunaganda. Dengan demikian berdasarkan penelitian Lewis, (1998:27)
menyatakan bahwa “Dampak dari kondisi ini, mereka tidak dapat menyesuaikan
diri atau bahkan menarik diri dari lingkungan sosial sehingga mereka tidak dapat
mewujudkan diri dalam peranan sosialnya secara optimal”.

9
Untuk memperjelas, maka kami akan membahas proses-proses pendengaran
itu, sebagai berikut.
Proses pendengaran dimulai dari masuknya sumber bunyi ke dalam telinga
melalui lubang telinga luar (external audiotory canel), kemudian menggetarkan
selaput gendang dengar (membrane timpani) atau disebut juga drum membrane
yang merupakan batas antara telinga luar dan telinga tengah. Getaran tersebut
diteruskan oleh ketiga lubang pendengaran yang ada pada telinga bagian tengah,
yaitu maneus, incus, dan stapes. Kaki stapes menempel pada selaput oval window
sehingga getaran sampai pada selaput oval window yang merupakan batas antara
telinga tengah dan telinga dalam. Getaran pada selaput oval window
menggetarkan cairan yang ada pada cochlea. Di dalam cochlea tersebut terdapat
organ corti yang mengubah getaran bunyi menjadi impuls listrik yang diteruskan
oleh saraf pendengaran (cochlear nervus) ke pusat pendengaran di otak, dan
impuls listrik tersebut menjadi kesan suara. Apabila terjadi kerusakan pada organ-
organ tadi maka kesan suara tidak sampai pada pusat pendengaran di otak, dengan
kata lain mengalami gangguan pendengaran. (Hanahan, P. Daniel & Kauffman,
M. James, 1991:267).

B. KLASIFIKASI, PENYEBAB, DAN PENCEGAHAN DARI


TUNANETRA DAN TUNARUNGU
1. Klasifikasi, Penyebab, dan Pencegahan dari Tunanetra
 Klasifikasi Tunanetra
Ketunanetraan dapat diklasifikasikan berdasarkan 3 hal, yaitu tingkat
ketajaman penglihatan, serta terjadinya ketunanetraan serta adaptasi
pendidikannya.
1. Berdasarkan Tingkat Ketajaman Penglihatan
Tingkat ketajaman penglihatan yang dihasilkan dari tes Snellen, dapat
dikelompokan menjadi berbagai tingkatan. Hasil tes Snellen 20/20 feet atau 6/6
meter menunjukan bahwa penglihatannya normal. Namun, ada orang yang
memiliki gangguan penglihatan atau mempunyai ketajaman kurang dari 20/20
feet. Gangguan penglihatan yang ringan atau yang mempunyai ketajaman antara
6/6 m – 6/16 m atau 20/20 feet – 20/50 feet, tidak dikelompokkan pada tunanetra

10
atau bahkan masih dapat dikatakan normal karena dengan dikoreksi
kecamatannya, mereka masih mampu mempergunakan peralatan pendidikan pada
umumnya, sedangkan yang mengalami gangguan penglihatannya yang cukup
berat atau kurang dari 6/20 m atau 20/70 feet, sudah dikategorikan tunanetra.
Dengan demikian, klasifikasi tunanetra berdasarkan ketajaman penglihatan dalam
dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Tunanetra dengan ketajaman penglihatan 6/20m-6/60m atau 20/70 feet,
20/200 feet. Tingkat ketajaman penglihatan seperti ini pada umumnya
dikatakan tunanetra kurang lihat (low vision). Pada taraf ini para penderita
masih mampu melihat dengan bantuan alat khusus.
b. Tunanetra dengan ketajaman penglihatan antara 6/60 m atau 20/200 feet atau
kurang.
Tingkat ketajaman seperti ini, sudah dikatakan tunanetra berat atau secara
umum dapat dikatakan buta (blind). Kelompok ini masih dapat
diklasifikasikan lagi menjadi berikut ini :
1) Kelompok tunanetra yang masih dapat melihat gerakan tangan.
2) Kelompok tunanetra yang hanya dapat membedakan terang dan gelap.
c. Tunanetra yang memiliki visus 0
Pada taraf yang terakhir ini, anak sudah tidak mampu lagi melihat ransangan
cahaya atau dapat dikatakan tidak dapat melihat apapun. Kelompok ini sering
disebut dengan buta total (totally blind)
2. Berdasarkan Saat Terjadinya Ketunanetraan
a. Tunanetra sebelum dan sejak lahir
Kelompok ini terdiri dari orang yang mengalami ketunanetraan pada saat
dalam kandungan atau sebelum usia satu tahun. Anak-anak ini masih belum
mempunyai konsep penglihatan. Oleh karena itu, peran guru, orang tua, dan orang
yang disekitarnya sangat besar untuk melatih penggunaan indera-indera yang
masih dimilikinya.
b. Tunanetra balita
Tunanetra balita, yaitu orang yang mengalami ketunanetraan pada saat ia
berusia di bawah 3 tahun. Bagi anak ini, konsep penglihatan yang telah dimiliki
lama kelamaan akan hilang sehingga kesan-kesan visual atau konsep-konsep

11
tentang benda atau lingkungan yang dimilikinya tidak terlalu bermanfaat bagi
kehidupan selanjutnya. Oleh karena itu, peran orang-orang disekitarnya sangat
besar, dan mereka akan membantu mengulang kembali segala sesuatu yang telah
dimengerti anak, saat ia masih dapat melihat.
c. Tunanetra balita
Tunanetra balita yaitu orang yang mengalami ketunanetraan pada saat ia
berusia antara 3-5 tahun. Pada ketunanetraan ini, konsep penglihatan akan tetap
terbentuk dengan cukup berarti sehingga akan menjadi bahan pertimbangan dalam
menentukan langkah-langkah pendidikannya. Kesan yang pernah terbentuk tidak
akan hilang sehingga akan berguna bagi perkembangannya. Peran orang tua dan
guru taman kanak-kanak sangat besar artinya dalam membina dan mengarahkan
konsep yang telah dimiliki anak.
d. Tunanetra pada usia sekolah
Kelompok ini meliputi anak yang mengalami ketunanetraan pada usia antara
6-12 tahun. Pada usia ini konsep penglihatan telah terbentuk dan mempunyai
kesan-kesan visual yang banyak dan bermanfaat bagi perkembangan
pendidikannya. Kesan visual tersebut dapat berupa keadaan rumah, sekolah.
Namun demikian, mereka harus tetap mendapat perhatian khusus dari orang tua
dan gurunya dalam menempuh pendidikannya. Di samping itu, mereka cenderung
mengalami guncangan jiwa. Guncangan jiwa anak tunanetra usia sekolah lebih
hebat dibandingkan dengan anak tunanetra usia balita, sebab usia sekolah ini
merupakan masa-masa bermain. Oleh karena itu, tugas para guru/ pendidik adalah
menyadarkan mereka agar mau menerima kenyataan sehingga anak dapat
berkembang dan menambah pengalamannya dalam ketunanetraannya.
e. Tunanetra remaja
Tunanetra remaja adalah orang yang mengalami ketunanetraan pada saat usia
remaja atau antara usia 13-19 tahun. Anak usia remaja, sudah memiliki kesan-
kesan visual yang sangat mendalam. Kesan ini akan bermanfaat dalam
mendukung perkembangan kehidupan selanjutnya. Namun, ketunanetraan pada
usia remaja dapat menimbulkan guncangan jiwa yang sangat berat karena terjadi
konflik batin dan konflik jasmani. Ia mengalami frustasi atau keputusan kareana
secara jasmani ia tidak lagi, seperti saat masih dapat melihat, sedangkan

12
kebutuhannya akan sama. Seperti saat ia masih dapat melihat. Pada masa seperti
itu, mereka sangat membutuhkan bimbingan agar menyadari dan menerima
kenyataan sehingga mereka dapat berkembang secara utuh baik secara jasmani
maupun rohani, serta dapat berinteraksi dengan lingkungannya.
f. Tunanetra dewasa
Tunanetra dewasa, yaitu orang yang mengalami ketunanetraan pada usia
dewasa atau usia 19 tahun ke atas. Pada umumnya di usia dewasa ini mereka
sudah memiliki keterampilan dan kemungkinan pekerjaan yang diharapkan untuk
kelangsungan hidupnya dan keluarganya. Ketunanetraan yang dialaminya menjadi
pukulan yang sangat berat dan menimbulkan guncangan jiwa atau putus asa. Oleh
karean itu, mereka hendaknya mendapatkan layanan dan bimbingan baik secara
jasmani maupun rohani secara khusus. Bimbingan secara jasmani akan lebih
mengarah pada keterampilan yang sesuai dengan kondisinya sehingga apabila
mereka harus kehilangan pekerjaan karena ketunanetraannya, mereka masih dapat
melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kondisinya untuk menghidupi dirinya
dan keluarganya, sedangkan bimbingan secara rohani lebih diarahkan pada
bimbingan pengamanan, untuk mempertebal keimannya dalam menerima
keadaannya.
3. Berdasarkan Adaptasi Pendidikan
Klasifikasi tunanetra ini tidak didasarkan pada hasil tes ketajaman
penglihatan, tetapi didasarkan pada adaptasi/penyesuaian pendidikan khusus yang
sangat penting dalam membantu merekabelajar atau diperlukan dalam
menentukan layanan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan penglihatannya.
Klasifikasi ini dikemukakan oleh Krik (1989:348-249), yaitu sebagai berikut :
a. Ketidakmampuan melihat taraf sedang (moderate visual disability)
Pada taraf ini, mereka dapat melakukan tugas-tugas visual yang dilakukan
oleh orang awas dengan menggunakan alat bantu khusus dan dibantu dengan
pemberian cahaya yang cukup.
b. Ketidakmampuan melihat taraf berat (severe visual disability)
Pada taraf ini, mereka memiliki kemampuan penglihatan yang kurang baik
atau kurang akurat meskipun dengan menggunakan alat bantu visual dan

13
modifikasi sehingga mereka membutuhkan lebih banyak waktu dan energi
dalam melakukan tugas-tugas visual.
c. Ketidakmampuan melihat taraf sangat berat (profound visual disability)
Pada taraf ini mereka mendapat kesulitan untuk melakukan tugas-tugas visual
yang lebih detail, seperti membaca dan menulis huruf awas. Dengan
demikian, mereka tidak dapat menggunakan penglihatannya sebagai alat
pendidikan sehingga indera peraba dan pendengarannya memegang peranan
penting dalam menempuh pendidikannya.

 Penyebab Terjadinya Tunanetra


Sebelum menjelaskan penyebab terjadinya tunanetra. Maka perlu dipahami
terlebih dahulu tentang organ dan proses penglihatan.
Proses melihat, terjadi pada saat kelopak mata terbuka, kemudian cahaya
masuk melalui kornea, pupil, lensa dan cairan yang ada dalam bola mata (vitreous
humor), kemudian gambaran objek memantul pada retina dalam keadaan terbalik.
Gambaran objek yang merangsang retina itu, kemudian diteruskan ke pusat
penglihatan di otak (lobus oksipitalis) melalui saraf penglihatan (optic nerve)
sehingga gambaran objek ditafsirkan dan memperoleh makna.
Setelah memahami tentang organ dan proses penglihatan, kini anda harus
memahami faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya tunanetra berikut ini.
Ada berbagai faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan
penglihatan, dan tentunya sudah dipahami bahwa gangguan penglihatan ringan
yang umum. Oleh karena itu, penyebab terjadinya gangguan penglihatan tersebut
dibatasi pada faktor-faktor yang secara etiologis sangat serius.
Penyebab ketunanetraan, secara umum, meliputi faktor keturunan, penyakit,
dan kecelakaan. Faktor keturunan merupakan faktor penyebab tunanetra yang
lebih sering terjadi dibanding faktor penyakit dan kecelakaan yang keduanya
menjadi berkurang karena pengendalian dan pendidikan yang lebih maju. Faktor
keturunan sering disebut juga sebagai faktor internal, sedangkan faktor penyakit
dan kecelakaan disebut juga faktor eksternal. Dengan demikian, pembahasan
mengenai penyebab tunanetra didasarkan pada internal dan eksternal.

14
1. Faktor Internal
Faktor internal merupakan penyebab ketunanetraan yang timbul dari dalam
diri individu, yang sering disebut juga faktor keturunan. Faktor ini kemungkinan
besar terjadi pada perkawinan antarkeluarga dekat dan perkawinan antartunanetra.
Di dalam tubuh manusia terdapat triliun sel yang berasal dari segumpal sel
hasil pertemuan sel telur dan sperma. Di dalam sel-sel inilah terdapat faktor-faktor
keturunan yang senantiasa diturunkan pada anak-anak nya. Pada umumnya faktor
keturunan terdapat pada inti sel (nukleus) dalam bentuk kromosom yang
berjumlah 23 pasang. Kromosom ini terdiri dari zat yang kompleks yang
dinamakan DNA (deoxyribonucleic acid). DNA ini selanjutnya membentuk gen-
gen yang merupakan pembawa sifat bagi setiap karakteristik dalam tubuh. Apabila
terjadi kelaianan genetik sebagai akibat keturunan dari kedua orang tua atau salah
satu makna gen-gen inilahyang nantinya akan diturunkan pada generasi
berikutnya (Anastasia Widjajantin & Imanuel Hitipeuw, 1996:22).

2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang dimaksudkan di sini, merupakan penyebab
ketunanetraan yang berasal dari luar diri individu. Penyebab ketunanetraan yang
dikelompokkan pada faktor internal ini, antara lain sebagai berikut.
a. Penyakit rubella dan syphilis
Rubella atau campak Jerman merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh
virus yang sering berbahaya dan sulit didiagnosis secara klinis. Apabila seorang
ibu terkenan rubella pada saat usia kehamilan tri semester pertama (3 bulan
pertama) maka virus tersebut dapat merusak pertumbuhan sel-sel pada janin dan
merusak jaringan pada mata, telinga atau organ lainnya sehingga kemungkinan
besar, anaknya lahir tunanetra atau tunarungu atau berkelainan lainnya. Demikian
juga dengan penyakit syphilis (penyakit yang menyerang alat kelamin). Apabila
penyakit itu terjadi pada ibu hamil maka penyakit tersebut akan merambat ke
dalam kandungan sehingga dapat menimbulkan kelainan pada bayi yang
dikandungnya atau bayi tersebut akan terkena penyakit ini sewaktu dilahirkan.

15
b. Glaukoma (Glaucoma)
Glaukoma merupakan suatu kondisi di mana terjadi tekanan yang berlebihan
pada bola mata. Hal itu terjadi karena struktur bola mata yang tidak sempurna
pada saat pembentukannya dalam kandungan. Kondisi ini ditandai dengan
pembesaran pada bola mata, kornea menjadi keruh, banyak mengeluarkan air
mata, dan merasa silau.
c. Retinopati diabetes (Diabetic Retinopathy)
Retinopati diabetes merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya
gangguan dalam suplai/aliran darah pada retina. Kondisi ini disebabkan oleh
adanya penyakit diabetes. Diabetes merupakan gangguan metabolisme tubuh, di
mana tubuh tidak cukup memproduksi insulin sehingga produksi gula darah
meningkat dari ukuran normal. Gangguan metabolisme ini dapat merusak mata,
ginjal, susunan saraf, dan pembuluh darah.
d. Retinoblastoma
Retinoblastoma merupakan tumor ganas yang terjadi pada retina, dan sering
ditemukan pada anak-anak. Gejala yang dapat dicurigai dari penyakit tersebut,
antara lain menonjolkan bola mata, adanya becak putih pada pupil, strabismus
(juling), glaukoma, mata sering merah atau penglihatannya terus menurun.
e. Kekurangan vitamin A
Vitamin A berperan dalam ketahanan tubuh terhadap infeksi. Dengan adanya
vitamin A, tubuh lebih efisien dalam menyerap protein yang dikonsumsi.
Kekurangan vitamin A akan menyebabkan kerusakan pada matanya, yaitu
kerusakan pada sensitivitas retina terhadap cahaya(rabun senja) dan terjadi
kekeringan pada konjungtiva bulbi yang terdapat pada celah kelopak mata,
disertai pengerasan dan penebalan pada epitel. Pada saat mata bergerak, akan
tampak lipatan pada konjungtiva bulbi. Dalam keadaan parah, hal tersebut dapat
merusak retina, dan apabila keadaan ini tetap dibiarkan, akan terjadi
ketunanetraan.
f. Terkenan zat kimia
Di samping memberikan manfaat bagi manusia, zat-zat juga dapat merusak
apabila penggunaannya tidak hati-hati. Zat kimia tertentu,seperti zat etanol dan
aseton, apabila mengenai kornea, akan mengakibatkan kering dan terasa sakit.

16
Selain itu zat-zat lain, seperti asam sulfat dan asam tannat yang mengenai kornea,
kan menimbulkan kerusakan, bahkan dapat mengakibatkan ketunanetraan.
g. Kecelakaan
Kecelakaan menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan ketunanetraan
apabila kecelakaan tersebut mengenai mata atau saraf mata. Benturan keras
mengenai saraf mata atau tekanan yang keras terhadap bola mata, dapat
menyebabkan gangguan penglihatan, bahkan ketunanetraan. Hal tersebut pernah
terjadi pada salah seorang mahasiswa UPI. Ia menjadi tunanetra karena pada saat
ia berumur 6 tahun, matanya terkena ketepel (Sunda) yang sangat keras sewaktu
bermain dengan temannya.

 Pencegahan Terjadinya Tunanetra


Upaya yang dapat dilakukan sebagai pencegahan terjadinya tunanetra dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu : secara medis, sosial,dan eduktif.
1. Pencegahan secara Medis
a. Melakukan pemeriksaan genetika kepada dokter ahli sebelum menikah
sehingga akan diketahui apakah gen mereka dapat menyebabkan kecacatan
atau tidak pada anak yang kelak akan dilahirkan.
b. Menghindari penggunaan tetapi radioaktif bagi ibu hamil, terutama pada usia
kandungan tiga bulan pertama dan 3 bulan ketiga. Diagnostik pada wanita
hamil sebaiknya dilakukan sebelum hari ke -10 pada siklus menstruasi. Hal
ini untuk mencegah terjadinya mutasi kromosom sel-sel telur pada ovarium.
c. Pencegahan terhadap virus menular seperti virus rubella,syphilis, dan
sebagainya. Pencegahan terhadap virus rubella dapat dilakukan dengan
pemberian imunisasi rubella secara rutin terutma terhadap anak perempuan
usia 1 tahun sampai usia dewasa.
d. Pemberian vitamin A dosisi tinggi untuk mencegah kekurangan vitamin A.
Dalam hal ini, pemerintah sudah melakukan upaya tersebut, dengan
memberikan vitamin A dosis tinggi secara gratis kepada setiap belita.
e. Melakukan pemeriksaan dini kepada dokter mata, apabila terjadi keluhan
pada mata secara serius.

17
2. Pencegahan secara Sosial
Ditinjau dari segi sosial, upaya pencegahan terjadinya tunanetra dapat
dilakukan melalui berbagai kegiatan, antara lain sebagai berikut :
a. Memberikan penyuluhan mengenai penyebab terjadinya tunanetra.
Penyuluhan ini dapat diberikan kepada para ibu melalui kegiatan PKK karena
seorang ibu memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya
tunanetra.
b. Kegiatan yang dilakukan oleh Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).
Puskesmas selaku instansi kesehatan, tidak hanya melayani masyarakat
umum, tetapi juga turut berperan dalam menjaga kesehatan anak-anak
sekolah melalui unit Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Biasanya program
UKS ini dilaksanakan di sekolah dasar. Untuk itu diperlukan adanya kerja
sama yang baik antara pihak sekolah dasar dengan tim UKS. Melalui kerja
sama tersebut, dapat dilakukan pemeriksaan dini untuk mencegah terjadinya
wabah di sekolah tersebut, kemudian juga dapat dilakukan pengamatan
terhadap kondisi dan fungsi penglihatannya, seperti mata juling (ringan atau
berat), kesalahan dalam membaca, keluhan (pusing kepala, penglihatan kabur
atau berkunang- kunang), kegiatan motorik, sepeeti memegang buku terlalu
jauh atau terlalu dekat, mata basah atau berair terus, dan kelopak mata merah
atau berkerak, serta melakukan tes ketajaman penglihatan dengan kartu
Snellen.
c. Meningkatkan perlindungan keselamatan kerja para buruh di perusahaan-
perusahaan, terutama pada perusahaan yang banyak menggunakan bahan
kimia.

3. Pencegahan secara Edukatif


Dalam upaya pencegahan tunanetra secara eduktif, keluarga dan sekolah
memegang peranan penting yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Peranan keluarga
Dari uraian terdahulu tentunya sudah diketahui bahwa ketunanetraan dapat
disebabkan, antara lain oleh faktor kekurangan gizi terutama vitamin A, penyakit,
serta kecelakaan.

18
Oleh karena itu, di samping bertanggung jawab untuk pemberian gizi yang
baik, keluarga memegang peranan penting dalam menanamkan kebiasaan hidup
sehat, terutama dalam penggunaan dan pemeliharaan kesehatan penglihatannya.
Kebiasaan yang perlu ditanamkan dalam keluarga,antara lain kebiasaan membaca
yang baik, seperti tidak membaca dengan posisi tidur terlentang, jarak antara mata
dan buku ± 30 cm, dan penerangan yang cukup, menonton tv pada jarak yang
tidak terlalu dekat, menghindari permaianan yang membahayakan mata, dan
sebagainya.
b. Peranan sekolah
Sekolah sebagai wahana bagi anak untuk memperoleh berbagai pengetahuan,
turut berperan dalam upaya mencegah terjadinya ketunanetraan pada para siswa.
Upaya yang dapat dilakukan antara lain memberikan pengetahuan dan
pemahaman tentang berbagai penyakit mata serta cara-cara pencegahannya,
memelihara kesehatan diri dan lingkungannya makanan yang banyak mengandung
vitamin A dan mengarahkannya agar menyukai makanan tersebut, menghindari
permainan yang membahayakan kesehatan mata terutama pada anak laki-laki
yang senang bermain ketepel atau tembak-tembakan dengan menggunakan peluru
mainan.

2. Klasifikasi, Penyebab, dan Pencegahan dari Tunarungu


 Klasifikasi Tunarungu
Ketunarunguan dapat diklasifikasikan ke dalam empat hal, yaitu tingkat
kehilangan pendengaran, saat terjadinya ketunarunguan, letak gangguan
pendengaran secara anatomis, serta etiologi.
1. Berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran yang diperoleh melalui tes
dengan menggunakan audiometer, ketunarunguan dapat diklasifikasikan
sebagai berikut.
a. Tunarungu ringan (mild hearing loss)
Siswa yang tergolong tunarungu ringan mengalami kehilangan
pendengaran antara 27-40 dB. Ia sulit mendengar suara yang jauh
sehingga membutuhkan tempat duduk yang letaknya strategis. Apabila di
kelas ada siswa yang mengalami tunarungu ringan, hendaknya ia

19
ditempatkan paling depan agar lebih mudah menangkap suara guru.
Siswa yang sejak lahir mengalami ketunarunguan ringan mengalami
sedikit hambatan dalam perkembangan bahasanya sehingga memerlukan
terapi bicara.
b. Tunarungu sedang (moderate hearing loss)
Siswa yang tergolong tunarungu sedang mengalami kehilangan
pendengaran antara 41-55 dB. Ia dapat mengerti percakapan dari jarak 3-
5 feet secara berhadapan (face to face), tetapi tidak mengikuti diskusi
kelas. Ia membutuhkan alat bantu dengar serta terapi bicara.
c. Tunarungu agak berat (moderately severe hearing loss)
Siswa yang tergolong tunarungu agak berat mengalami kehilangan
pendengaran anatara 56-70 dB . Ia hanya dapat mendengar suara dari
jarak dekat sehingga ia perlu menggunakan hearing aid. Kepada siswa
tersebut perlu diberikan latihan pendengaran serta latihan untuk
mengembangkan kemampuan bicara dan bahasanya.
d. Tunarungu berat (severe hearing loss)
Siswa yang tergolong tunarungu berat mengalami kehilangan
pendengaran antara 71-90 dB sehingga ia hanya dapat mendengar suara-
suara yang keras dari jarak dekat. Siswa tersebut membutuhkan
pendidikan khusus secara intensif, alat bantu dengar, serta latihan untuk
mengembangkan kemampuan bicara dan bahasanya.
e. Tunarungu berat sekali (profound hearing loss)
Siswa yang tergolong tunarungu berat sekali mengalami kehilangan
pendengaran lebih dari 90 dB. Mungkin ia masih mendengar suara yang
keras, tetapi ia lebih menyadari suara melalui getarannya (vibrations)
dari pada melalui pola suara. Ia juga lebih mengandalkan penglihatannya
dari pada pendengarannya dalam berkomunikasi, yaitu melalui
penggunaan bahasa isyarat dan membaca ujaran.

20
2. Berdasarkan saat terjadinya, ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai
berikut.
a. Ketunarunguan prabahasa (prelingual deafness), yaitu kehilangan
pendengaran yang terjadi sebelum kemampuan bicara dan bahasa
berkembang.
b. Ketunarunguan pascabahasa (post lingual deafness), yaitu kehilangan
pendengaran yang terjadi beberapa tahun setelah kemampuan bicara dan
bahasa berkembang.
3. Berdasarkan letak gangguan pendengaran secara anatomis, ketunarunguan
dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
a. Tunarungu tipe konduktif, yaitu kehilangan pendengaran yang
disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada telinga bagian luar dan tengah
yang berfungsi sebagai alat konduksi atau pengantar getaran suara
menuju telinga bagian dalam.
b. Tunarungu tipe sensorineural, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh
terjadinya kerusakan pada telinga dalam serta saraf pendengaran (nervus
choclearis).
c. Tunarungu tipe campuran yang merupakan gabungan tipe konduktif dan
sensorineural, artinya keusakan terjadi pada telinga luar/tengah dengan
telinga dalam /saraf pendengaran.
4. Berdasarkan etiologi atau asal usulnya ketunarunguan diklasifikasikan
sebagai berikut.
a. Tunarungu endogen, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh faktor
genetik (keturunan).
b. Tunarungu eksogen, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh faktor
nongenetik (bukan keturunan).

21
 Penyebab Terjadinya Tunarungu
Terdapat beberapa klasifikasi yang menyebabkan tunarungu, diantaranya
sebagai berikut.

1. Penyebab Terjadinya Tunarungu Tipe Konduktif


a. Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga luar yang dapat disebabkan,
antara lain oleh hal-hal berikut.
1) Tidak terbentuknya lubang telinga bagian luar (traesia meatus akustikus
externus) yang dibawa sejak lahir (pembawaan).
2) Terjadinya peradangan pada lubang telinga luar (otitis externa).
b. Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga tengah, yang dapat disebabkan
antara lain oleh hal-hal berikut.
1) Ruda paksa, yaitu adanya tekanan/benturan yang keras pada telinga
seperti karena jatuh, tabrakan, dan tertusuk yang mengakibatkan
perforasi membran timpani (pecahnya selaput gendang dengar) dan
lepasnya rangkaian tulang pendengaran.
2) Terjadinya peradangan/infeksi pada telinga tengah (otitis media).
3) Otoscleorisis, yaitu terjadinya pertumbuhan tulang pada kaki tulang
stapes, yang mengakibatkan tulang tersebut tidak dapat bergetar pada
oval window (selaput yang membatasi telinga tengah dan telinga dalam)
sehingga getaran tidak dapat diteruskan ke telinga dalam sebagaimana
mestinya.
4) Tympaniscleorisis, yaitu adanya lapisan kalsium/zat kapur pada gendang
dengar (membran timpani) dan tulang pendengaran sehingga organ
tersebut tidak dapat mengantarkan getaran ke telinga dalam dengan baik
untuk diubah menjadi kesan suara. Gangguan ini biasanya terjadi pada
orang yang sudah lanjut usia.
5) Anomaly congenital dari tulang pendengaran atau tidak terbentuknya
tulang pendengaran yang dibawa sejak lahir tetapi gangguan
pendengarannya tidak bersifat progresif.
6) Disfungsi tuba eustachius (saluran yang menghubungkan rongga telinga
tengah dengan rongga mulut), akibat alergi atau tumor pada nasopharynx.

22
2. Penyebab Terjadinya Tunarungu Tipe Sensorineural
Tunarungu tipe sensorineural, dapat disebabkan oleh faktor genetik
(keturunan) dan nongenetik. Kedua faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut.
a. Ketunarunguan yang disebabkan oleh faktor genetik (keturunan), maksudnya
bahwa ketunarunguan tersebut disebabkan oleh gen ketunarunguan yang
menurun dari orang tua kepada anaknya.
b. Penyebab ketunarunguan faktor non genetik, antara lain sebagai berikut.
1) Rubella Campak Jerman, yaitu penyakit yang disebabkan oleh virus yang
sering berbahaya dan sulit didiagnosis secara klinis. Penyakit ini lebih
berbahaya jika terjadi pada ibu hamil terutama pada usia kandungan tri
semester pertama (3 bulan pertama) karena dapat menimbulkan kelainan
pada janin. Virus tersebut dapat membunuh pertumbuhan sel-sel dan
menyerang jaringan-jaringan pada mata, telinga dan atau organ lainnya.
2) Ketidaksesuaian antara darah ibu dan anak. Apabila seorang ibu yang
mempunyai darah dengan Rh- mengandung janin dengan Rh+ maka
sistem pembuangan antibodi pada ibu sampai pada sirkulasi janin dan
merusak sel-sel darah Rh+ pada janin yang mengakibatkan bayi
mengalami kelainan (yang salah satunya adalah tunarungu).
3) Meningitis, yaitu radang selaput otak yang disebabkan oleh bakteri yang
menyerang labyrinth (telinga dalam) melalui sistem sel-sel udara pada
telinga tengah. Meningitis menjadi penyebab yang tetap untuk
ketunarunguan yang bersifat acquired (ketunarunguan yang didapat
setelah lahir).
4) Trauma akustik, yang disebabkan oleh adanya suara bising dalam waktu
yang lama (misalnya suara mesin di prabik).

 Cara Pencegahan Terjadinya Tunarungu


Ada beberapa cara yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan
terjadinya tunarungu. Upaya tersebut dapat dilakukan pada saat sebelum nikah
(pranikah), hamil (prenatal), persalinan (natal), dan setelah kelahiran (post natal),
yang masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut.

23
1. Upaya yang Dapat Dilakukan pada Saat sebelum Nikah (Pranikah)
a. Menghindari pernikahan sedarah atau dengan saudara dekat, terutama
pada keluarga yang mempunyai sejarah tunarungu.
b. Melakukan pemeriksaan darah.
c. Melakukan konseling genetika.
2. Upaya yang Dapat Dilakukan pada Waktu Hamil
a. Menjaga kesehatan dan memeriksakan kehamilan secara teratur kepada
dokter kandungan/bidan.
b. Mengonsumsi gizi yang baik/seimbang.
c. Tidak meminum obat sembarangan karena dapat menyebabkan
keracunan pada janin.
d. Melakukan imunisasi anti tetanus.
3. Upaya yang Dapat Dilakukan pada Saat Melahirkan
a. Pada saat melahirkan diupayakan tidak menggunakan alat penyedot.
b. Apabila ibu tersebut terkena virus herpes simplek pada daerah vaginanya
maka kelahiran harus melalui operasi Caesar.
4. Upaya yang Dapat Dilakukan pada Masa Setelah Lahir (Post Natal)
a. Melakukan imunisasi dasar serta imunisasi rubella yang sangat penting,
terutama bagi wanita.
b. Apabila anak mengalami sakit influenza, harus dijaga/diobati jangan
sampai terlalu lama karena virusnya dapat masuk ke rongga telinga
tengah melalui saluran eustaschius, dan dapat menyebabkan peradangan
(otitis media). Perlu diketahui bahwa fostur saluran eustaschius pada
anak berbeda dengan orang dewasa. Saluran eustaschius pada anak
posisinya mendekati horizontal, sedangkan pada orang dewasa mendekati
vertikal. Posisi saluran eustaschius yang mendekati horizontal pada anak,
akan memudahkan virus dari rongga hidung masuk ke ruang telinga
tengah.
c. Menjaga telinga dari kebisingan, seperti menggunakan pelindung telinga
bagi para pekerja di pabrik.

24
C. TUJUAN, FUNGSI, DAN PROGRAM LAYANAN DASAR
BIMBINGAN PADA SISWA TUNANETRA

1. Tujuan dan Fungsi Layanan Dasar Bimbingan pada Siswa Tunanetra


Tujuan layanan dasar bimbingan adalah membantu seluruh siswa dalam
mengembangkan keterampilan dasar untuk kehidupan. Komponen ini merupakan
landasan bagi program bimbingan perkembangan. Isi layanan dasar bimbingan
adalah hal-hal umum yang perlu dikembangkan bagi seluruh siswa melalui
layanan bimbingan konseling dalam membantu siswa mengembangkan
keterampilan hidup yang efektif. Fungsi layanan dasar bimbingan ini lebih bersifat
pengembangan karena merupakan upaya menyiapkan pelaksanaan bimbingan
secara sistematik bagi seluruh siswa, termasuk siswa dengan hambatan
penglihatan seperti siswa tunanetra. (Atang Setiawan, dkk, 2006:24)
Pengajaran dalam layanan dasar bimbingan ini diawali sejak pengalaman
pertama siswa dengan hambatan penglihatan masuk sekolah, dengan materi yang
diselaraskan dengan usia dan tahapan perkembangan siswa tersebut. Bidang
bimbingan yang bobot materinya lebih berkaitan dengan dengan layanan dasar
bimbingan adalah „bimbingan pribadi‟. Bimbingan pribadi ini lebih terfokus pada
upaya membantu peserta didik mengembangkan aspek-aspek kepribadian yang
menyangkut pemahaman diri dan lingkungan, kemampuan memecahkan masalah,
konsep diri, kehidupan emosi, identitas diri, dan bimbingan menjadi pribadi yang
mandiri.
Belajar bergaul dan bekerjasama dengan kelompok sebaya merupakan salah
satu tugas perkembangan yang harus dikuasai oleh siswa tunanetra di sekolah
umum. Dalam bimbingan perkembangan, aspek ini termasuk dalam komponen
layanan dasar bimbingan. Tugas perkembangan belajar bergaul dan bekerjasama
dalam kelompok sebaya meliputi: (1) cara mengenalkan diri, (2) menghargai
teman, (3) kerjasama dengan teman, (4) kepedulian terhadap teman, (5) mematuhi
aturan permainan, (6) bersaing dengan sportif, (7) setia kawan, (8) memahami
perbedaan dan persamaan dengan kawan, dan (9) cara menjadi pendengar yang
baik.
Bagi anak tunanetra yang mengikuti pendidikan di sekolah umum, tugas
perkembangan ini mungkin akan menjadi masalah dikarenakan ketidaksiapan dan

25
ketidakmampuan mereka dalam menerima realita yang ada akibat dari hambatan
penglihatannya. Dengan demikian anak menjadi kurang dapat menyesuaikan diri
dan kurang sosialisasi dengan teman sebayanya. Oleh karena itu, mereka sangat
membutuhkan layanan dasar bimbingan untuk mengembangkan sosialisasinya.
Supaya pelaksanaannya sistematis, maka perlu pembuatan program layanan dasar
bimbingan untuk mengembangkan kemampuan anak tunanetra dalam bergaul dan
bekerjasama dengan kelompok sebaya di sekolah umum maupun di SLB-A (untuk
sisswa tunanetra).
Upaya khusus untuk menyusun program yang memenuhi kebutuhan unik
anak tunanetra harus dilakukan sebaik-baiknya supaya mereka dapat menarik
manfaat semaksimal mungkin dari kahadirannya dalam kelas regular tersebut.
intervensi yang sistematis diperlukan untuk (a) mengubah sikap guru kelas, dan
(b) untuk menyusun situasi belajar sedemikian rupa sehingga siswa tunanetra
memperoleh manfaat atas penempatannya dengan rekan-rekannya yang normal.
Berdasarkan beberapa teori yang telah dikemukakan, maka program layanan dasar
bimbingan itu sangat tepat digunakan di sekolah umum yang ada anak
tunanetranya.
Temuan empiris di lapangan menunjukkan bahwa masalah yang dihadapi
siswa tunanetra adalah kurangnya kemampuan mereka dalam bergaul dan
bekerjasama dengan kelompok teman seusianya. Dengan kata lain, seperti yang
terjadi pada siswa tunanetra adalah mereka mengalami kesulitan dalam mencapai
tugas perkembangannya dalam belajar bergaul dan bekerjasama dengan kelompok
sebaya. Hal ini mengisyaratkan bahwa bimbingan bagi siswa tunanetra yang
mengikuti pendidikan di sekolah umum belum efektif. Program bimbingan bagi
siswa tunanetra ini perlu dibuat bersama-sana dengan kepala sekolah,
pembimbing dan para guru, serta bekerjasama dengan orang tua dari siswa
tunanetra. Program ini dikembangkan berdasarkan kebutuhan nyata siswa dan
disesuaikan dengan program pendidikan di sekolah umum.
Penyusunan programnya berdasarkan pada kemampuan siswa tunanetra
dalam bergaul dan bekerjasama dengan kelompok sebaya, kebutuhannya dalam
bimbingan, dan bimbinganyang diberikan guru umum, serta kendala yang
dihadapi dalam pelaksanaan bimbingan. Adapun aspek-aspek programnya

26
meliputi: (1) Tujuan, (2) Lingkup program, dan (3) Program kegiatannya. Setelah
diimplementasikan dan disempurnakan sesuai dengan kebutuhan siswa tunanetra,
maka ada beberapa aspek yang dikurangi dan ditambah. Pada akhirnya ligkup
program selengkapnya meliputi bimbingan dalam: (1) menghargai diri sendiri dan
teman sebaya, (2) meningkatkan rasa percaya diri, (3) meningkatkan motivasi, (4)
bekerjasama dengan teman sebaya, (5) memiliki kepedulian pada diri sendiri dan
teman sebaya, (6) memenuhi atauran kelompok teman sebaya, (7) bersaing
dengan teman sebaya secara sportif, (8) setia kawan, (9) cara menjadi pendengar
yang baik, (10) mencapai hubungan yang harmonis, (11) belajar memimpin tanpa
dominasi, (12) mencapai hubungan baru dengan teman sebaya, dan (13)
melakukan hubungan antar pribadi secara wajar.
Dengan demikian secara keseluruhan implementasi aspek-aspek program
tersebut telah mencapai tujuan, yaitu menghasilkan program layanan dasar
bimbingan pengembangan kemampuan siswa tunanetra secara umum maupun
program pengajarannya yang diintegrasikan dengan beberapa mata pelajaran yang
dapat dimuati program tersebut, seperti: pelajaran Science, Social Sciences, dan
Keterampilan. Implementasi program ini memberi pengaruh yang positif pada
guru, kepala sekolah, pembimbing, dan orang tua, serta siswa tunanetra itu
sendiri.
Dengan meningkatnya kolaborasi dalam pembuatan program bimbingan,
maka pengetahuan dan keterampilan mereka tentang bimbingan menjadi lebih
meningkat, khususnya dalam bimbingan perkembangan. Selainitu para guru
mempunyai acuan untuk melaksanakan bimbingan, sehingga kerja mereka
menjadi sistematis dan terarah. Kerjasama antara para guru (pembimbing) dengan
orang tua siswa semakin erat, karena dalam pelaksanaannya juga melibatkan
orang tua, serta siswa yang tunanetra lebih berkembang kemampuannya dalam
bergaul dan bekerjasama dengan kelompok sekelasnya, mengingat kesulitan atau
permasalahannya dapat diatasi oleh guru kelas dengan memberikan layanan dasar
bimbingan perkembangan yang telah dipelajarinya. (Atang Setiawan, dkk,
2006:24-25).

27
2. Program Layanan Dasar Bimbingan pada Siswa Tunanetra
Program layanan dasar bimbingan ini dapat dilaksanakan dengan efektif
apabila : (1) program dirancang sesuai dengan kebutuhan nyata siswa tunanetra
dan kemampuan guru dalam membimbing, (2) melibatkan semua tenaga
pendidikan di sekolah dalam merencanakannya, seperti dengan kepala sekolah,
pembimbing, dan guru-guru, (3) tujuan bimbingan diarahkan pada pencapaian
tugas perkembangan siswa tunanetra khususnya dalam belajar bergaul dan
bekerjasama dengan kelompok sebaya, (4) pelaksanaan layanan diintegrasikan
dengan mata pelajaran oleh guru bidang studi atau guru kelas, dengan
menyediakan atau memodifikasi fasilitas yang diperlukan untuk memudahkan
siswa tunanetra dalam belajar, (5) memberikan kemungkinan pelayanan kepada
semua siswa baik yang normal maupun yang tunanetra, (6) melibatkan orangtua
dalam melaksanakan bimbingannya, sehingga dapat menghubungkan dan
memadukan sekolah dengan masyarakat.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, siswa tunanetra yang mengikuti
pendidikan di sekolah umum mengalami kesulitan dalam mencapai tugas
perkembangannya, apabila diamati dari aspek belajar, bergaul, dan bekerjasama
dengan kelompok teman sebayanya. Kesulitan tersebut dapat diatasi dengan
bimbingan perkembangan khususnya dengan layanan dasar bimbingan.
Implementasi program layanan dasar bimbingan yang telat dibuat oleh guru
pembimbing bekerjasama dengan para guru yang lain diintegrasikan kedalam
program bimbingan yang sudah ada dan kedalam program pengajaran bidang
studi yang dapat memuat program tersebut sehingga sekolah mempunyai program
layanan dasar bimbingan yang dapat membantu semua siswanya, baik yang
normal maupun yang tunanetra, dan program bimbingan di sekolahnya menjadi
semakin sempurna.
Di samping itu para guru (pembimbing) dapat memberikan bimbingannya
secara terarah dan sistematis berdasarkan program layanan dasar bimbingan yang
telah dibuat bersama tersebut. Jadi guru di bidang studi mempunyai acuan dalam
mengajar siswa tunanetra, karena program pengajarannya telah dimodifikasi
sesuai kebutuhan mereka supaya mudah mengikuti pelajarannya. Potensi siswa
tunanetra, khususnya kemampuan dalam bergaul dan bekerjasama dengan

28
kelompok sebaya dapat berkembang secara optimal karena tujuan utama dari
bimbingan perkembangan ini adalah membantu seluruh siswa mencapai tugas-
tugas perkembangannya. Akhirnya kerjasama antara sekolah dengan orangtua atau
masyarakat menjadi lebih meningkatkan karena dalam pelaksanaannya juga
melibatkan orangtua dari siswa tunanetra dan lingkungan sekitarnya.
Program layanan dasar bimbingan ini akan menjadi bagian dari program
sekolah yang sudah ada dan dapat dijadikan acuan dalam memberikan layanan
bimbingan pada semuan siswanya termasuk siswa yang tunanetra. Untuk itu
diperlukan beberapa upaya sebagai berikut : (1) peningkatan pelaksanaan program
dengan sungguh-sungguh dan konsekuen supaya siswa tunanetra yang mengikuti
pendidikan di sekolah umum berkembang kemampuannya secara optimal
khususnya kemampuan dalam bergaul dan bekerjasama dengan kelompok
sebayanya di sekolah umum, (2) perlu peningkatan wawasan dan keterampilan
para guru (pembim-bing) dan kepala sekolah dalam hal bimbingan perkembangan
agar dapat melaksanakan bimbingan dengan sepenuhnya, dengan cara : (a)
memberikan penyuluhan atau pelatihan tentang bimbingan perkembangan dan
pemahaman anak berkebutuhan khusus (ABK) ; (b) meningkatkan kerjasama
dengan UPI jurusan PLB PPB dalam bidang pendidikan, penelitian, dan
pengabdian pada masyarakat agar memperoleh manfaat dari ketiga bidang
tersebut untuk diterapkan di sekolahnya; (c) peningkatan sarana dan fasilitas yang
ada disekolah agar memudahkan siswa tunanetra dalam belajar dan proses
pelaksanaan bimbingan perkembangan dapat berjalan lancar, (3) perlunya
ditempatkan tenaga pembimbing khusus disekolah umum yang ada siswa
tunanetranya supaya para guru dapat mengajar dan membimbing siswa tersebut
secara optimal. (Atang Setiawan, dkk, 2006: 26-27).

29
D. KONSEP DASAR BIMBINGAN KARIR, FUNGSI, TUJUAN, DAN
PENGEMBANGAN PROGRAM BIMBINGAN KARIR BAGI SISWA
TUNARUNGU
1. Fungsi dan Tujuan Bimbingan Karir Bagi Siswa Tunarungu
Fungsi bimbingan karir bagi siswa dengan hambatan pendengaran yang
termasuk kategori tunarungu di SLB-B maupun disekolah reguler adalah
menyelenggarakan seluruh layanan bimbingan yang penekannya pada pemberian
informasi dan bantuan kepada siswa tunarungu dalam menyusun rencana
pendidikan lanjutan dan rencana pilihan pekerjaan. Bagi siswa tunarungu yang
telah memasuki jenjang SLTP/SMA, rencana pendidikan dan pilihan pekerjaan
tersebut merupakan dua hal yang berkaitan erat. Sasaran akhir pendidikan lanjutan
adalah untuk menentukan pekerjaan. Sedangkan bimbingan karir adalah suatu
proses pemberian bantuan atau layanan penerangan/ informasi, pengalaman, dan
nasihat kepada individu untuk memilih, menyiapkan, menyesuaikan, dan
menetapkan dirinya dalam suatu pekerjaan. (Atang Setiawan, dkk, 2006:27)
Pada Kurikulum PLB (2004) dijelaskan, bahwa pendidikan luar biasa
bertujuan membantu peserta didik yang mempunyai kelaianan fisik dan/ atau
mental dan/ atau perilaku agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, dan
keterampilan sebagai pribadi, maupun menjadi anggota masyarakat dalam
mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam
sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau
mengikuti pendidikan lanjutan. Dengan demikian, maka program bimbingan karir
itu bertujuan agar siswa tunarungu mampu menyusun rencana karir dan
mengambil keputusan karir serta mengambil langkah-langkah tindakan yang
relevan untuk mewujudkan keputusan yang akan diambil.
Dalam kaitan dengan program bimbingan karir, dikenal adanya
pengembangan program komprehensif . Program ini bertujuan sebagai dasar
upaya menentukan kebutuhan siswa, tujuan siswa, dan mengevaluasi keefektifan
operasional program. Program itu mencakup empat fase kegiatan yaitu :
perencanaan, penyususnan, pelaksanaan, dan evaluasi. Langkah-langkah itu
harus mempertimbangkan hal-hal berikut ini : (1) menentuka rencana evaluasi, (2)
menentukan kebutuhan siswa, (3) menentukan tujuan umum, (4) merumuskan

30
tujuan khusus, (5) memilih, menjadwalkan, membantu operasional untuk
memberikan layanan kegiatan yang dirancang untuk membantu para siswa
mencapai tujuan, (6) mengembangkan keterampilan-keterampilan dari staf yang
diperlukan, (7) mengevaluasi program, membuat perubahan-perubahan yang
diperlukan, dan laporan hasil.
Adapun alasan pentingnya bimbingan karir ini bagi siswa dengan hambatan
pendengaran yang termasuk kategori tunarungu adalah sebagai berikut : (1)
Lulusan SLB-B tidak memiliki arah karier yang jelas, mereka kurang siap dalam
bersaing dengan kerasnya kehidupan sosial. Padahal beberapa jenis dan lapangan
pekerjaan, sebenarnya terbuka bagi mereka (2) Siswa tunarungu secara teoritis
sangat potensial untuk dikembangkan dalam berbagai keterampilan, terutama
dalam hal keterampilan vokasional, karena dalam hal-hal lain siswa tunarungu
tidak berbeda dengan anak-anak pada umumnya, atau secara fisik mereka tidak
menunjukan sesuatu kekurangan. (3) Permasalahan lainnya yang dihadapi oleh
SLB-B dan Sekolah Umum saat ini dilapangan adalah belum tersedianya Konselo
dan Guru Pembimbing Khusus yang spesial untuk menangani siswa tunarungu.
(4) Belum adanya pelaksanaan bimbingan karir bagi siswa tunarungu yang
disesuaikan dengan kondisi anak dan kebutuhan lapangan kerja. (5) Belumk
terwujudnya kerjasama dengan departemen-departemen terkait, seperti :
Departemen Perindustrian, Departemen Tenaga Kerja serta Departemen lainnya.
Padahal kerjasama ini akan sangat berguna bagi siswa dalam memantapkan
keterampilan yang diberikan di sekolah sehingga siswa menjadi lebih profesional.

2. Pengembangan Program Bimbingan Karir


Pengembangan program bimbingan karir yang sistematis adalah sesuai
dengan kebutuhan siswa tunarungu. Hal ini dilaksanakan dengan tujuan agar
program yang dirumuskan mampu menyentuh aspek kebutuhan siswa dan
kemampuan personil guru dalam pelaksanaan bimbingan karir. Program
bimbingan karir yang baku masih mengacu kepada program kurikulum sekolah
umum. Data-data mengenai identitas, kebutuhan, karakteristik, faktor penyebab
ketunarunguan, tingkat pendengaran, telah diketahui guru sejak awal, yaitu ketika
anak pertama kali masuk sekolah. Untuk mengetahui kebutuhan-kebutuhan karir

31
siswa, dapat dilakukan oleh guru pada saat siswa melakukan aktivitas belajar
sehari-hari. Semua guru, baik guru kelas, guru keterampilan, guru pembimbing,
meyakini pentingnya perencanaan untuk mengetahui identitas siswa dan
kebutuhan-kebutuhan yang menunjang karir, itu semua sebagai dasar untuk
menentukan pemberian materi, penempatan siswa sesuai dengan bakat dan
potensinya sehingga memudahkan dalam pemberian bimbingan karir. (Atang
Setiawan, dkk, 2006:28)
Pemberian materi bimbingan karir disatukan dengan bidang studi
keterampilan, misalnya : keterampilan komputer, mesin, pertukangan, tata busana,
tata boga, jahit- menjahit, percetakan, sablon dll. Materi yang secara khusus untuk
bimbingan karir belum ada dan belum mengacu kepada pengembangan karir
siswa siswa, padahal menurut Super dan Jordan (Dillar,1998:19-20)
mengemukakan bahwa pemberian materi harus mengacu kepada perkembangan
karir siswa, yang mencakup 3 tahap, yaitu : tentatif, transisi, dan tahap mencoba.
Padahal kegiatan layanan bimbingan karir belum dilaksanakan secara sistematis
dan teoritis, karena dalam pelaksanaannya masih diintegrasikan dengan bidang
studi keterampilan, baik waktu, aktivitas, prosedur,teknik, dan langkah-langkah
pelaksanaan. Pengembangan program bimbingan karir dalam layanannya dapat
dikembangakan dengan memberikan layanan kegiatan yang dirancang untuk
membantu siswa tunarungu mencapai tujuan serta dilaksanakan secara sistematis
dan merujuk kepada kaidah-kaidah teoretis.
Pada umumnya guru pembimbing belum memantau dan mengevaluasi
kegiatan bimbingan karir, dari mulai menentukan asesmen, identitas siswa,
kebutuhan-kebutuhan yang menunjang karir maupun kepada materi bimbingan
karir, secara khusus tentang sejauh mana potensi, bakat, minat, dan kemampuan
siswa tunarungu bekerja diperusahaan-perusahaan atau memonitor siswa yang
sudah mandiri. Berdasarkan aspek-aspek yang dievaluasi tersebut, maka
pembimbing dapat menilai apakah ada kesesuaian program dengan pelaksanaan
bimbingan karir, termasuk kesuaian antara masalah dan kebutuhan yang dirasakan
siswa tunarungu dalam bimbingan karir.
Setiap siswa tunarungu berbeda-beda, baik dalam hal hambatan belajaranya,
faktor penyebab ketunarunguannya, tingkat kehilangan pendengaran, maupun

32
kebutuhan- kebutuhan karirnya. Kebutuhan – kebutuhan yang menunjang karir
siswa tunarungu, antara lain : (1) pengetahuan/ pemahaman yang dapat
mengantarkan mereka mencapai tingkat perkembangan optimal, sesuai dengan
potensi dan kemampuan yang dimilikinya, (2) akses kebahasaan yang lebih
banyak, (3) media komunikasi yang dapat diterima dan dipahami oleh semua
pihak, (4) keseimbangan (lokomotor coordination) yaitu kemampuan untuk
mempertahankan keseimbangan dalam bergerak, (5) meningkatkan kepercayaan
dirinya untuk mandiri, dan (6)deskripsi tentang jenis-jenis karir yang sesuai
dengan potensi, persepsi, realitas, serta dapat menghubungkan dirinya dengan
dunia kerja.
Kepala Sekolah, sebagai penanggung jawab yang penuh kegiatan sekolah,
hendaknya dapat mengkoordinasikan dan memfasilitasi dalam upaya ketercapaian
tujuan pendidikan. Program bimbingan karir ini dapat direkomendasikan dan
diaplikasikan secara terencana oleh kepala sekolah kepada guru khusus yang
mampu membimbing karir serta dengan pihak terkait, seperti orang tua,
perusahaan-perusahaan yang menerima siswa tunarungu, supaya program
bimbingan karir ini sesuai dengan kebutuhan siswa tunarungu dalam mencapai
kariri di masa mendatang.
Guru yang ditunjuk sebagai konselor bimbingan karir diharapkan dapat
melaksanakan bimbingan karir sesuai dengan kebutuhan siswa tunarungu. Guru
konselor bimbingan karir seyogyanya yang memiliki latar belakang pendidikan
bimbingan dan konseling dan memahami kondisi objektif ketunarunguan yang
dialami siswa. Orangtua, diharapkan dapat mengetahui kebutuhan putra-putrinya
akan karir dan memberikan dukungan pada pelaksanaan program bimbingan karir
yang dikembangkan di sekolah. Demikian pula pada perusahaan-perusahaan,
diharapakan melalui bimbingan karir ini dapat mengeathui potensi-potensi karir
siswa tunarungu, dan memahami bahwa siswa tunarungu memiliki kemampuan
untuk bekerja seperti orang-orang pada umumnya serta menjalin kerjasama
dengan lembaga-lembaga pendidikan anak tunarungu supaya program bimbingan
karir yang dirancang oleh sekolah sesuai dengan kebutuhan perusahaan. (Atang
Setiawan, dkk, 2006: 28-29)

33
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas maka yang dapat kami simpulkan bahwa anak-
anak yang dikategorikan berkebutuhan khusus sangatlah beragam, beberapa
diantaranya ialah kategori tunanetra dan tunarungu, adapun pengertian dari
masing-masing kategori tersebut ialah sebagai berikut. Tunanetra merupakan
istilah untuk menunjukkan tingkat kerusakan mata pada seseorang dari tingkat
yang berat hingga yang sangat berat, maka dari itu tunanetra diklasifikasikan ke
dalam tiga kategori, diantaranya law vision, blinds dan totally blinds. Sedangkan
tunarungu merupakan istilah umum yang digunakan kepada seseorang yang
memiliki kelainan pada indera pendengarannya yang disebabkan oleh
disfungsinya syaraf pendengaran atau tidak berfungsinya indera pendengaran, ada
pun tunarungu diklasifikasikan kedalam dua kategori yaitu deaf dan hard of
hearing. Dari hambatan-hambatan tersebut maka keduanya sangatlah
membutuhkan bimbingan yang sifatnya khusus untuk mengembangkan
keterampilan dasar sebagai bekal dalam kehidupannya kelak di masyarakat yang
penuh dinamika.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, ada pun saran yang dapat
kami berikan sebagai masukan konstruktif, yaitu bagi anak-anak yang
dikategorikan berkebutuhan khusus ketika mereka memasuki bangku
pesekolahan baik umum maupun SLB, sebaiknya mereka memperoleh bimbingan
yang sifatnya khusus pula, dengan demikian setiap sekolah yang memiliki anak
dengan kategori berkebutuhan khusus hendaknya menyediakan layanan dasar
bimbingan, dan di dalam pelaksanaannya agar dapat terarah dan sistematis maka
haruslah terprogram, disamping itu pada persekolahan umum perlu didatangkan
tenaga pendidik khusus yang professional di bidangnya.

34
DAFTAR PUSTAKA

Johnson, BH, dkk. (2003). Pendidikan Kebutuhan Khusus sebuah Pengantar,


Terjemahan. Bandung: Program Pasca Sarjana UPI.
Setiawan, Atang, dkk. (2006). Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung:
UPI PRESS.
Wardani, I G. A. K. (2011). Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta:
Universitas Terbuka.
http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_berkebutuhan_khusus.com

35
 Latihan Soal Pilihan Ganda
 Mind Mapping

36

Anda mungkin juga menyukai