Anda di halaman 1dari 17

KETERAMPILAN UMUM PADA KEPERAWATAN ANAK

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 3

1. NI PUTU EVI SULISTYANA ARLITA (223213406)


2. NI MADE NOVIANINGSIH (223213412)
3. NI DESAK MD MIRAH PERMITA D (223213416)
4. I PUTU ASRAMA PUTRA (223213426)
5. NI PUTU INTAN DARMAYANTI (223213433)
6. WAYAN OKTA STYASA PUTRA (223213448)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI

2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keperawatan anak merupakan salah satu bagian penting dari keperawatan.
Keperawatan anak atau pediatri muncul sebagai kekhususan dalam menanggapi
meningkatnya kesadaran bahwa masalah kesehatan anak berbeda dengan orang dewasa
dan bahwa respon anak terhadap sakit dan stres berbeda-beda sesuai dengan umurnya
(Nelson, 2007). Respon anak terhadap penyakit juga sesuai dengan tingkat temperamen
anak yang mempengaruhi pengunaan koping serta suasana hati (mood). Anak yang
menggunakan koping prilaku yang pasif ( tidak melakukan perlawanan atau kooperatif )
dianggap lebih kuat dibandingkan dengan anak yang menggunakan koping prilaku aktif
( bertahan, menyerang ). Selain itu, respon anak terhadap penyakit juga dapat
mempengaruhi cepat atau lamanya perawatan yang di jalani oleh anak, serta perlukaan
tubuh karena nyeri dan prosedur-prosedur tindakan yang diberikan oleh perawat maupun
dokter di rumah sakit juga dapat mempengaruhi cepat atau lamanya hari rawat yang di
jalani oleh anak tersebut.
Aktivitas bermain merupakan salah satu stimulasi bagi perkembangan anak secara
optimal. Dalam kondisi sakit atau anak dirawat di rumah sakit, aktivitas bermain ini tetap
dilaksanakan, namun harus disesuaikan dengan kondisi anak. Pada saat dirawat di rumah
sakit, anak akan mengalami berbagai perasaan yang sangat tidak menyenangkan, seperti
marah, takut, cemas, sedih, dan nyeri. Perasaan tersebut merupakan dampak dari
hospitalisasi yang dialami anak karena menghadapi beberapa stressor yang ada
dilingkungan rumah sakit. Untuk itu, dengan melakukan permainan anak akan terlepas
dari ketegangan dan stress yang dialaminya karena dengan melakukan permainan anak
akan dapat mengalihkan rasa sakitnya pada permainannya (distraksi) dan relaksasi
melalui kesenangannya melakukan permainan.
Tujuan bermain di rumah sakit pada prinsipnya adalah agar dapat melanjutkan fase
pertumbuhan dan perkembangan secara optimal, mengembangkan kreatifitas anak, dan
dapat beradaptasi lebih efektif terhadap stress. Bermain sangat penting bagi mental,
emosional, dan kesejahteraan anak seperti kebutuhan perkembangan dan kebutuhan
bermain tidak juga terhenti pada saat anak sakit atau anak di rumah sakit (Wong 2009).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja teknik berkomunikasi dengan nakes sesuai tahapan usia?
2. Bagaimna Terapi bermain pada anak ?
3. Bagaimana cara Pemberian transfusi darah pada anak?
4. Bagaimana cara menghitung cairan pada anak?
5. Bagaimana cara Pemberian obat yang aman pada anak?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui Teknik berkomunikasi dengan nakes sesuai tahapan usia
2. Mengetahui terapi bermain pada anak
3. Mengetahui cara pemberian transfuse darah pada anak
4. Mengetahui cara menghitung cairan pada anak
5. Mengetahui cara pemberian obat yang aman pada anak
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Teknik Komunikasi Dengan Nakes

A. Strategi komunikasi Berdasarkan Tingkat Perkembangan Usia


1. Tahap usia bayi/infancy Pada tahap ini teknik komunikasi yang di gunakan lebih
banyak adalah teknik komunikasi non-verbal, misalnya sentuhan, senyuman,
mendekap, dan menggendong. Ciri lain pada tahap ini adalah stanger anxiety, oleh
karena itu perawat dapat menggunakan orang tua sebagai fasilitator ataupun
sebagai orang ketiga pada saat berkomunikasi dengan anak. Penggunaan kata -
kata (verbal) dapat dilakukan pada anak usia late infancy, misalnya penggunaan
kata – kata awal seperti ba-ba, da-da, ma-ma dan lain sebagainya.
2. Tahap usia dini/ toddler dan pra sekolah Pada tahap ini anak sudah mampu
menguasai antara 200-900 kata oleh karena itu perawat dapat lebih banyak
mengguanakan teknik verbal lebih banyak daripada tahapan usia sebelumnya.
Sifat anak pada tahapan tumbuh kembang ini adalah egosentris, rasa ingin tahu
dan inisiatif yang tinggi. Oleh karena itu anak perlu di beritahu akan segala
sesuatu yang terjadi pada dirinya dan semua tindakan yang akan di lakukan perlu
di beritahukan secara jelas pada anak. Perawat dapat berkomunikasi dengan anak
dengan menggunakan objek transisional seperti boneka sebelum bertanya
langsung pada anak untuk mengurangi kecemasan anak. Posisi tubuh yang terbaik
adalh sejajar dengan pandangan mata anak. Perawat juga harus konsisten dalam
berkomunikasi secara verbal maupun non-verbal. Jadi, jangan tertawa atau
tersenyum saat dilakukan tindakan yang menimbulkan rasa nyeri pada anak,
misalnya diambil darah, dipasang infuse, dan lain-lain. Berbicara dengan kalimat
yang singkat, jelas, dan spesifik, menggunakan kata- kata sederhana dan konkret
3. Tahap usia sekolah Anak usia ini sangat peka terhadap stimulus yang
dirasakannya akan mengancam keutuhan tubuhnya. Oleh karena itu, apabila
perawat akan melakukan suatu tindakan, ia akan bertanya mengapa dilakukan,
untuk apa, dan bagaimana caranya dilakukan?. Perawat dapat menjelaskan
prosedurnya dengan mendemonstrasikan pada mainan anak terlebih dahulu.
Misalnya, bagaimana perawat akan menyuntik diperagakan terlebih dahulu pada
bonekanya. Gunakan bahasa yang dapat dimengerti anak dan berikan contoh yang
jelas sesuai dengan kemampuan kognitifnya.
4. Tahap usia remaja Fase remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak
menuju masa dewasa. Perkembangan komunikasi pada usia remaja ini
ditunjukkan dengan kemampuan berdiskusi dan sudah mulai berpikir secara
konseptual, sudah mulai menunjukkan perasaan malu, pada anak usia ini sering
kali merenung kehidupan tentang masa depan yang direfleksikan lewat
komunikasi. Pola pikir dan tingkah lakunya merupakan peralihan dari anak-anak
menjadi orang dewasa juga. Anak harus diberi kesempatan untuk belajar
memecahkan masalah secara positif. Komunikasi yang dapat dilakukan pada usia
ini adalah berdiskusi atau curah pendapat pada teman sebaya atau orang dewasa
yang ia percaya, termasuk perawat yang selalu bersedia menemani dan
mendengarkan keluhannya. Hargai identitas diri dan harga dirinya, hindari
perkataan/pertanyaan yang dapat menyinggung harga diri, menimbulkan rasa malu
dan jaga kerahasiaan dalam komunikasi mengingat awal terwujudnya kepercayaan
anak dan merupakan masa transisi dalam bersikap dewasa. Beri dukungan atas hal
yang telah dicapainya secara positif dengan selalu memberikan reinforcement
positif.
2.2 Terapi Bermain
A. Definisi Bermain
Bermain merupakan bagian penting dari masa balita dan punya nilai pendidikan yang
tinggi (June, 2003). "Bermain" (play) mempakan istilah yang digunakan secara bebas
sehingga arti utamanya mungkin hilang. Arti yang paling tepat ialah setiap kegiatan
yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkan, tanpa mempertimbangkan hasil
akhir. Bermain dilakukan secara suka rela, dan tidak ada paksaan atau tekanan dari
luar atau kewajiban (Hurlock, 1978). Piaget menjelaskan bahwa bermain "terdiri atas
tanggapan yang diulang sekedar untuk kesenangan fungsional". Menurut Bettelheim
kegiatan bermain adalah kegiatan yang "tidak mempuyai peraturan lain kecuali yang
ditetapkan pemain sendiri dan tidak ada hasil akhir yang dimaksudkan dalam realita
luar". Bermain secara garis besar dapat dibagi ke dalam dua kategori, aktif dan pasif
("hiburan"). Pada semua usia, anak melakukan permainan aktif dan pasif. Proporsi
Waktu yang dicurahkan ke masing-masing jenis bermain itu tidak bergantung pada
usia, tetapi pada Kesehatan dan kesenangan yang diperoleh dari masing-masing
kategori. Meskipun umumnya permainan aktif lebih menonjol pada awal usia
prasekolah dan permainan hiburan ketika anak mendekati masa puber, namun hal itu
tidak selalu benar.
B. Tarapi Bermain
Menurut Thompson dan Henderson (2007 : 415) Terapi bermain adalah
penggunaan model model teoritis secara sistematis untuk menjalin sebuah proses
interpersonal dimana seorang terapis menggunakan kekuatan-kekuatan terapetik dari
kegiatan bermain, untuk membantu para klien dalam mencegah atau mengatasi
masalah-masalah psikososial dan mencapai saraf pertumbuhan dan perkembangan
secara optimal.
Bermain dapat digunakan sebagai terapi karena selama bermain perilaku anak
akan tampil lebih bebas dan bermain adalah sesuatu yang secara alamiah sudah terberi
pada seorang anak. Untuk melakukan terapi bermain ini diperlukan Pendidikan dan
pelatihan dari ahli yang bersangkutan dan tidak boleh dilakukan sembarangan.
Beberapa contoh kasus anak yang bermasalah yang memerlukan terapi adalah:
1. Anak yang agresir, Suka menyerang orang lain, agresif muncul karna
gangguan emosional yang dialami anak. Mungkin anak diperlakukan
terlalu keras Oleh orang tuanya sehingga merasa marah, memberontak
2. Anak yang mempunyai kebiasaan mencabut rambutnya sampai botak
sebagian atau seluruhan. Menggigit kuku sampai Iuka-Iuka, menahan
buang air besar, mengompol walaupun usianya sudah tiga tahun ke
atas, cemas atau phobia sekolah yang bisa ditandai dengan munculnya
gangguan ke tubuh seperti mual, sakit perut, muntah-muntah
menjelang pergi sekolah.
3. Anak yang sulit bergaul kurang percaya diti secara berlebihan sehingga
menghambat petkembangannya. Anak yang tidak mau berbicara
dengan orang lain selain anggota keluarga terdekat.
C. Empat Hal Utama Dalam Mengatasi Hal Anak
Menurut Hutchison (2003 : 190-192) :
1. Melakukan advokasi terhadap anak-anak dari keluarga miskin untuk memperoleh
pelayanan yang dibutuhkan.
2. Mengatasi masalah-masalah prilaku anak.
3. Meningkatkan efektifitas pengasuhan perawatan orang tua terhadap anak.
4. Meningkatkan keyakinan diri dan hatga diri anak.
D. Manfaat Terapi Bermain
1. Membangun kembali rasa hormat dan penerimaan terhadap orang lain dan diri
sendiri.
2. Mengganti pola-pola sebelumnya dalam bereaksi terhadap orang lain dengan pola-
pola bersifat saling menyayangi
3. Mengembangkan cara-cara baru untuk berlatih pengendalian diri
4. Mempetoleh pengalaman dan cara-cara baru dalam mengungkapkan emosi secara
tepat dalam berinteraksi.
5. Belajar untuk lebih empati terhadap jalan pikiran dan perasaan orang lain.
6. Mengembangkan perasaan dan perasaan-perasaan baru sebagai individu yang
lebih baik.
E. Prosedur Dalam Terapi Bermain
Menurut Bradley dan Gould (dalam Thompson & Henderson, 2007 : 435) meliputi 3
tahap yaitu:
1. Membangun relasi, dimana terapis memusatkan perhatian pada bentuk-bentuk
emosi yang muncul saat anak bermain dan harus memberikan respon yang tepat
dalam hal tersebut.
2. Menentukan bentuk permaman secara spesifik, dimana hubungan semakin
terbentuk dengan baik dan terapis secara asertif mengarahkan permainan bagi
anak
3. Konfrontasi untuk mengatasi masalah dimana terapis secara aktif lebih
mendekatkan diri dalam struktur kegiatan bermain untuk membantu mendorong
dan membesarkan hati anak dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah.
F. Katagori Media Bermain
Rasmussen dan Cunningham (dalam Thompson dan Henderson, 2007 : 437-438)
menyatakan dalam strategi penggunaan media bermain harus pula
mempertimbangkan karakteristik anak, masalah dan kebutuhan anak, serta tahapan
dalam proses terapi atau konseling. Menurut Bradley dan Gould (dalam Thompson &
Henderson, 2007 : 473) yaitu :
1. Real Life Toys ; rumah boneka, boneka-boneka, baju-baju boneka, kereta-
keretaan, keluarga boneka, maman alat-alat rumah tangga, mobil-mobilan, dll.
2. Acting Out and Agressive Release Toys ; borgol, bola, pistol-pistolan, Pisau karet,
topeng, mainan yang dapat dipukul dengan aman, dll.
3. Creative Expression and Emotional Release Toys ; kapur warna, penghapus, box
pasir, lem, gunting, kain atau handuk bekas, boneka tangan, kertas perekat, dll.
G. Model Terapi Bermain
Parent-Child Interaction Therapy(PCIT); terapi yang berorientasi terhadap perubahan
perilaku anak dan orang tua secara bersamaan, dimana orang tua akan belajar menjadi
model perilaku positif sehingga dapat dipelajari anak. PCIT melatih orang tua untuk
bertindak sebagai agen perubahan bagi masalah-masalah perilaku dan emosional
anaknya. Menurut Herschell & McNeil pelaksanaan PCIT membutuhkan waktu satu
kali seminggu selama I jam, dengan durasi treatment antara IO sampai 14 sesi.
Menurut Child Wdfare InfÖnmtium Gateway, U.S Department of Health and Human
Servicespelaksanaan PCIT dilakukan selama I jam sebanyak 14 sampai 20 sesi sesuai
kebutuhan. Sedangkan Kot & Tyndall-Lind secara intensif menyatakan bahwa anak
dapat memperoleh 12 sesi dalam 2 atau 3 minggu.

H. Fase Pelaksanaan
1. Child Directed Interaction (CDI) Tujuan : memperbaiki dan meningkatkan kualitas
hubungan antara orang tua dengan anak
 Fase ini dibentuk sedemikian rupa sehingga anak bebas memilih berbagai
mainan, permainan dan aktivitas yang akan dilakukan bersama orang tua.
 Fase ini menekankan pada pembentukan hubungan pengasuhan yang penuh
kasih sayang dan ikatan yang aman.
 Selama fase CDI orang tua dan terapis diinstruksikan tidak memberikan
hukuman dan mengabaikan perilaku negatif anak yang tidak membahayakan
orang lain maupun dirinya.
 Pusat perhatian adalah perilaku positif anak yang akan diberikan penguatan-
penguatan positif.
 Orang tua diarahkan dan dibimbing Oleh terapis untuk tidak menggunakan
kata-kata negatif ('tidak", "jangan" dan "tidak boleh”), serta tidak bertanya
secara negatif.
 Kata-kata atau kalimat negatif yang mengandung ancaman hanya akan
memperburuk perilaku anak, apalagi jika disertai dengan hukuman fisik.
 Tindakan-tindakan negatif orang tua akan menjadi model perilaku negatif
(fisik maupun verbal) bagi anak.
 Fase CDI diarahkan untuk memberikan pekerjaan rumah bagi orang tua
melatih setiap keterampilan bam yang diperolehnya selama 5 sampai 10 menit
(setiap hari) bersama anaknya.

Keterampilan dalam pelaksanaan CDI yaitu :

 Praise (penghargaan), orang tua menyediakan berbagai hadiah atau ganjaran


baik dalam bentuk pujian maupun sistem token
 Reflection(refleksi), orang tua mengulangi atau merangkai Kembali kata-kata
yang telah disampaikan anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua telah
mendengarkan dan memberikan perhatian, sehingga dapat mendorong
komunikasi yang baik dengan anak.
 Description(penjelasan), orang tua menjelaskan aktivitas bermain apa yang
sedang dilakukan anak. Tujuannya untuk menunjukkan perhatian orang tua
terhadap anak dan mengembangkan perbendaharaan kata pada anak.
 Entusiasm(ketertarikan), orang tua menunjukkan ketertarikan dan rasa senang
terhadap kegiatan bermain yang sedang dilakukan anak.
2. Parent Ditected Interaction
Tujuan : memusatkan perhatian orang tua terhadap pembentukan struktur dan
konsistensi penerapan disiplin.
 Orang tua memberikan instruksi secara jelas dan langsung pada anak, serta
memberikan konsekuensinya yang konsisten.
 Selain pemberian pujian atau token pada perilaku positif anak, senyuman dan
sentuhan di kepala (bahu anak juga akan memberikan dampak yang lebih baik.
 Jika perilaku negatif ditampilkan maka anak diberikan tanda berupa bulatan
hitam/lingkaran, sedangkan jika perilaku positif yang ditampilkan maka anak
diberikan tanda bintang atau token (pada buku hariannya).
 Pada saat anak tidak mematuhi perintah orang tua maka dapat diberlakukan
"setrap” yaitu dengan memindahkan anak untuk duduk pada tempat atau area
hukuman, yang mudah diawasi orang tua.
2.3 Pemberian transfusi darah
Transfusi darah adalah suatu tindakan memasukkan darah melalui pembuluh darah vena
yang bertujuan untuk memperbaiki volume intravaskuler dan meningkatkan kapasitas
pengangkutan oksigen. Indikasi pemberian transfusi darah:
a. Kehilangan darah akut, bila 20-30% total volume darah hilang dan perdarahan
masihterus terjadi.
b. Anemia berat
c. Syok septik (jlka cairan IV tidak mampu mengatasi gangguan sirkulasi darah dan
sebagai tambahan dari pemberian antibiotik)
d. Memberikan plasma adan trombosit sebagai tambahan faktor pembekuan, karena
komponen darah spesifikyang lain tidak ada
e. Transfusi tukar pada neonatus dengan ikterus berat.

Sebelum pemberian transfusi, periksa hal sebagai berikut:

a. Golongan darah donor sarnadengangolongandarah resipiendan nama anak serta


dornornya tercantum pada label dan formulir (pada kasus gawat darurat, kurangi
risiko terjadinya ketidakcocokan atau reaksi transfuse dengan melakukan uji silang
golongan darah spesifik atau beri darah golongan 0 bila tersedia
b. Kantungdarah transfusi tidak bocor
c. Kantung darah tidak berada di luar lemari es lebih dari 2 jam, warna plasma darah
tidak merah jambu atau bergumpal dan darah merah tidak terlihat keunguan atau
hitam
d. Tanda gagal jantung. Jika ada, beri furosemid lmgjkgBB IV saat awal transfusi darah
pada anak yang sirkulasi darahnya normal. Jangan menyuntik ke dalam kantung
darah.
e. Lakukan pencatatan awal tentang suhu badan, frekuensi napas dan denyut nadi anak.
f. Jumlah awal darah yang ditransfusikan harus sebanyak 20 ml/kgBB darah utuh, yang
diberikan selama 3-4 jam.

Selama transfusi

a. Jika tersedia, gunakan alat infus yang dapat mengatur laju transfuse
b. Periksa apakah darah mengalir pada laju yang tepat
c. Lihat tanda reaksi transfusi, terutama pada 15 menit pertama transfuse
d. Catat keadaan umum anak, suhu badan, denyut nadi dan frekuensi napas setiap 30
menit
e. Catat waktu permulaan dan akhir transfusi dan berbaqai reaksi yang timbul.

Alat dan bahan transfusi darah :


a. Standar Infus, Set Transfusi (Tranfusi Set), Botol berisi NaCI 0,9%
b. Produk darah yang benar sesuai program medis
c. Torniket, Kapas alcohol, plester, gunting, kassa steril, betadine, sarung tangan

Prosedur memasang transfusi darah:

a. Cek kernbali instruksi dokter


b. Cuci tangan
c. Beri salam dan perkenalkan diri
d. Identifikasi pasien dengan menanyakan nama, nomor rekam medis, cocokkan
dengan gelang identitas pasien
e. Memberi penjelasan pada pasienjkeluarga pasien tentang tindakan, prosedur
tujuan, dan reaksi alergi
f. fUkur suhu pasien ( suhu : 36 sjd 37,5 )
g. Cocokkan label darah dengan identitas pasien : nama pasien, no rekam medik
golongan darah, jenis darah, jumlah,darah no darah, expired date dengan
disaksikan oleh keluarga pasien.
h. Tanyakan adanya riwayat alergi
i. Masukkan obat premedikasi sesuai program dokter
j. Pasang cairan Na CI 0,9 % pada blood set untuk membilas selang
k. Ganti cairan Na CI 0,9 % dengan darah dan atur tetesannya sesuai instruksi dokter
l. Observasi selama dilakukan tranfusi meliputi;suhu,reaksi alergi
m. Bila tranfusi sudah selesai langsung blood set ganti dengan infuset/blood set baru
dengan cairan Na CI 0,9 %/sesuai cairan yang dibutuhkan
n. Bereskan pasien dan alat
o. Cuci tangan
p. Dokumentasikan tindakan yang telah dilakukan
2.4 Perhitungan cairan
Pemenuhan kebutuhan cairan dalam tubuh sangat penting dan menjadi kebutuhan
dasar manusia. Kehilangan cairan tubuh berdampak pada fungsi fisiologis yang dapat
beresiko mengalami syok dan jika tidak segera ditangani dapat berakibat kematian.
Seseorang bisa mengalami kekurangan cairan karena dampak dari suatu penyakit
salah satunya akibat dari diare yang tentunya sangat banyak diderita oleh anak-anak.
Diare terjadi karena adanya invasi bakteri pada mukusa usus yang dapat menyebabkan
peradangan.
Bakteri masuk ke usus dapat menyebabkan peradangan dan menganggu motilitas
usus, menyebabkan berak cair >3 kali dalam sehari dengan konsistensi encer. Pengeluaran
cairan yang berlebihan akan menyebabkan dehidrasi. Seorang anak dikatakan mengalami
diare memiliki tanda gejala berak cair >3 kali /hari dengan konsistensi encer, turgor kulit
jelek (kembali lambat/sangat lambat), mata cekung, membran mukosa kering, dan
kemerahan pada perianal.
Diare sangat identik dengan masalah kekurangan volume cairan pada pasien, sehingga
perlu dilakukan intervensi resusitasi cairan segera mungkin untuk menghindari masalah
yang lebih serius (syok), namun sebelum melakukan tindakan pemberian resusitasi cairan
ada baiknya tenaga kesehatan wajib mengkaji atau mengidentifikasi kebutuhan cairan
anak tersebut.
Rumus penghitungan cairan pada anak

1. Jika BB anak ≤10 rumus yang digunakan: 100 cc/kg/BB/hari


2. Jika BB anak 10-20 kg maka rumus yang digunakan: 1000 cc + 50 cc
(BB-10)/Kg/BB/hari
3. Jika BB anak >20 kg maka rumus yang digunakan: 1500 cc + 20 cc
(BB-20)/Kg/BB/hari
Contoh: jika anak dengan BB 19 kg maka kebutuhan cairan anak tersebut adalah
Perhatikan rumus diatas, gunakan rumus ke-2 maka jawabannya adalah 1000 + 50 cc
(19-10) jadi 1000 + 450 = 1450 cc/hari. Mengkaji kebutuhan cairan anak sangat
penting untuk dilakukan sehingga dapat diketahui kebutuhan cairan sesuai kebutuhan
yang dibutuhkan oleh anak/pasien.

2.5 Pemberian obat yang aman


A. Pengertian
Pemberian obat secara oral merupakan cara pemberian obat melalui mulut sesuai
dengan efek terapi dan jenis obat.
B. Tujuan
1. Untuk memudahkan dalam pemberian
2. Proses reabsorbsi lebih lambat sehingga bila timbul efek samping dari obat
tersebut dapat segera diatasi
3. Menghindari pemberian obat yang menyebabkan nyeri
4. Menghindari pemberian obat yang menyebabkan kerusakan kulit dan jaringan
C. Tahap Persiapan
Persiapan pasien:
 Jelaskan tujuan pemberian obat dan waktu minum obat.

Persiapan lingkungan:

 Bekerja sebaiknya dari sebelah kanan pasien


 Meletakkan alat sedemikian rupa sehingga mudah bekerja

Persiapan alat:

 Baki berisi obat


 Kanu atau buku berisi rencana pengobatan
 Pemotong obat (bila diperlukan
 Mattil dan lumpang penggerus (bila diperlukan)
 Gelas pengukur (bila diperlukan)
 Gelas dan air minum
 Sedotan
 Sendok
 Pipet
 Spuit sesuai ukuran untuk mulut anak-anak
D. Tahap Pelaksanaan
 Pengetahuan
1. Menjelaskan pemberian obat dengan memperhatikan 12 benar
2. Menjelaskan jenis dan bentuk obat yang dapat diberikan melalui mulut serta
waktu pemberiannya
 Sikap
1. Telita
2. Disiplin
3. Motivasi
4. Kerja sama
5. Tanggungjawab
6. Ko mun ikasi
7. Kejujuran
8. Penampilan Fisik
9. Menjaga privasi pasien
E. Prosedur kerja
1. Siapkan peralatan dan cuci tangan
2. Kaji kemampuan klien untuk dapat minum obat per oral (menelan, mual, muntah,
adanya program tahan makan atau minum, akan dilakukan pengisapan Iambung
dll)
3. Periksa kembali perintah pengobatan (nama klien, nama dan dosis obat, waktu dan
cara pemberian) periksa tanggal kedaluarsa obat, bila ada kerugian pada perintah
pengobatan laporkan pada perawat/bidan yang berwenang atau dokter yang
meminta.
4. Ambil obat sesuai yang diperlukan (baca perintah pengobatan dan ambil obat
yang diperlukan)
5. Siapkan obat-obatan yang akan diberikan. Siapkan jumlah obat yang sesuai
dengan dosis yang diperlukan tanpa mengkontaminasi obat (gunakan tehnik
aseptik untuk menjaga kebersihan obat

Tablet atau kapsul

1. Tuangkan tablet atau kapsul ke dalam mangkuk disposlbel tanpa menyentuh obat.
2. Gunakan alat pemotong tablet bila diperlukan untuk membagi obat sesuai dengan
dosis yang diperlukan.
3. Jika klien mengalami kesulitan menelan, gerus obat menjadi bubuk dengan
menggunakan martil dan lumpang penggerus, kemudian campurkan dengan
menggunakan air. Cek dengan bagian farmasi sebelum menggems obat, karena
beberapa obat tidak boleh digerus sebab dapat mempengaruhi daya kerjanya.

Obat dalam bentuk cair

1. Kocok /putar obat/dibolak balik agar bercampur dengan rata sebelum


dituangkan, buang obat yang telah berubah warna atau menjadi lebih keruh.
2. Buka penutup botol dan Ietakkan menghadap keatas. Untuk menghindari
kontaminasi pada tutup botol bagian dalam.
3. Pegang botol obat sehingga sisa labelnya berada pada telapak tangan, dan
tuangkan obat kearah menjauhi label. Mencegah obat menjadi rusak akibat
tumpahan cairan obat, sehingga label tidak bisa dibaca dengan tepat.
4. Tuang obat sejumlah yang diperlukan ke dalam mangkuk obat berskala.
5. Sebelum menutup botol tutup usap bagian tutup botol dengan menggunakan
kertas tissue. Mencegah tutup botol sulit dibuka kembali akibat cairan obat
yang mongering pada tutup botol.
6. Bila jumlah obat yang diberikan hanya sedikit, kurang dari 5 ml maka
gunakan spuit steril untuk mengambilnya dari botol.
7. Berikan obatpada waktu dan cara yang benar.
a. Identifikasi klien dengan tepat.
b. Menjelaskan mengenai tujuan dan daya kerja obat dengan bahasa yang
mudah dimengerti Oleh klien.
c. Atur pada posisi duduk, jika tidak memungkinkan betikan posisi lateral.
Posisi ini membantu mempermudah untuk menelan dan mencegah
aspirasi.
d. Beri klien air yang cukup untuk menelan obat, bila sulit menelan anjurkan
klien meletakkan obat di lidah bagian belakang, kemudian anjurkan
minum. Posisi ini membantu untuk menelan dan mencegah aspirasi.
F. Tahap Terminasi
a. Catat obat yang telah diberikan meliputi nama dan dosis obat, setiap keluhan, dan
tanda tangan pelaksana. Jika obat tidak dapat masuk atau dimuntahkan, catat
secara jelas alasannya.
b. Kembalikan peralatan yang dipakai dengan tepat dan benar, buang alat-alat
disposibel kemudian cuci tangan. Lakukan evaluasi mengenai efek obat pada
klien.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Keperawatan anak atau pediatri muncul sebagai kekhususan dalam
menanggapi meningkatnya kesadaran bahwa masalah kesehatan anak berbeda
dengan orang dewasa dan bahwa respon anak terhadap sakit dan stres berbeda-
beda sesuai dengan umurnya.
Strategi komunikasi berdasarkan tingkat perkembangan usia ada 4 yaitu :
tahap usia bayi,tahap usia dini,tahap usia sekolah, tahap usia remaja. Terapi
bermain adalah penggunaan model teoritis secara sistematis untuk menjalin
sebuah proses interpersonal dimana seorang terapis menggunakan kekuatan-
kekuatan terapetik dari kegiatan bermain, untuk membantu para klien dalam
mencegah atau mengatasi masalah-masalah psikososial dan mencapai saraf
pertumbuhan dan perkembangan secara optimal.
3.2 SARAN
Diharapkan dapat dijadikan landasan pengembangan ilmu keperawatan anak
terkait hospitalisasi/ keperawatan anak yang berfokus pada komunikasi antar
nakes dengan anak sesuai tingkat usia.
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, A.A. (2005). Penganfar Ilmu kesehatan anak l. Jakarta: Salemba

Medika Hidayat, A.A.A. (2008). Buku Saku Prafikum Keperaw•atan Anak. Jakarta

Hidayat, A A.A- (2014). Kebutuhan Dasar Manusia . Buku Saku Pratikum.Jakarta:EGC

WHO. (2010). Pelayanan Kesehatan Anak di rumah SakiL Jakarta: WHO

Anda mungkin juga menyukai