Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

NODUL PITA SUARA

Oleh:
Topan Dwi Setiawan, S.Ked
71 2020 050

Pembimbing:
dr. Meilina Wardhani, Sp.THT-KL

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG DAN


TENGGOROKAN KEPALA-LEHER
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Referat yang Berjudul :


NODUL PITA SUARA

Oleh:
Topan Dwi Setiwan, S.Ked
71 2020 050

Pembimbing:
dr. Meilina Wardhani, Sp.THT-KL

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior (KKS) di Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan
Kepala-Leher di Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang Periode 08 Agustus 2021 –
29 Agustus 2021

Palembang, Agustus 2021


Pembimbing

dr. Meilina Wardhani, Sp.THT-KL

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Nodul
Pita Suara” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
di SMF Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan Kepala-Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang. Shalawat dan salam selalu
tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan
pengikutnya hingga akhir zaman
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :
1. Allah SWT yang telah memberi kehidupan dengan sejuknya keimanan
2. Kedua orang tua yang senantiasa memberi dukungan materil maupun spiritual
3. dr. Meilina Wardhani, Sp.THT-KL, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik
Senior di Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan
Kepala-Leher Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang
yang telah memberikan masukan, arahan, serta bimbingan dalam
menyelesaikan referat ini
4. Rekan-rekan co-assistensi atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan.
Semoga Allah SWT memberian balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan
ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT.

Palembang, Agustus 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii

KATA PENGANTAR..........................................................................................iii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latarbelakang............................................................................................1
1.2. Maksud dan Tujuan...................................................................................2
1.3 Manfaat......................................................................................................2
1.3.1 Manfaat Teoritis.................................................................................2
1.3.2 Manfaat Praktis..................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Faring.........................................................................................................3
2.1.1. Anatomi Laring..................................................................................3
2.1.2. Otot-Otot............................................................................................7
2.1.3. Vaskularisasi......................................................................................9
2.1.4. Persarafan.........................................................................................10
2.1.5. Pita Suara.........................................................................................12
2.1.6. Mekanisme Produksi Suara..............................................................14
2.2 Nodul Pita Suara......................................................................................17
2.2.1. Definisi.............................................................................................17
2.2.2. Etiologi.............................................................................................17
2.2.3. Epidemiologi....................................................................................18
2.2.4. Patofisiologi.....................................................................................18
2.2.5. Gejala Klinis....................................................................................19
2.2.6. Diagnosis..........................................................................................20
2.2.7. Diagnosis Banding...........................................................................21
2.2.8. Tatalaksana.......................................................................................22
2.2.9. Prognosis..........................................................................................23
BAB III KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan..............................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................25

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latarbelakang
Disfonia merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara yang
disebabkan kelainan pada organ-organ fonasi, terutama laring, baik yang
bersifat organik maupun fungsional. Disfonia bukan penyakit, tetapi
merupakan gejala penyakit atau kelainan laring. Salah satu penyebab
disfonia tersering, yaitu nodul pita suara. Nodul pita suara merupakan
penyebab tersering disfoni menetap pada anak-anak dan wanita dewasa.
Nodul pita suara (vocal nodule) adalah pertumbuhan yang menyerupai
jaringan parut dan bersifat jinak (maligna) pada pita suara. Terdapat
berbagai sinonim klinis untuk pita suara termasuk screamer’s nodule,
singer’s nodule, atau teacher’s nodule.1
Nodul terbentuk akibat pemakaian suara yang berlebihan (vocal
abuse), terlalu keras atau terlalu lama seperti pada seorang guru, penyanyi,
penyiar, presenter dan sebagainya. Nodul pita suara dapat terjadi pada anak-
anak dan dewasa namun angka kejadian lebih sering terjadi pada wanita
dewasa dibandingkan kelompok usia lainnya. Penggunaan suara yang
berlebihan secara terus menerus (intens) merupakan faktor pencetus yang
terpenting.1,2
Kelelahan bersuara pada profesi-profesi tersebut cukup tersering
ditemukan, prevalensinya 9,7-13%. Dengan self assesment ternyata
prevalensinya meningkat menjadi 73%. Hal ini menunjukkan bahwa
sebenarnya prevalensi kelelahan bersuara cukup tinggi.3
Strategi penanganan nodul pita suara dilakukan secara konservatif;
terapi wicara merupakan terapi paling utama. Pada terapi wicara ini, pasien
diajari bagaimana menggunakan suara dengan tepat, sehingga dengan
demikian dapat meregresi nodul-nodul tersebut.4

1
2

1.2. Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan penulisan referat ini adalah sebagai berikut:
1. Diharapkan dokter muda dapat memahami Nodul Pita Suara.
2. Diharapkan dokter muda dapat mengaplikasikan pemahaman yang
didapat mengenai Nodul Pita Suara selama menjalani kepaniteraan klinik
dan seterusnya.

1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
Diharapkan penulisan referat ini dapat menjadi sumber ilmu
pengetahuan dan sebagai tambahan referensi dalam bidang Ilmu THT
terutama mengenai Nodul Pita Suara.
1.3.2 Manfaat Praktis
Diharapkan agar dokter muda dapat mengaplikasikan ilmu yang
diperoleh dari laporan kasus ini dalam kegiatan kepaniteraan klinik
senior (KKS) dan diterapkan di kemudian hari dalam praktik klinik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Faring
2.1.1. Anatomi Laring
Laring adalah bagian dari traktus respiratorius bagian atas yang
merupakan suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan
terletak setinggi vertebra cervicalis IV - VI, dimana pada anak-anak
dan wanita letaknya relatif lebih tinggi. Laring pada umunya selalu
terbuka, hanya kadang-kadang saja tertutup bila sedang menelan
makanan (fase deglutisi). Lokasi laring dapat ditentukan dengan
inspeksi dan palpasi dimana didapatkannya kartilago tiroid yang pada
pria dewasa lebih menonjol kedepan dan disebut Prominensia Laring
atau disebut juga Adam’s apple atau jakun.5
Batas-batas laring berupa sebelah kranial terdapat Aditus
Laringeus yang berhubungan dengan Hipofaring, di sebelah kaudal
dibentuk oleh sisi inferior krikoid dan berhubungan dengan trakea,
disebelah posterior dipisahkan dari vertebra cervicalis oleh otot-otot
prevertebral, dinding dan cavum laringofaring serta disebelah anterior
ditutupi oleh otot-otot sternokleidomastoideus, infrahyoid dan lobus
glandula tiroid. 6
Laring terdiri dari beberapa komponen, yaitu kartilago, otot-
otot, saraf-saraf, dan pita suara. Fungsi utama dari laring adalah
membuka dan menutup glotis (ruang antara dua lipatan pita suara)
sesuai dengan proses yang ingin dilakukan.5
1. Proses bernapas = glotis terbuka Laring membuat kedua lipatan pita
suara terpisah saat bernapas.
2. Peranan dalam refleks batuk = glotis menutup, lalu terbuka Laring
menutup glotis untuk menghasilkan tekanan, lalu membukanya
untuk mengusir udara dengan kuat saat batuk.

3
4

3. Peran dalam menelan = glotis menutup Laring mengoordinasikan


penutupan glotis dengan membawa kedua pita suara ke garis tengah
untuk mencegah tersedak selama menelan.
4. Peranan dalam suara = glotis menutup dan menyesuaikan dengan
ketegangan pita suara
Laring membawa kedua pita suara ke garis tengah untuk
memungkinkan vibrasi pita suara saat berbicara dan bernyanyi. Laring
menyesuaikan ketegangan pita suara dengan variasi nada (seberapa
tinggi atau rendah suaranya) dan perubahan volume (seperti
kenyaringan produksi suara). Berikut dijelaskan masing-masing
bagian yang menyusun organ laring.5

Gambar 2.1. Struktur Kartilago dan Otot Laring

Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding


kartilago tiroidea di sebelah atas dan kartilago krikoidea disebelah
bawahnya. Os Hyoid dihubungan dengan laring oleh membrana
tiroidea. Tulang ini merupakan tempat melekatnya otot-otot dan
ligamenta serta akan mengalami osifikasi sempurna pada usia 2 tahun.
Secara keseluruhan laring dibentuk oleh sejumlah kartilago,
ligamentum dan otot-otot.5
5

A. Kartilago
Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu:
1. Kartilago Tiroidea, 1 buah
2. Kartilago Krikoidea, 1 buah
3. Kartilago Artinoidea, 2 buah
B. Kartilago minor, terdiri dari:
1. Kartilago Kornikulata Santorini, 2 buah
2. Kartilago Kuneiforme Wrisberg, 2 buah
3. Kartilago Epiglotis, 1 buah

Gambar 2.2. Tulang dan Kartilago Laring Tampak Lateral

Gambar 2.3. Tulang dan Kartilago Laring Tampak Sagital


6

Gambar 2.4. Tulang dan Kartilago Laring Tampak Posterior

Ruang (kompartemen) pangkal tenggorok, larynx dibedakan menjadi:


1) Ruang supraglottis
Membentang dari Aditus laryngs hingga setinggi pita suara palsu
(Plicae vestibulares) dan terbagi menjadi
- Epilarynx: Permukaan laryngeal epiglottis,Plicae
aryepiglotticae dan tonjol Cartilago arytenoidea
- Vestibulum laryngis: Petiolus epiglottidis, Plicae vestibulares
= ventriculares, Ventriculus laryngis = ventrikel MORGAGNI
2) Ruang glottis (glottis) digambarkan sebagai area tepi bebas Plicae
vocales hingga “ruang vestibularis”, yang meliputi ruang area
glottis, pita suara palsu (Plica vestibularis), dan Ventriculi laryngis.
Bagian anterior glottis dengan Commisura anterior dikenal dengan
Pars intermembranacea, sedangkan bagian dorsal glottis yang diapit
oleh Cartilago arytenoidea adalah Pars intercartilanginea. Pars
intermembranacea ini mencakup dua pertiga Rima glottidis. Di
bagian dorsal, Plicae vocales berakhir pada peralihan antara Pars
intercartilagnea dengan Plica interarytenoidea
3) Ruang subglottis (subglottis) adalah daerah di bawah Plicae vocales
hingga tepi bawah tulang rawam bentuk cincin (Cartilago
7

cricodea). Ini merupakan ruang bernemtuk kerucut antara tepi


bebas Plica vocalis, bagian landai Plica vocalis dan tepi bawah
Cartilago cricoidea. Secara mikroskopis batas Cranial subglottis
ditetapkan terlokalisasi pada Linea arcuata inferior plica vocalis.
Batas caudal adalah tepi bawah Cartilago cricoidea. Craniolateral
dibatasi oleh Conus elasticus dan Cartilago cricoidea di bagian
caudal. Ruang subglottis memiliki bentuk silindris ke arah caudal,
menyempit ke arah cranial, sesuai dengan bentuk Conus elasticus.
Ujung ventral dibatasi ileh Lig. Ccricothyroideum medianum (Lig.
Conicum), batas dorsal Cartilago cricoidea.

Gambar 2.5. Ruang (Kompartemen) Pangkal Tenggorok, Larynx

2.1.2. Otot-Otot
Otot-otot laring terbagi dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu otot-otot
ekstrinsik dan otot-otot intrinsik yang masing-masing mempunyai
fungsi yang berbeda. 4 otot-otot ekstrinsik. Otot-otot berperan dalam
8

menghubungkan laring dengan struktur disekitarnya. Kelompok otot


ini menggerakan laring secara keseluruhan.5 Terbagi atas:
a. Otot-otot suprahioid / otot-otot elevator laring, yaitu:
1) M. Stilohioideus
2) M. Milohioideus
3) M. Geniohioideus
4) M. Digastrikus
5) M. Genioglosus
6) M. Hioglosus
b. Otot-otot infrahioid / otot-otot depresor laring, yaitu:
1) M. Omohioideus
2) M. Sternokleidomastoideus
3) M. Tirohioideus
Otot-otot intrinsik menghubungkan kartilago satu dengan yang
lainnya. Berfungsi menggerakkan struktur yang ada di dalam laring
terutama untuk membentuk suara (fonasi) dan bernafas. Otot-otot
pada kelompok ini berpasangan kecuali M. Intraaritenoideus yang
serabutnya berjalan transversal dan oblik. Fungsi otot ini dalam
prosesn pembentukkan suara, proses menelan dan bernafas. Bila M.
Interaritenoideus berkontraksi, maka otot ini akan bersatu di garis
tengah sehingga menyebabkan adduksi pita suara. Yang termasuk
dalam kelompok otot intrinsik adalah:
1. Otot-otot adduktor:
- Mm. Interaritenoideus transversal dan oblik
- M. Krikotiroideus
- M. Krikotiroideus lateral berfungsi dalam menutup pita suara
2. Otot abduktor:
- M. Krikotiroideus posterior berfungsi untuk membuka pita
suara
3. Otot-otot tensor:
- Tensor Internus: M. Tiroartenoideus dan M. Vokalis
- Tensor Eksternus: M. Krikotiroideus
9

2.1.3. Vaskularisasi
Laring mendapatkan pendarahan dari cabang A. Tiroidea Superior dan
Inferior sebagai A. Laringeus Superior dan Inferior.5
1. Arteri Laringeus Superior
Berjalan bersama ramus interna N. Laringeus Superior menembus
membrana tirohioid menuju ke bawah diantara dinding lateral dan
dasar sinus pyriformis.
2. Arteri Laringeus Inferior
Berjalan bersama N. Laringeus Inferior masuk ke dalam laring
melalui area Killian Jamieson yaitu celah yang berada dibawah
M. Konstriktor Faringeus Inferior, di dalam laring beranastomosis
dengan A. Laringeus Superior dan memperdarahi otot-otot dan
mukosa laring.

Gambar 2.6. Arteri Laring


10

Gambar 2.7. Vaskularisasi Laring

2.1.4. Persarafan
Laring dipersarafi oleh cabang N. Vagus yaitu Nn. Laringeus
Superior dan Nn. Laringeus Inferior (Nn. Laringeus Rekuren) kiri dan
kanan.5
1. Nn. Laringeus Superior
Meninggalkan N. vagus tepat di bawah ganglion nodusum,
melengkung ke depan dan medial di bawah A. karotis interna dan
eksterna yang kemudian akan bercabang dua, yaitu:
- Cabang Interna: bersifat sensoris, mempersarafi vallecula,
epiglotis, sinus pyriformis dan mukosa bagian dalam laring di
atas pita suara sejati (True Vocal Fold).
- Cabang Eksterna: bersifat motoris, mempersarafi M.
Krikotiroid dan M. Konstriktor inferior.
2. N. Laringeus Inferior (N. Laringeus Rekuren)
Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai
laring tepat di belakang artikulasio krikotiroidea. N. laringeus
sinistra mempunyai perjalanan yang panjang dan dekat dengan
11

Aorta sehingga mudah terganggu. Merupakan cabang N. vagus


setinggi bagian proksimal A. Subklavia berjalan membelok ke
atas sepanjang lekukan antara trakea dan esofagus, selanjutnya
akan mencapai laring tepat dibelakang artikulasio krikotiroidea
dan memberikan persarafan:
- Sensoris, mempersarafi daerah sub-glotis dan bagian atas
trakea.
- Motoris, mempersarafi semua otot laring kecuali M.
Krikotiroidea
Otak mengoordinasi produksi suara melalui koneksi dan sinyal
antar saraf spesifik. Sinyal yang menuju laring akan menggerakkan
otot-otot. Sinyal ini berasal dari beberapa sumber, yaitu Recurrent
Laryngeal Nerve (RLN), Superior Laryngeal Nerve (SLN), atau dari
gabungan RLN dan SLN.

Tabel 2.1. Hubungan Kartilago, Otot dan Saraf Laring


12

2.1.5. Pita Suara


Pita suara (plika vocalis)adalah dua lembar membran mukosa
tipis yang terletak di atas ligamentun vokal, dua pita fibrosa yang
teregang di antara bagian dalam kartilago thyroidea di bagian depan
dan cartilago arytenoidea di bagian belakang. Plika vestibularis adalah
dua lipatan membran mukosa tepat di atas plika vocalis. Bagian
ini tidak terlibat dalam produksi suara. Posisi pita suara tetap
terletak pada pertengahan antara tonjolan tiroid dan tepi bawah
kartilago tiroid. Panjang pita suara pada wanita dewasa kira-kira 13-17
mm dan 15-23 mm pada laki-laki dewasa. Bagian tersempit dari laring
pada anak-anak adalah daerah subglotis, sedangkan pada dewasa
adalah daerah rima glotis. Pita suara (vocal fold) merupakan jaringan
lembut yang terdiri dari lipatan-lipatan yang menjadi komponen
getaran utama pada laring. Terdiri atas sebuah cover (epithelium,
basement membrane, dan superficial lamina propria), vocal ligament
(intermediate and deep lamina propria) yang mengandung banyak
serat elastin dan kolagen, dan inti merupakan lapisan dalam lamina
propia yang bergabung dengan dasar otot vokalis (thyroarytenoid
muscle). Lapisan-lapisan ini saling bekerja sama menghasilkan
getaran pita suara. Pita suara bergerak mirip seperti wiper kaca mobil
yang terpasang di bagian tengah kaca depan dan terbuka ke arah luar. 5
Ujung depan kedua pita suara dilekatkan ke bagian depan-tengah
(anterior commissure). Sedangkan bagian belakang kedua lipatan
vokal dilekatkan pada arytenoid cartilage. Ketika kartilago arytenoid
dibuka oleh otot krikoidarytenoid posterior, pita suara (vocal fold) dan
glotis juga akan terbuka (abduksi). Sebaliknya, saat kartilago
arytenoid ditutup oleh otot cricoarytenoid lateral dan kartilago
interarytenoid, pita suara dibawa ke garis tengah sehingga
mengakibatkan terjadinya penutupan glotis (adduksi). Berikut
disajikan visualisasi pergerakan pita suara pada Gambar 2.7.5
13

Gambar 2.8. Pergerakan Pita Suara

Gambar 2.9. Anatomi Pita Suara

Untuk mendapatkan getaran pita suara yang efisien dan normal


dibutuhkan beberapa kemampuan berikut:
1. Kemampuan menutup rapat
Kegagalan menempatkan pita suara ke garis tengah, atau adanya
luka yang mencegah bertemunya tepi pita suara sehingga tidak
dapat menutup rapat, memungkinkan udara untuk melepaskan diri
dan hanya menghasilkan suara napas.
14

2. Kelenturan
Elastisitas alami dari pita suara membuat mereka lentur. Bagian
atas, tepi, dan bagian bawah pita suara yang bertemu di garis
tengah dan bergetar perlu dilipat. Perubahan pada kelenturan pita
suara, meski terbatas hanya pada satu wilayah atau “spot”, dapat
menyebabkan gangguan suara, seperti yang terlihat pada pita suara
yang luka.
3. Ketegangan yang tepat
Ketidakmampuan menyesuaikan ketegangan saat bernyanyi dapat
menyebabkan kegagalan untuk mencapai nada tinggi atau suara
yang jeda.
4. Massa yang tepat
Perubahan pada jaringan lunak sebagian besar pita suara seperti
penurunan atau penipisan pada jaringan parut atau peningkatan atau
pembengkakan, seperti pada Reinke’s edema, menghasilkan
banyak gejala suara-suara serak, nada suara yang berubah, fonasi
tak bertenaga, dan lainnya.

2.1.6. Mekanisme Produksi Suara


Cara suara yang dihasilkan dapat kita analogikan seperti suara
yang dihasilkan oleh harmonika. Pemain harmonika menghasilkan
suara pada bagian mulutnya dengan getaran pada bibirnya yang
berasal dari udara yang melintas dari mulut. Getaran di dalam mulut
menghasilkan suara, yang kemudian diubah atau “dibentuk” saat
melewati alat musik. Saat posisi harmonika berubah, suara alat musik
juga berubah.5
Suara manusia dapat dimodifikasi dengan berbagai cara.
Misalkan saja suara-berbisik, berbicara, orasi, dan berteriak—serta
suara yang berbeda yang mungkin terjadi dalam berbagai bentuk
musik vokal, seperti nyanyian rock, nyanyian gospel, dan nyanyian
opera. Berdasarkan proses produksi suara dari kata-kata atau suara
15

yang biasa kita ucapkan dapat dibedakan menjadi tiga proses, yaitu
voiced sound, resonansi, dan artikulasi:5
1. Voiced sound
Suara dasar yang dihasilkan oleh getaran pita suara. Hal ini sering
digambarkan seperti “buzzy sound”. Voiced sound untuk bernyanyi
akan sangat berbeda secara signifikan dari voiced sound untuk
berbicara.
2. Resonansi
Voiced sound diperkuat dan dimodifikasi oleh resonator saluran
vokal (tenggorokan, rongga mulut, dan saluran hidung). Resonator
berperan dalam menghasilkan suara yang dapat dikenali.
3. Artikulasi
Artikulator vokal (lidah, langit-langit lunak, dan bibir)
memodifikasi voiced sound. Artikulator terebut menghasilkan kata-
kata yang dapat dikenali.
Berbicara dan bernyanyi melibatkan mekanisme suara yang
terdiri dari tiga subsistem. Setiap subsistem terdiri dari berbagai
bagian tubuh dan memiliki peran khusus dalam produksi suara, sesuai
yang dijelaskan pada Tabel 2.2 dan Gambar 2.8 tentang subsistem
penghasil suara berikut ini.5

Tabel 2.2. Subsistem Dalam Produksi Suara


16

Gambar 2.10. Subsistem Penghasil Suara


Suara dihasilkan ketika terjadi fenomena aerodinamika yang
menyebabkan pita suara bergetar dengan cepat. Kecepatan siklus
getaran dapat dibedakan berdasarkan jenis kelamin dan usia. Pada pria
dewasa, pita suara hanya bergetar sekitar 110 siklus per detik sehingga
menghasilkan pitch yang rendah. Wanita dewasa menghasilkan pitch
yang lebih tinggi dengan jumlah siklus 180–220 per detik. Pitch
tertinggi dimiliki anak-anak dengan jumlah getaran 300 tiap detik.
Berikut dijelaskan secara singkat tentang proses menghasilkan suara.5
1. Kolom tekanan udara digerakkan menuju pita suara Udara
dipindahkan dari paru-paru dan diarahkan menuju pita suara
dengan gerakan yang dikoordinasi oleh diafragma, otot perut, otot
dada, dan tulang rusuk.
2. Pita suara bergetar sesuai dengan siklus getaran Pita suara
dipindahkan ke garis tengah oleh otot-otot laring, saraf, dan tulang
rawan. Siklus getaran terjadi berulang kali; satu siklus getaran
berupa getaran ke arah atas dari garis dasar (nol), kembali menuju
17

garis dasar, terus mencapai puncak (amplitudo) pada arah yang


berlawanan dengan getaran pertama, kembali lagi pada garis dasar.
Getaran cepat pada udara yang diciptakan oleh siklus getaran
berulang akan menghasilkan “voiced sound“ yang sebenarnya
hanya berupa “buzzy sound”, yang kemudian diperkuat dan
dimodifikasi oleh resonator saluran suara dan menghasilkan suara
seperti yang kita kenal.
3. Saluran suara–resonator dan artikulator Hidung, faring, dan mulut
berfungsi menguatkan dan memodifikasi suara sehingga menjadi
susunan huruf dan kata-kata yang kita kenal.

2.2 Nodul Pita Suara


2.2.1. Definisi
Nodul pita suara merupakan pertumbuhan yang menyerupai jaringan
parut dan bersifat jinak pada pita suara. Kelainan ini disebut juga singer’s
nodule, screamer’s nodul atau teacher’s nodul.7 Bentuk kelainan ini dapat
dilihat seperti gambar 2.9.

Gambar 2.11. Nodul Pita Suara


18

2.2.2. Etiologi
Penyebab nodul pita suara hingga saat ini masih tidak diketahui
meskipun perubahan histologis telah dikaitkan dengan cedera mukosa
berulang karena hiperfungsi laring dan biasanya disebabkan oleh
penyalahgunaan pemakaian suara (vocal abuse) dalam waktu lama,
berlebihan dan dipaksakan seperti pada seorang guru, penyanyi, anak-anak
dan lain-lain.
Faktor-faktor penyebab laringitis kronis sangat berpengaruh di sini
tetapi penggunaan suara yang berlebihan secara terus menerus merupakan
faktor pencetus yang terpenting. Akibatnya lesi paling sering terdapat pada
pemakaian suara professional.1
Hal-hal lain yang dapat menyebabkan nodul pita suara diantaranya:
sorakan, sering berbicara atua berbicara yang keras, batuk sering dan keras
untuk membersihkan tenggorokan, penggunaan suara yang tidak biasa atau
kuat selama bermain atau marah, penggunaan nada yang terlalu tinggi.
Orang-orang dengan kebiasaan seperti ini akan menyebabkan cedera pada
pita suaranya. Jika hal ini terjadi, pita suara awalnya akan mengalami
penebalan dan menjadi merah. Jika penyalahgunaan suara berlanjut maka
penebalan pada tengah pada tengah pita suara akan berkembang menjadi
nodul.1

2.2.3. Epidemiologi
Orang-orang yang banyak menggunakan suara cenderung untuk
mendapatkan nodul pada pita suara mereka. Nodul pita suara merupakan
kelainan yang sering terjadi pada anak laki-laki dan wanita dewasa.8
Nodul dua sampai tiga kali lebih sering terjadi pada anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan, yaitu usia 8-12 tahun. Suara serak (disfonia)
yang kronis terjadi lebih dari 5% pada anak-anak sekolah. Anak-anak
biasanya tidak peduli pada suara seraknya. Dari anak-anak tersebut
menderita suara serak yang kronis, nodul adalah penyebab sebanyak 38-
78%. Ini membuat nodul pita suara sebagai penyebab tersering gangguan
suara pada anak-anak usia sekolah. Pada dewasa, wanita lebih sering terkena
19

dari laki-laki. Lesi biasanya berasal dari trauma pada mukosa pita suara
yang tertekan sewaktu vibrasi yang berlebihan.1

2.2.4. Patofisiologi
Asal nodul pita suara berhubungan dengan anatomi pita suara yang
khas. Nodul dapat bilateral dan simetris pada pertemuan sepertiga anterior
dan dua pertiga posterior pita suara. Pada daereah ini terjadi kerja maksimal
yang membebani pita suara, seperti aktivitas berteriak dan bernyanyi. Lesi
biasanya berasal dari trauma pada mukosa pita suara sewaktu vibrasi yang
yang berlebihan dan dijumpai adanya penebalan mukosa yang terletak pada
pita suara.
Selain itu, menurut Benninger nodul dapat bilateral dan simetris
namun seringkali asimetris,7 sedangkan menurut Nurbaiti nodul dapat
ditemukan unilateral jika pita suara kontralateralnya terdapat parese.13 Nodul
berkembang sebagai penebalan hiperplastik dari epitelium karena vocal
abuse.13
Pada tepi pita suara, terdapat ruang potensial subepitel (Reinke’s
Space) yang mudah diinfiltrasi oleh cairan edema atau darah dan mungkin
inilah yang terjadi pada lesi yang disebabkan oleh trauma akibat
penggunaan suara berlebih. Karena nodul merupakan reaksi inflamasi
terhadap trauma mekanis, terlihat perubahan inflamasi yang progresif.
Nodul yang baru biasanya lunak dan berwarna merah. Ditutupi oleh epitel
skuamosa dan stroma dibawahnya mengalami edema serta memperlihatkan
peningkatan vaskularisasi, dilatasi pembuluh darah dan pendarahan
sehingga menimbulkan nodul polipoid dalam berbagai tingkat
pembentukan. Jika trauma atau penyalahgunaan suara ini berlanjut, maka
nodul menjadi lebih matur dan lebih keras karena mengalami fibrosis dan
hialinisasi. Nodul yang matang seperti pada penyanyi profesional tampak
pucat dan fibrotik. Epitel permukaannya menjadi tebal dan timbul keratosis,
akantosis, dan parakeratosis.8 Nodul yang fibrotik dan matur jarang
ditemukan pada anak-anak dan biasanya ditemukan terlambat.9

2.2.5. Gejala Klinis


20

Pada awalnya pasien mengeluhkan suara pecah pada nada tinggi dan
gagal dalam mempertahankan nada. Selanjutnya pasien menderita serak
yang digambarkan sebagai suara parau, yang timbul pada nada tinggi,
terkadang disertai dengan batuk. Nada rendah terkena belakangan karena
nodul tidak berada pada posisi yang sesuai ketika nada dihasilkan.
Kelelahan suara biasanya cepat terjadi sebelum suara serak menjadi
jelas dan menetap. Jika nodul cukup besar, gangguan bernafas adalah
gambaran yang paling umum.2
Gejala-gejala yang dapat ditemukan pada penderita nodul pita suara:10,11
1. Suara terdengar kasar, serak dan pecah
2. Menghilangnya kemampuan bernyanyi nada tinggi dengan halus
3. Menurunnya kemampuan modulasi suara
4. Meningkatnya pengeluaran udara saat berbicara (breathiness) dan suara
parau
5. Pada saat bernyanyi terasa seperti memaksa
6. Pemanasan suara yang lebih lama
7. Peningkatan tegangan otot leher dan masalah tenggorokan.
Pada pasien dengan nodul berukuran sedang sampai besar, suara saat
berbicara umumnya lebih rendah daripada biasanya, dalam dan berat
(husky), parau, dan breathy. Sedangkan pasien dengan pembengkakan yang
tidak terlihat sampai sedang biasa bersuara normal. Suara saat berbicara
kurang sensitif dibandingkan dengan suara saat bernyanyi. Pada pasien
dengan pembengkakan yang tak terlihat sampai kecil, terdapat limitasi vokal
saat dilakukan penilaian vokal (seperti diplophonia, tidak dapat bernyanyi
nada tinggi dengan suara yang lembut atau keterlambatan onset
bersuara).10,11

2.2.6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan
laringoskopi, baik tidak langsung dan langsung. Pada pemeriksaan
laringoskop langsung digunakan endoskopi seperti laringoskopi serat optik
atau video stroboskopi. Pada anak, laring dapat dilihat melalui laringoskopi
21

serat optik. Laringoskop dengan jelas dapat menunjukkan penampakan


kecil, tergambar jelas lesi pita suara sebagai penebalan mukosa pita suara
berbentuk fusiform.
Lesi ini dapat dibedakan dari pita suara normal karena berwarna
keputihan. Lesi dapat beragam tergantung lamanya penyakit. Nodul akut
dapat berupa polipoid, merah dan edema. Nodul kronis biasanya kecil,
pucat, runcing, dan simestris. Nodul biasanya bilateral dan tampak pada
pertemuan sepertiga anterior dan dua pertiga posterior pita suara seperti
yang tampak pada gambar 2.10.

Gambar 2.11. Gambaran Nodul Pita Suara Bilateral

Biopsi akan memastikan nodul tersbut bukanlah suatu keganasan,


gambaran patologiknya ialah epitel gepeng berlapis yang mengalami
proliferasi dan di sekitanya terdapat jaringan yang mengalami kongesti.12

2.2.7. Diagnosis Banding


a. Polip pita suara
Suara serak juga merupakan keluhan utamanya, tetapi ini bervariasi,
tergantung besar dan lokasi polip. Perubahan suara berkisar dari tak
serak sampai afoni. Bila polip menonjol di antara pita suara, pasien
merasakan ada sesuatu yang menggangu di tenggorokannya. Bila
polipnya besar dan dapat bergerak mungkin dapat terjadi seperti
serangan tercekik. Polip biasanya terajadi pada orang dewasa,
22

disebabkan oleh banyak faktor termasuk alergi, penggunaan suara


yang berlebihan, refluks gastroesofageal, polusi, dan merokok. Polip
ini merupakan ekstensi lamina propia, dapat mempunyai dasar yang
luas atau tangkai yang sempit. Predileksinya lebih dari 80% unilateral
dan 20% bilateral atau multipel. Lesi ini biasanya terletak di 1/3
anterior atau 1/3 media pita suara. Warna polip bervariasi, mulai dari
merah hingga translusen. Tampak edematous, berbentuk bulat,
panjang, irreguler atau polipoid.

Gambar 2.12. Polip Plica Vokalis

b. Kista pita suara


Kista pita suara pada umumnya termasuk kista retensi kelenjar liur
minor laring, terbentuk akibat tersumbatnya kelenjar tersebut. Faktor
iritasi kronis, refluks gastroesofageal dan infeksi diduga berperan
sebagai faktor predisposisi. Kista terletak di dalam lamina propria
superfisialis, menempel pada membrane basal epitel atau ligamentum
vokalis. Ukurannya biasanya tidak besar sehingga jarang
menyebabkan sumbatan jalan napas atas. Gejala utama adalah suara
parau. Gejala lain yang ditemukan adalah ketidakmampuan untuk
menghasilkan nada pitch tinggi, kelelahan saat berbicara, rentang
pitch terbatas, nyeri di dekat laring dan variasi pitch ketika berbicara.
Hasil pemeriksaan laringoskop ditemukan tampak seperti lesi yang
berundulasi berwarna transparan hingga kuning, lokasinya biasanya
23

pada tepi bebas permukaan superior sepertiga tengah pita suaram


dengan tepi licin atau sedikit kasar. Pengobatannya dengan tindakan
bedah mikrolaringoskopi karena kista tidak bisa diatasi dengan
manajemen konservatif. Selain dari pembedahan secara konvensional
dapat dilakukan dengan penggunaan laser. Mengenai pemeriksaan PA
menunjukkan fragmen kecil jaringan plica vokalis. Kista terletak pada
stroma yang edema dan dilapisi oleh beberapa tipe epitel yang berbeda
yaitu epitel kolumnar dengan sel-sel berisi cairan mukus, epitel
kolumnar dengan silia, epitel skuamosa tanpa keratinisasi, epitel
skuamosa dengan keratinisasi. Kista dapat unilateral atau bilateral.
Kadang-kadang terlihat infiltrat inflamasi kronis.

Gambar 2.13. Kista Plica Vokalis

c. Laringitis kronis non spesifik


Kelainan radang kronis sering mengenai mukosa laring dan
menimbulkan bermacam-macam manifestasi klinis. Penyebab pasti
belum diketahui, tetapi mungkin ada salah satu atau lebih penyebab
iritasi laring yang menetap, seperti sinusitis kronis, bronkitis kronis,
penggunaan suara yang berlebihan, bahan yang dihirup seperti asap
rokok dan asap industri, bernapas melalui mulut secara terus menerus
akibat obstruksi hidung mengakibatkan gangguan kelembaban udara
pernapasan, perubahan mukosa laring. Gejalanya ialah suara parau
yang menetap, rasa tersangkut di tenggorokan, sehingga pasien sering
mendehem tanpa mengeluarkan sekret, karena mukosa yang menebal
24

serta terdapat gejala penyakit penyebab atau penyakit yang


menyertainya seperti rasa gatal dan kasar di tenggorokan, sakit
tenggorokan, tenggorokan kering,batuk kering, dan sakit waktu
menelan. Pada pemeriksaan tampak mukosa edema, permukaannya
tidak rata dan hiperemis. Bila terdapat daerah yang dicurigai tumor,
maka perlu dilakukan biopsi.

Gambar 2.14. Laringitis Kronis

2.2.8. Tatalaksana
Kunci dari penatalaknsaan adalah membuat pasien mengerti bahwa
penyalahgunaan suara adalah penyebab dari nodul. Secara keseluruhan
terapi dari nodul pita suara mencakup:
a. Istirahat suara total
Hal ini adalah penting untuk penanggulangan awal. Dengan istirahat
suara, nodul yang kecil dapat dengan sendirinya dan hilang seluruhnya. 2
Karena istirahat bersuara merupakan salah satu teknik untuk
mengistirahatkan organ-organ pembentuk suara.3
b. Eksisi mikrolaring
Pengangkatan nodul dengan cara operasi menjadi pilihan jika nodul
tersebut menetap meskipun sudah mengecil dan pasien merasakan
suaranya tetap tidak membaik setelah terapi yang adekuat. Sebelum
operasi dilakukan, penderita menjalani terapi bicara selama minimal 3
bulan. Nodul dapat dieksisi dengan menggunakan instrumen operasi
25

mikro yang tepat atau teknik vaporisasi menggunakan laser CO2.


Beberapa penulis memilih menggunakan teknik microdissection.
Pasca tindakan penderita harus istirahat suara total, sekurang-kurangnya
seminggu, sebaiknya 2 minggu. Masih dalam rentang tersebut, Hajar dan
Saragih, mengharuskan penderita menjalani istirahat suara total selama 1-
14 hari.
c. Terapi berbicara
Terapi berbica pra dan pasca tindakan adalah utama untuk memperbaiki
trauma vokal dan untuk mencegah berulangnya kembal setelah eksisi
pembedahan, selain itu untuk mengubah pola berbicara yang lebih santai
dan memperbaiki teknik berbicara yang salah.
Menurut Benninger, tetapi bicara harus digunakan sebagai terapi lini
pertama dan utama pada anak-anak dan dewasa. Dokumentasi dari
gambaran nodul di klinik suara menunjukkan kemajuan terapi dan
meningkatkan kepatuhan terapi bicara.4

2.2.9. Prognosis
Prognosis penatalaksanaan nodul pita suara seluruhnya adalah baik.
Penggunaan yang berlebihan secara berlanjut dari suara akan menyebabkan
lesi ini timbul kembali. Nodul ini dapat dicegah atau disembuhkan dengan
istirahay suara dan dengan mempelajari kegunaan suara secara tepat. Jika
kebiasaan yang salah dalam berbicara tidak diubah maka kesempatan akan
tinggi untuk kambuh kembali.1
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan
1. Nodul pita suara adalah bentuk laringitis kronis yang terlokalisir, ditandai
dengan adanya lesi berupa massa kecil jaringan inflamasi berbentuk
nodul yang terdapat pada pinggir bebas pita suara yaitu pada pertemuan
sepertiga anterior dan dua pertiga posterior pita posterior pita suara.
2. Penyebabnya adalah vocal abuse yaitu kondisi dimana penggunaan suara
yang berlebihan dalam waktu lama atau penggunaan suara yang tidak
benar.
3. Gejala yang timbul berupa suara serak, kelelahan suara, sesak nafas dan
batuk.
4. Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan
laringoskop indirect atau direct serta pemeriksaan histopatologi sebagai
pemeriksaan penunjang.
5. Diagnosis banding adalah laringitis kronis non spesifik, polip pita suara,
papilloma laring, keratosis laring dan pachydermia laring.
6. Pengobatan yang diberikan adalah dengan istirahat dan terapi bicara.
Pada nodul pita suara yang tidak bisa disembuhkan dengan terapi bicara
diperlukan tindakan operasi pembedahan (eksisi).

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Hajar, Siti, Saragih, Rahman, A. 2005. Nodul Pita Suara. Majalah


Kedokteran Nusantara Volume 38.
2. Hermani, et al. 2012. Kelainan Laring. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi VI. Balai Penerbitan FK UI:
Jakarta.
3. Kadriyan, H. 2007. Aspek Fisiologis dan Biomekanis Kelelahan Bersuara
serta Penatalaksanaannya. Majalah Cermin Dunia Kedokteran Volume 34.
Group PT. Kalbe Farma Tbk: Jakarta.
4. Lalwani AK. 2007. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head
and Neck Surgery. 2nd ed. New York: McGraw-Hill.
5. Syamsudi, et al. 2018. Anatomi Suara Kajian Fisika Medik. Airlangga
University Press. 1(1): 25-37.
6. Paulsen, F., & Waschke, J. 2017. Sobotta Atlas Anatomi Manusia, Jilid 2.
Edisi 24. Jakarta: EGC.
7. Benninger M.,S. 2002. Vocal Cord Nodule in Current Diagnosis and
Treatment Otolaryngology Head & Neck Surgery Second Edition.
8. Moore, KL., Agur, Anne, MR. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates:
Jakarta
9. Hermani, BH., Syahrial, M. Disfonia. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telingga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi VI. FK UI: Jakarta.
10. Probst, R., Grevers, G., & Iro, H. 2006. Basic Otorhinolaringology A Step-
By-Step Learning Guide. New York : Thieme.
11. Cumming CW, et al. 2005. Cummings Otolaryngology : Head & Neck
Surgery. 4th ed. Philadelphia: Elsevier.
12. Dhillon, RS. 2006. Ear, Nose, Throat and Head and Neck Surgery Thrid
Edition. Harcourt Publishers McGraw Hil Company: London.
13. Nurbaiti, I. 1987. Pemakaian Mikroskop pada Diagnostik dan Bedah Laring
dalam Cermin Dunia Kedokteran Volume 43: Jakarta.

27

Anda mungkin juga menyukai