Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Temper tantrum merupakan masalah perilku yang umum terjadi pada
anak usia prasekolah (Fetsch dan Jakcopson, 2013). Tempramen akan
mempengaruhi perkembangan sosial dan interaksi anak yang berdampak
terhadap peyesuaian atau kemampuan adaptasi anak ke dalam situasi
kelompok dalam jangka pendek maupun jangka panjang(Hockenberry dan
Wilson,2015). Hasil penelitian yunianto(2014), sebagian besar anak laki laki
menunjukkan temper tantrum seperti tidak bias duduk diam,memukul
temannya dan menimbulkan ketidak senangan dalam bercanda,melempar
pasir ke temannya,menendang,merengek kepada guru, berteriak, dan
memukul meja.Pada anak perempuan sebagian kecil menunjukkan perilaku
murung, tidak mau berbicara,bahkan isolasi social. Anak anak dengan
perilaku tersebut cenderung di jauhi oleh teman temannya.
Di Indonesia,dalam kurung waktu satu tahun terdapat 23-83% dari anak
usia prasekolah mengalami temper tentrum penyebab dari temper tantrum ini
beragam,satu diantaranya adalah pola asuh orangtua.Akibat yang di
timbulkan dari temper tantrum ini cukup berbahaya, diantaranya adalah anak
akan mengalami cedera fisik saat terjadinya ledakan emosi, dan anak temper
tantrum ketika dewasa akan mempunyai control diri yang rendah dan mudah
marah.
Anak di defenisikan sebagai individu yang berada dalam satu rentang
perubahan perkembangan yang di mulai dari bayi hingga remaja.Sesuai
dengan pengertian anak menurut UU Perlindungan anak, masa anak dapat
dikatakan sebagai masa pertumbuhan dan perkembangan yang di mulai dari
bayi (0-1) hingga remaja (11-18). Ada juga yang kemudian membagi masa
tumbuh kembang anak mulai dari usia bermain/ toddler (1-2,5 tahun),
prasekolah (2,5-5 tahun), usia sekolah (5-11 tahun), hingga remaja (11-18
tahun). (Suryani dan Badi 2012).
Prasekolah adalah program untuk anak anak berusia 3-5 tahun,sebelum
mereka memasuki taman kanak kanak (TK). Tujuan utama program
prasekolah adalah membantu anak bersosialisasi, meningkatkan
sosioemosional anak dan mempersiapkan anak memasuki TK atau kelas satu
(Morisson,2012).usia prasekolah adalah anak anak dengan rentang usia 3-5
tahun, dimana anak mulai berkembang superegonya (suara hati) yaitu mrasa
bersalah bila ada tindakannya keliru.pada masa ini anak juga mulai mengenal
cita cita, belajar menggambar,menulis, dan mengenal angka serta
bentuk/warna benda.pada tahap ini, orangtua perlu mulai mempersiapkan anak
untuk masuk sekolah.bimbingan,pengawasan,pengaturan yang
bijaksana,perawatan kesehatan,dan kasi saying dari orangtua serta orang orang
di sekitarnya sangat diperlukan oleh anak (Ambarwati nasution,2012).
Pada tahap perkembangan kepribadian anak mengalami periode
perlawanan atau masa krisis pertama . Krisis ini terjadi karena adanya
perubahan yang hebat dalam dirinya , yaitu anak mulai sadar akan aku-nya,dia
menyadari bahwa dirinya terpisah dari lingkungan atau orang lain,anak suka
menyebut nama dirinya apabila berbicara dengan orang lain. Dengan
kesadaran ini anak akan menemukan bahwa ada dua pihak yang berhadapan,
Yaitu(Aku-nya) dan orang lain(orang tua, saudara, guru dan teman sebaya)
Dia mulai menemukan bahwa tidak setiap keinginannya dipenuhi orang lain,
memperhatikan kepentingannya, Pertentangan antara kemauan diri dan
tuntunan lingkungannya dapat mengakibatkan ketenangan dalam diri anak,
sehingga tidak jarang anak meresponsnya dengan sikap membandel atau keras
kepala serta meledakkan emosinya. Bagi usia anak, sikap seperti ini
merupakan suatu kewajiban, karena perkembangan pribadi mereka yang
sedang bergerak dari sikap dependen ke independen.Namun bila dibiarkan
terus menerus akan berdampak negative terhadap perkembangan psikologis
anak (Yusuf,2016).
Data badan pusat statistic (BPS) tahun 2016 menyebutkan bahwa jumlah
anak pra sekolah di Indonesia dengan rentang usia 2-7 tahun sebanyak 30,26
juta jiwa.Menurut data dinas kependudukan catatan sipil tahun,2018, jumlah
penduduk riau adalah 6.074.068 jiwa, dan 333.482 jiwa diantaranya adalah
anak usia pra sekolah. Itu artinya 9,1% penduduk riau adalah anak-anak
demham usia pra sekolah. Sedangkan data dinas pendidikan kabupaten
Kampar tahun 2019 menyatakan bahwa ada 4.383 anak dengan rentang usia 3-
5 tahun.
Pada usia prasekolah, anak mulai berkenalan dan belajar menghadapi rasa
kecewa, marah, sedih dan sebagainya merupakan suatu rasa yang wajar dan
natural. Namun seringkali orang tua menyumbat emosi yang dirasakan oleh
anak. Misalnya saat anak menangis karena kecewa, orangtua dengan berbagai
cara berusaha menghibur, mengalihkan, perhatian, behkan memarahi demi
menghentikan tangisan anak. Hal ini sebenarnya membuat emosi anak tak
tersalurkan dengan lepas. Jika hal ini berlangsung terus menerus,akibatnya
timbullah yang disebut dengan tumpukan emosi. Tumpukan emosi inilah yang
nantinya dapat meledak tak terkendali dan muncul sebagai temper tantrum
(Kirana,2013)

Temeper tantrum adalah luapan emosi yang meledak-ledak dan tidak


terkontrol. Tanda dan gejala temper tantrum ini beragam, mulai mulai dari
(hanya) merengek, Menangis, menjerit-jerit, mengguling-gulingkan badan di
lantai, menendang, memukul, mencakar, bahkan ada yang bereaksi menahan
nafsu. Biasanya,tantrum ini berlangsung 30 detik sampai 2 menit dan
intensitas tertinggi terjadi pada 30 detik pertama. Tantrum bias muncul kapan
saja dan dimana saja. Tak peduli di rumah, dalam perjalanan, maupun di
tengah keramaian. Seringkali orang tua terkaget-kaget dengan perilaku ini,
dan membuat orang tua kalang kabut untuk mengatasinya (Rahmah,2012).

Temper tantrum ini biasanya di picu oleh beberapa hal,diantaranya: (1)


orang tua menolak atau tidak mengabulkan permintaan anak. (2) Anak tak
mampu mengungkapkan keinginannya. (3) Anak bias frustasi karena tak
berhasil melakukan sesuatu yang ia anggap mampu ia lakukan. (4)
Terhalangnya keinginan anak untuk mandiri. (5) Anak merasa lelah,lapar atau
merasa tidak nyaman. (6) suasana hati anak sedang buruk, dan anak sedang
menarik perhatian orang tuanya (Rahmah, 2012). Untuk mencegah perilaku
tantrum pada anak maka dibutuhkan perang orangtua, salah satu yang
mempengaruhi sikap dan perilaku anak adalah pola asuh yang dieterapkan
orang tua dalam mendidik anaknya.

Penilitian yang dilakukan oleh Wijirahayu dkk.(2016) menunjukan bahwa


3 dari 5 ibu (61%) mem ilki kelekatan dengan anak dalam kategori aman
(insecure). Sebanyak 7 dari 10 anak (70%) mengalami resiko gangguan
pertumbuhan dan perkembangan sosial emosi anak termasuk dalam kategori
sedang. Anak dari ibu yang bekerja mempunyai perkembangan social yang
lebih rendah dari pada anak dengan ibu yang tidak bekerja.
Santy dan irtanti (2014) dalam penelitiannya menunjukkan sebanyak 52%
ibu menggunakan pola asuh permisif dan 44% memiliki anak dengan temper
tantrum tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh lusiana (2016)
menunjukkan risiko tempe tantrum pada anak usia prasekolah dengan ibu
berkerja sebanyak 17 anak (73,9%) dan resiko temper tantrum pada anak
prasekolah dengan ibu tidak bekerja sebanyak 9 anak (39,1%). Penelitian
Rohayati (2016) menunjukkan sebanyak 23 responden dengan pola
mendukung dan 25 orang memiliki perkembangan sosioemosional pada
kategori aktif . sebanyak 41 responden dengan pola asuh tidak
mendukung ,terdapat 7 anak dengan perkembangan sosioemosional pada
kategori aktif .
Fungsi afektif keluarga dikatakan berhasil jika tampak kebahagiaan dan
kegembiraan dari seluruh anggota keluarga. Interaksi dan hubungan setiap
anggota keluarga menjadi pembelajaran untuk mengembangkan gambaran diri
yang positif, perasaan memilki dan dimilki, menjadi sumber kasih sayang
serta dukungan (Duvall dalam Friedman, Bowden, dan Jones, 2010).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan pada halaman sebelumnya,
maka permasalahan yang akan dibahas dalam penilitian ini adalah “ adakah
Hubungan fungsi Afektif keluarga dengan perilaku temper tantrum pada anak
usia 3-5 tahun TK sahabat anak di Kebun cengkeh

1.3 Tujuan penilitian


1.3.1 Tujuan umun
Mengetahui Hubungan fungsi afektif keluarga dengan perilaku temper
tantrum pada anak usia 3-5 tahun TK Sahabat anak di Kebun cengkeh

1.3.2 Tujuan khusus


a. Mengidentifikasi pelaksanaan fungsi afektif keluarga yang diterapkan
kepada anak usia 3-5 tahun TK Sahabatanak di kebun cengkeh
b. Mengidentifikasi perilaku temper tantrum pada anak usia 3-5 tahun TK
sahabat anak di kebun cengkeh
c. Mengetahui hubungan antara pelaksanaan fungsi afektif keluarga
dengan perilaku temper tantrum pada anak usia 3-5 tahun TK sahabat
anak di kebun cengkeh

1.4 Manfaat penilitian


1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti
Untuk menambah pengetahuan peneliti mengenai hubungan pelaksanaan
fungsi afektif keluarga dengan perilaku temper tantrum pada anak usia 3-5
tahun, serta dapat digunakan sebagai dasar pengembangan keilmuan dalam
bidang keperawatan anak dan keperawatan keluarga.

1.4.2 Manfaat Bagi Institusi pendidikan keperawatan


Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang
keilmuan dalam bidang keperawatan anak dan keperawatan keluarga.
Mahasiswa keperawatan akan mendapatkan pengetahuan baru mengenai
hubungan antara fungsi afektif kelurga dengan perilaku temper tantrum
pada anak usia 3-5 tahun.

1.4.3 Manfaat Bagi Orang Tua


Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah pengetahuan orang
tua tentang hubungan antara fungsi afektif yang diterapkan keluarga,
terutama keluarga dengan anak usia 3-5 tahun yang mengalami perilaku
temper tantrum. Keluarga dapat mengetahui bagaimana pelaksanaan
fungsi afektif yang baik (efektif) untuk diterapkan di dalam keluarga.

Anda mungkin juga menyukai