Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
I.

Definisi
Bronkiolitis diartikan sebagai penyakit obstruktif akibat inflamasi akut pada

saluran nafas kecil (bronkioli) yang sering terjadi pada anak di bawah 2 tahun dengan
insiden tertinggi umur 2-8 bulan.
II.

Etiologi
Respiratory Syncytial Virus merupakan agen penyebab pada 50 90 %

kasus, sisanya oleh virus para influenza, mikoplasma, adenovirus dan virus lainnya.
Infeksi primer oleh bakteri penyebab belum dilaporkan. Bronkiolitis paling sering
terjadi pada bayi laki-laki antara umur 3 dan 6 bulan yang belum pernah disusui
ibunya dan tinggal dalam lingkungan keluarga yang penuh sesak. Sumber infeksi
virus biasanya yaitu anggota keluarga yang sedang mengidap penyakit pernapasan.
Selain itu prevalensi bronkiolitis pada anak akan lebih tinggi pada bayi/ anak yang
ayah atau ibunya seorang perokok.
III.

Patofisiologi
Secara harfiah pernafasan berarti pergerakan oksigen dari atmosfir menuju

ke sel-sel dan keluarnya karbondioksida dari sel-sel ke udara bebas. Jika hal ini
diuraikan lagi akan terbagi menjadi pernafasan eksternal (difusi oksigen dan
kabondioksida melalui mambran kapiler alveoli) dan pernafasan internal (rekasireaksi kimia intraseluler dimana oksigen dipakai dan karbondioksida dihasilkan
sewaktu sel memetabolismekan karbohidrat dan substansi lain untuk membangkitkan
ATP dan pelepasan energi).
Setelah melewati hidung dan faring, udara didistribusikan kedalam paru
melalui trakea, bronkus dan bronkioli. Satu masalah yang paling penting pada semua
jalan pernafasan adalah memelihara agar tetap terbuka, sehingga aliran udara keluar
masuk alveoli berjalan lancar. Cincin kartilago pada trakea dan bronkus berfungsi
untuk mempertahankan rigiditas dan menjaga terjadinya kolap. Adapun bronkiolus
dindingnya hanya terbentuk oleh otot polos dan diameternya sangat kecil yaitu 1

11

1,5 mm, sehingga mudah terjadi obstruksi baik oleh proses inflamasi maupun spasme
otot itu sendiri.
Patofisiologi bronkiolitis berawal dari invasi virus pada percabangan
bronkus kecil, menyebabkan nekrosis epitel yang kemudian berproliferasi
membentuk sel yang kuboid atau gepeng tanpa silia. Rusaknya sel epitel bersilia
menyebabkan gangguan mekanisme pertahanan lokal. Jaringan peribronkial
mengalami infiltrasi lekosit, sel plasma dan makrofag, dan sebagian limfosit
bermigrasi diantara sel epitel sehingga timbul udem, akumulasi mukus dan debris
seluler hingga terjadi obstruksi lumen bronkiolus. Sehingga bronkiolotis akut dapat
ditandai dengan adanya obstruksi bronkiolus yang disebabkan oleh oedem dan
kumpulan mucus sertai puing-puing seluler dan oleh invasi bagian-bagian bronkus
yang lebih kecil oleh virus.
Resistensi aliran udara meningkat pada fase inspirasi maupun fase ekspirasi.
Tetapi karena radius saluran napas kecil selama fase ekspirasi, maka terdapat
mekanisme klep hingga udara akan terperangkap dan menimbulkan hiperinflasi dada.
Atelektasis dapat terjadi bila obstruksi total dan udara diserap. Proses patologik ini
mengganggu pertukaran udara di paru, menyebabkan ventilasi berkurang dan
hipoksemia. Sebagai kompensasi frekuensi napas akan meningkat. Umumnya
hiperkapnia tidak terjadi kecuali pada penyakit yang sangat berat. Penyembuhan
terjadi secara bertahap. Regenerasi lapisan basal mulai hari ke 3 4 dan regenerasi
silia terjadi setelah 15 hari.
IV.

Dasar Diagnosis

a.Anamnesis
Pada bayi dengan bronkiolitis biasanya mempunyai riwayat terpajan pada anak
yang lebih tua atau orang dewasa yang mempunyai penyakit pernafasan ringan
pada minggu sebelum mulainya penyakit. Bayi mula-mula menderita penyakit
infeksi ringan pada saluran pernafasan dengan ingus yang serous dan bersin,
disertai batuk pilek untuk beberapa hari, penurunan nafsu makan, biasanya tanpa
kenaikan suhu atau hanya subfebril. Anak mulai mengalami sesak napas, makin
lama makin hebat, pernapasan dangkal dan cepat dan disertai dengan serangan
batuk. Pada kasus ringan gejala menghilang dalam 1 3 hari. Pada penyakit yang
lebih berat gejala-gejala dapat berkembang dalam beberapa jam dan perjalanan
penyakit menjadi

berlarut-larut. Perkembangan kegawatan pernapasan secara


12

bertahap ditandai dengan batuk mengi paroksismal, dispnea, dan iritabilitas.


Menyusu (baik dengan ibu atau botol) sangat sulit dikarenakan frekuensi
pernapasan yang cepat tersebut tidak memberikan kesempatan untuk mengisap
dan menelan.
Skema 1. Patofisiologi Bronkiolitis
Infeksi virus dari saluran pernafasan bagian bawah

Udem
Kerusakan epitel
Hipersekresi

Obstruksi saluran nafas kecil

Atelektasisdan hiperinflasi
Penurunan kompliansi paru

Peningkatan kerja pernafasan

Hipoksemi

Kelelahan otot pernafasan


Hiperkarbi
Apneu

Syok
Henti nafas dan jantung

Asidosis

b.Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, anak nampak gelisah, sesak napas, napas cepat dan
dalam (60-80x/menit), napas cuping hidung, sianosis sekitar hidung dan mulut,
retraksi otot pernapasan akibat penggunaan otot-otot asesoris pernafasan karena
paru terus-menerus terdistensi oleh udara yang terperangkap. Overinflasi paru
dapat mengakibatkan hati dan limpa teraba di bawah tepi kosta. Pada perkusi
terdengar suara hipersonor. Ronki basah halus dapat terdengar pada akhir inspirasi
dan awal ekspirasi. Fase ekspirasi pernafasan diperpanjang dan mengi/wheezing
dapat terdengar. Pada sebagian besar kasus berat, suara pernafasan hampir tidak
dapat didengar bila obstruksi bronkiolus hampir total.
13

c.Pemeriksaan X-foto thorax


Pemeriksaan X-foto thorax mungkin masih normal atau menunjukkan
adanya hiperinflasi paru (hiperaerasi) dengan diafragma datar dan kenaikan
diameter anteroposterior pada foto lateral. Nampak penebalan peribronkial pada
50 % kasus, area konsolidasi pada 25 % kasus, dan area kolaps segmen atau lobar
pada 10 %, atau ditemukan bercak-bercak pemadatan akibat atelektasis sekunder
tehadap obstruksi atau inflamasi alveolus. Pneumonia bakteri secara dini tidak
dapat disingkirkan dengan hanya pemeriksaan radiologik saja.
d.Pemeriksaan Penunjang Lainnya
Lekosit dan hitung jenis biasanya dalam batas normal. Limfopenia yang sering
ditemukan pada penyakit virus lain jarang ditemukan pada bronkiolitis. Uji faal
paru menunjukan peningkatan Functional Residual Capacity, bertambahnya
tahanan paru dan turunnya compliance. Setelah 4 5 hari fungsi paru membaik
dan setelah 10 hari tahanan paru dan compliance kembali normal. Analisis gas
darah menunjukan PaO2 rendah sedangkan PaCO2 normal atau meningkat. Derajat
peningkatan PaCO2 tidak berhubungan dengan beratnya penyakit.

Biakan

nasofaring menunjukkan flora bakteri yang normal. Virus dapat diperagakan pada
sekresi nasofaring dengan deteksi antigen (misalnya ELISA) atau dengan biakan.
V.

Diagosis Banding
Diagnosis banding yang paling lazim dari bronkiolitis adalah asma bronkiale

dan bronkopneumoni yang disertai dengan overinflasi paru. Wujud lain yang
dapat dirancukan dengan bronkiolitis adalah gagal jantung kongestif, pertusis,
kistik fibrosis, benda asing di trakea dan keracunan organofosfat.
Diagnosis banding asma bronkiale dapat disingkirkan atas dasar bahwa pada
penderita ini tidak dijumpai keadaan yang mendukung asma berupa : riwayat
atopy pada keluarga , serangan/episode sesak yang berulang-ulang, mulainya
mendadak tanpa infeksi yang mendahului, ekspirasi yang sangat memanjang,
eosinofilia.. Asma juga jarang terjadi pada umur kurang dari satu tahun dan
memberikan respon yang baik terhadap suntikan adrenalin atau albuterol aerosol.
Sedangkan diagnosis banding bronkopneumoni memang cukup sulit, apalagi
didukung dengan gambaran X-foto thorax, namun keadaan klinis dan laboratoris
tidak mendukung ke arah bronkopneumoni, yaitu pada bonkopneumoni panasnya
tinggi, dari auskultasi paru didapatkan ronki basah halus nyaring, jarang atau tidak
14

dijumpai wheezing maupun ekspirasi memanjang. Bronkopneumoni tidak


berespon terhadap pemberian kortikosteroid.
Penatalaksanaan

VI.

Guna mencapai hasil pengobatan yang optimal, maka pengelolaan terhadap


penderita haruslah bersifat menyeluruh, meliputi aspek medikamentosa, dietetik,
dan edukatif. Terapi bronkiolitis dapat bersifat simtomatis/suportif maupun
kausatif. Namun pada umumnya, terapinya bersifat suportif.
Indikasi rawat inap pada penderita bronkiolitis adalah didapatkannya tandatanda distres respirasi. Pada bronkiolitis terjadi obstruksi jalan nafas kecil yang
salah satunya disebabkan akumulasi mukus yang berlebihan, sehingga perlu
dilakukan intervensi sebagai berikut :
-

Mengatur posisi kepala dan dada sedikit terangkat 10 30 derajat sehingga


leher agak terekstensi

Membersihkan jalan nafas dengan suction (penghisap lendir) secara teratur.

Pemberian oksigen.

Monitoring keadaan umum, tanda vital dan komplikasi yang mungkin terjadi
perlu dilakukan secara intensif. Peningkatan suhu tubuh sehubungan dengan
proses infeksi dapat diatasi dengan :
o Memberikan kompres pada dahi dan atau ketiak, apabila suhu > 38

Celcius perlu diberi antipiretik.


o Memberikan pakaian yang mudah menyerap keringat.
Medikamentosa
a.

Suportif / Simtomatis :
Oksigen yang dilembabkan, kecepatan aliran 1 2 liter/menit atau
konsentrasi 28 % , bertujuan

untuk mengatasi hipoksemia, mengurangi

kehilangan air insensibel akibat takipnu, mengurangi dispnu, menghilangkan


kecemasan dan kegelisahan. Jika keadaannya lebih berat, oksigen sebaiknya
diberikan dengan konsentrasi 40 % menggunakan head box yang dipantau
dengan pulse oximetri, dan kemudian konsentrasi oksigen diturunkan sesuai
perbaikan saturasinya.
15

Menjamin hidrasi yang adekuat melalui cairan parenteral

maupun

enteral untuk mengimbangi pengaruh dehidrasi akibat takipnu.

Pemberian kortikosteroid sampai saat ini masih kontroversial. Umumnya


diberikan pada kasus yang gawat / kritis.Titik tangkap kortikosteroid adalah
sebagai anti inflamasi sehingga dapat meringankan obstruksi pada bronkioli.
Obat yang dipilih adalah deksametason inisial 0,5 mg/KgBB, dilanjutkan 0,5
mg/KgBB/hari dibagi 3 4 dosis, atau hidrokortison 5 10 mg/KgBB/hari
tiap 6 8 jam sampai klinis membaik.

Antipiretik diberikan bila suhu 38 0 Celcius

Obat mukolitik dipertimbangkan pemberiannya dalam kaitannya dengan


adanya hipersekresi mukus.

Penderita ini diberi ambroksol 3 x 4 mg.

Ambroksol adalah suatu benzylamin derivat vasicine, berguna dalam


meningkatkan sekresi mukus dan mengurangi viskositas/kekentalannya serta
memperbaiki transport mukosilier.
b.

Kausatif :
Obat anti virus Ribavirin (virazol), suatu nukleotida sintetis, telah digunakan
di luar negeri sebagai terapi spesifik. Pemberiannya secara inhalasi terusmenerus 12 20 jam/hari selama 3 5 hari, cukup efektif mengurangi gejala
bronkiolitis jika diberikan sedini mungkin (pada awal perjalanan infeksi).
Namun dalam suatu penelitian melaporkan bahwa pemberian ribavirin tidak
begitu menurunkan lama rawat inap di rumah sakit dan angka mortalitas.
Pengaruh jangka lama masih belum diketahui. Karenanya, penggunaannya
hanya terindikasi pada bayi yang amat sakit atau pada bayi berisiko tinggi,
seperti bayi dengan penyakit jantung kongenital sianotik, displasia
bronkopulmoner berat, atau immunodefisiensi berat. Penderita ini tidak
diberikan.
Antibiotika sebenarnya tidak mempunyai nilai terapeutis, tetapi karena sulit
dibedakan dengan pneumonia bakteri, antibiotika tetap diberikan secara
empris, terutama pada keadaan umum yang kurang membaik dan kecurigaan
adanya infeksi sekunder. Biasanya diberikan ampisilin 100 mg/kgBB/24 jam,
dalam 4 dosis atau eritromisin 50 mg/kgBB/24 jan dalam 4 dosis. Pada
penderita ini tidak diberikan.

16

Aspek Edukatif
Peranan edukasi sangat penting dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas
akibat penyakit yang diderita serta mencegah kekambuhan di masa mendatang.
Edukasi yang diberikan meliputi upaya preventif, promotif dan rehabilitatif.
a. Preventif.

Menjaga higiene dan sanitasi lingkungan rumah, serta kebersihan


bahan/alat-alat makan.

Menghindari kontak dengan penderita batuk, pilek dan perokok.


Mencegah terjadinya penyebaran nosokomial dengan memperhatikan teknik
asepsis dalam merawat penderita.
b. Promotif

Meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara menjaga kualitas dan


kuantitas makanan agar tetap sesuai dengan angka kecukupan gizi, baik bagi
ibu maupun penderita, serta melakukan imunisasi sesuai jadwal.

Segera membawa ke tempat pelayanan kesehatan jika anak sakit.


Menciptakan rumah yang sehat dengan memperbaiki ventilasi dan merubah
perilaku hidup sehat yang masih kurang.
c. Rehabilitatif

Melakukan latihan pengeluaran lendir saluran pernafasan dengan postural


drainase (penderita dalam posisi tengkurap dan dilakukan masase/tepuktepuk pada punggung).
Melakukan mobilisasi terhadap penderita secara bertahap.

VII.

Prognosis
Pada dasarnya penyakit bronkiolitis jika ditangani dengan cepat dan tepat

dapat sembuh dan mengalami perbaikan secara singkat dimana penyembuhan


dapat berlangsung beberpa hari. Fase kritis dari penyakit ini terjadi selama 4872 jam pertama sesudah batuk dan dispnea mulai terlihat. Selama masa ini bayi
tampak sangat sakit, serangan apnea terjadi pada bayi yang sangat muda, dan
asidosis repiratori mungkin ada.

17

Kematian dapat terjadi akibat dari serangan apnea yang lama, asidosis
repiratori berat yang tidak terkompensasi, atau dehidrasi berat akibat kehilangan
penguapan air dan taquipnea seta ketidakmampuan minum cairan. Bayi yang
memiliki keadaan-keadaan, misalnya penyakit jantung kongenital, displasia
bronkopulmonal, penyakit imunodefisiensi, atau kistik fibrosis mempunyai angka
morbiditas yang lebih besar dan mempunyai sedikit kenaikan angka mortalitas.
Infeksi bronkiolitis akut berat pada bayi bisa berkembang menjadi asma.
Ehlenfield dkk mengatakan jumlah eosinofil pada saat bronkiolitis lebih banyak
pada bayi yang nantinya akan menderita mengi pada usia 7 tahun, yaitu median
98 sel/mm3. Adanya eosinofilia dimungkinkan bahwa mengi akan berlanjut pada
masa kanak-kanak.

Kriteria yang menjadi faktor risiko asma adalah

didapatkannya 2 faktor risiko mayor atau 1 faktor resiko mayor + 2 faktor risiko
minor.
- Faktor risiko major yaitu asma pada orang tua dan eksema pada anak.
- Faktor risiko minor adalah Rinitis alergi, mengi diluar selesma dan eosinofilia.

18

DAFTAR PUSTAKA

1.

Sidhartani M. Bronkiolitis. Dalam : Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi


pertama. Jakarta: UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2008: 333-347

2.

Staf Pengajar FK UI. Bronkiolitis akut. Dalam : Buku kuliah ilmu


kesehatan anak jilid 3. Jakarta. Bagian IKA FK UI. 1991 : 1233 1234

3.

Mansjoer, Suprohaita, dkk. Bronkiolitis akut. Dalam : Kapita selekta


kedokteran jilid 2. Jakarta. Media Ausculapius FK UI. 2000 : 468 469

4.

Orenstein DM. Bronkiolitis. Dalam : Behrman, Kliegman, Arvin editor.


Nelson, ilmu kesehatan anak edisi 15. Jakarta. EGC. 2000 : 1484 1486

5.

McIntosh K. Virus sinsitial respiratori. Dalam : Behrman, Kliegman, Arvin


editor. Nelson, ilmu kesehatan anak edisi 15. Jakarta. EGC. 2000 : 1112
1114

6.

Guyton. Buku ajar fisiologi kedokteran jilid II edisi 7. Jakarta. EGC.


1994 : 158 159

7.

Price SA, Wilson LM. Patofisiologi jilid II edisi 4. Jakarta. EGC. 1995 :
645 648

8.

Camitta BM. Anemia. Dalam : Behrman, Kliegman, Arvin editor. Nelson,


ilmu kesehatan anak edisi 15. Jakarta. EGC. 2000 : 1680 1682

9.

Sidhartani M. Bronkiolitis. Dalam : Riwanto I, Sidartani M editor.


Penatalaksanaan terpadu sesak nafas. Semarang. Badan Penerbit UNDIP.
1998 : 52 57

10.

J.Zorc Joseph, Caroline Breese Hall. Bronchiolitis: Recent Evidence On


Diagnosis And Management. Official journal of the American of
Pediatric.125(2). 2010. 342-349
Availabel from : http://pediatrics.aappublications.org/content/125/2/342.full

19

Anda mungkin juga menyukai