Anda di halaman 1dari 36

Referat

SINDROM NEFROTIK

Oleh:
Novi Putri Dwi Iriani, S.Ked
NIM 712019076

Pembimbing:
dr. H. Hadi Asyik, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Referat yang Berjudul :

SINDROM NEFROTIK

Oleh :
Novi Putri Dwi Iriani, S.ked
712019076

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang .

Palembang, Februari 2021


Pembimbing,

dr. H. Hadi Asyik, Sp. A

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Sindrom Nefrotik” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan
Klinik di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Daerah
Palembang BARI Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW
beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :
1. dr. H. Hadi Asyik, Sp. A selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Daerah
Palembang BARI Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang yang telah memberikan masukan, arahan, serta bimbingan
dalam penyelesaian laporan kasus ini
2. Rekan-rekan co-assistensi dan perawat atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua dan
perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan
Allah SWT. Aamiin.

Palembang, Februari 2021

Novi Putri Dwi Iriani, S. Ked

iii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN .................................................................. ii
KATA PENGANTAR .............................................................................. iii
DAFTAR ISI ............................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang............................................................................... 1
1.2 Maksud dan Tujuan........................................................................ 2
1.3 Manfaat........................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definsi............................................................................................. 3
2.2 Epidemiologi................................................................................... 3
2.3 Etiologi.......................................................................................... 3
2.4 Patofisiologi................................................................................... 5
2.5 Manfestasi Klinis .......................................................................... 9
2.6 Pemeriksaan Penunjang ................................................................ 10
2.7 Diagnosis ...................................................................................... 11
2.8 Tatalaksana ................................................................................... 11
2.9 Komplikasi .................................................................................... 26
2.10 Prognosis ...................................................................................... 29
BAB III Kesimpulan................................................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 31

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindrom nefrotik (SN) pada anak adalah suatu sindrom yang ditandai
dengan proteinuria masif, hipoalbuminemia berat, edema dengan atau tanpa
hiperkolesterolemia. SN biasanya terjadi pada anak – anak usia sekolah yang
usianya kurang dari 14 tahun.1,2
SN merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering ditemukan.
Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris
sebanyak 2 - 7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi
berkisar 12–16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang insidensnya
lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia
kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki - laki dan perempuan 2:1.1
Sampai pertengahan abad ke 20, morbiditas sindrom nefrotik pada anak
masih tinggi yaitu melebihi 50%. Dengan ditemukannya obat - obat
sulfonamiddan penicilin tahun 1940an dan dipakainya obat adrenocorticotropic
hormone (ACTH) serta kortikosteroid pada tahun 1950, mortalitas penyakit ini
mencapai 67%. Mortalitas ini paling banyak disebabkan oleh komplikasi
peritonitis dansepsis.
Penyebab SN 90% merupakan idiopatik. Tipe paling banyak adalah
sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) sebanyak 85% dan lebih dari 95%
SNKM berespon baik dengan pemberian steroid. Akan tetapi SN idiopatik
merupakan penyakit kronik yang sering relaps. Frekuensi relaps sangat
bervariasi. Dalam setahun, ada yang relaps ≤3 kali (infrekuen relaps) dan ≥4
kali (frekuen relaps). International study of kidney disease in children (ISKDC)
melaporkan bahwa kejadian relaps sekitar 60%, akan tetapi data terakhir
menunjukkan peningkatan hingga 76-90%.2

1
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk membahas mengenai
sindrom nefrotik dengan tujuan mengurangi angka morbiditas dan mortalitas
serta menurunkan kemungkinan relaps.

1.2 Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan referat ini adalah sebagai berikut.
1. Diharapkan dokter muda dapat memahami sindrom nefrotik pada anak,
secara menyeluruh.
2. Diharapkan adanya pola berpikir kritis setelah dilakukan diskusi mengenai
materi sindrom nefrotik pada anak.
3. Diharapkan dokter muda dapat mengaplikasikan pemahaman yang didapat
mengenai kasus sindrom nefrotik selama menjalani kepaniteraan klinik dan
seterusnya.

1.3 Mafaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
1. Bagi Institusi
Diharapkan referat ini dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan dan
sebagai tambahan referensi dalam bidang ilmu kesehatan anak
terutama mengenai sindrom nefrotik.
2. Bagi Akademik
Diharapkan referat ini dapat dijadikan landasan untuk penulisan
karya ilmiah selanjutnya.
1.3.2 Manfaat Praktis
Diharapkan agar dokter muda dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh
dari referat ini dalam kegiatan kepaniteraan klinik senior (KKS) dan
diterapkan di kemudian hari dalam praktik klinik.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sindrom nefrotik (SN) adalah sindrom klinis akibat perubahan selektifitas
permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang ditandai dengan gejala:
proteinuria masif (>40 mg/ m2LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein /
kreatinin pada urin sewaktu > 2mg atau dipstik ≥2+), hipoalbuminemia <2,5
g/dL, edema, dapat disertai hiperkolesterolemia >200mg/dL.1,3

2.2 Epidemiologi
Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh berbagai penyakit glomerular
dan sistemik. Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak dibawah usia 18
tahun diperkirakan berkisar 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan onset
tertinggi terjadi pada usia 2-3 tahun. Hampir 50% penderita mulai sakit saat
berusia 1-4 tahun, 75% mempunyai onset sebelum berusia 10 tahun, sedangkan
Insiden sindroma nefrotik sekitar 3 kasus per 100.000/tahun pada dewasa.4

2.3 Etiologi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu sindrom
nefrotik primer (idiopatik) dan sindrom nefrotik sekunder.
1. Sindrom Nefrotik Primer (Idiopatik)
Tipe ini paling sering dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik kongenital
termasuk dalam sindrom nefrotik primer yang ditemukan saat bayi baru
lahir hingga usia 3 bulan. Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik
penyebabnya idiopatik. Sindrom nefrotik idiopatik terdiri dari 3 tipe secara
histologis : Sindrom nefrotik kelainan minimal, glomerulonefritis
membrano proliferatif, dan glomerulosklerosis fokal segmental. Ketiga

3
gangguan ini dapat mewakili 3 penyakit berbeda dengan manifestasi klinis
yang serupa, dengan kata lain, ketiga gangguan ini mewakili suatu
spektrum dari satu penyakit tunggal.
a. Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)
Pada anak, sebagian besar (80%) mempunyai gambaran patologi
anatomi kelainan minimal. Glomerulus terlihat normal atau
memperlihatkan peningkatan minimal pada sel mesangial dan
matriksnya. Pada mikroskop immunofluorescence biasanya negative
dan mikroskop elektron hanya memperlihatkan hilangnya epithelial
cellfoot processes (podosit) pada glomerulus. Lebih dari 95% anak
dengan SNKM berespon dengan terapi kortikosteroid.2
b. Glomerulo Nefritis Membrano Proliferatif (GNMP)
Terdapat 4-6% dari total kasus SN, ditandai dengan adanya
peningkatan sel mesangial yang difus dan matriks pada pemeriksaan
mikroskop biasa. Mikroskop immunofluoroscence dapat
memperlihatkan jejak 1+ IgM mesangial dan atau IgA. Mikroskop
elektron memperlihatkan peningkatan dari sel mesangial dan matriks
diikuti dengan menghilangnya sel podosit. Sekitar 50% pasien
dengan lesi histologis ini berespon dengan terapi kortikosteroid.2
c. Glomerulo Sklerosis Fokal Segmental (GSFS)
Terdapat 7-8% dari kasus SN, glomerulus memperlihatkan proliferasi
mesangial dan jaringan parut segmental pada pemeriksaan dengan
mikroskop biasa. Mikroskop immunofluorescence menunjukkan
adanya IgM dan C3 pada area yang mengalami sklerosis. Pada
pemeriksaan dengan mikroskop elektron, dapat dilihat jaringan parut
segmental pada glomerular tuft disertai dengan kerusakan pada
lumen kapiler glomerulus. Hanya 20% pasien dengan GSFS yang
berespon dengan terapi prednison. Penyakit ini biasanya bersifat
progresif, pada akhirnya dapat melibatkan semua glomeruli, dan

4
menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir pada kebanyakan
pasien.2
2. Sindrom Nefrotik Sekunder
Tipe ini merupakan akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai
akibat dari berbagai sebab lainnya. Penyebab yang sering dijumpai adalah:
a. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis,
sindrom Alport, miksedema.
b. Infeksi: hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS.
c. Toksin dan alergen: logam berat, penisillamin, probenesid, racun
serangga, bisa ular.
d. Penyakit sistemik imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura
Henoch - Schinlein, sarkoidosis.
e. Neoplasma: tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.

2.4 Patofisiologi
Sindrom nefrotik terjadi karena adanya peningkatan permeabilitas
dinding kapiler glomerulus sehingga menyebabkan proteinuria masif dan
hipoalbuminemia. Pada hasil biopsi, ditemukan adanya pendataran pada kaki
podosit (tanda khas pada sindrom nefrotik idiopatik) yang menunjukkan
pentingnya peranan podosit tersebut. Sindrom nefrotik idiopatik dihubungkan
dengan gangguan yang kompleks pada sistem imun terutama yang diperantarai
sel T.2
Secara imunologis sel T memproduksi circulating factor, berupa vascular
permeability factor (VPF) yang merupakan asam amino identic dengan
vascular endhotelial growth factor (VEGF). Hal ini menyebabkan
meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus dan celah diafragma melebar
sehingga terjadi kebocoran protein.5

5
Adanya proses imunologis yang mendahului sindrom nefrotik kelainan
minimal ini. Diawali dengan aktivasi CD80 pada podosit sebagai respon
terhadap antigen mikroba, dan menginduksi fusi pada podosit sehingga
menyebabkan celah diafragma melebar sehingga terjadi proteinuria. Proses
aktivasi CD80 ini dapat dihambat oleh respon CTLA-4 yang diatur oleh sel
Tregulator. Pada sindrom nefrotik terjadi gangguan imunitas seluler pada sel T
sehingga CTLA-4 tidak dihasilkan sehingga aktivasi CD80 pada podosit akan
berlanjut terus dan menyebabkan proteinuria yang persisten.6
Pada glomerulo sklerosisfokal segmental, suatu subset limfosit
menghasilkan faktor plasma (plasma factor) yang dapat menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding kapiler. Dapat pula disebabkan oleh adanya
mutasi pada protein podosit (podocin, α-actinin 4) dan MYH9 (genpodosit).
Sindrom nefrotik resisten steroid dihubungkan dengan mutasi pada NPHS2
(podocin), gen WT1, dan komponen lain dari filtrasi glomerulus, seperti celah
diafragma termasuk nefrin, NEPH1, dan CD-2 terkait protein.2
Antigen yang masuk ke sirkulasi menimbulkan antibodi sehingga terjadi
reaksi antigen-antobodi yang larut (soluble) dalam darah. Soluble antigen-
antibodi ini kemudian menyebabkan sistem komplemen dalam tubuh bereaksi
sehingga komplemen C3 akan bersatu dengan soluble antigen-antobodi
membentuk deposit yang kemudian terperangkap di bawah epitel kapsula
bowman yang secara imunofloresensi terlihat berupa benjolan yang disebut
‘humps’ sepanjang membrana basalis glomerulus yang berbentuk granuleratau
noduler. Komplemen C3yang ada dalam ‘humps’ menyebabkan permeabilitas
membran basalis terganggu sehingga eritrosit dan proteindapat melewati
membrana basalis dan dapat ditemukan dalam urin.7

6
1. Proteinuria
Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuria sebagian besar
berasal dari kebocoran glomerulus dan hanya sebagian kecil berasal dari
sekresi tubulus. Perubahan integritas membrana basalis glomerulus
menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein
plasma dan protein utama yang diekskresikan dalam urin yakni albumin.
Dalam keadaan normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai
mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme
penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang
kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier).
Pada SN, kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain
itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein
melalui MBG. Proteinuria dibedakan menjadi selektifdan non-selektif
berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria
selektif apabila yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin.
Sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul
besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh
keutuhan struktur MBG.
2. Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya
meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin
dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun.
3. Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan
tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular
kejaringan interstisial dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan

7
onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hypovolemia dan
ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan
air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular
tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga
edema semakin berlanjut. Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium
adalah defek utama pada ginjal. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan
cairan ekstraselular meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju
filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natirum
dan edema akibat teraktifasinya sistem Renin-angiotensin-aldosteron
terutama kenaikan konsentrasi hormon aldosteron yang akan
mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium
sehingga ekskresi ion natrium (natriuresis) menurun. Selain itu juga terjadi
kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang
menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat, hal
ini mengakibatkan penurunan LFG dan kenaikan desakan Starling kapiler
peritubuler sehingga terjadi penurunan ekskresi natrium.
4. Hiperlipidemia
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density
lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini
disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme
di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan
intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis
lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan
tekanan onkotik.

8
2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah edema yang
menyeluruh dan terdistribusi mengikuti gaya gravitasi bumi. Edema sering
ditemukan dimulai dari daerah wajah dan kelopak mata pada pagi hari, yang
kemudian menghilang, digantikan oleh edema di daerah pretibial pada sore hari.
Anak biasanya datang dengan keluhan edema ringan, dimana awalnya
terjadi disekitar mata dan ekstremitas bawah. Sindrom nefrotik pada awalnya
diduga sebagai gangguan alergi karena pembengkakan periorbital yang
menurun dari hari kehari. Seiring waktu, edema semakin meluas, dengan
pembentukan asites, efusi pleura, dan edema genital. Anoreksia, iritabilitas,
nyeri perut, dan diare sering terjadi. Hipertensi dan hematuria jarang
ditemukan. Diagnosis banding untuk anak dengan edema adalah penyakit hati,
penyakit jantung kongenital, glomerulonefritis akut atau kronis, dan malnutrisi
protein.
Asites sering ditemukan tanpa edema anasarka, terutama pada anak kecil
dan bayi yang jaringannya lebih resisten terhadap pembentukan edema
interstisial dibandingkan anak yang lebih besar. Efusi transudat sering
ditemukan, seperti efusi pleura. Bila tidak diobati edema dapat menjadi
anasarka, sampai ke skrotum atau daerah vulva.
Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi
badan, lingkar perut, dan tekanan darah. Tekanan darah umumnya normal atau
rendah, namun 21 % pasien mempunyai tekanan darah tinggi yang sifatnya
sementara, terutama pada pasien yang pernah mengalami deplesi volume
intravaskuler berat. Keadaan ini disebabkan oleh sekresi renin berlebihan,
sekresi aldosteron, dan vasokonstriktor lainnya, sebagai respon tubuh terhadap
hipovolemia. Pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) dan
glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) jarang ditemukan hipertensi yang
menetap. Dalam laporan ISKDC (International Study of Kidney Diseases in
Children), pada SNKM ditemukan 22% disertai hematuria mikroskopik, 15-

9
20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan
ureum darah yang bersifat sementara.

2.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaanpenunjang yang dilakukan, antara lain:1
a. Urinalisis.
Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang
mengarah kepada infeksi saluran kemih.
b. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau
rasioprotein/kreatinin pada urin pertama pagi hari.
c. Pemeriksaan Darah
 Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit,
trombosit, hematokrit, LED)
 Albumin dan kolesterol serum
 Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau
dengan rumusSchwartz
 Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti
nuclearantibody), dan anti ds-DNA
2. Pemeriksaan Radiologi
Pencitraan rutin tidak dianjurkan pada anak dengan SNKM. Fototoraks
biasanya menunjukkan efusipleura yang berkorelasi langsung dengan
derajat edema dan tidak langsung dengan kadar albumin serum.
Pemeriksaan USG biasanya menunjukkan kedua ginjal normal atau sedikit
membesar dengan ekogenitas normal.8

10
3. Pemeriksaan Histologi
Biopsi ginjal tidak dilakukan pada anak dengan SNKM karena 1-97%
kasus sensitif terhadap steroid. Indikasi biopsi ginjal yaitu SNKM resisten
steroid, umur anak < 1 tahun atau >10 tahun pada saat onset penyakit atau
SN dengan gejala klinis hematuria, hipertensi, dan azotemia persisten dan
hipokomplemenemia.8

2.7 Diagnosis
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:9
1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)

2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL

3. Edema

4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL

2.8 Tatalaksana9
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di
rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi
pengaturan diri, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan
edukasi orangtua.
Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan- pemeriksaan
berikut:
1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan

2. Pengukuran tekanan darah

11
3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik,
seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.

4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap


infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH
selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan
obat antituberkulosis (OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat
edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal
ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik
disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh
sekolah.
A. Diitetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi
karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus.
Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP)
dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit
protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu
1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama
anak menderita edema.
B. Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya
diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu
dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik
hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu
disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih

12
dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium
darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya
terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/ dL), dapat
diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam
untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan
pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari
segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10
tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung.
Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari
untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload
cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu intravena 1-2
mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat pernapasan dapat
dilakukan pungsi asites berulang. Skema pemberian diberikan plasma 20
ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk diuretik untuk
mengatasi edema tampak pada gambar.

13
Gambar 1. Algoritma pemberian diuretic
C. Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/
kgbb/ hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan

pasien imunokompromais.12 Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6


minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati,
seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian prednison
selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral,
campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat dianjurkan untuk
mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan varisela.

Pengobatan dengan kortikosteroid


Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali
bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau
prednisolon.
a. Terapi Inisial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan

prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/ hari)


dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung
sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan).
Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila
terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu

kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari,
secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila
setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi,
pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.

14
Gambar 2. Pengobatan inisial kortikosteroid

b. Pengobatan SN Relaps
Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar 3, yaitu
diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN
remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema,
sebelum diberikan setiap hari selama 4 minggu, dilanjutkan dengan

prednison 40 mg/m2 LPB/hari (2/3 dosis penuh), dosis tunggal, diberikan 3


hari dalam seminggu, dapat diberikan secara pemberian prednison, dicari
lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi intermittent (3 hari berturut-turut
dalam 1 minggu) atau alternating (selang sehari) selama 4 minggu. saluran
nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila
kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps.
Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis
relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai diberikan.

15
Gambar 3. Pengobatan SN relaps

c. Pengobatan SN Relaps Sering atau Dependen Steroid


Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps atau dependen steroid:
1) Pengobatan steroid jangka Panjang
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen
steroid, setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan
dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara alternating. Dosis ini
kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu.
Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis
ini disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan,
kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat
bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra
sekolah sampai 1 mg/kgbb secara alternating.

16
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/
kgbb alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1
mg/ kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi
remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8
mg/kgbb di- berikan secara alternating, kemudian diturunkan 0,2
mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas
dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps
yang terakhir.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb al-
ternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang
berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5
mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid
(CPA).

Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini:


a) Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating atau
b) Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:
- Efek samping steroid yang berat
- Pernah relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia,
trombosis, dan sepsis.
2) Pemberian levamisole
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.
Levamisol diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang
sehari, selama 4-12 bulan. Efek samping levamisol adalah mual,
muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang reversibel.

17
3) Pengobatan dengan sitostatik
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan
SN anak adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.
Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/ hari
dalam dosis tunggal, maupun secara intravena atau puls. CPA puls

diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/ m2 LPB, yang dilarutkan dalam
250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls
diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi
pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual,
muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik,
azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan.
Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar
hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah
leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit
<100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan kembali
setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit
>100.000/uL.
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis

total kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral

selama 3 bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini

aman bagi anak.

Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari


selama 8 minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas
karena efek toksik berupa kejang dan infeksi.

18
Gambar 4. Pengobatan SN relaps sering

Gambar 5. Pengobatan SN dependen steroid


4) Pengobatan dengan siklosporin, atau
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan
steroid atau sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan

dosis 4-5 mg/kgbb/hari (100-150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat

19
mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250
ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat
menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian
steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan,
biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping
dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan
SN resisten steroid.

5) Mikofenolat mofetil (opsi terakhir).


Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol
atau sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis

800 – 1200 mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan


penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan. Efek samping MMF
adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.
Ringkasan tata laksana anak dengan SN relaps sering atau dependen steroid
dapat dilihat pada gambar dibawah.

20
Gambar 6. Diagram pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid
Keterangan:
(1) pengobatan steroid jangka Panjang
(2) langsung diberi CPA
(3) sesudah prednisone jangka panjang, dilanjutkan dengan CPA
(4) sesudah jangka Panjang dan levamisole, dilanjutkan dengan CPA
Selain itu, perlu dicari focus infeksi seperti tuberculosis, infeksi di gigi,
radang telinga tengah, atau kecacingan.
d. Pengobatan SN dengan Kontraindikasi Steroid
Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi
steroid, seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin,
infeksi berat, maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls.
Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari
dosis tunggal, maupun secara intravena (CPA puls). CPA oral diberikan

selama 8 minggu. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m 2
LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama

21
2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total
durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).
e. Pengobatan SN Resisten Steroid
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum
memuaskan. Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya
dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena
gambaran patologi anatomi mempengaruhi prognosis.
1) Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat
menimbulkan remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi
dengan pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian
prednison lagi karena SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif
kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi
remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid kembali,
dapat diberikan siklosporin. Skema pemberian CPA oral dan puls
dapat dilihat pada Gambar 7.

2) Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan
remisi total sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada
13%.
Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis,
hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan
lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu
pemantauan terhadap:

22
a) Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250
nanogram/mL

b) Kadar kreatinin darah berkala


c) Biopsi ginjal setiap 2 tahun
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak
dilaporkan dalam literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka
pemakaian CyA jarang atau sangat selektif.

Gambar 7. Pengobatan SN resisten steroid

Keterangan:
- Sitostatik oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal
selama 3-6 bulan.
- Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian
siklofosfamid oral. Kemudian prednison ditapering-off dengan

23
dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5
mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
atau

- Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m 2 LPB diberikan


melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan yang dapat
dilanjutkan tergantung keadaan pasien.
- Prednison alternating dosis 40 mg/m2 LPB/hari selama pemberian
siklofosfamid puls (6 bulan). Kemudian prednison ditapering-off
dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan
0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
3) Metilprednisolon puls
Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan
metil prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan
siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis
30 mg/kgbb (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100 mL
glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam. (Tabel 1)

Table 1. Protokol metilprenisolon dosis tinggi


Keterangan:
Dosis maksimum metilprednisolon 1000 mg; dosis maksimum
prednison oral 60 mg. Siklofosfamid (2-2,5 mg/kgbb/hari) atau

24
klorambusil (0,18-0,22 mg/kgbb/hari) selama 8-12 minggu dapat
diberikan bila proteinuria masif masih didapatkan setelah pemberian
metilprednisolon selama 10 minggu.
4) Obat imunosupresif lain
Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada
SNRS adalah vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena
laporan dalam literatur yang masih sporadik dan tidak dilakukan
dengan studi kontrol, maka obat ini belum direkomendasi di Indonesia.

Gambar 8. Tatalaksana sindrom nefrotik

Pemberian Obat Non-imunosupresif untuk Mengurangi Proteinuria


Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin

receptor blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi


proteinuria. Cara kerja kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein
di urin melalui penurunan tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas
glomerulus. ACEI juga mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan
sintesis transforming growth factor (TGF)-β1 dan plasminogen activator
inhibitor (PAI)-1, keduanya merupakan sitokin penting yang berperan

25
dalam terjadinya glomerulosklerosis. Pada SNSS relaps, kadar TGF-β1
urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS, berarti anak dengan SNSS
relaps sering maupun dependen steroid mempunyai risiko untuk terjadi
glomerulosklerosis yang sama dengan SNRS. Dalam kepustakaan
dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan ARB memberikan hasil
penurunan proteinuria lebih banyak.
Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS
dianjurkan untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB,
bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa
digunakan adalah:
- Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril
0.5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis, lisinopril 0,1 mg/ kgbb dosis tunggal.
- Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal.

2.9 Komplikasi9
1. Infeksi
Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat

infeksi perlu segera diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang

terutama adalah selulitis dan peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis

primer (biasanya disebabkan oleh kuman Gram negatif dan Streptococcus

pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin parenteral dikombinasi


dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim atau seftriakson
selama 10-14 hari. Infeksi lain yang sering ditemukan pada anak dengan
SN adalah pnemonia dan infeksi saluran napas atas karena virus.
Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien
varisela. Bila terjadi kontak diberikan profilaksis dengan imu- noglobulin
varicella-zoster, dalam waktu kurang dari 96 jam. Bila tidak

26
memungkinkan dapat diberikan suntikan dosis tunggal imunoglobulin
intravena (400mg/kgbb). Bila sudah terjadi infeksi perlu diberi obat

asiklovir intravena (1500 mg/m2/hari dibagi 3 dosis) atau asiklovir oral


dengan dosis 80 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis selama 7 – 10 hari, dan
pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara.

2. Trombosis
Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps
menunjukkan bukti defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi
yang berarti terdapat trombosis pembuluh vaskular paru yang asimtomatik.
Bila diagnosis trombosis telah ditegakkan dengan pemeriksaan fisis dan
radiologis, diberikan heparin secara subkutan, dilanjutkan dengan warfarin
selama 6 bulan atau lebih. Pencegahan tromboemboli dengan pemberian
aspirin dosis rendah, saat ini tidak dianjurkan.
3. Hiperlipidemia
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL

dan VLDL kolesterol, trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan

kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik

dan trombogenik, sehingga meningkatkan morbiditas kardiovaskular dan

progresivitas glomerulosklerosis.

Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat

sementara dan tidak memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup

27
dengan pengurangan diit lemak. Pada SN resisten steroid, dianjurkan untuk

mempertahankan berat badan normal untuk tinggi badannya, dan diit

rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian obat penurun lipid

seperti inhibitor HMgCoA reduktase (statin).

4. Hipokalsemia
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:
a. Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis
dan osteopenia
b. Kebocoran metabolit vitamin D
Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka lama
(lebih dari 3 bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500
mg/hari dan vitamin D (125-250 IU). Bila telah terjadi tetani, diobati
dengan kalsium glukonas 10% sebanyak 0,5 mL/kgbb intravena.
5. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps
dapat terjadi hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas
dingin, dan sering disertai sakit perut. Pasien harus segera diberi infus
NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20 mL/kgbb dalam 20-30 menit,
dan disusul dengan albumin 1 g/kgbb atau plasma 20 mL/kgbb (tetesan
lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien tetap
oliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena.
6. Hipertensi
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam
perjalanan penyakit SN akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi
diawali dengan inhibitor ACE (angiotensin converting enzyme), ARB
(angiotensin receptor blocker) calcium channel blockers, atau antagonis β
adrenergik, sampai tekanan darah di bawah persentil 90.

28
7. Efek Samping Steroid
Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping
yang signifikan, karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan
orangtuanya. Efek samping tersebut meliputi peningkatan napsu makan,
gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku, peningkatan risiko infeksi,
retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang. Pada semua
pasien SN harus dilakukan pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid,
pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap
6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali.

2.10 Prognosis
Kebanyakan anak dengan SN mengalami remisi. Hampir 80% anak
dengan SNKM mengalami relaps, yang didefinisikan sebagai proteinuria masih
yang menetap selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu. Proteinuria transien
(kurang dari 3 hari 0 dapat terjadi bila terdapat infeksi dan tidak termasuk
relaps. Terapi steroid efektif untuk mengatasi relaps. Pasien yang sensitive
steroid berisiko rendah mengalami gagal ginjal kronik. Pasien dengan GSFS
(glomerulonephritis fokal segmental) mulanya memberikan respon terhadap
terapi steroid, namun kemudian menjadi resisten. Pasien dengan GSFS dapat
berkembang menjadi gagal ginjal terminal. Pada anak yang menjalani
transplantasi ginjal, rekurensi GSFS berkisar 30%.

29
BAB III
KESIMPULAN

Sindrom nefrotik adalah sindrom klinis akibat perubahan selektifitas


permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang ditandai dengan gejala proteinuria
masif, hipoalbuminemia, edema dan dapat disertai dengan hiperkolesterolemia.
Etiolgi sindrom nefrotik sebagian besar idiopatik yang kemudian digolongkan
sebagai sindrom nefrotik primer, sedangkan etiologi lainnya antara lain penyakit
metabolik, infeksi, toksin dan allergen, penyakit sistemik imunologik dan neoplasma
yang kemudian digolongkan sebagai sindrom nefrotik sekunder. Sindrom nefrotik
idiopatik dihubungkan dengan gangguan yang kompleks pada sistem imun terutama
diperantarai oleh sel T. Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah edema
periorbital yang mereda saat siang hari.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
sindrom nefrotik antara lain pemeriksaan lab, radiologi dan histologi.

30
Penatalaksanaan sindrom nefrotik terdiri dari pemberian diitetik, diuretik, pemberian
kortikosteroid serta imunisasi untuk mencegah infeksi yang dapat terjadi karena
keadaan pasien yang imunokompromais.

DAFTAR PUSTAKA

1. UKK Nefrologi PP IDAI. 2012. Dalam: Alatas H, Tambunan T, TrihonoPP,


PardedeSO, editors.Konsensus tata laksana sindrom nefrotik idiopatik pada
anak.Edisi 2. Badan Penerbit IDAI,Jakarta.
2. Vogt BA, Avner ED. 2007. Nephrotic syndrome.Dalam: Nelson WE,
BehrmanRE, Kliegman R, Arvin AM (ed).Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi
15. Vol.3. EGC. Jakarta.

3. Nilawati. 2012. Profil sindrom nefrotik pada ruang perawatan anak RSUP
sanglah Denpasar. Departemen ilmu Kesehatan anak universitas udayana.
Diakses pada tanggal 15 Februari 2021.
4. Wiguna P, Sudhana W. 2019. Seorang Penderita Sindrom Nefrotik Relaps
Dengan Gambaran Histologi Minimal Change Disease (MCD) yang Diduga
Mengalami Evolusi Menjadi Focal Segmented Glomerulosclerosis (FSGS).
Jurnal Penyakit Dalam Udayana. Vol. 3 No.1. Denpasar, Bali. Indonesia.

31
5. Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO. 2004. Sindrom Nefrotik,
Buku AjarNefrologi Anak. Edisi 2. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
6. Ishimoto T, Shimada M, Araya CE, Huskey J, Garin EH, Johnson RD. 2011.
Minimalchange disease: a CD80 podocytopathy?.Seminars in nephrology,
Vol.31No.4.
7. Eddy AA, Symons JM, 2003. Seminar:Nephrotic syndrome in childhood, The
Lancet.
8. Albar H. 2006. Tata laksana Sindrom Nefrotik Kelainan pada Anak,Sari
Pediatri, Vol.8, No. 1.

9. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2012. Konsensus tatalaksana sindrom


nefrotik idiopatik pada anak. Jakarta: Badan penerbit ikatan dokter anak
Indonesia.

32

Anda mungkin juga menyukai