Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PEMBELAJARAN ANAK

GANGGUAN SPEKTRUM AUTISME ( GSA )


“Intervensi Pendukung bagi Anak GSA”

DOSEN PENGAMPU :
Rahmah Trisilvia, S.Pd., M.Pd.

Kelompok 3 :
1. Fitri Maulidazani 19003014

2. Nofriyaldi 19003081

3. Moriarti Warjean Luke 19003144

4. Annisa 19003119

5. Meza Almayeni 19003176

PENDIDIKAN LUAR BIASA


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah swt karena berkat rahmat dan hidayah-
Nya penulis dapat menyelesaikan makalah pembelajaran anak gangguan spektrum
autisme (GSA). Adapun judul dari makalah ini adalah “Intervensi Pendukung bagi
Anak GSA”

Dalam menyelesaikan makalah ini penulis banyak mendapat banyak bimbingan


dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang
telah membantu semua tulisan ini.

Hanya doa yang dapat penulis berikan, semoga segala bantuan yang telah
diberikan kepada penulis dibalas dan dinilai sebagai amal ibadah oleh Allah swt.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Demikianlah makalah ini dibuat semoga bermanfaat bagi
kita semua.

Padang, Oktober 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 3

BAB I ......................................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4

A. Latar Belakang ................................................................................................................ 4

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 4

C. Tujuan ............................................................................................................................. 4

BAB II........................................................................................................................................ 5

PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 5

A. Sensori Integrasi.............................................................................................................. 5

B. Okupasi ........................................................................................................................... 7

C. Bermain ........................................................................................................................... 8

D. Musik .............................................................................................................................. 9

E. Relaksasi ....................................................................................................................... 10

F. Bicara ............................................................................................................................ 11

BAB III .................................................................................................................................... 12

PENUTUP................................................................................................................................ 12

A. Kesimpulan ................................................................................................................... 12

B. Saran ............................................................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 13

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Intervensi Pendukung bagi anak GSA, adalah bentuk pencegahan atau
pengatasan terkait bagaimana cara dalam membantu anak GSA itu sendiri, ada
menggunakan sensori integrasi, okupasi, relakasasi, bermain, bicara hal ini bisa
diberikan kepada anak sebagai bentuk pencegahan bagi anak itu sendiri. Sensori
integrasi adalah sebuah proses otak alamiah yang tidak disadari. Dalam proses ini
informasi dari seluruh indera akan dikelola kemudian diberi arti lalu disaring, mana
yang penting dan mana yang diacuhkan. Proses ini memungkinkan kita untuk
berprilaku sesuai dengan pengalaman dan merupakan dasar bagi kemampuan
akademik dan prilaku sosial (Nana, dalam Hazmi 2013). Selain sensori integrasi ini
juga ada okupasi, bermain ,relaksasi, musik dan bermain. Semua ini adalah bentuk
kegiatan terapis yang diberikan kepada anak, dengan bisa membantu anak.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu sensori integrasi
2. Apa itu okupasi
3. Apa itu terapi bermain
4. Apa itu relaksasi
5. Apa itu terapi music
6. Apa itu terapi bicara.
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu sensori integrasi
2. Untuk mengetahui apa itu okupasi
3. Untuk mengetahui apa itu terapi bermain
4. Untuk mengetahui apa itu relaksasi
5. Untuk mengetahui apa itu music
6. Untuk mengetahui apa itu terapi bicara.

4
BAB II

PEMBAHASAN
A. Sensori Integrasi
Sensori integrasi adalah sebuah proses otak alamiah yang tidak disadari.
Dalam proses ini informasi dari seluruh indera akan dikelola kemudian diberi arti lalu
disaring, mana yang penting dan mana yang diacuhkan. Proses ini memungkinkan
kita untuk berprilaku sesuai dengan pengalaman dan merupakan dasar bagi
kemampuan akademik dan prilaku sosial (Nana, dalam Hazmi 2013). Sensori
integrasi merupakan proses mengenal, mengubah, dan membedakan sensasi dari
sistem sensori untuk menghasilkan suatu respons berupa “perilaku adaptif bertujuan”.
Pada tahun 1972, A. Jean Ayres memperkenalkan suatu model perkembangan
manusia yang dikenal dengan teori sensori integrasi (SI). Menurut teori Ayres, SI
terjadi akibat pengaruh input sensori, antara lain sensasi melihat, mendengar, taktil,
vestibular, dan proprioseptif. Proses ini berawal dari dalam kandungan dan
memungkinkan perkembangan respons adaptif, yang merupakan dasar
berkembangnya ketrampilan yang lebih kompleks, seperti bahasa, pengendalian
emosi, dan berhitung.
Adanya gangguan pada ketrampilan dasar menimbulkan kesulitan mencapai
ketrampilan yang lebih tinggi. Gangguan dalam pemrosesan sensori ini menimbulkan
berbagai masalah fungsional dan perkembangan, yang dikenal sebagai disfungsi
sensori integrasi. Pada keadaan gangguan proses sensori, input sensori dari
lingkungan dan dari dalam tubuh bekerja secara masing-masing, sehingga anak tidak
mengetahui apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan. Tahapan proses
sensori meliputi:
1. Pengenalan (sadar adanya sensasi)
2. Orientasi (memberikan perhatian pada sensasi)
3. Interpretasi (mengerti makna informasi yang datang)
4. Organisasi (menggunakan informasi untuk menghasilkan suatu respons).

5
Respons yang dihasilkan dari pemrosesan sensori dapat berupa perilaku emosi,
respons motorik, atau respons kognitif. Dasar teori sensori integrasi adalah adanya
plastisitas sistem sarafpusat, perkembangan yang bersifat progresif, teori sistem dan
organisasi sistem saraf pusat, respons adaptif, serta dorongan dari dalam diri.
Dasar rasional intervensi sensori integrasi adalah konsep neuroplasitistas atau
kemampuan sistem saraf untuk beradaptasi dengan input sensori yang lebih banyak.
Pengalaman dan input sensori yang kaya akan memfasitasi perkembangan
sinaptogenesis di otak. Berdasarkan konsep progresi perkembangan, sensori integrasi
terjadi saat anak yang berkembang mulai mengerti dan menguasai input sensori yang
ia alami. Fungsi vestibular muncul pada usia gestasi 9 minggu dan membentuk
refleks Moro, sedangkan input taktil mulai berkembang pada usia gestasi 12 minggu
untuk ekplorasi tangan dan mulut. Sistem sensori akan terus mengalami
perkembangan sejalan dengan bertambahnya usia anak. Pada teori sistem dan
organisasi sistem saraf pusat, proses sensori integrasi diyakini terjadi pada tingkat
batang otak dan subkortikal. Proses yang lebih tinggi di tingkat kortikal diperlukan
untuk perkembangan praksis dan produksi respons adaptif. Proses pada tingkat
kortikal bergantung pada adekuat tidaknya fungsi dan organisasi pusat otak yang lebih
rendah. Apabila input sensori tidak diintegrasi secara tepat, seorang anak akan
menginterpretasikan dunia secara berbeda. Mispersepsi ini menimbulkan berbagai
gangguan perkembangan dan perilaku. Gangguan pemrosesan sensori terbagi menjadi
beberapa tipe, yaitu:
1. Sensory modulation disorder (SMD)
Modulasi sensori terjadi ketika susunan saraf pusat mengatur pesan saraf yang
timbul akibat rangsangan sensori. Pada SMD, anak mengalami kesulitan
berespons terhadap input sensori sehingga memberikan respons perilaku yang
tidak sesuai dengan. Sensory modulation disorder terbagi menjadi tiga subtipe,
yaitu : sensory overresponsive (SOR), sensory underresponsive (SUR), dan
sensory seeking/craving (SS).

6
2. Sensory-based motor disorder
SBMD memiliki gerakan postural yang buruk. Pada disfungsi ini, anak
mengalami kesalahan dalam menginterpretasikan input sensori yang berasal
dari sistem proprioseptif dan vestibular. Sensory-based motor disorder
mempunyai dua subtipe, yaitu dispraksia dan gangguan postural. Pada
dispraksia, anak mengalami gangguan dalam menerima dan melakukan
perilaku baru. Anak dengan dispraksia memiliki koordinasi yang buruk pada
ranah oromotor, motorik kasar, dan motorik halus. Sedangkan pada gangguan
postural, anak mengalami kesulitan untuk menstabilkan tubuh saat bergerak
maupun saat beristirahat. Anak dengan gangguan postural biasanya tampak
lemah, mudah lelah, dan cenderung tidak menggunakan tangan yang dominan
secara konsisten.
3. Sensory discrimination disorder (SDD)
Pada sistem penglihatan dan pendengaran dapat menyebabkan gangguan
belajar atau bahasa, sedangkan SDD pada sistem taktil, proprioseptif, dan
vestibular menyebabkan gangguan kemampuan motorik. Danuatmaja
(2003:24) menyatakan bahwa, terhambatnya perkembangan bahasa anak autis
dapat disebabkan adanya ketidak berfungsian sensori integrasi .Ketidak
mampuan anak autis memahami bahasa disebabkan karena anak autis
mengalami disfungsi sensori integrasi yaitu ketidak mampuan untuk
memprosesin formasi yang diterima melalui indra (Delphie, 2009: 49).
Jadi pada anak autis susah membalas respon kepada orang lain karena adanya
gangguan sensori integrasi pada anak autis. Sensori intergrasi adalah sebuah proses
penerimaan informasi yang melalui saraf otak dengan dukungan adanya indera lain
seperti menangkap informasi pada mata, sentuhan, maupun pada telinga sehingga bisa
memberi respon yang baik kepada orang lain.
B. Okupasi
Dalam (Evi Hasnita 1, 2019) terapi yang berfokus untuk meningkatkan
kemampuan motorik pada anak autisme yaitu terapi okupasi. Tujuan dari pelatihan
terapi okupasi itu sendiri adalah untuk mengembalikan fungsi penderita semaksimal
mungkin, secara garis besar difokuskan pada keterampilan (skill) yaitu aktivitas
sehari-hari (active daily living) seperti makan, minum, berpakaian, dan lain-lain.

7
Kemampuan motorik halus yang baik, akan menentukan seseorang untuk
melakukan aktivitas yang baik pula, misalnya menyisir rambut, memasang tali sepatu,
mengancingkan baju, menulis dan lain-lain. Mengasah kemampuan motorik halus
dapat dilakukan dengan belajar mengancingkan baju, karena keterampilan motorik
halus akan menunjang kemampuan anak saat ia memasuki usia sekolah. Latihan
motorik halus akan membuat otot tangan dan jemari lebih lentur sehingga anak lebih
pintar menulis dan menggambar (Nasir, 2011). Hampir semua anak autisme
mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Gerak-geriknya kaku
dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pensil dengan cara yang benar,
kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan ke mulutnya, dan lain
sebagainya. Motorik halus adalah kemampuan seseorang untuk melakukan sesuatu
dengan otot-otot kecil yang ada di dalam tangan.
Dalam hal ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan
otot-otot halusnya dengan benar (Hasdianah, 2013) Anak autisme dapat mencapai
pertumbuhan yang optimal jika didukung dengan penanganan yang baik. Penanganan
yang baik ini membutuhkan keterbukaan dari orang tua untuk mengkomunikasikan
kondisi anak mereka secara jujur pada dokter jiwa, dokter anak, psikolog, guru di
sekolah, termasuk saudara-saudara didalam keluarga besar (Triyosni, 2013).
C. Bermain
Dalam (Pangesti, 2015) Para penyandang autis mempunyai kesulitan untuk
berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Dalam hal ini semakin besar
hubungan dan stimulus yang diberikan pada anak autis maka semakin besar
keberhasilan interaksi sosial anak autis. Untuk mencapai semua itu perlu dilakukan
program terapi pada anak autis (Hembing, 2004). Salah satu jenis terapi yang efektif
untuk mengembangkan kemampuan interaksi sosial adalah terapi bermain (Landreth,
2001).
Melalui kegiatan bermain, anak belajar untuk bekerja sama dengan temannya,
mengembangkan kepercayaan diri, atau hanya sekedar berinteraksi dengan teman
bermainnya. Dunia bermain adalah dunia yang sangat dekat dengan anak-anak, pada
masa perkembangannya anak tidak dapat dipisahkan dengan dunia bermain. Bermain
dapat membebaskan anak dari tekanan dan stress akibat situasi lingkungan. Saat
bermain, anak dapat mengekspresikan emosi dan melepaskan dorongan yang tidak
dapat diterima dalam bersosialisasi.

8
Anak bias bereksperimen dan mencoba situasi yang menakutkan serta merasa
seolah-olah mengalami atau berada pada posisi tersebut. Anak-anak mengungkapkan
lebih banyak tentang diri mereka sendiri dalam bermain, mengkomunikasikan
beberapa kebutuhan, rasa takut, dan keinginan yang tidak dapat mereka ekspresikan
dengan keterampilan bahasa mereka yang terbatas (Wheyle & Wong, 2001).
Penggunaan terapi bermain pada anak penyandang autis tentunya tidak
semudah jika terapi ini digunakan pada anak dengan kemampuan yang maksimal,
mengingat berbagai macam hambatan yang dimiliki oleh anak autis maka diperlukan
metode khusus serta pendekatan yang lebih intens dalam penerapan terapi ini. Media
permainan serta tempat bermain juga hendaknya disusaikan dengan kondisi anak.
Bermain sebagai terapi merupakan salah satu sarana yang digunakan dalam
membantu anak mengatasi masalahnya, sebab bagi anak bermain adalah simbol
verbalisasi (Landreth, 2001).
Bermain bagi anak-anak asperger dan autistik akan membuka kesempatan
pada mereka untuk mengembangkan aspek sosial (kerja sama, komunikasi, dan
pertemanan), aspek persepsi motorik (menolong diri sendiri dan mengatur kehidupan
sehari -hari), aspek emosi (senyum pada orang lain, marah dan gembira sesuai dengan
konteksnya), dan aspek intelektual (mampu bicara dan memahami isi pembicaraan
sesuai dengan topik yang sedang dibicarakan serta memecahkan masalahnya)
(Lyytinen, Dikkens, & Laakso, 2000).
D. Musik
Dalam (Afdhal, F., Chundrayetti, E., 2021) Terapi musik adalah salah satu
terapi alternatif yang digunakan dalam upaya preventif dan promotif (Astuti et al.,
2017). Terapi musik merupakan salah satu terapi komplementer yang dapat
meningkatkan kemampuan interaksi sosial anak autisme. Terapi musik termasuk
terapi yang efektif dan tidak mengancam serta dapat memperbaiki atau
menghilangkan kesulitan hidup secara fisik, psikis, sosial, distres spiritual dan
meningkatkan kenyamanan (Eren, 2015). Menurut Idayanti & Sartika (2016), musik
merupakan media yang mudah digunakan dibandingkan dengan media lainnya dan
juga memberikan rasa aman karena musik tidak menimbulkan efek samping dan
membantu mengurangi kecemasan dalam berinteraksi langsung dengan orang lain
(Subiantoro, 2018; Maria et al., 2014).

9
Anak autisme memiliki kecenderungan terhadap stimulus suara yang
dikeluarkan oleh musik meskipun anak autisme memiliki gangguan pada sistem saraf
(Bharathi et al., 2019; LaGasse, A., 2014). Musik yang didengarkan dapat
memberikan suasana yang menyenangkan serta dapat mempengaruhi proses kognitif
(Sumartini et al., 2020).
Menurut Anam et al. (2019), pada anak autisme apabila diberikan terapi musik
dapat memperbaiki dan mengubah perilaku, pandangan mata, perhatian bersama,
mengembangkan kesadaran tubuh, komunikasi, serta dapat menurunkan kecemasan,
emosional, dan hiperaktivitas. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk
mendeskripsikan systematic review penelitian terbaru tentang intervensi terapi musik
terhadap kemampuan interaksi sosial pada anak autisme. Jika kemampuan
berinteraksi anak autisme tidak terus dilatih, maka kemungkinan besar anak autisme
tersebut akan jatuh ke rentang respon yang paling maladaptif yaitu paranoid (Will et
al., 2018).
E. Relaksasi
Relaksasi dapat di artikan sebagai teknik yang dilakukan untuk mengatasi stres
dimana akan terjadi peningkatan aliran darah sehingga perasaan cemas dan khawatir
akan berkurang (Abbasi et al,. 2018). Relaksasi merupakan proses merilekskan otot-
otot yang mengalami ketegangan atau mengendorkan otot-otot tubuh dan pikiran agar
tercapai kondisi yang nyaman atau berada pada gelombang otak alfa-teta (Yunus,
2014). Manfaat relaksasi secara umum menurut (Utami, 2001) meliputi :
1. Relaksasi dapat membuat seseorang lebih mampu menghindari reaksi berlebih
akibat stres.
2. Masalah – masalah yang timbul akibat stres seperti, sakit kepala, tekanan
darah tinggi, insomnia, dan perilaku – perilaku buruk dapat berkurang.
3. Mengurangi tingkat kecemasan pada seseorang dan menunjukkan efek
fisiologis yang positif.
4. Meningkatkan semangat pada seseorang dalam melakukan aktifitas.
5. Meningkatkan hubungan interpersonal dan harga diri pada seseorang.

10
Jika kita simpulkan dari beberapa penjelasan diatas manfaat relaksasi sendiri
meliputi mengurangi perasaan cemas, meningkatkan perasaan tenang dan damai,
mengurangi ketegangan otot, serta meningkatkan energi dan memperbaiki fisiologis
tubuh. Termasuk juga bagi anak autis dengan adanya relaksasi ini membantu untuk
menenangkaan anak GSA itu sendiri, yang mana sesekali kita butuhkan relaksasi
untuk membantu anak-anak autis GSA itu sendiri.
F. Bicara
Autis adalah masalah perkembangan anak yang amat komplek, yang
mengakibatkan anak autis sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Anak
autis terbagi dalam tiga komponen yaitu ringan, sedang dan berat. Salah satu
gangguan yang dialami oleh anak autis adalah ketidakmampuan individu untuk
berkomunikasi atau berbicara dengan orang lain, bahkan dengan orang tua atau
saudaranya sendiri. Anak autis bersikap seperti tampak tuli, mengoceh tanpa arti,
membeo, hidup dalam dunianya sendiri, atau dunia khayalan, seolah-olah hanya
mereka sendiri yang ada dalam lingkungan hidup disekitarnya.
Hampir semua anak autis mengalami gangguan bicara dan berbahasa, ada
anak yang dapat berbicara lancar tetapi tidak dapat berkomunikasi, dapat berbicara
tetapi dengan kemampuan terbatas, dan tidak dapat berbicara sama sekali. Maka dari
itu dalam upaya meningkatkan kemampuan berbahasa dan berkomunikasi pada anak
autis diperlukan pemberian stimulasi. Salah satu terapi atau stimulasi yang diberikan
pada anak autis dapat berupa terapi medikamentosa dan non medikamentosa. Tujuan
terapi autis adalah untuk mengurangi masalah perilaku dan meningkatkan
kemampuan belajar dan perkembangannya terutama dalam penguasaan bahasa.
Penderita autis yang dideteksi dini serta langsung mendapat perawatan dapat hidup
mandiri tergantung dari jenis gangguan autistik umur saat terdeteksi dan ditangani.
Salah satu penanganan terapi dalam mengatasi gangguan komunikasi pada anak
autis adalah terapi wicara. Terapi wicara adalah suatu keharusan bagi autis, karena
semua penyandang autis mempunyai keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa.

11
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Intervensi Pendukung bagi anak GSA, adalah bentuk pencegahan atau
pengatasan terkait bagaimana cara dalam membantu anak GSA itu sendiri, ada
menggunakan sensori integrasi, okupasi, relakasasi, bermain, bicara hal ini bisa
diberikan kepada anak sebagai bentuk pencegahan bagi anak itu sendiri.
B. Saran
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar
penulis dapat menyempurnakan laporan lebih baik lagi, dan semoga laporan ini dapat
berguna bagi pembaca.

12
DAFTAR PUSTAKA

Afdhal, F., Chundrayetti, E., D. (2021). Systematic Review: Intervensi Terapi Musik
Terhadap Kemampuan Interaksi Sosial Pada Anak Autisme. Jurnal Keperawatan Jiwa,
Vol. 9(2), 243–250.
Abasi. 2018. Relaksasi. https://eprints.umm.ac.id/45721/3/BAB%20II.pdf
Evi Hasnita 1, T. R. H. (2019). Anak Autisme. Journal of Chemical Information and
Modeling, 53(9), 1689–1699.
Pangesti, M. (2015). Terapi Bermain untuk Meningkatkan Interaksi Sosial pada Anak Autis.
Procedia: Studi Kasus Dan Intervensi Psikologi, 4(1), 27–34.

Pendidikan, J., & Biasa, L. (2013). METODE SENSORI INTEGRASI BERMEDIA PAPAN
TITIAN BERKEBUTUHAN KHUSUS Diajukan kepada Universitas Negeri Surabaya
untuk Memenuhi Persyaratan Penyelesaian.
Irvan, M. (2017). Gangguan Sensory Integrasi Pada Anak Dengan. Jurnal Buana Pendidikan,
XII(No. 23).
Pendidikan, J., & Biasa, L. (2014). JURNAL PENDIDIKAN KHUSUS METODE HEARING
EXECUTE BERBASIS SENSORI INTEGRASI TERHADAP BAHASA Diajukan kepada
Universitas Negeri Surabaya.
Waiman, E., Gunardi, H., Sekartini, R., & Endyarni, B. (2011). Sensori Intergrasi : Dasar
dan Efektifitas Terapi. 13(2), 129–136.
Bektiningsih, K. (2009). Program Terapi Anak Autis Di Slb Negeri Semarang. 39(2), 95–
110.

13

Anda mungkin juga menyukai