Oleh :
dr. Kadek Ayu Sagita Putri, S.Ked
Dokter Pembimbing :
dr. Tri Premani, Sp.S
Dokter Pendamping :
dr. Putu Apri Dianti
dr. A.A.B. Kamayana
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul topik “Diagnosis dan
Penatalaksanaan pada Seorang Penderita dengan Benign Paroxysmal Positional Vertigo”.
Laporan ini disusun dalam rangka menjalani Program Internsip Dokter Indonesia
(PIDI) periode 2018 s/d 2019 di Rumkit Tk. II Udayana Denpasar. Tidak lupa penulis
ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan
laporan kasus ini kepada dr. Tri Premani,Sp.S selaku dokter pembimbing serta dr.Putu Apri
Dianti dan dr. A.A.B. Kamayana selaku dokter pendamping yang telah memberikan
bimbingan kepada penulis dalam penyusunan dan penyempurnaan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga
tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi...............................................................................................................................3
2.2 Anatomi Telinga Dalam.....................................................................................................3
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko.................................................................................................5
2.4 Patofisiologi........................................................................................................................5
2.5 Klasifikasi...........................................................................................................................7
2.6 Kriteria Diagnosis...............................................................................................................9
2.7 Diagnosis Banding.............................................................................................................13
2.8 Penatalaksanaan..................................................................................................................14
2.9 Komplikasi.........................................................................................................................17
2.10 Prognosis............................................................................................................................18
BAB 3 LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien...................................................................................................................19
3.2 Anamnesis..........................................................................................................................19
3.3 Pemeriksaan Fisik...............................................................................................................20
3.4 Pemeriksaan Neurologis.....................................................................................................21
3.5 Pemeriksaan Penunjang......................................................................................................22
3.6 Diagnosis Kerja..................................................................................................................22
3.7 Penatalaksanaan..................................................................................................................22
3.8 Follow Up...........................................................................................................................23
BAB 4 PEMBAHASAN...................................................................................................................25
BAB 5 SIMPULAN..........................................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................28
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Hal inilah yang dapat menganggu kehidupan seorang penderita vertigo sehingga aktivitas
kesehariannya tidak berjalan dengan baik.
Penulis tertarik untuk mengangkat BPPV sebagai laporan kasus oleh karena angka
kejadiannya yang tinggi dan sering ditemui di masyarakat dengan gejala yang ditimbulkan
cukup membuat kualitas hidup seseorang terganggu dengan demikian, sebagai seorang
dokter layanan primer diharapkan dapat memberikan penanganan pertama terhadap
seseorang yang mengalami gangguan tersebut.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Vertigo berasal dari bahasa latin “vertere” yang berarti memutar. Vertigo termasuk
kedalam gangguan keseimbangan yang dinyatakan sebagai pusing, pening, atau
sempoyongan, rasa seperti melayang atau dunia seperti jungkir balik. Vertigo yang paling
sering ditemukan adalah Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV).1,2,3
BPPV merupakan vertigo yang timbul bila terjadi perubahan posisi kepala terhadap gaya
gravitasi atau sikap tertentu, tanpa adanya keterlibatan lesi di susunan saraf pusat. BPPV
termasuk vertigo perifer karena kelainannya terdapat pada telinga dalam, yaitu pada sistem
vestibularis. Benign dan paroksismal merupakan karakteristik dari vertigo posisional yang
seharusnya tidak menyebabkan gangguan susunan saraf pusat dan secara umum memiliki
prognosis yang baik. Paroksismal yang dimaksud adalah onset vertigo yang terjadi secara
tiba-tiba dan berlangsung cepat biasanya tidak lebih dari 1 menit.3,7
3
arteri auditorius interna cabang dari arteri cerebelaris inferior. Aliran darah vena bersama
dengan aliran arteri. 8
Bagian vestibular dari labirin terdiri dari tiga kanalis semisirkularis, yakni kanal
anterior, posterior, dan horisontal . Ketiga kanalis semisirkularis ini mendeteksi akselerasi
angular. Setiap kanalis semisirkularis terisi oleh endolimfe dan pada bagian dasarnya
terdapat penggelembungan yang disebut sebagai ampula. Ampula mengandung kupula,
suatu masa gelatin yang memiliki densitas yang sama dengan endolimfe, serta melekat
pada sel rambut. Labirin juga terdiri dari dua struktur otolith, yakni utrikulus dan sakulus
yang mendeteksi akselerasi linear, termasuk deteksi terhadap gravitasi. Organ reseptornya
adalah makula. Makula utrikulus terletak pada dasar utrikulus kira-kira di bidang kanalis
semisirkularis horisontal. Makula sakulus terletak pada dinding medial sakulus dan
terutama terletak di bidang vertikal. Pada setiap makula terdapat sel rambut yang
mengandung endapan kalsium yang disebut otolith (otokonia). Makula pada utrikulus
diperkirakan sebagai sumber dari partikel kalsium yang menjadi penyebab BPPV. Kupula
adalah sensor gerak untuk kanalis semisirkularis dan ini teraktivasi oleh defleksi yang
disebabkan oleh aliran endolimfe. Pergerakan kupula oleh karena endolimfe dapat
menyebabkan respon, baik berupa rangsangan atau hambatan, tergantung pada arah dari
gerakan dan kanalissemisirkularis yang terkena. Kupula membentuk barier yang
impermeabel yang melintasi lumen dari ampula, sehingga partikel dalam kanalis
semisirkularis hanya dapat masuk atau keluar kanal melalui ujung yang tidak mengandung
ampula.8
4
Ampulofugal berarti pergerakan yang menjauhi ampula, sedangkan ampulapetal
berarti gerakan mendekati ampula. Pada kanal semisirkular posterior dan superior, defleksi
utrikulofugal dari kupula bersifat merangsang (stimulatory) dan defleksi utrikulopetal
bersifat menghambat (inhibitory). Pada kanalis semisirkularis lateral, terjadi yang
sebaliknya.8
2.4 Patofisiologi
Vertigo atau BPPV disebabkan ketika otolith yang terdiri dari kalsium karbonat pada
makula utrikulus yang lepas dan bergerak dalam lumen dari salah satu kanal semisirkular.
Kalsium tersebut dua kali lebih padat dibandingkan endolimfe sehingga bergerak sebagai
respon terhadap gaya gravitasi dan pergerakan akseleratif lainnya. Pada saat kristal kalsium
karbonat bergerak dalam kanal semisirkular menyebabkan pergerakan endolimfe yang
menstimulasi ampula pada kanal yang terkena sehingga mengakibatkan vertigo.3,9,10
Arah nistagmus ditentukan oleh eksitasi saraf ampul pada kanal yang terkena pada
sambungan langsung dengan otot ekstraokuler. Setiap kanal yang terkena kanalitiasis
memiliki karakteristik nistagmus tersendiri, kanalitiasis mengacu pada partikel kalsium
yang bergerak bebas dalam kanal semisirkular.6,10
Penyebab lepasnya kristal kalsium belum dipahami dengan pasti, namun debris
kalsium dapat pecah karena trauma atau infeksi virus dan dalam banyak keadaan dapat
terjadi tanpa trauma atau penyakit yang diketahui. Diperkirakan ada kaitannya dengan
perubahan protein dan matriks gelatin dari membran otolith yang berkaitan dengan usia.3
2.5 Klasifikasi
6
BPPV dapat disebabkan baik oleh kanalitiasis ataupun kupulolitiasis dan secara
teori dapat mengenai ketiga kanalis semisirkularis, walaupun terkenanya kanalis anterior
(superior) sangat jarang. Bentuk yang paling sering adalah bentuk kanalis posterior, diikuti
bentuk lateral. Sedangkan bentuk kanalis anterior dan bentuk polikanalikular adalah bentuk
yang paling tidak umum.9,10
a. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Tipe Kanalis Posterior (inferior)9
BPPV yang paling sering terjadi adalah tipe kanalis posterior. Ini tercatat pada 85% sampai
90% dari kasus BPPV, karena itu, jika tidak diklasifikasikan, BPPV umumnya mengacu
pada BPPV bentuk kanalis posterior. Penyebab paling sering terjadinya BPPV kanalis
posterior adalah kanalitiasis. Hal ini dikarenakan debris endolimfe yang terapung bebas
cenderung jatuh ke kanalis posterior disebabkan karena kanal ini adalah bagian vestibulum
yang berada pada posisi yang paling bawah saat kepala pada posisi berdiri ataupun
berbaring.
Mekanisme dimana kanalitiasis menyebabkan nistagmus dalam kanalis semisirkularis
posterior digambarkan oleh Epley. Partikel harus berakumulasi menjadi "massa kritis" di
bagian bawah dari kanalis semisirkularis posterior. Kanal tersebut bergerak ke bagian yang
paling rendah pada saat orientasi dari kanalis semisirkularis berubah karena posisi dan
gravitasi. Tarikan yang dihasilkan harus dapat melampaui resistensi dari endolimfe pada
kanalis semisirkularis dan elastisitas dari barier kupula, agar bisa menyebabkan defleksi
pada kupula. Waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya hal ini ditambah inersia asli dari
partikel tersebut menjelaskan periode laten yang terlihat selama manuver Dix-Hallpike.
b. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Tipe Kanalis Horizontal (Lateral)1,9
BPPV tipe kanalis horizontal adalah tipe kedua terbanyak. BPPV tipe kanalis horizontal
sembuh jauh lebih cepat dibandingkan dengan BPPV tipe kanal posterior. Hal ini
dikarenakan kanal posterior tergantung di bagian inferior dan barier kupulanya terdapat
pada ujung yang lebih pendek dan lebih rendah. Debris yang masuk dalam kanalis posterior
akan terperangkap di dalamnya. Sedangkan kanalis horizontal memiliki barier kupula yang
terletak di ujung atas. Karena itu, debris bebas yang terapung di kanalis horizontal akan
cenderung untuk mengapung kembali ke utrikulus sebagai akibat dari pergerakan kepala.
BPPV kanalis horizontal adalah suatu bentuk varian dari BPPV yang pertama kali
diperkenalkan oleh McClure tahun 1985 dengan karakteristik vertigo posisional yang
7
diikuti nistagmus horizontal berubah arah. Arah nistagmus horizontal yang terjadi dapat
berupa geotropik (arah gerakan fase cepat ke arah telinga di posisi bawah) atau
apogeotropik (arah gerakan fase cepat ke arah telinga di posisi atas) selama kepala
dipalingkan ke salah satu sisi dalam posisi telentang. Nistagmus geotropik terjadi karena
adanya otolith yang terlepas dari utrikulus dan masuk ke dalam lumen posterior kanalis
horizontal (kanalithiasis), sedangkan nistagmus apogeotropik terjadi karena otolith yang
terlepas dari utrikulus menempel pada kupula kanalis horizontal (kupulolithiasis) atau
karena adanya fragmen otokonia di dalam lumen anterior kanalis horizontal (kanalolithiasis
apogeotropik).
Dalam kanalitiasis pada kanalis horizontal, partikel paling sering terdapat di lengan
panjang dari kanal yang relatif jauh dari ampula. Jika pasien melakukan pergerakan kepala
menuju ke sisi telinga yang terkena, partikel akan membuat aliran endolimfe ampulopetal,
yang bersifat stimulasi pada kanal horizontal. Nistagmus geotropik (fase cepat menuju
tanah) akan terlihat. Jika pasien berpaling dari sisi yang terkena, partikel akan menciptakan
arus hambatan ampulofugal. Meskipun nistagmus akan berada pada arah yang berlawanan,
itu akan tetap menjadi nistagmus geotropik, karena pasien sekarang menghadap ke arah
berlawanan. Stimulasi kanal menciptakan respon yang lebih besar daripada respon
hambatan, sehingga arah dari gerakan kepala yang menciptakan respon terkuat (respon
stimulasi) merupakan sisi yang terkena pada geotropik nistagmus.1,9,10
Kupulolitiasis memiliki peranan yang lebih besar pada BPPV tipe kanalis horizontal
dibandingkan tipe kanal posterior. Karena partikel melekat pada kupula, vertigo sering kali
berat dan menetap saat kepala berada dalam posisi provokatif. Ketika kepala pasien
dimiringkan ke arah sisi yang terkena, kupula akan mengalami defleksi ampulofugal
(inhibitory) yang menyebabkan nistagmus apogeotrofik. Ketika kepala dimiringkan ke arah
yang berlawanan akan menimbulkan defleksi ampulopetal (stimulatory), menghasilkan
nistagmus apogeotrofik yang lebih kuat. Karena itu, memiringkan kepala ke sisi yang
terkena akan menimbulkan respon yang terkuat. Apogeotrofik nistagmus terdapat pada
27% dari pasien yang memiliki BPPV tipe kanal horizontal. 1,9,10
Berdasarkan hukum Ewald kedua, stimulasi ampulopetal lebih kuat daripada
stimulasi ampulofugal pada kanalis semisirkularis horizontal. Arah putaran kepala yang
8
mengakibatkan intensitas vertigo dan nistagmus yang kuat akan menunjukkan letak telinga
yang sakit pada nistagmus geotropik dan telinga yang sehat pada nistagmus apogeotropik.1
10
periode laten. Nistagmus dan keluhan vertigo berlangsung lebih dari 1 menit, bila diulang-
ulang reaksi tetap seperti semula (non-fatigue).
b. Tes Kalori
Pemeriksaan ini dianjurkan oleh Dix dan Hallpike, prosedur pemeriksaan ini dipakai 2
macam air yaitu panas dan dingin. Suhu air dingin adalah 30° sedangkan suhu air panas
adalah 44°. Kedua telinga diirigasi bergantian dengan air dingin dan air hangat. Volume air
yang dialirkan ke dalam liang telinga masing-masing 250 ml, dalam waktu 40 detik, setelah
air dialirkan dicatat lama nistagmus yang timbul. Jika telinga kiri diperiksa dengan air
dingin, maka telinga kanan diperiksa dengan air dingin begitu pula sebaliknya saat
menggunakan air panas. Pada tiap-tiap pemeriksaan (telinga kiri/kanan atau air
dingin/panas) pasien diistirahatkan selama 5 menit (untuk menghilangkan pusingnya).
Dengan tes ini dapat ditentukan adanya kanal paresis atau directional preponderance ke
kiri atau ke kanan. Kanal paresis adalah jika abnormalitas ditemukan di satu telinga, baik
setelah rangsang air hangat maupun air dingin, sedangkan directional preponderance ialah
jika abnormalitas ditemukan pada arah nistagmus yang sama di masing-masing telinga.
Kanal paresis menunjukkan lesi perifer di labirin atau n.VIII, sedangkan directional
preponderance menunjukkan lesi sentral.
c. Supine Roll Test (Pagnini-McClure Maneuver)
BPPV kanalis semisirkularis horizontal dapat dideteksi dengan menggunakan manuver
supine roll test. Supine roll test dilakukan dengan memutar kepala pasien 90° ke sisi kiri
atau kanan pada posisi telentang dengan mengangkat kepala 30° dari garis horizontal bumi,
sambil mengobservasi nistagmus yang ditimbulkan. Setelah nistagmus yang muncul
11
menghilang, kepala pasien kembali menghadap posisi semula (wajah menghadap keatas
dalam posisi telentang), pada posisi ini dapat muncul kembali nistagmus, setelah nistagmus
tambahan hilang, kepala pasien dengan cepat dipalingkan 90° kearah berlawanan, observasi
nistagmus yang muncul. Nistagmus yang muncul pada waktu melakukan manuver supine
roll test menggambarkan tipe BPPV kanalis horizontal. Jika vertigo dan nistagmus yang
muncul pada manuver supine roll test mempunyai intensitas yang sama antara telinga kiri
dan kanan, maka letak telinga yang sakit ditentukan dengan manuver lainnya yang tidak
membandingkan intensitas dari vertigo dan nistagmus dengan bantuan elektronistagmografi
(ENG), seperti bow and lean test, dan lying down dan head bending nystagmus.
2.8 Penatalaksanaan
Adapun penatalaksanaan vertigo dapat dikelompokkan menjadi penatalaksanaan
nonfarmakologi dan farmakologi. Terapi BPPV tergantung pada patofisologi dan jenis
kanal yang terlibat. Tujuan terapi adalah melepaskan otokonia dari dalam kanalis atau
kupula, mengarahkan agar keluar dari kanalis semisirkularis menuju utrikulus melalui
ujung non ampulatory kanal. Tujuan penatalaksanaan vertigo selain kausal (jika ditemukan
penyebabnya) ialah untuk memperbaiki ketidakseimbangan vestibular melalui modulasi
transmisi saraf, umumnya digunakan obat yang bersifat antikolinergik.2,3
2.8.1 Nonfarmakologi
14
BPPV merupakan suatu penyakit yang ringan dan dapat sembuh secara spontan. Banyak
penelitian membuktikan dengan pemberian terapi dengan manuver reposisi
partikel/Particle Repositioning Manuver (PRM) dapat efektif menghilangkan vertigo,
meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi risiko jatuh pada pasien. Manuver juga
dapat menimbulkan beberapa efek samping seperti mual, muntah, vertigo, dan nistagmus,
Tujuan manuver adalah untuk mengembalikan partikel ke posisi awalnya yaitu pada
makula utrikulus. Beberapa manuver yang dapat dilakukan diantaranya, untuk menangani
BPPV kanalis posterior adalah Manuver Epley dan Manuver Semont. Sedangkan pada
kanalis horizontal, teknik manuver yang dapat dilakukan adalah Manuver Lempert,
Manuver Barbeceau, Manuver Log Roll, Manuver Gufoni dan Manuver Forced Prolonged
Position. Selain itu Brandt-Daroff Exercises dapat dilakukan sendiri oleh pasien di rumah
untuk membantu mengurangi keluhan vertigo.1,3,5,11
a. Manuver Epley
Manuver Epley adalah yang sering digunakan pada kanal vertikal. Pasien diminta untuk
menolehkan kepala ke sisi yang sakit sebesar 45°, lalu pasien berbaring dengan kepala
tergantung dan dipertahankan 1-2 menit. Kemudian kepala ditolehkan 90° ke sisi
sebaliknya dan posisi supinasi berubah menjadi lateral dekubitus dan dipertahankan 30-60
detik. Setelah itu pasien mengistirahatkan dagu pada pundaknya dan kembali ke posisi
duduk secara perlahan3,9,11.
15
Manuver ini digunakan sebagai latihan untuk di rumah dan dapat dilakukan sendiri oleh
pasien sebagai terapi tambahan pada pasien yang tetap simptomatik setelah manuver Epley.
Latihan ini dapat membantu pasien menerapkan beberapa posisi sehingga dapat menjadi
kebiasaan. Cara latihan ini yaitu pasien duduk tegak di tepi tempat tidur dengan tungkai
tergantung kemudian tutup mata dan berbaring dengan cepat ke salah satu sisi tubuh, tahan
selama 30 detik kemudian duduk tegak kembali. Setelah 30 detik baringkan tubuh dengan
cara yang sama ke sisi lain, tahan 30 detik kemudian duduk tegak kembali. Latihan ini
dilakukan berulang-ulang (5 kali berturut-turut) sampai tidak timbul vertigo lagi.3,12
Operasi dapat dilakukan pada pasien BPPV yang telah menjadi kronik dan sangat
sering mendapat serangan BPPV yang hebat, bahkan setelah melakukan manuver-manuver
yang telah disebutkan di atas. Dari literatur dikatakan indikasi untuk melakukan operasi
adalah pada intractable BPPV, yang biasanya mempunyai klinis penyakit neurologi
vestibular, tidak seperti BPPV biasa. 3,12
Terdapat dua pilihan intervensi dengan teknik operasi yang dapat dipilih, yaitu
singular neurectomy (transeksi saraf ampula posterior) dan oklusi kanal posterior
semisirkular. Namun lebih dipilih teknik dengan oklusi karena teknik neurectomi
mempunyai risiko kehilangan pendengaran yang tinggi.3,12
2.8.2 Farmakologi
Penatalaksanaan farmakologi pada vertigo tidak secara rutin dilakukan. Beberapa
pengobatan hanya diberikan untuk jangka pendek pada gejala-gejala yang timbul. Secara
umum penatalaksanaan medikamentosa mempunyai tujuan utama: eliminasi keluhan
16
vertigo, memperbaiki proses kompensasi vestibuler dan mengurangi gejala neurovegetatif
ataupun psikoafektif. Pengobatan untuk vertigo yang disebut juga pengobatan suppressant
vestibular yang digunakan adalah golongan benzodiazepine (diazepam, clonazepam) dan
antihistamin (meclizine, dipenhidramine).3,6
Benzodiazepine merupakan modulator GABA yang akan berikatan pada reseptor. Obat
ini berfungsi untuk mengurangi sensasi berputar. Efek supresan vestibular diperkirakan
terjadi melalui mekanisme sentral, namun dapat mengganggu kompensasi sentral pada
kondisi vestibuler perifer. Antihistamin merupakan penghambat reseptor histamin, saat ini
merupakan antivertigo yang banyak digunakan. Mekanisme antihistamin sebagai supresan
vestibuler tidak banyak diketahui, namun diperkirakan memiliki efek terhadap reseptor
histamin sentral sehingga berpotensi dalam mencegah dan memperbaiki “motion sickness”.
Salah satu obat yang sering digunakan untuk mengatasi keluhan vertigo pada pasien adalah
Betahistine. Betahistin merupakan obat dari kelas histaminergik yang bekerja sebagai
prekursor histamine. Efek antivertigo betahistin diperkirakan berasal dari efek
vasodilatasinya yang dapat memperbaiki aliran darah pada mikrosirkulasi di daerah telinga
tengah dan sistem vestibuler sehingga dapat diberikan untuk mengatasi gejala vertigo.3,5,6
2.9 Komplikasi
a. Canal Switch
Selama melakukan manuver untuk mengembalikan posisi kanal vertikal, partikel yang
berpindah tempat dapat bermigrasi hingga sampai ke kanal lateral, dalam 6 sampai 7% dari
kasus. Pada kasus ini, nistgamus yang bertorsional menjadi horizontal dan geotropik.12
b. Canalith Jam
Selama melakukan reposisi manuver, beberapa penderita akan merasakan beberapa gejala,
seperti vertigo yang menetap, mual, muntah dan nistagmus.12
2.10 Prognosis
Pasien perlu diedukasi secara menyeluruh mengenai BPPV. Satu dari tiga pasien sembuh
dalam jangka waktu 3 minggu, tetapi kebanyakan sembuh setelah 6 bulan dari serangan.
Pasien harus diberitahu bahwa BPPV dapat ditangani, tetapi harus diingatkan bahwa
kekambuhan sering terjadi bahkan jika terapi manuvernya berhasil, jadi terapi lainnya
17
mungkin dibutuhkan. Beberapa studi menunjukkan bahwa 15% terjadi kekambuhan pada
tahun pertama, kemudian 50% kekambuhan terjadi pada 40 bulan setelah terapi.10
18
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Pusing berputar
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Unit Gawat Darurat (UGD) dengan keluhan pusing berputar, keluhan
ini dirasakan pasien sejak 1 hari sebelum datang ke UGD. Pasien merasakan
lingkungan di sekitarnya seperti tembok dan lantai berputar saat keluhan ini muncul.
Keluhan memberat saat pasien mencoba berdiri atau merubah posisi sambil membuka
mata sehingga pasien takut untuk membuka mata. Keluhan dirasakan membaik saat
pasien menutup mata sambil tiduran dalam posisi terlentang dan tidak merubah
posisinya. Selain itu pasien juga mengeluh merasa mual dan muntah sebanyak 2 kali
sejak keluhan muncul, sakit kepala dan nyeri ulu hati yang dirasakan hingga tembus ke
punggung. Sebelum datang ke UGD pasien dikatakan sempat pingsan satu kali. Pasien
sudah sempat kontrol ke poliklinik neurologi satu hari sebelum datang ke UGD namun
keluhan dikatakan tidak membaik. Keluhan telinga mendengung atau gangguan
pendengaran disangkal.
19
Riwayat Penyakit Terdahulu
Pasien sudah pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Pada tanggal 9
Januari 2019 pasien menjalani rawat inap dengan keluhan yang sama, didiagnosis
dengan Stroke Non Hemorragik ec thrombus dd emboli, hemiparesis, vertigo perifer,
dyspepsia dan suspect HHD. Saat itu pasien diberikan terapi citicoline,
meticobalamine, asetosal, clopidogrel, betahistin mesilat, flunarizin, ranitidine,
ondancentron dan diazepam. Saat itu pasien dirawat selama 5 hari.
Selain itu pasien memiliki riwayat gangguan pada penglihatan yakni kabur saat
melihat jauh dan pasien harus menggunakan kacamata. Tidak ada riwayat penurunan
pendengaran, telinga berdengung ataupun riwayat trauma sebelum keluhan pusing
berputar muncul. Riwayat penyakit kronis lainnya seperti diabetes mellitus dan
penyakit ginjal disangkal oleh pasien.
Riwayat Pribadi/Sosial
Pasien sehari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pasien mengatakan akhir- akhir
ini pasien merasa kelelahan karena sering begadang. Selain itu pasien mengatakan
sering memikirkan ibu kandungnya yang baru saja meninggal. Kebiasaan merokok,
minum alkohol, dan rutin berolahraga disangkal oleh pasien.
21
Sensibilitas
Perasa raba : dbn dbn
Perasa nyeri : dbn dbn
Perasa suhu : Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi
Pemeriksaan Tambahan :
Pemeriksaan keseimbangan (Romberg test) : Tidak dilakukan
Manuver Dix-Hallpike : Ditemukan keluhan vertigo (+) dan nistagmus + / +
3.7 Penatalaksanaan
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Injeksi Ondansentron 2 x 1 amp (IV)
- Injeksi Ranitidin 2 x 1 amp (IV)
- Betahistin Mesilat 2 x 24 mg (PO)
- Diazepam 2 x 2 mg (PO)
- Antasida syr 3xC1 (PO)
22
3.8 Follow Up
17 Januari 2019
S: Keluhan pusing berputar membaik. Mual dan muntah membaik
O: Tekanan Darah : 130/90
GCS: E4V5M6
Status Neurologis: dalam batas normal
A:
- BPPV
- Dispepsia
- General Weakness
- Insomnia
P:
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Injeksi Ondansentron 2 x 1 amp (IV)
- Injeksi Ranitidin 2 x 1 amp (IV)
- Betahistin Mesilat 2 x 24 mg (PO)
- Diazepam 2 x 2 mg (PO)
- Antasida syr 3 x C1 (PO)
- Flunarizin 2 x 5 mg (PO)
- BPL
24
BAB 4
PEMBAHASAN
Pasien perempuan 40 tahun berinisial AK datang ke UGD dengan keluhan pusing berputar.
Berdasarkan anamnesis pada pasien keluhan pusing berputar dirasakan sejak 1 hari
sebelumnya. Keluhan memberat saat pasien mencoba berdiri atau merubah posisi sambil
membuka mata sehingga pasien takut untuk membuka mata dan membaik saat pasien
menutup mata. Selain itu pasien juga mengeluh merasa mual, muntah, sakit kepala dan
nyeri ulu hati yang dirasakan hingga tembus ke punggung.
Gejala dan tanda yang ditemukan pada kasus tersebut jika dikaitkan dengan teori
mengarah kepada diagnosis vertigo atau BPPV. Pada teori dijelaskan bahwa pasien dengan
vertigo sering mengeluhkan rasa pusing berputar yang dapat diikuti dengan keluhan mual,
muntah, dan keringat dingin sewaktu merubah posisi kepala. Pasien akan membatasi
gerakan untuk menghindari episode vertigo, perubahan posisi yang biasanya memicu
adalah tidur dengan posisi lateral, bangun dari tempat tidur, melihat ke atas dan belakang,
dan membungkuk. Vertigo sendiri didefinisikan sebagai sensasi gerakan dari tubuh seperti
memutar tanpa sensasi putaran yang sebenarnya, dapat sekelilingnya terasa berputar atau
badan yang berputar. Gangguan ini termasuk gangguan keseimbangan biasanya dipicu
perubahan posisi kepala terhadap gaya gravitasi. Data yang didapatkan dari anamnesis pada
kasus sudah sesuai dengan penjelasan yang ada pada teori.1,3
BPPV merupakan tipe vertigo vestibuler yang sering ditemukan, umumnya memiliki
prognosis yang baik dan tidak menyebabkan gangguan susunan saraf pusat. Vertigo bukan
suatu penyakit melainkan suatu gejala penyakit yang letak lesi dan penyebabnya berbeda,
oleh karena itu harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat untuk
menentukan bentuk vertigo, letak lesi, dan penyebabnya. Pada teori dijelaskan bahwa
pemeriksaan fisik standar untuk vertigo adalah Dix-Hallpike dan tes kalori, tujuannya
adalah untuk memprovokasi serangan vertigo, melihat nistagmus, menentukan letak lesi
sentral/perifer, serta mengetahui fungsi vestibuler.
Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien didapatkan hasil tanda-tanda
vital dalam batas normal, pemeriksaan fisik dalam batas normal, dan pada pemeriksaan
neurologis juga didapatkan hasil yang masih dalam batas normal dimana tidak ada kesan
25
lateralisasi. Pada kasus tersebut tidak dilakukan pemeriksaan pemeriksaan keseimbangan
Romberg test mengingat kondisi pasien yang tidak memungkinkan untuk melakukan
pemeriksaan ini. Namun pada pemeriksaan manuver Dix-Hallpike didapatkan hasil ada
keluhan pusing berputar dan nistagmus pada kedua mata pasien. Pemeriksaan fisik yang
dilakukan pada kasus sudah cukup sesuai dengan penjelasan pada teori1,3.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
dilakukan maka pasien didiagnosa dengan Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV).
Hal ini sudah sesuai dengan teori mengenai kriteria diagnosis BPPV.
Tujuan penatalaksanaan vertigo selain kausal (jika ditemukan penyebabnya) ialah
untuk memperbaiki ketidakseimbangan vestibular melalui modulasi transmisi saraf,
umumnya digunakan obat yang bersifat antikolinergik. Penatalaksanaan vertigo dibagi
menjadi penatalaksanaan non farmakologi dan farmakologi. Penatalaksanaan farmakologi
pada vertigo tidak secara rutin dilakukan. Secara umum penatalaksanaan medikamentosa
mempunyai tujuan utama: eliminasi keluhan vertigo, memperbaiki proses-proses
kompensasi vestibuler, dan mengurangi gejala neurovegetatif ataupun psikoafektif.
Pengobatan untuk vertigo yang disebut juga pengobatan suppressant vestibular yang
digunakan adalah golongan benzodiazepine dan antihistamin3,6.
Pengobatan suppressant vestibular yang digunakan adalah golongan
benzodiazepine (diazepam, clonazepam, alprazolam) dan antihistamin. Benzodiazepine
merupakan modulator GABA berfungsi untuk mengurangi sensasi berputar berperan
sebagai supresan vestibuler. Antihistamin merupakan antivertigo berperan juga sebagai
supresan vestibuler meskipun mekanismenya tidak banyak diketahui. Betahistine sebagai
prekursor histamine, efek antivertigo obat ini diperkirakan dari efek vasodilatasinya
sehingga dapat memperbaiki aliran darah pada mikrosirkulasi di daerah telinga tengah dan
sistem vestibuler. Pemberian anti mual dan anti emetik (ranitidin dan ondansentron)
berfungsi untuk mengatasi gejala motion sickness pada pasien.3,5,6
Penatalaksanaan yang diberikan pada kasus diantaranya pemberian cairan infus
NaCl 0,9% (20 tpm), injeksi ondansentron, injeksi ranitidin, pemberian betahistin 2 x 24
mg, diazepam 2 x 5 mg dan antasida 3 x CI. Penatalaksaan pada kasus tersebut sudah
sesuai dengan penatalaksanaan yang dijelaskan pada teori.
26
BAB 5
SIMPULAN
Vertigo adalah sensasi gerakan dari tubuh seperti memutar tanpa sensasi putaran yang
sebenarnya. Gangguan ini termasuk kedalam gangguan keseimbangan, biasanya dipicu
perubahan posisi kepala terhadap gaya gravitasi, tanpa adanya keterlibatan lesi di susunan
saraf pusat. Vertigo yang paling sering ditemukan adalah jenis BPPV.
Adapun diagnosis vertigo dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang tepat. Pada anamnesis pasien sering mengeluhkan rasa pusing berputar dapat
diikuti keluhan mual, muntah, dan keringat dingin sewaktu merubah posisi kepala.
Pendekatan klinis terhadap keluhan vertigo adalah menentukan penyebab, apakah kelainan
sentral atau berkaitan dengan sistem vestibuler. Pemeriksaan fisik standar untuk vertigo
adalah Dix-Hallpike dan Tes Kalori yang bertujuan untuk memprovokasi serangan vertigo,
melihat adanya nistagmus, menentukan letak lesi, serta mengetahui fungsi vestibuler.
Penatalaksanaan vertigo dapat dikelompokkan menjadi penatalaksanaan
nonfarmakologi dan farmakologi. Salah satu contoh penanganan nonfarmakologi adalah
Particle Repositioning Manuver (PRM) diantaranya adalah manuver Epley dan Brandt-
Darrof exercise. Tujuan manuver ini adalah untuk mengembalikan partikel ke posisi
awalnya yaitu pada makula utrikulus. Terapi farmakologi bertujuan untuk eliminasi
keluhan vertigo, memperbaiki kompensasi vestibuler, dan mengurangi gejala
neurovegetatif.
Berdasarkan analisis tinjauan pustaka yang telah dilakukan didapatkan kesesuaian
antara penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien dengan teori
mengenai BPPV.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Edw ard, Y., Roza, Y. 2014. Laporan Kasus: Diagnosis dan Tatalaksana Benign
Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) Horizontal Berdasarkan Head Roll Test.
Andalas: Jurnal Kesehatan Andalas. Hal: 77-79
2. Akbar, M. 2013. Diagnosis Vertigo: Symposium Epilepsy and Vertigo. Makasar:
IPTEK Unhas. Hal: 1-7
3. Purnamasari, P.F. 2014. Diagnosis dan Tata Laksana Benign Paroxysmal
Positional Vertigo (BPPV). Denpasar: Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas
Kedokteran Udayana. Hal: 3-22
4. Anonim. 2014. Vertigo Perifer. Yogyakarta
5. Falenra, S. 2014. A 38 Years Old Man With Benign Paroxysmal Positional Vertigo
(BPPV). Lampung: Jurnal Medula Unila Vol. 3 No. 2. Hal: 113-115
6. Wahyudi, K.T. 2012. Tinjauan Pustaka: Vertigo Vol 39 No 10. Jakarta: Kalbe
Farma. Hal: 738-741
7. Caldas, M.A., Cristina F.G., Fernando F.G., Mauricio M.G., Heloisa H.C., 2009.
Clinical features of benign paroxysmal positional vertigo. Brazilian Journal of
Otorhinolaryngology 75 (4): 502-506.
8. Liston, S.L., dan Duvall, A.J., Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Telinga. Dalam:
Adams, G.L., Boie, Jr., dan Highler, P.A., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed.
Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran: Hal. 27-38.
9. Hornibrook J. 2011. Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV): History,
Pathophysiology, Office Treatment and Future Directions. Hindawi Publishing
Corporation International Journal of Otolaryngology 21
10. Fife D.T. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. Semin Neurol Journal, 2009. Hal.
29:500-508.
11. Moon, S.Y., Ji S.K., Byung-Kun K., Jae I.K., Hyung L., Sung-Il S., et al., 2006.
Clinical characteristics of benign paroxysmal positional vertigo in Korea: a
multicenter study. J Korean Med Sci 21: 539-543.
12. Bhattacharyya N, Baugh F R, Orvidas L. Clinical Practice Guideline: Benign
Paroxysmal Positional Vertigo. Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2008. Hal.
139.
28