Anda di halaman 1dari 37

REFERAT

GANGGUAN PENDENGARAN

Oleh :
Rikianto
I4061191043

Pembimbing :
dr. Eni Nuraeni, M.Kes, Sp. THT, KL

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU PENYAKIT THT-KL


PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
RSUD DR SOEDARSO
PONTIANAK
2021
LEMBAR PERSETUJUAN
Telah disetujui referat dengan judul:
“Gangguan Pendengaran”

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit THT-KL
RSUD dr. Soedarso Pontianak

Telah disetujui,
Pontianak, 9 Juli 2021

Pembimbing Referat Penulis

dr. Eni Nuraeni, M.Kes, Sp. THT, KL Rikianto


I4061191043

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat karunia dan
rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan presentasi
referat yang berjudul “Gangguan Pendengaran”. Referat ini disusun dalam rangka
memenuhi tugas dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung &
Tenggorokan Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura di RSUD Dr.
Soedarso serta diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi para
pembacanya.
Saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dr. Eni Nuraeni,
Sp. THT-KL, selaku pembimbing penyusunan Referat. Atas bantuan, masukan,
bimbingan, dan kerjasama beliau, maka tugas referat ini dapat diselesaikan
dengan sebaik-baiknya.
Penulis menyadari bahwa referat yang disusun ini juga tidak luput dari
kekurangan karena kemampuan dan pengalaman penulis yang terbatas. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga
tugas presentasi laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Akhir kata, atas segala perhatian dan dukungannya, penulis mengucapkan
terima kasih.

Pontianak, 9 Juli 2021


Penulis

Rikianto

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan pendengaran merupakan salah satu masalah serius yang


dihadapi masyarakat. Gangguan pendengaran dapat mempengaruhi kehidupan
sosial seseorang. Pada orang dewasa, dampak dari adanya gangguan pendengaran
dapat dikaitkan dengan penurunan kognitif, depresi dan penurunan fungsi
sosial, terutama bila perubahan pendengaran terjadi tanpa disadari oleh individu
tersebut.1
Gangguan pendengaran menurut World Health Organization (WHO)
adalah seseorang yang tidak mampu mendengar dengan baik seperti orang yang
pendengarannya normal yang memiliki ambang batas pendengaran 25 dB.
Gangguan pendengaran dapat terjadi pada satu atau kedua telinga, dan sulit untuk
mendengar sebuah percakapan.2
Data WHO mencatat, pada tahun 2016 terdapat 360 juta orang (328 juta
orang dewasa, 32 juta anak-anak) penduduk dunia yang menderita gangguan
pendengaran dan lebih kurang setengahnya (75-140 juta) terdapat di Asia
Tenggara.2
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun
2013, prevalensi gangguan pendengaran atau tuli meningkat selaras pertambahan
umur. Prevalensi tuli pada umur 25-34 tahun yaitu 1% dan melonjak ketika umur
55-64 tahun (5,7%), 65-74 tahun (17,1%) serta umur lebih dari 75 tahun (36,6%).3
Terdapat 9 provinsi di Indonesia dengan angka prevalensi tuli pada umur
lebih dari 5 tahun melebih prevalensi nasional (2,6%) pada 2013, antara lain
Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa
Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan dan Maluku Utara.3
Gangguan pendengaran mempunyai tiga jenis, yaitu bisa berbentuk tuli
konduksi (Conduction Hearing Loss [CHL]), tuli sensorineural (Sensoryneural
Hearing Loss [(SNHL]), dan tuli campur (Mixed Hearing Loss). Penyebab dari
ketulian tersebut bermacam-macam, mulai dari infeksi, kongenital, trauma kepala
atau telinga, pajanan suara yang terlalu keras, dan lain-lain. Jika dibiarkan, infeksi

1
dapat menyebar ke seluruh organ mulai dari jantung sampai ke otak ataupun
sesorang harus memakai alat bantu dengar (ABD) secara permanen.4
Dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tahun 2012,
kompetensi seorang dokter umum adalah dapat mendiagnosis gangguan
pendengaran dan menentukan rujukan yang paling tepat ke layanan kesehatan
yang lebih tinggi. Oleh karena itu referat ini dibuat untuk mengetahui dasar
diagnosis dan mengetahui tata laksana dari gangguan pendengaran sebagai
bahan untuk memberikan informasi dan edukasi kepada keluarga pasien.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga Luar


Telinga luar terdiri dari daun telinga dan meatus auditorius eksternus (liang
telinga) sampai membran timpani.. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin
dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf “S”, dengan rangka tulang rawan pada
sepertiga bagian luar, sedangkan duapertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari
tulang. Panjangnya kira-kira 2 ½ - 3 cm. Pada sepertiga bagian kulit liang telinga
terdapat banyak kelenjar serumen (kelenjar keringat) dan rambut. Kelenjar
keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada duapertiga bagian dalam
hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.5
Sendi temporomandibularis dan kelenjar parotis terletak di depan terhadap
liang telinga sementara procesus mastoideus terletak dibelakangnya. Saraf fasialis
meninggalkan foramen stilomastoideus dan berjalam ke lateral menuju prosesus
stilodeus di posteroinferior liang telinga, dan berjalan dibawah liang telinga untuk
memasuki kelenjar parotis.5
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang
telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars
flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran
propria). Pars flaksida hanya bedapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel
kulit liang telinga dan bagian dalam di-. lapisi oleh sel kubus bersilia, seperti
epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu
lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan
secara radier di bagian luar dan sirkuler pada bagian dalam.5
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut
sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light) ke arah
bawah yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5 untuk
membran timpani kanan. Reflek cahaya (cone of light) ialah cahaya dari luar yang
dipantulkan oleh membran timpani. Di membran timpani terdapat 2 macam
serabut, sirkuler dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya refleks
cahaya yang berupa kerucut itu. Secara klinis reflek cahaya ini dinilai, misalnya

3
bila letak reflek cahaya mendatar, berarti terdapat gangguan pada tuba eustachius.
Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah dengan
prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo,
sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan serta bawah-
belakang, untuk menyatakan letak perforasi membran timpani. Bila melakukan
miringotomi atau parasentesis, dibuat insisi di bagian bawah belakang membran
timpani, sesuai dengan arah serabut membran timpani. Di daerah ini tidak terdapat
tulang pendengaran. 5

Gambar 2.1 Telinga Luar 5

Gambar 2.2 Gambar membran timpani5

2.2 Anatomi Telinga Tengah5


Telinga tengah berbentuk seperti kubus dimana :
batas luar : membran timpani
batas depan : tuba eustachius
batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)
batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
batas atas : tegmen timpani (meningen /otak)

4
batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis
horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window),
tingkap bundar (round window) dan promontorium.
Telinga tengah adalah rongga berisi udara didalam tulang temporalis yang
terbuka melalui tuba auditorius (eustachius) ke nasofaring dan melalui nasofaring
keluar. Tuba biasanya tertutup, tetapi selama mengunyah, menelan, dan menguap
saluran ini terbuka, sehingga tekanan dikedua sisi gendang telinga seimbang
Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas luar yaitu membran timpani,
batas depan yaitu tuba eustachius, batas bawah yaitu vena jugularis (bulbus
jugularis), batas belakang yaitu aditus ad antrum, kanalis facialis pars vertikalis.
Batas atas yaitu tegmen timpani (meningens/otak), dan batas dalam berturut-turut
dari atas kebawah yaitu kanalis semisirkularis horizontal, kanalis facialis,
tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan
promomtorium.
Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun
dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus dan stapes. Tulang pendengaran di dalam
telinga saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada inkus, dan
inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang
berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang- tulang pendengaran
merupakan persendian. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di
tempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga
tengah dengan antrum mastoid.
Tuba eustahius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah
nasofaring dengan telinga tengah.

Gambar 2.2 Telinga Tengah 5

5
2.3 Anatomi Telinga Dalam5
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis.
Koklea adalah organ pendengaran yang sebenarnya, koklea juga dikenal sebagai
labirin terletak didalam pars petrosa ossis temporalis.
Kanalis semisrikularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap.Pada irisan melintang koklea tampak
skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media
(duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa,
sedangkan skala media berisi endolimfa. Hal ini penting untuk pendengaran.
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari
sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti, yang membentuk organ corti.
Organ Corti terletak di atas membrana basilaris yang mengandung
organel- organel yang penting untuk mekanisma saraf perifer pendengaran. Organ
Corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam yang berisi kira-kira 3000 sel dan
tiga baris sel rambut luar yang berisi kira-kira 12.000 sel. Sel-sel ini menggantung
lewat lubang-lubang lengan horisontal dari suatu jungkat-jangkit yang dibentuk
oleh sel-sel penyokong. Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada ujung
bawah sel rambut. Pada permukaan sel rambut terdapat strereosilia yang
melekat pada suatu selubung yang cenderung datar yang dikenal sebagai
membrana tektoria.

Gambar 2.3 Telinga Dalam5


2.4 Fisiologi Pendengaran5

6
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga
tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran
melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas
membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini
akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa
pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner
yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara
membran basilaris dan membran tektoria.
Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya
defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan
proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam
sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu
dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39 - 40) di
lobus temporalis.

Gambar 2.4 Fisiologi Pendengaran

2.5 Gangguan Pendengaran (Tuli)

7
Gangguan pendengaran menurut World Health Organization (WHO) tahun
adalah seseorang yang tidak mampu mendengar dengan baik seperti orang yang
pendengarannya normal yang memiliki ambang batas pendengaran 25 dB.
Gangguan pendengaran dapat terjadi pada satu atau kedua telinga, dan sulit untuk
mendengar sebuah percakapan.2
Gangguan pendengaran menggambarkan kehilangan pendengaran di salah
satu atau kedua telinga. Terdapat tiga jenis gangguan pendengaran yang dikenal
berdasarkan uji pendengaran yakni gangguan konduktif, gangguan sensorineural,
dan campuran. Pada gangguan pendengaran konduktif terjadi gangguan hantaran
gelombang suara ke telinga dalam akibat adanya gangguan pada telinga luar atau
telinga tengah yaitu mulai kanalis akustikus eksterna, membran timpani, rantai
tulang pendengaran, kavum timpani, tingkap lonjong, tingkap bulat dan tuba
Eustachius.5
Gangguan pendengaran sensorineural terjadi karena adanya gangguan
pada telinga tengah melibatkan kerusakan koklea atau saraf vestibulokoklear.
Salah satu penyebabnya adalah pemakaian obat-obat ototoksik seperti
streptomisin yang dapat merusak stria vaskularis. Disebut juga tuli koklear dan
retrokoklear.Gangguan pendengaran atau tuli campuran meliputi kombinasi
gangguan pada kedua mekanisme tuli konduktif dan tuli sensorineural akibat
disfungsi konduksi udara maupun konduksi tulang.5
Derajat ketulian ditentukan dari ambang dengar berdasarkan audiogram.
Klasifikasi derajat gangguan pendengaran menurut International Standard
Organization (ISO) dan American Standard Association (ASA) yaitu :5
Tabel 2.1 Derajat Gangguan Pendengaran
Derajat Gangguan Pendengaran ISO ASA

Pendengaran Normal 10-25 dB 10-15 Db


Ringan 26-40 dB 16-29 Db
Sedang 41-55 dB 30-44 Db
Sedang Berat 56-70 dB 45-59 dB
Berat 71-90 dB 60-79 dB
Sangat Berat Lebih 90 dB Lebih 80 dB

8
2.6 Klasifikasi Gangguan Pendengaran1,5,6
2.6.1 Tuli Konduktif 5,8
Gangguan pendengaran konduktif terjadi akibat adanya abnormalitas
pada telinga luar atau telinga tengah, yang dapat mencakup kelainan dari
membran tympani. Gangguan pendengaran konduktif terjadi ketika suara tidak
terkirim dengan baik melalui liang telinga luar ke membran timpani dan ke tulang
kecil di telinga tengah. Contoh kelainan meliputi oklusi saluran pendengaran
eksternal karena cerumen atau massa, infeksi telinga tengah dan/atau cairan,
perforasi membran tympani, atau kelainan tulang pendengaran. Abnormalitas
yang terjadi dapat mengurangi intensitas efektif dari hantaran udara menuju
koklea, tetapi tidak mempengaruhi hantaran tulang. Oleh karena itu, ambang
hantaran tulang lebih baik dari ambang hantaran udara sebesar 10 dB atau lebih
dan normal.
Gangguan pendengaran konduktif terjadi ketika hantaran suara melalui
telinga luar dan/atau telinga tengah mengalami gangguan yang diantaranya
disebabkan oleh:
1. Adanya sumbatan serumen (cerumen plug) atau biasa disebut kotoran
telinga
2. Kelainan kongenital seperti mikrotia dan atresia liang telinga
3. Gendang telinga yang mengalami perforasi akibat penggunaan cotton bud,
benda lain, atau infeksi.
4. Infeksi telinga tengah yang menimbulkan cairan
Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi, dijumpai ada sekret dalam kanal telinga
luar, perforasi gendang telinga, ataupun keluarnya cairan dari telinga tengah.
Kanal telinga luar atau selaput gendang telinga tampak normal pada otosklerosis.
Pada otosklerosis terdapat gangguan pada rantai tulang pendengaran.
Pada tes fungsi pendengaran, yaitu tes bisik, dijumpai penderita tidak dapat
mendengar suara bisik pada jarak 5 meter dan sukar mendengar kata-kata yang
mengandung nada rendah. Melalui tes garputala dijumpai Rinne negatif. Dengan
menggunakan garputala 250 Hz dijumpai hantaran tulang lebih baik dari hantaran
udara dan tes Weber didapati lateralisasi ke arah yang sakit. Dengan
menggunakan garputala 512 Hz, tes Scwabach didapati Schwabach memanjang.

9
2.6.2 Tuli Sensorineural5,6
Gangguan pendengaran sensorineural (perseptif) disebabkan oleh kelainan
pada koklea, nervus VII atau di pusat pendengaran. Pada jenis gangguan
pendengaran sensorineural, telinga luar dan telinga tengah tidak mengurangi
intensitas hantaran, baik hantaran udara maupun hantaran tulang dalam
merangsang koklea. Oleh sebab itu, gangguan pendengaran sensorineural
memiliki ambang hantaran tulang sama dengan ambang hantaran udara dan
keduanya tidak normal.
Gangguan pendengaran sensorineural terjadi karena terdapatnya gangguan
jalur hantaran suara pada sel rambut koklea (telinga tengah), nervus VIII
(vestibulokoklearis), atau pada pusat pendengaran di lobus temporalis otak.
Gangguan pendengaran sensorineural disebut juga dengan gangguan
pendengaran saraf atau gangguan pendengaran perseptif.
Gangguan pendengaran sensorineural ini dibagi dua, yaitu tuli koklea dan tuli
retrokoklea. Tuli koklea, yaitu apabila gangguan terdapat pada reseptor atau
mekanisme penghantar pada koklea. Pada tuli koklea ini terjadi suatu fenomena
rekrutmen dimana terjadi peningkatan sensitifitas pendengaran yang berlebihan di
atas ambang dengar. Pada kelainan koklea pasien dapat membedakan bunyi 1
dB, sedangkan orang normal baru dapat membedakan bunyi 5 dB.
Tuli retrokoklea, yaitu apabila terdapat gangguan pada nervus
vestibulokoklearis atau satu dari area pendengaran di lobus temporalis otak.
Pada tuli retrokoklea terjadi kelelahan (fatigue) yang merupakan adaptasi
abnormal, dimana saraf pendengaran cepat lelah bila dirangsang terus menerus.
Bila diberi istirahat, maka akan pulih kembali.
Gangguan pendengaran sensorineural melibatkan kerusakan koklea atau saraf
vestibulokoklear. Salah satu penyebabnya adalah pemakaian obat-obat ototoksik
seperti streptomisin yang dapat merusak stria vaskularis. Beberapa kelainan yang
termasuk gangguan pendengaran sensorineural adalah presbikusis, gangguan
pendengaran akibat bising (NIHL), penyakit ménière, dan lesi retrokoklear seperti
schwannoma vestibular. Berikut merupakan beberapa factor yang dapat
menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural:

10
1. Obat ototoksik
2. Genetik
3. Trauma kepala
4. Malformasi telinga dalam
5. Pajanan bising yang keras

2.6.3 Tuli Campuran5,7,8


Gangguan pendengaran campuran disebabkan oleh kombinasi dari gangguan
pendengaran konduktif dan gangguan pendengaran sensorineural. Pada
gangguan pendengaran campuran, ambang hantaran tulang berkurang namun
masih lebih baik dari ambang hantaran udara sebesar 10 dB atau lebih, dan
ambang batas hantaran tulang kurang dari 25 dB.
Mula-mula gangguan pendengaran jenis ini adalah jenis hantaran (misalnya
otesklerosis), kemudian berkembang lebih lanjut menjadi gangguan sensorineural.
Dapat pula sebaliknya, mula-mula gangguan pendengaran jenis sensorineural, lalu
kemudian disertai dengan gangguan hantaran (misalnya presbikusis), kemudian
terkena infeksi otitis media . Kedua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-
sama. Misalnya trauma kepala yang berat sekaligus mengenai telinga tengah dan
telinga dalam.

2.7 Faktor Yang Mempengaruhi Gangguan Pendengaran5


Secara garis besar faktor penyebab gangguan pendengaran dapat berasal dari
genetik maupun didapat:
1. Faktor Genetik
Gangguan pendengaran karena faktor genetik pada umumnya berupa
gangguan pendengaran bilateral tetapi dapat pula asimetrik dan mungkin
bersifat statis maupun progresif. Kelainan dapat bersifat dominan, resesif,
berhubungan dengan kromosom X (contoh: Hunter’s syndrome, Alport
syndrome, Norrie’s disease) kelainan mitokondria (contoh: Kearns-Sayre
syndrome), atau merupakan suatu malformasi pada satu atau beberapa organ
telinga (contoh: stenosis atau atresia kanal telinga eksternal sering

11
dihubungkan dengan malformasi pinna dan rantai osikuler yang menimbulkan
tuli konduktif.)
2. Faktor didapat
Antara lain dapat disebabkan oleh:
a. Infeksi. Antara lain disebabkan oleh otitis media, otitis eksterna
sirkumskripta.
b. Kongenital. Contohnya adalah atresia liang telinga
c. Obat ototoksik. Obat-obatan yang menyebabkan gangguan pendengaran
adalah: Golongan antibiotika: Eritromisin, gentamisin, streptomisin,
netilmisin, amikasin, neomisin, (pada pemakaian eardrop), kanamisin,
etiomisin, vankomisin. Golongan diuretik: furosemid. Obat anti malaria:
kina dan klorokuin. Obat anti tumor : bleomisin, cisplatin
d. Trauma. Fraktur tulang temporal, perdarahan telinga tengah,
hemotimpanum, atau perdarahan koklea, dislokasi osikular, trauma suara,
dislokasi osikula auditorius, trauma akustik.
e. Neoplasma. Bilateral acoustic neurinoma (neurofibromatosis)
cerebellopontine tumor, tumor telinga tengah (contoh:
rhabdomyosarcoma, glomus tumor), osteoma liang telinga.

2.8 Pemeriksaan Gangguan Pendengaran5,6,7


2.8.1 Anamnesis
Anamnesis menunjukkan gejala penurunan pendengaran, baik yang
terjadi secara mendadak maupun yang terjadi secara progresif.Gejala
klinis sesuai dengan etiologi masing-masing penyakit. Anamnesis
sedikitnya harus menanyakan tentang gangguan pendengaran, kebisingan
dalam kepala (tinitus),pusing (vertigo) atau ketidakseimbangan,sekret
telinga,dan nyeri telinga.

2.8.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik, harus dimulai dari inspeksi dan palpasi aurikula
(pinna) dan jaringan di sekitar telinga. Kemudian liang telinga juga harus
diperiksa. Alat yang diperlukan untuk pemeriksaaan telinga adalah lampu

12
kepala, corong telinga, otoskop, pelilit kapas, pengait serumen, pinset
telinga dan garputala.
Pasien duduk dengan posisi badan condong sedikit kedepan dan kepala
lebih tinggi sedikit dari kepala pemeriksa untuk memudahkan melihat liang
telinga dan membran timpani. Dimulai dengan melihat keadaan dan bentuk
daun telinga, daerah belakang daun telinga (retro-aurikuler) apakah
terdapat tanda peradangan atau sikatriks bekas operasi. Dengan menarik
daun telinga keatas dan kebelakang, liang telinga akan menjadi lebih lurus
dan akan lebih mempermudah melihat keadaan liang telinga dan membran
timpani.
Pakailah otoskop untuk melihat lebih jelas bagian-bagian membran
timpani. Otoskop dipegang dengan tangan kanan untuk memeriksa telinga
kanan pasien dan dengan tangan kiri bila memeriksa telinga kiri. Supaya
otoskop ini stabil maka jari kelingking tangan yang memegang otoskop
ditekankan pada pipi pasien. Bila terdapat serumen didalam liang telinga
yang menyumbat maka serumen ini harus dikeluarkan. Jika kondisinya
cair dapat dengan kapas yang dililitkan, bila konsistensinya padat
atau liat dapat dikeluarkan dengan pengait dan bila berbentuk
lempengan dapat di pegang dan dikeluarkan dengan pinset. Jika serumen ini
sangat keras dan menyumbat seluruh liang telinga maka lebih baik
dilunakan dulu dengan minyak atau karbogliserin. Bila sudah lunak atau cair
dapat dilakukan irigasi dengan air supaya liang telinga bersih.

2.8.3 Pemeriksaan Penunjang5,6,7


A. Uji Ketajaman Auditorius
Perkiraan umum pendengaran pasien dapat disaring secara efektif
dengan mengkaji kemampuan pasien mendengarkan bisikan kata atau
detakan jam tangan. Bisikan lembut dilakukan oleh pemeriksa, yang
sebelumnya telah melakukan ekshalasi penuh.
Masing-masing telinga diperiksa bergantian. Agar telinga yang
satunya tak mendengar, pemeriksa menutup telinga yang tak diperiksa
dengan telapak tangan. Dari jarak 1 sampai 2 kaki dari telinga yang tak

13
tertutup dan di luar batas penglihatan, pasien dengan ketajaman normal
dapat menirukan dengan tepat apa yang dibisikkan. Bila yang digunakan
detak jam tangan, pemeriksa memegang jam tangan sejauh 3 inci dari
telinganya sendiri (dengan asumsi pemeriksa mempunyai pendengaran
normal) dan kemudian memegang jam tangan pada jarak yang sama dari
aurikulus pasien. Karena jam tangan menghasilkan suara dengan nada yang
lebih tinggi daripada suara bisikan, maka kurang dapat dipercaya dan tidak
dapat dipakai sebagai satu-satunya cara mengkaji ketajaman auditorius

B. Tes Bisik
Tes bisik merupakan suatu tes pendengaran dengan memberikan
suara bisik berupa kata-kata kepada telinga penderita dengan jarak tertentu.
Hasil tes berupa jarak pendengaran, yaitu jarak antara pemeriksa dan
penderita di mana suara bisik masih dapat didengar enam meter. Pada nilai
normal tes berbisik ialah 5/6 – 6/6.

C. Pemeriksaan Garpu Tala (Penala)


Pemeriksaan ini menggunakan garputala dengan frekuensi 512, 1024,
dan 2048 Hz. Oleh karena secara fisiologi telinga dapat mendengar 20-
18.000 Hz dan untuk pendengaran sehari-hari yang paling efektif antara
500-2.000 Hz. Penggunaan garputala penting untuk pemeriksaan secara
kualitatif. Biasanya yang sering digunakan adalah pemeriksaan garputala
dengan frekuensi 512 Hz karena penggunaan garputala pada frekuensi ini
tidak dipengaruhi oleh suara bising di sekitarnya.Terdapat berbagai macam
tes garputala, seperti tes Rinne, tes Weber, tes Schwabach, tes Bing, dan tes
Stenger.
Pemeriksaan ini merupakan tes kualitatif. Terdapat berbagai macam tes
penala seperti:
Tes Rinne ialah tes untuk membandingkan hantaran melalui udara dan
hantaran melalui tulang pada telinga yang diperiksa. Cara pemeriksaannya
yaitu penala digetarkan, tangkainya diletakkan di prosesus mastoid, setelah
tidak terdengar penala dipegang di depan telinga kira-kira 2,5 cm. Bila

14
masih terdengar disebut Rinne positif (+), bila tidak terdengar disebut Rinne
negatif (-).
Tes Weber ialah tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang
telinga kiri dengan telinga kanan. Cara pemeriksaannya penala digetarkan
dan tangkai penala diletakkan di garis tengah kepala (di verteks, dahi,
pangkal hidung, di tengah-tengah gigi seri atau di dagu). Apabila bunyi
penala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut Weber
lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke arah telinga
mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber tidak ada lateralisasi.
Tes Schwabach : membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa
dengan pemeriksa yang pendengarannya normal. Cara pemeriksaannya
penala digetarkan, tangkai penala diletakkan pada prosesus mastoideus
sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai penala segera dipindahkan
pada prosesus mastoideus telinga pemeriksa yang pendengarannya normal.
Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut Schwabach memendek, bila
pemeriksa tidak dapat mendengar, pemeriksaan diulang dengan cara
sebaliknya yaitu penala diletakkan pada prosesus mastoideus pemeriksa
lebih dulu. Bila pasien masih dapat mendengar bunyi disebut Schwabach
memanjang dan bila pasien dan pemeriksa kira-kira sama-sama
mendengarnya disebut dengan Schwabach sama dengan pemeriksa.
Tabel 2.2 Interpretasi pemeriksaan garputala

15
D. Audiometri Nada Murni
Untuk pemeriksaan audiogram, dipakai grafik AC, yaitu dibuat dengan garis
lurus penuh (lntensitas yang diperiksa antara 125 - 8000 Hz) dan grafik BC
yaitu dibuat dengan garis terputus-putus (lntensitas yang diperiksa : 250-
4000 Hz). Untuk telinga kiri dipakai warna biru, sedangkan untuk telinga
kanan, warna merah. Dari audiogram dapat dilihat apakah pendengaran
normal (N) atau tuli. Jenis ketulian, tuli konduktif, tuli sensorineural atau
tuli campur. Dapat dihitung ambang dengar hantaran udara (AC) atau
hantaran tulang (BC). Pada interpretasi audiogram harus ditulis (a) telinga
yang mana, (b) apa jenis ketuliannya, (c) bagaimana derajat ketuliannya,
misalnya : telinga kiri tuli campur sedang. Dalam menentukan derajat
ketulian, yang dihitung hanya ambang dengar hantaran udaranya (AC) saja.
Derajat ketulian ISO
Tabel 2.3. Derajat ISO
Kehilangan Klasifikasi
(Desibel)
0-25 Pendengaran normal
>25-40 Kehilangan pendengaran ringan
>40-55 Kehilangan pendengaran sedang
>55-70 Kehilangan pendenngaran sedang sampai berat
>70-90 Kehilangan pendengaran berat
>90 Kehilangan pendengaran berat sekali

Berikut hasil interpretasi hasil audiogram telinga

16
E. Audiometri Khusus
Untuk mempelajari audiometri khusus diperlukan pemahaman istilah
rekrutmen (recruitment) dan kelelahan (decay/fatigue). Rekrutmen adalah
suatu fenomena, terjadi peningkatan sensitifitas pendengaran yang
berlebihan diatas ambang dengar. Keadaan ini khas pada tuli koklea. Pada
tuli koklea pasien dapat membedakan bunyi 1 dB , sedangkan orang normal
dapat membedakan bunyi 5 dB. Misalnya pada orang yang tuli 30 dB. Ia
dapat membedakan bunyi 31 dB. Pada orang tua bila mendengar suara
perlahan, ia tidak dapat mendengar, sedangkan bila mendengar suara keras
dirasakan nyeri di telinga. Kelelahan (decay/fatigue) merupakan adaptasi
abnormal, merupakan tanda khas dari tuli retrokoklea.saraf pendengaran
cepat lelah bila dirangsang terus menerus. Bila diberi istirahat maka akan
pulih kembali.
Fenomena tersebut dapat dilavak pada pasien tuli saraf dengan
melakukan pemeriksaan khusus, yaitu :
Tes SISI (Short Increment Sensitivity Index). Tes ini khas untuk
mengetahui adaya kelainan koklea dengan memakai fenomena rekruitmen.
Cara pemeriksaan: Menentukan ambang dengar pasien terlebih dahulu.
Misalnya 30dB, kemudian diberi 20 dB diatas ambang rangsang, yaitu 50
dB. Setelah itu, diberikan tambahan 5 dB, lalu diturunkan 4 dB, lalu 3,

17
kemudian 2 dan 1 dB, bila pasien dapat membedakan maka TEST
dinyatakan positif (+).
Tes ABLB (Alternate Binaural Loudness Balans Test). Pada tes ABLB
diberikan intesitas bunyi tertentu pada frekuensi yang sama pada kedua
telinga, sampai kedua telinga mencapai presepsi yang sama, yang disebut
balans negative. Bila balans tercapai terdapat recruitmen positif.
Tes kelelahan (Tone Decay). Terjadi kelelahan saraf oleh karena
perasangan terus–menerus. Jadi kalau telinga yang diperiksa dirangsang
terus menerus terjadi kelelahan.Tanda pasien tidak dapat mendengar
dengan telinga yang diperiksa. Ada 2 cara : TTD = Threshold Tone Decay,
STAT= Supra Threshold AdaptationTest
Audiometri tutur (Speech Audiometri). Pada tes ini dipakai kata-kata
yang sudah disusun dalam silabus (suku kata). Monosilabus = satu suku
kata, bisilabus = dua suku kata. Kata-kata ini disusun dalam daftar yang
disebut : phonetically balance word LBT (PB, LIST). Pasien diminta untuk
mengulangi kata-kata yang didengar melalui kaset tape recorder. Pada tuli
perseptif koklea, pasien sulit membedakan bunyi S, R, N,C H, CH,
sedangkan pada tuli retrokoklea lebih sulit lagi. Misalnya pada tuli perseptif
koklea, kata “kadar” didengarnya “kasar”, sedangkan kata “pasar”
didengarnya “padar”.
Audiometri Bekesey. Macam audiometri ini otomatis dapat menilai
ambang pendengaran seseorang. Prinsip pemeriksaan ini ialah dengan nada
yang terputus (intrupted sound) dan nada yang terus menerus (continues
sound). Bila ada suara masuk, maka pasien memencet tombol. Akan
didaptkan grafik seperti gigi gergaji, garis yang menarik adalah periode
suara yang dapat didengar, sedangkan garis yang turun ialah suara yang
tidak di dengar. Pada telinga normal , amplitudo 10 dB. Pada rekrutmen
amplitudo lebih kecil.

F. Audiometri Objektif
Pada pemeriksaan ini pasien tidak harus bereaksi. Terdapat 4 cara
pemeriksaan, yaitu audiometri impedans, elektrokokleografi (E.Coch),

18
evoked response audiometry. Oto accoustic emmision (emisi
otoakustik).
Audiometri impedans. Pada pemeriksaan ini diperiksa kelenturan
membran timpani dengan tekanan tertentu pada meatus akustikus eksterna.
Timpanometri, yaitu untuk mengetahui keadaan dalam kavum timpani.
Misalnya, ada cairan, gangguan rangkaian tulang pendengaran (ossicular
chain), kekakuan membran timpani dan membran timpani yang sangat
lentur. Fungsi tuba Eustachius, untuk mengetahui tuba Eustachius terbuka
atau tertutup. Refleks stapedius. Pada telinga normal, refleks stapedius
muncul pada rangsangan 70-80 dB diatas ambang dengar. Pada lesi di
koklea, ambang rangsang refleks sapedius menurun, sedangkan pada lesi
retrokoklea, ambang itu naik.
Elektrokokleografi. Pemeriksaan ini digunakan untuk merekam
gelombang-gelombang yang khas dari evoke electropotential cochlea.
Caranya ialah dengan elektroda jarum, membran timpani ditusuk sampai
promontorium, kemudian dilihat grafiknya. Pemeriksaan ini cukup infasif
sehingga saat ini sudah jarang dilakukan. Pengembangan pemeriksaan ini
yang lebih lanjut dengan elektrode permukaan (surface elekctrode), disebut
BERA (brain evoked response audiometry).
Evoked Response Audiometry (ERA). Dikenal juga sebagai Brainstem
Evoked Response Audiometry (BERA), Evoked Response Audiometry
(ERA) atau Auditory Brainstem Response (ABR) yaitu suatu pemeriksaan
untuk menilai fungsi pendengaran dan fungsi N. VIII. Caranya dengan
merekam potensial listrik yang dikeluarkan sel koklea selama menempuh
perjalanan mulai telinga dalam hingga inti-inti tertentu di batang otak.
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan elektroda permukaan yang
dilekatkan pada kulit kepala atau dahi dan prosesus mastoid atau lobulus
telinga. Cara pemeriksaan ini mudah, tidak invasif dan bersifat objektif.
Otoaccoustic Emmision/ OAE. Pemeriksaan OAE dilakukan dengan
cara memasukkan sumbat telinga (probe) ke dalam liang telinga luar.
Dalam probe tersebut terdapat mikrofon dan pengeras suara (loudspeaker)
yang berfungsi memberikan stimulus suara. Mikrofon berfungsi

19
menangkap suara yang dihasilkan koklea setelah pemberian stimulus.
Sumbat telinga dihubungkan dengan komputer untuk mencatat respon
yang timbul dari koklea. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan yang
sunyi atau kedap suara, hal ini untuk mengurangi bising lingkungan.
Emsisi otoakustik terbagi menjadi dua kelompok, yaitu : Emisi
otoakustik spontan (Spontaneus Otoaccoustic Emmision/ SOAE) dan
Evoked Otoaccoustic Emmision/EOAE.

G. Pemeriksaan Tuli Anorganik


Pemeriksaan ini di perlukan untuk memeriksa seseorang yang pura pura tuli
(menginkan asuransi)
1) Cara Stenger memberikan 2 nada suara yang bersamaan pada kedua
telinga, kemudian pada sisi yang sehat nada di jauhkan.
2) Dengan audiometri nada murni secara berulang dalam satu minggu,
hasil audiogram berbeda.
3) Dengan Impedans

2.9 Gangguan Pendengaran pada Geriatri5


Perubahan patologik pada organ auditori akibat proses degenerasi pada
usia lanjut dapat menyebabkan gangguan pendengaran Jenis ketulian yang
terjadi pada kelompok geriatri umumnya tuli sensorineural, namun dapat juga
berupa tuli konduktif atau tuli campur Secara alamiah organ organ
pendengaran akan mengalami proses degenerasi.
Pada telinga luar perubahan yang paling jelas adalah berkurangnya
elastisitas jaringan daun telinga dan liang telinga. Kelenjar kelenjar sebasea
dan seruminosa mengalami gangguan fungsi sehingga produksinya
berkurang, selain itu juga terjadi penyusutan jaringan lemak yang seharusnya
berperan sebagai bantalan di sekitar liang telinga Hal hal tersebut diatas
menyebabkan kulit daun telinga maupun liang telinga menjadi kering dan
mudah mengalami trauma Serumen juga cenderung mengumpul, mengeras
dan menempel dengan jaringan kulit liang telinga
 Tuli Konduktif pada Geriatri

20
Pada telinga luar dan telinga tengah proses degenerasi dapat
menyebabkan perubahan atau kelainan berupa, (1) berkurangnya
elastisitas dan bertambah besarnya ukuran pinna daun telinga, (2) atrofi
dan bertambah kakunya liang telinga, (3) penumpukan serumen, (4)
membran timpani bertambah tebal dan kaku, (5) kekakuan sendi tulang-
tulang pendengaran. Pada usia lanjut kelenjar-kelenjar serumen
mengalami atrofi, sehingga produksi kelenjar serumen berkurang dan
menyebabkan serumen menjadi lebih kering, sehingga sering terjadi
serumen prop yang akan mengakibatkan tuli konduktif. Membran
timpani" yang bertambah kaku dan tebal juga akan menyebabkan
gangguan konduksi, demikian pula halnya dengan kekakuan yang terjadi
pada persendian tulangtulang pendengaran.
 Tuli Saraf Pada Geriatri (Prebiskus)
Presbikusis adalah fuli sensorineural fiekuensi tinggi, umumnya terjadi
mulai usia 65 tahun, simetris pada telinga kiri dan kanan. Presbikusis
dapat mulai pada frekuensi 1000 Hz atau lebih.
Umumnya diketahui bahwa presbikusis merupakan akibat dari proses
degenerasi. Diduga kejadian presbikusis mempunyai hubungan dengan
faktor-faktor herediter, pola makanan, metabolisme, arteriosklerosis,
infeksi, bising, gaya hidup atau bersifat multifaktor. Menuiunnya fungsi
pendengaran secara berangsur merupakan efek kumulatif dari pengaruh
faktorfaktor tersebut di atas. Biasanya terjadi pada usia lebih dari 60
tahun. Progresifitas penurunan pendengaran dipengaruhi oleh usia dan
jenis kelamin, pada laki-laki lebih cepat dibandingkan dengan
perempuan.
Proses degenerasi menyebabkan perubahan struktur koklea dan N.Vlll.
Pada koklea perubahan yang mencolok ialah atrofi dan degenerasi sel sel
rambut penunjang pada organ corti. Proses atrofi disertai dengan
perubahan vaskular juga terjadi pada stria vaskularis. Selain itu terdapat
pula perubahan, berupa berkurangnya jumlah dan ukuran selsel ganglion
dan saraf. Hal yang sama terjadi juga pada myelin akson saraf.

21
Berdasarkan perubahan patologik yang terjadi, Schuknecht dkk
menggolongkan presbikusis menjadi 4 jenis yaitu, (1) sensorik, (2)
neural, 3) metabolik (stial presbycusrs) dan (4) mekanik (cochlear
presbycusis,). Menurut penelitian prevalensi terbanyak adalah jenis
metabolik (34,6%). Sedangkan prevalensi jenis lainnya adalah neural
30.7%, mekanik 22.8 % dan sensorik 11.9 %.
Keluhan utama presbikusis berupa berkurangnya pendengaran secara
perlahan-lahan dan progresif, simetris pada kedua telinga. Kapan
berkurangnya pendengaran tidak diketahui pasti Keluhan lainnya adalah
telinga berdenging (tinitus nada tinggi) Pasien dapat mendengar suara
percakapan, tetapi sulit untuk memahaminya, terutama bila diucapkan
dengan cepat di tempat dengan latar belakang yang bising (cocktail pafty
deafness). Bila intensitas suara ditinggikan akan timbul rasa nyeri di
telinga, hal ini disebabkan oleh faktor kelelahan saraf (recruitment).
Dengan pemeriksaan otoskopik, tampak membran timpani suram,
mobilitasnya berkurang. Pada tes penala didapatkan tuli sensorineural.
Pemeriksaan audiometri nada murni menunjukkan suatu tuli saraf nada
tinggi, bilateral dan simetris. Pada tahap awal terdapat penurunan yang
tajam (sloping) setelah frekuensi 2000 Hz. Gambaran ini khas pada
presbikusis jenis sensorik dan neural. Garis ambang dengar pada
audiogram jenis metabolik dan mekanik lebih mendatar, kemudian pada
tahap. berikutnya berangsurangsur terjadi penurunan. Pada semua jenis
presbikusis tahap lanjut juga terjadi penurunan pada frekuensi yang lebih
rendah.
Pemeriksaan audiometri tutur menunjukkan adanya gangguan
diskriminasi wicara (speech discrimination). Keadaan ini jelas terlihat
pada presbikusis jenis neural dan koklear.
Rehabilitasi sebagai upaya mengembalikan fungsi pendengaran
dilakukan dengan pemasangan alat bantu dengar (hearing aid).
Adakalanya pemasangan alat bantu dengar perlu dikombinasikan dengan
latihan membaca ujaran (speech reading) dan latihan mendengar

22
(audiotory training); prosedur pelatihan tersebut dilakukan bersama ahli
terapi wicara (speech therapist).
2.10 Tuli Mendadak5
Definisi. Tuli mendadak (sudden deafness) ialah tuli yang terjadi
secara tiba-tiba. Jenis ketuliannya adalah sensorineural, penyebabnya tidak
dapat langsung diketahui, biasanya terjadi pada satu telinga. Beberapa ahli
mendefinisikan tuli mendadak sebagai penurunan pendengaran sensorineural
30 dB atau lebih, paling sedikit tiga frekuensi berturut-turut pada pemeriksaan
audiometri dan berlangsung dalam waktu kurang dari 3 hari.
Kerusakan terutama di koklea dan biasanya bersifat permanen,
kelainan ini dimasukkan ke dalam keadaan darurat neurotologi. Tuli
mendadak dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain oleh iskemia
koklea, infeksi virus, bauma kepala, trauma bising yang keras, perubahan
tekanan atnosfir, autoimun, obat ototoksik, penyakit Meniere dan neuroma
akustik. Tetapi yang biasanya dianggap sebagai etiologi dan sesuai dengan
definisi di atas adalah iskemia koklea dan infeksi virus.
Gejala. Timbulnya tuli pada iskemia koklea dapat bersifat mendadak
atau menahun secara tidak jelas. Kadang-kadang bersifat sementara atau
berulang dalam serangan, tetapi biasanya menetap. Tuli'yang bersifat
sementara biasanya tidak berat dan tidak berlangsung lama. Kemungkinan
sebagai pegangan harus diingat bahwa perubahan yang menetap akan terjadi
sangat cepat. Tuli dapat unilateral atau bilateral, dapat disertai dengan tinitus
dan vertigo. Pada infeksi virus, timbulnya tuli mendadak biasanya pada satu
telinga, dapat disertai dengan tinitus dan vertigo. Kemungkinan ada gejala
dan tanda penyakit virus seperti parotis, varisela, variola atau pada anamnesis
baru sembuh dari penyakit virus tersebut. Pada pemeriksaan klinis tidak
terdapat kelainan telinga.
Diagnosis. Diagnosis tuli mendadak ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan THT, audiologi, laboratorium serta
pemeriksaan penunjang lain. Anamnesis yang teliti mengenai proses
terjadinya ketulian, gejala yang menvertai serta faktor predisposisi penting
untuk mengarahkan diagnosis. Pemeriksaan fisik termasuk tekanan darah

23
sangat diperlukan. Pada pemeriksaan otoskopi tidak dijumpai kelainan pada
telinga yang sakit.
- Tes Penala : Kesan Sensorineural
- Tes Audiometri Nada Murni: Kesan Sensorineural
- Tes SlSl (short increment sensitivity index) Skor '. 100% atau kurang
dari 70 % Kesan : dapat ditemukan rekrutmen
- Tes Tone decay atau refleks kelelahan negatif Kesan , bukan tuli
retrokokler
- Audiometri tutur (speech audiometry) SDS (speech discrimination
score) Kurang dari 100% Kesan : tuli sensorineural
- Audiometri impedans : Timpanogram tipe A (normal) refleks
stapedius ipsilateral negatif atau positif sedangkan kontra lateral
positif. Kesan : tuli sensorineural koklea.
BERA (pada anak) menunjukkan tuli sensorineural ringan sampai
berat. Pemeriksaan ENG mungkin terdapat paresis kanal, Pemeriksaan
tomografi komputer (Cf Scan) dan pencitraan resonansi magnetik
(MRI) dengan kontras diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis
seperti neuroma akustik dan malformasi tulang temporal. Bila diduga
kemungkinan adanya neuroma akustik, pasien dikonsulkan ke Bagian
Saraf Pemeriksaan arteriografi diperlukan untuk kasus yang diduga
akibat trombosis
Pemeriksaan laboratorium dapat digunakan untuk memeriksa
kemungkinan infeksi virus, bakteri, hiperlipidemia, hiperfibrinogen.
hipotiroid, penyakit autoimun dan faal hemostasis, Untuk mengetahui
ada tidaknya hiperkoagulasi darah pada pasien tuli mendadak dapat
dilakukan pemeriksaan faal hemostasi dan tes penyaring pembekuan
darah Penderita perlu drkonsulkan ke Sub-Bagian Hematologi
Penyakit Dalam dan Bagian Kardiologi untuk mengetahui adanya
kelainan darah dan hal-hal yang mengakibatkan penyumbatan
pembuluh darah.
Penatalaksanaan

24
- Tirah banng sempuma (totalbed resf) istirahat fisik dan mental
selama dua minggu untuk menghilangkan atau mengurangi stres
yang besar pengaruhnya pada keadaan kegagalan neurovaskular
- Vasodilatansia injeksi yang cukup kuat disertai dengan pemberian
tablet vasodilator oral tiap hari.
- Prednison (kortikosteroid) 4 X 10 mg (2 tablet), tapering off liap
3 hari (hati-hati pada pasien diabetes melitus)
- Vitamin C 500 mg 1 x 1 table/hari, vitamin E 1 x 1 tablet
- Neurobion (neurotonik) 3X 1 table/hari
- Diit rendah garam dan rendah kolesterol
- lnhalasi oksigen 4 X 15 menit (2 liter / menit) Obat anti virus
sesuai dengan virus penyebab.
- Hiperbarik oksigen terapi (HB)
Evaluasi. Evaluasi fungsi pendengaran dilakukan setiap minggu
selama satu bulan perbaikan pendengaran pada tuli mendadak adalah
sebagai berikut:
- Sangat baik, apabila perbaikan lebih dari 30 dB pada 5 frekuensi.
- Sembuh, apabila perbaikan ambang pendengaran kurang dari 30
dB pada frekuensi 250 Nz,500Hz, 1000 Hz, 2000H2 dan di
bawah 25 dB pada frekuensi 4000 Hz.
- Baik apabila bila rerata perbaikan 10-30 dB pada 5 frekuensi.
- Tidak ada perbaikan, apabila terdapat perbaikan kurang dari '10
dB pada 5 frekuensi
Bila gangguan pendengaran tidak sembuh dengan pengobatan di atas,
dapat dipertimbangkan pemasangan alat bantu dengar (heaing aid)
Apabila dengan alat bantu dengar juga masih belum dapat
berkomunikasi secara adekuat perlu dilakukan psikoterapi dengan
tujuan agar pasien dapat menerima kedaaan. Rehabilitasi pendengaran
agar dengan sisa pendengaran yang ada dapat digunakan secara
maksimal bila memakai alat bantu dengar dan rehabilitasi suara agar
dapat mengendalikan volume, nada dan intonasi oleh karena
pendengarannya tidak

25
Prognosis. Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor
yaitu. kecepatan pemberian obat, respon 2 minggu pengobatan
pertama, usia, derajad tuli saraf dan adanya faktorfaktor pre-disposisi.
Pada umumnya makin cepat diberikan pengobatan makin besar
kemungkinan untuk sembuh, bila sudah lebih dari 2 minggu
kemungkinan sembuh menjadilebih kecil. Penyembuhan dapat
sebagian atau lengkap, tetapi dapat juga tidak sembuh, hal ini
disebabkan oleh karena faktor konstitusi pasien seperti pasien yang
pernah mendapat pengobatan obat ototoksik yang cukup lama, pasien
diabetes melitus, pasien dengan kadar lemak darah yang tinggi, pasien
dengan viskositas darah yang tinggi dan sebagainya, walaupun
pengobatan diberikan pada stadium yang dini.

2.11 Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss)5


Gangguan pendengaran akibat bising (norse induced heaing loss) ialah
gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup
keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising
lingkungan kerja. Secara umum bising adalah bunyi yang tidak diinginkan. Secara
audiologik bising adalah campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekuensi.
Bising yang intensitasnya 85 desibel (dB) atau lebih dapat mengakibatkan
kerusakan pada reseptor pendengaran Corti di telinga dalam. Yang sering
mengalami kerusakan adalah alat Corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi
3000 Hertz(Hz) sampai dengan 6000 Hz dan yang terberat kerusakan alat Corti
untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 4000 Hz.
 Etiologi
Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpajan bising,
antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi tinggi, lebih lama
terpapar bising, mendapat pengobatan yang bersifat racun terhadap telinga
(obat ototoksik) seperti streptomisin, kanamisin, garamisin (golongan
aminoglikosida), kina, asetosal dan lain-lain.
 Gejala

26
Kurang pendengaran disertai tinitus (berdenging ditelinga) atau tidak. Bila
sudah cukup berat disertai keluhan sukar menangkap percakapan dengan
kekerasan biasa dan bila sudah lebih berat percakapan yang keraspun sukar
dimengerti. Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat
menimbulkan reaksi adaptasi, peningkatan ambang dengar sementara
(temporary threshold shift) dan peningkatan ambdng dengar menetap
(Ptermanent threshold shift).
 Patogenesis
Telah diketahui secara umum bahwa bising menimbulkan kerusakan ditelinga
dalam. Lesinya sangat bervariasi dari disosiasi organ Corti, ruptur membran,
perubahan stereosilia dan organel subseluler Bising juga menimbulkan efek
pada selganglion, saraf, membran tektoria, pembuluh darah dan stria
vaskularis. Pada observasi kerusakan organ Corti dengan mikroskop elektron
ternyata bahwa sel-sel sensor dan sel penunjang merupakan bagian yang paling
peka di telinga dalam.
Jenis kerusakan pada stuktur organ tertentu yang ditimbulkan bergantung pada
intensitas, lama pajanan dan frekuensi bising. Penelitian menggunakan
intensitas bunyi 120 dB dan kualitas bunyi nada murni sampai bising dengan
waktu pajanan 1-4 jam menimbulkan beberapa tingkatan kerusakan sel rambut:
Kerusakan juga dapat dijumpai pada sel penyangga, pembuluh darah dan serat
aferen. Stimulasi bising dengan intensitas sedang mengakibatkan perubahan
ringan pada silia dan Hensen's body, sedangkan stimulasi dengan intensitas
yang lebih keras dengan waktu pajanan yang lebih lama akan mengakibatkan
kerusakan pada struktur sel rambut lain seperti mitokondria, granula lisosom,
lisis sel dan robekan di membran Reisner. Pajanan bunyi dengan efek destruksi
yang tidak begitu besar menyebabkan terjadinya 'floppy silia' yang sebagian
masih reversibel. Kerusakan silia menetap ditandai dengan fraktur' rootlet' silia
pada lamina retikularis.
 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, riwayat pekerjaan, pemeriksaan
fisik dan otoskopi serta pemeriksaan penunjang untuk pendengaran seperti
audiometri.

27
Anamnesis pernah bekerja atau sedang ,bekerja di lingkungan bising dalam
jangka waktu yang cukup lama biasanya lima tahun atau lebih. Pada
pemeriksaan otoskopik tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan audiologi,
tes penala didapatkan hasil Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang
pendengarannya lebih baik dan Schwabach memendek. Kesan jenis
ketuliannya tuli sensorineural. Pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan
tuli sensorineural pada frekuensi antara 3000 - 6000 Hz dan pada frekuensi
4000 Hz sering terdapat takik (notch) yang patognomonik untuk jenis ketulian
ini. Pemeriksaan audiologi khusus seperti SlSl (short increment sensitivity
index), ABLB (alternate binaural /oudness balance) MLB (monoaural
loudness balance), audiometeri Bekesy, audiomteri tutur (speech audiometry),
hasil menunjukkan adanya fenomena rekrutmen (recruitment) yang
patognomonik untuk tuli sensorineural koklea.
Rekrutmen adalah suatu fenomena pada tuli sensorineural koklea, dimana
telinga yang tuli menjadi lebih sensitif terhadap kenaikan intensitas bunyi yang
kecil pada frekuensi tertentu setelah terlampaui ambang dengarnya. Sebagai
contoh orang yang pendengaranya normal tidak dapat mendeteksi kenaikan
bunyi I dB bila sedang mendengarkan bunyi nada murni yang kontinyu,
sedangkan bila ada rekrutmen dapat mendeteksi kenaikan bunyi tersebut.
Contoh sehari-hari pada orang tua yang men-derita presbikusis (tuli
sensorineural koklea akibat proses penuaan) bila kita berbicara, dengan
kekerasan (volume) biasa dia mengatakan jangan berbisik, tetapi bila kita
berbicara agak keras dia mengatakan jangan berteriak, sedan gkan orang yang
penden garannya normal tidak menganggap kita berteriak.
Orang yang menderita tuli sensorineural koklea sangat terganggu oleh bising
latar belakang (background noise), sehingga bila orang tersebut berkomunikasi
di tempat yang ramai akan mendapat kesulitan mendengar dan mengerti
pembicaraan. Keadaan ini disebut sebagai cocktail pafty deafness.
Apabila seorang yang tuli mengatakan lebih mudah berkomunikasi di tempat
yang sunyi atau tenang, maka orang tersebut menderita tuli sensorineural
koklea.
 Penatalaksanaan

28
Sesuai dengan penyebab ketulian, penderitia sebaiknya dipindahkan kerjanya
dari lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapat dipergunakan
alat pelindung telinga terhadap bising, seperti sumbat telinga (ear plug), tutup
telinga (ear muff) dan pelindung kepala (helmet).
Oleh karena tuli akibat bising adalah tuli sensorineural koklea yang bersifat
menetap (irevercible), bila gangguan pendengaran sudah mengakibatkan
kesulitan berkomunikasi dengan volume percakapan biasa, dapat dicoba
pemasangan alat bantu dengar I ABD (hearing aid). Apabila pendengarannya
telah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat
berkomunikasi dengan adekuat perlu dilakukan psikoterapi agar dapat
menerima keadaannya. Latihan pendengaran (auditoty training) agar dapat
menggunakan sisa pendengaran dengan ABD secara efisien dibantu dengan
membaca ucapan bibir (lip reading), mimik dan gerakan anggotia badan, serta
bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi. Di samping itu, oleh karena pasien
mendengar suaranya sendiri sangat lemah, rehabilitasi suara juga diperlukan
agar dapat mengendalikan volume, tinggi rendah dan irama percakapan. Pada
pasien yang telah mengalami tuli total bilateral dapat dipertimbangkan untuk
pemasangan implan koklea (cochlear implant).
 Prognosis
Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli sensorineural
koklea yang sifatnya menetap, dan tidak dapat diobati dengan obat maupun
pembedahan, maka prognosisnya kurang baik. Oleh karena itu yang terpenting
adalah pencegahan terjadinya ketulian.
 Pencegahan
Bising dengan intensitas lebih dari 85 dB dalam waktu tertentu dapat
mengakibatkan ketulian, oleh karena itu bising lingkungan kerja harus
diusahakan lebih rendah dari 85 dB. Hal ini dapat diusahakan dengan cara
meredam sumber bunyi, misalnya yang berasal dari generator dipisah dengan
menempatkannya di suatu ruangan yang dapat meredam bunyi. Jika bising
ditimbulkan oleh alat-alat seperti mesin tenun, mesin pengerolan baja, kilang
minyak atau bising yang ditimbulkan sendiri oleh pekerja seperti di tempat

29
penempaan logam, maka pekerja tersebut yang harus dilindungi dengan alat
pelindung bising seperti sumbat telinga, tutup telinga dan pelindung kepala.

2.12 Gangguan Pendengaran Akibat Penggunaan Obat Ototoksik5


Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan kedokteran,
dan dengan bertambahnya obat-obatan yang lebih poten daftar obat-obatan
ototoksik makin bertambah. Pada abad ke 19 Kina, Salisilat dan Oleum
chenopodium telah diketahui dapat menimbulkan tinitus, kurang pendengaran dan
gangguan vestibuler. Pada tahun 1990, Werner melakukan tinjauan pustaka yang
terdahulu dan menerangkan efek ototoksik dari berbagai macam zat termasuk
arsen, etil dan metil alkohol, nikotin, toksin bakteri dan senyawa-senyawa logam
berat. Dengan ditemukannya antibiotika streptomisin, kemoterapi pertama yang
efektif terhadap kuman tuberkulosis, menjadi kenyataan juga terjadinya penyebab
gangguan pendengaran dan vestibuler.
Antibiotika golongan Aminoglikosida lain yang kemudian digunakan di
klinik memperkuat efek ototoksik seperti yang diakibatkan Streptomisin.
Kerentanan yang tidak biasa dari telinga dalam terhadap cedera oleh golongan-
golongan obat tertentu kemudian setelah pemberian loop diuretics dapat
diperlihatkan, yang ternyata pengaruhnya terhadap ototoksisitas dengan
mekanisme yang berbeda dibandingkan dengan antibiotika Aminoglikosida.
 Gejala
Tinitus, gangguan pendengaran dan vertigo merupakan gejala utama
ototoksisitas. Tinitus biasanya menyertai segala jenis tuli sensorineural oleh
sebab apa pun, dan seringkali mendahului serta lebih mengganggu dari pada
tulinya sendiri. Tinitus yang berhubungan dengan ototoksisitas cirinya kuat dan
bemada tinggi, berkisar antara 4 KHz sampai 6 KHz. Pada kerusakanyang
menetap, tinitus lama kelamaan tidak begitu kuat, tetapijuga tidak pernah
hilang. Loop diuretics dapat menimbulkan tinitus yang kuat dalam beberapa
menit setelah penyuntikan intravena, tetapi pada kasus-kasus yang tidak begitu
berat dapat terjadi tuli sensorineural secara perlahan-lahan dan progresif
dengan hanya disertai tinitus yang ringan. Tinitus dan kurang pendengara yang
reversibel dapat terjadi pada penggunaan salisilat dan kina serta tuli akut yang

30
disebabkan oleh loop diuratics dapat pulih dengan menghentikan pengobatan
dengan segera. Tuli ringan juga pernah dilaporkan sebagai akibat antibiotik
Aminoglikosida, tetapi biasanya menetap atau hanya sebagian yang pulih
kembali. Kurang pendengaran yang disebabkan oleh pemberian antibiotika
biasanya terjadi setelah 3 atau 4 hari, tetapi mungkin akan lebih jelas setelah
dosis pertama. Tuli akibat ototoksik yang menetap malahan dapat terjadi
berhari-hari, bermingguminggu atau berbulan-bulan setelah selesai pengobatan.
Biasanya tuli bersifat bilateral, tetapi tidak jarang yang unilateral. Kurang
pendengaran akibat pemakaian obat ototoksik bersifat tuli sensorineural.
Antibiotika yang bersifat ototoksik mempunyai ciri penurunan yang tajam
untuk frekuensi tinggi pada audiogram, sedangkan diuretik yang dapat
menimbulkan ototoksisitas biasanya menghasilkan audiogram yang mendatar
atau sedikit menurun. Gangguan pendengaran yang berhubungan dengan
ototoksisitas sangat sering ditemukan, oleh karena pgmberian gentamisin dan
streptomisin. Terjadihya secara perlahan-lahan dan beratnya sebanding dengan
lama dan jumlah obat yang diberikan serta keadaan fungsi ginjalnya. Terdapat
juga gangguan keseimbangan badan dan sulit memfiksasikan pandangan,
terutama setelah perubahan posisi. Antibiotika aminoglikosida dan loop
diurctics adalah dua dari obatobat ototoksik yang potensial berbahaya yang
biasa ditemukan.
 Mekanisme Ototoksik
Akibat penggunaan obat-obat yang bersifat ototoksik akan dapat menimbulkan
terjadinya gangguan fungsional pada telinga dalam yang disebabkan telah
terjadi perubahan struktur anatomi pada organ telinga dalam. Kerusakan yang
ditimbulkan oleh preparat ototoksik tersebut antara lain adalah :
a. degenerasi stria vaskularis. Kelainan patologi ini terjadi pada penggunaan
semua jenis obat ototoksik.
b. degenerasi sel epitel sensori. Kelainan patologi ini terjadi pada organ corti
dan labirin vestibular, akibat penggunaan antibiotika aminoglikosida sel
rambut luar lebih terpengaruh daripada sel rambut dalam, dan perubahan
degeneratif ini terjadi dimulai dari basal koklea dan berlanjut terus hingga
akhirnya sampai ke bagian apeks.

31
c. degenerasi sel ganglion. Kelainan ini terjadi sekunder akibat adanya
degenerasi dari sel epitel sensori.
 Obat-Obat Ototoksik
Aminoglikasida, Eritromisin, Loop Diuretics, Obat Anti Inflamasi, Obat anti
Malaria, Obat anti Tumor, dan Obat tetes telinga
 Penatalaksanaan
Tuli yang diakibatkan oleh obatobat ototoksik tidak dapat diobati. Bila pada
waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam
(dapat diketahui secara audiomekik), maka pengobatan dengan obat-obatan
tersebut harus segera dihentikan. Berat ringannya ketulian yang terjadi
tergantung kepada jenis obat, jumlah dan lamanya pengobatan. Kerentanan
pasien termasuk yang menderita insufisiensi ginjal dan sifat obat itu sendiri.
Apabila ketulian sudah terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara lain
dengan alat bantu dengar (ABD), psikoterapi, auditory tranining, termasuk cara
menggunakan sisa pendengaran dengan alat bantu dengar, belajar komunikasi
total dengan belajar membaca bahasa isyarat. Pada tuli total bilateral mungkin
dapat dipertimbangkan pemasangan implan koklea (Cochlear implant).
 Pencegahan
Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka
pencegahanmenjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk
mempertimbangkan penggunaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan
pasien, memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan
gejala-gejala keracunan telinga dalam yang timbul seperti tinitus, kurang
pendengaran dan vertigo. Pada pasien yang menunjukkan mulai ada gejala-
gejala tersebut harus dilakukan evaluasi audiologik dan menghentikan
pengobatan.
 Prognosis
Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah dan lamanya
pengobatan, kerentanan pasien. Pada umumnya prognosis tidak begitu baik
malah mungkin buruk.

32
BAB III
KESIMPULAN

Gangguan pendengaran terbagi atas gangguan pendengaran konduktif,


sensorineural dan campuran. Gangguan pendengaran dapat disebabkan oleh
penyebab kongenital dan di dapat (Acquired). Dalam mendiagnosis gangguan
pendengaran dibutuhkan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Tatalaksana pada gangguan pendengaran dapat berupa
edukasi, mengatasi etiologi yang mendasari, penggunaan alat bantu dengar, dan
implan koklear.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Kurtz, Joe Walter. 2016. Audiology Pure-Tone Testing. Medscape.


(http://emedicine.medscape.com/article/1822962-overview#showall, Diakses
11 Agustus 2016).
2. World Health Organization. Hearing and Deafness Loss. Available
from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs300/en/. Last Updated
March 2015
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2013. Jakarta: Kemenkes RI.
4. Sjaripudin, Jenny B, Widayat A. Tuli Koklea dan Tuli Retrokoklea.
Dalam: Soepardi EA, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR, Editor. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2007. 16-23
5. Soetirto, I., Hendarmin, H., Bashiruddin, J. Gangguan Pendengaran dan
Kelainan Telinga. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher Edisi ketujuh. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI, 2012.
6. Adam, George, Boies, Lawrence, Higler, Peter. BOIES Buku Ajar Penyakit
THT. Edisi VI. Jakarta : EGC. 2012
7. Rolland PS, Kutz Jr JW, Isaacson B. Agingand the Auditory and Vestibular
System.Dalam: Bailey BJ, penyunting. Head &Neck Surgery-
Otolaryngology. Philadelphia:Lippincott Williams and Wilkins; 2014.
8. ASHA. Type, Degree, and Configuration of Hearing Loss. Ear Hear.
Audiologi Series. 2015. 1-2.

34

Anda mungkin juga menyukai