Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JANUARI 2018


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

TB PARU PADA ANAK

DISUSUN OLEH:
REGI MAYANG LESTARI
111 2018 1009

PEMBIMBING:
dr. H. Akhmad Kadir, Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. iii

PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI ...................................................................................... 2

2. EPIDEMIOLOGI ......................................................................... 2

3. FAKTOR RESIKO ...................................................................... 2

4. CARA PENULARAN .................................................................. 4

5. PATOGENESIS............................................................................ 5

6. DIAGNOSIS.................................................................................. 9

7. PENATALAKSANAAN .............................................................. 14

8. PEMANTAUAN ........................................................................... 18

9. PENCEGAHAN............................................................................ 20

10. PROGNOSIS ................................................................................ 23

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 24

ii
PENDAHULUAN
Penyakit tuberkulosis pada anak merupakan penyakit yang bersifat sistemik,
yang dapat bermanifestasi pada berbagai organ, terutama paru. Sifat sistemik ini
disebabkan oleh penyebaran hematogen dan limfogen setelah terjadi infeksi
Mycobacterium tuberculosis. Data insidens dan prevalens tuberkulosis anak tidak
mudah. Dengan penelitian indeks tuberculin dapat diperkirakan angka kejadian
prevalens tuberkulosis pada anak. Kriteria masalah tuberkulosis di suatu negara
adalah kasus BTA positif per satu juta penduduk. Jadi sampai saat ini belum ada satu
negara pun yang bebas tuberkulosis. TB merupakan penyakit yang dapat dicegah
dengan pemberian imunisasi BCG pada anak dan pengobatan sumber infeksi, yaitu
penderita TB dewasa.1

1
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium
tuberculosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua
organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi
infeksi primer.1

2.2 Epidemiologi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru,
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB Anak adalah penyakit TB
yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Di negara-negara berkembang jumlah
anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40−50% dari jumlah seluruh populasi
umum dan terdapat sekitar 500.000 anak di dunia menderita TB setiap tahun.
Proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB pada tahun 2010 adalah
9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011, 8,2% pada tahun 2012, 7,9%
pada tahun 2013, 7,16% pada tahun 2014 dan 9% di tahun 2015. Apabila dilihat
data per provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%.
Variasi proporsi ini mungkin menunjukkan endemisitas yang berbeda antara
provinsi, tetapi bisa juga karena perbedaan kualitas diagnosis TB anak pada level
provinsi.2

2.3 Faktor Risiko


Perkembangan TB pada manusia melalui dua proses, yaitu pertama seseorang
yang rentan bila terpajan oleh kasus TB yang infeksius akan menjadi tertular TB
(infectious TB), dan setelah beberapa lama kemudian baru menjadi sakit.
Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun

2
timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor
risiko infeksi dan faktor risiko progresifitas infeksi menjadi penyakit (risiko
penyakit).3

1. Risiko Infeksi Tuberkulosis


Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang
terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah
endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak
baik), dan tempat penampungan umum, yang banyak terdapat pasien TB
dewasa aktif. Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan
terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif. Berarti
bayi dari seorang ibu dengan BTA sputum positif memiliki risiko tinggi
ternfeksi TB.3
Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan
lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif ,
infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer,
batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat
terutama sirkulasi udara yang tidak baik. Pasien TB anak jarang menularkan
kuman pada anak lain atau orang dewasa di sekitarnya. Hal ini dikarenakan
kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam sekret endobronkial pasien
anak. Beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut. Pertama, jumlah
kuman pada TB anak pada umumnya sedikit (paucibacillary), tetapi karena
imunitas anak masih lemah, jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu
menyebabkan sakit. Kedua, lokasi infeksi primer yang kemudian
berkembang menjadi sakit TB primer biasanya terjadi di daerah parenkim
yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi sputum. Ketiga, tidak
ada/sedikitnya produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk di
daerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada TB
anak.3

3
2. Risiko Sakit Tuberkulosis
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB.
Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya
infeksi TB menjadi sakit TB. Faktor risiko yang pertama adalah usia. Anak
berusia < 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi
menjadi sakit TB karena imunitas selularnya belum berkembang sempurna
(imatur). Risiko sakit TB akan berkurang secara bertahap seiring dengan
pertambahan usia. Resiko tertinggi terjadinya progresivitas dari infeksi menjadi
sakit TB selama satu tahun pertama setelah infeksi, terutama selama 6 bulan
pertama. Pada bayi, rentang waktu antara terjadi infeksi dan timbul sakit TB
singkat (kurang dari 1 tahun) dan timbul gejala akut. Faktor risiko berikutnya
adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari
negatif menjadi positif) dalam satu tahun terakhir. Faktor risiko lainnya adalah
malnutrisi, keadaan imunokompromais, diabetes melitus dan gagal ginjal
kronik.3

2.4 Cara Penularan4


1. Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun
anak.
2. Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di sekitarnya ,
kecuali anak tersebut BTA positif atau menderita adult type B.
3. Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan,
lama pajanan, daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif
memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada pasien TB
dengan BTA negatif.
4. Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan menularkan
penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65 % pasien
BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26 % sedangkan pasien TB
dengan hasil kultur negatif dan foto thorax positif adalah 17 %.

4
2.5 Patogenesis2
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil (< 5 mm), kuman TB dalam percik renik (droplet
nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan
segera diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar
kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman
TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan menyebabkan
makrofag mengalami lisis, dan kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut.
Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju ke
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru,
yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis), dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang
waktu 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respon
imunitas seluler.

5
Selama minggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik
kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap
tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya
kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut
ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu
timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji
tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler
tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem
imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi
kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam
granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke
dalam alveoli akan segera dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkejuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga
akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer
di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika
terjadi nekrosis perkejuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar
melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal saat awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan
hiperinflamasi di segmen distal paru. Obstruksi total dapat menyebabkan
atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkejuan dapat
merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB

6
endobronkial atau membentuk fistula. Massa keju dapat menimbulkan obstruksi
komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan
atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan
pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB
menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan
gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh
tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi
baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau
lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan
membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan
membatasi pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman.
Fokus ini umunya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi
untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apeks paru disebut sebagai
fokus Simon. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun,
fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ
terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB

7
secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu
2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah
dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.
Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu
dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic
spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan
melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang kurang lebih sama. Istilah milier
berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-
padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul
kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologik merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkejuan
menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan
masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran
tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal
ini dapat terjadi secara berulang.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),
biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB
paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB
paru kronik. Sebanyak 0,5-3 %, penyebaran limfohematogen akan menjadi TB
milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi
primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmentel yang timbul akibat
pembesaran kelenjar regional), dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9
bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia
terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi
kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini
jarang terjadi pada anak tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.

8
2.6 Diagnosis
1. Anamnesis
Manifestasi klinis penyakit TB ada dua yaitu gejala umum dan gejala
spesifik sesuai organ yang terkena. Gejala umum penyakit TB tidak khas,
dalam arti gejala tersebut dapat disebabkan oleh berbagai kelainan/penyakit
lain. Gejala yang membuat dokter perlu mempertimbangkan TB sebagai
penyebab adalah masalah makan dan berat badan. Nafsu makan yang kurang,
berat badan yang sulit naik, menetap, atau malah turun merupakan gejala
penyakit TB. Kemungkinan masalah gizi sebagai penyebab harus
disingkirkan dulu dengan tatalaksana yang adekuat selama minimal 1 bulan.
Pasien sakit TB dapat memberi gejala demam subfebris berkepanjangan.
Etiologi demam kronik yang lain perlu disingkirkan dahulu, seperti misalnya
infeksi saluran kemih, tifus atau malaria. Pembesaran kelenjar superfisial di
daerah leher, aksila, inguinal atau tempat lain tidak jarang menjadi keluhan
orang tua pasien. Keluhan respiratorik dapat berupa batuk kronik lebih dari 3
minggu, atau nyeri dada. Dapat pula dijumpai gejala gastrointestinal seperti
diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku, perut membesar
karena cairan, atau teraba massa dalam perut.1
Keluhan spesifik organ dapat terjadi bila TB mengenai organ
ekstrapulmonal seperti ditemukannya benjolan di punggung (gibbus), sulit
membungkuk, pincang atau pembengkakan sendi. Bila mengenai susunan saraf
pusat, dapat terjadi gejala iritabel, leher kaku, muntah-muntah dan kesadaran
menurun. Gambaran kelainan kulit yang khas yaitu skrofuloderma dan lesi
flikten di mata.1

9
2. Pemeriksaan Fisis
Pada sebagian besar kasus TB, tidak dijumpai kelainan fisis yang khas.
Biasanya sesuai dengan keluhan masalah makan dan berat badan, pada
pemeriksaan antropometri dijumpai gizi kurang dengan grafik berat badan
dan tinggi badan pada posisi di daerah bawah atau di bawah P5. Suhu
subfebris dapat ditemukan pada sebagian pasien.1
Kelainan pada pemeriksaan fisis baru dijumpai jika TB mengenai
organ tertentu. Pada TB vertebra dapat dijumpai gibbus, kifosis, paraparesis,
atau paraplegia. Jalan pincang, nyeri pada pangkal paha atau lutut dapat
terjadi pada TB koksae atau TB genu. Pembesaran kelenjar getah bening
dicurigai ke arah TB jika bersifat multipel, tidak nyeri tekan, dan konfluens
(saling menyatu). Jika terjadi Meningitis TB, dapat ditemukan kaku kuduk
dan tanda rangsang meningeal lain. Ulkus kulit dengan skinbridge yang
merupakan ciri khas skorfuloderma biasanya terjadi di daerah leher, aksila,
atau inguinal. Skrofuloderma ditandai oleh massa yang padat atau fluktuatif,
sinus yang mengeluarkan cairan, ulkus dengan dasar bergranulasi dan tidak
beraturan serta tepi bergaung, serta sikatriks yang menyerupai jembatan.
Pada mata dapat dijumpai konjungtivitis fliktenularis yaitu bintik putih di
limbus kornea yang sangat nyeri.1

3. Pemeriksaan Penunjang1
a. Uji tuberkulin : dengan cara Mantoux yaitu penyuntikan 0,1 ml
tuberkulin PPD secara intrakutan di bagian volar lengan dengan arah
suntikan memanjang lengan (longitudinal). Reaksi diukur 48-72 jam
setelah penyuntikan. Indurasi tranversal diukur dan dilaporkan dalam mm
berapapun ukurannya, termasuk cantumkan 0 mm jika tidak ada indurasi
sama sekali. Indurasi 10 mm ke atas dinyatakan positif. Indurasi < 5 mm
dinyatakan negatif, sedangkan indurasi 5-9 mm meragukan dan perlu
diulang, dengan jarak waktu minimal 2 minggu. Uji tuberkulin positif

10
menunjukkan adanya infeksi TB dan kemungkinan TB aktif (sakit TB)
pada anak. Reaksi uji tuberkulin positif biasanya bertahan lama hingga
bertahun-tahun walau pasiennya sudah sembuh, sehingga uji tuberkulin
tidak digunakan untuk memantau pengobatan TB.

b. Foto toraks antero-posterior (AP) dan lateral kanan. Gambaran radiologis


yang sugestif TB di antaranya : pembesaran kelenjar hilus atau
paratrakeal, konsolidasi segmen/lobus paru, milier, kavitas, efusi pleura,
atelektasis, atau kalsifikasi.

c. Pemeriksaan mikrobiologik dari bahan bilasan lambung atau sputum,


untuk mencari basil tahan asam (BTA) pada pemeriksaan langsung dan
Mycobacterium tuberculosis dari biakan. Hasil biakan positif merupakan
diagnosis pasti TB. Hasil BTA atau biakan negatif tidak menyingkirkan
diagnosis TB.

d. Pemeriksaan patologi dilakukan dari biopsi kelenjar, kulit, atau jaringan


lain yang dicurigai TB.

e. Pemeriksaan serologi seperti PAP TB, ICT, Mycodot dan lain-lain, nilai
diagnostiknya tidak lebih unggul daripada uji tuberkulin sehingga tidak
dianjurkan. Sampai saat ini semua pemeriksaan diagnostik TB hanya dapat
mendeteksi adanya infeksi TB, tapi tidak dapat membedakan ada tidaknya
penyakit TB.

f. Funduskopi perlu dilakukan pada TB milier dan Meningitis TB.

11
g. Pungsi lumbal harus dilakukan pada TB milier untuk mengetahui ada
tidaknya meningitis TB.

h. Foto tulang dan pungsi pleura dilakukan atas indikasi.

i. Pemeriksaan darah tepi, laju endap darah, urin dan feses rutin, sebagai
pelengkap data namun tidak berperan penting dalam diagnostik TB.

Diagnosis TB anak ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan


penunjang, seperti uji tuberkulin, pemeriksaan laboratorium, dan foto rontgen dada.
Adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa BTA positif, uji tuberkulin positif, dan
foto paru yang mengarah pada TB (sugestif TB) merupakan bukti kuat yang menyatakan
anak telah sakit TB.5

12
Tabel 1. Sistem skoring gejala dan pemeriksaan penunjang TB anak4,6

Parameter 0 1 2 3 Skor
Laporan
keluarga,
kontak dengan
Kontak dengan pasien BTA Kontak dengan
pasien TB Tidak jelas - negatif atau pasien BTA positif
tidak tahu,
atau BTA
tidak jelas

Positif (≥10 mm,


atau ≥ 5 mm pada
Uji tuberculin Negative - - pasien
imunokompromais)

Gizi kurang : Gizi buruk :


Berat badan/keadaan BB/TB<90 % BB/TB <70%
gizi (dengan KMS - atau BB/U < atau BB/U < -
atau tabel) 80 % 60%

Demam tanpa sebab


- ≥ 2 minggu
jelas - -

- ≥ 2 minggu
Batuk - -
Pembesaran kelenjar ≥ 1 cm
limfe koli, - Jumlah ≥ 1
- -
aksila,inguinal KGB,tidak
nyeri
Pembengkakan
tulang/sendi Ada
panggul, lutut, - pembengkaka - -
falang n

Normal/
Gambaran
Foto thorax - -
tidak jelas sugestif TB

JUMLAH SKOR (maksimal 13)

13
Catatan :4,6
a. Kontak dengan pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis
hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari TB 01
atau dari hasil laboratorium
b. Penentuan status gizi :
1. Berat badan dan panjang/tinggi badan dinilai saat pasien datang (moment
opname)
2. Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. penentuan status gizi
untuk anak usia ≤ 6 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes 2016,
sedangkan untuk anak usia > 6 tahun merujuk pada standar WHO 2005
yaitu grafik IMT/U
3. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1-2
bulan.
c. Hitung skor total :
1. Jika skor total ≥ 6, makan didiagnosis TB dan obati dengan OAT
2. Jika skor total 6, yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif
dan uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan
observasi atau pemberian INH profilaksis tergantung dari umur anak
tersebut.
3. Jika skor total < 6, dan uji tuberkulin negatif atau tidak ada kontak erat,
maka diobservasi gejala selama 2-4 minggu, bila menetap, evaluasi ulang
kemungkinan diagnosis TB atau rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
yang lebih tinggi.
4. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang
meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih
lanjut.
5. Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala
klinis lain, pada fansyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat
didiagnosis, diterapi dan dipantau sebagai TB anak. Pemantauan

13
dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila terdapat perbaikan klinis,
maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai.

2.7 Penatalaksanaan7
1. Medikamentosa
Terapi TB terdiri dari dua fase, yaitu :
a) Fase intensif : 3-5 OAT selama 2 bulan awal
b) Fase lanjutan dengan paduan 2 OAT (INH-rifampisin) hingga 6-
12 bulan.
Pada anak, obat TB diberikan secara harian (daily) baik pada fase
intensif maupun fase lanjutan.6
a) TB paru : INH, rifampisin, dan pirazinamid selama 2 bulan fase intensif,
dilanjutkan INH dan rifampisin hingga genap 6 bulan terapi (2HRZ-
4HR).
b) TB paru berat (milier, destroyed lung) dan TB ekstra paru : 4-5 OAT
selama 2 bulan fase intensif, dilanjutkan dengan INH dan rifampisin
hingga genap 9-12 bulan terapi.
c) TB kelenjar superfisial : terapinya sama dengan TB paru.
d) TB milier dan efusi pleura TB diberikan prednison 1-2 mg/kgBB/hari
selama 2 minggu, kemudian dosis diturunkan bertahap (tappering off)
selama 2 minggu, sehingga total waktu pemberian 1 bulan.

14
Tabel 2 : Obat yang lazim digunakan dalam terapi TB pada bayi, anak, dan
remaja6
Obat Sediaan Dosis Dosis Efek samping
mg/kgBB maksimal
Isoniazid Tablet 100 dan 5-15 300 mg Peningkatan
300 mg; sirup transaminase,
(INH/H) 10 mg/ml hepatitis,
neuritis perifer,
hipersensitivitas

Rifampisin Kapsul/tablet 10-15 600 mg Urin/sekresi


150,300,450,600 warna kuning,
(RIF/R) mg, sirup 20 mual-muntah,
mg/ml hepatitis, flu-like
reaction.

Pirazinamid Tablet 500 mg 25 – 35 2g Hepatotoksisitas,


hipersensitivitas
(PZA/P)
Etambutol Tablet 500 mg 15-20 2,5 g Neuritis optikal
(EMB/E) (reversibel),
gangguan visus,
gangguan warna,
gangguan
saluran cerna

Streptomisin Vial 1 g 15-30 1g Ototoksisitas,


(SM/S) nefrotoksisitas

Catatan:
a. Menurut WHO,IUATLD, dan ERS, dosis INH 5 mg/kgBB adekuat dan aman.

b. Jika INH dipadu dengan rifampisin, dosis INH tidak lebih dari 10 mg/kgBB dan
rifampisin 15 mg/kgBB untuk mengurangi insidens hepatitis.

15
Kombinasi Dosis Tetap OAT (FDC)
Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan
minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentukpaket kombipak. Satu paket
kombipak dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Kombipak dan
pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu
paket.5
Di tempat dengan sarana kesehatan yang lebih memadai, untuk meningkatkan
kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat
yang banyak, dalam program penanggulangan TB anak telah dibuat obat TB dalam
bentuk kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination=FDC).5

Tabel 3. Dosis Kombinasi Pada TB Anak5

Berat badan (Kg) 2 bulan 4 bulan


RHZ (75/50/150) RH (75/50)
5–9 1 tablet 1 tablet
10 – 14 2 tablet 2 tablet
15 – 19 3 tablet 3 tablet
20 – 32 4 tablet 4 tablet

Keterangan :5
R : Rifampisin, H: Isoniasid, Z: Pirazinamid
a) Bayi di bawah 5 kg, pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk
kombinasi tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS tipe C atau lebih tinggi.

b) Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.

c) Anak dengan BB ≥ 33 kg dosisnya sama dengan dosis dewasa.

d) Tablet obat harus diberikan secara utuh.

e) Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah, atau dimasukkan air
dalam sendok.

16
Kelompok risiko tinggi memerlukan medikamentosa profilaksis.7
a) Profilaksis primer untuk mencegah tertular/infeksi pada kelompok yang
mengalami kontak erat dengan pasien TB dewasa dengan uji BTA positif.
b) Profilaksis sekunder untuk mencegah terjadinya sakit TB pada kelompok
yang telah terinfeksi TB tapi belum sakit TB.
Konsep dasar profilaksis primer dan sekunder berbeda, namun obat dan dosis yang
digunakan sama yaitu INH 5-10 mg/kgBB/hari. Profilaksis primer diberikan pada
balita sehat yang memiliki kontak dengan pasien TB dewasa dengan BTA sputum
positif, namun pada evaluasi dengan sistem skoring, didapatkan skor ≤ 5. Profilaksis
primer diberikan selama kontak masih ada, minimal selama 3 bulan. Pada akhir 3
bulan dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika hasilnya negatif, dan kontak tidak ada,
profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin menjadi positif, dievaluasi
apakah hanya terinfeksi atau sudah sakit TB. Jika hanya infeksi profilaksis primer
dilanjutkan sebagai profilaksis sekunder. Profilaksis sekunder diberikan selama 6-12
bulan yang merupakan waktu risiko tertinggi terjadinya sakit TB pada pasien yang
baru terinfeksi TB.5,7

2. Bedah7

a) TB paru berat dengan destroyed lung untuk lobektomi atau


pneumektomi.

b) TB tulang seperti spondilitis TB, koksitis TB, atau gonitis TB.

c) Tindakan bedah dapat dilakukan setelah terapi OAT selama


minimal 2 bulan, kecuali jika terjadi kompresi medula spinalis
atau ada abses paravertebra tindakan bedah perlu lebih awal.

17
3. Suportif 7
Asupan gizi yang adekuat sangat penting untuk keberhasilan terapi
TB. Jika ada penyakit lain juga perlu mendapat tata laksana memadai.
Fisioterapi dilakukan pada kasus pasca bedah.

2.8 Pemantauan
Terapi
a) Respon klinis
Respon yang baik dapat dilihat dari perbaikan semua keluhan
awal. Nafsu makan yang membaik, berat badan yang meningkat
dengan cepat, hilangnya keluhan demam, batuk lama, tidak mudah
sakit lagi. Respon yang nyata biasanya terjadi dalam 2 bulan awal (fase
intensif). Setelah itu perbaikan klinis tidak lagi sedramatis fase intensif. 7
b) Evaluasi radiologi
Dilakukan pada akhir pengobatan, kecuali jika ada perburukan
klinis. Jika gambaran radiologis juga memburuk, evaluasi kepatuhan
minum obat, dan kemungkinan kuman TB resisten obat. Terapi TB
dimulai lagi dari awal dengan paduan 4 OAT. 7

c) Efek samping OAT


Efek samping OAT jarang dijumpai pada anak jika dosis dan cara
pemberiannya benar. Efek samping yang kadang muncul adalah
hepatotoksisitas, dengan gejala ikterik yang bisa disertai keluhan
gastrointestinal lainnya. Keluhan ini biasanya muncul dalam fase
intensif. Pada kasus yang dicurigai adanya kelainan fungsi hepar, maka
pemeriksaan transaminase serum dilakukan sebelum pemberian OAT,
dan dipantau minimal tiap 2 minggu dalam fase intensif. 7

18
d) Jika timbul ikterus OAT dihentikan, dan dilakukan uji fungsi hati
(bilirubin dan transaminase). Bila ikterus telah menghilang dan kadar
transaminase < 3x batas atas normal, paduan OAT dapat dimulai lagi
dengan dosis terendah. Yang perlu diingat, reaksi hepatotoksisitas
biasanya muncul karena kombinasi dengan berbagai obat lain yang
bersifat hepatotoksik seperti parasetamol, fenobarbital, dan asam
valproat. 7
e) Dalam pemberian terapi dan profilaksis TB evaluasi dilakukan tiap
bulan. Bila pada evaluasi profilaksis TB timbul gejala klinis TB,
profilaksis diubah menjadi terapi TB. 7
Tumbuh Kembang
Pertumbuhan pasien akan mengalami perbaikan nyata. Data berat badan dicatat
tiap bulan dan dimasukkan dalam grafik tumbuh untuk memantau pola tumbuh pasien
selama menjalani terapi. Walau berat badan belum mencapai ideal, namun pola grafiknya
sudah menaik dan memasuki ‘pita’ di atasnya, sudah dinilai sebagai respon yang baik.7
TB anak umumnya tidak menular, sehingga pasien TB anak tidak perlu
dikucilkan, agar tidak mengganggu aspek kembang dan kejiwaan pasien. KIE untuk
orang tua pasien.7
a) Pengobatan TB berlangsung lama, minimal 6 bulan, tidak boleh terputus, dan harus
kontrol teratur tiap bulan.
b) Obat rifampisin dapat menyebabkan cairan tubuh (air seni, air mata, keringat, ludah)
berwarna merah.
c) Secara umum obat sebaiknya diminum dalam keadaan perut kosong yaitu 1 jam
sebelum makan/minum susu, atau 2 jam setelah makan. Khusus untuk rifampisin
harus diminum dalam keadaan perut kosong.
d) Bila timbul keluhan kuning pada mata, mual, dan muntah, segera periksa ke dokter
walau belum waktunya.

19
2.9 Pencegahan Tuberkulosis pada Anak
Diagnosis penyakit TB pada anak sangat sulit, karena gejala umumnya
yang tidak khas dan sulit untuk mendapatkan spesimen diagnostik. Oleh
karena itu, upaya deteksi dini dan terapi yang adekuat merupakan bagian
terpadu dari upaya promotif-preventif. Imunisasi BCG hingga saat ini masih
dilakukan, walau oleh sebagian kalangan efektivitasnya diragukan.
Diharapkan dalam waktu dekat sudah ditemukan vaksin TB yang lebih
efektif. Asupan gizi yang baik akan meningkatkan daya tahan anak terhadap
risiko infeksi dan sakit TB. Upaya pelacakan tidak boleh diabaikan. Bila
tenaga medis menemukan pasien TB dewasa dengan BTA sputum positif
maka lacak sentrifugal harus dilakukan, yaitu mencari orang terutama anak
yang memiliki kontak erat dengan pasien tersebut, untuk mencari
kemungkinan apakah orang tersebut telah terinfeksi atau bahkan sakit TB.
Deteksi infeksi TB dilakukan dengan menggunakan uji tuberkulin cara
Mantoux. Pada anak yang didiagnosis TB, lacak sentripetal juga harus
dilakukan, yaitu mencari orang dewasa sebagai sumber penularannya. 1
a) Vaksinasi BCG (Bacillus Celmette Guerin)
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup yang memberi perlindungan
terhadap penyakit TB. Vaksin TB tidak mencegah infeksi TB, tetapi
mencegah infeksi TB berat (meningitis TB dan TB milier), yang sangat
mengancam nyawa. Vaksin BCG dapat memakan waktu 6-12 minggu
untuk menghasilkan efek (perlindungan) kekebalannya. Vaksinasi BCG
memberikan proteksi yang bervariasi antara 50-80 % terhadap
tuberkulosis. Pemberian vaksinasi BCG sangat bermanfaat bagi anak,
sedangkan bagi orang dewasa manfaatnya masih kurang jelas.8
Di Indonesia, vaksin BCG merupakan vaksin yang diwajibkan
pemerintah. Vaksin ini diberikan pada bayi yang baru lahir dan sebaiknya
diberikan pada umur sebelum 2 bulan. Vaksin BCG juga diberikan pada
anak usia 1-15 tahun yang belum divaksinasi (tidak ada catatan atau tidak

20
ada skar), imigran, komunitas travelling, dan pekerja di bidang kesehatan
yang belum divaksinasi (tidak ada catatan atau skar). Setelah vaksinasi,
papul (bintik) merah yang kecil timbul dalam waktu 1-3 minggu. Papul
ini akan semakin lunak, hancur, dan menimbulkan parut. Luka ini
mungkin memakan waktu sampai 3 bulan untuk sembuh. Biarkan tempat
vaksinasi sembuh sendiri dan pastikan agar tetap bersih dan kering.
Jangan menggunakan krim atau salep, plester yang melekat, kapas atau
kain langsung pada tempat vaksinasi. Vaksinasi BCG tidak terlepas
memberikan efek samping, maka perlu diketahui bahwa vaksin ini tidak
dianjurkan pada seseorang yang mengalami penurunan status kekebalan
tubuh dan uji tuberkulin positif. Vaksin BCG dapat diberikan bersamaan
dengan vaksin lain. Misalnya Dtap/IPV/Hib. Saat memberikan vaksin
BCG, imunisasi primer lain juga diberikan. Lengan yang digunakan untuk
imunisasi BCG jangan digunakan untuk imunisasi lain selama minimal 3
bulan, agar tidak terjadi limphadenitis.8
Imunisasi BCG terbaik diberikan pada usia 2-3 bulan karena pada
bayi usia < 2 bulan sistem imun anak belum matang. Pemberian imunisasi
penyokong (booster) tidak dianjurkan.9

b) Skrining dan Manajemen Kontak4


Skrining dan manajemen kontak adalah kegiatan investigasi yang
dilakukan secara aktif dan intensif untuk menemukan 2 hal yaitu anak yang
mengalami paparan dari pasien TB BTA positif, dan orang dewasa yang menjadi
sumber penularan bagi anak yang didiagnosis TB.
Latar belakang perlunya investigasi kontak :
a) Konsep infeksi dan sakit pada TB.
b) Anak yang kontak erat dengan sumber kasus TB BTA positif sangat
berisiko infeksi TB dibanding yang tidak kontak yaitu sebesar 24,4-69,2
%.

21
c) Bayi dan anak usia < 5 tahun, mempunyai risiko sangat tinggi untuk
berkembangnya sakit TB, terutama pada 2 tahun pertama setelah infeksi,
bahkan pada bayi dapat terjadi sakit TB dalam beberapa minggu.
d) Pemberian terapi pencegahan pada anak infeksi TB, sangat mengurangi
kemungkinan berkembangnya sakit TB.
Kasus TB yang memerlukan skrining kontak adalah semua kasus TB dengan
BTA positif dan semua kasus anak yang didiagnosis.
3. Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid4
Sekitar 50-60 % anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan
BTA sputum positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10 % dari jumlah
tersebut akan mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi
menjadi TB berat (misalnya TB meningitis atau TB milier) sehingga diperlukan
pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB.

Tabel 4. Cara pemberian Isoniazid untuk Pencegahan sesuai dengan tabel berikut:4
Umur HIV Hasil pemeriksaan Tatalaksana
(+)/(-) Infeksi laten TB
Balita INH Profilaksis

(+)/(-) Kontak (+), uji


Balita INH Profilaksis
tuberkulin (-)
>5 tahun (+) Infeksi laten TB INH Profilaksis
>5 tahun (+) Sehat INH Profilaksis
>5 tahun (-) Infeksi laten TB Observasi
>5 tahun (-) Sehat Observasi

Keterangan :4
a) Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15
mg/kg) setiap hari selama 6 bulan.

22
b) Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan
terhadap adanya gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke
4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika
terbukti sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke regimenterapi TB anak
dimulai dari awal.

c) Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB


selama 6 bulan pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat
dihentikan.

d) Bila anak tersebut belum pernah mendapatkan imunisasi BCG, perlu


diberikan BCG setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai.

2.10 Prognosis

Tergantung dari luas proses,saat mulai pengobatan, kepatuhan penderita,


mengikuti aturan penggunaan, dan cara pengobatan yang digunakan.4

23
Daftar Pustaka
1) Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UNHAS. Standar Pelayanan Medis
Kesehatan Anak. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNHAS. 2013. Hal
40-46.
2) Rahajoe. N. N. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Jakarta : Kementrian
Kesehatan RI. 2016.
3) Cissy B. Kartasasmita. Epidemiologi Tuberkulosis. Jurnal Sari Pediatri Volume
11. 2009.
4) Rahajoe. N. N. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Jakarta : Kementrian
Kesehatan RI. 2017.
5) Kelompok Kerja TB Anak. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis Anak.
Departemen Kesehatan-IDAI. 2008. Hal 1-15.
6) World Health Organization. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta
: WHO Indonesia. 2009.
7) Pudjiaji, Antonius H, dkk (ed). Pedoman Peyanan Medis Ikatan Dokter Anak
Edisi II. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011. Hal
325-328.
8) Cahyono, Lusi, dkk (ed). Vaksinasi. Yogyakarta : Kanisus. 2010. Hal 51-52.
9) Rusmil, K. Imunisasi http://idai.or.id/publicarticles/klinik/imunisasi/melengkapi-
mengejar-imunisasi-bagian-ii.html (Akses pada tanggal 30 September 2018).

24

Anda mungkin juga menyukai