Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap orangtua mengharapkan kehadiran seorang anak yang sempurna


tanpa memiliki kekurangan. Setiap orang tua juga tidak ada yang menginginkan
anaknya lahir dalam keadaan cacat (Desiningrum, 2016). Anak merupakan
investasi termahal bagi masa depan bangsadan paling berhaga untuk keluarga.
Kehidupan modern tidak hanya membawa dampak positif namun juga
membawa dampak negatif dalam proses tumbuh kembang anak. Polusi udara,
air, bahan-bahan campuran pada makanan, dan lain sebagainya yang dicurigai
sebagai sebab munculnya gejala Autisme. Autisme adalah suatu gejala yang
makin banyak dijumpai akhir-akhir ini, termasuk di Indonesia (Mulyadi &
Sutadi, 2014).
Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan yang menyeluruh
dan dapat mengakibatkan hambatan dalam kemampuan sosialisasi, komunikasi
dan perilaku (Rahayu, 2014). Autisme adalah salah satu tipe gangguan
perkembangan pervasif atau PDD (Pervasive Developmental Disorders), yang
ditandai dengan adanya abnormalitas pada interaksi sosial dan komunikasi.
Gangguan autisme diantaranya yaitu interaksi sosial, komunikasi,
perasaan/emosi yang mulai muncul sejak anak berusia dibawah 3 tahun. Mereka
mempunyai keterbatasan pada aktifitas dan minat. Hampir 75% dari anak autis
memililki retardasi mental atau gangguan intelektual (Priyatna, 2010). Penyebab
Autisme yang diketahui sekarang karena gangguan pada fungsi susunan syaraf
pusat yang diakibatkan oleh struktur otak yang mungkin terjadi pada saat janin
berusia dibawah 3 bulan. Ada beberapa faktor, kemungkinan dari ibu yang
terserang oleh virus TORCH (tokso, rubella, cytomegali, herpes),
mengongsumsi makanan yang mengandung zat kimia dan dapat mempengaruhi

1
2

pertumbuhan sel otak, banyak menghirup polusi atau udara beracun, mengalami
pendarahan hebat (Rahayu, 2014).
Prevalensi penderita autis di dunia semakin bertambah. Saat sebelum
tahun 2000, prevalensi penderita autis berkisar antara 2-5 sampai dengan 15-20
per 1.000 kelahiran dan sekitar 1-2 per 1.000 penduduk dunia. Data yang
diperoleh ASA ( Autism Society of America) tahun 2000 yaitu 60 per 10.000
kelahiran dengan jumlah 1 : 250 penduduk. Sementara, data dari CDC (Centers
for Disease Control and Prevention, USA) tahun 2001 yaitu sekitar 1 di antara
150 penduduk, dan beberapa daerah di USA / UK yaitu sekitar 100 penduduk.
Pada tahun 2012, data CDC menunjukkan bahwa sejumlah 1:88 anak menderita
autis, dan pada tahun 2014 meningkat 30% yaitu sebanyak 1,5% atau 1 : 68 anak
di USA menderita autis. Sedangkan di Indonesia tidak ada data yang pasti.
Terdapat 2 kasus baru per 1000 penduduk per tahun serta 10 kasus per 1000
penduduk. Penduduk Indonesia ada 237,5 juta dengan laju pertumbuhan
penduduk 1,14% . Maka diperkirakan penderita ASD di Indonesia yaitu 2,4 juta
orang dengan pertambahan penyandang baru 500 orang/tahun (Kemenppa RI,
2018).
Mengasuh anak dengan autisme bukanlah hal yang mudah. Karakteristik
autisme yang hiperaktif bisa menjadi beban bagi keluarga atau orang tua.
Perilaku hiperaktif ini dapat membuat orang tua kewalahan dalam mengasuh
anak (Desiningrum, 2016). Keluarga memainkan peranan yang sangat penting
dalam membantu perkembangan anak. Berikut beberapa hal yang harus
dilakukan oleh para orang tua yang memiliki peran dalam perkembangan anak
autisme, yakni: Pertama sebelum diagnosa, orang tua yang melihat adanya
penyimpangan pada perkembangan anaknya segera memeriksakan kesehatan
anak pada dokter yang tujuannya untuk mengetahui keadaan serta mendapatkan
pengarahan untuk langkah berikutnya. Kedua saat diagnosa, merangkul dan
berempati sehingga dapat memahami anak sepenuhnya. Ketiga sesudah
diagnosa, memahami keadaan anak apa adanya, mengupayakan alternatif
penanganan sesuai kebutuhan anak, memperhatikan penanganan anak dirumah,
melakukan evaluasi secara periodik atas apapun program penanganan pada anak
(Hermawati, 2010).
3

Orang tua dengan anak autis akan mengalami masalah yang lebih
kompleks dalam pembentukan kepribadian, perilaku dan pemenuhan kebutuhan
anak. Orang tua yang salah memberi pengasuhan pada anak dapat membentuk
anak autis menjadi kurang mandiri dan tidak sadar akan kebersihan dirinya.
Orang tua yang cenderung memanjakan anak dapat selalu melayani setiap
kebutuhan anak autis, termasuk dalam mandi atau sekedar menggosok gigi,
sehingga anak dapat menjadi kurang mandiri. Sedangkan orang tua yang otoriter
akan mendidik anak autis dengan perintah yang keras tanpa membimbing anak
untuk mandiri sehingga anak autis akan cenderung kurang mandiri dan bahkan
acuh terhadap kebersihan dirinya (Dewi & Ainin, 2017). Dampak dukungan
keluarga jika tidak diberikan pada anak autis yaitu anak akan mengalami
kemunduran perkembangan yang seharusnya seorang anak sudah menggapai
tugas-tugas perkembangan sesuai usianya (Pancawati, 2013).
Menurut penelitian sebelumnya yang terdapat di (Hayes & Watson,
2013) saat orang tua menerima diagnosis bahwa anak mereka menderita autis,
sebagian merasa biasa saja, dan ada juga yang merasa putus asa, sedih bahkan
merasa hancur. Adanya anak autis dalam sebuah keluarga dapat membuat orang
tua pasrah atau malah sebaliknya. Pada sebagian orang tua memiliki anak autis
merupakan sebuah aib. Seorang ibu yang memiliki anak yang menderita autis
beresiko mengalami stres dan tekanan psikologis saat mengasuh.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, dengan
melakukan wawancara dengan ibu anak autis ditemukan bahwa ibu berperan
sangat aktif dalam perawatan anak autis. Ibu mengantar, menjemput, bahkan
menunggu anak sampai kegiatan belajar selesai, dan selalu mengurus anak
dirumah seperti memandikan dan memberi makan. Ibu mengatakan selama
perawatan anak autis ditemukan beberapa kesulitan, seperti pemenuhan
keuangan untuk kebutuhan anak autis. Ibu mengungkapkan bahwa anak autis
cenderung takut kepada ayah, karena ayah pernah menggertak anak saat anak
berperilaku agresif. Selama merawat anak autis, Ibu mengaku sering merasa
lelah, namun Ibu tidak menunjukkan perasaan tersebut untuk dapat memberikan
perawatan terbaik pada anak. Ibu juga sempat menyekolahkan anak ke sekolah
swasta, karena berfikir si anak dapat tumbuh normal namun ternyata di sekolah
4

si anak hanya mengganggu teman yang lainnya dan malah menjadi bahan olok-
olokan. Setelah sekolah selama 2 tahun kemudian anak tersebut diberhentikan
sekolah dan masuk ke SLB. Oleh karena itu peneliti disini ingin melakukan
penelitian tentang “Pengalaman Keluarga dalam Mengobati Anak Autis”.
1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan dikemukakan dalam penelitian ini adalah,


bagaimana pengalaman keluarga dalam merngobati anak autis.
1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada diatas, maka tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui pengalaman keluarga dalam
mengobati anak autis.
1.4 Manfaat Penelitian

Penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini diharapkan dapat memberikan


manfaat bagi semua pihak yang terlibat, yaitu :
1.4.1 Manfaat bagi penulis
Dengan adanya Karya Tulis Ilmiah ini diharapkan penulis dapat
menambah wawasan dan pengetahuan dalam menerapkan proses
keperawatan serta dapat memanfaatkan ilmu yang sudah diperoleh
selama perkuliahan.selain itu juga sebagai syarat kelulusan Ahli Madya
Keperawatan dari Diploma III Keperawatan Universitas Muhammadiyah
Malang.
1.4.2 Manfaat bagi institusi
Dengan adanya Karya Tulis Ilmiah ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai bahan mengembangkan ilmu pengetahuan juga sebagai
penerapan Asuhan Keperawatan, terutama bagi pembaca di perpustakaan
kampus 2 Universitas Muhammadiyah Malang.

Anda mungkin juga menyukai