Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN PADA SEORANG PENDERITA


DENGAN BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO

Oleh :
dr. Kadek Ayu Sagita Putri, S.Ked

Dokter Pembimbing :
dr. Tri Premani, Sp.S

Dokter Pendamping :
dr. Putu Apri Dianti
dr. A.A.B. Kamayana

DALAM RANGKA MENGIKUTI PROGRAM INTERNSHIP


DOKTER INDONESIA (PIDI)
RSAD UDAYANA DENPASAR
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul topik “Diagnosis dan
Penatalaksanaan pada Seorang Penderita dengan Benign Paroxysmal Positional Vertigo”.
Laporan ini disusun dalam rangka menjalani Program Internsip Dokter Indonesia
(PIDI) periode 2018 s/d 2019 di Rumkit Tk. II Udayana Denpasar. Tidak lupa penulis
ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan
laporan kasus ini kepada dr. Tri Premani,Sp.S selaku dokter pembimbing serta dr.Putu Apri
Dianti dan dr. A.A.B. Kamayana selaku dokter pendamping yang telah memberikan
bimbingan kepada penulis dalam penyusunan dan penyempurnaan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga
tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, 20 Agustus 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi...............................................................................................................................3
2.2 Anatomi Telinga Dalam.....................................................................................................3
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko.................................................................................................5
2.4 Patofisiologi........................................................................................................................5
2.5 Klasifikasi...........................................................................................................................7
2.6 Kriteria Diagnosis...............................................................................................................9
2.7 Diagnosis Banding.............................................................................................................13
2.8 Penatalaksanaan..................................................................................................................14
2.9 Komplikasi.........................................................................................................................17
2.10 Prognosis............................................................................................................................18
BAB 3 LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien...................................................................................................................19
3.2 Anamnesis..........................................................................................................................19
3.3 Pemeriksaan Fisik...............................................................................................................20
3.4 Pemeriksaan Neurologis.....................................................................................................21
3.5 Pemeriksaan Penunjang......................................................................................................22
3.6 Diagnosis Kerja..................................................................................................................22
3.7 Penatalaksanaan..................................................................................................................22
3.8 Follow Up...........................................................................................................................23
BAB 4 PEMBAHASAN...................................................................................................................25
BAB 5 SIMPULAN..........................................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................28

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Vertigo atau Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) merupakan gangguan
vestibuler yang paling sering ditemui dan merupakan masalah yang nyata di masyarakat,
dengan gejala rasa pusing berputar diikuti mual muntah dan keringat dingin. Keadaan ini
dipicu oleh perubahan posisi kepala terhadap gaya gravitasi tanpa adanya keterlibatan lesi
di susunan saraf pusat. Rasa pusing berputar yang dikeluhkan pasien merupakan sensasi
gerakan atau rasa gerak dari tubuh seperti memutar tanpa sensasi putaran yang sebenarnya,
dapat terasa berputar pada sekelilingnya atau badan yang berputar.1,2
Vertigo yang paling sering ditemukan adalah BPPV. Menurut penelitian pasien
dengan keluhan pusing berputar sebanyak 20% merupakan BPPV meskipun penyakit ini
sering disertai penyakit lainnya. Pada populasi umum prevalensi BPPV yaitu antara 11
sampai 64 per 100.000 (prevalensi 2,4%). 5,6 miliar orang yang datang ke rumah sakit dan
klinik di Amerika Serikat dengan keluhan pusing berputar, 17% - 42% diantaranya
didiagnosis dengan BPPV. Pada tahun 2009 dan 2010 di Indonesia angka kejadian vertigo
sangat tinggi yaitu sekitar 50%. Vertigo menempati urutan ketiga tersering keluhan yang
ditemui di IGD RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta sedangkan pasien vertigo yang datang ke
poliklinik saraf selama tahun 2004 sekitar 4,9% dari 13.355 kunjungan. Angka kejadian
BPPV di Provinsi Bali belum pernah dilaporkan hingga saat ini. Onset BPPV biasanya
diderita pada usia 50-70 tahun dengan proporsi antara wanita lebih besar dibandingkan
dengan laki-laki yaitu sebesar 2,2 : 1,5.2, 3,4
BPPV merupakan bentuk dari vertigo posisional yakni sensasi berputar yang
disebabkan oleh perubahan posisi kepala. Secara historikal benign pada BPPV merupakan
bentuk dari vertigo posisional yang seharusnya tidak menyebabkan gangguan susunan saraf
pusat yang serius dan secara umum memiliki prognosis yang baik. Vertigo diangap bukan
merupakan suatu penyakit, melainkan gejala dari penyakit penyebabnya. Salah satu gejala
vertigo ialah ilusi bergerak, penderita merasakan atau melihat lingkungannya bergerak,
padahal lingkungannya diam, atau penderita merasakan dirinya bergerak, padahal tidak 1,5,6.

1
Hal inilah yang dapat menganggu kehidupan seorang penderita vertigo sehingga aktivitas
kesehariannya tidak berjalan dengan baik.
Penulis tertarik untuk mengangkat BPPV sebagai laporan kasus oleh karena angka
kejadiannya yang tinggi dan sering ditemui di masyarakat dengan gejala yang ditimbulkan
cukup membuat kualitas hidup seseorang terganggu dengan demikian, sebagai seorang
dokter layanan primer diharapkan dapat memberikan penanganan pertama terhadap
seseorang yang mengalami gangguan tersebut.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Vertigo berasal dari bahasa latin “vertere” yang berarti memutar. Vertigo termasuk
kedalam gangguan keseimbangan yang dinyatakan sebagai pusing, pening, atau
sempoyongan, rasa seperti melayang atau dunia seperti jungkir balik. Vertigo yang paling
sering ditemukan adalah Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV).1,2,3
BPPV merupakan vertigo yang timbul bila terjadi perubahan posisi kepala terhadap gaya
gravitasi atau sikap tertentu, tanpa adanya keterlibatan lesi di susunan saraf pusat. BPPV
termasuk vertigo perifer karena kelainannya terdapat pada telinga dalam, yaitu pada sistem
vestibularis. Benign dan paroksismal merupakan karakteristik dari vertigo posisional yang
seharusnya tidak menyebabkan gangguan susunan saraf pusat dan secara umum memiliki
prognosis yang baik. Paroksismal yang dimaksud adalah onset vertigo yang terjadi secara
tiba-tiba dan berlangsung cepat biasanya tidak lebih dari 1 menit.3,7

2.2 Anatomi Telinga Dalam


Telinga dalam (TD) terletak di dalam tulang temporal bagian petrosa, di dalamnya
dijumpai labirin periotik yang mengelilingi strukturnya yaitu labirin, merupakan suatu
rangkaian berkesinambungan antara tuba dan rongga TD yang dilapisi epitel. Labirin terdiri
dari labirin membran berisi endolimfe yang merupakan satu-satunya cairan ekstraselular
dalam tubuh yang tinggi kalium dan rendah natrium. Labirin membran ini di kelilingi oleh
labirin tulang ,di antara labirin tulang dan membran terisi cairan perilimfe dengan
komposisi elektrolit tinggi natrium rendah kalium. Labirin terdiri dari tiga bagian yaitu pars
superior, pars inferior dan pars intermedia. Pars superior terdiri dari utrikulus dan saluran
semisirkularis, pars inferior terdiri dari sakulus dan koklea sedangkan pars intermedia
terdiri dari duktus dan sakus endolimpaticus. Fungsi TD ada dua yaitu koklea yang
berperan sebagai organ auditus atau indera pendengaran dan kanalis semisirkularis sebagai
alat keseimbangan. Kedua organ tersebut saling berhubungan sehingga apabila salah satu
organ tersebut mengalami gangguan maka yang lain akan terganggu. TD disuplai oleh

3
arteri auditorius interna cabang dari arteri cerebelaris inferior. Aliran darah vena bersama
dengan aliran arteri. 8
Bagian vestibular dari labirin terdiri dari tiga kanalis semisirkularis, yakni kanal
anterior, posterior, dan horisontal . Ketiga kanalis semisirkularis ini mendeteksi akselerasi
angular. Setiap kanalis semisirkularis terisi oleh endolimfe dan pada bagian dasarnya
terdapat penggelembungan yang disebut sebagai ampula. Ampula mengandung kupula,
suatu masa gelatin yang memiliki densitas yang sama dengan endolimfe, serta melekat
pada sel rambut. Labirin juga terdiri dari dua struktur otolith, yakni utrikulus dan sakulus
yang mendeteksi akselerasi linear, termasuk deteksi terhadap gravitasi. Organ reseptornya
adalah makula. Makula utrikulus terletak pada dasar utrikulus kira-kira di bidang kanalis
semisirkularis horisontal. Makula sakulus terletak pada dinding medial sakulus dan
terutama terletak di bidang vertikal. Pada setiap makula terdapat sel rambut yang
mengandung endapan kalsium yang disebut otolith (otokonia). Makula pada utrikulus
diperkirakan sebagai sumber dari partikel kalsium yang menjadi penyebab BPPV. Kupula
adalah sensor gerak untuk kanalis semisirkularis dan ini teraktivasi oleh defleksi yang
disebabkan oleh aliran endolimfe. Pergerakan kupula oleh karena endolimfe dapat
menyebabkan respon, baik berupa rangsangan atau hambatan, tergantung pada arah dari
gerakan dan kanalissemisirkularis yang terkena. Kupula membentuk barier yang
impermeabel yang melintasi lumen dari ampula, sehingga partikel dalam kanalis
semisirkularis hanya dapat masuk atau keluar kanal melalui ujung yang tidak mengandung
ampula.8

Gambar 2.1 Anatomi telinga dalam

4
Ampulofugal berarti pergerakan yang menjauhi ampula, sedangkan ampulapetal
berarti gerakan mendekati ampula. Pada kanal semisirkular posterior dan superior, defleksi
utrikulofugal dari kupula bersifat merangsang (stimulatory) dan defleksi utrikulopetal
bersifat menghambat (inhibitory). Pada kanalis semisirkularis lateral, terjadi yang
sebaliknya.8

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Penyebab kasus BPPV sebagian besar tidak diketahui atau idopatik. Perpindahan otokonia
kristal (kristal karbonat Ca yang biasanya tertanam di sakulus dan utrikulus) sampai saat ini
diduga sebagai penyebab utama gangguan ini. Sementara faktor lain yang menjadi pemicu
munculnya keluhan adalah jejas atau trauma pada kepala atau leher, adanya infeksi pada
telinga tengah , migrain, implantasi gigi, hipertensi dan operasi telinga. Selain itu gangguan
ini dapat muncul sebagai akibat tidur yang lama pada pasien post operasi atau bed rest total
yang lama.1,2,9

2.4 Patofisiologi
Vertigo atau BPPV disebabkan ketika otolith yang terdiri dari kalsium karbonat pada
makula utrikulus yang lepas dan bergerak dalam lumen dari salah satu kanal semisirkular.
Kalsium tersebut dua kali lebih padat dibandingkan endolimfe sehingga bergerak sebagai
respon terhadap gaya gravitasi dan pergerakan akseleratif lainnya. Pada saat kristal kalsium
karbonat bergerak dalam kanal semisirkular menyebabkan pergerakan endolimfe yang
menstimulasi ampula pada kanal yang terkena sehingga mengakibatkan vertigo.3,9,10
Arah nistagmus ditentukan oleh eksitasi saraf ampul pada kanal yang terkena pada
sambungan langsung dengan otot ekstraokuler. Setiap kanal yang terkena kanalitiasis
memiliki karakteristik nistagmus tersendiri, kanalitiasis mengacu pada partikel kalsium
yang bergerak bebas dalam kanal semisirkular.6,10
Penyebab lepasnya kristal kalsium belum dipahami dengan pasti, namun debris
kalsium dapat pecah karena trauma atau infeksi virus dan dalam banyak keadaan dapat
terjadi tanpa trauma atau penyakit yang diketahui. Diperkirakan ada kaitannya dengan
perubahan protein dan matriks gelatin dari membran otolith yang berkaitan dengan usia.3

Patomekanisme BPPV dapat dibagi menjadi dua, yaitu9,10:


a. Teori Kupulolitiasis
5
Pada tahun 1962, Horald Schuknecht mengemukakan teori ini dimana ditemukan partikel-
partikel basofilik yang berisi kalsium karbonat dari fragmen otolith yang terlepas dari
makula utrikulus yang berdegenerasi dan menempel pada permukaan kupula. Dia
menerangkan bahwa kanalis semiriskularis posterior menjadi sensitif akan gravitasi akibat
partikel yang melekat pada kupula. Sama halnya seperti benda berat diletakkan pada
puncak tiang, bobot ekstra itu akan menyebabkan tiang sulit untuk tetap stabil, malah
cenderung miring. Begitu halnya digambarkan oleh nistagmus dan rasa pusing ketika
kepala penderita dijatuhkan ke belakang posisi tergantung (seperti pada tes Dix-Hallpike).
Kanalis semi sirkularis posterior berubah posisi dari inferior ke superior, kupula bergerak
secara utrikulofugal, dengan demikian timbul nistagmus dan keluhan pusing (vertigo).
Perpindahan partikel tersebut membutuhkan waktu, hal ini menyebabkan adanya masa
laten sebelum timbulnya pusing dan nistagmus.
b. Teori Kanalitiasis
Pada 1980 Epley mengemukakan teori kanalitiasis, partikel otolith bergerak bebas didalam
kanalis semi sirkularis. Ketika kepala dalam posisi tegak, endapan partikel tersebut berada
pada posisi yang sesuai dengan gaya gravitasi yang paling bawah. Ketika kepala
direbahkan ke belakang, partikel ini berotasi ke atas di sepanjang lengkung kanalis semi
sirkularis. Hal ini menyebabkan cairan endolimfe mengalir menjauhi ampula dan
menyebabkan kupula membelok (deflected), sehingga terjadilah nistagmus dan pusing.
Saat terjadi pembalikan rotasi saat kepala ditegakkan kembali, terjadi pula pembelokan
kupula, muncul pusing dan nistagmus yang bergerak ke arah berlawanan. Digambarkan
layaknya kerikil yang berada dalam ban, ketika ban bergulir, kerikil akan terangkat
seberntar kemudian terjatuh kembali karena gaya gravitasi. Jatuhnya kerikil tersebut
seolah-olah yang memicu organ saraf menimbulkan rasa pusing. Dibanding dengan teori
kupulolitiasis, teori ini dapat menerangkan keterlambatan sementara nistagmus, karena
partikel butuh waktu untuk mulai bergerak. Ketika mengulangi maneuver kepala, otolith
menjadi tersebar dan semakin kurang efektif dalam menimbulkan vertigo serta nistagmus.
Hal ini menerangkan konsep kelelahan dari gejala pusing.

2.5 Klasifikasi

6
BPPV dapat disebabkan baik oleh kanalitiasis ataupun kupulolitiasis dan secara
teori dapat mengenai ketiga kanalis semisirkularis, walaupun terkenanya kanalis anterior
(superior) sangat jarang. Bentuk yang paling sering adalah bentuk kanalis posterior, diikuti
bentuk lateral. Sedangkan bentuk kanalis anterior dan bentuk polikanalikular adalah bentuk
yang paling tidak umum.9,10
a. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Tipe Kanalis Posterior (inferior)9
BPPV yang paling sering terjadi adalah tipe kanalis posterior. Ini tercatat pada 85% sampai
90% dari kasus BPPV, karena itu, jika tidak diklasifikasikan, BPPV umumnya mengacu
pada BPPV bentuk kanalis posterior. Penyebab paling sering terjadinya BPPV kanalis
posterior adalah kanalitiasis. Hal ini dikarenakan debris endolimfe yang terapung bebas
cenderung jatuh ke kanalis posterior disebabkan karena kanal ini adalah bagian vestibulum
yang berada pada posisi yang paling bawah saat kepala pada posisi berdiri ataupun
berbaring.
Mekanisme dimana kanalitiasis menyebabkan nistagmus dalam kanalis semisirkularis
posterior digambarkan oleh Epley. Partikel harus berakumulasi menjadi "massa kritis" di
bagian bawah dari kanalis semisirkularis posterior. Kanal tersebut bergerak ke bagian yang
paling rendah pada saat orientasi dari kanalis semisirkularis berubah karena posisi dan
gravitasi. Tarikan yang dihasilkan harus dapat melampaui resistensi dari endolimfe pada
kanalis semisirkularis dan elastisitas dari barier kupula, agar bisa menyebabkan defleksi
pada kupula. Waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya hal ini ditambah inersia asli dari
partikel tersebut menjelaskan periode laten yang terlihat selama manuver Dix-Hallpike.
b. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Tipe Kanalis Horizontal (Lateral)1,9
BPPV tipe kanalis horizontal adalah tipe kedua terbanyak. BPPV tipe kanalis horizontal
sembuh jauh lebih cepat dibandingkan dengan BPPV tipe kanal posterior. Hal ini
dikarenakan kanal posterior tergantung di bagian inferior dan barier kupulanya terdapat
pada ujung yang lebih pendek dan lebih rendah. Debris yang masuk dalam kanalis posterior
akan terperangkap di dalamnya. Sedangkan kanalis horizontal memiliki barier kupula yang
terletak di ujung atas. Karena itu, debris bebas yang terapung di kanalis horizontal akan
cenderung untuk mengapung kembali ke utrikulus sebagai akibat dari pergerakan kepala.
BPPV kanalis horizontal adalah suatu bentuk varian dari BPPV yang pertama kali
diperkenalkan oleh McClure tahun 1985 dengan karakteristik vertigo posisional yang
7
diikuti nistagmus horizontal berubah arah. Arah nistagmus horizontal yang terjadi dapat
berupa geotropik (arah gerakan fase cepat ke arah telinga di posisi bawah) atau
apogeotropik (arah gerakan fase cepat ke arah telinga di posisi atas) selama kepala
dipalingkan ke salah satu sisi dalam posisi telentang. Nistagmus geotropik terjadi karena
adanya otolith yang terlepas dari utrikulus dan masuk ke dalam lumen posterior kanalis
horizontal (kanalithiasis), sedangkan nistagmus apogeotropik terjadi karena otolith yang
terlepas dari utrikulus menempel pada kupula kanalis horizontal (kupulolithiasis) atau
karena adanya fragmen otokonia di dalam lumen anterior kanalis horizontal (kanalolithiasis
apogeotropik).
Dalam kanalitiasis pada kanalis horizontal, partikel paling sering terdapat di lengan
panjang dari kanal yang relatif jauh dari ampula. Jika pasien melakukan pergerakan kepala
menuju ke sisi telinga yang terkena, partikel akan membuat aliran endolimfe ampulopetal,
yang bersifat stimulasi pada kanal horizontal. Nistagmus geotropik (fase cepat menuju
tanah) akan terlihat. Jika pasien berpaling dari sisi yang terkena, partikel akan menciptakan
arus hambatan ampulofugal. Meskipun nistagmus akan berada pada arah yang berlawanan,
itu akan tetap menjadi nistagmus geotropik, karena pasien sekarang menghadap ke arah
berlawanan. Stimulasi kanal menciptakan respon yang lebih besar daripada respon
hambatan, sehingga arah dari gerakan kepala yang menciptakan respon terkuat (respon
stimulasi) merupakan sisi yang terkena pada geotropik nistagmus.1,9,10
Kupulolitiasis memiliki peranan yang lebih besar pada BPPV tipe kanalis horizontal
dibandingkan tipe kanal posterior. Karena partikel melekat pada kupula, vertigo sering kali
berat dan menetap saat kepala berada dalam posisi provokatif. Ketika kepala pasien
dimiringkan ke arah sisi yang terkena, kupula akan mengalami defleksi ampulofugal
(inhibitory) yang menyebabkan nistagmus apogeotrofik. Ketika kepala dimiringkan ke arah
yang berlawanan akan menimbulkan defleksi ampulopetal (stimulatory), menghasilkan
nistagmus apogeotrofik yang lebih kuat. Karena itu, memiringkan kepala ke sisi yang
terkena akan menimbulkan respon yang terkuat. Apogeotrofik nistagmus terdapat pada
27% dari pasien yang memiliki BPPV tipe kanal horizontal. 1,9,10
Berdasarkan hukum Ewald kedua, stimulasi ampulopetal lebih kuat daripada
stimulasi ampulofugal pada kanalis semisirkularis horizontal. Arah putaran kepala yang

8
mengakibatkan intensitas vertigo dan nistagmus yang kuat akan menunjukkan letak telinga
yang sakit pada nistagmus geotropik dan telinga yang sehat pada nistagmus apogeotropik.1

2.6 Kriteria Diagnosis


Vertigo bukan suatu penyakit tersendiri melainkan gejala dari penyakit yang letak lesi dan
penyebabnya berbeda-beda. Oleh karena itu pada setiap penderita vertigo harus dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat dan terarah untuk menentukan bentuk
vertigo, letak lesi dan penyebabnya. Adapun diagnosis vertigo dapat ditegakkan
berdasarkan : 1,3,11,12
2.6.1 Anamnesis1,3,11
Onset BPPV yang terjadi secara tiba-tiba dan berlangsung cepat biasanya tidak lebih dari 1
menit. Pasien sering mengeluhkan rasa pusing berputar yang dapat diikuti oleh keluhan
mual, muntah dan keringat dingin sewaktu merubah posisi kepala terhadap gravitasi,
dengan periode vertigo yang episodik. Pasien akan memodifikasi atau membatasi gerakan
untuk menghindari episode vertigo.
Perubahan posisi yang biasanya memicu adalah berbalik di tempat tidur pada posisi
lateral, bangun dari tempat tidur, melihat keatas dan belakang, dan membungkuk. Pada
anamnesis harus ditanyakan pula faktor-faktor yang merupakan etiologi atau faktor yang
dapat mempengaruhi keberhasilan terapi seperti riwayat stroke, diabetes, hipertensi, trauma
kepala, migrain dan riwayat gangguan keseimbangan sebelumnya atau riwayat gangguan
saraf pusat.
2.6.2 Pemeriksaan Fisik1,3,6,7,12
Pendekatan klinis terhadap keluhan vertigo adalah untuk menentukan penyebab, apakah
akibat kelainan sentral yang berkaitan dengan kelainan susunan saraf pusat atau berkaitan
dengan sistim vestibuler/otologik, selain itu dipertimbangkan pula faktor
psikologik/psikiatrik yang dapat mendasari keluhan vertigo tersebut.
Faktor sistemik yang juga harus dipikirkan/dicari antara lain aritmi jantung,
hipertensi, hipotensi, gagal jantung kongestif, anemi, hipoglikemi. Dalam menghadapi
kasus vertigo, pertama-tama harus ditentukan bentuk vertigonya, lalu letak lesi dan
kemudian penyebabnya, agar dapat diberikan terapi kausal yang tepat dan terapi
simtomatik yang sesuai.
9
Pemeriksaan yang dilakukan yakni pemeriksaan fisik umum untuk mengetahui
adanya kelainan sistemik, pemeriksaan neurologis yakni fungsi vestibuler (tes Romberg,
tandem gait, uji unterberger dan fast pointing tes ), tes pendengaran serta pemeriksaan
khusus oto-neurologi untuk mengetahui letak lesi. Apabila pasien memiliki pendengaran
yang normal, tidak ada nistagmus spontan, dan pada evaluasi neurologis hasilnya normal
maka pemeriksaan fisik khusus untuk vertigo adalah Dix-Hallpike dan Tes Kalori.
a. Tes Dix-Hallpike
Pemeriksaan ini tidak boleh dilakukan pada pasien yang memiliki masalah dengan leher
dan punggung. Tujuannya adalah untuk memprovokasi serangan vertigo dan untuk melihat
adanya nistagmus, menentukan apakah letak lesinya di sentral atau perifer, serta
mengetahui fungsi vestibuler. Cara melakukannya adalah sebagai berikut :
- Pertama jelaskan pada penderita mengenai prosedur pemeriksaan
- Penderita didudukkan dekat bagian ujung tempat periksa, sehingga ketika posisi
terlentang kepala ekstensi ke belakang 30°-40°, tetap membuka mata untuk melihat
nistagmus yang muncul.
- Kepala diputar ke kanan 45°, keadaan ini akan menghasilkan kemungkinan bagi otolith
untuk bergerak (jika kanalis semisirkularis posterior yang terlibat).
- Tangan pemeriksa pada kedua sisi kepala penderita kemudian penderita direbahkan
sampai kepala tergantung pada ujung tempat periksa.
- Perhatikan munculnya nistagmus dan keluhan vertigo, pertahankan selama 10-15 detik.
- Komponen cepat nistagmus harusnya ‘up-bet’ (ke arah dahi) dan ipsilateral.
- Kembalikan ke posisi duduk, nistagmus bisa terlihat dalam arah yang berlawanan dan
penderita mengeluhkan kamar berputar ke arah berlawanan.
- Manuver tersebut diulang dengan kepala menoleh ke sisi kiri 45° dan seterusnya.
Perhatikan saat timbul dan hilangnya vertigo dan nistagmus, dengan uji ini dapat
dibedakan apakah lesinya perifer atau sentral. Pada orang normal nistagmus dapat timbul
pada saat gerakan provokasi ke belakang dan menghilang setelah gerakan selesai
dilakukan. Pada vertigo perifer, keluhan vertigo dan nistagmus timbul setelah periode laten
2-10 detik, hilang dalam waktu kurang dari 1 menit dan akan berkurang atau menghilang
bila tes diulang-ulang beberapa kali (fatigue). Sedangkan pada vertigo sentral, tidak ada

10
periode laten. Nistagmus dan keluhan vertigo berlangsung lebih dari 1 menit, bila diulang-
ulang reaksi tetap seperti semula (non-fatigue).

Gambar 2.2 Tes Dix-Hallpike

b. Tes Kalori
Pemeriksaan ini dianjurkan oleh Dix dan Hallpike, prosedur pemeriksaan ini dipakai 2
macam air yaitu panas dan dingin. Suhu air dingin adalah 30° sedangkan suhu air panas
adalah 44°. Kedua telinga diirigasi bergantian dengan air dingin dan air hangat. Volume air
yang dialirkan ke dalam liang telinga masing-masing 250 ml, dalam waktu 40 detik, setelah
air dialirkan dicatat lama nistagmus yang timbul. Jika telinga kiri diperiksa dengan air
dingin, maka telinga kanan diperiksa dengan air dingin begitu pula sebaliknya saat
menggunakan air panas. Pada tiap-tiap pemeriksaan (telinga kiri/kanan atau air
dingin/panas) pasien diistirahatkan selama 5 menit (untuk menghilangkan pusingnya).
Dengan tes ini dapat ditentukan adanya kanal paresis atau directional preponderance ke
kiri atau ke kanan. Kanal paresis adalah jika abnormalitas ditemukan di satu telinga, baik
setelah rangsang air hangat maupun air dingin, sedangkan directional preponderance ialah
jika abnormalitas ditemukan pada arah nistagmus yang sama di masing-masing telinga.
Kanal paresis menunjukkan lesi perifer di labirin atau n.VIII, sedangkan directional
preponderance menunjukkan lesi sentral.
c. Supine Roll Test (Pagnini-McClure Maneuver)
BPPV kanalis semisirkularis horizontal dapat dideteksi dengan menggunakan manuver
supine roll test. Supine roll test dilakukan dengan memutar kepala pasien 90° ke sisi kiri
atau kanan pada posisi telentang dengan mengangkat kepala 30° dari garis horizontal bumi,
sambil mengobservasi nistagmus yang ditimbulkan. Setelah nistagmus yang muncul
11
menghilang, kepala pasien kembali menghadap posisi semula (wajah menghadap keatas
dalam posisi telentang), pada posisi ini dapat muncul kembali nistagmus, setelah nistagmus
tambahan hilang, kepala pasien dengan cepat dipalingkan 90° kearah berlawanan, observasi
nistagmus yang muncul. Nistagmus yang muncul pada waktu melakukan manuver supine
roll test menggambarkan tipe BPPV kanalis horizontal. Jika vertigo dan nistagmus yang
muncul pada manuver supine roll test mempunyai intensitas yang sama antara telinga kiri
dan kanan, maka letak telinga yang sakit ditentukan dengan manuver lainnya yang tidak
membandingkan intensitas dari vertigo dan nistagmus dengan bantuan elektronistagmografi
(ENG), seperti bow and lean test, dan lying down dan head bending nystagmus.

Gambar 2.3 Supine Roll Tes

American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery tidak


merekomendasikan maneuver head roll test pada pasien dengan kemampuan fisik terbatas,
seperti stenosis servikal, kyposcoliosis berat, ruang gerak servikal yang terbatas, down
syndrome, rheumatoid arthritis berat, cervical radiculopathies, Paget’s disease, morbid
obesity, ankylosing spondylitis, low back dysfunction dan trauma medulla spinalis. Sampai
saat ini, belum ditemukan adanya laporan tentang bahaya atau trauma yang sebabkan oleh
manuver head roll test.

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang3,12


12
a. Vestibular Testing
Electronystagmography memiliki kegunaan yang terbatas dalam mendiagnosa BPPV
kanalis, karena komponen torsional dari nistagmus tidak bisa diketahui dengan
menggunakan teknik biasa. Di sisi lain, dalam mendiagnosa BPPV kanalis horizontal,
nistagmus hadir saat dilakukan tes. Tes vestibular ini mampu memperlihatkan gejala yang
tidak normal, yang berkaitan dengan BPPV, tetapi tidak spesifik contohnya vestibular
hypofunction (35% dari kasus BPPV) yang umumnya ditemukan pada kasus trauma kapitis
ataupun infeksi virus.
b. Radiografi
Gambaran yang didapatkan tidak terlalu berguna untuk diagnosa rutin dari BPPV karena
BPPV sendiri tidak memiliki karakteristik tertentu dalam gambaran radiologi. Tetapi
radiografi ini memiliki peran dalam proses diagnosis jika gejala yang muncul tidak khas,
hasil yang diharapkan dari percobaan tidak sesuai, atau jika ada gejala tambahan disamping
dari kehadiran gejala-gejala BPPV, yang mungkin merupakan gabungan dari central
nervous system ataupun otological disorder.
c. Audiometric Testing
Tes ini tidak digunakan untuk mendiagnosa BPPV, tapi dapat memberikan informasi
tambahan dimana diagnosa klinis untuk vertigo masih belum jelas. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan untuk mencari kemungkinan penyebab dari BPPV. Hearing loss dapat muncul
pada pasien dengan BPPV, namun tidak mempengaruhi diagnosis dan terapi BPPV.

2.7 Diagnosis Banding


a. Vestibular Neuritis
Vestibular neuronitis penyebabnya tidak diketahui, pada hakikatnya merupakan suatu
kelainan klinis di mana pasien mengeluhkan pusing berat dengan mual, muntah yang hebat,
serta tidak mampu berdiri atau berjalan. Gejala-gejala ini menghilang dalam tiga hingga
empat hari. Sebagian pasien perlu dirawat di rumah sakit untuk mengatasi gejala dan
dehidrasi. Serangan menyebabkan pasien mengalami ketidakstabilan dan
ketidakseimbangan selama beberapa bulan, serangan episodik dapat berulang. Pada
fenomena ini biasanya tidak ada perubahan pendengaran.3,12
b. Labirintitis
13
Labirintitis adalah suatu proses peradangan yang melibatkan mekanisme telinga dalam.
Terdapat beberapa klasifikasi klinis dan patologik yang berbeda. Proses dapat akut atau
kronik, serta toksik atau supuratif. Labirintitis toksik akut disebabkan suatu infeksi pada
struktur didekatnya, dapat pada telinga tengah atau meningen tidak banyak bedanya.
Labirintitis toksik biasanya sembuh dengan gangguan pendengaran dan fungsi vestibular.
Hal ini diduga disebabkan oleh produk-produk toksik dari suatu infeksi dan bukan
disebabkan oleh organisme hidup. Labirintitis supuratif akut terjadi pada infeksi bakteri
akut yang meluas ke dalam struktur-struktur telinga dalam. Kemungkinan gangguan
pendengaran dan fungsi vestibular cukup tinggi. Yang terakhir, labirintitis kronik dapat
timbul dari berbagai sumber dan dapat menimbulkan suatu hidrops endolimfatik atau
perubahanperubahan patologik yang akhirnya menyebabkan sklerosi labirin.3,10,12
c. Penyakit Meniere
Penyakit Meniere adalah suatu kelainan labirin yang etiologinya belum diketahui, dan
mempunyai trias gejala yang khas, yaitu gangguan pendengaran, tinitus, dan serangan
vertigo. Terutama terjadi pada wanita dewasa. Patofisiologinya pembengkakan endolimfe
akibat penyerapan endolimfe dalam skala media oleh stria vaskularis terhambat.
Manifestasi klinis yang dialami penderita Meniere adalah vertigo disertai muntah yang
berlangsung antara 15 menit sampai beberapa jam dan berangsur membaik. Disertai
pengurnngan pendengaran, tinitus yang kadang menetap, dan rasa penuh di dalam telinga.
Serangan pertama hebat sekali, dapat disertai gejala vegetatif Serangan lanjutan lebih
ringan meskipun frekuansinya bertambah.3,12

2.8 Penatalaksanaan
Adapun penatalaksanaan vertigo dapat dikelompokkan menjadi penatalaksanaan
nonfarmakologi dan farmakologi. Terapi BPPV tergantung pada patofisologi dan jenis
kanal yang terlibat. Tujuan terapi adalah melepaskan otokonia dari dalam kanalis atau
kupula, mengarahkan agar keluar dari kanalis semisirkularis menuju utrikulus melalui
ujung non ampulatory kanal. Tujuan penatalaksanaan vertigo selain kausal (jika ditemukan
penyebabnya) ialah untuk memperbaiki ketidakseimbangan vestibular melalui modulasi
transmisi saraf, umumnya digunakan obat yang bersifat antikolinergik.2,3
2.8.1 Nonfarmakologi

14
BPPV merupakan suatu penyakit yang ringan dan dapat sembuh secara spontan. Banyak
penelitian membuktikan dengan pemberian terapi dengan manuver reposisi
partikel/Particle Repositioning Manuver (PRM) dapat efektif menghilangkan vertigo,
meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi risiko jatuh pada pasien. Manuver juga
dapat menimbulkan beberapa efek samping seperti mual, muntah, vertigo, dan nistagmus,
Tujuan manuver adalah untuk mengembalikan partikel ke posisi awalnya yaitu pada
makula utrikulus. Beberapa manuver yang dapat dilakukan diantaranya, untuk menangani
BPPV kanalis posterior adalah Manuver Epley dan Manuver Semont. Sedangkan pada
kanalis horizontal, teknik manuver yang dapat dilakukan adalah Manuver Lempert,
Manuver Barbeceau, Manuver Log Roll, Manuver Gufoni dan Manuver Forced Prolonged
Position. Selain itu Brandt-Daroff Exercises dapat dilakukan sendiri oleh pasien di rumah
untuk membantu mengurangi keluhan vertigo.1,3,5,11
a. Manuver Epley
Manuver Epley adalah yang sering digunakan pada kanal vertikal. Pasien diminta untuk
menolehkan kepala ke sisi yang sakit sebesar 45°, lalu pasien berbaring dengan kepala
tergantung dan dipertahankan 1-2 menit. Kemudian kepala ditolehkan 90° ke sisi
sebaliknya dan posisi supinasi berubah menjadi lateral dekubitus dan dipertahankan 30-60
detik. Setelah itu pasien mengistirahatkan dagu pada pundaknya dan kembali ke posisi
duduk secara perlahan3,9,11.

Gambar 2.4 Manuver Epley


b. Brandt-Daroff exercise

15
Manuver ini digunakan sebagai latihan untuk di rumah dan dapat dilakukan sendiri oleh
pasien sebagai terapi tambahan pada pasien yang tetap simptomatik setelah manuver Epley.
Latihan ini dapat membantu pasien menerapkan beberapa posisi sehingga dapat menjadi
kebiasaan. Cara latihan ini yaitu pasien duduk tegak di tepi tempat tidur dengan tungkai
tergantung kemudian tutup mata dan berbaring dengan cepat ke salah satu sisi tubuh, tahan
selama 30 detik kemudian duduk tegak kembali. Setelah 30 detik baringkan tubuh dengan
cara yang sama ke sisi lain, tahan 30 detik kemudian duduk tegak kembali. Latihan ini
dilakukan berulang-ulang (5 kali berturut-turut) sampai tidak timbul vertigo lagi.3,12

Gambar 2.5 Brandt Daroff exercise

Operasi dapat dilakukan pada pasien BPPV yang telah menjadi kronik dan sangat
sering mendapat serangan BPPV yang hebat, bahkan setelah melakukan manuver-manuver
yang telah disebutkan di atas. Dari literatur dikatakan indikasi untuk melakukan operasi
adalah pada intractable BPPV, yang biasanya mempunyai klinis penyakit neurologi
vestibular, tidak seperti BPPV biasa. 3,12
Terdapat dua pilihan intervensi dengan teknik operasi yang dapat dipilih, yaitu
singular neurectomy (transeksi saraf ampula posterior) dan oklusi kanal posterior
semisirkular. Namun lebih dipilih teknik dengan oklusi karena teknik neurectomi
mempunyai risiko kehilangan pendengaran yang tinggi.3,12

2.8.2 Farmakologi
Penatalaksanaan farmakologi pada vertigo tidak secara rutin dilakukan. Beberapa
pengobatan hanya diberikan untuk jangka pendek pada gejala-gejala yang timbul. Secara
umum penatalaksanaan medikamentosa mempunyai tujuan utama: eliminasi keluhan
16
vertigo, memperbaiki proses kompensasi vestibuler dan mengurangi gejala neurovegetatif
ataupun psikoafektif. Pengobatan untuk vertigo yang disebut juga pengobatan suppressant
vestibular yang digunakan adalah golongan benzodiazepine (diazepam, clonazepam) dan
antihistamin (meclizine, dipenhidramine).3,6
Benzodiazepine merupakan modulator GABA yang akan berikatan pada reseptor. Obat
ini berfungsi untuk mengurangi sensasi berputar. Efek supresan vestibular diperkirakan
terjadi melalui mekanisme sentral, namun dapat mengganggu kompensasi sentral pada
kondisi vestibuler perifer. Antihistamin merupakan penghambat reseptor histamin, saat ini
merupakan antivertigo yang banyak digunakan. Mekanisme antihistamin sebagai supresan
vestibuler tidak banyak diketahui, namun diperkirakan memiliki efek terhadap reseptor
histamin sentral sehingga berpotensi dalam mencegah dan memperbaiki “motion sickness”.
Salah satu obat yang sering digunakan untuk mengatasi keluhan vertigo pada pasien adalah
Betahistine. Betahistin merupakan obat dari kelas histaminergik yang bekerja sebagai
prekursor histamine. Efek antivertigo betahistin diperkirakan berasal dari efek
vasodilatasinya yang dapat memperbaiki aliran darah pada mikrosirkulasi di daerah telinga
tengah dan sistem vestibuler sehingga dapat diberikan untuk mengatasi gejala vertigo.3,5,6

2.9 Komplikasi
a. Canal Switch
Selama melakukan manuver untuk mengembalikan posisi kanal vertikal, partikel yang
berpindah tempat dapat bermigrasi hingga sampai ke kanal lateral, dalam 6 sampai 7% dari
kasus. Pada kasus ini, nistgamus yang bertorsional menjadi horizontal dan geotropik.12
b. Canalith Jam
Selama melakukan reposisi manuver, beberapa penderita akan merasakan beberapa gejala,
seperti vertigo yang menetap, mual, muntah dan nistagmus.12

2.10 Prognosis
Pasien perlu diedukasi secara menyeluruh mengenai BPPV. Satu dari tiga pasien sembuh
dalam jangka waktu 3 minggu, tetapi kebanyakan sembuh setelah 6 bulan dari serangan.
Pasien harus diberitahu bahwa BPPV dapat ditangani, tetapi harus diingatkan bahwa
kekambuhan sering terjadi bahkan jika terapi manuvernya berhasil, jadi terapi lainnya

17
mungkin dibutuhkan. Beberapa studi menunjukkan bahwa 15% terjadi kekambuhan pada
tahun pertama, kemudian 50% kekambuhan terjadi pada 40 bulan setelah terapi.10

18
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama Inisial : AK
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 40 tahun
Suku Bangsa : Bali / Indonesia
Agama : Hindu
Alamat : Asrama Prajaraksaka B.4
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal Pemeriksaan : 16 Januari 2019

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Pusing berputar
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Unit Gawat Darurat (UGD) dengan keluhan pusing berputar, keluhan
ini dirasakan pasien sejak 1 hari sebelum datang ke UGD. Pasien merasakan
lingkungan di sekitarnya seperti tembok dan lantai berputar saat keluhan ini muncul.
Keluhan memberat saat pasien mencoba berdiri atau merubah posisi sambil membuka
mata sehingga pasien takut untuk membuka mata. Keluhan dirasakan membaik saat
pasien menutup mata sambil tiduran dalam posisi terlentang dan tidak merubah
posisinya. Selain itu pasien juga mengeluh merasa mual dan muntah sebanyak 2 kali
sejak keluhan muncul, sakit kepala dan nyeri ulu hati yang dirasakan hingga tembus ke
punggung. Sebelum datang ke UGD pasien dikatakan sempat pingsan satu kali. Pasien
sudah sempat kontrol ke poliklinik neurologi satu hari sebelum datang ke UGD namun
keluhan dikatakan tidak membaik. Keluhan telinga mendengung atau gangguan
pendengaran disangkal.

19
Riwayat Penyakit Terdahulu
Pasien sudah pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Pada tanggal 9
Januari 2019 pasien menjalani rawat inap dengan keluhan yang sama, didiagnosis
dengan Stroke Non Hemorragik ec thrombus dd emboli, hemiparesis, vertigo perifer,
dyspepsia dan suspect HHD. Saat itu pasien diberikan terapi citicoline,
meticobalamine, asetosal, clopidogrel, betahistin mesilat, flunarizin, ranitidine,
ondancentron dan diazepam. Saat itu pasien dirawat selama 5 hari.
Selain itu pasien memiliki riwayat gangguan pada penglihatan yakni kabur saat
melihat jauh dan pasien harus menggunakan kacamata. Tidak ada riwayat penurunan
pendengaran, telinga berdengung ataupun riwayat trauma sebelum keluhan pusing
berputar muncul. Riwayat penyakit kronis lainnya seperti diabetes mellitus dan
penyakit ginjal disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki riwayat penyakit yang sama seperti
pasien. Riwayat penyakit kronis seperti hipertensi, diabetes mellitus di keluarga juga
disangkal oleh pasien.

Riwayat Pribadi/Sosial
Pasien sehari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pasien mengatakan akhir- akhir
ini pasien merasa kelelahan karena sering begadang. Selain itu pasien mengatakan
sering memikirkan ibu kandungnya yang baru saja meninggal. Kebiasaan merokok,
minum alkohol, dan rutin berolahraga disangkal oleh pasien.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Present :
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Nadi : 100 kali/mnt
Frekuensi nafas : 20 kali/mnt
Temperatur : 36,5 0C
20
Status Generalis :
Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, Rp +/+ isokor
THT : Kesan tenang
Thoraks : Cor = S1 S2 tunggal regular, murmur (-),
Pulmo = vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : Bising usus (+) normal, distensi (-), nyeri tekan (+)
epigastrium, hepar lien (dbn)
Ekstremitas : Keempat ekstremitas teraba hangat, edema (-)

3.4 Pemeriksaan Neurologis


 GCS : E4 V5 M6
 Kesadaran : Compos Mentis
 Meningeal Sign :
Kaku Kuduk : (-)
Tanda Kernig : (-)
Tanda Laseque : (-)
Tanda Brudzinski I/II : (-/-)
 Nervus Kranialis : Nervus I – XII dalam batas normal
 Sistem Motorik
Dextra Sinistra
Tenaga : 555 555
555 555
Tonus : N N
N N
Tropik : N N
N N
 Refleks Fisiologis : Dalam batas normal
 Refleks Patologis : Tidak ditemukan refleks patologis

21
 Sensibilitas
Perasa raba : dbn dbn
Perasa nyeri : dbn dbn
Perasa suhu : Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi
 Pemeriksaan Tambahan :
Pemeriksaan keseimbangan (Romberg test) : Tidak dilakukan
Manuver Dix-Hallpike : Ditemukan keluhan vertigo (+) dan nistagmus + / +

3.5 Pemeriksaan Penunjang


Darah lengkap (16/02/2019)
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan
WBC 8,81 103/ul 5 – 10 N
HGB 12,4 g/dl 14 – 18 N
HCT 37,6 % 35 – 55 N
PLT 276 103/ul 150 – 450 N
GDS 111 mg/dl < 140 N

3.6 Diagnosis Kerja


- Vertigo Perifer
- BPPV
- Dispepsia

3.7 Penatalaksanaan
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Injeksi Ondansentron 2 x 1 amp (IV)
- Injeksi Ranitidin 2 x 1 amp (IV)
- Betahistin Mesilat 2 x 24 mg (PO)
- Diazepam 2 x 2 mg (PO)
- Antasida syr 3xC1 (PO)

22
3.8 Follow Up
17 Januari 2019
S: Keluhan pusing berputar membaik. Mual dan muntah membaik
O: Tekanan Darah : 130/90
GCS: E4V5M6
Status Neurologis: dalam batas normal
A:
- BPPV
- Dispepsia
- General Weakness
- Insomnia
P:
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Injeksi Ondansentron 2 x 1 amp (IV)
- Injeksi Ranitidin 2 x 1 amp (IV)
- Betahistin Mesilat 2 x 24 mg (PO)
- Diazepam 2 x 2 mg (PO)
- Antasida syr 3 x C1 (PO)
- Flunarizin 2 x 5 mg (PO)
- BPL

25 Februari 2019 – Kontrol Poliklinik


S: Nyeri tengkuk (+), sensasi goyang (+) disertai mual
O: Tekanan Darah : 130/90 mmHg, GCS: E4V5M6, Paracervical Spasme (+)
Laboraturium : Lemak Darah, Gula Darah dan Fungsi Ginjal (25/02/2019)
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan
Kolesterol Total 227 mg/dl < 200 H
Trigliserida 91 mg/dl 50-150 N
Kolesterol HDL 66 mg/dl >40 N
Kolesterol LDL 130 mg/dl <100 H
GDP 99 mg/dl 70-110 N
G2PP 168 mg/dl <140 N
Kreatinin 5,5 mg/dl 3,0 - 7,0 N
23
A: - Cervical Dizziness
- Dyslipidemia
P:
- Simvastatin 1x20 mg (PO)
- Diazepam 2x2,5 mg (PO)
- Betahistin Mesilat 2x6 mg (PO)
- Natrium Diclofenac Gel 2xue
- Captopril 1x12,5 mg (PO)

24
BAB 4
PEMBAHASAN

Pasien perempuan 40 tahun berinisial AK datang ke UGD dengan keluhan pusing berputar.
Berdasarkan anamnesis pada pasien keluhan pusing berputar dirasakan sejak 1 hari
sebelumnya. Keluhan memberat saat pasien mencoba berdiri atau merubah posisi sambil
membuka mata sehingga pasien takut untuk membuka mata dan membaik saat pasien
menutup mata. Selain itu pasien juga mengeluh merasa mual, muntah, sakit kepala dan
nyeri ulu hati yang dirasakan hingga tembus ke punggung.
Gejala dan tanda yang ditemukan pada kasus tersebut jika dikaitkan dengan teori
mengarah kepada diagnosis vertigo atau BPPV. Pada teori dijelaskan bahwa pasien dengan
vertigo sering mengeluhkan rasa pusing berputar yang dapat diikuti dengan keluhan mual,
muntah, dan keringat dingin sewaktu merubah posisi kepala. Pasien akan membatasi
gerakan untuk menghindari episode vertigo, perubahan posisi yang biasanya memicu
adalah tidur dengan posisi lateral, bangun dari tempat tidur, melihat ke atas dan belakang,
dan membungkuk. Vertigo sendiri didefinisikan sebagai sensasi gerakan dari tubuh seperti
memutar tanpa sensasi putaran yang sebenarnya, dapat sekelilingnya terasa berputar atau
badan yang berputar. Gangguan ini termasuk gangguan keseimbangan biasanya dipicu
perubahan posisi kepala terhadap gaya gravitasi. Data yang didapatkan dari anamnesis pada
kasus sudah sesuai dengan penjelasan yang ada pada teori.1,3
BPPV merupakan tipe vertigo vestibuler yang sering ditemukan, umumnya memiliki
prognosis yang baik dan tidak menyebabkan gangguan susunan saraf pusat. Vertigo bukan
suatu penyakit melainkan suatu gejala penyakit yang letak lesi dan penyebabnya berbeda,
oleh karena itu harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat untuk
menentukan bentuk vertigo, letak lesi, dan penyebabnya. Pada teori dijelaskan bahwa
pemeriksaan fisik standar untuk vertigo adalah Dix-Hallpike dan tes kalori, tujuannya
adalah untuk memprovokasi serangan vertigo, melihat nistagmus, menentukan letak lesi
sentral/perifer, serta mengetahui fungsi vestibuler.
Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien didapatkan hasil tanda-tanda
vital dalam batas normal, pemeriksaan fisik dalam batas normal, dan pada pemeriksaan
neurologis juga didapatkan hasil yang masih dalam batas normal dimana tidak ada kesan
25
lateralisasi. Pada kasus tersebut tidak dilakukan pemeriksaan pemeriksaan keseimbangan
Romberg test mengingat kondisi pasien yang tidak memungkinkan untuk melakukan
pemeriksaan ini. Namun pada pemeriksaan manuver Dix-Hallpike didapatkan hasil ada
keluhan pusing berputar dan nistagmus pada kedua mata pasien. Pemeriksaan fisik yang
dilakukan pada kasus sudah cukup sesuai dengan penjelasan pada teori1,3.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
dilakukan maka pasien didiagnosa dengan Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV).
Hal ini sudah sesuai dengan teori mengenai kriteria diagnosis BPPV.
Tujuan penatalaksanaan vertigo selain kausal (jika ditemukan penyebabnya) ialah
untuk memperbaiki ketidakseimbangan vestibular melalui modulasi transmisi saraf,
umumnya digunakan obat yang bersifat antikolinergik. Penatalaksanaan vertigo dibagi
menjadi penatalaksanaan non farmakologi dan farmakologi. Penatalaksanaan farmakologi
pada vertigo tidak secara rutin dilakukan. Secara umum penatalaksanaan medikamentosa
mempunyai tujuan utama: eliminasi keluhan vertigo, memperbaiki proses-proses
kompensasi vestibuler, dan mengurangi gejala neurovegetatif ataupun psikoafektif.
Pengobatan untuk vertigo yang disebut juga pengobatan suppressant vestibular yang
digunakan adalah golongan benzodiazepine dan antihistamin3,6.
Pengobatan suppressant vestibular yang digunakan adalah golongan
benzodiazepine (diazepam, clonazepam, alprazolam) dan antihistamin. Benzodiazepine
merupakan modulator GABA berfungsi untuk mengurangi sensasi berputar berperan
sebagai supresan vestibuler. Antihistamin merupakan antivertigo berperan juga sebagai
supresan vestibuler meskipun mekanismenya tidak banyak diketahui. Betahistine sebagai
prekursor histamine, efek antivertigo obat ini diperkirakan dari efek vasodilatasinya
sehingga dapat memperbaiki aliran darah pada mikrosirkulasi di daerah telinga tengah dan
sistem vestibuler. Pemberian anti mual dan anti emetik (ranitidin dan ondansentron)
berfungsi untuk mengatasi gejala motion sickness pada pasien.3,5,6
Penatalaksanaan yang diberikan pada kasus diantaranya pemberian cairan infus
NaCl 0,9% (20 tpm), injeksi ondansentron, injeksi ranitidin, pemberian betahistin 2 x 24
mg, diazepam 2 x 5 mg dan antasida 3 x CI. Penatalaksaan pada kasus tersebut sudah
sesuai dengan penatalaksanaan yang dijelaskan pada teori.

26
BAB 5
SIMPULAN

Vertigo adalah sensasi gerakan dari tubuh seperti memutar tanpa sensasi putaran yang
sebenarnya. Gangguan ini termasuk kedalam gangguan keseimbangan, biasanya dipicu
perubahan posisi kepala terhadap gaya gravitasi, tanpa adanya keterlibatan lesi di susunan
saraf pusat. Vertigo yang paling sering ditemukan adalah jenis BPPV.
Adapun diagnosis vertigo dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang tepat. Pada anamnesis pasien sering mengeluhkan rasa pusing berputar dapat
diikuti keluhan mual, muntah, dan keringat dingin sewaktu merubah posisi kepala.
Pendekatan klinis terhadap keluhan vertigo adalah menentukan penyebab, apakah kelainan
sentral atau berkaitan dengan sistem vestibuler. Pemeriksaan fisik standar untuk vertigo
adalah Dix-Hallpike dan Tes Kalori yang bertujuan untuk memprovokasi serangan vertigo,
melihat adanya nistagmus, menentukan letak lesi, serta mengetahui fungsi vestibuler.
Penatalaksanaan vertigo dapat dikelompokkan menjadi penatalaksanaan
nonfarmakologi dan farmakologi. Salah satu contoh penanganan nonfarmakologi adalah
Particle Repositioning Manuver (PRM) diantaranya adalah manuver Epley dan Brandt-
Darrof exercise. Tujuan manuver ini adalah untuk mengembalikan partikel ke posisi
awalnya yaitu pada makula utrikulus. Terapi farmakologi bertujuan untuk eliminasi
keluhan vertigo, memperbaiki kompensasi vestibuler, dan mengurangi gejala
neurovegetatif.
Berdasarkan analisis tinjauan pustaka yang telah dilakukan didapatkan kesesuaian
antara penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien dengan teori
mengenai BPPV.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Edw ard, Y., Roza, Y. 2014. Laporan Kasus: Diagnosis dan Tatalaksana Benign
Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) Horizontal Berdasarkan Head Roll Test.
Andalas: Jurnal Kesehatan Andalas. Hal: 77-79
2. Akbar, M. 2013. Diagnosis Vertigo: Symposium Epilepsy and Vertigo. Makasar:
IPTEK Unhas. Hal: 1-7
3. Purnamasari, P.F. 2014. Diagnosis dan Tata Laksana Benign Paroxysmal
Positional Vertigo (BPPV). Denpasar: Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas
Kedokteran Udayana. Hal: 3-22
4. Anonim. 2014. Vertigo Perifer. Yogyakarta
5. Falenra, S. 2014. A 38 Years Old Man With Benign Paroxysmal Positional Vertigo
(BPPV). Lampung: Jurnal Medula Unila Vol. 3 No. 2. Hal: 113-115
6. Wahyudi, K.T. 2012. Tinjauan Pustaka: Vertigo Vol 39 No 10. Jakarta: Kalbe
Farma. Hal: 738-741
7. Caldas, M.A., Cristina F.G., Fernando F.G., Mauricio M.G., Heloisa H.C., 2009.
Clinical features of benign paroxysmal positional vertigo. Brazilian Journal of
Otorhinolaryngology 75 (4): 502-506.
8. Liston, S.L., dan Duvall, A.J., Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Telinga. Dalam:
Adams, G.L., Boie, Jr., dan Highler, P.A., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed.
Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran: Hal. 27-38.
9. Hornibrook J. 2011. Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV): History,
Pathophysiology, Office Treatment and Future Directions. Hindawi Publishing
Corporation International Journal of Otolaryngology 21
10. Fife D.T. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. Semin Neurol Journal, 2009. Hal.
29:500-508.
11. Moon, S.Y., Ji S.K., Byung-Kun K., Jae I.K., Hyung L., Sung-Il S., et al., 2006.
Clinical characteristics of benign paroxysmal positional vertigo in Korea: a
multicenter study. J Korean Med Sci 21: 539-543.
12. Bhattacharyya N, Baugh F R, Orvidas L. Clinical Practice Guideline: Benign
Paroxysmal Positional Vertigo. Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2008. Hal.
139.

28

Anda mungkin juga menyukai