Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULAN PNEUMONIA PADA ANAK DI

RUANG BAKAS RSUD KELUNGKUNG

OLEH:
WAYAN OKTA STYASA PUTRA
223213448

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIRA MEDIKA BALI
2022/2023
LAPORAN PENDAHULAN PNEUMONIA PADA ANAK

A. Definisi

Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru yang


disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan
oleh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan
paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Bradley et.al., 2011).

Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang


melibatkan bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk
bercak-bercak (patchy distribution) (Bennete, 2013).

B. Etiologi
Berdasarkan etiologinya pneumonia dapat disebabkan oleh :

1. Bakteri
2. Virus
3. Jamur
4. Aspirasi makanan
5. Pneumonia hipostatik
6. Sindrom Loefler. (Bradley et.al., 2011)

Berbagai mikroorganisme dapat menyebabkan pneumonia, antara


lain virus dan bakteri seperti Pneumokokus, Staphilococcus Pneumoniae,
dan H. influenzae. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko
penyakit ini diantaranya adalah defek anatomi bawaan, defisit imunologi,
polusi, GER, aspirasi dan lain-lain.
C. Patofisiologi

Jalan nafas secara normal steril dari benda asing dari area
sublaringeal sampai unit paru paling ujung. Paru dilindungi dari infeksi
bakteri dengan beberapa mekanisme:
1. filtrasi partikel dari hidung.
2. pencegahan aspirasi oleh reflek epiglottal.
3. Penyingkiran material yang teraspirasi dengan reflek bersin.
4. Penyergapan dan penyingkiran organisme oleh sekresi mukus dan sel
siliaris.
5. Pencernaan dan pembunuhan bakteri oleh makrofag.
6. Netralisasi bakteri oleh substansi imunitas lokal.
7. Pengangkutan partikel dari paru oleh drainage limpatik.

Infeksi pulmonal bisa terjadi karena terganggunya salah satu


mekanisme pertahanan dan organisme dapat mencapai traktus
respiratorius terbawah melalui aspirasi maupun rute hematologi. Ketika
patogen mencapai akhir bronkiolus maka terjadi penumpahan dari cairan
edema ke alveoli, diikuti leukosit dalam jumlah besar. Kemudian
makrofag bergerak mematikan sel dan bakterial debris. Sistem limpatik
mampu mencapai bakteri sampai darah atau pleura viseral.

Jaringan paru menjadi terkonsolidasi. Kapasitas vital dan


pemenuhan paru menurun dan aliran darah menjadi terkonsolidasi, area
yang tidak terventilasi menjadi fisiologis right-to-left shunt dengan
ventilasi perfusi yang tidak pas dan menghasilkan hipoksia. Kerja jantung
menjadi meningkat karena penurunan saturasi oksigen dan hiperkapnia.
(Bennete, 2013).
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley
et.al., 2011):
1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan
permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini
ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di
tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-
mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun
dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin
dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga
terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak
yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka
perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh
sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu
(host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena
menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan
cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti
hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat
singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah
putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi
fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,
warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi
mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon
imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis
dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke
strukturnya semula.

D. Manifestasi klinis

Pasien dengan bronkopneumoni dapat mengalami demam tinggi


dengan peningkata suhu secara mendadak sampai 40º. Anak sangat
gelisah, sesak nafas dan sianosis sekunder hidung dan mulut, pernafasan
cuping hidung merupakan trias gejala yang patognomotik. Kadang-kadang
disertai muntah dan diare, batuk mula-mula kering kemudian menjadi
produktif.

Manifestasi yang lain yang sering adalah nyeri dada saat batuk
ataupun bernafas, batuk produktif disertai dahak purulen, sesak nafas,
dyspnea sampai terjadi sianosis, penurunan kesadaran pada keadaan yang
buruk atau parah, perubahan suara nafas ralews, ronchi, wezhing,
hipotensi apabila disertai dengan bakterimia atau hipoksia berat, tachipnea
serta nadi cepat.

Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh


infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik
secara mendadak sampai 39-400C dan mungkin disertai kejang karena
demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan
dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung
dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan
mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk
kering kemudian menjadi produktif (Bennete, 2013).
Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnya
bronkopneumonia ditemukan hal-hal sebagai berikut (Bennete, 2013):

1. Pada inspeksi terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik,


interkostal, suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.

Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan


adalah retraksi dinding dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat
dan cuping hidung; orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang
berlawanan. Tekanan intrapleura yang bertambah negatif selama
inspirasi melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi
bagian-bagian yang mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu
jaringan ikat inter dan sub kostal, dan fossae supraklavikula dan
suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal yang melenting dapat
terlihat apabila tekanan intrapleura yang semakin positif. Retraksi
lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat
interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak yang lebih
tua.

Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan


pergerakan fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda
yang paling dapat dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada
infant, kontraksi otot ini terjadi akibat “head bobbing”, yang dapat
diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala disangga
tegal lurus dengan area suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres
pernapasan yang lain pada “head bobbing”, adanya kerusakan sistem
saraf pusat dapat dicurigai.

Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan


adanya distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi
memendek secara abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada).
Pengembangan hidung memperbesar pasase hidung anterior dan
menurunkan resistensi jalan napas atas dan keseluruhan. Selain itu
dapat juga menstabilkan jalan napas atas dengan mencegah tekanan
negatif faring selama inspirasi.

2. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.


Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan
getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi
perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi
vibrasi akan berkurang.

3. Pada perkusi tidak terdapat kelainan


4. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi
pendek dan berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz.
Bisa bernada tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya
frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari
amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles
individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya).
Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang
melalui sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.
E. Pathway

Infeksi kuman patogen


( bakteri / virus )

terganggunya parenkhim paru brochiolitis gangguan interstisiil


PK : Infeksi

kerusakan epitel

pembentukan mukus muntah infiltrat ke duktus alveolus

penyumbatan bronkhus kerusakan alveolus


Gangguan pertukaran gas

brochietase gangguan fungsi paru


1. Bersihan jalan nafas tidak efektif
2. Kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
3. Perubahan pola nafas

F. Klasifikasi

Menurut Zul Dahlan (2007), pneumonia dapat terjadi baik sebagai


penyakit primer maupun sebagai komplikasi dari beberapa penyakit lain.
Secara morfologis pneumonia dikenal sebagai berikut:
1. Pneumonia lobaris, melibatkan seluruh atau satu bagian besar dari
satu atau lebih lobus paru. Bila kedua paru terkena, maka dikenal
sebagai pneumonia bilateral atau “ganda”.
2. Bronkopneumonia, terjadi pada ujung akhir bronkiolus, yang
tersumbat oleh eksudat mukopurulen untuk membentuk bercak
konsolidasi dalam lobus yang berada didekatnya, disebut juga
pneumonia loburalis.
3. Pneumonia interstisial, proses inflamasi yang terjadi di dalalm
dinding alveolar (interstisium) dan jaringan peribronkial serta
interlobular.

Pneumonia lebih sering diklasifikasikan berdasarkan agen


penyebabnya, virus, atipikal (mukoplasma), bakteri, atau aspirasi substansi
asing. Pneumonia jarang terjadi yang mingkin terjadi karena histomikosis,
kokidiomikosis, dan jamur lain.
1. Pneumonia virus, lebih sering terjadi dibandingkan pneumonia
bakterial. Terlihat pada anak dari semua kelompok umur, sering
dikaitkan dengan ISPA virus, dan jumlah RSV untuk persentase
terbesar. Dapat akut atau berat. Gejalanya bervariasi, dari ringan
seperti demam ringan, batuk sedikit, dan malaise. Berat dapat berupa
demam tinggi, batuk parah, prostasi. Batuk biasanya bersifat tidak
produktif pada awal penyakit. Sedikit mengi atau krekels terdengar
auskultasi.
2. Pneumonia atipikal, agen etiologinya adalah mikoplasma, terjadi
terutama di musim gugur dan musim dingin, lebih menonjol di tempat
dengan konsidi hidup yang padat penduduk. Mungkin tiba-tiba atau
berat. Gejala sistemik umum seperti demam, mengigil (pada anak
yang lebih besar), sakit kepala, malaise, anoreksia, mialgia. Yang
diikuti dengan rinitis, sakit tenggorokan, batuk kering, keras. Pada
awalnya batuk bersifat tidak produktif, kemudian bersputum
seromukoid, sampai mukopurulen atau bercak darah. Krekels
krepitasi halus di berbagai area paru.
3. Pneumonia bakterial, meliputi pneumokokus, stafilokokus, dan
pneumonia streptokokus, manifestasi klinis berbeda dari tipe
pneumonia lain, mikro-organisme individual menghasilkan gambaran
klinis yang berbeda. Awitannya tiba-tiba, biasanya didahului dengan
infeksi virus, toksik, tampilan menderita sakit yang akut , demam,
malaise, pernafasan cepat dan dangkal, batuk, nyeri dada sering
diperberat dengan nafas dalam, nyeri dapat menyebar ke abdomen,
menggigil, meningismus.

Berdasarkan usaha terhadap pemberantasan pneumonia melalui usia,


pneumonia dapat diklasifikasikan:
1. Usia 2 bulan – 5 tahun
a. Pneumonia berat, ditandai secara klinis oleh sesak nafas yang
dilihat dengan adanya tarikan dinding dada bagian bawah.
b. Pneumonia, ditandai secar aklinis oleh adanya nafas cepat yaitu
pada usia 2 bulan – 1 tahun frekuensi nafas 50 x/menit atau lebih,
dan pada usia 1-5 tahun 40 x/menit atau lebih.
c. Bukan pneumonia, ditandai secara klinis oleh batuk pilek biasa
dapat disertai dengan demam, tetapi tanpa terikan dinding dada
bagian bawah dan tanpa adanya nafas cepat.
2. Usia 0 – 2 bulan
a. Pneumonia berat, bila ada tarikan kuat dinding dada bagian
bawah atau nafas cepat yaitu frekuensi nafas 60 x/menit atau
lebih.
b. Bukan pneumonia, bila tidak ada tarikan kuat dinding dada
bagian bawah dan tidak ada nafas cepat.
G. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala dari pneumonia antara lain:

1. Demam, sering tampak sebagai tanda infeksi yang pertama. Paling


sering terjadi pada usia 6 bulan – 3 tahun dengan suhu mencapai 39,5
– 40,5 bahkan dengan infeksi ringan. Mungkin malas dan peka
rangsang atau terkadang eoforia dan lebih aktif dari normal, beberapa
anak bicara dengan kecepatan yang tidak biasa.

2. Meningismus, yaitu tanda-tanda meningeal tanpa infeksi meninges.


Terjadi dengan awitan demam yang tiba-tiba dengan disertai sakit
kepala, nyeri dan kekakuan pada punggung dan leher, adanya tanda
kernig dan brudzinski, dan akan berkurang saat suhu turun.

3. Anoreksia, merupakan hal yang umum yang disertai dengan penyakit


masa kanak-kanak. Seringkali merupakan bukti awal dari penyakit.
Menetap sampai derajat yang lebih besar atau lebih sedikit melalui
tahap demam dari penyakit, seringkali memanjang sampai ke tahap
pemulihan.

4. Muntah, anak kecil mudah muntah bersamaan dengan penyakit yang


merupakan petunjuk untuk awitan infeksi. Biasanya berlangssung
singkat, tetapi dapat menetap selama sakit.

5. Diare, biasanya ringan, diare sementara tetapi dapat menjadi berat.


Sering menyertai infeksi pernafasan. Khususnya karena virus.

6. Nyeri abdomen, merupakan keluhan umum. Kadang tidak bisa


dibedakan dari nyeri apendiksitis.

7. Sumbatan nasal, pasase nasal kecil dari bayi mudah tersumbat oleh
pembengkakan mukosa dan eksudasi, dapat mempengaruhi
pernafasan dan menyusu pada bayi.
8. Keluaran nasal, sering menyertai infeksi pernafasan. Mungkin encer
dan sedikit (rinorea) atau kental dan purulen, bergantung pad tipe dan
atau tahap infeksi.

9. Batuk, merupakan gambarab umum dari penyakit pernafasan. Dapat


menjadi bukti hanya selama faase akut.

10. Bunyi pernafasan, seperti batuk, mengi, mengorok. Auskultasi


terdengar mengi, krekels.

11. Sakit tenggorokan, merupakan keluhan yang sering terjadi pada anak
yang lebih besar. Ditandai dengan anak akan menolak untuk minum
dan makan per oral.
H. Faktor risiko pneumonia pada anak

Faktor risiko pneumonia yang menyertai pada anak antara lain:

1. Status gizi buruk, menempati urutan pertamam pada risiko pneumonia


pada anak balita, dengan tiga kriteria antopometri yaitu BB/U, TB/U,
BB/TB. Status gizi yang buruk dapat menurunkan pertahanan tubuh
baik sistemik maupun lokal juga dapat mengurangi efektifitas barier
dari epitel serta respon imun dan reflek batuk.

2. Status ASI buruk, anak yang tidak mendapat ASI yang cukup sejak
lahir ( kurang 4 bulan) mempunyai risiko lebih besar terkena
pneumonia. ASI merupakan makanan paling penting bagi bayi karena
ASI mengandung protein, kalori, dan vitamin untuk pertumbuhan
bayi. ASI mengandung kekebalan penyakit infeksi terutama
pneumonia.

3. Status vitamin A, pemberian vitamin A pada anak berpengaruh pada


sistem imun dengan cara meningkatkan imunitas nonspesifik,
pertahanan integritas fisik, biologik, dan jaringan epitel. Vitamin A
diperlukan dalam peningkatan daya tahan tubuh, disamping untuk
kesehatan mata, produksi sekresi mukosa, dan mempertahankan sel-
sel epitel.

4. Riwayat imunisasi buruk atau tidak lengkap, khususnya imunisasi


campak dan DPT. Pemberian imunisasi campak menurunkan kasusu
pneumonia, karena sebagian besar penyakit campak menyebabkan
komplikasi dengan pneumonia. Demikian pula imunisasi DPT dapat
menurunkan kasus pneumonia karena Difteri dan Pertusis dapat
menimbulkan komplikasi pneumonia.
5. Riwayat wheezing berulang, anak dengan wheezing berulang akan
sulit mengeluarkan nafas. Wheezing terjadi karena penyempitan
saluran nafas (bronkus), dan penyempitan ini disebabkan karena
adanya infeksi. Secara biologis dan kejadian infeksi berulang ini
menyebabkan terjadinya destruksi paru, keadaan ini memudahkan
pneumonia pada anak.

6. Riwayat BBLR, anak dengan riwayat BBLR mudah terserang


penyakit infeksi karena daya tahan tubuh rendah, sehingga anak
rentan terhadap penyakit infeksi termasuk pneumonia.

7. Kepadatan penghuni rumah, rumah dengan penghuni yang padat


meningkatkan risiko pneumonia dibanding dengan penghuni sedikit.
Rumah dengan penghuni banyak memudahkan terjadinya penularan
penyakit dsaluran pernafasan.

8. Status sosial ekonomi, ada hubungan bermakna antara tingkat


penghasilan keluarg dengan pendidikan orang tua terhadap kejadian
pneumonia anak.
I. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

a. Leukosit, umumnya pneumonia bakteri didapatkan leukositosis


dengan predominan polimorfonuklear. Leukopenia menunjukkan
prognosis yang buruk.

b. Cairan pleura, eksudat dengan sel polimorfonuklear 300-


100.000/mm. Protein di atas 2,5 g/dl dan glukosa relatif lebih
rendah dari glukosa darah.

c. Titer antistreptolisin serum, pada infeksi streptokokus meningkat


dan dapat menyokong diagnosa.

d. Kadang ditemukan anemia ringan atau berat.

2. Pemeriksaan mikrobiologik
a. Spesimen: usap tenggorok, sekresi nasofaring, bilasan bronkus
atau sputum darah, aspirasi trachea fungsi pleura, aspirasi paru.
b. Diagnosa definitif jika kuman ditemukan dari darah, cairan
pleura atau aspirasi paru.
3. Pemeriksaan imunologis
a. Sebagai upaya untuk mendiagnosis dengan cepat
b. Mendeteksi baik antigen maupun antigen spesifik terhadap
kuman penyebab.
c. Spesimen: darah atau urin.
d. Tekniknya antara lain: Conunter Immunoe Lectrophorosis,
ELISA, latex agglutination, atau latex coagulation.
4. Pemeriksaan radiologis, gambaran radiologis berbeda-beda untuk tiap
mikroorganisme penyebab pneumonia.
Pneumonia pneumokokus: gambaran radiologiknya bervariasi dari
infiltrasi ringan sampai bercak-bercak konsolidasi merata
(bronkopneumonia) kedua lapangan paru atau konsolidasi pada satu
lobus (pneumonia lobaris). Bayi dan anak-anak gambaran konsolidasi
lobus jarang ditemukan.
a. Pneumonia streptokokus, gambagan radiologik menunjukkan
bronkopneumonia difus atau infiltrate interstisialis. Sering
disertai efudi pleura yang berat, kadang terdapat adenopati hilus.
b. Pneumonia stapilokokus, gambaran radiologiknya tidak khas
pada permulaan penyakit. Infiltrat mula=mula berupa bercak-
bercak, kemudian memadat dan mengenai keseluruhan lobus atau
hemithoraks. Perpadatan hemithoraks umumnya penekanan
(65%), < 20% mengenai kedua paru.

J. Terapi

1. Perhatikan hidrasi.

2. Berikan cairan i.v sekaligus antibiotika bila oral tidak memungkinkan.

3. Perhatikan volume cairan agar tidak ada kelebihan cairan karena


seleksi ADH juga akan berlebihan.

4. Setelah hidrasi cukup, turunkan ccairan i.v 50-60% sesuai kebutuhan.

5. Disstres respirasi diatasi dengan oksidasi, konsentrasi tergantung


dengan keadaan klinis pengukuran pulse oksimetri.

6. Pengobatan antibiotik:

a. Penisillin dan derivatnya. Biasanya penisilin S IV 50.000


unit/kg/hari atau penisilil prokain i.m 600.000 V/kali/hari atau
amphisilin 1000 mg/kgBB/hari . Lama terapi 7 – 10 hari untuk
kasus yang tidak terjadi komplikasi.
b. Amoksisillin atau amoksisillin plus ampisillin. Untuk yang
resisten terhadap ampisillin.
c. Kombinasi flukosasillin dan gentamisin atau sefalospirin generasi
ketiga, misal sefatoksim.
d. Kloramfenikol atau sefalosporin. H. Influensa, Klebsiella, P.
Aeruginosa umumnya resisten terhadap ampisillin dan derivatnya.
Dapat diberi kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari aatu sefalosporin.
e. Golongan makrolit seperti eritromisin atau roksittromisin. Untuk
pneumonia karena M. Pneumoniae. Roksitromisin mempenetrasi
jaringan lebih baik dengan rasio konsentrasi antibiotik di jaringan
dibanding plasma lebih tinggi. Dosis 2 kali sehari meningkatkan
compliance dan efficacy.
f. Klaritromisin. Punya aktivitas 10 kali erirtomisin terhadap C.
pneumonie in vitro dan mempenetrasi jaringan lebih baik.

K. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat pasien: Panas, batuk, nasal discharge, perubahan
pola makan, kelemahan, Penyakit respirasi
sebelumnya,perawatan dirumah, penyakit lain yangdiderita
anggota keluarga di rumah
b. Pemeriksaan Fisik: Demam, dispneu, takipneu, sianosis,
penggunaan otot pernapasn tambahan, suara nafas tambahan,
rales, menaikan sel darah putih (bakteri pneumonia), arterial
blood gas, X-Ray dada
c. Psikososial dan faktor perkembangan: Usia, tingkat
perkembangan, kemampuan memahami rasionalisasi intervensi,
pengalaman berpisah denganm orang tua, mekanisme koping
yang diapkai sebelumnya, kebiasaan (pengalaman yang tidak
menyenangkan, waktu tidur/rutinitas pemberian pola makan,
obyek favorit)
d. Pengetahuan pasien dan keluarga: Pengalaman dengan
penyakit pernafasan, pemahaman akan kebutuhan intervensi pada
distress pernafasan, tingkat pengetahuan kesiapan dan keinginan
untuk belajar.

2. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


a. Pola nafas tidak efektif proses inflamasi
b. Bersihan jalan nafas tidak efektif obstruksi mekanis,
inflamasi, peningkatan sekresi, nyeri.
Rencana asuhan keperawatan
No Tujuan Intervensi Rasional
Dx
1 Klien menunjukkan  Beri posisi yang  Mengurangi stres pada
fungsi pernafasan nyaman anak dan anak dapat
normal.  Posisikan untuk beristirahat
Kriteria hasil: ventilasi yang  Untuk
pernafasan tetap dalam maksimum mempertahankan
batas normal, (pertahankan terbuka jalan nafas.
pernafasan tidak sulit, peninggian kepala  Untuk menghindari
anak istirahat dan tidur sedikitnya 30 derajat) penekanan diafragma.
dengan tenang.  Periksa posisi anak  Pakaian yang ketat
NOC: Perpiratory: dengan sering, untuk menghambat
airways patency, memastikan bahwa perkembangan nafas.
respiratory status: anak tidak merosot.  Untuk meningkatkan
ventilasi. Status vital  Hindari pakaian atau keadekuatan oksigen.
sign. gedong yang terlalu  Relaksasi dapat
NIC: Mechanical ketat. mengurangi
ventilatory weaning.  Tingkatkan istirahat kecemasan.
dan tidur dengan  Pendidikan kesehatan
penjadualan yang dapat meningkatkan
tepat. pengetahuan tentang
 Dorong teknik teknik meningkatkan
relaksasi. kepatenan jalan nafas.
 Ajarkan pada anak
dan keluarga tentang
tindakan yang
mempermudah upaya
pernafasan (misal:
pemberian posisi
yang tepat).
2 Klien dapat  Posisikan anak pada  Memungkinkan
mempertahankan jalan kesejajaran tubuh ekspansi paru yang
nafas paten. yang tepat. lebih baik dan
Kriteria hasil: jalan  Hisap sekresi jalan perbaikan pertukaran
nafas tetap bersih, nafas sesuai gas, serta mencegah
anak bernafas dengan kebutuhan. aspirasi sekresi.
mudah, pernafasan  Bantu anak dalam  Untuk membersihkan
dalam batas normal. mengeluarkan jalan nafas akibat
NOC: Status respirasi: sputum. hipersekresi.
kepatenan jalan nafas.  Beri ekspektoran  Sputum yang keluar
NIC: airways sesuai ketentuan. akan mengurangi efek
suctioning  Lakukan fisioterapi hambatan jalan nafas.
dada.  Ekspektoran obat
 Puasakan anak. untuk mengencerkan
 Berikan dahak sehingga
penatalaksanaan sputum dapat
nyeri yang tepat. dikeluarkan.

 Bantu anak dalam  Fisioterapi dada


menahan atau membantu
membebat area insisi mengeluarkan sputum
atau cedera  Untuk mencegah
aspirasi cairan (pada
dengan takipnea
hebat).
 Pengurangan nyeri
mengurangi kebutuhan
oksigen.
 Untuk
memaksimalkan efek
batuk dan fisioterapi
dada.

DAFTAR PUSTAKA
Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia. http://emedicine.medscape.com/article/
967822-overview. (29 September 2014 pukul 15.50 WIB)

Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., et al. 2011. The Management
of Community-Acquired Pneumonia in Infants and Children Older than
3 Months of Age: Clinical Practice Guidelines by the Pediatric
Infectious Diseases Society and the Infectious Diseases Society of
America. Clin Infect Dis 53 (7): 617-630

Dahlan, Zul. 2007. Pneumonia : Buku Ajar Penyakit Dalam Edisi 2 Jilid 4.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Panduan Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta : Penerbit IDAI

Anda mungkin juga menyukai