Anda di halaman 1dari 9

Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental

http://url.unair.ac.id/3cb97dc0
e-ISSN 2301-7082

ARTIKEL PENELITIAN

STRATEGI PENGELOLAHAN STRES IBU YANG MEMILIKI ANAK REMAJA


DENGAN AUTISME
INDRISWARA DETARY & NURUL HARTINI
Departemen Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran strategi pengelolahan stres yang dilakukan
oleh ibu terhadap kondisi anak remaja dengan autisme. Lazarus & Folkman (1984) menjelaskan
bahwa strategi pengelolahan stres merupakan usaha individu dalam menyesuaikan tuntutan
internal maupun eksternal dengan sumber yang dimilikinya (Sarafino, 2011). Terdapat dua jenis
strategi pengelolahan stres, yaitu problem focused coping dan emotional focused coping. Metode
penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Teknik penggalian data
menggunakan wawancara semi terstruktur dengan menggunakan pedoman wawancara dan
analisis yang digunakan adalah theory driven. Penelitian ini melibatkan dua ibu berusia 44 tahun
dan 57 tahun dengan masing-masing satu significant other. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ibu yang memiliki anak remaja dengan autisme melakukan strategi pengelolahan stres secara
problem focused coping dan emotional focused coping. Selain itu, dari hasil penelitian ini juga
menunjukkan bahwa dukungan sosial dan kepribadian merupakan faktor yang mempengaruhi ibu
dalam melakukan strategi pengelolaan stres.

Kata kunci: autisme, ibu, remaja, strategi pengelolahan stres

ABSTRACT
This study aimed to describe coping stress strategies used by mother affected by adolescent with
autism. According to Lazarus & Folkman (1984) coping stress strategy is individual effort to
accommodate internal and external demands with existed resource (Sarafino, 2011). Coping stress
strategy is divided into two categories, problem focused coping and emotional focused coping.
Research method used in this study is qualitative with case-study approach. Data collection method
is done by using semi-structured. Analysis is done by using theory driven. This study involved two
subjects of mothers with one significant other. Subjects were 44 years old and 57 years old.The
result of this study showed that mother who have adolescent child with autism did coping stress
strategies using problem focused coping dan emotional focused coping. Other than that, the result
of this study showed that social support and personality are factors that can affect mother’s coping
stress strategies.

Key words: adolescence, autism, coping stress strategy, mother

*Alamat korespondensi: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Kampus B Universitas Airlangga Jalan
Airlangga 4-6 Surabaya 60286. Surel: nurul.hartini@psikologi.unair.ac.id

Naskah ini merupakan naskah dengan akses terbuka dibawah ketentuan the Creative
Common Attribution License (http://creativecommons.org/licenses/by/4.0), sehingga
Strategi Pengelolahan Stres Ibu yang Memiliki Anak Remaja dengan Autisme 15

penggunaan, distribusi, reproduksi dalam media apapun atas artikel ini tidak dibatasi,
selama sumber aslinya disitir dengan baik.

PENDAHULUAN
Autisme dalam DSM V dijelaskan sebagai gangguan yang memiliki kekurangan atau
keterbatasan dalam komunikasi sosial dan interaksi sosial, kurangnya minat, dan perilaku yang
berulang (APA, 2013). Data penyandang autisme di dunia mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Berdasarkan Center for Diseases Prevention (CDC) Amerika Serikat pada tahun 2013, prevalensi
anak dengan autisme menjadi 1:50 dalam kurun waktu satu tahun terakhir (Pratiwi & Dieny,
2014). Kemudian pada Maret tahun 2014 Center for Diseases Prevention (CDC) Amerika Serikat,
prevalensi autisme menjadi 1 dari 68 anak dengan data yang lebih spesifik yaitu 1 dari 42 anak laki-
laki dan 1 dari 189 anak perempuan (DepkesRI, 2016).
Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan (BUK) Kementerian Kesehatan RI, Prof. Dr. dr.
Akmal Taer, Sp.U(K) menjelaskan melalui BPS tahun 2010, bahwa prevalensi anak dengan autisme
di Indonesia bila diasumsikan dengan di Hongkong, anak dengan autisme usia 5-19 tahun mencapai
yang mencapai 66.000.805 jiwa, maka diperkirakan terdapat lebih dari 112 ribu anak di Indonesia
pada rentang usia 5-19 tahun menyandang autisme (Sutriyanto, 2013). Berdasarkan data-data
tersebut Riset pasti mengenai jumlah individu dengan autisme di Indonesia saat ini belum
dilakukan. Namun, berdasarkan data-data tersebut menunjukkan jumlah individu dengan autisme
mengalami peningkatan baik di Indonesia maupun di seluruh dunia meskipun riset dan data pasti
saat ini mengenai jumlah individu dengan autisme di Indonesia belum dilakukan. Meningkatnya
jumlah individu dengan autisme tersebut, menunjukkan terjadi peningkatan pula pada jumlah
keluarga yang memiliki anak dengan autisme khususnya di usia remaja.
Anak-anak dengan autisme akan mengalami suatu masa dalam tahap perkembangan yang
sama dengan anak normal yaitu masa remaja. Setiap individu di masa remaja akan mengalami
perubahan pada aspek biologis, kognitif, dan sosioemosional (Santrock, 2011). Anak-anak pada
masa remaja dihadapkan pada tugas-tugas perkembangan yang meliputi menjalin relasi dengan
pria maupun wanita sebayanya, mencapai peran sosial sesuai gender, dapat menerima kondisi fisik
dan menggunakan dengan baik, mencapai kemandirian emosional, dan mempersiapkan karir
masa depan (Hurlock, 1997).
Penelitian yang dilakukan oleh (Gillot, Furniss, & Walter, 2001) mengenai anak remaja
dengan autisme menjelaskan bahwa mereka memiliki beberapa masalah yang sama dengan anak
autisme pada umumnya.. Namun, masalah pada anak remaja dengan autisme lebih menekankan
pada kecemasan, ketidaktertarikan dengan interaksi sosial, dan kendala dalam bahasa. Sehingga,
remaja dengan autisme akan mengalami permasalahan atau hambatan dalam menjalani tugas-tugas
perkembangan. Paul & Sutherland (2005 dalam Wijayaptri, 2015) menjelaskan bahwa komunikasi
dan interaksi sosial merupakan dua faktor utama yang menentukan anak dengan autisme menjalin
dan mengembangkan hubungan dengan orang lain, berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari,
selain itu kemampuan berkomunikasi juga berkaitan langsung dengan masalah perilaku .
Permasalahan- tersebut tidak hanya dirasakan oleh anak remaja dengan autisme itu sendiri
namun juga dirasakan oleh keluarga dan memiliki dampak, khususnya pada ibu yang
berperansebagai caregiver utama. Ibu merupakan tokoh sentral dalam keluarga dan berperan
penting yaitu merawat dan membesarkan anak. Ibu dengan anak autisme yang sedang mengalami
masa remaja akan menghadapi permasalahan yang berbeda dengan ibu dari remaja normal. Ibu
yang memiliki anak remaja dengan autisme mengalami permasalahan terkait anak mereka yang
sedang mengalami masa transisi dari anak-anak menjadi masa dewasa dengan segala perubahan
yang dialami oleh anak (Arnett, 1999 dalam Smith, 2008). Permasalahan dialami oleh ibu juga
berkaitan dengan menghadapi sikap atau perilaku anak (Van Slyke & Newbrough, 1992 dalam
Abbeduto, 2004).
Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental
Tahun 2018, Vol. 7, pp. 14-22
Strategi Pengelolahan Stres Ibu yang Memiliki Anak Remaja dengan Autisme 16

Ibu yang membesarkan anak dengan autisme sedikit meluangkan waktu untuk
bersosialisasi dan waktu untuk pribadi (Brandon, 2007 dalam Smith, 2008). Penelitian
menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak dengan autisme pada rentang usia 4 sampai 17 tahun
dilaporkan lebih banyak mengalami kesulitan dan mengalami frustasi dengan perilaku anak
mereka dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan lainnya dan
anak-anak tanpa berkebutuhan khusus (Schieve, Blumberg, Rice, Visser, & Boyle, 2007 dalam
Hartley dkk, 2011).
Smith (2010, dalam Hartley dkk, 2011) menjelaskan bahwa ibu dari seorang anak remaja
atau dewasa dengan autisme menghabiskan lebih banyak waktu untuk merawat anak-anak
sekaligus melakukan pekerjaan rumah, dan menghabiskan lebih sedikit waktu untuk bersantai.
Mouridsen, dkk (2007 dalam Gane, 2008) bahwa ibu yang memiliki anak remaja dengan autisme
mengalami depresi dan stres ketika mereka tidak dapat memahami dan memenuhi kebutuhan
anak mereka dikarenakan komunikasi yang sulit (Gane, 2008).
Kesimpulan dari beberapa penelitian diatas menjelaskan bahwa ibu yang memiliki anak
remaja dengan autisme mengalami permasalahan dalam menghadapi dan mengasuh anak.
Permasalahan tersebut muncul ketika anak mereka mengalami kesulitan dalam membuat
keputusan, tidak mampu memenuhi kewajibannya secara mandiri. Permasalahan lainnya adalah
hambatan komunikasi sehingga ibu tidak dapat memahami dan memenuhi kebutuhan anak
mereka. Sehingga hal tersebut juga menyebabkan ibu merasa bersalah. Hambatan dan
permasalahan tersebut membuat ibu khawatir terhadap masa depan dan kemandirian anak remaja
mereka yang menyandang autisme di masa dewasa (Fong, Wilgosh, & Sobsey, 1993). Kondisi
tersebut mampu memunculkan stressor pada ibu yang memiliki anak remaja dengan autisme dan
mengalami stres.
Penelitian dilakukan oleh Smith (2010) mengenai keseharian ibu yang memiliki anak
remaja dan dewasa dengan autisme. Smith (2010) melibatkan partisipan sebanyak 96 ibu yang
memiliki anak di usia remaja atau dewasa dengan autisme, dan melakukan wawancara selama 8
hari melalui telepon dengan durasi selama 15 hingga 20 menit. Hasil penelitian tersebut adalah ibu
yang memiliki anak remaja atau dewasa dengan autisme meluangkan lebih banyak waktu untuk
merawat anak mereka tersebut dan sedikit memiliki waktu untuk bersantai. Dampak yang
dirasakan oleh ibu adalah mengalami kelelahan atau mengalami kejadian yang negatif terkait
dengan anak-anak mereka.
Ibu dari remaja dengan autisme yang mengalami stres harus memiliki cara atau usaha agar
tetap dapat menjalani kegiatan sehari-harinya dengan baik. Usaha yang dilakukan oleh disebut
dengan coping (pengelolahan). Coping (pengelolahan) adalah proses dimana individu mencoba
untuk mengelola perbedaan apa yang dirasakan antara tuntutan dan sumber daya yang mereka
nilai dalam situasi stres (Lazarus & Folkman, 1984 dalam Sarafino, 2011). (Taylor, 2014)
mendefinisikan coping (pengelolahan) sebagai tindakan yang berorientasi untuk mengelola
tuntutan dari peristiwa-peristiwa yang penuh tekanan. Lazarus, dkk (1984 dalam Sarafino, 2011)
menyebutkan bahwa strategi pengelolahan stres mempunyai dua jenis, yaitu problem-focused
coping dan emotional-focused coping. Problem-focused coping merupakan usaha yang berfokus pada
permasalahan atau sumber stres. Strategi pengelolahan stress ini terdiri dari planful problem,
solving, confrontative, dan seeking social support. Sedangkan emotional-focused coping merupakan
usaha yang berfokus pada mengontrol respon emosi terhadap situasi stres. Strategi pengelolahan
stres ini terdiri dari self control, distancing, positive reappraisal, accepting responsibility, dan escape
avoidance.
Penelitian oleh Armajayanthi, Victoriana, & Ayu (2017) menjelaskan tentang strategi
pengelolahan stres yang dilakukan oleh ibu yang memiliki anak dengan autisme di jenjang SMA.
Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa ibu menggunakan strategi pengelolahan stres berupa
problem focused coping dengan aspek planful problem solving yaitu memiliki atau membuat rencana

Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental


Tahun 2018, Vol. 7, pp. 14-22
Strategi Pengelolahan Stres Ibu yang Memiliki Anak Remaja dengan Autisme 17

guna mengatasi keadaan ketika terjadi masalah dan mencari jalan keluar dengan mencari strategi
yang efektif untuk mengasuh dan mendidik anak (Armajayanthi, Victoriana, & Ayu, 2017).
Berdasarkan beberapa fakta dan penelitian mengenai stres ibu yang memiliki anak remaja
dengan autisme, peneliti tertarik ingin mengetahui bagaimana strategi pengelolahan stres ibu yang
memiliki anak remaja dengan autisme. Peneliti melihat bahwa strategi pengelolahan stres adalah
penting dan harus dilakukan khususnya ibu yang menjadi pengasuh utama pada anak. Selain itu
diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi baik kepada ibu maupun masyarakat
Indonesia mengenai pengetahuan terhadap anak dengan autisme dan strategi pengelolahan stress.

METODE
Penelitian ini dilakukan menggunakan metode kualitatif. Metode tersebut digunakan untuk
mendapatkan pemahaman secara keseluruhan mengenai bagaimana strategi pengelolahan stres ibu
yang memiliki anak remaja dengan autisme, sesuai dengan pengalaman yang dialami dan
bagaimana ibu memaknai pengalaman tersebut. Tujuan penelitian kualitatif adalah memperoleh
pemahaman yang mendalam mengenai fenomena sosial dengan menggunakan perspektif holistik
yang mempertahankan kompleksitas perilaku manusia (Greenhalgh, 1997). Penelitian ini
menggunakan pendekatan studi kasus instrinsik untuk mendalami dan berupaya untuk fokus
terhadap suatu kasus secara menyeluruh memahami kasus secara utuh tanpa menghasilkan teori
atau konsep apapun ataupun tanpa ada upaya untuk menggeneralisasi (Poerwandari, 2005)
Subjek penelitian adalah ibu yang memiliki anak dengan autisme di usia remaja 13 sampai
18 tahun dan dalam keseharian merawat dalam kehidupan sehari-hari. Teknik penggalian data
yang digunakan adalah wawancara semi terstruktur dengan menggunakan pedoman umum.
Teknik ini memberikan kesempatan kepada peneliti untuk memiliki beberapa pertanyaan kunci
saja dan dapat menyimpang dari pertanyaan.
Suatu teknik dalam penelitian kualitatif yang digunakan untuk menguji kelayakan data dan
validitas internal disebut kredibilitas (Afiyanti, 2008). Marshal & Rossman (1995 dalam
Poerwandari, 2005) menjelaskan salah satu cara untuk meningkatkan kredibilitas dan validitas
dalam penelitian kualitatif adalah dengan triangulasi. Penelitian ini menggunakan triangulasi data
yang bersumber pada data wawancara, observasi, dan catatatan lapangan. Peneliti juga menggali
data dari significant other yang merupakan orang yang dianggap dekat dengan subjek.

HASIL PENELITIAN
Nama HB SW
Usia 44 Tahun 57 Tahun
Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Ibu Rumah Tangga
Strategi Pengelolahan Stres Problem Focused Coping

Planful problem solving 1. Memiliki rencana terkait 1. Memiliki rencana terkait


dengan masa depan dengan masa depan
anaknya anaknya
2. Membuat skala prioritas
ketika ia harus melakukan
berbagai tugas secara
bersamaan
3. Mempunyai cara yang
efektif dalam
menyampaikan materi saat
anaknya belajar
Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental
Tahun 2018, Vol. 7, pp. 14-22
Strategi Pengelolahan Stres Ibu yang Memiliki Anak Remaja dengan Autisme 18

Confrontative 1. Marah kepada pelaku yang 1. Melampiaskan kemarahan


membully anaknya ketika anaknya ketika tidak tuntas
anak dibully dalam menyelesaikan
pekerjaan baik di sekolah
maupun di rumah.
2. Melampiaskan kemarahan 2. Melampiaskan kemarahan
kepada anaknya ketika kepada anaknya ketika
tidak dapat tidak dapat
mengungkapkan sesuatu mengungkapkan sesuatu
dengan baik dengan baik
Seeking Social Support 1. Menerima bantuan 1. Mendapatkan dukungan
finansial dari keluarga berupa motivasi, empati,
dan nasehat dari
keluarga
2. Bercerita kepada
keluarga ketika ada
masalah
Strategi Pengelolahan Stres Emotional Focused Coping

Self Control 1. Memendam sendiri


masalah yang sedang
dihadapi
Distancing 1. tidak terlalu serius 1. Menghiraukan dan tidak
menanggapi suatu menganggap serius hal
permasalahan yang sepele
2. Menerima nasib dengan 2. Tidak pernah
menganggap kondisinya membandingkan anaknya
saat ini merupakan yang dengan autisme
tanggung jawab dan dengan anaknya yang lain
amanah
3. Dapat melihat sesuatu 3. Dapat memandang
dengan positif dengan permasalahan secara
selalu bersyukur positif
Positive Reappraisal 1. Berdoa untuk keberhasilan 1. Berdoa untuk masa depan
anaknya anaknya
2. Terinpirasi dari suatu
2. Pernah mengikuti kegiatan
kajian agama untuk hidup keagamaan dan mendapat
yang lebih baik inpirasi serta doa untuk
menenangkan hati ketika
sedang ada masalah
Escape Avoidance 1. Melupakan masalah 1. Melupakan masalah
sejenak dengan tidur sejenak dengan tidur atau
melakukan kegiatan seperti
bersantai dan
membersihkan rumah
Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental
Tahun 2018, Vol. 7, pp. 14-22
Strategi Pengelolahan Stres Ibu yang Memiliki Anak Remaja dengan Autisme 19

Memiliki dan membesarkan anak dengan gangguan spektrum autisme dapat


menimbulkan pengalaman yang membuat individu dan keluarga merasa tertekan dan hal
tersebut merupakan salah satu prediktor stres dalam sehari-hari (Crnic & Greenberg,
1990; DeLongis dkk, 1988. Dalam Smith dkk, 2010). Individu dalam keluarga yang
merasakan stres terbesar adalah ibu, karena mereka lebih terlibat dalam merawat dan
membimbing sehingga cenderung lebih berpartisipasi aktif pada anak (Benson et al, 2008
dalam Dabrowska & Pisula, 2010). Pengalaman tertekan tersebut salah satunya dapat
dialami oleh ibu yang memiliki anak dengan autisme yang sedang mengalami masa remaja
dalam mengasuh, berinteraksi, hingga kekhawatiran akan masa depan anaknya.
Pengalaman tertekan dan stres dialami oleh ibu terhadap konidisi anak remaja
dengan autisme adalah kurang dapat memahami maksud dari perkataan anaknya yang
dengan autisme ketika berkomunikasi sehingga menyebabkan terjadinya kesalahpahaman
antara ibu dan anak. Ibu juga merasa tertekan dan stres karena pengalaman anaknya
dengan autisme yang dibully dan tidak memiliki teman di sekolah.
Mengalami stres dan tekanan yang terkait dengan anak remajanya yang dengan
autisme, ibu melakukan usaha untuk dapat mengatasi stres tersebut. Strategi pengelolahan
stres stres terdiri dari dua jenis, yaitu problem focused coping dan emotional focused coping.
Strategi pengelolahan stres yang dilakukan oleh ibu yaitu secara problem focused coping
dan emotional focused coping. Ditinjau dari problem focused coping, ibu yang memiliki anak
remaja dengan autisme melakukan strategi pengelolahan secara planful problem solving
yaitu memiliki rencana terhadap masa depan anak, secara confrontative dengan
melampiaskan kemarahan atau emosi ketika anak tidak berperilaku baik dan susah untuk
berkomunikasi, dan secara seeking social support dengan mendapatkan dukungan baik
secara finansial, emosional, informasi.
Sedangkan ditinjau dari emotional focused coping, ibu yang memiliki anak remaja
dengan autisme dominan melakukan strategi pengelolahan secara distancing dengan tidak
terlalu menganggap serius suatu permasalahan, secara positive reappraisal dengan banyak
berdoa dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan untuk kebaikan dan keberhasilan
anaknya kelak. Melalui kegiatan keagamaan membuat kedua subjek terinspirasi dan belajar
menjadi ibu yang baik dan bagaimana belajar untuk ikhlas. Kemudian, subjek juga
Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental
Tahun 2018, Vol. 7, pp. 14-22
Strategi Pengelolahan Stres Ibu yang Memiliki Anak Remaja dengan Autisme 20

melakukan strategi pengelolahan secara escape avoidance dengan melakukan pengalihan


terhadap masalah melampiaskan yaitu melakukan kegiatan yang walaupun menurut
mereka hal tersebut tidak menyelesaikan masalah. Kegiatan tersebut berupa tidur atau
melakukan sesuatu sambil bersantai.
Strategi pengelolahan stres yang dilakukan oleh ibu yang memiliki anak remaja
dengan autisme selain dipengaruhi oleh faktor dukungan sosial, juga dapat dipengaruhi
oleh faktor karakteristik kepribadian. Dari hasil penelitian, dapat diketahui bahwa kedua
ibu melakukan strategi confrontative dengan melampiaskan kemarahan pada orang yang
menyebabkan masalah. Namun, salah satu ibu selain melampiaskan kemarahan, ia juga
mampu membuat orang lain berubah pikiran. Ibu dengan anak remaja autisme tersebut
menggambarkan dirinya apabila merasa terganggu dengan orang lain maka ia akan berkata
jujur dan apa adanya. Karakteristik kepribadian dan sifat yang dimiliki oleh individu dapat
mempengaruhi strategi pengelolahan stres yang dilakukan (Taylor, 2014).

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa ibu yang memiliki
anak remaja dengan autisme melakukan strategi pengelolahan stres secara problem focused
coping dan emotional focused coping. Strategi pengelolahan stres yang dilakukan
dilatarbelakangi oleh pengalaman masing-masing individu dengan anak remajanya yang
dengan autisme yang terkait kondisi anak dan tekanan dari lingkungan sosial. Selain itu,
dalam penelitian ini ditemukan bahwa dukungan sosial dan kepribadian merupakan faktor
yang mempengaruhi strategi pengelolahan stres ibu yang memiliki anak remaja dengan
autisme.
Saran bagi ibu yang memiliki anak remaja dengan autisme adalah ibu dapat membuat
kegiatan yang dapat dilakukan bersama anak di waktu luang seperti menonton televisi bersama,
memasak bersama, atau mengajak anak jalan-jalan. Hal tersebut dapat memberikan waktu
bersantai sambil menjaga anak. Ibu juga dapat memberikan apresiasi atau reward ketika anak
selesai melakukan sesuatu dengan baik. Kemudian saran untuk keluarga yaitu dapat menerima
dan memberikan perhatian kepada ibu yang memiliki anak remaja dengan autisme. Dukungan
dapat berupa perhatian, motivasi, nasehat, finansial, informasi, dan sebagainya.
PUSTAKA ACUAN

Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental


Tahun 2018, Vol. 7, pp. 14-22
Strategi Pengelolahan Stres Ibu yang Memiliki Anak Remaja dengan Autisme 21

Abbeduto, L. S. (2004). Psychological well being and coping in mothers of youth with
autism,down
syndrome,or fragile x syndrome. American Journal on Mental Retardation, 109,
Nomor 3: 237-254.
Afiyanti, Y. (2008). Validitas dan realibilitas dalam penelitian kualitatif. Jurnal Keperawatan
Indonesia, 12(2), 137-141.
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental
health disorder, 5th Fifth edition. Washington DC: American Psychiatric.
Armajayanthi, E., Victoriana, E., & Ayu, K. (2017). Studi deskriptif mengenai coping stress
pada ibu yang memiliki anak dengan autism sebuah penelitian di sekolah "x"
Bandung. Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Maranatha, Bandung.
Dabrowska, A., & Pisula, E. (2010). Parenting stress and coping styles in mother and fathers
of pre-school children with autism adn down syndrome. Journal of Intellectual
Disability Research, 54, 266-280.
DepkesRI. (2016). Kenali dan deteksi dini individu dengan spektrum autisme melalui
pendekatan keluarga untuk tingkatan kualitas hidupnya. Diakses 6 Juli 2018 dari
www.depkes.go.id
Fong, L., Wilgosh, L., & Sobsey, D. (1993). The experience of parenting an adolescents with
autism. International Journal of Disability, Development, and Education, 40.
Gane, A. (2008). Mother's experience of having a child diagnosed with autism spectrum
disorder. Theses, Dissertations, and Projects.
Gillot, A., Furniss, F., & Walter, A. (2001). Anxiety in high-functioning children with autism.
5, 277-286.
Greenhalgh, T. (1997). How to read a paper: Papers that go beyond members (qualitative
research) helping doctors make better decisions,. 740-743.
Hartley, S., Barker , E., Seltzer, M., Greenberg, J., & Floyd, F. (2011). Trajectories of
emotional well-being in mothers of adolescents and adults with autism. 47, 551-561.
Hurlock, E. B. (1997). Psikologi perkembangan suatu pendekatan rentang kehidupan, edisi
kelima. Erlangga.
Poerwandari, E. K. (2005). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia
(edisi.Ketiga). Depok: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Pratiwi, R., & Dieny, F. (2014). Hubungan skor frekuensi diet bebas gluten bebas casein
dengan skor perilaku autis. Jounal of Nutrition College, 34-42.
Santrock, J. (2011). Life-span development. Boston: MA:McGraw-Hill.
Sarafino, E. S. (2011). Health psychology: Biopsychosocial interaction. Canada: John Wiley &
Sons, Inc.
Smith, L., Hong, J., Seltzer, M., Greenberg, J., Almeida, D., & Bishop, S. (2010). Daily
experiences among mothers of adolescents and adults with autism spectrum
disorder. Journal Autism Disorder, 167-178.
Smith, L., Seltzer, M., Flusberg, H., Greenberg, J., & Carter , A. (2008). A comparative analysis
of well being and coping among mothers of toddlers and mothers of adolescents
with ASD. Journal Autism Disorder, 38:876-889.
Sutriyanto, E. (2013). Enam dari 100 orang di dunia kena autis bagaimana dengan
Indonesia. Diakses April 07 2017, dari tribunnews.com:
http://www.tribunnews.com/kesehatan/2013/04/09/Enam-dari-100-orang-di-
dunia-kena-autis-bagaimana-dengan-indonesia
Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental
Tahun 2018, Vol. 7, pp. 14-22
Strategi Pengelolahan Stres Ibu yang Memiliki Anak Remaja dengan Autisme 22

Taylor, S. E. (2014). Health psychology 9th edition. Toronto: McGraw-Hill Ryerson.


Wijayaptri, N. W. (2015). Hambatan komunikasi pada penyandang autisme remaja: sebuah
studi kasus. 2.

Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental


Tahun 2018, Vol. 7, pp. 14-22

Anda mungkin juga menyukai