Anda di halaman 1dari 43

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KEJADIAN

TEMPER TANTRUM PADA ANAK USIA TODDLER


( 1 – 3 TAHUN ) DI KELURAHAN MAMBORO
BARAT DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS MAMBORO

PROPOSAL

Diajukan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan program pendididkan


Sarjana Terapan Keperawatan Politeknik Kesehatan
Kemenkes Palu Jurusan Keperawatan

Oleh

RAHMAWATI
NIM. PO7120323045

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALU


JURUSAN KEPERAWATAN PALU PRODI
SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertumbuhan dan perkembangan anak tidak bisa dipisahkan terutama

perkembangan motorik dan fisik yang sangat berhubungan dengan

pertumbuhan psikis anak. Anak akan mengalami suatu periode yang di

namakan sebagai masa keeamasan anak saat usia dini dimana saat usia dini

dimana saat itu anak akan sangat peka dan sensitif terhadap berbagai

rangsangan dan pengaruh dari luar. Saat masa keemasaan, anak akan

mengalami tingkat perkembangan yang sangat drastis di mulai dari

perkembangan berpikir, perkembangan emosi, perkembangan motorik,

perkembangan fisik dan perkembangan sosial. Peningkatan perkembangan ini

saat terjadi saat anak berusia 0-8 tahun, dan lonjakan perkembangan ini tidak

akan terjadi lagi di periode selanjutnya (Bantul, n.d 2018.)

Anak usia toddler merupakan anak yang berada antara rentang usia 12-36

bulan. Masa ini anak akan mengalami suatu periode atau masa yang disebut

sebagai masa keemasan. Masa keemasan semua fungsi organ dan syaraf pada

otak berkembang secara pesat sehingga anak harus diberikan dorongan agar

seluruh perkembangannya berkembang secara optimal. Hampir seluruh potensi

anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara cepat yang dimulai

dari perkembangan berfikir, emosi, motorik dan sosial. Oleh karena itu, pada

masa tersebut anak mendapatkan pola pengasuhan yang baik untuk


memudahkan dalam menentukan perkembangan yang tepat akan menjadi

penting dikemudian hari (Primasari et al., 2020)

Temper tantrum adalah episode dari kemarahan yang rata rata

digambarkan dengan perilaku menangis, namun tentrum juga dikatakan

sebagai luapan frustasi yang ekstrim, yang tampak seperti dicirikan oleh

perilaku gerakan tubuh yang kasar atau agresif seperti membuang buang,

berguling di lantai, membenturkan kepala, dan menghantamkan kaki ke lantai,

pada anak yang lebih kecil (lebih mudah) biasanya sampai muntah, pipis atau

bahkan nafsu sesak karena terlalu banyak menangis dan berteriak. Akibat yang

ditimbulkan dari temper tantrum ini cukup berbahaya, misalnya anak yang

melampiaskan kekesalannya dengan cara berguling guling dilantai yang keras

dapat menyababkan anak menjadi cedera. Anak yang melampaisakan

amarahnya dapat menyakiti dirinya sendiri, menyakiti orang lain atau merusak

benda yang ada di sekitarnya. Jika benda-benda yang ada di sekitar anak

merupakan benda keras maka akan sangat berbahaya karena anak dapat

tersakiti dan mengalami cedera akibat dari tindakan tantrumnya. Tantrum yang

tidak bisa diatasi dapat membahayakan fisik anak, selain anak tidak bisa

mengendalikan emosinya atau anak akan kehilangan kontrol dan akan lebih

agresif. hal ini akan mengakibatkan anak tidak menghadapi lingkungan luar,

tidak bisa beradaptasi, tidak bisa menghadapi masalah (Fakriyatur &

Damayanti, 2019).

Penyebab umum tiba-tiba tantrum pada anak adalah pemicu fisiologis

seperti kelelahan, lapar, atau sakit. Frustrasi adalah penyebab umum lainnya.

Balita berkonflik karena keinginan simultan untuk perhatian orang tua dan
keinginan kuat untuk mandiri. Anak belum mengembangkan keterampilan

koping yang matang untuk mengelola emosi yang kuat. Balita juga mungkin

belajar bahwa tantrum adalah cara yang efektif untuk mendapatkan apa yang

mereka inginkan atau menghindari apa yang tidak mereka inginkan dalam

jangka pendek. Juga, anak belajar melalui penjelajahan lingkungan mereka dan

mungkin menjadi frustrasi ketika orang lain mencegah mereka melakukan ini,

seperti ketika orang dewasa melarang untuk melakukan sesuatu yang

membahayakan anak. Saat anak belajar keterampilan untuk mengidentifikasi

perasaan mereka, menyebutkan emosi, mengomunikasikan perasaan ini kepada

orang lain, dan menerapkan perilaku positif untuk mengelola perasaan atau

emosi negatif, frekuensi tantrum berkurang (Muizzulatif & Machmud, 2022).

Tantrum paling sering terjadi antara usia dua dan tiga tahun tetapi dapat

terjadi semuda 12 bulan. Para peneliti menemukan bahwa tantrum terjadi pada

87% anak usia 18 hingga 24 bulan, 91% pada usia 30 hingga 36 bulan, dan

59% pada usia 42 hingga 48 bulan. Umumnya balita mengamuk setidaknya

sekali sehari, seperti yang terjadi pada 20% anak usia dua tahun, 18% anak usia

tiga tahun, dan 10% anak usia empat tahun. Lima hingga tujuh persen anak

berusia satu hingga tiga tahun mengalami tantrum yang berlangsung setidaknya

lima belas menit tiga kali atau lebih perminggu. Anak-anak dengan defisit

bahasa atau autisme mungkin memiliki perilaku tantrum yang lebih sering dan

agresif karena frustrasi tambahan yang terkait dengan kesulitan

mengekspresikan diri. Peristiwa menahan nafas dapat terjadi selama tantrum

dan mempengaruhi 0,1 sampai 4,6% dari anak anak yang sehat. Mampu

menahan napas biasanya terjadi antara usia enam bulan dan lima tahun, dengan
onset antara 6 dan 18 bulan, dan menghilang pada usia lima tahun. Tidak ada

perbedaan yang terdokumentasi dalam prevalensi temper tantrum berdasarkan

jenis kelamin atau ras/etnis (Muizzulatif & Machmud, 2022)

Data orang tua dalam penanganan tantrum sering sekali merespon anak

dengan cara yang tidak tepat, yakni 59% mencoba menenangkan anak, 37%

mengacuhkan dan sebanyak 31% menyuruh anak diam. Data ini menunjukan

bahwa orang tua sering keliru ketika menghadapi anak yang mengalami

tantrum (Syarah, 2021).

Pola asuh merupakan suatu sistem atau cara pendidikan dan pembinaan

yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Pengasuhan (parenting) anak

adalah peran dalam kepemimpinan dan bimbingan kepada anak yang berkaitan

dengan kepentingan hidup, perkembangan, seperti masalah perkembangan

emosi yang biasanya muncul pada anak, dengan salah satu gangguan

diantaranya yaitu temper tantrum (Effendy & Sari, 2022).

Faktor orang tua yaitu pola asuh, cara orang tua mengasuh anak berperan

untuk menyebabkan tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu

mendapatkan apa yang diinginkannya, bisa tantrum jika permintaannya ditolak

(Effendy & Sari, 2022).

Pola asuh yang tidak benar, anak terlalu dimanjakan dan selalu

mendapatkan apa yang diinginkan, bisa mengalami temper tantrum ketika

permintaannya di tolak. Anak yang terlalu dilindungi dan didominasi oleh

orang tuanya, sekali waktu bisa bereaksi menentang dominasi orang tua dengan

perilaku tantrum. Temper tantrum bila tidak ditangani sejak dini, maka tantrum

yang buruk pada usia 3 tahun akan terbawa sebagai masalah sampai masa
dewasa atau mempengaruhi sikapnya dikemudian hari. Sebuah fakta penelitian

mengungkapkan bahwa anak yang pemarah (temper tantrum) sering tumbuh

menjadi orang dewasa yang pemarah (temper tantrum) pula (Effendy & Sari,

2022)

World Health Orgazation (WHO, 2017) balita yang biasannya mengalami

temper tantrum dalam waktu satu tahun, 23% sampai 83% dari anak usia 2

sampai 4 tahun pernah mengalami temper tantrum (Ilmiah et al., 2014).

Penelitian yang dilakukan di Chichago 50-80% tantrum ini terjadi pada usia 2-

3 tahun terjadi seminggu sekali, dan 20% terjadi hampir setiap hari, dan 3 atau

lebih tantrum terjadi selama kurang lebih 15 menit. Penelitian tentang perilaku

anak yang dilakukan Wakschalg dan timnya, pada 1.500 orang tua yang

memiliki anak usia 3-5 tahun mayoritas balita 83,7% terkadang mengalami

tantrum, 8,6% yang setiap hari marah dan mengamuk. Tantrum dipicu karena

anak capek atau frustasi (Syarah, 2021).

Hasil penelitian di Indonesia, balita yang biasanya mengalami ini dalam

waktu satu tahun, 23-83% dari anak usia 2 sampai 4 tahun pernah mengalami

tantrum (SKM, 2019).

Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di Puskesmas Mamboro

bahwa hasil wawancara peneliti pada 3 orang tua menyatakan bahwa

pemahaman tentang penanganan temper tantrum pada anak masih kurang.

Berdasarkan pengambilan data awal di Puskesmas Mamboro Didapatkan 57

anak usia (1-3) tahun yang sering mengalami perilaku temper tantrum fisik

maupun verbal.
Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik untuk mengambil

penelitian tentang “hubungann pola asuh orang tua dengan kejadian temper

tantrum pada anak usia toddler ( 1 – 3 ) di Wilayah Kerja Puskesmas Mamboro

Palu Utara”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah

adalah : bagaimana hubungan pola asuh orang tua dengan kejadian temper

tantrum padak anak usia toddler (1-3) di Wilayah Kerja Puskesmas Mamboro

Palu Utara.

C. Tujuan penelitian

Adapun ujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pola

asuh orang tua dengan kejadian temper tantrum pada anak usia toddler (1-3) Di

Wilayah Kerja Puskesmas Mamboro Palu Utara.

D. Manfaat penelitain

1. Poltekkes Kemenkes Palu

Hasil penelitian ini sebagai bahan referensi bagi mahasiswa Poltekkes

Kemenkes Palu khususnya Prodi Sarjana Terapan Keperawatan Palu dalam

menyususn hubungan pola asuh orang tua dengan kejadian temper tantrum

pada anak usia toddler (1-3) di Wilayah Kerja Puskesmas Mamboro Palu

Utara.

2. Puskesmas Mamboro

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan serta ilmu

pengetahuan dalam bidang Keperawatan anak mengenai temper tantrum

pada anak toddler.


3. Manfaat bagi peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pola asuh orang tua

dengan kejadian temper tantrum pada anak usia toddler, sehingga

menerapkan pengalaman ilmiah yang diperoleh untuk penelitian

selanjutnya.

4. Peneliti lain

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan dalam

pengembangan penelitian lebih lanjut tentang hubungan pola asuh orang tua

dengan kejadian temper tantrum pada anak usia toddler (1-3) di Wilayah

Kerja Puskesmas Mamboro Palu Utara


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Pola Asuh Orang Tua

1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua

Orang tua adalah bapak dan ibu kandung yang bertanggung jawab atas

keluarga. Orang tua mempunyai kedudukan berarti dalam keluarga, ialah

membimbing, mendidik, mendampingi anak sampai berusia dewasa.

Kedudukan orang tua sangat berarti dalam mempengaruhi perkembangan

serta pertumbuhan anak mengenai tugas yang wajib dijalankan oleh anak.

Pengasuhan merupakan asuhan yang diberikan orang tua ataupun penjaga

lain yang diberi tanggung jawab untuk mengasuh, merawat, mendidik,

membimbing, serta memberikan kasih sayang Seperti baby sister. Berbentuk

perilaku serta sikap dan kedekatannya dengan anak, membagikan makanan,

menjaga kebersihan, mengasihi serta lainnya (Lestari, 2020).

2. Model pola asuh orang tua

Mulyani (2018) jenis pola asuh untuk perkembangan emosi anak sebagai

berikut.

a. Pengasuhan otoriter

Pola asuh otoriter adalah gaya pengasuhan yang membatasi dan

memberi hukuman kepada anak, memaksa anak-anak mengikuti arahan

mereka serta menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Orang tua

dengan pola asuh otoriter, menerapkan batasan-batasan dan kontrol yang

tegas terhadap anaknya, dan sangat sedikit kemungkinan untuk bertukar

pendapat dan pikiran (Lestari, 2020).


Anak-anak dari orang tua otoriter sering kali tidak bahagia, sering kali

merasa takut dan ingin membandingkan dirinya dengan orang lain.

Dalam kehidupan sosialnya kemampuan komunikasi anak lemah Anak

laki-laki dengan orang tua otoriter dapat menjadi agresif terhadap teman

sebayanya dalam kehidupan sehari-hari (Lestari, 2020).

Semua jenis pola asuh otoriter ditandai dengan aturan yang keras dan

memaksa anak untuk menuruti perilaku yang diinginkan. Hukuman yang

berat akan diberikan apabila terjadi kegagalan dalam memenuhi standar,

atau sama sekali tidak adanya persetujuan, pujian atau tanda-tanda

penghargaan lainnya apabila anak memenuhi standar yang diharapkan.

Orang tua tidak mendorong anak untuk membuat keputusan mandiri

terkait dengan perilaku mereka. Sebaliknya, mereka hanya mengatakan

apa yang harus dilakukan. Oleh karena itu, anak-anak kehilangan

kesempatan untuk belajar bagaimana mengontrol perilakunya (Hurlock,

2017).

Orang tua otoriter cenderung mengontrol atau mengawasi. Mereka

tidak terbuka dengan pendapat anaknya dan sulit menerima saran. Untuk

mempengaruhi anaknya, mereka orang tua sering menggunakan metode

yang mengandung unsur paksaan dan ancaman. Peraturan yang dibuat

tidak dapat diubah oleh anak, komunikasi antara anak dan orang tua

seringkali tidak ada umpan balik. Hubungan antar orang tua dengan anak

cenderung renggang dan ada potensi berlawanan (Bahri, 2014).

Efek pengasuhan ini, antara lain anak mengalami inkompetensi sosial,

sering merasa tidak bahagia, kemampuan komunikasi lemah, tidak


proaktif dalam melakukan sesuatu, dan kemungkinan berperilaku agresif

(Soetjiningsih, 2016)

b. Pola asuh permisif

Pola asuh permisif ini merupakan salah satu metode pola asuh,

dimana orang tua tidak pernah berperan dalam kehidupan anak, kurang

disiplin. Biasanya metode pengasuhan ini tidak akan membimbing anak

dengan tegas, membebaskan segala perilaku yang disetujui secara sosial

dan tidak menggunakan hukuman. Orang tua membiarkan anak

menghadapi masalah dalam situasi sulit sendirian tanpa bimbingan atau

kontrol (Widiyanti, 2016). Anak dibiarkan melakukan kebebasan apapun

tanpa pengawasan dan bimbingan dari orang tua, orang tua cenderung

mengabaikan peran utama dalam mengasuh anak dan lebih

mementingkan ego mereka.

Wong (2015) menjelaskan bahwa dalam pola asuh jenis ini, orang

tua memiliki sedikit kontrol atas perilaku dan tindakan anak-anak

mereka. Orang tua yang bermaksud menjadi baik, bingung membedakan

antara sikap toleransi dan izin. Orang tua mengizinkan anak mereka

mengatur aktivitas sendiri sebanyak mungkin. Mereka memberlakukan

kebebasan pada anak dalam bertindak, disiplin yang konsisten, tanpa

menetapkan batasan-batasan yang wajar. Orangtua jarang menghukum

anak mereka karena sebagian besar perilaku dapat diterima. Mereka

sangat memanjakan dan menuruti semua keinginan anaknya. Anak dari

orang tua yang permisif sering kali tidak patuh, tidak hormat kepada
yang lebih tua, kurang percaya diri, tidak bertanggung jawab, dan sering

lalai dalam mematuhi peraturan (Darmastuti, 2020).

Pola asuh permisif dapat dibedakan menjadi pola asuh pengabaian

(neglectful) dan pola asuh yang dimanjakan (indulgent). Pola pengasuhan

pengabaian (neglectful) yaitu, orang tua tidak memanjakan anak dan

membebaskan anak untuk bertindak sesuai dengan keinginannya sendiri.

Pola pengasuhan yang dimanjakan (indulgent) yaitu, orang tua memang

menunjukkan dukungan emosional kepada anaknya, namun mereka

kurang memiliki kontrol pada anaknya (Damayanti, 2019).

Ciri-ciri perilaku anak dalam pengasuhan orang tua yang

menggunakan pola asuh permisif ini, cenderung rentan terhadap impulsif

dan agresif, sifat pemberontak, kurang percaya diri dan pengendalian

diri, suka mendominasi, tidak memiliki tujuan hidup yang jelas, prestasi

yang rendah, sering melakukan pelanggaran-pelanggaran yang ada

(Yusuf, 2017).

c. Pola Asuh Demokratif

Pola asuh demokratif merupakan salah satu pola asuh yang

mendorong anak menjadi lebih mandiri, namun masih menunjukkan

batasan dan kontrol atas tindakan mereka. Orang tua demokratis

mengedepankan komunikasi verbal, saling memberi dan menerima, dan

orang tua sangat hangat terhadap anak-anaknya. Orang tua yang

Demokratif dapat merangkul anak-anak mereka dengan cara menghibur.

Orang tua sangat memperhatikan kebutuhan anaknya, dan mencukupinya

dengan memperhatikan minat dan kebutuhannya (Lestari, 2020). Orang


tua dengan tipe pola asuh seperti ini selalu mendorong anaknya untuk

melakukan sesuatu tanpa menggunakan perintah dan memberikan

dukungan kepada anak (Ningrum, 2020)

Wong (2015) menjelaskan bahwa pola asuh demokratis merupakan

salah satu metode pola asuh yang menuntun perilaku dan sikap anak

dengan menekankan alasan peraturan dan mengizinkan mereka untuk

menyatakan keberatannya terhadap peraturan keluarga. Kontrol orang tua

yang kuat dan konsisten, tetapi disertai dengan dukungan, pengertian,

dan keamanan. Standar realistis orang tua dan ekspektasi yang wajar

menghasilkan anak dengan harga diri yang tinggi dan sangat interaktif

dengan anak lain (Darmastuti, 2020).

Pola asuh jenis ini berusaha membimbing anaknya secara rasional,

berorientasi pada masalah yang dihadapi, menghargai interaksi satu sama

lain, menjelaskan alasan rasional yang mendasari setiap permintaan atau

disiplin, tetapi juga menggunakan kekuasaan bila perlu, mengharapkan

anak untuk mematuhi orang dewasa tetapi juga mengharapkan anak

untuk mandiri dan mengarahkan diri sendiri, saling menghargai antara

anak dan orangtua, memperkuat standar berperilaku. Orangtua tidak

mengambil sikap mutlak, juga tidak hanya mendasarkan pada kebutuhan

anak semata (Damayanti, 2019).

Efek pengasuhan demokratif, yaitu anak mempunyai kemampuan

social dengan percaya diri, dan bertanggung jawab, tampak ceria, bisa

mengendalikan diri dan mandiri, berorientasi pada prestasi,

mempertahankan hubungan rukun dengan teman sebaya, mampu bekerja


sama dengan orang dewasa, dan mampu mengatasi stress atau tekanan

dengan baik (Soetjiningsih, 2016).

3. Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Anak

Orang tua dipengaruhi oleh beberapa hal dalam praktik pengasuhan di

lingkungan keluarga. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua

terhadap anak menurut Hurlock (2017) adalah :

a. Kesamaan dengan disiplin yang digunakan orang tua.

Pola asuh yang diberikan orang tua dengan baik, maka akan mereka

terapkan juga pada anak mereka nantinya, namun sebaliknya jika kurang

sesuai maka akan digunakan cara yang berlawanan.

b. Penyesuaian dengan cara yang disetujui kelompok

Semua orang tua lebih dipengaruhi oleh apa yang anggota kelompok

mereka anggap sebagai cara “terbaik”, dari pada oleh pendirian mereka

sendiri mengenai apa yang terbaik.

c. Usia orang tua

Usia orangtua yang lebih muda, cenderung demokratis dan permisif

dibandingkan dengan orangtua yang memiliki usia lebih tua. Mereka

cenderung mengurangi kendali ketika anak beranjak remaja

d. Pendidikan untuk menjadi orang tua

Orang tua yang mempelajari cara mengasuh anak dan mengerti

kebutuhan anak akan lebih menggunakan pola asuh yang demokratis dari

pada orang tua yang tidak mempelajari cara mengasuh anak.


e. Jenis kelamin

Wanita pada umumnya lebih mengerti anak dan kebutuhannya

dibanding pria, dan mereka cenderung kurang otoriter. Hal ini berlaku

untuk orang tua maupun pengasuh lainnya,

f. Status sosial ekonomi

Orang tua dari kalangan menengah kebawah akan lebih otoriter dan

memaksa dari pada mereka yang menengah ke atas. Semakin tinggi

pendidikan pola asuh yang digunakan semakin cenderung demokratis.

g. Jenis kelamin anak

Orang tua pada umumnya akan lebih keras terhadap anak perempuan

dari pada anak laki-lakinya.

h. Usia anak

Pola asuh otoriter digunakan untuk anak kecil. Karena anak-anak

tidak mengerti penjelasan sehingga mereka memusatkan perhatian pada

pengendalian otoriter.

i. Pengasuh pendamping

Orang tua yang sering kali memberikan kepercayaan pengasuhan anak

mereka kepada nenek, tante, atau keluarga dekat lainnya, biasanya anak

akan memperoleh jenis pengasuhan yang kompleks sehingga

pembentukan kepribadian anak tidak sepenuhnya berasal dari pola asuh

orang tua kandung

j. Agama atau keyakinan


Nilai-nilai agama juga mempengaruhi pola asuh anak, semakin kuat

keyakinan orang tua semakin kuat pula pengaruhnya dalam mengasuh

anak

4. Cara Menentukan Pola Asuh Orang Tua

Cara menentukan jenis pola asuh orang tua menurut Hurlock (2017)

dengan menggunakan beberapa cara, yaitu sebagai berikut :

a. Ciri perilaku orang tua dalam keluarga dengan menggunakan pola asuh

otoriter

1) Segala bentuk peraturan dalam keluarga ditentukan oleh orang tua

2) Peraturan yang telah ditentukan dalam keluarga harus dipatuhi tanpa

terkecuali

3) Anak tidak diberi penjelasan tentang alasan dibuatnya peraturan

tersebut

4) Anak tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya

tentang peraturan yang ditetapkan

5) Kehendak atau kemauan orang tua adalah tugas dan kewajiban anak

6) Hukuman apabila melanggar peraturan berupa hukuman fisik

7) Orang tua terlalu mengekang anak dalam bergaul dan memilih teman

8) Anak harus menuruti kehendak orangtua tanpa peduli keinginan dan

kemampuan anak, tetapi orang tua tetap memberi kesempatan anaknya

untuk berdialog, mengeluh dan mengemukakan pendapat

9) Orang tua menetapkan aturan bagi anak dalam berinteraksi dan aturan

tersebut harus ditaati walaupun tidak sesuai keinginan anak


10) Orang tua memberi batasan anak nya untuk berinteraksi dalam

kegiatan kelompok

11) Anak dituntut untuk bertanggung jawab dalam tindakan yang

dilakukannya

b. Ciri perilaku orang tua dalam keluarga dengan menggunakan pola asuh

Permisif

1) Tidak pernah ada peraturan dari orang tua. Orang tua tidak menegur

atau memperingatkan anak dan sedikit memberikan bimbingan.

2) Anak tidak pernah dihukum walaupun anak sudah berperilaku diluar

batas kewajaran, orang tua tidak pernah menegur atau tidak berani

menegur perilaku anak

3) Tidak ada pujian yang diberikan orang tua kepada anak ketika anak

mendapat prestasi atau hal baik lain

4) Anak diberi kebebasan untuk menentukan kemamuanya

5) Orangtua bersikap acceptance tinggi namun kontrolnya rendah, anak

diizinkan membuat keputusan sendiri dan dapat berbuat

sekehendaknnya sendiri

6) Orangtua kurang menerapkan hukuman atau bahkan hampir tidak

menerapkan hukuman ketika anak melakukan kesalahan

c. Ciri perilaku orangtua dalam keluarga dengan menggunakan pola asuh

Demokratif

1) Orangtua sebagai penentu peraturan Semua peraturan bersumber dari

orang tua dan anak harus menuruti peraturan tersebut


2) Anak memiliki kesempatan untuk menanyakan alasan dibuatnya

peraturan

3) Anak boleh ikut andil dalam mengajukan keberatan dalam peraturan

yang ada

4) Anak diberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan kontrol

internal

5) Anak dilibatkan dalam pengambilan keputusan

6) Orang tua menetapkan peraturan serta mengatur kehidupan anak.

Orangtua akan memberikan kehidupan fisik apabila anak terbutki

dengan sadar menolak melakukan apa yang telah disetujui, sehingga

lebih bersikap edukatif.

7) Orang tua memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-

ragu mengendalikan mereka Bersikap realistik terhadap kemampuan

anak dan tidak berharap berlebihan terhadap kemampuan anak.

B. Konsep Temper

1. Defenisi Temper Tantrum

Temper tantrum adalah episode dari kemarahan dan frustasi yang

ekstrim yang tampak seperti kehilangan kendali seperti dicirikan oleh

perilaku menangis, berteriak, dan gerakan tubuh yang kasar atau agresif

seperti membuang barang, berguling di lantai, membenturkan kepala, dan

menghentamkan kaki kelantai, pada anak yang lebih kecil (lebih mudah)

biasanya sampai muntah, pipis, atau bahkan sesak karna terlalu banyak

menangis dan berteriak. Dan kasus tertentu ada pula anak yang sampai
menenadang atau memukul orang tua atau orang dewasa lainnya misalnya

pada baby sister (Yulia et al., 2021)

Temper tantrum dapat didefinisikan sebagai amarah yang kuat yang

dapat terjadi pada semua tahap usia. Anak yang mengalami tantrum adalah

anak yang marah secara berlebihan. perilaku ini sering terjadi pada usia 0-6

tahun, kebiasaan mengamuk akan lebih sering dilakukan bila anak tahu

bahwa cara ini dapat memenuhi keinginannya, semakin sering anak tantrum

maka semakin tinggi kecenderunganya untuk kembali melakukan hal

tersebut. Anak memanfaatkan tantrum ketika dia perlu berkomunikasi,

mengeluh, atau melampiaskan energi dan emosinya yang terpendam

(Alifiani 2017).

Temper tantrum anak dikategorikan normal apabila memiliki ciri ciri

yang tergolong dalam kategori usia, perilaku, durasi, frekuensi dan keadaan

mood sebagai berikut. Temper tantrum dialami pada anak dengan rentang

usia 12 bulan dan akan berakhir pada usia 4 tahun.hal tersebut di

ekspresikan dengan perilaku menangis, meronta, menjatukan diri kelantai,

mendorong, menarik, atau mengigit objek Temper tantrum normal hanya

berdurasi hingga 15 menit dan berlangsung kurang dari 5 kali dalam sehari.

Anak akan mampu mengembalikan suasana hatinya ke dalam keadaan

normal (Widyaninta, 2017).

Temper tentrum anak dikategorikan abnormal apabila masih

mengalaminya diatas usia 4 tahun anak mengespresikan temper tantrum

disertai perilaku melukai diri sendiri orang lain, atau memiliki intensitas

tentrum berlebihan durasi tentrum anak melebihi 15 menit dan berlangsung


lebih dari 5 kali dalam sehari anak akan menunjukan suasana hati yang

secara terus menerus negative dalam tentrumnya (Widyanninta 2017)

Tenper tantrum berdasarkan uraian beberapa pengertian di atas

merupakan pengungkapan perasaan emosi dengan tidak terkendali, yang

bertujuan agar anak dapat menyampaikan apa yang dia inginkan biasanya

temper tantrum terjadi pada entang usia 0-6 tahun, yang ditandai dengan

menjerit jerit, menangis, melempar benda, berguling guling, memukul

dikatakan normal apabila durasi kurang dari 15 menit dengan frekuensi

kurang dari 5 kali dalam sehari, serta dikatakan abnormal apabila tentrum

terjadi lebih dari 15 menit dengan frekuensi lebih dari 5 kali sehari.

2. Ciri –ciri Temper Tantrum

Pendapat Hanura (2017), bahwa tantrum terjadi pada anak yang aktif

dengan energi yang berlimpah. Tantrum juga lebih mudah terjadi pada anak-

anak yang dianggap lebih sulit, dengan ciri-ciri sebagai berikut:

a. Memiliki kebiasaan tidur, makan, dan buang air besar tidak teratur

b. Sulit menyukai situasi, makanan, dan orang-orang baru

c. Lambat beradaptasi terhadap perubahan

d. Suasana hati lebih sering negative

e. Mudah terprovokasi, gampang merasa marah dan kesal

f. Sulit dialihkan perhatiannya.

anak usia 3-5 tahun, ledakan tantrum sedikit berkurang dari usia 1-3

tahun, karna anak sudah mulai mengendalikan, emosinya, menurut Iroe

(2018) juga menjelaskan mengenai macam macam temper tantrum yakni


a. Aggressive destructive (perbuatan yang merusak) yang terdiri dari

menenandang orang lain,memukul orang lain, memukul benda,

memecahkan benda

b. Self-injurious (yang merugikan diri sendiri) yang terdiri dari memukul

diri sendiri, membenturkan kepala, menahan nafas, menggigit diri

c. Non-destructive aggression (perbuatan yang tidak merusak) yang terdiri

dari menendang yang tidak langsung, hentak kaki, memukul tembok

d. Oral aggression (perbuatan dari mulut) yang terdiri dari menggigit yang

lain dan meludahi orang lain sudah

Beberapa pendapat diatas yaitu. Ciri ciri anak tentrum yakni menangis,

berteriak teriak, menghentak hentakan kaki, mudah tersingung, marah yang

berlebihan, memukul diri sendiri, memukul orang lain, meninju orang lain,

mengigit diri sendiri, maupun orang lain, dan meludahi orang lain. Durasi

dari tentrum pada setiap anak berbedah beda berdasarkan usia menurut fitri

(2018), dikategorikan pada anak usia 1 tahun dengan frekuensi 8 kali

perminggu selama 2 menit. Usia 2 tahun selama frekuensi 9 kali perminggu

selama 4 menit, usia 3 tahun dengan frekuensi 6 kali perminggu selama 4

menit, usia 4 tahun dengan frekuensi 5 kali permnggu selama 5 menit

3. Penyebab Tantrum

Kejadian temper tantrum sering terjadi pada rentang usia 0-6 tahun,

pada usia tersebut anak lebih suka bereksplorasi berbagai hal. Rasa

keningintahuan anak yang tinggi untuk mengetahui sesuatu akan membuat

anak ingin belajar mengunakan pengetahuannya sendiri. Anak biasanya

bersifat individu, mereka ingin lebih dari kemampuan dirinya dalam


mengatur secara fisik dan emosional, bila anak tidak mampu maka, dapat

menyebabkan anak frustasi dan diekspresikan dengan berbagai cara. Temper

tantrum sering terjadi karena anak frustasi dengan keadaannya, dan tidak

mampu mengepresikan dengan kata kata sesuai yang diharapkan, sehingga

terjadilah ledakan emosi yang tidak terkendali (Hanura 2017).

Tantrum sering terjadi pada anak anak yang terlalu di manjakan

(overindulgen) atau orang tua yang terlalu mencemaskan (oversolicitous),

situasi yang menimbulkan temper tantrum menurut Hurlock (2017), antara

lain:

a. Rintangan terhadap gerak yang diinginkan anak, baik rintangan itu

berasal dari orang lain atau dari kemampuan sendiri

b. Rintangan terhadap aktifitas yang sudah mulai berjalan

c. Rintangan terhadap keinginan, rencana, dan niat yang ingin di lakukan

anak

d. Beberapa penyebab temper tantrum menurut iroe (2018) yaitu, antara

lain:

1) Mencari perhatian

2) Meminta sesuatu yang tidak bisa ia miliki

3) Ingin menunjukan kemandirian

4) Frustasi dengan kemauan yang terbatas untuk melakukan aktifitas

5) Cemburu

6) Menantang otoritas

7) Semata mata keras kepala


pendapat lain dari penyebab terjadinya tantrum lainnya menurut lestari

(2020), antara lain :

a. Terhalangnya keinginan untuk mendapatkan sesuatu

b. Ketidakmampuan anak mengungkapkan dirinya

c. Tidak terpenuhinya kebutuhan

d. Pola asuh orang tua

e. Anak merasa lelah, lapar atau dalam keadaan sakit yang anak menjadi

rewel

f. Anak sedang stress dan tidak merasa aman.

Kesimpulan dari beberapa sumber di atas, bahwa faktor penyebab

anak mengalami temper tantrum yaitu, antara lain :

a. Faktor keadaan fisik anak, yaitu anak merasa tdk nyaman, sakit, lelah

atau lapar

b. Faktor keadaan psikologi anak, yaitu kekecawaan karena anak

mengalami kegagalan dalam kemampuannya melakukan suatu hal, orang

tua lebih terlalu melindungi atau tidak memberikan kebebasan, dan orang

tua terlalu menuntut anak sesuai harapan orang tua

c. Faktor dari orang tua, yaitu pola pengasuhan dari orang tua

d. Faktor lingkungan, yaitu dari lingkungan keluarga dan lingkungan rumah

sekitar

e. Faktor faktor yang mempengaruhi perilaku temper tantrum

Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku temper tantrum pada

anak diantaranya yaitu faktor keadan fisik anak seperti merasa tidak

nyaman, sakit, lelah atau lapar. Faktor keadan fisiologi antara lain
kekecewaannya anak akan kegagalanya melakukan sesuatu, orang tua

terlalu melindungi atau tidak memberikan kebebasan dan orang tua terlalu

menuntut anak sesuai harapan. Faktor orang tua seperti pengasuhan orang

tua, serta faktor lingkungan yaitu baik dari lingkungan keluarga maupun

lingkungan tempat tinggal (Hanura, 2017).

Sebagai contoh anak yang aktif membutuhkan ruang anak untuk

leluasa bergerak dan tidak bisa diam dalam waktu yang terlalu lama, apa

bila anak dalam perjalanan jauh atau sedang berada di tempat umum yang

mengharuskan anak harus tetap diam dalam waktu lama maka anak akan

merasa stres dan salah satu pelampiasan stresnya adalah tantrum. Begitulah

anak dalam kondisi sakit, lelah serta lapar serta anak yang tidak pandai

mengungkapkan perasaan dan menyebabkan anak menjadi rewel, menangis

serta serta bertindak agresif, anak yang sulit beradaptasi dengan lingkungan

baru akan merasa terancam dan tidak nyaman, apalagi yang sulit untuk

dialihkan perhatiannya oleh orang tua akan memicu terjadinya temper

tantrum (Hanura,2017).

4. Upaya Untuk Menanggulangi Perilaku Tantrum Pada Anak

wulansari (2015) mengatakan bahwa upaya untuk mengatasi perilaku

temper tantrum yaitu, dengan cara:

a. Dengan memuji anak

b. Dengan mengalikan perhatiannya ke hal lain seperti melihat sesuatu yang

menarik

c. Dengan menuruti apa yang anak inginkan


d. Pendapat lain dari suhartini (2017), mengatakan bahwa beberapa hal

yang dapat dilakukan orang tua untuk mengatasi tantrum pada

anak ,antara lain :

1) Mencoba mengerti dan memahami tantrum yang terjadi pada saat

anak marah besar, ketika anak menunjukan tantrum palsu, orang tua

hendanknya mnegabaikan, tdk melihat melihat kearah anak, dan

bersikap tenang dan tetap melakukan pekerjaan. jangan membiarkan

atau mengabaikan anak jika anak menunjukan kefrustasian, orang tua

sebaikan membantu memecahkan masalahnya. Beri anak motifasi

apabila anak tidak bisa memecahkan masalahnya agar anak mampu

mengungkapkan dengan bahasanya sendiri, sehinga orang tua dapat

mengerti dengan keinginan anak dengan baik.

2) Mencatat hal hal yang dapat mengakibatkan anak berperilaku temper

tantrum

3) Mengendalikan diri

4) Jangan beragumentasi atau mencoba menjelaskan tindakan. Anak

yang mengalami tantrum yang tinggi tidak dapat mengerti atau

mendengar apa yang dikatakan orang tua.

5) Tidak memberikan penghargaan atau menuruti permintaannya ketika

anak tantrum dengam maksud agar anak berhenti.

6) Jangan membiasakan memberi obat obatan untuk menghentikan emosi

anak saat anak tantrum, biasakan anak untuk mengedalikan emosinya

dengam menjelaskan keinginannya melalui kata kata.


7) Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan

bahwa apabila anak mengalami tantrum, hal yang harus dapat

dilakukan adalah dengan mengalikan perhatiannya ke hal yang

menarik seperti bermain, memilih film kartun kesukaannya, atau

aktifitas yang digemari, pahami jenis tantrum anak, tunggu tantrum

usai tampa melakukan intervensi hinga tantrum anak meredah dengan

sendirinya serta berikan pelukan sambil memberikan kata kata positif,

latih anak untuk mengendalikan emosinya dengan menjelaskan

keinginannya dengan kata kata

C. Konsep Anak Usia Tumbuh kembang Anak Usia Toddler

1. Pengertian Anak Usia Toddler

Pengertian Anak Usia Toddler adalah Anak usia toddler adalah anak

usia 12-36 bulan (1-3 tahun). Pada periode ini akan berusaha mencari tahu

bagaimana sesuatu bekerja dan bagaimana mengontrol orang lain melalui

kemarahan, penolakan, dan tidakan keras kepala. Hal ini merupakan periode

yang sangat penting untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan

intelektual secara optimal Maryunani (2014)

2. Perkembangan Anak Usia Toddler

Perkembangan Anak Usia Toddler Menurut Maryunani (2014)

menyatakan bahwa perkembangan anak usia toddler meliputi :

a. Perkembangan Psikososial

Tinjauan Erikson (perasaan malu dan ragu-ragu)

1) Toddler dapat mengembangkan rasa malu dan ragu jika orang tua

membiarkan toddler bergantung pada orang tua.


2) Toddler cenderung aktif dalam segala hal, sehingga orang tua

dianjurkan untuk tidak terlalu membatasi ruang gerak serta

kemandirian anak.

3) Toddler sering menggunakan kata “tidak” bahkan ketika bermaksud

“ya” untuk mengungkapkan kemandirian atau kebebasannya (perilaku

negativistik).

b. Rasa Takut dan mekanisme koping

Rasa takut umumnya pada toddler antara lain:

1) Kehilangan orang tua (dikenal dengan ansietas perpisahan), ansietas

terhadap orang lain, suara-suara yang keras (seperti vacum cleaner),

pergi tidur

2) Mekanisme koping yang dilakukan oleh anak usia toddler untuk

mengatasi ketakutannya adalah menanyakan pertanyaan,

menginginkan perintah, memegang mainan, mempelajari dengan uji

coba, menunjukkan ledakan amarah, menggunakan, agresi/

penyerangan, mengisap jempol, menarik diri dan agresi

c. Bermain dan mainan

1) Toddler terlibat dengan permainan parallel, yaitu bermain

berdampingan, tapi tidak dengan yang lain. Meniru adalah salah satu

bentuk permainan yang paling umum.

2) Tujuan mainan adalah untuk meningkatkan keterampilan lokomotor

(mainan yang ditarik dan didorong) untuk meningkatkan imitasi

(meniru), perkembangan bahasa dan keterampilan motorik kasar dan

halus.
d. Perkembangan Motorik Menurut Cahyaningsih (2011) menyatakan

perkembangan motorik pada usia toddler terbagi menjadi 2 bagian yaitu:

1) Motorik Kasar

a) Berjalan tanpa bantuan pada usia 15 bulan

b) Berjalan menaiki tangga, berpegangan satu tangan pada usia 18

bulan.

c) Berjalan dan menuruni tangga dengan satu langkah pada usia 24

bulan.

d) Toddler melompat dengan 2 kaki pada usia 30 bulan.

2) Motorik Halus

a) Membangun menara 2 blok dan mencoretcoret secara spontan

pada usia 15 bulan

b) Membangun menara 3-4 blok pada usia 18 bulan.

c) Meniru coretan ventical pada usia 24 bulan.

d) Membangun menara 8 blok dan meniru tanda silang pada usia 30

bulan

D. Kerangka Konsep

Dalam penelitian ini peneliti menyusun kerangka konsep mengenai

Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Kejadian Temper Tantrum Pada

Anak Usia Toddler (1-3) di Wilayah Kerja Puskesmas Mamboro Palu Utara

Variabel Independen (bebas) dalam kerangka konsep ini yaitu pola asuh

orang tua sedangkan Variabel Dependen (terikat) yaitu temper tantrum pada

anak usia toddler, adapun lebih jelasnya dapat dilihat kerangka konsep 2.1 di

bawah ini
Variable Independen Variabel Dependen

Temper tantrum pada anak


Pola asuh orang tua
usia toddler

1. Terhalangnya keiinginan
untuk mendapatkan
sesuatu

2. Ketidak mampuan anak


mengungkapkan dirinya

3. Tidak terpenuhinya
kebutuhan

4. Pola asuh orang tua

5. Anak merasa lelah, lapar


atau dalam keadaan
sakit yang anak menjadi
rewel

6. Anak sedang stress dan


tidak merasa aman

Gambar 2.1 Kerangka Konsep

E. Hipotesis

Hipotesis merupakan pernyataan sementara yang perlu di uji

kebenrannya. Hipotesis didalam penilitian berarti jawaban sementara

penilitian yang kebenaranya akan di buktikan dalam penilitian tersebut,

dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru berdasarkan pada

teori dan belum menggunakan fakta atau data. setelah melalui pembuktian

dari hasil penilitian maka hipotesis dapat disimpulkan benar atau salah,

diterimah atau tolak. (agus Riyanto, 2022)


1. Hipotesis alternative (Ha) yaitu : ada hubungan pola asuh orang tua dengan

kejadian temper tantrum pada anak usia toddler (1 – 3) di wilayah Kerja

puskesmas mamboro palu utara

2. Hipotesis nol (Ho) yaitu : Tidak ada hubungan pola asuh orang tua dengan

kejadian temper tantrum pada anak usia toddler (1 – 3) di wilayah kerja

puskesmas mamboro palu utara


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini yaitu metode kuantitatif analitik yaitu penelitian yang

dilakukan untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan kejadian

temper tantrum pada anak usia toddler (1 – 3) di wilayah kerja puskesmas

mamboro palu utara dengan pendekatan cross sectional, yaitu dalam

pengumpulan data baik variable independen maupun dependen dikumpulkan

dalam waktu bersamaan (Notoatmodjo,2014).

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat

Tempat penelitian ini akan dilakukan diwilayah kerja puskesmas mamboro

palu utara

2. Waktu

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan maret 2023

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

merupakan seluruh subjek (manusia, binatang, percobaan, data

laboratorium,dll) yang akan diteliti dan memenuhi karakteristik yang di


tentukan (Riyanto, 2022) populasi pada anak usia toddler dalam penelitian

ini yaitu berjumlah 57 orang

2. Sampel

Sampel murupakan sebagian dari populasi yang diharapkan dapat

mewakili atau representative populasi (Riyanto, 2022). Sampel dalam

penelitian ini adalah orang tua yang mempunyai anak toddler di Puskesmas

Mamboro Palu Utara.

Jumlah sampel diketahui dengan rumus Slovin (Sugiyono, 2018) yaitu :

Rumus :

n=

1+N (d)²

Keterangan :

N = Besar Populasi

n = Besar Sampel

d = Tingkat Signifikasi (p)

n=

1+N (d)²

57

n=

1+57 (0,10)²
57

n=

1+57 (0,01)

57

n=

1+0,57

57

n= = 36,30 n = 36 Responden

1,57

sampel dalam penelitian ini adalah 36 sampel, untuk mengambil

sampel pada masing-masing mempunyai kesempatan yang sama untuk

dijadikan sampel.

3. Cara Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan teknik

Simple random sampling. yaitu pengambilan anggota sampel dari populasi

dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi

itu (Sugiyono, 2018).

D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah pola asuh orang tua sebagai

variabel Independent (bebas) dan temper tantrum sebagai variabel

dependent (terikat).

2. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan definisi variabel-variabel yang akan di

teliti secara operasional di lapangan. definisi operasional bermanfaat untuk

mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel-

variabel yang di teliti serta untuk pengembangan instrumen. (agus Riyanto,

2022)

a. Temper tantrum

Definisi temper tantrum merupakan pengunkapan perasaan

emosi dengan tidak terkendali, pada anak usia toddler (1-3) yang

bertujuan agar anak dapat menyampaikan apa yang dia inginkan

Alat ukur : Kusioner

Cara ukur : Pengisian kusioner

Skala ukur : Ordinal

Hasil : Baik jika nilainya ¿ median

Kurang baik jika nilainya ≤ median

b. Pola asuh

Pola asuh yang di berikan kepada orang tua merupakan tindakan

yaitu mendidik terus membimbing dan memberikan kasih sayang yang

dilakukan oleh orang tua kepada anaknya

E. Tehnik Pengumpulan Data

1. Data yang akan digunakan oleh peneliti ini yaitu data primer
Data primer merupakan data yang dikumpulkan oleh peneliti terhadap

sasaran atau responden (Agus Riyanto, 2022). Data primer dalam penelitian

ini diperoleh dengan cara menyebarkan kuisioner kepada orang tua yang

mempunyai anak temper tantrum di puskesmas wilayah kerja mamboro palu

utara

2. Data yang akan digunakan oleh peneliti ini yaitu data sekunder

Data sekunder adalah data yang diambil dari orang lain atau tempat

lain dan bukan dilakukan oleh peniliti sendiri, biasanya data tersebut sudah

dikompilasi lebih dahulu oleh instanssi atau orang yang mempunyai data.

Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari studi pustaka, (Riyanto,

2022). Data sekunder dalam penelitian ini yaitu berupa data awal dan data-

data yang di ambil melalui internet dan skripsi orang lain

F. Pengolahan Data

(Riyanto, 2022) menyatakan data yang masih mentah (Raw data) harus

diolah sedemikian rupa sehingga menjadi informasi yang akhirnya dapat

digunakan untuk menjawab tujuan penilitian. agar analisis menghasilkan

informasi yang benar, ada empat tahapan dalam mengolah data, yaitu

1. Editing, yaitu merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isi

kuesioner apakah kuesioner sudah diisi dengan lengkap, jelas jawaban dari

responden, relevan jawaban dengan pertanyaan.

2. Coding, yaitu merupakan merubah data berbentuk huruf menjadi data

berbentuk angka/bilangan.
3. Processing/Entry data, yaitu merupakan data yang sudah di koding maka

langkah selanjutnya menglakukan entry data atau memasukan data dari

kuesioner ke dalam program komputer.

4. Cleaning, yaitu merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di

entry apakah ada kesalahan atau tidak

G. Analisa Data

1. Analisa Univariat

Anlisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian. Umumnya anlisis ini hanya

menghasilkan distribusi frekuensi dan presentase dari tiap variabel

(Notoatmodjo, 2018).

f
p= ×100 %
n

Keterangan :

p = Presentase

f = Frekuensi jawaban responden

n = Jumlah responden

2. Aalisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan terhadap 2 variabel yang diduga

berhubungan atau berkorelasi. Analisis data bivariat dalam penelitian ini

mengunakan skala ordinal dan nominal dengan sampel lebih dari 50, maka

akan mengunakan perhitungan dengan rumus uji square karna berskala

ordinal berdasarkan dalam uji tersebut dapat diputuskan (Notoatmodjo,

2018).

a. Menerima hipotesis penelitian (Ha), bila diperoleh ᵖ ≤ 0,05


b. Menolak hipotesis penelitian (Ho), bila diperoleh ᵖ ≤ 0,05

H. Penyajian Data

Hasil penelitian yang akan disajikan dalam bentuk tabel adalah berupa

penyajian yang sistematik dari pada data numerik, yang tersusun dalam kolom

atau jajaran dan disamping itu juga disajikan dalam bentuk taks (textular) yaitu

penyajian data hasil penelitian dalam bentuk dalam uraian kalimat

I. Etika Penelitian

Notoatmodjo (2014) bahwa ada empat prinsip yang harus dipegang teguh

dalam melaksanakan sebuah penelitian yakni :

1. Menghormati harkat dan martabat manusia

Peneliti harus mempertimbangkan hak-hak subyek penelitian untuk

mendapatkan informasi tentang tujuan penelitian tersebut. Disamping itu,

peneliti juga memberikan kebebasan kepada subyek untuk memberikan

informasi. Oleh karena itu setidaknya mempersiapkan formulir persetujuan

subyek yang mencakup penjelasan manfaat penelitian.

2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subyek penelitian

Setiap orang mempunyai hak-hak dasar individu termasuk privasi dan

kebebasan individu dalam memberikan informasi. Oleh sebab itu peneliti

tidak boleh menampilkan informasi mengenai identitas dan kerahasiaan

identitas subyek.

3. Keadilan dan keterbukaan

Prinsip keadilan dan keterbukaan perlu dijaga oleh peneliti dengan

kejujuran, keterbukaan, dan kehatihatian. Untuk itu lingkungan penelitian

perlu dikondisikan sehingga memenuhi prinsip keterbukaan, yakni dengan


menjelaskan prosedur penelitian. Prinsip keadilan ini menjamin bahwa

semua subyek penelitian memperoleh perlakuan dan keuntungan yang sama,

tanpa membedakan jender, agama, etnis, dan sebagainya.

4. Memperhatikan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan

Masyarakat pada umumnya, dan subyek penelitian pada khususnya.

Peneliti hendaknya berusaha meminimalkan dampak yang merugikan bagi

masyarakat pada umumnya, dan subyek penelitian pada khususnyaOleh

karena itu, pelaksanaan penelitian harus dapat mencegah atau paling tidak

mengnnurangi rasa sakit, cidera atau stres subyek penelitian


DAFTAR PUSTAKA

Agus Riyanto, A, 2022. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta,

Nuha Medika.

______, 2022. Pengolahan dan Analisis Data Kesehatan. yogyakarta, Nuha

Medika.

______, 2022. Statistik Deskriptif Untuk Kesehatan. yogyakarta, Nuha Medika.

Alifiani, HA. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Temper Tantrum Pada

Anak Usia Dini Di Taman Kanak-Kanak Kota Malang. (Skripsi).

Malang.Universitas Brawijaya. 2017

Bahri, S. Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi Dalam Keluarga.

Jakarta:Rienika Cipta. 2014

Bantul, B. B. (n.d.), 2018. Hubungan pola asuh orang tua dengan kejadian

temper tantrum pada usia toddler di dukuh pelem kelurahan baturetno

banguntapan bantul Nisaus Zakiyah. 027, 62–71.

Darmastuti. Hubungan Pola Asuh Orangtua Dengan Sulit Makan Pada Anak

Pra Sekolah Usia (3-6 Tahun).(Skripsi). Magelang. Poltekes Kemenkes

Semarang;2020.

Effendy, H. V., & Sari, S. M. (2022). Efektifitas Pola Asuh Orang Tua Dengan

Kejadian Temper Tantrum Pada Anak Usia 3-4 Tahun. Journals of Ners

Community,13(1),18–26.

https://doi.org/10.55129/jnerscommunity.v13i1.1635

Fakriyatur, A., & Damayanti, A. K. (2019). Hubungan Antara Pola Asuh Orang

Tua Otoriter Dengan Temper Tantrum Pada Anak Usia Prasekolah.

Psikovidya, 22(2), 144–163. https://doi.org/10.37303/psikovidya.v22i2.110


Fitri, Lisca N. Hubungan Fungsi Afektif Keluarga Dengan Perilaku Temper

Tantrum Anak Usia 3-5 Tahun DI Kecamatan Patrang Kabupaten Jember.

(Skripsi). Jember. Fakultas Keperawatan Universitas Jember. 2018

Hanura, Andra FRD. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan kejadian Temper

Tantrum Pada Anak Usia PraSekolah (3-5 tahun) di Paud Pelangi II Desa

Kepel Kec.Kare Kab.Madiun. (Skripsi). Madiun. Stikes Bhakti Husada Mulia

Madiun. 2017

Harimukthi, M. T., & Dewi, K. S. (2014). Eksplorasi kesejahteraan psikologis

individu dewasa awal penyandang tunanetra. 13(1), 64–77.

Hurlock, E B. Psikologi Perkembangan.Jilid 2.Edisi ke 6,Cetakan ke-

3.Jakarta:Erlangga.2017Ilmiah, J., Shine, T., & Source, A. (2014). Jurnal

Ilmiah The Shine (Juliene) i-ISSN (Cetak): 2461-1174. 2013, 111–118.

Ilmiah, J., Shine, T., & Source, A. (2014). Jurnal Ilmiah The Shine (Juliene) i-

ISSN (Cetak): 2461-1174. 2013, 111–118.

Iroe, Viola P. Hubungan Iklim Sekolah Dengan Perilaku Temper Tantrum Pada

Anak Pra SekolahUsia 24 ssampai 48 Bulan Di Pos Paud kelurahan

Jatimulyo.(Skripsi). Malang.Poltekkes Kemenkes Malang. 2018

Lestari, TWWP. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Temper Tantrum Pada

Balita Usia 12-36 Bulan.(skripsi). Magelang. Poltekkes Kemenkes

Semarang;2020.

Maryunani A. 2016. Manajemen Kebidanan Terlengkap. Jakarta : Trans Info

Media

Muizzulatif, M., & Machmud, S. I. (2022). Literature Review : Menejemen

Temper Tantrum pada Balita. 3(1), 25–30.


Mulyani, Novi. Perkembangan Emosi Dan Sosial Pada Anak Usia Dini. Jurnal

INSANIA.2018;18(3).425

Mulyanti, NU. Hubungan Tantrum Dan Karakteristik Anak Usia Pra Sekolah

(Usia 4-5 Tahun) Terhadap Tingkat Stress Pengasuhan Ibu. (Skripsi).

Magelang.Poltekkes Kemenkes Semarang;2020.

Notoadmodjo, S, 2014. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku , 2012. PT. Rineka

Cipta.

_______, 2014. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta.

_______, 2018. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta

Primasari, E. P., Syofiah, P. N., & Muthia, G. (2020). Perbedaan Perkembangan

Motorik Balita Stunting Dan Normal Di Wilayah Kerja Puskesmas Pegang

Baru. PREPOTIF : Jurnal Kesehatan Masyarakat, 5(1), 1–6.

https://doi.org/10.31004/prepotif.v5i1.1145

SKM, N. M. (2019). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kenakalan Remaja.

Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.

http://etheses.uin-malang.ac.id/593/6/10410063 Bab 2.pdf

Suhartini, Titin. Hubungan Komunikasi Orang Tua Dengan Temper Tantrum

Pada Anak Prasekolah. (Skripsi). Jombang. STIKES Insan Cendekia

Medika.2017

Silalahi, T. M. (2020). Perbedaan Keterampilan Berpikir Kreatif Ditinjau Dari

Emosi Anak Dalam Bermain Konstruktif. AWLADY : Jurnal Pendidikan

Anak, 6(2), 282. https://doi.org/10.24235/awlady.v6i2.6849

Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Edisi 2. Yogyakarta:EGC. 2016


Sugiyono, 2018. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:

Alfabeta

Syarah, M. (2021). Hubungan Pengetahuan Orang Tua Dengan Penanganan

Temper Tantrum Pada Anak Usia Prasekolah DI TK Pembina Desa Arang

Limbung. 90.

Widyaninta, AM. Pemahaman Ibu Mengenai Temper Tantrum Anak. (Skripsi).

Yogyakarta. Universitas Sanata Dharma;2017.

Wong, D,I. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta:EGC. 201

Wulansari. Perilaku Tantrum Anak Usia 5-6 Tahun Di TK Maditama Sibulharjo.

(Skripsi). Surakarta. Universitas Sebelas Maret. 2015

Yulia, R., Suryana, D., & Safrizal, S. (2021). Manipulatif Tantrum: Strategi untuk

Mewujudkan Keinginan Anak. Golden Age: Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang

Anak Usia Dini, 6(1), 1–10. https://doi.org/10.14421/jga.2021.61-01

Yusuf. Psikologi Prekembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja

Rosdakarya.2017.

Anda mungkin juga menyukai