Temper tantrum merupakan masalah perilku yang umum terjadi pada anak usia prasekolah (Fetsch dan Jakcopson, 2013). Tempramen akan mempengaruhi perkembangan sosial dan interaksi anak yang berdampak terhadap peyesuaian atau kemampuan adaptasi anak ke dalam situasi kelompok dalam jangka pendek maupun jangka panjang(Hockenberry dan Wilson,2015). Hasil penelitian yunianto(2014), sebagian besar anak laki laki menunjukkan temper tantrum seperti tidak bias duduk diam,memukul temannya dan menimbulkan ketidak senangan dalam bercanda,melempar pasir ke temannya,menendang,merengek kepada guru, berteriak, dan memukul meja.Pada anak perempuan sebagian kecil menunjukkan perilaku murung, tidak mau berbicara,bahkan isolasi social. Anak anak dengan perilaku tersebut cenderung di jauhi oleh teman temannya. Di Indonesia,dalam kurung waktu satu tahun terdapat 23-83% dari anak usia prasekolah mengalami temper tentrum penyebab dari temper tantrum ini beragam,satu diantaranya adalah pola asuh orangtua.Akibat yang di timbulkan dari temper tantrum ini cukup berbahaya, diantaranya adalah anak akan mengalami cedera fisik saat terjadinya ledakan emosi, dan anak temper tantrum ketika dewasa akan mempunyai control diri yang rendah dan mudah marah. Anak di defenisikan sebagai individu yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang di mulai dari bayi hingga remaja.Sesuai dengan pengertian anak menurut UU Perlindungan anak, masa anak dapat dikatakan sebagai masa pertumbuhan dan perkembangan yang di mulai dari bayi (0-1) hingga remaja (11-18). Ada juga yang kemudian membagi masa tumbuh kembang anak mulai dari usia bermain/ toddler (1-2,5 tahun), prasekolah (2,5-5 tahun), usia sekolah (5-11 tahun), hingga remaja (11-18 tahun). (Suryani dan Badi 2012). Prasekolah adalah program untuk anak anak berusia 3-5 tahun,sebelum mereka memasuki taman kanak kanak (TK). Tujuan utama program prasekolah adalah membantu anak bersosialisasi, meningkatkan sosioemosional anak dan mempersiapkan anak memasuki TK atau kelas satu (Morisson,2012).usia prasekolah adalah anak anak dengan rentang usia 3-5 tahun, dimana anak mulai berkembang superegonya (suara hati) yaitu mrasa bersalah bila ada tindakannya keliru.pada masa ini anak juga mulai mengenal cita cita, belajar menggambar,menulis, dan mengenal angka serta bentuk/warna benda.pada tahap ini, orangtua perlu mulai mempersiapkan anak untuk masuk sekolah.bimbingan,pengawasan,pengaturan yang bijaksana,perawatan kesehatan,dan kasi saying dari orangtua serta orang orang di sekitarnya sangat diperlukan oleh anak (Ambarwati nasution,2012). Pada tahap perkembangan kepribadian anak mengalami periode perlawanan atau masa krisis pertama . Krisis ini terjadi karena adanya perubahan yang hebat dalam dirinya , yaitu anak mulai sadar akan aku-nya,dia menyadari bahwa dirinya terpisah dari lingkungan atau orang lain,anak suka menyebut nama dirinya apabila berbicara dengan orang lain. Dengan kesadaran ini anak akan menemukan bahwa ada dua pihak yang berhadapan, Yaitu(Aku-nya) dan orang lain(orang tua, saudara, guru dan teman sebaya) Dia mulai menemukan bahwa tidak setiap keinginannya dipenuhi orang lain, memperhatikan kepentingannya, Pertentangan antara kemauan diri dan tuntunan lingkungannya dapat mengakibatkan ketenangan dalam diri anak, sehingga tidak jarang anak meresponsnya dengan sikap membandel atau keras kepala serta meledakkan emosinya. Bagi usia anak, sikap seperti ini merupakan suatu kewajiban, karena perkembangan pribadi mereka yang sedang bergerak dari sikap dependen ke independen.Namun bila dibiarkan terus menerus akan berdampak negative terhadap perkembangan psikologis anak (Yusuf,2016). Data badan pusat statistic (BPS) tahun 2016 menyebutkan bahwa jumlah anak pra sekolah di Indonesia dengan rentang usia 2-7 tahun sebanyak 30,26 juta jiwa.Menurut data dinas kependudukan catatan sipil tahun,2018, jumlah penduduk riau adalah 6.074.068 jiwa, dan 333.482 jiwa diantaranya adalah anak usia pra sekolah. Itu artinya 9,1% penduduk riau adalah anak-anak demham usia pra sekolah. Sedangkan data dinas pendidikan kabupaten Kampar tahun 2019 menyatakan bahwa ada 4.383 anak dengan rentang usia 3- 5 tahun. Pada usia prasekolah, anak mulai berkenalan dan belajar menghadapi rasa kecewa, marah, sedih dan sebagainya merupakan suatu rasa yang wajar dan natural. Namun seringkali orang tua menyumbat emosi yang dirasakan oleh anak. Misalnya saat anak menangis karena kecewa, orangtua dengan berbagai cara berusaha menghibur, mengalihkan, perhatian, behkan memarahi demi menghentikan tangisan anak. Hal ini sebenarnya membuat emosi anak tak tersalurkan dengan lepas. Jika hal ini berlangsung terus menerus,akibatnya timbullah yang disebut dengan tumpukan emosi. Tumpukan emosi inilah yang nantinya dapat meledak tak terkendali dan muncul sebagai temper tantrum (Kirana,2013)
Temeper tantrum adalah luapan emosi yang meledak-ledak dan tidak
terkontrol. Tanda dan gejala temper tantrum ini beragam, mulai mulai dari (hanya) merengek, Menangis, menjerit-jerit, mengguling-gulingkan badan di lantai, menendang, memukul, mencakar, bahkan ada yang bereaksi menahan nafsu. Biasanya,tantrum ini berlangsung 30 detik sampai 2 menit dan intensitas tertinggi terjadi pada 30 detik pertama. Tantrum bias muncul kapan saja dan dimana saja. Tak peduli di rumah, dalam perjalanan, maupun di tengah keramaian. Seringkali orang tua terkaget-kaget dengan perilaku ini, dan membuat orang tua kalang kabut untuk mengatasinya (Rahmah,2012).
Temper tantrum ini biasanya di picu oleh beberapa hal,diantaranya: (1)
orang tua menolak atau tidak mengabulkan permintaan anak. (2) Anak tak mampu mengungkapkan keinginannya. (3) Anak bias frustasi karena tak berhasil melakukan sesuatu yang ia anggap mampu ia lakukan. (4) Terhalangnya keinginan anak untuk mandiri. (5) Anak merasa lelah,lapar atau merasa tidak nyaman. (6) suasana hati anak sedang buruk, dan anak sedang menarik perhatian orang tuanya (Rahmah, 2012). Untuk mencegah perilaku tantrum pada anak maka dibutuhkan perang orangtua, salah satu yang mempengaruhi sikap dan perilaku anak adalah pola asuh yang dieterapkan orang tua dalam mendidik anaknya.
Penilitian yang dilakukan oleh Wijirahayu dkk.(2016) menunjukan bahwa
3 dari 5 ibu (61%) mem ilki kelekatan dengan anak dalam kategori aman (insecure). Sebanyak 7 dari 10 anak (70%) mengalami resiko gangguan pertumbuhan dan perkembangan sosial emosi anak termasuk dalam kategori sedang. Anak dari ibu yang bekerja mempunyai perkembangan social yang lebih rendah dari pada anak dengan ibu yang tidak bekerja. Santy dan irtanti (2014) dalam penelitiannya menunjukkan sebanyak 52% ibu menggunakan pola asuh permisif dan 44% memiliki anak dengan temper tantrum tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh lusiana (2016) menunjukkan risiko tempe tantrum pada anak usia prasekolah dengan ibu berkerja sebanyak 17 anak (73,9%) dan resiko temper tantrum pada anak prasekolah dengan ibu tidak bekerja sebanyak 9 anak (39,1%). Penelitian Rohayati (2016) menunjukkan sebanyak 23 responden dengan pola mendukung dan 25 orang memiliki perkembangan sosioemosional pada kategori aktif . sebanyak 41 responden dengan pola asuh tidak mendukung ,terdapat 7 anak dengan perkembangan sosioemosional pada kategori aktif . Fungsi afektif keluarga dikatakan berhasil jika tampak kebahagiaan dan kegembiraan dari seluruh anggota keluarga. Interaksi dan hubungan setiap anggota keluarga menjadi pembelajaran untuk mengembangkan gambaran diri yang positif, perasaan memilki dan dimilki, menjadi sumber kasih sayang serta dukungan (Duvall dalam Friedman, Bowden, dan Jones, 2010).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan pada halaman sebelumnya, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penilitian ini adalah “ adakah Hubungan fungsi Afektif keluarga dengan perilaku temper tantrum pada anak usia 3-5 tahun TK sahabat anak di Kebun cengkeh
1.3 Tujuan penilitian
1.3.1 Tujuan umun Mengetahui Hubungan fungsi afektif keluarga dengan perilaku temper tantrum pada anak usia 3-5 tahun TK Sahabat anak di Kebun cengkeh
1.3.2 Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi pelaksanaan fungsi afektif keluarga yang diterapkan kepada anak usia 3-5 tahun TK Sahabatanak di kebun cengkeh b. Mengidentifikasi perilaku temper tantrum pada anak usia 3-5 tahun TK sahabat anak di kebun cengkeh c. Mengetahui hubungan antara pelaksanaan fungsi afektif keluarga dengan perilaku temper tantrum pada anak usia 3-5 tahun TK sahabat anak di kebun cengkeh
1.4 Manfaat penilitian
1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti Untuk menambah pengetahuan peneliti mengenai hubungan pelaksanaan fungsi afektif keluarga dengan perilaku temper tantrum pada anak usia 3-5 tahun, serta dapat digunakan sebagai dasar pengembangan keilmuan dalam bidang keperawatan anak dan keperawatan keluarga.
1.4.2 Manfaat Bagi Institusi pendidikan keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang keilmuan dalam bidang keperawatan anak dan keperawatan keluarga. Mahasiswa keperawatan akan mendapatkan pengetahuan baru mengenai hubungan antara fungsi afektif kelurga dengan perilaku temper tantrum pada anak usia 3-5 tahun.
1.4.3 Manfaat Bagi Orang Tua
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah pengetahuan orang tua tentang hubungan antara fungsi afektif yang diterapkan keluarga, terutama keluarga dengan anak usia 3-5 tahun yang mengalami perilaku temper tantrum. Keluarga dapat mengetahui bagaimana pelaksanaan fungsi afektif yang baik (efektif) untuk diterapkan di dalam keluarga.