Anda di halaman 1dari 10

PERAN ODONTOLOGI PADA IDENTIFIKASI

Oleh:

Deswan Capri Nugraha


Randa Deka Putra

DEPARTEMEN GIGI DAN MULUT


RUMAH SAKIT MOH. HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017
PERAN ODONTOLOGI PADA IDENTIFIKASI

Abstrak :
Identifikasi manusia merupakan salah satu subyek tersulit yang sedang dihadapi
oleh manusia. Peran odontologi forensik meningkat dalam hal ini dimana restorasi gigi
dan gigi geligi seringkali menjadi satu satunya cara identifikasi. Identifikasi gigi
geligi manusia erjadi untuk sejumlah alasan dan situasi yang berbeda seperti bencana
massal (penerbangan, gempa bumi, tsunami), dalam investigasi kejahatan dan dalam
kasus bentuk jasad yang rusak akibat kebakaran dan kecelakaan kendaraan bermotor.
Berbagai metode yang digunakan dalam odontologi forensik antara lain adalah
radiografi, fotografi antemortem dan postmortem, sidik gigi, rugoskopi (pemeriksaan
pola rugae palatum), cheiloskopi (pemeriksaan sidik bibir), dan metode molekuler
seperti polymerase chain reaction analisis pulp DNA. Metode investigatif yang
diaplikasikan dalam odontologi forensik cukup handal, tetapi kekurangan metode
tersebut harus diperhitungkan agar dapat menjadi prosedur yang lebih bermakna dan
relevan.
Kata kunci : Odontologi forensik, identifikasi personal, rugoscopy.

PENDAHULUAN
Odontologi forensik berasal dari bahasa Latin, yang berarti suatu forum atau
tempat dimana masalah masalah hukum didiskusikan. Pada tahun 1970, Keiser
Neilson mendefinisikan odontologi forensik sebagai cabang dari ilmu kedokeran
forensik yang memiliki kepentingan dalam keadilan, berkaian dengan penanganan yang
tepat dan pemeriksaan bukti gigi geligi dan evaluasi yang tepat dan presentasi temuan
dari pemeriksaan gigi geligi. Pemeriksaan gigi geligi dalam forensik memiliki
kedudukan yang setara dengan bidang keahlian obstetri ginekologi, kulit dan kelamin,
serta keahlian lainnya. Ahli forensik bertanggung jawab dalam 5 bidang utama praktik :
1. Identifikasi penemuan jasad manusia
2. Identifikasi korban kematian massal
3. Penilaian luka gigitan
4. Penilaian penyebab kekerasan (anak, suami/istri, lansia)
5. Perkiraan usia

SEJARAH
Identifikasi menggunakan bukti gigi merupakan metode baru. Terdapat laporan
historis tentang identifikasi dengan mengenali ciri khusus gigi pada awal abad 49.
Selama perang revolusioner Amerika Serikat, yaitu Paul Revere seorang dokter gigi
muda yang membantu identifikasi korban perang oleh jembatan kerja dokter tersebut.
Pada tahun 1898, Dr. Oscar Amoedo menulis risalah pertama pada odontologi forensik
berjudul L'Art Dentaire en Medicine Legale. Beliau kemudian dikenal sebagai bapak
odontologi forensik.

IDENTIFIKASI GIGI GELIGI


Identifikasi merupakan hal penting ketika jasad mengalami dekomposisi,
terbakar, tercerai berat, atau mengalami skeletonisasi. Identifikasi gigi geligi
dilakukan berdasarkan fakta bahwa gigi merupakan suatu karakteristik fisik mampu
bertahan selama proses dekomposisi, pada suhu ekstrim dan mudah dikenali
postmortem. Kontribusi kedokteran gigi dalam identifikasi manusia memiliki dua
bentuk utama :
1. Identifikasi jasad manusia pada antemortem, dan
2. Pembuatan profil gigi postmortem dalam kasus dimana tidak ada data
antemortem.

Data antemortem dibandingkan dengan status gigi geligi kadaver memberikan


bukti kuat identitas kadaver. Dalam kasus dimana tidak ada anamnesis gigi, dilakukan
pemeriksaan lengkap profil gigi. Hal ini membantu ahli forensik untuk memilah data
antemortem yang ada dan memilih informasi yang paling sesuai dengan profil kadaver.

IDENTIFIKASI GIGI KOMPARATIF


Individu dengan sejumlah pengobatan gigi yang kompleks lebih mudah untuk
diidentifikasi dibandingkan dengan individu yang menjalani sedikit atau tanpa
pengobatan restoratif. Umumnya, jasad manusia ketika ditemukan dilaporkan ke polisi
yang kemudian memulai permintan untuk identifikasi gigi geligi. Identifikasi
presumtif atau tentatif sering ditemukan (misalnya, dompet atau SIM mungkin
ditemukan pada jasad) yang akan memudahkan penempatan data antemortem. Ahli gigi
forensik membuat data postmortem dengan melakukan pencatatan rinci dan deskripsi
tertulis struktur gigi geligi serta radiografi kadaver. Setelah pencatatan postmortem
selesai, dilakukan perbandingan antara data antemortem dan postmortem. Selama
prosedur tersebut, data yang dibandingkan adalah : ada atau absennya gigi geligi,
ukuran, bentuk, posisi, restorasi gigi, sinus maksila, temporomandibular joint, dan
kelainan tulang lainnya.

PEMBUATAN PROFIL POSTMORTEM


Ketika informasi antemortem tidak tersedia, pembuatan profil gigi geligi
postmortem dapat berkontribusi untuk menentukan identitas jasad yang ditemukan.
Data ini dapat memberikan informasi mengenai usia mayat, latar belakang keturunan,
jenis kelamin, dan status sosioekonomi. Dalam beberapa kasus, profil tersebut dapat
memberikan informasi tambahan berupa pekerjaan, pola diet, perilaku sehari hari, dan
kadang berupa manifestasi penyakit sistemik pada gigi.
Pemeriksaan tulang wajah dapat memberikan informasi mengenai jenis kelamin
dan ketuurnan serta dapat menentukan ras dalam 3 kelompok utama : Kaukasoid,
Mongoloid, dan Negroid. Karakteristik lin, seperti cusps of carabelli, insicivus
berbentuk sekop dan premolar multi cusped juga dapat membantu penentuan
keturunan. Dengan analisis gen khusus pada DNA, terutama gen yang terletak pada
kromosom berbeda untuk laki laki dan perempuan, dapat membantu membedakan
antara laki laki dan perempuan. Gen amelogenin (AMEL) terletak pada kromosom X
pada perempuan dan pada kromosom X dan Y pada laki laki. Panjang gen tersebut
pada kromosom X adalah 106 pasang basa dan pada kromosom Y adalah 112 pasang
basa. Jadi, perbedaan panjang gen tersebut dapat dilihat pada pada tampilan DNA jenis
barcode.
Adanya erosi menunjukkan adanya penyalahgunaan alkohol atau zat terlarang,
suatu eating disorder atau bahkan hiatus hernia, sementara adanya pewarnaan
mengindikasikan kebiasaan merokok, penggunaan tetrasiklin atau mengunyah sirih.
Kualitas, kuantitas, dan ada atau tidaknya pengobaan gigi menunjukkan status
sosioekonomi atau negara tempat korban tinggal.
Bahan gigi geligi memberikan petunjuk untuk identifikasi. Salah satu peneliti
(DS) menggunakan SEM EDX untuk mengidentifikasi komposisi restorasi kaca
ionomer kemudian ditelusuri kembali ke penjara dimana penambalan tersebut
dilakukan. Rekam medik gigi menguatkan identifikasi individu. Dalam kasus akibat
reduksi jumlah restorasi, identifikasi postmortem menjadi suatu hal yang sulit. Dalam
kasus ini, digitalisasi dugaan radiografi antemortem dan postmortem, berkontribusi
dalam identifikasi dengan bantuan komputer. Secara khusus, morfologi akar dan
hubungan ruang akar gigi dan struktur pendukungnya dalam radiografi antemortem dan
postmortem dinilai menggunakan software komputer, kemudian dibandingkan.
Pasien yang tidak memiliki gigi menimbulkan masalah untuk proses identifikasi
jasad manusia karena jika data radiografi antemortem tersedia, terdapat perubahan
morfologi pada tulang rahang karena resorpsi processus alveolaris, yang menyulitkan
identifikasi. Foto lateral kranium berguna dalam beberapa kasus, karena
reproduktabilitas metode tersebut. Bahkan sidik bibir dan pola rugae palatum dianggap
unik untuk seseorang dan karena itu berpotensi untuk digunakan dalam identifikasi.
Sistem penandaan gigi tiruan dalam bentuk marker permukaan (ukiran pada cast,
memotong gigi tiruan) atau dengan metode inklusi (label logam, mikrochip) juga
memudahkan identifikasi.

DNA DALAM ODONTOLOGI FORENSIK


Ilmu kedokteran forensik masih mencari alat yang sempuran untuk identifikasi
manusia. Sifat alamiah hard tissue gigi terhadap kerusakan akibat lingkungan
memastikan bahwa gigi merupakan sumber DNA yang paling baik. Dengan penemuan
polymerase chain reaction, suatu teknik yang memudahkan amplifikasi DNA pada
lokasi khusus yang telah ditentukan sebelumnya, sumber bukti ini semakin populer di
kalangan peneliti. Di laboratorium peneliti, metode cryogenic grinding digunakan untuk
mengekstrak genom DNA dari jaringan yang mengalami kalsifikasi. Silva et al.
menekankan bahwa selain DNA genom, sel sel yang mendangung DNA mitokondria
(mtDNA), sekuens blok yang membangun DNA tersebut dapat ditentukan untuk
membantu identifikasi. Keuntungan utama mtDNA adalah bahwa terdapat sejumlah
besar salinan pada setiap sel yang disebabkan oleh tingginya jumlah mitokondria dalam
sebagian besar sel. Hal ini menyimpulkan bahwa dalam kasus dimana DNA genomik
tidak dapat dianalisis, karena mengalami degradasi, mtDNA dapat ditemukan dalam
kuantitas yang cukup. Selain jumlah salinan yang lebih tinggi, mtDNA diwariskan dari
ibu. Pola pewarisan ibu ini memiliki sekuens mtDNA yang sama, pembatasan mutasi
pada saudara kandung dan semua kerabat dari ibu. Hal ini memiliki implikasi penting
untuk identifikasi individu dimana sampel perbandingan antemortem tidak tersedia.

IDENTIFIKASI GIGI GELIGI DALAM BENCANA MASSAL


Tsunami Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 menjadi suatu tantangan
baru bagi identifikasi forensik jenazah. Identifikasi korban merupakan tujuan utama.
Hal ini mungkin merupakan contoh keberhasilan ahli gigi forensik yang paling terkenal
dalam identifikasi sejumlah besar korban dalam waktu singkat. Tim ahli gigi forensik
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pemeriksaan gigi geligi dan radiologi gigi.
Diseksi wajah bilateral dilakukan untuk memeriksa maksila dan mandibula. Gigi korban
dibersihkan/disikat agar pemeriksaan lebih jelas. Gigi yang mungkin mendapat
perawatan saluran akar diidentifikasi unuk pemeriksaan radiografi. Dua gigi yang tidak
dirawat dengan pulpa berukuran besar dipilih untuk pembuatan profil DNA. Corpus
femoris atau costae dipilih jika gigi tidak tersedia. Dilakukan dua pencitraan bitewing,
kemudian dilabeli. Gigi kemudian dikirim untuk pembuatan profil DNA. Setelah
pemeriksaan dokumen dan radiografi terakhir, jenazah kemudian disimpan dalam
kontainer dengan pendingin. Tanggal 7 Juli 2005, 7 bulan setelah bencana terjadi, TTVI
telah mengidentifikasi 2010 korban, dimana sebanyak 61% korban diidentifikasi
menggunakan pemeriksaan gigi geligi, 19% menggunakan data sidik jari, 1.3%
menggunakan analisis DNA, 0.3% menggunakan bukti fisik, dan sebanyak 18% kasus
dengan lebih dari 1 jenis barang bukti.
Ahli gigi forensik berkontribusi dalam resolusi berbagai bencana massal lainnya,
dimana seringkali struktur dan restorasi gigi mungkin merupakan satu satunya bagian
tubuh yang tidak mengalami kerusakan, seperti dalam kecelakaan pesawat terbang,
serangan teroris, dll. Proses identifikasi dalam bencana dasar memiliki dasar yang sama
dengan pemeriksaan rutin gigi geligi komparatif, tetapi masalah yang ada lebih besar.
Masalah fragmentasi tubuh, mutilasi, percampuran dan pembakaran, rekam medik yang
mengalami idiosinkrasi dari sejumlah daerah, kondisi kerja yang buruk, dan stres
psikologis menyulitkan proses identifikasi. Kunci keberhasilan identifikasi pada
bencana massal adalah persiapan. Sejumlah wilayah yuridiksi memiliki tim identifikasi
gigi dan rencana bencana. Skenario bencana palsu yang membantu dokter gigi untuk
mempersiapkan situasi bencana telah terbukti berhasil.
KARAKTERISTIK GIGI DADN TULANG DALAM PENENTUAN USIA
Struktur gigi dapat memberikan indikator berguna untuk usia kronologis
jenazah. Usia anak anak (seperti janin dan neonatus) dapat ditentukan dengan analisis
perkembangan gigi dan dibandingkan dengan grafik perkembangan, umumnya dengan
akurasi sekitar 1,6 tahun. Fakta menarik yang perlu diingat adalah bahwa total jumlah
gigi dalam mulut anak berubah hanya ketika gigi tambhan (molar) mengalami erupsi.
Erupsi molar permanen dalam ritme matematika umum adalah 6, 12, dan 18 24 tahun.
Jadi, total jumlah gigi hanya akan mengalami perubahan pada usia tersebut. Mincer et
al. menyatakan bahwa molar ke 3 maksila sedikit mendahului erupsi molar ke 3
mandibulla dan bahwa pembentukan akar molar ketiga pada laki laki terjadi lebih
awal dibandingkan dengan perempuan, sehingga status perkembangan juga dapat
digunakan untuk menetapkan usia jenazah menjadi dewasa muda, dengan akurasi 4
tahun. Progresi penyakit periodontal, pemakaian berlebihan, restorasi multipel,
ekstraksi, pathosis tulang, dan perawatan restoratif komplek mengindikasikan individu
yang berusia lebih tua. Akurasi menggunakan marker yang sangat beragam ini berada
dalam rentang 10 12 tahun.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pemeriksaan anulasi cementu gigi pada
fotomikrografi dapat digunakan untuk perkiraan usia yang lebih tepat. Usia prediksi
seseorang diperoleh dari :
Jumlah garis inkremental (n) = X/Y
Dimana X adalah total lebar cementum dari dentinocemental junction ke permukaan
cementum dan Y adalah lebar cementu antara kedua garis inkremental. Dengan
menambahkan usia rata rata untuk setiap gigi seperti dijelaskan dalam Anatomi Gray
dalam jumlah garis inkremental yang dihitung, diperoleh usia kronologis seseorang.
E=n+t
Dimana, perkiraan usia = jumlah garis inkremental (n) + usia saat erupsi gigi (t).
Cetakan gigi adalah pola ujung batang enamel pada permukaan gigi. Pola ini
unik pada masing masing individu. Keunikan cetakan gigi ini digunakan sebagai alat
berharga dalam ilmu kedokteran forensik untuk identifikasi personal. Studi
racemization asam amino juga digunakan untuk menentukan usia. Asam aspartat telah
dilaporkan memiliki angka racemization tertinggi dari semua asam amino dan tersimpan
selama proses penuaan. Secara khusus, asam L aspartat diubah menjadi asam D
aspartat, sehingga kadar asam D aspartat dalam enamel, dentin, dan cementum
manusia meningkat seiring pertambahan usia. Rasio D/L dilaporkan berkorelasi erat
dengan usia. Translusensi dentin merupakan salah satu parameter morfohistologis
terbaik dan sederhana untuk perkiraan usia gigi. Dengan konvensi, translusensi diukur
menggunakan kaliper. Acharya menjelaskan sebuah metode untuk mengukur
translusensi pada gigi yang dibelah menggunakan hardware dan software komputer
yang tersedia. Dengan kemajuan teknologi komputer, evaluasi digital translusensi lebih
mudah dilakukan saat ini.

ANALISIS BITE MARK


Bite mark merupakan aspek penting dan kontroversial dalam odontologi
forensik. Meskipun terdapat sejumlah besar kasus dimana bukti bite mark penting dalam
penentuan hukuman atau pembebasan terdakwa, terjadi perselisihan tentang interpretasi
dan analisis bekas gigitan tersebut. Bekas gigitan paling sering tampak sebagai area
memar atau abrasi berbentuk elips atau bulat, umumnya dengan indentasi. Untuk gigitan
pada kulit manusia, luka gigitan yang potensial harus dikenali sejak dini, dimana
kejelasan dan bentuk gigitan dapat mengalami perubahan dalam jangka yang relatif
pendek pada korban hidup atau meninggal. Souviron menekankan bahwa waktu
pendinginan, suhu, kelembapan, cahaya, dan gravitasi merupakan variabel yang dapat
mempengaruhi bite mark.
Karena sejumlah besar proporsi individu (80 90%) mensekresikan golongan
darah ABO dalam saliva, melakukan swab pada area tersebut dan sebuah area kontrol di
lokasi tubuh yang lain harus diselesaikan sebelum jenazah dimandikan. Fotografi
merupakan cara utama untuk merekam dan menjaga bekas gigitan dan sangat penting
untuk dokumentasi bukti. Ketika ditemukan indentasi di kulit, atau untuk menjaga sifat
tiga dimensi daerah yang mengalami gigitan, impresi dilakukan untuk membentuk
model batu. Hal ini dilakukan dengan membuat cetakan impresi yang sesuai dan
mencetak impresi gigitan dan kulit sekitarnya dengan bahan standar untuk impresi gigi.
Impresi ini kemudian dituangkan dalam batu gigi untuk membuat model. Setelah
analisis awal selesai dilakukan, bekas gigitan pada kulit sebenarnya mungkin perlu
dilindungi. Sebuah cincin bahan cetakan yang disesuaikan dapat dibentuk menjadi suatu
lingkaran yang menyerupai kulit, yang dapat dilekatkan pada kulit menggunakan
perekat sianoakrilat dan dieratkan dengan jahitan. Ketika ahli patologi telah
menyelesaikan otopsi, bite mark tersebut dapat dieksisi dengan kerangka cetakan tetap
berada ditempatnya. Beberapa dokter gigi forensik menggunakan metode dorion, yang
menganjurkan pengangkatan jaringan yang mengalami luka gigitan untuk pemeriksaan
mikroskopik. Dokter gigi lainnya menggunakan teknik yang lebih canggih, seperti
scanning electron microscopy, computer enhanced digitization, dan xeroradiologi.
Software analisis gigitan terkomputerisasi juga tersedia. Setelah tersangka ditangkap,
dokter gigi forensik membuat satu atau lebih impresi gigi tersangka, kemudian
dibandingkan dengan bite mark yang tercatat, dan jika dokter tersebut dipanggil untuk
memberikan kesaksian, hasil pemeriksaan tersebut menjadi sebuah opini kemungkinan
kecocokan.

KESIMPULAN
Nilai identifkasi gigi forensik penting untuk dikenali mulai dari awal hingga saat
ini. Dari bencana alam, kejahatan, hingga hilang secara misterius, gigi merupakan alat
yang digunakan secara universal untuk menentukan identifikasi, gaya hidup, kultur, dan
komunitas dari mayat, terutama pada identifikasi mayat yang tidak dapat diidentifikasi
secara visual atau cara lainnya. Konsep penggabungan bukti gigi dalam investigasi
forensik telah menimbulkan sejumlah besar ketertarikan di masa lalu bahwa odontologi
forensik dianjurkan sebagai metode identifikasi positif tunggal untuk memecahkan
kasus kasus forensik tertentu. Meskipun odontologi forensik telah berkembang pesat
melalui berbagai teknik dalam identifikasi korban kecelakaan dan dalam kriminologi
investigatif, odontologi forensik masih terikat di tempat yang sama. Permintaan untuk
investigasi forensik yang akurat akan meningkatkan cakupan ilmu ini di India. Di India,
program sarjana harus ditingkatkan dengan memasukkan kuliah preklinik tentang
odontologi forensik dan program pelatihan pascasarjana terstruktur harus
dikembangkan. Penetapan pusat rujukan dengan laboratorium dengan alat yang lengkap
(minimal pada tingkat daerah), standarisasi teknik, dan yang paling penting, perbaikan
pencatatan rekam medis (sebagai contoh, memiliki cek standar rekam medik gigi di
rumah sakit dan klinik pribadi, angka identifikasi/pemberian kartu identifikasi gigi atau
medis kepada pasien, dll) harus diimplementasikan. Untuk investigasi forensik yang
efisien, kita membutuhkan tim ahli gigi, dengan anggota yang terdiri dari semua cabang
ilmu kedokteran gigi, bekerja dalam hubungan erat dengan para ahli dari cabang ilmu
forensik lainnya.

Sumber terjemahan :
1. Sood R, Mamachand P, Sood R, Parasher P. Role Of Odontology In
Determination Of Identity In Forensic Science- An Overview. J Adv Med Dent
Scie Res 2014;2(4):174-180.
2. Clark, D. H. Practical Forensic Odontology. Melksham, Great Britain:
Butterworth-Heinemann Ltd, 1992.
3. Mokhtar M. Dasar-dasar ortodonti-perkembangan dan pertumbuhan
kraniodentofasial. Yayasan Penerbitan IDI, 1998; 139-161
4. Sopher, IM. Forensic Dentistry. Springfield. Charles C Thimas Publisher,
1976;81,116
5. Lukman, D. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Gigi Forensik Jilid 2. Jakarta: Sagung
Seto, 2006; 5-129.

Anda mungkin juga menyukai