Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah gangguan perkembangan dan perilaku


yang ditandai dengan ketidakmampuan pada komunikasi sosial, interaksi,
keterbatasan, pola perilaku berulang, aktivitas dan interest yang mulai terlihat
sebelum anak berusia 3 tahun. Istilah autisme akhir-akhir ini sangat sering muncul di
berbagai media massa, selain itu berbagai penelitian telah dilakukan di berbagai
negara, ditinjau dari berbagai aspek perkembangan, baik biologik, psikologik maupun
sosio-kultural. Hal ini dipicu oleh adanya temuan bahwa dalam satu dekade terakhir,
kondisi ini sangat meningkat jumlahnya diseluruh penjuru dunia.1,2
Data dari World Health Organization (WHO) tahun 2018, disebutkan bahwa
sebanyak 1 dari 160 anak mengalami Autism Spectrum Disorder (ASD). United
Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada tahun
2011 tercatat 35 juta orang penyandang autisme di dunia, rata-rata 6 dari 1000 orang
di dunia penyandang autisme. Selain itu dalam sebuah studi Centre on Disease
Control di Amerika pada bulan Maret 2014, prevalensi autisme adalah 1 dari 68 anak.
Secara lebih spesifik 1 dari 42 anak laki-laki dan 1 dari 189 anak perempuan.
Amerika Serikat melaporkan, adanya peningkatan prevalensi menjadi 1:50 dalam
kurun waktu setahun terakhir.3,4
Hal tersebut bukan hanya terjadi di negara-negara maju seperti Inggris, Australia,
Jerman dan Amerika namun juga terjadi di negara berkembang seperti Indonesia.
Prevalensi autis di dunia saat ini mencapai 15- 20 kasus per 10.000 anak atau berkisar
0,l5-0,20%. Selain itu di RSCM terjadi peningkatan angka kejadian Autism Spectrum
Disease. Jika diasumsikan dengan prevalensi autisme 1,68 per 1000 anak dibawah 15
tahun. Jumlah anak yang berumur 5-19 tahun di indonesia mencapai 66.000.805 jiwa,
maka terdapat lebih dari 112.000 anak penyandang autisme pada rentang usia 5-19
tahun.2,5
Sampai saat ini penyebab dari syndrome autisme belum diketahui secara pasti.
Pada penelitian sebelumnya terdapat karagaman penyebab. Hal ini termasuk bersifat
genetik, metabolik dan gangguan syaraf pusat, infeksi pada masa hamil (rubella),
gangguan pencernaan hingga keracunan logam berat, struktur otak yang tidak normal
seperti hidrosephalus juga dapat menyebabkan anak autis. Dugaan penyebab lainnya
adalah perilaku ibu pada masa hamil yang sering mengkonsumsi seafood dimana
jenis makanan ini mengandung mercury yang sangat tinggi karena adanya
pencemaran air laut.5
Istilah autisme sendiri digunakan untuk menggambarkan adanya masalah
neurologis yang mempengaruhi pikiran, persepsi dan perhatian. Autisme adalah
istilah yang digunakan untuk menggambarkan satu jenis gangguan perkembangan
pada anak, atau dengan kata lain autisme (autism) adalah kesendirian, kecenderungan
menyendiri, atau cara berpikir yang dikendalikan kebutuhan personal atau diri
sendiri, menanggapi dunia dengan berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri,
menolak realita keyakinan ekstrim dengan pikiran dan fantasi sendiri. Terlihat acuh
dengan lingkungan dan cenderung menyendiri seakan-akan hidup dalam dunia yang
berbeda, perilaku aneh yang tergolong gangguan perkembangan berat ini terjadi
karena berbagai faktor seperti orang tua, psikogenetik, lingkungan, sosiokultural, dan
perinatal.1,4
Autisme juga mengakibatkan anak-anak dengan gangguan ASD (Autistic
Spectrum Disorder) ini tertinggal dengan anak-anak yang lain dalam memahami dan
menerima stimulasi materi, hal ini diakibatkan oleh ketidakmampuan anak-anak
dengan gangguan ASD ini dalam memusatkan perhatian dan fokus terhadap stimulasi
yang diberikan, padahal perhatian dan konsentrasi adalah suatu hal yang sangat
penting dalam penyimpanan informasi.4
Diharapkan dengan penyebaran informasi dan pengetahuan mengenai berbagai
hal yang berhubungan dengan autism ini akan dapat membantu untuk lebih
memahami dan mengerti mengenai autism dan bagaimana cara intervensi dini dan
penatalaksanaannya, serta bagaimana kelanjutan perkembangan anak dengan
gangguan autisme ini.

1. American Psychiatric Association (2013). Diagnostic and Statistical Manual


of Mental Disorder Fifth Edition. United States of America: America
Psyciatric Publishing.

2. Elvira, Sylvia D & Hadisukanto, Gitayanti 2013. Buku Ajar Psikiatri Edisi
Kedua. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. hal 546-560.
3. World Health Organization. Autism Spectrum Disorder. 2018.
4. Centre of Disease Control (CDC). Autism Spectrum Disorder. 2014.

5. Hazliansyah.112.000 Anak Indonesia Diperkirakan Menyandang


Autisme.2015.
Penatalaksanaan Gangguan Autistik
Tujuan dari terapi autistik adalah:
1. Mengurangi masalah perilaku
2. Meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangannya, terutama dalam
penguasaan bahasa.
3. Mampu bersosialisasi dan beradaptasi di lingkungan sosialnya
Tujuan tersebut dapat tercapai dengan baik melalui suatu program terapi yang
menyeluruh dan bersifat individual, dimana Pendidikan khusus dan terapi wicara
merupakan komponen yang penting. Akan lebih baik bila metodenya disesuaikan
untuk anak, dan bukan anak yang harus menyesuaikan diri untuk metode terapi
tertentu.
Suatu tim kerja terpadu terdiri dari: tenaga pendidik, tenaga medis (psikiater,
dokter anak), psikolog, ahli terapi wicara, terapi okupasi, pekerja social dan perawat
sangat diperlukan agar dapat mendeteksi dini, dan memberi penanganan yang sesuai
dan tepat waktu. Semakin dini ditangani dengan cepat dan tepay, maka hasilnya akan
optimal.

Pendekatan Edukatif
Pada prinsipnya pendekatan edukatif sangat tergantung pada kondisi
berat/ringannya gangguan yang ada. Pada yang mempunyai intelegensi normal-tinggi
sebaiknya tetap dimasukan ke sekolah formal umum, sedangkan yang mempunyai
intelegensi dibawah rata-rata normal sebaiknya bersekolah di SLB-C, tentu dengan
catatan prilaku dan emosinya telah terkendali. Bila belum dapat dikendalikan anak
autistik seharusnya mendapat Pendidikan khusus. Rencana Pendidikan sebaiknya
dibuat secara individual sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak dan juga perlu
diperhitungkan tidak hanya kelemahan anak ini namun juga kekuatan yang mereka
miliki agar guru dapat mempertimbangkan dalam pemberian keterampilan baru.
Yang terbaik bagi mereka adalah suatu bentuk pelatihan yang sangat terstruktur,
sehingga kecil kesempatan bagi anak untuk melepaskan diri dari teman-temannya,
dan guru akan segera bertindak bila melihat anak melakukan aktivitas sendiri. Latihan
yang terstruktur memudahkan anak untuk dapat memperkirakan kemungkinan apa
yang akan terjadi disekitarnya. Idealnya anak mengikuti pelatihan ini dengan tujuan
agar agar ia dapat mengatur sendiri pikiran dan tindakannya, dengan harapan ia dapat
memperoleh kemampuan untuk bekerja sendiri. Pendekatan ini tentunya
membutuhkan suatu kelas yang perbandingan murid dan gurunya rendah seperti
Treatment and Education of Autistic and Related Communication Handicapped
Children (TEACCH).
Dalam pelajaran Bahasa, anak lebih mudah mengembangkan kemampuan
berkomunikasi bila focus pembicaraan mengenai hal yang ada dalam kehidupan
sehari-hari. Demikian pula dalam melatih keterampilan social hendaknya juga
mengenai hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari. Kekurangan dalam
interaksi social, hubungan timbal balik, memahami aturan-aturan sosial, memusatkan
perhatian bila berada dalam suatu kelompok, kemampuan mengerjakan cara-cara
yang diajarkan oleh pembimbingnya, adalah merupakan masalah-masalah yang
kemungkinan dapat berhasil dicapai dalam program untuk remaja dan dewasa.

Anda mungkin juga menyukai