Anda di halaman 1dari 28

Tugas Baca

SINDROM NEFROTIK

Oleh :
Fatinah Fairuz Qonitah, S.Ked
712020029

Pembimbing:
dr. Hadi Asyik, Sp.A

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Tugas Baca
Sindrom Nefrotik

Oleh:
Fatinah Fairuz Qonitah, S.Ked
712020029

Telah dilaksanakan pada bulan Desember 2021 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Palembang BARI, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.

Palembang, Desember 2021


Pembimbing

dr. Hadi Asyik, Sp.A

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas baca yang berjudul
“Sindrom Nefrotik” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Palembang BARI Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW
beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :
1. dr. H. Hadi Asyik, Sp.A selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Palembang BARI Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang yang telah memberikan masukan,
arahan, serta bimbingan selama penyusunan referat ini.
2. Orang tua dan saudara yang telah banyak membantu dengan doa yang tulus
dan memberikan bantuan moral maupun spiritual.
3. Rekan-rekan co-assistant atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan.

Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan
ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.

Palembang, Desember 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................ii
KATA PENGANTAR..............................................................................................iii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1 Latar Belakang......................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3
2.1 Anatomi Sistem Pencernaan................................................................................3
2.2 Definisi Diare......................................................................................................7
2.3 Klasifikasi Diare..................................................................................................7
2.4 Etiologi Diare Akut.............................................................................................9
2.5 Epidemiologi Diare Akut.....................................................................................10
2.6 Patogenesis Diare Akut.......................................................................................11
2.7 Manifestasi Klinis Diare Akut.............................................................................12
2.8 Diagnosis Diare Akut..........................................................................................12
2.9 Pemeriksaan Penunjang.......................................................................................13
2.10Tatalaksana..................................................................................................... 14
2.11Komplikasi.....................................................................................................17

BAB III KESIMPULAN.........................................................................................18


DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindrom nefrotik adalah suatu keadaan klinik yang ditandai dengan
proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema, dan hiperlipidemia. Umumnya,
sindrom nefrotik disebabkan oleh adanya kelainan glomerulus yang dapat
dikategorikan dalam bentuk primer dan sekunder. Istilah sindroma nefrotik primer
dapat disamakan dengan sindrom nefrotik idiopatik, karena penyebab terjadinya
gejala yang tidak diketahui secara pasti. Selain idiopatik, sindrom nefrotik dapat
juga disebabkan oleh gangguan sistemik lain yang menyebabkan kerusakan ginjal
atau yang disebut juga dengan sindrom nefrotik sekunder.
Amalia TQ. Aspek Klinis, Diagnosis dan Tatalaksana Sindroma Nefrotik pada Anak.
Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika. 2018: 1(2).
Trihono P, Alatas H, Tambunan T, and Pardede S. Konsensus Tatalaksana Sindrom
Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Edisi-2. Jakarta: IDAI; 2012. p:1-20.
Prevalensi sindrom nefrotik pada anak berkisar antara 2-5 kasus per 100.000
anak dan paling sering terjadi pada anak-anak dengan usia 3 hingga 5 tahun. Pada
anak, 90% kasus sindrom nefrotik adalah sindrom nefrotik primer dan sisanya
merupakan sindrom nefrotik sekunder. Kebanyakan sindrom nefrotik terjadi pada
anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan dengan perbandingan 2:1.
Bergstein J. Sindrom Nefrotik Idiopatik. In : Nelson, W.E., Kliegman, R., Brehman,
R.E., Arvin, A.M., Buku Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15. Jakarta: EGC. 2004. p:1828-30.
Laporan dari luar negri, menunjukkan dua per tiga kasus anak dengan SN
dijumpai pada umur < 5 tahun. Pada sindroma nefrotik idiopatik paling lazim
muncul antara usia 2 dan 6 tahun.2 Sebagian besar anak respon terhadap
pengobatan steroid. Nilawati GAP. Profil Sindrom Nefrotik pada Ruang Perawatan Anak
RSUP Sanglah Denpasar. Sari Pediatri. 2012. 14(4):269-272.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal


Ginjal memiliki bentuk seperti kacang polong yang terletak pada
retroperitoneal (antara dinding tubuh dorsal dan peritoneum parietal) di daerah
lumbal superior. Proyeksi ginjal terhadap tulang belakang setinggi T12 sampai
L3. Ginjal kanan terdesak oleh hepar dan terletak sedikit lebih rendah dari ginjal
kiri. Marieb EN, Hoehn K (2015). Human anatomy & physiology. Edisi
kesepuluh. Boston: Pearson Education, Inc.

Permukaan lateral ginjal berbentuk cembung. Permukaan medial berbentuk


cekung dan memiliki celah vertikal yang disebut hilus renal yang mengarah ke
ruang internal di dalam ginjal yang disebut sinus ginjal. Saluran ureter, pembuluh
darah ginjal, limfatik, dan saraf semuanya bergabung dengan masing-masing
ginjal di hilum dan menempati sinus. Di atas setiap ginjal terdapat kelenjar
adrenal (atausuprarenal), merupakan kelenjar endokrin yang secara fungsional
tidak terkait dengan ginjal. Marieb EN, Hoehn K (2015). Human anatomy &
physiology. Edisi kesepuluh. Boston: Pearson Education, Inc.
Ginjal memiliki tiga lapis jaringan penyokong yang mengelilinginya:
1) Fascia renalis, merupakan lapisan terluar berupa jaringan ikat fibrosa padat
yang menyandarkan ginjal dan kelenjar adrenal ke struktur sekitarnya.

2
2) Perirenal fat capsule, merupakan massa lemak yang mengelilingi ginjal dan
bantalannya terhadap pukulan.
3) Fibrous capsule, merupakan kapsul transparan yang mencegah infeksi di
daerah sekitarnya menyebar ke ginjal. Marieb EN, Hoehn K (2015). Human
anatomy & physiology. Edisi kesepuluh. Boston: Pearson Education, Inc.
Ginjal memiliki korteks ginjal di bagian luar yang berwarna coklat terang dan
medula ginjal di bagian dalam yang berwarna coklat gelap. Korteks ginjal
mengandung jutaan alat penyaring disebut nefron. Setiap nefron terdiri dari
glomerulus dan tubulus. Medula ginjal terdiri dari beberapa massa-massa
triangular disebut piramida ginjal dengan basis menghadap korteks dan bagian
apeks yang menonjol ke medial. Piramida ginjal berguna untuk mengumpulkan
hasil ekskresi yang kemudian disalurkan ke tubulus kolektivus menuju pelvis
ginjal. Tortora, GJ, Derrickson, B. 2012. Principles of Anatomy & Physiology
13th Edition. United States of America: John Wiley & Sons, Inc.
Moore, K. L., A. F. Dalley, Anne M. R., dan M. E. Moore. 2013. Anatomi
Berorientasi Klinis. Jakarta: Erlangga.

Aliran darah ginjal berasal dari arteri renalis yang merupakan cabang
langsung dari aorta abdominalis, sedangkan yang mengalirkan darah balik adalah
vena renalis yang merupakan cabang vena kava inferior Marieb EN, Hoehn K
(2015). Human anatomy & physiology. Edisi kesepuluh. Boston: Pearson
Education, Inc.
Sistem arteri ginjal adalah end arteries yaitu arteri yang tidak mempunyai
anastomosis dengan cabang–cabang dari arteri lain, sehingga apabila terdapat
kerusakan salah satu cabang arteri, berakibat timbulnya iskemia/nekrosis pada

3
daerah yang dilayaninya. Persarafan ginjal berasal dari pleksus simpatikus renalis
dan tersebar sepanjang cabang-cabang arteri vena renalis. Serabut aferen yang
berjalan melalui pleksus renalis masuk ke medulla spinalis melalui Nervus
Torakalis X, XI, dan XII. Netter, Frank H. 2016. Atlas Anatomi Manusia Bahasa
Latin/ Indonesia Edisi 6. Indonesia: Elsevier.
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi
kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengekresikan zat terlarut dan
air secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui
glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang
sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air di eksresikan
keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpulan urin. Price, S.A., Wilson,
L.M. 2013. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi VI. Jakarta:
EGC.
Ginjal melakukan fungsi-fungsi spesifik berikut, yang sebagian besar di
antaranya membantu mempertahankan stabilitas lingkungan cairan internal:
Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta: EGC.
1) Mempertahankan keseimbangan air (H2O) di tubuh.
2) Mempertahankan osmolaritas cairan tubuh yang sesuai, terutama melalui
regulasi keseimbangan H2O.
3) Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES, termasuk natrium
(Na+), klorida (CI-), kalium (K+), kalsium (Ca2+), ion hidrogen (H+),
bikarbonat (HCO3-), fosfat (PO43-), sulfat (SO42-), dan magnesium (Mg2+).
4) Mempertahankan volume plasma yang tepat.
5) Membantu mempertahankan keseimbangan asam-basa tubuh.
6) Mengeluarkan (mengekskresikan) produk-produk akhir (sisa) metabolisme
tubuh.
7) Mengekskresikan banyak senyawa asing, misalnya obat, aditif makanan,
pestisida, dan bahan eksogen non-nutritif lain yang masuk ke tubuh.
8) Menghasilkan eritropoietin.
9) Menghasilkan renin, suatu hormon enzimatik yang memicu suatu reaksi
berantai yang penting dalam konservasi garam oleh ginjal.
10) Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya.

4
Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta:
EGC.
Dalam pembentukan urin terdapat tiga proses dasar yang terlibat yakni filtrasi
glomerulus, reabsorbsi tubulus, dan sekresi tubulus.

a. Filtrasi Glomerulus
Sewaktu darah mengalir melalui glomerulus, plasma bebas protein
tersaring melalui kapiler glomerulus ke dalam kapsul Bowman. Dalam
keadaan normal, 20% plasma yang masuk ke glomerulus tersaring. Proses ini,
dikenal sebagai filtrasi glomerulus, adalah langkah pertama dalam
pembentukan urin. Secara rerata, 125 ml filtrat glomerulus terbentuk secara
kolektif dari seluruh glomerulus setiap menit. Jumlah ini sama dengan 180
liter setiap harinya. Dengan memepertimbangkan bahwa volume rerata
plasma pada orang dewasa adalah 2,75 liter, maka hal ini berarti bahwa ginjal
menyaring keseluruhan volume plasma sekitar 65 kali sehari. Jika semua
yang difiltrasi keluar sebagai urin, semua plasma akan menjadi urin dalam
waktu kurang dari setengah jam. Namu, hal ini tidak terjadi karena tubulus
ginjal dan kapiler peritubulus berhubungan erat di seluruh panjangnya,
sehigga bahan-bahan dapat diperlukan antara cairan di dalam tubulus dan
darah dalam kapiler peritubulus. Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia Dari
Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta: EGC.
b. Reabsorbsi Tubulus

5
Sewaktu filtrat mengalir melalui tubulus, bahan-bahan yang bermanfaat
bagi tubuh dikembalikan ke plasma kapiler peritubulus. Perpindahan selektif
bahan-bahan dari bagian dalam tubulus (lumen tubulus) ke dalam darah ini
disebut reabsorbsi tubulus. Bahan-bahan yang direabsorbsi tidak keluar dari
tubuh melalui urin tetapi dibawa oleh kapiler peritubular ke sistem vena dan
kemudian ke jantung untuk diresirkulasi. Dari 180 liter plasma yang disaring
per hari, sekitar 178,5 liter direabsorbsi. Sisa 1,5 liter di tubulus mengalir ke
dalam pelvis ginjal untuk dikeluarkan sebagai urin. Secara umum, bahan-
bahan yang perlu dihemat oleh tubuh secara selektif direabsorbsi, sementara
bahan – bahan yang perlu dihemat oleh tubuh secara selektf direabsorbsi,
seentara bahan – bahan yang tidak dibutuhkan dan harus dikeluarkan tetap
berada di urin. Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem
Edisi 8. Jakarta: EGC.

c. Sekresi Tubulus
Proses ginjal ketiga, sekresi tubulus, adalah pemindahan selektif
bahanbahan dari kapiler peritubulus ke dalam lumen tubulus. Proses ini
merupakan rute kedua bagi masuknya bahan ke dalam tubulus ginjal dari
darah sedangkan yang pertama adalah melalui filtrasi glomerulus. Hanya
sekitar 20% dari plasma yang mengalir melalui kapiler glomerulus difiltrasi
ke dalam kapsul bowman, 80% sisanya mengalir melalui arteriol eferen ke
dalam kapiler peritubulus. Sekresi tubulus merupakan mekanisme untuk
mengeluarkan bahan dari plasma secara cepat dengan mengekstraksi
sejumlah tertentu bahan dari 80% plasma yang tidak terfiltrasi di kapiler
peritubulus dan memindahkannya ke bahan yang suda ada di tubulus sebagai
hasil filtrasi. Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Edisi
8. Jakarta: EGC.

d. Ekskresi urin
Ekskresi urin adalah pengeluaran bahan-bahan dari tubuh ke dalam urin.
Ini bukan merupakan proses terpisah tetapi merupakan hasil dari tiga proses
pertama di atas. Semua konstituen plasma yang terfiltrasi atau disekresikan

6
tetapi tidak direabsorbsi akan tetap di tubulus dan mengalir ke pelvis ginjal
untuk dieksresikan sebagai urin dan dikeluarkan dari tubuh. Perhatikan bahwa
semua yang difiltrasi dan kemudian direabsorbsi, atau tidak difiltrasi sama
sekali, masuk ke darah vena dari kapiler peritubulus dan karenanya
dipertahankan di dalam tubuh dan tidak dieksresikan di urin, meskipun
mengalir melewati ginjal. Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia Dari Sel ke
Sistem Edisi 8. Jakarta: EGC.

2.2 Definisi Sindrom Nefrotik


Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom yang mengenai glomerulus,
ditandai dengan : Amalia TQ. Aspek Klinis, Diagnosis dan Tatalaksana Sindroma Nefrotik
pada Anak. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika. 2018: 1(2).
Trihono P, Alatas H, Tambunan T, and Pardede S. Konsensus Tatalaksana Sindrom
Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Edisi-2. Jakarta: IDAI; 2012. p:1-20.
a. Edema,
b. Proteinuria masif (>40 mg/m2/jam atau >50 mg/kgBB/24 jam atau rasio
albumin/kreatinin pada urin >2 mg/mg atau dipstick ≥ +2)
c. Hipoalbuminemia (<2,5 g/dl), dan
d. Hiperkolesterolemia (>200 mg/dl) atau hiperlipidemia.
Sindrom nefrotik memiliki berbagai efek metabolik yang berdampak pada
individu, beberapa episode sindrom nefrotik adalah self-limited dan sebagian
diantaranya respon dengan terapi spesifik, sementara sebagiannya lagi merupakan
kondisi kronis.
Kharisma, Y. (2017). Tinjauan Umum Sindrom Nefrotik. Universitas Islam Bandung.

2.3 Epidemiologi Sindrom Nefrotik


Prevalensi sindrom nefrotik pada anak berkisar antara 2-5 kasus per 100.000
anak dan paling sering terjadi pada anak-anak dengan usia 3 hingga 5 tahun. Pada
anak, 90% kasus sindrom nefrotik adalah sindrom nefrotik primer dan sisanya
merupakan sindrom nefrotik sekunder. Kebanyakan sindrom nefrotik terjadi pada
anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan dengan perbandingan 2:1.
Bergstein J. Sindrom Nefrotik Idiopatik. In : Nelson, W.E., Kliegman, R., Brehman,
R.E., Arvin, A.M., Buku Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15. Jakarta: EGC. 2004. p:1828-30.

7
Laporan dari luar negri, menunjukkan dua per tiga kasus anak dengan SN
dijumpai pada umur < 5 tahun. Pada sindroma nefrotik idiopatik paling lazim
muncul antara usia 2 dan 6 tahun. Sebagian besar anak respon terhadap
pengobatan steroid. Nilawati GAP. Profil Sindrom Nefrotik pada Ruang Perawatan Anak
RSUP Sanglah Denpasar. Sari Pediatri. 2012. 14(4):269-272.

2.4 Etiologi Sindrom Nefrotik


Umumnya, berdasarkan etiologinya, para ahli membagi SN menjadi tiga kelomok,
yaitu: Sindrom nefrotik bawaan/kongenital, Sindrom nefrotik primer/idiopatik, dan
Sindrom nefrotik sekunder, yang mengikuti penyakit sistemik, antara lain SLE. Trihono P,
Alatas H, Tambunan T, and Pardede S. Konsensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik
Pada Anak. Edisi-2. Jakarta: IDAI; 2012. p:1-20.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sindroma
Nefrotik. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak. 7th ed. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997. p:832- 835.
a) SN idopatik (90%)
Umumnya SN idiopatik diduga ada hubungan dengan genetik, imunologik,
dan alergi. Bentuk SN idiopatik meliputi:
- kelainan minimal (SNKM) (85%)
- mesangial proliferatif difus (MPD) (5%)
- glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) (10%)
b) SN sekunder (10%)
SN sekunder atau didapat bersal dari luar ginjal yang terjadi karena
berhubungan dengan penyakit sistemik. Bentuk SN sekunder meliputi:
- glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)
- nefropati membranosa (GNM)

2.5 Klasifikasi Sindrom Nefrotik


Klasifikasi sindrom nefrotik (SN), yaitu:
1) Berdasarkan etiologi
a. SN primer
b. SN sekunder
2) Berdasarkan histopatologi
8
a. SN lesi minimal (85%)
b. SN non-minimal
- glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) (10%)
- mesangial proliferatif difus (MPD) (5%)
3) Berdasarkan respon pengobatan terhadap steroid
a. Steroid responsif
b. Tidak steroid responsif

2.6 Patofisiologi
1) Edema
Edema merupakan manifestasi klinik yang pertama kali muncul pada
pasien-pasien dengan sindrom nefrotik. Biasanya, muncul edema ringan
dan muncul di tempat-tempat tertentu seperti di daerah periorbital pada
pagi hari yang menjadi lebih luas jika pasien beraktivitas. Edema
disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan
menyebabkan cairan intravaskular berpindah ke ruang interstisial. Adanya
peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan albumin
keluar sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia. Sebagai
akibatnya, volume cairan intravaskular berkurang sehingga menurunkan
jumlah aliran darah ke renal. Ginjal akan melakukan kompensasi dengan
merangsang produksi renin-angiotensin dan peningkatan sekresi anti
diuretik hormon (ADH) dan sekresi aldosteron yang menyebabkan retensi
natrium dan air dan terjadinya edema. Kharisma, Y. (2017). Tinjauan
Umum Sindrom Nefrotik. Universitas Islam Bandung.

2) Proteinuria
Ada tiga jenis proteinuria yaitu glomerular, tubular dan overflow.
Kehilangan protein pada sindrom nefrotik termasuk dalam proteinuria
glomerular. Proteinuria pada penyakit glomerular disebabkan oleh
meningkatnya filtrasi makromolekul melewati dinding kapiler glomerulus.
Hal ini sering diakibatkan oleh kelainan pada podosit glomerular. Dalam
keadaan normal membran basal glomerulus mempunyai mekanisme

9
penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang
pertama berdasarkan ukuran molekul dan yang kedua berdasarkan muatan
listriknya. Pada sindrom nefrotik kedua mekanisme tersebut
terganggu.proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif
berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Protein
selktif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul kecil mialnya
albumin, sedangkan yang non-selektif apabila protein yang keluar terdiri
dari molekul besar seperti imunoglobulin. Kodner, C., 2016. Diagnosis and
Management of Nephrotic Syndrome in Adults. Amerika Serikat:
American Academy of Family Physicians.

3) Hipoalbuminemia
Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan
proteinuria adalah hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien
sindrom nefrotik pada anak terjadi hipoalbuminemia apabila kadar
albumin kurang dari 2,5 g/dL. Pada keadaan normal, produksi albumin di
hati adalah 12-14 g/hari (130-200 mg/kg) dan jumlah yang diproduksi
sama dengan jumlah yang dikatabolisme. Katabolisme secara dominan
terjadi pada ekstrarenal, sedangkan 10% di katabolisme pada tubulus
proksimal ginjal setelah resorpsi albumin yang telah difiltrasi. Pada pasien
sindrom nefrotik, hipoalbuminemia merupakan manifestasi dari hilangnya
protein dalam urin yang berlebihan dan peningkatan katabolisme albumin.
Pada keadaan normal, laju sintesis albumin di hepar dapat meningkat
hingga 300%, sedangkan penelitian pada penderita sindrom nefrotik
dengan hipoalbuminemia menunjukan bahwa laju sintesis albumin di
hepar hanya sedikit di atas keadaan normal meskipun diberikan diet
protein yang adekuat. Hal ini mengindikasikan respon sintesis terhadap
albumin oleh hepar tidak adekuat. Kharisma, Y. (2017). Tinjauan Umum
Sindrom Nefrotik. Universitas Islam Bandung.
4) Hiperkolesterolemia
Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein
serum meningkat pada sindrom nefrosis. Hal ini disebabkan peningkatan

10
sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer. Peningkatan
sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan
perubahan tekanan onkotik.
Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelasan antara lain yaitu adanya
kondisi hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein menyeluruh
dalam hati, termasuk lipoprotein. Selain itu katabolisme lemak menurun
karena terdapat penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim
utama yang mengambil lemak dari plasma. Beberapa peningkatan serum
lipoprotein yang di filtrasi di glomerulus akan mencetuskan terjadinya
lipiduria sehingga adanya temuan khas oval fat bodies dan fatty cast pada
sedimen urin.

2.7 Manifestasi Klinis Sindrom Nefrotik


Manifestasi klinis yang paling sering muncul adalah edema. Edema ini
bersifat generalisata dan berdasar atas daya gravitasi dimana edema pada regio
periorbital terjadi pada pagi hari sedangkan pada kaki sore harinya.
Bila lebih berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema genitalia.
Kadang-kadang disertai oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang,
muntah dan diare. Bila disertai sakit perut, hati-hati terhadap kemungkinan
terjadinya peritonitis atau hipovolemia. Peritonitis merupakan komplikasi penting
yang kadang-kadang sulit didiagonis karena tanda-tanda peritonitis disamarkan
oleh pemberian steroid.9 Dalam laporan ISKDC (International Study for Kidney
Diseases in Children), pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)
ditemukan 22% dengan hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan
32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat
sementara.
Trihono P, Alatas H, Tambunan T, and Pardede S. Konsensus Tatalaksana
Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Edisi-2. Jakarta: IDAI; 2012. p:1-20.
Insley J. Vade-Mecum Pediatri. Edisi-13. Jakarta: EGC; 2005.p:77-79.
Hull D, and Johnston D. Dasar-Dasar Pediatri. Edisi-3. Jakarta: EGC; 2008.p:182-
185.

11
2.8 Diagnosis Sindrom Nefrotik
Dari anamnesis akan di dapatkan bahwa pasien sindrom nefrotik datang
dengan edema yang progresif pada ekstremitas bawah, peningkatan berat badan
dan lemah, yang merupakan gejala tipikal pada sindrom nefrotik. Selain itu juga
dapat ditemukan urin berbusa. Pada kondisi yang lebih serius, akan terjadi edema
periorbital dan genital (skrotum), ascites, efusi pleura. Jika terjadi bengkak hebat
dan generalisata dapat bermanifestasi sebagai anasarka. Kemudian dari
pemeriksaan fisik akan di temukan pretibial edema, edema periorbita, edema
skrotum, edema anasarka, ascites. Floege J, Johnson RJ, Feehally J. Comprehensive
clinical nephrology. 4 th ed. United States of America: Elsevier; 2010. p. 241-42.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada sindrom nefrotik adalah
sebagai berikut :
1) Urinalisis dan biakan urin, dilakukan jika terdapat gejala klinis yang
mengarah pada infeksi saluran kemih (ISK).
2) Protein urin kuantitatif ; Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan urin
24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari, pemeriksaan
ini bertujuan untuk mengetahui derajat dari proteinuria.
3) Pemeriksaan darah ; Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis
leukosit, trombosit, hematokrit, LED), Albumin dan kolesterol serum, Ureum,
kreatinin, dan klirens kreatinin. Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO.
Konsensus tata laksana sindrom nefrotik idiopatik pada anak. UKK Nefrologi IDAI;
2014.

2.9 Penatalaksanaan Sindrom Nefrotik


2.9.1 Tatalaksana Umum
Sebelum pengobatan steroid dimulai terhadap SN, maka perlu dilakukan
pemeriksaan-pemeriksaan berikut:
- Pengukuran berat badan dan tinggi badan.
- Pengukuran tekanan darah.
- Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda/gejala penyakit sistemik,
seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.

12
- Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, atau pun kecacingan.
Setiap infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid
dimulai.
- Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis
INH selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan
tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT). Trihono P,
Alatas H, Tambunan T, and Pardede S. Konsensus Tatalaksana
Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Edisi-2. Jakarta: IDAI;
2012. p:1-20.

a) Pengaturan Dietetik
Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi
karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus.
Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP)
dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit
protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu
1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama
anak menderita edema. Jika ada hipertensi dapat ditambahkan obat
antihipertensi diawali dengan inhibitor ACE (angiotensin converting
enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker). Amalia TQ. Aspek Klinis,
Diagnosis dan Tatalaksana Sindroma Nefrotik pada Anak. Jurnal
Kedokteran Nanggroe Medika. 2018:1(2).
Trihono P, Alatas H, Tambunan T, and Pardede S. Konsensus
Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Edisi-2. Jakarta:
IDAI; 2012. p:1-20.

b) Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu
dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik
hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/ hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu

13
disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih
dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium
darah.1,4 Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter),
biasanya terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/
dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama
24 jam. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan
dapat dilakukan pungsi asites berulang. Amalia TQ. Aspek Klinis,
Diagnosis dan Tatalaksana Sindroma Nefrotik pada Anak. Jurnal
Kedokteran Nanggroe Medika. 2018:1(2).
Trihono P, Alatas H, Tambunan T, and Pardede S. Konsensus
Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Edisi-2. Jakarta:
IDAI; 2012. p:1-20.

c) Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2
mg/kgbb/ hari atau total >20 mg/ hari, selama lebih dari 14 hari,
merupakan pasien imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan
dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin
virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine).1 Setelah penghentian
prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti
polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat
dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan
varisela. Amalia TQ. Aspek Klinis, Diagnosis dan Tatalaksana Sindroma
Nefrotik pada Anak. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika. 2018:1(2).
Trihono P, Alatas H, Tambunan T, and Pardede S. Konsensus Tatalaksana
Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Edisi-2. Jakarta: IDAI; 2012. p:1-
20.

14
2.9.2 Tatalaksana Khusus : Pemberian Kortikosteroid
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali
bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau
prednisolon. Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada
anak dengan sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti seperti
tercantum dalam tabel 1.
Remisi Proteinuria negative atau trace (proteinuria < 4 mg/m2
LPB/jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu
Relaps Proteinuria ≥2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) selama 3
hari berturut-turut dalam 1 minggu
Kambuh jarang Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali per tahun
pengamatan
Kambuh sering Kambuh ≥2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons
awal, atau ≥4 kali per tahun pengamatan
Sensitif steroid Remisi tercapai pada pemberian prednison dosis penuh
selama 1 minggu
Dependen- Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering
steroid terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid
dihentikan
Resisten-steroid Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi
prednison dosis penuh 2 mg/ kgbb/hari selama 4 minggu

Tabel 1. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak


dengan sindrom nefrotik.

a) Terapi Steroid Inisial


Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan
prednison 60 mg/ m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/ hari)
dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung
sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan).
Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu.
Trihono P, Alatas H, Tambunan T, and Pardede S. Konsensus Tatalaksana
Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Edisi-2. Jakarta: IDAI; 2012. p:1-20.

15
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Sindroma Nefrotik dalam Pedoman Pelayanan
Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : IDAI Publishing; 2009. p:274-
276.
Alatas H, Trihono P, Tambunan T, Pardede S, Hidayati EL. Pengobatan
Terkini Sindrom Nefrotik (SN) pada Anak. Sari Pediatri. 2015. 17(2):155-16
Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu
kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari,
secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah
4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien
dinyatakan sebagai resisten steroid. Trihono P, Alatas H, Tambunan T, and
Pardede S. Konsensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak.
Edisi-2. Jakarta: IDAI; 2012. p:1-20.

b) Pengobatan SN relaps jarang


Bila dijumpai proteinuria (2 +2) setelah pengobatan steroid selesai,
perlu dicari faktor pemicunya (biasanya infeksi) dan diobati dengan
antibiotik dan dapat dipertimbangkan pemberian steroid dosis intermiten
dengan dosis 1,5 mg/kgbb/hari dibagi 3 dosis diberikan setiap hari selama
1-2 minggu (selama infeksi masih berlangsung). BILA kemudian
proteinuria (-), maka dosis steroid dapat diturunkan (alternating dose).
BILA proteinuria menetap (≥ +2) atau tidak ditemukan focus infeksi,
dianggap SN relaps, mulai dengan prednison dosis penuh 2 mg/kg/hari
sampai remisi (proteinuria negatif atau trace 3 hari berturut-turut) selama
maksimal 4 minggu, dilanjutkan dosis alternating selama 4 minggu
kemudian stop. Alatas H, Trihono P, Tambunan T, Pardede S, Hidayati
EL. Pengobatan Terkini Sindrom Nefrotik (SN) pada Anak. Sari Pediatri.
2015. 17(2):155-16
Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Childhood nephrotic
syndrome. Dalam: Yap HK, Liu ID, Ng KH, penyunting, Pediatric Nephrology:
On the go. Edisi ke-2, Singapore: Children’s Kidney Centre;2015.h.213-27.

c) Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid

16
Cari fokus infeksi seperti TB, infeksi di gigi atau kecacingan. Pilihan
untuk pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid antara lain:
1) Steroid jangka Panjang
Dimulai dengan prednison atau prednisolon dosis penuh (4
minggu) sampai terjadi remisi. Lanjutkan dengan steroid alternating (4
minggu), kemudian dosis diturunkan perlahan 0,5 mg/kgbb setiap 4
minggu sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu
antara 0,1-0,5 mg/kgbb alternating, dapat diteruskan selama 6-12 bulan,
coba dihentikan.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat >0,5 mg/kgbb/AD,
tetapi < 1 mg/kgbb/alternating tanpa efek samping yang berat dapat
dicoba dikombinasi dengan Levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb
selama 4 - 12 bulan atau diberi siklofosfamid (CPA).
Jika relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb/alternating atau
meskipun dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai efek samping steroid
yang berat, atau pernah relaps dengan gejala yang berat antara lain
hipovolemia, trombosis, sepsis, diberikan CPA dengan dosis 2-3
mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu.
Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Childhood nephrotic
syndrome. Dalam: Yap HK, Liu ID, Ng KH, penyunting, Pediatric Nephrology:
On the go. Edisi ke-2, Singapore: Children’s Kidney Centre;2015.h.213-27.
Alatas H, Trihono P, Tambunan T, Pardede S, Hidayati EL.
Pengobatan Terkini Sindrom Nefrotik (SN) pada Anak. Sari Pediatri.
2015. 17(2):155-16

2) Levamisole
Pada saat relaps diberikan prednison 60mg/m2/hr sampai remisi
minimal 2 minggu, dilanjutkan dengan dosis 40mg/m2 / satu kali sehari
selang sehari pagi hari, dan secara bersamaan diberikan levamisol 2,5
mg/kgbb/hr satu kali sehari selang sehari selama 6-12 bulan. Prednison
diturunkan bertahap selama 8 minggu.

17
Efek samping: agranulositosis. Pantau kadar leukosit/minggu
selama 4 minggu pertama, kemudian tiap 2 bulan sampai 12 bulan.
Hentikan terapi bila: lekosit <3x109/L atau absolute netrofil count
(ANC)< 1,5x109/L atau terjadi rash purpura.

3) Siklofosfamid (CPA)
Dapat diberikan CPA oral 2-3 mg/kgbb/hari atau intravena 500
mg/m2/hari atau CPA puls 500 mg/m2/bulan + metilprednisolon 40
mg/m2/hari dosis alternating selama 6 bulan.

4) Mycophenolate Mofetil (MPA, MMF)


Diberikan dengan dosis 600mg/m2dosis, diberikan dua kali sehari
dengan maksimal pemberian 1 g/12 jam. Lama pemberian selama 12
bulan.

5) Siklosporin (CyA)
Siklosporin diberikan dengan dosis 3-8 mg/kgbb/hari dibagi dalam
2 dosis, untuk mencapai kadar obat dalam darah 100-250 mg/L.
Pemantauan kadar siklosporin dilakukan pada setiap minggu sampai 1
bulan, kemudian setiap 4-6 minggu. Selama pemberian siklosporin
perlu dipantau kadar ureum, kreatinin, elektrolit fungsi hati. Jika kadar
kreatinin meningkat 25% maka dosis siklosporin diturunkan 20% untuk
mengetahui apakah penyebab kenaikan tersebut memang siklosporin.
Prednisone diberikan dengan dosis 40 mg/m2/hari satu kali sehari
pagi hari selang sehari, dan diturunkan jika pasien mulai remisi.
Respon terapi harus ditentukan dalam 2 minggu sampai 1 bulan.
Jika tidak ada setelah 2 bulan dipertimbangkan untuk menambahkan
Mycophenolate Mofetil (MPA) atau dipikirkan terapi lain.
Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Childhood nephrotic
syndrome. Dalam: Yap HK, Liu ID, Ng KH, penyunting, Pediatric Nephrology:
On the go. Edisi ke-2, Singapore: Children’s Kidney Centre;2015.h.213-27.

18
Alatas H, Trihono P, Tambunan T, Pardede S, Hidayati EL.
Pengobatan Terkini Sindrom Nefrotik (SN) pada Anak. Sari Pediatri.
2015. 17(2):155-16

d) Pengobatan SN resisten steroid


Pilihan untuk pengobatan SN resisten steroid yang tersedia saat ini
antara lain:
1) Siklofosfamid (CPA)
CPA puls 500 mg/m2/bulan selama 6 bulan (7 kali) + prednison
40 mg/m2/hari dosis alternating selama 6 bulan, atau CPA oral 2-3
mg/kgbb/hari + prednison 40 mg/m2/hari dosis alternating selama 3-6
bulan, atau Metilprednisolon intravena. Pemberian metilprednisolon
intravena (MP pulse) dengan dosis 10-30 mg/kgbb/dosis (maksimal
1g) diberikan tiga hari berturut-turut tiap bulan selama enam bulan,
diikuti prednison 40 mg/m2/hari dosis alternating selama 6 bulan.
2) Mycophenolate Mofetil (MPA)
Diberikan dengan dosis 600mg/m2/dosis, dua kali sehari dengan
maksimal pemberian 1g/12 jam. Lama pemberian selama 12 bulan.
3) Siklosporin (CsA)
Siklosporin diberikan dengan dosis 3-8 mg/kgbb/hari dibagi
dalam 2 dosis, untuk mencapai kadar obat dalam darah 100-250 mg/L.
Prednisone diberikan dengan dosis 40 mg/m2/hari satu kali sehari pagi
hari selang sehari, dan diturunkan jika pasien mulai remisi. Jika pasien
menunjukkan respon terhadap siklosporin, terapi bisa dilanjutkan
sampai 1-2 tahun kemudian diturunkan.
Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Childhood nephrotic
syndrome. Dalam: Yap HK, Liu ID, Ng KH, penyunting, Pediatric Nephrology:
On the go. Edisi ke-2, Singapore: Children’s Kidney Centre;2015.h.213-27.
Alatas H, Trihono P, Tambunan T, Pardede S, Hidayati EL.
Pengobatan Terkini Sindrom Nefrotik (SN) pada Anak. Sari Pediatri.
2015. 17(2):155-16

19
2.10 Komplikasi
a) Infeksi
Tersering adalah selulitis dan peritonitis. Hal ini disebabkan karena
terjadinya kebocoran IgG dan komplemen faktor B dan D di urin. Bila
terjdi peritonitis primer yang bhiasanya disebabkan oleh kuman Gram-
negatif dan streptokokus pneumoniae diberikan pengobatan penisilin
parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga, yaitu
Sefotaksim/ Seftriakson selama 10 - 14 hari.
Wila Wirya I.G.N., 1992. Penelitian Beberapa Aspek Klinis dan Patologi Anatomis
Sindrom Nefrotik Primer pada Anak di Jakarta. Disertasi. Jakarta : Universitas Indonesia.
b) Tromboemboli
Pencegahan tromboemboli pada SN relaps sering/dependen steroid/
steroid resisten dengan pemberian aspirin dengan dosis 3-5 mg/kgbb sekali
sehari (maksimal 100 mg/hari) atau Dipiridamol dengan dosis 1-2
mg/kgbb tiap 8 jam (maksimal 100 mg/hari) selama pengobatan steroid.
Wila Wirya I.G.N., 1992. Penelitian Beberapa Aspek Klinis dan Patologi Anatomis
Sindrom Nefrotik Primer pada Anak di Jakarta. Disertasi. Jakarta : Universitas Indonesia.

c) Syok hipovolemia
Diatasi dengan melakukan resusitasi cairan menggunakan RL 20
cc/kgbb secepatnya, bila tidak respon dapat diulang hingga 2x, kemudian
diberikan dengan infus albumin 1gr/kgbb atau plasma 20 ml/kgbb (tetesan
lambat→10 tetes/menit). Bila hipovolemia telah teratasi, penderita masih
oliguria diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena dengan pengaturan
cairan input sesuai output dan IWL, kemudian evaluasi ulang.
Wila Wirya I.G.N., 1992. Penelitian Beberapa Aspek Klinis dan Patologi Anatomis
Sindrom Nefrotik Primer pada Anak di Jakarta. Disertasi. Jakarta : Universitas Indonesia.

d) Hipokalsemia
Diberikan suplementasi kalsium 500-1000 mg/hari dan vitamin D
400-800 IU/hari per oral. Bila terjadi tetani diobati dengan kalsium
glukonas 50 mg/kgbb intravena.

20
Wila Wirya I.G.N., 1992. Penelitian Beberapa Aspek Klinis dan Patologi Anatomis
Sindrom Nefrotik Primer pada Anak di Jakarta. Disertasi. Jakarta : Universitas Indonesia.

e) Hipertensi
Diberikan ACE inhibitor: Captopril 0,3 mg/kgbb/kali dibagi 2-3 dosis
atau Lisinopril 0,1-1 mg/kgbb/hari satu kali pemberian. Bila pasien dengan
edema diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb/hr dalam dua kali pemberian.
Wila Wirya I.G.N., 1992. Penelitian Beberapa Aspek Klinis dan Patologi Anatomis
Sindrom Nefrotik Primer pada Anak di Jakarta. Disertasi. Jakarta : Universitas Indonesia.

2.11 Prognosis
Prognosis jangka panjang SNKM pada pengamatan 20 tahun hanya 4-5%
menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada GSFS 25% menjadi gagal
ginjal terminal dalam 5 tahun dan pada sebagian besar lainnya disertai
penurunan fungsi ginjal. Pada berbagai penelitian jangka panjang ternyata
respons terhadap pengobatan steroid lebih dapat dipakai untuk menentukan
prognosis daripada gambaran PA.

BAB III
KESIMPULAN

Sindrom Nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit


gromerular yang ditandai dengan proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema dan
hiperkoles-terolemia. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosa sindroma nefrotik adalah urinalisa dan pemeriksaan darah.

21
Pengobatan sindroma nefrotik pada anak meliputi pengaturan diet, pemberian
diuretik yang bertujuan untuk mengurangi edema, dan pemberian imunosupresan
seperti steroid yang bertujuan untuk menginduksi remisi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Amalia TQ. Aspek Klinis, Diagnosis dan Tatalaksana Sindroma Nefrotik


pada Anak. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika. 2018:1(2).
2. Trihono P, Alatas H, Tambunan T, and Pardede S. Konsensus Tatalaksana
Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Edisi-2. Jakarta: IDAI; 2012. p:1-20.

22
3. Bergstein J. Sindrom Nefrotik Idiopatik. In : Nelson, W.E., Kliegman, R.,
Brehman, R.E., Arvin, A.M., Buku Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15.
Jakarta: EGC. 2004. p:1828-30.
4. Nilawati GAP. Profil Sindrom Nefrotik pada Ruang Perawatan Anak RSUP
Sanglah Denpasar. Sari Pediatri. 2012. 14(4):269-272.
5. Marieb EN, Hoehn K (2015). Human anatomy & physiology. Edisi
kesepuluh. Boston: Pearson Education, Inc.
6. Tortora, GJ, Derrickson, B. 2012. Principles of Anatomy & Physiology 13th
Edition. United States of America: John Wiley & Sons, Inc.
7. Moore, K. L., A. F. Dalley, Anne M. R., dan M. E. Moore. 2013. Anatomi
Berorientasi Klinis. Jakarta: Erlangga.
8. Netter, Frank H. 2016. Atlas Anatomi Manusia Bahasa Latin/ Indonesia Edisi
6. Indonesia: Elsevier.
9. Price, S.A., Wilson, L.M. 2013. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi VI. Jakarta: EGC.
10. Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta:
EGC.
11. Kharisma, Y. (2017). Tinjauan Umum Sindrom Nefrotik. Universitas Islam
Bandung.
12. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Sindroma Nefrotik. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak. 7th ed. Jakarta :
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
1997. p:832- 835.
13. Kodner, C., 2016. Diagnosis and Management of Nephrotic Syndrome in
Adults. Amerika Serikat: American Academy of Family Physicians.
14. Insley J. Vade-Mecum Pediatri. Edisi-13. Jakarta: EGC; 2005.p:77-79.
15. Hull D, and Johnston D. Dasar-Dasar Pediatri. Edisi-3. Jakarta: EGC;
2008.p:182-185.
16. Floege J, Johnson RJ, Feehally J. Comprehensive clinical nephrology. 4 th ed.
United States of America: Elsevier; 2010. p. 241-42.
17. Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO. Konsensus tata laksana
sindrom nefrotik idiopatik pada anak. UKK Nefrologi IDAI; 2014.

23
18. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Sindroma Nefrotik dalam Pedoman Pelayanan
Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : IDAI Publishing; 2009. p:274-
276.
19. Alatas H, Trihono P, Tambunan T, Pardede S, Hidayati EL. Pengobatan
Terkini Sindrom Nefrotik (SN) pada Anak. Sari Pediatri. 2015. 17(2):155-16
20. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Childhood nephrotic
syndrome. Dalam: Yap HK, Liu ID, Ng KH, penyunting, Pediatric
Nephrology: On the go. Edisi ke-2, Singapore: Children’s Kidney
Centre;2015.h.213-27.
21. Wila Wirya I.G.N., 1992. Penelitian Beberapa Aspek Klinis dan Patologi
Anatomis Sindrom Nefrotik Primer pada Anak di Jakarta. Disertasi. Jakarta :
Universitas Indonesia.

24

Anda mungkin juga menyukai