PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Interaksi dan komunikasi merupakan salah satu modal bagi seseorang untuk memperoleh
berbagai informasi melalui lingkungan. Lingkungan sampai saat ini diyakini sebagai sumber
yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan seseorang. Jika seseorang mengalami
hambatan dalam interaksi dan komunikasi, diyakini orang tersebut akan mengalami hambatan
dalam kegiatan belajarnya. Anak autis sebagai salah satu bagian dari anak berkebutuhan
khusus mengalami hambatan pada keterampilan interaksi dan komunikasi. Keadaan ini
diperburuk oleh adanya gangguan tingkah laku yang menyertai setiap anak autis, bahkan
hambatan inilah yang paling mengganggu pada anak autis dalam melakukan interaksi dan
komunikasi dengan lingkungannya.
Kompleksnya masalah yang dialami anak autis tidak hanya mengakibatkan hambatan
dalam belajar tetapi juga dalam kehidupan sosial yang lebih luas. Meskipun demikian, tidak
berarti anak autis tidak mempunyai potensi yang bisa dikembangkan. Meskipun
prosentasinya kecil, diperkirakan kurang dari 20% dari populasi anak yang mengalami autis.
Mereka memiliki potensi rata-rata bahkan ada yang di atas rata-rata. Tidak jarang diantara
mereka ada yang bisa berhasil mencapai prestasi akademik tertinggi seperti anak pada
umumnya yang tidak autis. Sedangkan sebagian besar lainnya membutuhkan upaya
penanganan secara komprehensif melibatkan berbagai keahlian.
Upaya pendidikan yang dirancang secara khusus dibutuhkan keterlibatan ahli lain. Tentu
saja kebutuhan ahli desesuaikan dengan tingkay hambatan dan kebutuhan yang dialami oleh
setiap anak. Disinilah pentingnya dibangun kerja sama dan koordinasi berbagai pihak yang
terkait dalam upaya penanganan anak. Oleh karena itu dibutuhkan pengetahuan dan
keterampilan tentang peran dan fungsi tim penanganan yang komprehensif. Selain itu dengan
pemahaman tersebut pada pendidikan dan dapat melakukan intervensi sedini mungkin agar
masalah yang dialami anak tidak semakin kompleks. Bab ini akan membahas hal-hal yang
berhubungan dengan berbagai hal tentang anak autis.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan anak autis?
2. Apa yang menyebabkan anak menjadi autis?
3. Bagaimana kriteria dari anak autis?
4. Apa saja hambatan yang dialami oleh anak autis?
5. Bagaimana mana jalur pendidikan bagi anak autis?
6. Apa saja layanan bimbingan bagi anak autis?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian anak autis
2. Mengetahui apa saja yang menyebabkan anak menjadi autis
3. Mengetahui macam-macam kriteria dari anak autis
4. Mengetahui hambatan yang dialami oleh anak autis
5. Mengetahui jalur pendidikan bagi anak autis
6. Mengetahui layanan bimbingan bagi anak autis
2
BAB II
PEMBAHASAN
7
Pemeriksaan dengan alat khusus yang disebut Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada
otak ditemukan adanya kerusakan yang khas di dalam otak pada daerah apa yang disebut
dengan limbik system. Daerah ini di otak menurut para ahli saraf disebutkan sebagai pusat
emosi. Tak heran jika pada umumnya anak autis tidak dapat mengendalikan emosinya, sering
agresif terhadap orang lain dan diri sendiri, atau sangat pasif seolah- olah tidak mempunyai
emosi. Selain itu muncul pula perilaku yang berulang-ulang (stereotipik) dan hiperaktivitas.
Kedua perilaku tersebut diduga erat kaitannya dengan adanya gangguan pada daerah limbik
sistem di otak. .
(kutipan:http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195405271987031-
MOHAMAD_SUGIARMIN/ANAK_AUTIS.pdf)
Terdapat beberapa dugaan yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada otak yang
menimbulkan gangguan autisme di antaranya adanya pertumbuhan jamur Candida yang
berlebihan di dalam usus. Akibat terlalu banyak jamur , maka sekresi enzim ke dalam usus
berkurang. Kekurangan enzim menyebabkan makanan tak dapat dicerna dengan sempurna.
Beberapa protein jika tidak dicerna secara sempurna akan menjadi ―racun bagi tubuh.
Protein biasanya suatu rantai yang terdiri dari 20 asam amino. Bila pencernaan baik, maka
rantai tersebut seluruhnya dapat diputus dan ke-20 asam amino tersebut akan diserap oleh
tubuh. Namun bila pencernaan kurang baik, maka masih ada beberapa asam amino yang
rantainya belum terputus. Rangkaian yang terdiri dari beberapa asam amino disebut peptida.
Oleh karena adanya kebocoran usus , maka peptida tersebut diserap melalui dinding usus,
masuk ke dalam aliran darah, menembus ke dalam otak.
(kutipan:http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195405271987031-
MOHAMAD_SUGIARMIN/ANAK_AUTIS.pdf)
Di dalam otak peptida tersebut ditangkap oleh reseptor oploid, dan ia berfungsi seperti
opium atau morfin. Melimpahnya zat-zat yang bekerja seperti opium ini ke dalam otak
menyebabkan terganggunya kerja susunan saraf pusat. Yang terganggu biasanya seperti
persepsi, kognisi (kecerdasan), emosi, dan perilaku. Dimana gejalanya mirip dengan gejala
yang ada pada anak autis. Terdapat juga dugaan-dugaan lain yang menimbulkan kerusakan
pada otak seperti adanya timbal, mercury atau zat beracun lainnya yang termakan bersama
makanan yang dikonsumsi ibu hamil, yang selanjutnya mempengaruhi pertumbuhan otak
janin yang dikandungnya.
(kutipan:http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195405271987031-
MOHAMAD_SUGIARMIN/ANAK_AUTIS.pdf)
8
Apapun yang melatarbelakangi penyebab gangguan pada anak autis, yang jelas bukan
karena ibu yang frigit (ibu yang tidak memberi kehangatan kasih sayang), seperti yang dianut
dahulu, akan tetapi gangguan pada autisme terjadi erat kaitannya dengan gangguan pada otak.
Berbagai informasi tersebut menunjukan sangat bervariasinya kondiri medik yang kalau
dicermati mempunyai kaitan dengan adanya masalah fungsi otak. Meskipun demikian, perlu
diketahui bahwa tidak semua anak autis mengalami masalah medik seperti itu. Kenyataan
bahwa faktor-faktor penyebab autis sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, hanya ada
beberapa teori lain yang mendukung terhadap timbulnya ganggguan autistik diantarnya:
1. Teori psikososial
Leo Kanner menyatakan bahwa adanya pengaruh psikogenik sebagai penyebab autisme
dimana orangtua yang emosional , kaku dan obsesif yang mengasuh anak mereka dalam
suatu keluarga, maka secara tidak langsung akan mempengaruhi terhadap perkembangan
emosi anak. Anak menjadi tidak hangat dan selalu dingin. Akibat dari pola pengasuhan
yang tidak kondusif sangat mempengaruhi kestabilan perkembangan anak baik emosi
maupun sosial, sehingga keadaan ini dapat memicu timbulnya gejala autis pada anak.
2. Teori biologis
Teori ini menjadi berkembang karena beberapa fakta seperti berikut:
Adanya hubungan yang erat dengan retardasi mental (75-80%), perbandingan laki-laki :
Perempuan = 4:1, meningkatnya insiden gangguan kejang (25%) dan adanya berbagai
kondisi yang mempengaruhi sistem saraf pusat. Walaupun sampai saat ini belum diketahui
dengan pasti dimana letak abnormalitasnya, diduga adanya disfungsi dari kemungkinan
adanya kelainan di otak. Berbagai kondisi tersebut antara lain:
a) Faktor Genetik
Hasil penelitian pada keluarga dan anak kembar menunjukkan adanya faktor genetik
yang berperan dalam perkembangan autisme. Pada anak kembar 1 telor sekitar 36-89%
sedang pada anak kembar 2 telur 0%. Ini menunjukkan bahwa autsme diturunkan lebih
banyak pada kembar satu telur.
Selain itu, ditemukan adanya hubungan autisme dalam sindrom fragile-X, yaitu suatu
kelainan dari kromosom X. Pada sindrom fragile-X ditemukan kumpulan berbagai ciri
seperti retardasi mental dari yang ringan sampai berat, kesulitan belajar ringan, daya ingat
jangka pendek yang kurang, fisik yang abnormal pada 80% laki-laki dewasa, Clumsiness
(kaku lumpuh), serangan kejang, dan hiper-refleksi. Sering tampak pula gangguan perilaku
seperti hiperaktif, gangguan pemusatan perhatian, impulsif, dan anxietas.
9
Gambaran autistik seperti tidak mau kontak mata, stereotipi, pengulangan kata-kata,
perhatian/minat yang terpusat pada suatu benda/obyek juga sering ditemukan. Diduga
terdapat 0-20% sindrom fragile-X pada autisme. Walau demikian hubungan kedua kondisi
ini masih diperdebatkan.
b) Faktor Pranatal
Gangguan penyulit (Komplikasi) pranatal, natal, dan neonatal, yang meningkat juga
ditemukan pada anak autistik. Komplikasi yang paling sering dilaporkan adanya
pendarahan setelah trimester pertama dan adanya kotoran janin, cairan amnion yang
merupakan tanda bawaan dari janin (fetal distress).
Penggunaan obat-obatan tertentu pada ibu yang mengandung diduga ada hubungan
dengan timbulnya autisme. Adanya komplikasi waktu bersalin seperti terlambat menangis,
gangguan pernafasan, anemia pada janin juga diduga ada hubungan dengan autisme.
c) Model Neuroanatomi
Berbagai kondisi neuropatologi (gangguan saraf) diduga dapat mendorong timbulnya
gangguan perilaku pada autisme, ada beberapa daerah di otak anak autistik yang diduga
mengalami disfungsi. Adanya kesamaan perilaku autistik dan perilaku abnormal pada
orang dewasa yang diketahui mempunyai lesi (perlukaan) di otak, dijadikan dasar dari
beberapa teori penyebab autisme.
d) Hipotesis Neurokimia
Sejak ditemukan adanya kenaikan kadar serotonin di dalam darah pada sepertiga anak
autistik tahun 1961, fungsi neurotransmitter pada autisme menjadi fokus perhatian banyak
peneliti. Dengan anggapan bila disfungsi neurokemistri yang ditemukan merupakan dasar
dari perilaku dan kognitif yang abnormal tentunya dengan terapi obat diharapkan disfungsi
sistem neurotransmiter ini akan dapat diperbaiki. Beberapa jenis neurotransmiter yang
diduga mempunyai hubungan dengan autisme antara lain: serotonin dopamin, dan opioid
endogen.
3. Teori Imunologi
Ditemukannya penurunan respon dari sistem imun pada beberapa anak autistik
meningkatkan kemungkinan adanya dasar imunologis pada beberapa kasus autisme.
Ditemukan antibodi beberapa ibu terhadap antigen leukosit anak mereka yang autistik,
memperkuat dugaan ini karena ternyata antigen leukosit itu juga ditemukan pada sel-sel
otak, sehingga antibodi ibu dapat secara langsung merusak jaringan saraf otak janin, yang
menjadi penyebab timbulnya autisme.
10
4. Infeksi Virus
Peningkatan frekuensi yang tinggi dari gangguan autisme pada anak-anak dengan
congenital, rubella, herpes simplex encephalitis, dan cytomegalovirus efection, juga pada
anak-anak selama musim semi dengan kemungkinan ibu menderita influensa musim
dingin saat mereka (anak) ada di dalam rahim, telah membuat para peneliti infeksi virus
ini mengatakan bahwa hal ini, merupakan salah satu penyebab autisme.
5. Keracunan Logam Berat
Hal ini misalnya terjadi pada anak yang tinggal dekat dengan tambang batubara dan
sebagainya.
6. Gangguan Pencernaan
Terdapat lebih dari 60% anak autistik mempunyai sistem pencernaan yang kurang
sempurna. Makanan yang berasal susu sapi (casein) dan tepung terigu (gluten) tidak
mampu tercerna dengan sempurna. Hal ini terjadi karena protein dari kedua makanan
tersebut tidak semuanya berubah menjadi asam amino tetapi juga menjadi peptida yang
seharusnya dibuang lewat urin, akan tetapi pada anak autistik peptida ini diserap kembali
oleh tubuh dan masuk kedalam aliran darah, masuk ke otak dan diubah oleh reseptor
opioid menjadi morfin yaitu casomorfin dan gliadorphin yang mempunyai efek merusak
sel-sel otak dan membuat fungsi otak terganggu. Fungsi otak yang terkena biasanya adalah
fungsi kognitif, reseptif, atensi, dan perilaku.
(kutipan:http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195405271987031-
MOHAMAD_SUGIARMIN/ANAK_AUTIS.pdf)
E. Hambatan Anak Autis.
Ada beberapa permasalahan yang dialami oleh anak autis yaitu: Anak autis memiliki
hambatan kualitatif dalam interaksi sosial artinya bahwa anak autistik memiliki hambatan
dalam kualitas berinteraksi dengan individu di sekitar lingkungannya, seperti anak-anak autis
sering terlihat menarik diri, acuh tak acuh, lebih senang bermain sendiri, menunjukkan
perilaku yang tidak hangat, tidak ada kontak mata dengan orang lain dan bagi mereka yang
keterlekatannya terhadap orang tua tinggi, anak akan merasa cemas apabila ditinggalkan oleh
orang tuanya. Sekitar 50 persen anak autis yang mengalami keterlambatan dalam berbicara
dan berbahasa. Mereka mengalami kesulitan dalam memahami pembicaran orang lain yang
ditujukan pada mereka, kesulitan dalam memahami arti kata-kata dan apabila berbicara tidak
pada konteks yang tepat. Sering mengulang kata-kata tanpa bermaksud untuk berkomunikasi,
dan sering salah dalam menggunakan kata ganti orang, contohnya menggunakan kata saya
11
untuk orang lain dan menggunakan kata kamu untuk diri sendiri.
(kutipan:http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/196101051983032-
OOM_SITI_HOMDIJAH/MAKALAH_A_AUTIS.pdf)
Mereka tidak mengkompensasikan ketidakmampuannya dalam berbicara dengan bahasa
yang lain, sehingga apabila mereka menginginkan sesuatu tidak meminta dengan bahasa lisan
atau menunjuk dengan gerakan tubuh, tetapi mereka menarik tangan orang tuanya untuk
mengambil obyek yang diinginkannya. Mereka juga sukar mengatur volume suaranya,
kurang dapat menggunakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi, seperti: menggeleng,
mengangguk, melambaikan tangan dan lain sebagainya. Anak autis memiliki minat yang
terbatas, mereka cenderung untuk menyenangi lingkungan yang rutin dan menolak perubahan
lingkungan, minat mereka terbatas artinya mereka apabila menyukai suatu perbuatan maka
akan terus menerus mengulang perbuatan itu. anak autistik juga menyenangi keteraturan yang
berlebihan. Lorna Wing (1974) menuliskan dua kelompok besar yang menjadi masalah pada
anak autis yaitu:
1. Masalah dalam memahami lingkungan (Problem in understanding the world)
a. Respon terhadap suara yang tidak biasa (unusually responses to sounds).
Anak autis seperti orang tuli karena mereka cenderung mengabaikan suara yang sangat
keras dan tidak tergerak sekalipun ada yang menjatuhkan benda di sampingnya. Anak
autis dapat juga sangat tertarik pada beberapa suara benda seperti suara bel, tetapi ada
anak autis yang sangat tergangu oleh suara-suara tertentu, sehingga ia akan menutup
telinganya.
b. Sulit dalam memahami pembicaraan (Dificulties in understanding speech).
Anak autis tampak tidak menyadari bahwa pembicaraan memiliki makna, tidak dapat
mengikuti instruksi verbal, mendengar peringatan atau paham apabila dirinya dimarahi
(scolded). Menjelang usia lima tahun banyak autis yang mengalami keterbatasan dalam
memahami pembicaraan.
c. Kesulitan ketika bercakap-cakap (Difiltuties when talking).
Beberapa anak autis tidak pernah berbicara, beberapa anak autis belajar untuk
mengatakan sedikit kata-kata, biasanya mereka mengulang kata-kata yang diucapkan
orang lain, mereka memiliki kesulitan dalam mempergunakan kata sambung, tidak
dapat menggunakan kata-kata secara fleksibel atau
mengungkapkan ide.
d. Lemah dalam pengucapan dan kontrol suara (Poor pronunciation and voicecontrol).
12
Beberapa anak autis memiliki kesulitan dalam membedakan suara tertentu yang
mereka dengar. Mereka kebingungan dengan kata-kata yang hampir sama, memiliki
kesulitan untuk mengucapkan kata-kata yang sulit. Mereka biasanya memiliki kesulitan
dalam mengontrol kekerasan (loudness)
suara.
e. Masalah dalam memahami benda yang dilihat (Problems in understanding things that
are seen).
Beberapa anak autis sangat sensitif terhadap cahaya yang sangat terang, seperti cahaya
lampu kamera (blitz), anak autis mengenali orang atau benda dengan gambaran mereka
yang umum tanpa melihat detil yang tampak.
f. Masalah dalam pemahaman gerak isarat (problem in understanding gesturs).
Anak autis memiliki masalah dalam menggunakan bahasa komunikasi; seperti gerakan
isarat, gerakan tubuh, ekspresi wajah.
g. Indra peraba, perasa dan pembau (The senses of touch, taste and smell).
Anak-anak autis menjelajahi lingkungannya melalui indera peraba, perasa dan pembau
mereka. Beberapa anak autis tidak sensitif terhadap dingin dan sakit.
h. Gerakan tubuh yang tidak biasa (Unusually bodily movement).
Ada gerakan-gerakan yang dilakukan anak autis yang tidak biasa dilakukan oleh anak-
anak yang normal seperti mengepak-ngepakan tangannya, meloncat-loncat dan
menyeringai.
i. Kekakuan dalam gerakan-gerakan terlatih (clumsiness in skilled movements).
Beberapa anak autis, ketika berjalan nampak anggun, mampu memanjat dan seimbang
seperti kucing, namun yang lainnya lebih kaku dan berjalan seperti memiliki bebrapa
kesulitan dalam keseimbangan dan biasanya mereka tidak menikmati memanjat.
Mereka sangat kurang dalam koordinasi dalam berjalan dan berlari atau sebaliknya.
(kutipan:http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/196101051983032-
OOM_SITI_HOMDIJAH/MAKALAH_A_AUTIS.pdf)
2. Masalah gangguan perilaku dan emosi (Dificult behaviour and emotional problems).
a. Sikap menyendiri dan menarik diri (Aloofness and withdrawal).
Banyak anak autis yang berprilaku seolah-olah orang lain tidak ada. Anak autis tidak
merespon ketika dipanggil atau seperti tidak mendengar ketika ada orang yang
berbicara padanya, ekspresi mukanya kosong.
b. Menentang perubahan (Resistance to change).
13
Banyak anak autis yang menuntut pengulangan rutinitas yang sama. Beberapa anak
autis memiliki rutinitas mereka sendiri, seperti mengetuk-ngetuk kursi sebelum duduk,
atau menempatkan objek dalam garis yang panjang.
c. Ketakutan khusus (Special fears).
Anak-anak autis tidak menyadari bahaya yang sebenarnya, mungkin karena mereka
tidak memahami kemungkinan konsekuensinya.
d. Prilaku yang memalukan secara sosial (Socially embarrassing behaviour).
Pemahaman anak autis terhadap kata-kata terbatas dan secara umum tidak matang,
mereka sering berperilaku dalam cara yang kurang dapat diterima secara sosial. anak-
anak autis tidak malu untuk berteriak di tempat umum atau berteriak dengan keras di
senjang jalan.
e. Ketidakmampuan untuk bermain (Inability to play).
Banyak anak autis bermain dengan air, pasir atau lumpur selam berjam-jam. Mereka
tidak dapat bermain pura-pura. Anak-anak autis kurang dalam bahasa dan imajinasi,
mereka tidak dapat bersama-sama dalam permainan denga anak-anak yang lain.
(kutipan:http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/196101051983032-
OOM_SITI_HOMDIJAH/MAKALAH_A_AUTIS.pdf)
F. Mainstream
Maksud kata’mainstream’ berarti melibatkan seorang anak dengan kebutuhan khusus ke
dalam kelas-kelas umum. Penanganan anak sungguh-sungguh dilakukan denagn
memperhatikan pada kebutuhan khusus yang ada pada anak. Tujuan orang tua memasukkan
anak ke jalur pendidikan reguler bisa untuk ‘academic mainstream’ (agar anak sepenuhnya
bisa mengikuti kegiatan akademis) atau social mainstream (agar anak dapat mengikuti
kegiatan sosialisasi bersama teman sebayanya). (Kutipan : Bimbingan anak berkebutuhan
khusus , hal 77 tahun 2006)
Di Indonesia (khususnya di Bandung) belum tersedia berbagai fasilitas pendidikan khusus
bagi anak autis usia sekolah, kecuali sekolah umum. Itu sebabnya orang tua berbondong-
bondong memasukkan putra/putrinya ke sekolah umum yang bersedia memberikan
kesempatan untuk menampung individu autis. Timbul masalah baru, dimana para guru lalu
merasa kewalahan dalam menangani anak-anak ini karena tidak cukup hanya memberikan
kesempatan. Bagaimanapun, tanpa membekali para guru dengan keterampilan menangani
anak-anak ini, usaha mereka memberikan kesempatan bagi anak autis di sekolah umum akan
terasa lebih sebagai beban, daripada jaln keluar. Guru perlu dibantu untuk memahami, apa
14
saja masalah yang dihadapi oleh anak-anak ini. (Kutipan : Bimbingan anak berkebutuhan
khusus , hal 77 tahun 2006)
1. Hambatan belajar Anak Autis di Sekolah
Akibat kelainannya, anak berkebutuhan khusus termasuk anak autis, secara potensial
memiliki resiko tinggi terhadap munculnya hambatan dalam berbagai aspek perkembangan,
baik fisik, psikologis, sosial atau bahkan totalitas perkembangan kepribadiannya. Kondisi ini
menimbulkan permasalahan yang akan mengakibatkan anak mengalami hambatan dalam
belajar. Hambatan belajar dapat dilihat pada berbagai dimensi, yaitu pertama dalam dimensi
proses: menunjuk pada ketidakmampuan, kesulitan, atau kegagalan untuk menangkap
informasi dan menafsirkan. Anak autis dengan hambatan yang dialaminya mengalami
masalah untuk menerima informasi dan menafsirkannya. Hambatan dalam interaksi sosial
dan memfokuskan perhatian kepada objek belajar mengakibatkan anak tidak dapat menyerap
dan berespon secara tepat dan benar terhadap berbagai stimulus atau perintah dalam mengikuti
kegiatan belajar.
(kutipan:http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195405271987031-
MOHAMAD_SUGIARMIN/INDIVIDU_DENGAN_GANGGUAN_AUTISME.pdf)
Kedua dalam dimensi produk: menunjuk pada adanya kegagalan untuk mencapai prestasi
sesuai harapan/tujuan. Proses belajar akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan menerima
dan menyerap informasi yang diterima. Selain itu diperlukan adanya keterampilan untuk
merespon. Anak yang tidak dapat melakukan proses tersebut akan mengalami kesulitan untuk
mencapai prestasi belajar yang diharapkan. Anak autis dengan hambatan yang dialaminya
sering gagal untuk mencapai prestasi belajar sebagaimana anak umumnya yang tidak
mengalami hambatan dalam menerima dan memproses informasi. Tujuan belajar yang
ditetapkan seringkali sulit dicapai. Oleh karena itu penting diperhatikan kesesuaian antara
tujuan belajar dengan kebutuhan dan hambatan yang dialami anak autis.
(kutipan:http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195405271987031-
MOHAMAD_SUGIARMIN/INDIVIDU_DENGAN_GANGGUAN_AUTISME.pdf)
Ketiga secara akademik: menunjuk pada kesulitan dalam mengikuti pelajaran. Hambatan
dalam bidang akademik ini merupakan pengaruh dari hambatan-hambatan yang menyertai
anak autis seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
(kutipan:http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195405271987031-
MOHAMAD_SUGIARMIN/INDIVIDU_DENGAN_GANGGUAN_AUTISME.pdf)
15
Tetapi dalam kaitannya dengan hambatan belajar pada anak autis paling tidak terdapat
empat hal yaitu:
a. Perilaku
Adanya perilaku stereotip/khas pada anak autis sering kali membuat para guru dan anak
lain di kelas bingung. Perilaku tersebut sangat tidak wajar dan cenderung mengalihkan
perhatian. Selain masalah perilaku yang lebih berupa dorongan dari perkembangan
neurobiologis, sering masalah perilaku merupakan manifestasi dari frustasi anak (sulit
memahami materi belajar, sulit berkomunikasi, sulin berinteraksi) atau reaksi anak terhadap
stimulasi lingkungan yang tidak dapat mereka prediksi. (Kutipan : Bimbingan anak
berkebutuhan khusus , hal 77 tahun 2006)
b. Pemahaman
Gangguan proses informasi dan koneksi, mau tidak mau seringkali menghambat anak autis
mengikuti pelajaran umum. Mereka lebih berespons terhadap stimulus visual, sehingga
instruksi dan uraian verbal (apalagi yang panjang dalam bahasa rumit) akan sulit mereka
pahami. (Kutipan : Bimbingan anak berkebutuhan khusus , hal 77 tahun 2006)
c. Komunikasi
Salah satu kesulitan anak autis adalah dalam hal komunikasi, dimana mereka sulit
berekspresi diri. Sebagian besar dari mereka,meskipun dapat berbicara, menggunakan kalimat
pendek dengan kosakata yang sederhana. Seringkali mereka bisa mengerti orang lain tapi
hanya bila orang tersebut berbicara langsung kepada mereka. Itu sebabnya kadang mereka
tampak seakan tidak mendengar, padahal jelas-jelas kita memanggil mereka. (Kutipan :
Bimbingan anak berkebutuhan khusus , hal 77 tahun 2006)
d. Interaksi
Anak autis juga bermasalah pada perkembangan keterampilan sosialnya, sulit
berkomunikasi, tidak mampu memahami aturan-aturan dalam pergaulan, sehingga biasanya
tidak memiliki banyak teman. Minat mereka yang terbatas pada orang lain di sekitarnya,
sedikit banyak membuat mereka lebih senang menyendiri atau sangat pemilih dalam bergaul,
mereka hanya memiliki 1-2 teman yang dapat memberikan rasa aman kepada mereka, dan
pada umumnya mengalami kesulitan beradaptasi dengan berbagai kelompok yang dibentuk
secara acak/mendadak. (Kutipan : Bimbingan anak berkebutuhan khusus , hal 78 tahun
2006)
2. Alternatif layanan bimbingan
16
Dalam upaya memahami dan mengatasi masalah-masalah anak-anak autis di sekolah,
tidak mungkin melihat permasalahan secara terpisah dan terkotak-kotak. Setiap aspek saling
berkaitan,dan biasanya saling tumpah tindih menjadi sebab dan atau akibat. Layanan
bimbingan bagi anak autis, idealnya diberikan dalam bentuk sekelompok penanganan untuk
membantu mereka mengatasi kebutuhan khususnya. Di Amerika Serikat, banyak bentuk-
bentuk pendidikan tersedia, antara lain (Siegel, 1996):
a. Individual therapy, antara lain melalui penanganan di tempat terapi atau di rumah (home
based therapy dan kemudian homeschooling). (Kutipan : Bimbingan anak berkebutuhan
khusus , hal 78 tahun 2006)
Beberapa terapi yang dikembangkan untuk membantu anak autisme, yaitu:
Terapi Tingkah laku
Berbagai jenis terapi tingkahlaku telah dikembangkan untuk mendidik penyandang
autisme, mengurangi tingkahlaku yang tidak lazim dan menggantinya dengan
tingkahlaku yang bisa diterima dslsm masyarakat Terapi ini sangat penting untuk
membantu penyandang autisme untuk lebih bisa menyesuaikan diri dalam masyarakat.
(kutipan:http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195405271987031-
MOHAMAD_SUGIARMIN/INDIVIDU_DENGAN_GANGGUAN_AUTISME.pdf)
Terapi wicara
Terapi wicara seringkali masih tetap dibutuhkan untuk memperlancar bahasa anak.
Menerapkan terapi wicara pasda anak autisme berbeda daripada anak lain. Oleh karena
itu diperlukan pengetahuan yang cukup mendalam tentang gangguan bicara pada anak
autisme.
(kutipan:http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195405271987031-
MOHAMAD_SUGIARMIN/INDIVIDU_DENGAN_GANGGUAN_AUTISME.pdf)
Intervensi seperti ini merupakan dasar dari pendidikan individu autis. Melalui
penanganan one-on-one, anak belajar berbagai konsep dasar dan belajar
mengembangkan sikap mengikuti aturan yang ia perlukan untuk berbaur di masyarakat.
b. Designated Autistic Classes. Salah satu bentuk transisi dari penanganan individual ke
bentuk kelas klasikal, dimana sekelompok anak yang semuanya autis, belajar bersama-
sama mengikuti jenis instruksi yang khas. Anak- anak ini berada dalam kelompok yang
kecil (1-3 anak), dan biasanya merupakan anak-anak yang masih kecil yang belum mampu
imitasi dengan baik. (Kutipan : Bimbingan anak berkebutuhan khusus , hal 78 tahun
2006)
17
c. Ability Grouped Classes. Anak-anak yang sudah dapat melakukan imitasi, sudah tidak
terlalu memerlukan penanganan one-on-one untuk meningkatkan kepatuhan, sudah ada
respons terhadap pujian, dan ada minat terhadap alat permainan; memerlukan jenis
lingkungan yang menyediakan teman sebaya yang secara sosial lebih baik meski juga
memiliki masalah perkembangan bahasa. (Kutipan : Bimbingan anak berkebutuhan
khusus , hal 79 tahun 2006)
d. Social skills Development and mixed Disability Classes. Kelas ini terdiri atas anak dengan
kebutuhan khusus, tetapi tidak hanya anak autis. Biasanya anak autis berespons dengan
baik bila dikelompokkan dengan anak-anak Down Syndrome yang cenderung memiliki
ciri „hyper-social‟ (keterkaitan berlebihan untuk membina hubungan sosial dengan orang
lain). Ciri ini membuat mereka cenderung bertahan, memerintah, dan berlari-lari di sekitar
anak autis sekedar untuk mendapatkan respons. Hal ini baik sekali bagi si anak autis.
(Kutipan : Bimbingan anak berkebutuhan khusus , hal 79 tahun 2006)
e. Metode TEACCH
Metode TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication
Handicapped Children and Adults), adalah metode yang digunakan untuk meingkatkan
kemampuan kognitif dan prilaku adaptif anak autis dilaksanakan di Universtas North
Carolina, metode ini memberi banyak pemahaman dan pelatihan bagi guru untuk bekerja
dengan anak-anak autis. Metode ini juga mempunyai kumpulan asesmen pendidikan dan
materi kurikulum yang dipadukan dengan seluruh program dan pendekatan pendidikan
mereka. Salah satu program aplikasi metode TEACCH adalah dengan menggunakan
system komunikasi visual, yang mana anak berkomunikasi dengan setiap orang melalui
gambar dan foto. Hal ini karena ketertarikan anak autis terhadap obyek (gambar) lebih
tinggi daripada terhadap manusia. Proses timbal balik dalam suatu system komunikasi
dengan gambarpun dibuat lebih mudah sehingga lebih mudah divisualisasi. Seorang anak
autis membawa gambar untuk meminta pertolongan, kemudian guru menghampiri, anak
menunjuukkan gambar minta dan kue, kemudian gurunya memberikan kue.
Contoh aplikasi metode TEACCH :
a) Seorang anak autis masuk ke dalam kelas untuk pertama kali. Dia belum terbiasa untuk
belajar, dan sulit untuk duduk. Guru menyuruh dia untuk mengambil kartu dan
memasukkan ke dalam kotak yang sesuai dengan warna kartu, tapi dia tidak mengerti.
Dia menangis dan teriak. Dia menunjukkan ‘penolakan’ dengan tidak mengijinkan
siapapun untuk mendekat.
18
b) Tiga minggu kemudian. Guru memberikan kartu ketika anak autis masuk ke dalam
kelas, dia masih belum mengerti dan bergerak dari satu tempat ke tempat lain.
Kemudian guru menuntun dia secara fisik, memberikan dorongan pada arah yang
benar, dia merespon. Dia menunjukkan penolakan tetapi tidak lama dan dia
membutuhkan dorongan fisik.
c) Tiga bulan kemudian. Anak mulai memahami rutinitas kelas. Dia datang kemudian
mengambil kartu dari guru dan memasukkannya pada kotak yang warnanya sama, guru
berkata yang harus dilakukan oleh anak (jadwal pada hari itu), atau menunjukkan
gambar yang menandakan kegiatan yang harus dilakukan oleh anak. Dia melakukan
aktivitas sesuai dengan gambar yang ditunjukkan oleh guru. Pada tahap ini anak tidak
memerlukan prompt fisik, tetapi memerlukan prompt khusus.
d) Beberapa bulan kemudian anak dapat melakkan aktivitasnya sendiri tanpa bimbingan
dari guru atau orang lain. Kemandirian inilah yang diharapkan oleh guru dan orang tua,
kemandirian yang tidak mengkat keterlibatan guru mendampingi anak autis lebih lama.
Dia mampu menggeneralisasi prilaku adaptifnya dalam segala situasi.
(Kutipan:http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195405271987031-
MOHAMAD_SUGIARMIN/PENDIDIKAN_BAGI_ANAK_AUTIS.pdf)
19
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada umumnya anak autis mengalami kesulitan dalam mencari kompensasi terhadap
inferiority feeling. Mereka mengalami kesulitan dalam mengejar kesempurnaan atau
keunggulan dalam satu atau beberapa hal. Hal ini diakibatkan oleh adanya hambatan sistem
saraf pusat yang mengakibatkan kurangnya dalam interaksi sosialnya (perilaku adaptifnya).
Salah satu alternatif pengembangan perilaku adaptif anak autis adalah melalui pendekatan
psikologi individual (Adler). Adler memberikan penekanan utama pada kebutuhan individu
untuk menempatkan diri dalam kelompok sosialnya. Konsep - konsep pok dalam corak
bimbing annya meliputi: inferiority feeling, usaha untuk mencapai superioritas, minat social
dan gaya hidup.
Keseluruhan perilaku individu di masa dewasa diwarnai oleh lima tahun pertama
kehidupannya. Oleh karena itu di dalam proses bimbingan harus diawali dengan
pengumpulan informasi tentang kehidupan siswa sebelumnya. Berdasarkan informasi yang
terkumpul, pembimbing seyogyanya mampu menggali inferiority feeling siswa serta
bagaimana upaya mencapai superioritasnya. Dengan demikian dapat ditemukan bagaimana
membantu siswa dalam mengembangkan tujuan -tujuan hidup yang positif, merancang suatu
gaya hidup yang konstruktif dengan memberikan dorongan semangat, memperluas minat
sosialnya, yang pada gilirannya. Dengan demikian, diharapkan siswa mampu hidup di
tengah- tengah masyarakat secara layak.
20