Anda di halaman 1dari 26

Laporan Kasus

ABSES RETROFARING

Oleh:
Deswan Capri Nugraha, S.Ked
Retno Anjar Sari, S.Ked

Pembimbing:
dr. Puspa Zuleika, Sp.THT-KL, M.Kes

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL FK UNSRI/


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Case

Judul: Benda Asing Bronkoesofagus

Disusunoleh :

Retno Anjasari,S.Ked (04054821618018)

Deswan Capri Nugraha, S.Ked (04084821517068)

Telah diterima sebagai salah satun syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
Ilmu Kesehatan THT-KLFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang periode 30 Januari 2017- 6 Maret 2017.

Palembang, 8 Februari 2017

Pembimbing

Dr. Puspa Z, Sp.T.H.T.K.L, M.Kes


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul Abses Retrofaring untuk memenuhi tugas laporan kasus yang merupakan
salah satu syarat mengikuti kepaniteraan klinik senior di Bagian/Departemen THT-KL
RSUP DR. Moh. Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Puspa Zuleika, Sp.THT-KL, M.Kes
selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan
penyusunan laporan kasus ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa yang
akan datang. Mudah-mudahan laporan ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi kita
semua.

Palembang, 8 Februari 2017

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL...........................................................................................................i

KATA PENGANTAR........................................................................................................iii

DAFTAR ISI.....................................................................................................................iv

PENDAHULUAN..............................................................................................................1

KEKERAPAN....................................................................................................................3

ANATOMI.........................................................................................................................3

DEFINISI...........................................................................................................................7

ETIOLOGI.........................................................................................................................9

PATOGENESIS..................................................................................................................9

DIAGNOSIS 9

GEJALA DAN TANDA ..................................................................................................10

PEMERIKSAAN FISIK...................................................................................................11

PENATALAKSANAAN..................................................................................................12

LAPORAN KASUS ........................................................................................................15

DISKUSI 15

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................18

STATUS PASIEN.............................................................................................................20
PENDAHULUAN

Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan


membuka mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses
leher dalam.1 Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia
leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi,
mulut tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik
biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam yang
terlibat.Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus,
Staphylococcus, kuman anaerob Bacterioides atau kuman campuran. Abses leher
dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring, abses
submandibula dan angina Ludovici (Ludwigs angina).2,3,4,5
Abses retrofaring biasanya terjadi pada anak yang berusia dibawah 5 tahun. 6
Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar
limfa, masing-masing 2 sampai 5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini
menampung aliran limfa dari hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring tuba
Eustachius dan telinga tengah.7 Pada usia di atas 6 tahun kelenjar limfa akan
mengalami atrofi.
Insidens abses retrofaring di Amerika Serikat tahun 2003 yaitu sebanyak
1321 kasus. Di Taiwan, dari 50 kasus infeksi leher bagian dalam, 9 kasus
diantaranya merupakan abses retrofaring, 17 kasus abses parafaring, 21 kasus
abses peritonsilar, dan 3 kasus lainnya campuran. 9 Kasus abses retrofaring saat ini
sudah mulai menurun karena penggunaan antibiotik yang luas untuk keadaan
infeksi saluran napas bagian atas.8,9

KEKERAPAN
Abses retrofaring jarang ditemukan dan lebih sering terjadi pada anak di
bawah usia 5 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring
masih berisi kelenjar limfe. Penelitian selama 35 tahun terhadap anak-anak yang
diterapi di Childrens Hospital, Los Angeles dijumpai sebanyak 50% kasus
berusia kurang dari 3 tahun dan 71% kasus berusia kurang dari 6 tahun.
Sedangkan di Sydney, Australia didapati sebanyak 55% kasus berusia kurang dari
1 tahun dimana 10% diantaranya dijumpai pada periode neonatus.9

Lander dkk menemukan 1.321 kasus abses retrofaring di Amerika Serikat


pada tahun 2003 saja. Salah satu studi di Jerman menemukan angka kejadian
6,4% kasus abses retrofaring selama 8 tahun.18

Perhiscar dan Har-El tahun 2001 melakukan penelitian retrospektif pada


210 kasu abses leher dalam dari tahun 1991-1998. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut didapatkan jumlah kasus abses parafaring 4,3%, abses submandibula
23%, Ludwig Angina 17% dan kasus abses retrofaring 12%.19

Fachrudin melaporkan 3 kasus abses retrofaring dari 33 kasus infeksi leher


dalam selama 3 tahun dari Januari 1991-Desember 1993 di bagian THT RSUPN
Cipto Mangunkusumo. Sedangkan di bagian THT-KL RSUP M. Djamil Padang
tercatat dari 49 kasus abses leher dalam dari Januari 2005 sampai Juli 2007. Abses
peritonsil 25 kasus sebesar 51,02%, abses submandibula 13 kasus sebesar 26,53%,
abses parafaring 6 kasus sebanyak 12,24% dan abses retrofaring 5 kasus sebesar
10,21%. 20

Varqa dan Naipao tahun 2006 melakukan studi retrospektif pada 103 kasus
abses leher dalam. Kasus Ludwig Angina 37%, abses parafaring 11% kasus, abses
submandibula 27% kasus dan abses retrofaring 5% kasus.21

ANATOMI

Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang membungkus
organ, otot, saraf, dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa
ruang potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu fasia servikalis
superfisialis dan fasia servikalis profunda.7

Fasia servikalis superfisialis terletak tepat di bawah kulit leher berjalan


dari perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke
bawah ke arah toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang
antara fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar
limfe superfisial, saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna.7,8

Fasia servikalis profunda terdiri dari 3 lapisan yaitu:8

1. Lapisan superfisial
Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar
tengkorak sampai daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar
ke daerah wajah dan melekat pada klavikula serta membungkus m.
sternokleidomastoideus, m. trapezius, m. maseter, kelenjar parotis dan
kelenjar submaksila. Lapisan ini disebut juga lapisan eksternal, investing
layer, lapisan pembungkus, dan lapisan anterior.7,8

2. Lapisan media
Lapisan ini dibagi atas 2 divisi yaitu divisi muskular dan visera. Divisi
muskular terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan
membungkus m. sternohioid, m. sternotiroid, m. tirohioid dan m.
omohioid. Di bagian superior melekat pada os hioid dan kartilago tiroid
serta dibagian inferior melekat pada sternum, klavikula dan scapula.7

Divisi visera membungkus organ organ anterior leher yaitu kelenjar


tiroid, trakea dan esofagus. Di sebelah posterosuperior berawal dari dasar
tengkorak bagian posterior sampai ke esofagus sedangkan bagian anterosuperior
melekat pada kartilago tiroid dan os hioid. Lapisan ini berjalan ke bawah sampai
ke thoraks, menutupi trakea dan esofagus serta bersatu dengan perikardium. Fasia
bukofaringeal merupakan bagian dari divisi visera yang berada pada bagian
posterior faring dan menutupi m. konstriktor faringeal dan m. buccinators.7
Gambar 1.Potongan axial servikal setinggi level T1 menunjukan fascia superfisial dan
profunda.8

3. Lapisan profunda
Lapisan ini dibagi menjadi 2 divisi yaitu divisi alar dan prevertebra. Divisi
alar terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi
prevertebra, yang berjalan dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II
dan bersatu dengan divisi visera lapisan media fasia servikalis profunda.
Divisi alar melengkapi bagian posterolateral ruang retrofaring dan
merupakan dinding anterior dari danger space.7

Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan ke


lateral meluas ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot di daerah
tersebut. Berjalan dari dasar tengkorak sampai ke os koksigeus serta
merupakan dinding posterior dari danger space dan dinding anterior dari
korpus vertebra. Ketiga lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk
selubung karotis (carotid sheath) yang berjalan dari dasar tengkorak
melalui ruang faringomaksilaris sampai ke toraks.
Gambar 2. Potongan melintang fasia servikalis profunda.8

Gambar 3. Ruang pada servikalis tampak lateral.8

Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring, yang dibatasi
oleh: 7,8

1. anterior: fasia bukofaringeal (divisi visera lapisan media fasia servikalis


profunda) yang mengelilingi faring, trakea, esofagus dan tiroid;
2. posterior: divisi alar lapisan profunda fasia servikalis profunda;
3. lateral 0: selubung karotis (carotid sheath) dan daerah parafaring.
Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke mediastinum
setinggi bifurkasio trakea (vertebra torakal I atau II) dimana divisi visera dan
alar bersatu. Daerah retrofaring terbagi menjadi 2 daerah yang terpisah di
bagian lateral oleh midline raphe. Tiap-tiap bagian mengandung 2-5 buah
kelenjar limfe retrofaring yang biasanya menghilang setelah berumur 4-5
tahun. Kelenjar ini menampung aliran limfe dari rongga hidung, sinus
paranasalis, nasofaring, faring, tuba Eustachius, dan telinga tengah. Daerah ini
disebut juga dengan ruang retrovisera, retroesofagus, dan ruang visera
posterior.7

Selain itu juga dijumpai daerah potensial lainnya di leher yaitu: 7,8

1. danger space, dibatasi oleh divisi alar pada bagian anterior dan divisi
prevertebra pada bagian posterior (tepat di belakang ruang retrofaring);
2. prevertebral space : dibatasi oleh divisi prevertebra pada bagian anterior
dan korpus vertebra pada bagian posterior (tepat di belakang danger
space). Ruang ini berjalan sepanjang kolumna vertebralis dan merupakan
jalur penyebaran infeksi leher dalam ke daerah koksigeus.

Gambar 4. Potongan melintang leher


setinggi level orofaring 10
10
Gambar 5. Ruang pada servikalis tampak lateral.

DEFINISI
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus
pada daerah retrofaring dan merupakan salah satu infeksi pada leher bagian
dalam (deep neck infection).7,8

ETIOLOGI
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses retrofaring adalah: 11
1. Infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring
2. Trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau
tindakan medis seperti adenoidektomi, intubasi endotrakea, dan endoskopi
3. Tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin).

Pada banyak kasus Pada banyak kasus sering ditemukan adanya kuman
aerob dan anaerob secara bersamaan. Beberapa organisme yang dapat
menyebabkan abses retrofaring adalah: 7,12
1. Bakteri aerob: Streptococcus beta hemolyticus group A (paling sering),
Streptococcus pneumoniae, Streptococcus non hemolyticus,
Staphylococcus aureus, Haemophillus sp;
2. Bakteri anaerob: Bacteroides sp, Veilonella, Peptostreptococcus,
Fusobacteria.
Secara umum abses retrofaring terbagi menjadi 2 jenis yaitu: 7

1. Akut
Sering terjadi pada anak-anak berumur di bawah 4 5 tahun. Keadaan ini
terjadi akibat infeksi pada saluran napas atas seperti pada adenoid,
nasofaring, rongga hidung, sinus paranasal, dan tonsil yang meluas ke
kelenjar limfe retrofaring (limfadenitis) sehingga menyebabkan supurasi
pada daerah tersebut. Sedangkan pada dewasa terjadi akibat infeksi
langsung oleh karena trauma akibat penggunaan instrumen (intubasi
endotrakea, endoskopi, sewaktu adenoidektomi) atau benda asing.7

2. Kronis
Biasanya terjadi pada orang dewasa atau anak-anak yang lebih tua.
Keadaan ini terjadi akibat infeksi TB pada vertebra servikalis dimana pus
secara langsung menyebar melalui ligamentum longitudinal anterior.
Selain itu abses dapat terjadi akibat infeksi TB pada kelenjar limfe
retrofaring yang menyebar dari kelenjar limfe servikal.7

PATOGENESIS
Ruang retrofaring berada di anterior fasia prevertebra yang berjalan
inferior dari basis kranii sepanjang faring. Ruang ini merupakan lanjutan
ruang parafaring dan fossa infratemporal. Ruang retrofaring dan parafaring
dipisahkan oleh fasia alar, yang merupakan barier yang kurang efektif
terhadap penyebaran infeksi. Ruang retrofaring berhubungan dengan
mediastinum superior dan posterior, sehingga dapat menjadi jalur yang
potensial penyebaran infeksi ke thoraks.13
Ruang retrofaring terdiri dari jaringan areolar longgar dan cincin limfe,
sehingga dapat mengikuti pergerakan faring dan esofagus pada saat menelan.
Kelenjar limfe retrofaring menerima aliran limfe dari hidung, sinus
paranasalis, tuba eustachius, dan faring. Pembentukan pus pada kelenjar limfe
retrofaring pada umumya terlokalisir dengan baik, sehingga penyebaran
vertikal dari infeksi biasanya terjadi setelah beberapa waktu dalam progresi
penyakit, meskipun keadaan ini jarang terjadi pada praktiknya. Sebagian besar
gejala abses retrofaring berhubungan dengan obstruksi saluran napas bagian
atas dan iritasi lokal otot (misalnya sternomastoid dan pterigoid).13
Danger space berada diantara ruang retrofaring dan ruang prevertebra
yang dipisahkan oleh dua komponen yaitu fasia alar dan fasia prevertebra. Hal
ini dapat menyebabkan penyebarab infeksi diantara basis kranii dan
mediatinum posterior sampai pada level diafragma.10
Ruang retrofaring dapat mengalami infeksi yang berkembang menjadi
abses melalui dua cara, yaitu penyebaran infeksi melalui aliran limfe (sebagian
besar) secara lokal dari sumber infeksi atau inokulasi langsung bakteri melalui
trauma tembus atau benda asing.8,14
Pada anak, abses retrofaring akut paling banyak disebabkan infeksi
saluran pernapasan atas seperti tonsilitis dan faringitis, sinusitis paranasalis,
otitis media, dan infeksi gigi yang kemudian menyebar dan menyebabkan
limfadenopati retrofaring. Limfadenopati retrofaring kemudian menyebabkan
abses retrofaring akibat supurasi kelenjar getah bening nasofaring. Hal ini
merupakan alasan abses retrofaring yang disebabkan oleh proses non-
traumatik jarang ditemukan pada orang dewasa karena kelenjar getah bening
retrofaring telah mengalami regresi.8,15
Kasus trauma tembus pada faring sebagai penyebab sekunder abses
retrofaring akut yang terjadi pada anak dapat disebabkan benda asing seperti
tulang ikan, tangkai es krim, dan pensil. Sedangkan penyebab sekunder
iatrogenik misalnya trauma post laringoskopi, intubasi endotrakeal, endoskopi,
pemasangan pipa orogastrik, maupun prosedur dental. Trauma pada faring
menyebabkan inokulasi langsung agen patogen piogenik ke dalam ruang
retrofaring yang kemudian terjadi proses supurasi dan membentuk abses.8
Abses retrofaring akut pada orang dewasa biasanya disebabkan oleh
inokulasi langsung patogen piogenik ke dalam ruang retrofaring yang
disebabkan trauma pada faring atau esofagus akibat tertelan benda asing atau
prosedur medis yang traumatik seperti endoskopi, laringoskopi direk, maupun
intubasi endotrakeal. Penyakit-penyakit seperti diabetes melitus, keganasan,
alkoholisme kronik, dan AIDS dilaporkan sebagai predisposisi abses
retrofaring pada orang dewasa.15
Abses retrofaring kronis pada anak dapat terjadi akibat infeksi
tuberkulosis. Pada anak usia kurang dari 5 tahun, abses retrofaring kronis
disebabkan penyebaran dari infeksi tuberkulosis pada kelenjar limfe servikal
dalam ke kelenjar retrofaring yang membentuk abses dingin. Abses retrofaring
kronis yang demikian dikenal sebagai tipe lateral karena secara klinis terlihat
lebih ke arah lateral dari garis tengah tubuh, fluktuan, dengan tanda inflamasi
yang minimal. Pada anak yang lebih tua dan orang dewasa abses retrofaring
kronis biasanya disebabkan spondilitis tuberkulosis pada vertebra servikalis
(Potts disease) dimana pus menyebar melalui ligamentum longitudinal
anterior dan dikenal sebagai tipe sentral. Abses terjadi diantara korpus vertebra
dan fasia prevertebra. Abses mula-mula terbentuk pada garis tengah dan
menyebar ke lateral. Pada pemeriksaan ditemukan pembengkakan pada garis
tengah dan dinding faring yang berfluktuasi dengan tanda inflamasi yang
minimal.16

DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas
bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto
Rontgen jaringan lunak leher anterior posterior lateral. Pada foto Rontgen akan
tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan dewasa serta
pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22 mm pada
oprang dewasa. Selain itu juga dapat terihat dapat terlihat berkurangnya lordosis
vertebra servikal.12
Anamnesis yang baik sangat penting karena kondisi serius lain merupakan
diagnosis banding dari abses retrofaring. Abses retrofaring seringkali merupakan
sekuele dari infeksi saluran napas atas (misalnya faringitis, tonsilitis, sinusitis,
infeksi gigi) dan lebih sering terjadi pada anak sehingga riwayat tertelan benda
asing harus ditanyakan.13

Pada anak manifestasi klinis dapat tidak jelas dan bergantung pada tingkat
penyakit tetapi gejala khas termasuk demam tinggi, nyeri leher (terutama pada
saat digerakkan) atau tortikolis, disfagia, iritabilitas, malaise, dan odinofagia.
Odinofagia menyebabkan drooling, intake oral yang buruk, dan anoreksia. Gejala
minor lain misalnya trismus, disfonia, stridor, dan sleep apnea. Anak dapat terlihat
menarik-narik telinga atau tenggorokan yang menunjukkan adanya nyeri.13
Pada orang dewasa manifestasi klinis lebih spesifik dengan drooling dan
disfagia tetapi dengan onset perlahan. Penting untuk menanyakan komorbiditas
seperti diabetes mellitus dan melakukan kontrol glukosa darah apabila ditemukan.
Hampir sepertiga pasien dengan abses leher dalam memiliki diabetes mellitus.13

GEJALA DAN TANDA


Keluhan pasien dengan abses retrofaring akut bervariasi bergantung kepada
kelompok umur.9 Gejala abses retrofaring berbeda untuk orang dewasa, anak-anak,
dan bayi yang dijelaskan dalam tabel berikut:

Tabel 1. Gejala abses retrofaring pada berbagai kelompok usia. 9

Dewasa Anak > 1 tahun Bayi

Nyeri Nyeri tenggorokan Demam (85%)


tenggorokan (84%) Bengkak pada leher
Demam Demam (64%) (97%)
Disfagia Kaku leher (64%) Intake oral buruk
Odinofagia Odinofagia (55%) (55%)
Nyeri leher Batuk Rinorrhea (55%)
Dispnea Letargi (38%)
Batuk (33%)

PEMERIKSAAN FISIK
Pasien dengan abses retrofaring akut dapat menunjukkan tanda-tanda
obstruksi jalan napas tetapi hal ini jarang terjadi. Meskipun demikian, pasien yang
awalnya tidak menunjukkan tanda-tanda obstruksi jalan napas dapat berkembang
menjadi obstruksi jalan napas. Pada pasien dewasa dan anak pemeriksaan fisik
dapat menunjukkan temuan yang berbeda.9

Tabel 2. Temuan pemeriksaan fisik abses retrofaring pada berbagai


kelompok usia.9

Dewasa Anak dan Bayi

Edema posterior faring Adenopati servikal (36%)


(37%) Bulging retrofaring (55%, jangan
Kaku leher lakukan palpasi pada anak)
Adenopati servikal Demam (64%)
Demam Stridor (3%)
Drooling Tortikolis (18%)
Stridor Kaku leher (64%)
Drooling (22%)
Agitasi (43%)
Massa pada leher (55%)
Letargis (42%)
Distres pernapasan (4%)
Tanda-tanda terkait termasuk
tonsilitis, peritonsilitis, faringitis,
dan otitis media.

Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan rongga mulut dan leher


untuk mencari edema tonsil, edema orofaring, dan limfadenopati. Observasi
penting lain dilakukan terhadap drooling, dispneu, tortikolis, dan massa atau
pembengkakan pada leher. Pada anak-anak pemeriksaan mungkin terbatas
bergantung pada usia dan kooperasi dari anak dan orang tua.13

Gangguan terhadap jalan napas biasanya tampak dengan gejala dispneu,


distres pernapasan, dan fatigue. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-
tanda seperti takipneu, sianosis, tracheal thug, atau retraksi interkosta. Laju
pernapasan yang cepat dan saturasi oksigen membantu diagnosis gangguan jalan
napas. 13

Abses retrofaring kronik yang disebabkan oleh infeksi tuberkulosis biasanya


timbul dengan gejala kaku pada leher dan nyeri pada belakang leher. Diagnosis
ditunjang dengan riwayat menderita tuberkulosis paru dan spondilitis tuberkulosis
(khusus untuk tipe sentral). Pada pemeriksaan fisik ditemukan pembengkakan
pada garis tengah (tipe sentral) dan lateral korpus vertebra (tipe lateral) yang
berfluktuasi dengan tanda inflamasi yang minimal.16
Gambar 6. Abses retrofaring kronik tipe lateral (kiri) dan sentral (kanan) 16

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang awal yang dapat dilakukan untuk menunjang
diagnosis abses retrofaring dijelaskan dalam tabel berikut: 13

Tabel 3.Pemeriksaan penunjang awal untuk diagnosis abses retrofaring. 13

Pemeriksaan Hasil

Darah lengkap Leukosistosis (terutama


netrofil)

Laju endap darah Meningkat

menentukan derajat penyakit inflamasi apabila tidak


ditemukan netrofilia yang signifikan.
CT scan leher dengan kontras Lesi hipodens dikelilingi
cincin pada rongga
pemeriksaan definitif. retrofaring
mengkonfirmasi adanya abses dan membantu dalam
merencanakan approach tindakan bedah. Adanya udara
di dalam atau di sebelah akumulasi cairan atau udara
bebas yang berlebih diantara fascia leher sangat
prediktif untuk abses.
Foto polos servikal soft tissue lateral Pembengkakan pada ruang
prevertebra (> 7mm pada
dilakukan apabila terdapat kecurigaan tetapi tidak C2 dan > 14 mm pada C6)
tersedia CT scan tetapi dapat dilakukan sebelum CT
scan apabila kecurigaan tinggi terhadap abses
retrofaring.
Pemeriksaan dengan anestesi Bulging pada dinding
posterior orofaring.
dilakukan apabila kecurigaan tinggi dan terdapat
gangguan jalan napas atau apabila tidak terdapat
fasilitas CT scan.
juga dapat dilakukan apabila kecurigaan tinggi tetapi
hasil pencitraan tidak konsisten dengan abses
retrofaring. Pemeriksaan ini dapat mengkonfirmasi
diagnosis dan langsung dilakukan insisi transoral dan
drainase serta pengambilan pus untuk kultur.
Kultur pus Positif terhadap organisme
penyebab.
pus yang didapatkan dari drainase dilakukan kultur dan
uji sensitivitas antibiotik.

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain foto polos
dada yang diindikasikan apabila terdapat kecurigaan timbulnya komplikasi berupa
pneumonia aspirasi atau mediastinitis.9 Kultur darah tidak rutin dilakukan kecuali
pada kecurigaan terjadinya sepsis.13 Untuk abses retrofaring kronis pemeriksaan
penunjang yang mendukung diagnosis adalah leukositosis, peningkatan laju endap
darah, dan tes Mantoux yang positif. Foto Rontgen jaringan lunak leher anterior
posterior lateral menunjukkan destruksi korpus vertebra dengan peningkatan
ruang retrofaring dan bayangan udara di dalamnya. CT scan dapat lebih
mengkonfirmasi temuan tersebut.16

DIAGNOSIS BANDING
Penyakit-penyakit lain dengan manifestasi klinis yang menyerupai abses
retrofaring dijelaskan pada tabel berikut:

Tabel 4. Berbagai kelainan yang menjadi diagnosis banding abses retrofaring. 13

Pemeriksaan Penunjang
Kondisi Tanda/Gejala yang Berbeda
untuk Membedakan
Epiglotitis akut Sulit untuk dibedakan dengan CT scan tidak
abses retrofaring tetapi secara ditemukan gambaran
umum memiliki onset yang lebih abses retrofaring.
akut. Foto polos servikal soft
Kesulitan bernapas. tissue menunjukkan
bayangan radio opak
atau epiglotis yang
meradang.
Tonsilitis Tanda-tanda infeksi tonsil, dinding Diagnosis klinis.
posterior faring normal.
Abses peritonsiler Edema peritonsiler dengan deviasi Aspirasi atau insisi
uvula, dinding posterior faring drainase lesi
normal. mengkonfirmasi
diagnosis.
Limfadenopati Edema tanpa fluktuasi pada CT scan dengan kontras
retrofaring dinding posterior faring. dapat membedakan
limfadenopati dengan
abses.
Retropharyngeal Gejala dan tanda serupa dengan CT scan menunjukkan
calcific tendonitis abses retrofaring. kalsifikasi anterior
Bersifat self-limiting dan biasanya terhadap korpus
reda setelah 2 minggu. vertebra C1 dan/atau C2
dengan akumulasi
cairan yang non-ring-
enhanced pada ruang
prevertebra.

TATALAKSANA
Tindakan di ruang emergensi

Manajemen emergensi abses retrofaring termasuk patensi jalan napas, resusitasi


cairan apabila dibutuhkan, antibiotik, dan persiapan operasi emergensi.
Monitoring tanda vital dan saturasi oksigen penting untuk dilakukan.9

Manajemen jalan napas


o berikan tambahan oksigen;
o intubasi endotrakeal dibutuhkan apabila pasien menunjukkan tanda
obstruksi jalan napas atas. Intubasi dapat sulit untuk dilakukan akibat
edema;
o krikotirotomi (surgical atau needle) dapat dibutuhkan pada pasien
dengan obstruksi jalan napas atas yang tidak dapat diintubasi.
Trakeostomi dapat dibutuhkan untuk manajemen jalan napas definitif.
Cairan intravena dibutuhkan apabila pasien mengalami dehidrasi akibat
demam dan intake oral yang buruk.
Tindakan definitif
1. Medikamentosa

Pemberian antibiotik secara parenteral diberikan secepatnya tanpa


menunggu hasil kultur pus. Antibiotik yang diberikan harus mencakup
terhadap kuman aerob dan anaerob, Gram positif dan Gram negatif. Pilihan
antibiotik lini pertama adalah Clindamycin dengan Aminoglikosida atau
penicilli-nase-resistant penicillin seperti Ticarcillin/Clavulanate,
Piperacillin/Tazobactam, dan Ampicillin/Sulbactam dikombinasikan dengan
sefalosporin generasi ketiga dan Metronidazole. Clindamycin dan
Metronidazole tidak boleh digunakan sebagai terapi tunggal. Terapi antibiotik
dapat diberikan selama sekitar 10 hari. 17 Untuk abses retrofaring kronik pasien
diberikan terapi antituberkulosis selain dilakukan tindakan operatif seperti
aspirasi atau insisi dan drainase abses.16

2. Operatif
Tindakan operatif yang dapat dilakukan yaitu aspirasi pus (needle
aspiration) atau insisi drainase. Insisi drainase dapat dilakukan melalui dua
pendekatan:

a) Pendekatan internal atau transoral


Dilakukan untuk abses yang kecil dan terlokalisir. Pasien diletakkan
pada posisi Trendelenburg dimana leher dalam keadaan hiperekstensi dan
kepala lebih rendah dari bahu. Insisi vertikal dilakukan pada daerah yang
paling berfluktuasi dan pus yang keluar harus segera diisap dengan alat
penghisap untuk menghindari aspirasi pus. Insisi diperlebar dengan forsep
atau klem arteri untuk memudahkan evakuasi pus. Kekurangan dari
pendekatan ini terkait dengan risiko aspirasi isi abses. Pendekatan intraoral
dapat sulit dilakukan untuk abses yang letaknya superior atau lateral.17

b) Pendekatan eksternal atau transervikal


Pendekatan eksternal baik secara anterior atau posterior dilakukan
untuk abses yang besar dan meluas ke arah hipofaring. Kelemahan dari
teknik ini adalah waktu pemulihan yang lebih lama dan terdapat
kemungkinan komplikasi cidera terhadap nervus kranialis dan pembuluh
darah besar.17

Pendekatan anterior dilakukan dengan membuat insisi secara


horizontal mengikuti garis kulit setingkat krikoid atau pertengahan antara
os hyoid dan klavikula. Kulit dan subkutis dielevasi untuk memperluas
pandangan sampai terlihat m. sternokleidomastoideus. Dilakukan insisi
pada batas anterior m. sternokleidomastoideus. Dengan menggunakan
klem arteri bengkok, m. sternokleidomastoideus dan selubung karotis
disisihkan ke arah lateral. Setelah abses terpapar dengan cunam tumpul,
abses dibuka dan pus dikeluarkan. Bila diperlukan insisi dapat diperluas
dan selanjutnya dipasang drain (Penrose drain).17

Pendekatan posterior dibuat dengan melakukan insisi pada batas


posterior m. sternokleidomastoideus. Kepala diputar ke arah yang
berlawanan dari abses. Selanjutnya fasia dibelakang m.
sternokleidomastoideus diatas abses dipisahkan. Dengan diseksi tumpul
pus dikeluarkan dari belakang selubung karotis.17

KOMPLIKASI
Komplikasi pada abses retrofaring dapat terjadi akibat:13

1) efek desak massa (abses): obstruksi jalan napas;


2) ruptur abses: asfiksia, pneumonia aspirasi, abses paru;
3) penyebaran infeksi ke daerah sekitar:
inferior: edema laring, mediastinitis, pleuritis, empiema, abses
mediastinum
lateral: trombosis vena jugularis, ruptur arteri karotis, abses parafaring
posterior : osteomielitis dan erosi kolumna spinalis
4) proses infeksi: necrotizing fasciitis, sepsis dan kematian.

PROGNOSIS
Prognosis baik apabila abses retrofaring diidentifikasi dini. Meskipun
demikian tingkat mortalitas mencapai 40-50% apabila timbul komplikasi serius
(misalnya meningitis) meskipun komplikasi jarang terjadi dan secara umum
akibat penyebaran inferior ke arah inferior atau superior. Rekurensi terjadi pada 1-
5% pasien.13

LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki berusia 51 tahun pada tanggal 8 Februari 2017 datang berobat
ke Klinik THT-KL RSMH dengan keluhan sulit menelan sejak dua hari sebelum berobat.
Keluhan terjadi pada saat penderita memasukan makanan maupun minuman dan hendak
menelan. Air liur keluar terus menerus ada, demam ada, sakit kepala tidak ada, nyeri pada
tenggorokan ada, sesak napas tidak ada, rasa mengganjal tidak ada, tidak ada riwayat
darah tinggi dan kencing manis. Sejak 2 hari yang lalu penderita juga mengeluh sakit
kepala dan demam, didapatkan keluhan nyeri menelan dirasakan setiap memasukan
makanan dan minuman. Keluhan hidung tersumbat (-), lendir di hidung (-) berwarna
putih, encer, banyak, berbau busuk (-), perdarahan dari hidung (-), nyeri tekan wajah (-),
terasa berat saat menundukkan kepala (-), nyeri pada telinga (-), rasa penuh pada telinga
(-), keluar cairan dari telinga (-), telinga berdenging (-), suara serak (+), sesak nafas (-).
Dari anamnesis didapatkan pula penderita pernah mengalami tertelan tulang ikan bandeng
sekitar 2 minggu yang lalu dan baru datang ke IGD RSMH pada hari minggu tanggal 5
Febuari 2017 untuk ekstraksi tulang ikan dikarenakan semakin nyeri di tenggorokan.

Hasil pemeriksaan fisik umum pada inspeksi pasien datang dengan posisi tripod
(tripod sign). Pemeriksaan fisik hidung dalam batas normal. Pemeriksaan fisik
tenggorokan didapatkan kebersihan mulut penderita kurang baik, terdapat granuler pada
dinding faring belakang (+). Pemeriksaan telinga dalam batas normal.
Dari keterangan diatas pasien didiagnosis dengan abses retrofaring. Pada
penatalaksanaan dilakukan pembersihan higienitas oral, pemberian antibiotik
spektrum luas ceftriaxone 2x1 gram intravena, metronidazole 3x500 mg
intravena, rencana pemasangan NGT (Nasogastric Tube), posisikan pasien pada
posisi Trendelenberg dan aspirasi abses retrofaring.

DISKUSI

Dilaporkan satu kasus abses retrofaring oleh seorang laki-laki berusia 51


tahun. Berdasarkan epidemiologinya abses retrofaring jarang ditemukan dan lebih
sering terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia
tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe. Penelitian selama 35 tahun
terhadap anak-anak yang diterapi di Childrens Hospital, Los Angeles dijumpai
sebanyak 50% kasus berusia kurang dari 3 tahun dan 71% kasus berusia kurang
dari 6 tahun. Sedangkan di Sydney, Australia didapati sebanyak 55% kasus
berusia kurang dari 1 tahun dimana 10% diantaranya dijumpai pada periode
neonatus. Dari anamnesis ditemukan bahwa keluhan utama ialah sulit menelan
sejak 2 hari yang lalu, air liur keluar terus menerus ada, demam ada, sakit kepala
tidak ada, nyeri pada tenggorokan ada, sesak napas tidak ada, rasa mengganjal
tidak ada, tidak ada riwayat darah tinggi dan kencing manis, demam ada. Pada
abses retrofaring, gejala disfagia dan odinofagia adalah gejala utama yang sering
terjadi, biasanya disertai air liur terus keluar, nyeri tenggorokan, kaku leher,
drooling, dan demam. Penegakkan diagnosis biasanya menggunakan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan hasil radiologi. Penatalaksanaan ialah dengan pemberian
antibiotik yang adekuat dan aspirasi abses retrofaring. Peralatan, ruang dan tenaga
dokter yang berpengalaman serta kondisi pasien yang kooperatif merupakan
faktor keberhasilan tatalaksana kasus ini.

DAFTAR PUSTAKA
1. Shumrick KA and Sheft SA. Deep neck infections In: Paparella
otolaryngology, Head and Neck. Vol III, 3rd Ed. Philadelphia. W.B> Saunders,
1991: p.2545-62.

2. Jankowska A, Salami A, Cordone G, Ottobomi S.Mora R. Deep neck space


infections. Internasional Congress Series 1240 (2003): p. 1497-500.

3. Stalfors J, Adielson A, Ebenfelt A, Nethander G, Westris T. Deep neck space


infections remain a surgical challenge. A study of 72 patients. Acta
Otolaryngol 2004; 124: 1191-6.

4. Plaza Mayor G, Martinez-San Millan J, Martinez-Vidal A. Is conservative


treatment of deep neck space infections appropriate? Head and neck 2001; 23:
126-33.

5. Goldenberg D, Golz and Joachims HZ. Retrofaringeal abscess. Otolaryngol


Head Neck Surg 1998; 118:99-101.

6. Ballenger JJ. Infections of the Fascial Spaces of the Neck and Floor of the
Mouth. In: Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head & Neck. 4th Ed.
Philadelphi, London, Lea & Febiger. 1991: p.237-42.

7. Rambe, A.Y. 2003. Abses Retrofaring. Fakultas Kedokteran Universitas


Sumatera Utara.

8. Villa, E.K. Anaesthetic Management of Retropharyngeal Abscess in Children.


Anaesthesia Tutorial of The Week. 2011; 211: 1-9.

9. Kahn JH. 2012. Retropharyngeal Abscess in Emergency Medicine. (Online)


http://emedicine.medscape.com/article/764421-overview, diakses pada 9
Febuari 2017.

10. Gadre, A.K, Gadre, K.C. 2006. Infections of the Deep Spaces of the Neck. In:
Head & Neck Surgery Otolararyngology fourth edition. Editor: Bailey, B.J.
Lippincott Williams & Wilkins: 665 682.

11. Fachruddin, D. 2007. Abses Leher Dalam. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Editor: Soepardi, E.A. FKUI:
Jakarta. 226-230.

12. Brook, I. Microbiology and Management of Peritonsillar, Retropharyngeal,


and Parapharyngeal Abscesses. J Oral Maxillofac Surg 62:1545-1550. 2004.

13. British Medical Journal (BMJ). 2011. Best Practice-Retropharyngeal


Abscess. (Online). http://bestpractice.bmj.com/best-
practice/monograph/599/diagnosis/guidelines.html, diakses pada 9 Febuari
2017.

14. Marin J, Baren J. Pediatric Upper Airway Infectious Disease Emergencies.


Pediatric Emergency Medicine Practice. 2007;4(11):7-12.

15. Chu FKC. Retropharyngeal abscess. Hong Kong j. emerg. med. 2002;9(3):
165-7.

16. Velankar HK. 2001. Retropharyngeal abscess. (Online). http://www.bhj.org,


diakses pada 9 Febuari 2017.

17. Stewart C. A "Killer" Sore Throat: Inflammatory Disorders Of The Pediatric


Airway. Pediatric Emergency Medicine Practice 2006;3(9):1-30.

18. Avecedo JL, Shah RK. Retropharyngeal abscess. Available from: URL
http:/emedicine.medscape.com/article.overview. Article last update, Mar 16,
2009. May 2009.

19. Parhiscar A, Har-el, G. Deep neck abscess: a retrospective review of 210


cases, Ann. Otol. Rhinol. Laryngol 110: 2001: 1051-1054.

20. Fachrudin D, Helmi. Penatalaksanaan Infeksi Leher Dalam. Up-date 1995


Prinsip Dasar Penatalaksanaan Penyakit Infeksi. Dalam rangka Dies Natalis
UI ke 46. 17 Juni 1995.

21. Larawin V, Naipao J. Head and neck space infections. Journal


Otolaryngology Head and Neck Surgery 2006; 135. 889-893.

Anda mungkin juga menyukai