Anda di halaman 1dari 27

Referat

KARSINOMA NASOFARING

Oleh:
Haidar Adib Balma, S.Ked 04084821719198
M. Farhan Habiburrahman, S.Ked 04054821820022
Regina Astra Kirana, S.Ked 04054821820114

Pembimbing:
dr. Denny Satria Utama, Sp.THT-KL(K), M.Si.Med., FICS

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL


RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Telaah Ilmiah


Karsinoma Nasofaring

Oleh:

Haidar Adib Balma, S.Ked 04084821719198


M. Farhan Habiburrahman, S.Ked 04054821820022
Regina Astra Kirana, S.Ked 04054821820114

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
periode 19 Februari s.d. 26 Maret 2018.

Palembang, Maret 2018

dr. Denny Satria Utama, Sp. THT-KL (K), M.Si.Med, FICS

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
berkat-Nya Telaah Ilmiah yang berjudul “Karsinoma Nasofaring” ini dapat
diselesaikan tepat waktu. Telaah Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu
syarat ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian THT-KL RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Penulis juga ingin
menyampaikan terima kasih kepada dr. Denny Satria Utama, Sp. THT-KL (K),
M.Si.Med, FICS atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam
penulisan telaah ilmiah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan
datang.

Palembang, Maret 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................2
2.1. Anatomi Nasofaring .........................................................................2
2.2. Definisi .............................................................................................4
2.3. Epidemiologi ...................................................................................4
2.4. Etiologi .............................................................................................4
2.5. Faktor Risiko ....................................................................................5
2.6. Patofisiologi ......................................................................................8
2.7. Gejala Klinis ...................................................................................10
2.8. Diagnosis ........................................................................................13
2.9. Diagnosis Banding..........................................................................16
2.10. Tatalaksana ....................................................................................16
2.11. Pencegahan .....................................................................................18
2.12. Prognosis .........................................................................................18
2.13. Edukasi ............................................................................................18
2.14. Follow Up .......................................................................................19
BAB III KESIMPULAN .....................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................21

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang
terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher
merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan
sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil,
hipofaring dalam presentase lebih rendah. Tumor ganas nasofaring sendiri selalu
berada dalam kedudukan lima besar dari tumor ganas tubuh manusia bersama
tumor ganas serviks, uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit.1,2
Berdasarkan GLOBOCAN 2012, terdapat 87.000 kasus baru kanker
nasofaring muncul setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus baru terjadi pada laki-
laki dan 26.000 kasus baru pada perempuan) dengan 51.000 kematian akibat KNF
(36.000 pada laki-laki, dan 15.000 pada perempuan).1-2 KNF terutama ditemukan
pada pria usia produktif (perbandingan pasien pria dan wanita adalah 2,18:1) dan
60% pasien berusia antara 25 hingga 60 tahun.2,3
Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan
karena nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di
bawah dasar tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam
tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher. Oleh karena letak nasofaring
tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli, sering kali tumor ditemukan
terlambat dan menyebabkan metastasis ke leher lebih sering ditemukan sebagai
gejala pertama.2,3
Sangat mencolok perbedaan prognosis (angka bertahan hidup 5 tahun) dari
stadium awal dengan stadium lanjut, yaitu 76,9% untuk stadium I, 56% untuk
stadium II, 38,4% untuk stadium III dan hanya 16,4% untuk stadium IV. Untuk
dapat berperan dalam pencegahan, deteksi dini dan rehabilitasi perlu diketahui
seluruh aspeknya, antara lain epidemiologi, etiologi, diagnostik, pemeriksaan
serologi, histopatologi, terapi dan pencegahan, serta perawatan paliatif pasien
yang berespon dengan baik terhadap pengobatan.2,3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Nasofaring


Nasofaring merupakan ruang atau rongga berbentuk kubus yang terletak di
belakang rongga hidung atau koana, tepat di bawah dasar tengkorak yang
berhubungan dengan orofaring. Nasofaring di bagian anterior berbatasan dengan
rongga hidung melalui koana, bagian superior berbatasan dengan dasar tengkorak,
bagian posterior berbatasan dengan fasia prevertebralis dari atlas dan axis,
sedangkan bagian inferior berbatasan dengan palatum mole dan orofaring setinggi
ismus faring.2,4
Pada kedua dinding lateral nasofaring terdapat ostium tuba Eustachius
dengan tonjolan tulang rawan di bagian superoposterior yang disebut torus
tubarius. Di bagian posterior torus tubarius ini terdapat lekukan kecil yang agak
datar disebut resesus faringeal lateralis atau fosa Rosenmuller, merupakan tempat
tersering awal mula kanker nasofaring. Tepi atas dari torus tubarius adalah tempat
melekatnya muskulus levator veli palatini. Perluasan tumor pada KNF akan
mengganggu fungsi dari muskulus ini untuk membuka ostium tuba.2,4

Gambar 2.1. Anatomi Nasofaring.4

2
Dinding nasofaring diliputi oleh mukosa dengan banyak lipatan atau kripta.
Secara histologis mukosa nasofaring dibentuk oleh epitel berlapis silindris bersilia
atau pseudostritified ciliated columnar epithelium yang kearah orofaring akan
berubah menjadi epitel gepeng berlapis atau stratified squamous epithelium.
Diantara pertemuan atap nasofaring dan dinding lateral di daerah fossa
Rosenmuller terdapat epitel peralihan atau transitional epithelium yang menjadi
tempat asal dari tumbuhnya tumor nasofaring.2,5
Fosa Rosenmuller terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan
tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi ruang ini menjadi 3
kompartemen, yaitu: 1) kompartemen prestiloid, berisi a. maksilaris, n. lingualis
dan n. alveolaris inferior; 2) kompartemen poststiloid, berisi sarung karotis; 3)
kompartemen retrofaring, berisi kelenjar Rouviere. Kompartemen retrofaring ini
berhubungan dengan kompartemen retrofaring kontralateral, sehingga pada KNF
mudah terjadi penyebaran menuju kelenjar limfe leher kontralateral. Lokasi fosa
Rosenmuller yang demikian dan sifat KNF yang invasif, menyebabkan mudahnya
terjadi penyebaran KNF ke daerah sekitarnya dan menimbulkan berbagai macam
gambaran klinis.2,4
Nasofaring mempunyai pleksus submukosa limfatik yang luas. Kelompok
pertama adalah kelompok nodul pada daerah retrofaringeal yang terdapat pada
ruang retrofaring antara dinding posterior nasofaring, fasia faringobasilar dan
fasia prevertebra. Pada dinding lateral di daerah tuba Eustachius paling kaya akan
pembuluh limfe. Aliran limfe berjalan kearah anterosuperior dan bermuara di
kelenjar retrofaringeal atau kelenjar yang paling proksimal dari masing-masing
sisi rantai kelenjar spinal dan jugularis interna, rantai kelenjar ini terletak di
bawah otot sternokleidomastoideus. Pembuluh limfe di daerah nasofaring sangat
kompleks dan membentuk pleksus yang saling menyilang melewati garis tengah.
Aliran getah bening menuju arah posterior, selanjutnya ke kelenjar getah bening
Rouviere di ruang retrofaring bagian lateral dan retro parotis kemudian menuju ke
rangkaian kelenjar getah bening di sekitar vena jugularis interna bagian superior,
terutama kelompok jugulo digastrik.4,5

3
2.2. Definisi
Karsinoma nasofaring merupakan karsinoma yang muncul pada daerah
nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung), yang menunjukkan
bukti adanya diferensiasi skuamosa mikroskopik ringan atau ultrastruktur.
Karsinoma nasofaring paling sering di fossa Rosenmuller yang merupakan daerah
transisional epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa. Karsinoma
nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak
ditemukan di Indonesia.2,6

2.3. Epidemiologi
Karsinoma nasofaring termasuk jarang ditemukan di sebagian besar
populasi dunia. Angka kejadiannya hanya kurang dari 1/100.000 penduduk.
Angka kejadian tertinggi di dunia terdapat di propinsi Cina Tenggara yakni
sebesar 40–50 kasus kanker nasofaring di antara 100.000 penduduk. Di Indonesia,
karsinoma nasofaring merupakan salah satu jenis keganasan yang sering
ditemukan, berada pada urutan ke-4 kanker terbanyak di Indonesia setelah kanker
payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru. Angka kejadian karsinoma
nasofaring di Indonesia diperkirakan mencapai 6,2/100.000 penduduk dengan
12.000 kasus baru tiap tahun. Sayangnya, banyak kasus ini tidak tercatat karena
kurangnya pengetahuan tentang kesehatan, fasilitas rumah sakit dan sistem
diagnostik dan registrasi kanker nasional.2,3,6

2.4. Etiologi
Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring
adalah Virus Epstein-Barr, karena pada semua pasien didapatkan titer antivirus
EB yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor
ganas leher dan kepala lainnya, tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan
nasofaring yang lain sekalipun.2,3
Banyak penyelidikan mengenai perangai dari virus ini dikemukakan, tetapi
virus ini bukan satu-satunya faktor, karena banyak faktor lain yang sangat
memengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini, seperti letak geografis, rasial,

4
jenis kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan,
sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit.2,3

2.5. Faktor Risiko


Virus Epstein-Barr merupakan faktor risiko mayor karsinoma nasofaring.
Virus ini biasanya menghasilkan tanda-tanda dan gejala ringan, seperti pilek.
Kadang-kadang dapat menyebabkan infeksi mononukleosis. EBV menginfeksi
dan menetap secara laten pada 90% populasi dunia. Di Hong Kong, 80% anak
terinfeksi pada umur 6 tahun, hampir 100% mengalami serokonversi pada umur
10 tahun. Transmisi utama melalui saliva, biasanya pada negara berkembang yang
kehidupannya padat dan kurang bersih. Limfosit B adalah target utama EBV, jalur
masuk EBV ke sel epitel masih belum jelas, replikasi EBV dapat terjadi di sel
epitel orofaring. EBV dapat memasuki sel-sel epitel orofaring, bersifat menetap
(persisten), tersembunyi (laten) dan sepanjang masa (life-long). Antibodi Anti-
EBV ditemukan lebih tinggi pada pasien karsinoma nasofaring, terjadi
peningkatan antibodi IgG dan IgA, hal ini dijadikan pedoman tes skrining
karsinoma nasofaring pada populasi dengan risiko tinggi.2,6,7
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap
sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak
tertentu, dan kebiasaan makan makanan yang terlalu panas. Kebiasaan
mengonsumsi ikan asin berhubungan kuat dengan risiko karsinoma nasofaring.
Konsumsi ikan asin meningkatkan risiko 1,7–7,5 kali lebih tinggi dibanding yang
tidak mengonsumsi. Diet konsumsi ikan asin lebih dari tiga kali sebulan
meningkatkan risiko karsinoma nasofaring. Potensi karsinogenik ikan asin
didukung dengan penelitian pada tikus disebabkan proses pengawetan dengan
garam tidak efisien sehingga terjadi akumulasi nitrosamin yang dikenal
karsinogen pada hewan. Tingginya konsumsi nitrosamin dan nitrit dari daging,
ikan dan sayuran yang berpengawet selama masa kecil meningkatkan risiko
karsinoma nasofaring. Risiko karsinoma nasofaring juga meningkat berhubungan
dengan makanan berpengawet lain seperti daging, telur, buah dan sayur terutama
di Cina Selatan, Asia Tenggara, Afrika Utara/Timur Tengah dan penduduk asli

5
Artik. Sementara itu, konsumsi buah dan sayuran segar seperti wortel, kobis,
sayuran berdaun segar, produk kedelai segar, jeruk, konsumsi vitamin E atau C,
karoten terutama pada saat anak-anak, menurunkan risiko karsinoma nasofaring.
Efek protektif ini berhubungan dengan efek antioksidan dan pencegahan
pembentukan nitrosamin.2,6,7
Kebiasaan merokok juga meningkatkan risiko terkena karsinoma
nasofaring. Rokok mempunyai lebih dari 4000 bahan karsinogenik termasuk
nitrosamin. Kebanyakan penelitian menunjukkan merokok meningkatkan risiko
karsinoma nasofaring sebanyak 2–6 kali. Sekitar 60% karsinoma nasofaring tipe I
berhubungan dengan merokok sedangkan risiko karsinoma nasofaring tipe II atau
III tidak berhubungan dengan merokok. Perokok lebih dari 30 bungkus per tahun
mempunyai risiko besar terkena karsinoma nasofaring. Kebanyakan penderita
karsinoma nasofaring merokok selama minimal 15 tahun (51%) dan mengonsumsi
tembakau dalam bentuk lain (47%). Merokok lebih dari 25 tahun meningkatkan
risiko karsinoma nasofaring. Merokok lebih dari 40 tahun meningkatkan 2 kali
lipat risiko karsinoma nasofaring.7,8
Beberapa peneliti menyatakan bahwa insidens karsinoma nasofaring yang
tinggi di Cina Selatan dan Afrika Utara disebabkan karena asap dari pembakaran
kayu bakar. Sembilan puluh tiga persen penderita karsinoma nasofaring tinggal di
rumah dengan ventilasi buruk dan mempunyai riwayat terkena asap hasil bakaran
kayu bakar. Pajanan asap hasil kayu bakar lebih dari 10 tahun meningkatkan
risiko menderita karsinoma nasofaring sebesar 6 kali lipat.7,8
Pajanan pekerjaan terhadap fume, asap, debu atau bahan kimia lain
meningkatkan risiko karsinoma nasofaring 2–6 kali lipat. Peningkatan risiko
karsinoma nasofaring karena pajanan kerja terhadap formaldehid sekitar 2–4 kali
lipat, didukung oleh penelitian pada tikus, terutama untuk tipe I tetapi tidak untuk
tipe II dan III. Namun sebuah metaanalisis dari 47 penelitian tidak mendukung
hubungan formaldehid dengan karsinoma nasofaring.7,8
Stimulasi dan inflamasi jalan nafas kronik, berkurangnya pembersihan
mukosiliar, dan perubahan sel epitel mengikuti tertumpuknya debu kayu di
nasofaring memicu karsinoma nasofaring, paparan ke pelarut dan pengawet kayu,

6
seperti klorofenol juga memicu karsinoma nasofaring. Paparan debu katun yang
hebat meningkatkan risiko karsinoma nasofaring karena iritasi dan inflamasi
nasofaring langsung atau melalui endotoksin bakteri. Paparan tempat kerja yang
panas atau produk bakaran meningkatkan dua kali lipat risiko terkena karsinoma
nasofaring. Paparan debu kayu di tempat kerja lebih dari 10 tahun meningkatkan
risiko terkena karsinoma nasofaring.7,8
Pada populasi Asia, beberapa penelitian melaporkan 2–4 kali lipat
peningkatan risiko karsinoma nasofaring karena penggunaan obat herbal
tradisional, tetapi tiga penelitian di Cina Selatan tidak menemukan hubungan obat
herbal dengan karsinoma nasofaring. Di Filipina, penggunaan obat herbal
tradisional meningkatkan risiko karsinoma nasofaring, terutama pada orang yang
mempunyai titer antibodi anti-HBV tinggi. Faktor lainnya yang dapat
meningkatkan risiko karsinoma nasofaring antara lain adalah riwayat infeksi
kronik telinga, hidung, tenggorok dan saluran napas bawah. Bakteri yang
menginfeksi saluran nafas dapat mengurai nitrat menjadi nitrit, kemudian dapat
membentuk bahan N-nitroso yang karsinogenik.7,8
Faktor genetik telah banyak ditemukan berhubungan dengan peningkatan
risiko terkena karsinoma nasofaring. Orang yang mempunyai keluarga tingkat
pertama karsinoma nasofaring mempunyai risiko empat sampai sepuluh kali
dibanding yang tidak. Risiko kanker kelenjar air liur dan serviks uterus juga
meningkat pada keluarga dengan kasus karsinoma nasofaring. Faktor risiko
lingkungan seperti ikan asin, merokok dan paparan pada produk kayu
meningkatkan level antibodi anti-EBV dan beberapa polimorfasi genetik. Kasus
familial biasanya pada tipe II dan III, sedangkan tipe I nonfamilial.2,6,7,8
Di Cina Selatan dan populasi Asia lain, Human Leukocyte Antigen (HLA)-
A2-B46 dan B-17 berhubungan dengan peningkatan dua sampai tiga kali lipat
risiko karsinoma nasofaring. Sebaliknya HLA-A11 menurunkan 30%-50% risiko
terkena karsinoma nasofaring pada ras kulit putih dan Cina, B13 pada ras Cina,
dan A2 pada ras kulit putih. Sebuah metaanalisis pada populasi di Cina Selatan
menunjukkan peningkatan karsinoma nasofaring pada HLA-A2, B14 dan B46,
dan penurunan karsinoma nasofaring pada HLA-A11, B13 dan B22.7,8

7
Polimorfi di sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) dan CYP2A6 dan ketiadaan
Glutation S-transferase M1 (GSTM1) dan atau GSTT1 berhubungan dengan
peningkatan risiko dua sampai lima kali lipat terkena karsinoma nasofaring. Di
Thailand dan Cina, polimorfi pada polymeric immunoglobulin receptor (PIGR),
sebuah reseptor permukaan sel memudahkan masuknya EBV masuk ke epitel
hidung dan meningkatkan risiko karsinoma nasofaring.7,8

2.6. Patofisiologi
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang diasosiasikan dengan
virus Epstein-Barr. Telah ditemukan bahwa perkembangan karsinoma nasofaring
salah satunya dipengaruhi faktor risiko yang sudah sering dikemukakan yaitu
kenaikan titer antibodi anti-EBV yang konsisten. Akan tetapi, mekanisme
molekuler dan hubungan patofisiologis dari karsinogenesis terkait EBV masih
belum sepenuhnya jelas. Selain itu, meski karsinoma nasofaring seringkali
diasosiasikan dengan EBV, EBV tidak mengubah sel-sel epitel nasofaring
menjadi sel-sel klon yang proliferatif, meski ia dapat mentransformasi sel B
primer. Agar terbentuk karsinoma nasofaring, mula-mula dibutuhkan infeksi laten
dan litik EBV yang diduga disokong oleh perubahan genetik yang dapat
diidentifikasi pada epitel nasofaring premalignan. Setelah itu infeksi laten dan
litik terjadi dan menghasilkan produk-produk tertentu, barulah ekspansi klonal
dan transformasi sel epitel nasofaring premalignan menjadi sel kanker.9,10,11
Selain faktor genetik, faktor lingkungan berupa konsumsi karsinogen dalam
diet pada masa kanak-kanak juga dapat mengakibatkan akumulasi dari lesi genetik
dan peningkatan risiko karsinoma nasofaring. Selain diet, faktor-faktor lainnya
adalah pajanan zat-zat kimia pada pekerjaan, misalnya formaldehida dan debu
kayu yang mengakibatkan inflamasi kronis di nasofaring.9,10,11
Seperti yang telah dijelaskan, setelah faktor genetik dan lingkungan
merangsang perubahan pada epitel nasofaring, virus EBV memperparah keadaan
epitel tersebut. Virus EBV menginfeksi sel karsinoma nasofaring secara laten.
Virus ini kemudian memasuki fase infeksi litik yang produktif. Tumor karsinoma
nasofaring diketahui mengekspresikan tiga protein yang dikode EBV, RNA kecil

8
dan mikroRNA. Protein-protein yang diekspresikan di antaranya adalah EBNA1,
LMP1, dan LMP2.9,10,11
Dalam perkembangan Karsinoma Nasofaring, diduga LMP1 memiliki peran
sentral. LMP1 disekresi melalui eksosom dan masuk ke dalam sel-sel yang tidak
terinfeksi EBV melalui endositosis. LMP1 juga mempengaruhi lingkungan di
sekeliling tumor. LMP1 merupakan onkogen primer yang dapat meniru fungsi
salah satu reseptor TNF, yakni CD40. Akibatnya, ia dapat menginisasi beberapa
pathway persinyalan yang merangsang perubahan fenotip dan morfologi sel epitel.
LMP 1 juga mengakibatkan peningkatan EMT (epithelial-mesenchymal
transition). Pada proses EMT, sel-sel karsinoma akan menurunkan penanda epitel
tertentu dan meningkatkan penanda mesenkim tertentu sehingga menimbulkan
perkembangan fenotip promigratori yang penting dalam metastasis. Oleh karena
itu, LMP1 juga berperan dalam menimbulkan sifat metastasis dari karsinoma
nasofaring. Peningkatan EMT oleh LMP1 ini diikuti dengan ekspresi penanda sel
punca kanker/sel progenitor kanker serta pemberian sifat-sifat mirip sel punca/sel
progenitor kepada sel. Protein-protein lainnya serta ekspresi RNA virus juga
memiliki peranan dalam karsinogenesis karsinoma nasofaring, contohnya LMP2
yang mempertahankan latensi virus.9,10

Gambar 2.2. Patogenesis karsinoma nasofaring.9

9
2.7. Gejala Klinis
Gejala-gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kategori: (1)
gejala terkait massa nasofaring seperti epistaksis, obstruksi, dan nasal discharge;
(2) gejala telinga terkait disfungsi tuba Eustachius seperti berkurangnya
pendengaran dan tinnitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di
telinga (otalgia); (3) gejala mata dan saraf terkait keterlibatan basis cranii (erosi)
seperti sakit kepala, diplopia, rasa sakit pada wajah, dan baal/paresthesia; dan (4)
massa pada leher.2,9
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat
asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller). Tidak jarang pasien
dengan gangguan pendengaran baru kemudian disadari penyebabnya adalah
karsinoma nasofaring. Hilangnya pendengaran biasanya berupa gangguan
konduktif. Penyebabnya adalah otitis media dengan efusi yang merupakan
dampak dari disfungsi tuba Eustachius. Otitis media dengan efusi memiliki
karakteristik efusi nonpurulen di telinga tengah dengan gejala rasa penuh pada
telinga atau hilangnya pendengaran. Otitis media dengan efusi bisa jadi
merupakan resolusi dari otitis media akut atau terjadi tanpa otitis media akut.2,9
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala
lanjut karsinoma nasofaring. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai
saraf otak ke III, IV, VI dan dapat pula V, sehingga tidak jarang gejala diplopialah
yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata.2,9
Diplopia dapat terbagi menjadi monocular (apabila tetap terjadi bila salah
satu mata ditutup) dan binocular (dapat sembuh bila salah satu mata ditutup).
Kebanyakan kasus di emerjensi merupakan diplopia binokuler dengan
kelumpuhan nervus VI. Diplopia monocular terjadi karena masalah mata terkait
distorsi jalan masuk cahaya sedangkan diplopia binocular terjadi karena
tergesernya aksis visual, misalnya akibat disfungsi muskulus okulomotor atau
disfungsi nervus kranialis.2,9

10
Selain nervus VI, diplopia binokuler juga dapat diakibatkan oleh nervus III
dan IV. Ketiga nervus ini menginervasi otot-otot yang menggerakkan bola mata.
Kerusakan dapat terjadi pada satu nervus maupun kombinasi. Kompresi nervus,
misalnya oleh tumor yang berinfiltrasi, dapat menghasilkan kombinasi
kelumpuhan nervus III, IV, dan VI yang bisa disertai baal pada daerah periorbital
dan wajah serta nyeri retroorbital, proptosis, dan kongesti vena. Neuralgia
trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum
terdapat keluhan lain yang berarti.2,9
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan
XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh
dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah
mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai
dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian, biasanya
prognosisnya buruk.2,9
Penyebab munculnya massa pada leher adalah metastasis tumor ke kelenjar
getah bening (nodus limfatik) bagian servikal. Pembesaran kelenjar getah bening
bagian leher disebut juga limfadenomati servikal. Gejala ini sesungguhnya umum
ditemui pada penyakit yang menyerang kepala dan leher, dan evaluasinya dapat
membantu menentukan etiologi dan proses patologis yang terjadi. Kelenjar getah
bening yang nyeri dan mengalami inflamasi menandakan adanya inflamasi akut,
yang biasanya terjadi akibat infeksi, sedangkan kelenjar getah bening yang
volumenya besar, tegas (firm), dan elastis (rubbery) seringkali menandakan
adanya limfoma.2,9
Tedapat sistem tingkatan (level) dalam menggambarkan pembesaran
kelenjar getah bening untuk mengevaluasi persebaran tumor primer kepala dan
leher. Dengan menentukan jumlah tingkatan kelenjar getah bening dan ukurannya
dokter dapat menentukan tatalaksana dan prognosis pasien. Tingkatan-tingkatan
pembesaran kelenjar getah bening adalah: (1) Level 1, mulai dari garis tengah
segitiga submental sampai tingkat kelenjar submandibular; (2) Level 2, dari basis
tulang tengkorak sampai tingkat tulang hyoid, anterior dari bagian posterior
muskulus sternokleidomastoideus; (3) Level 3, mulai bagian bawah tulang hyoid

11
sampai ke bagian bawah arkus krikoid, dan anterior dari batas posterior
sternokleidomastoideus sampai garis tengah; (4) Level 4, mulai dari bagian bawah
krikoid sampai ke bagian atas manubrium sterni, dan anterior dari batas posterior
muskulus sternokleidomastoideus; (5) Level 5, posterior dari muskulus
sternokleidomastoideus dan bagian anterior musculus trapezius, di atas klavikula;
(7) Level 6, di bawah tulang hyoid dan di atas sternal notch, dan; (7) Level 7, di
bawah sternal notch. 2,9
Metastasis pada karsinoma nasofaring biasanya terletak di bagian superior,
yaitu level 5 atas dan level 2. Metastasis yang pertama diawali dengan kelenjar-
kelenjar di daerah retrofaring. Terkadang dapat ditemukan pasien dengan
pembesaran awal di kelenjar level 3, dan lebih jarang lagi kelenjar level 4.
Apabila dibiarkan dalam jangka waktu yang lama, pembesaran kelenjar ini dapat
berujung pada nekrosis sentral dan pembentukan abses.2,9

Gambar 2.3. Tingkat-tingkat kelenjar getah bening8

12
2.8. Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pertama anamnesis, tanyakan gejala-gejala pada karsinoma nasofaring
yang terdiri dari gejala hidung (epistaksis ringan atau sumbatan hidung), gejala
telinga (tinnitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga
(otalgia), gejala mata dan saraf, serta gejala metastasis / leher (diplopia dan
neuralgia trigeminal (saraf III, IV, V, VI), dan muncul benjolan pada leher) .9,12
Penegakkan kedua adalah Pemeriksaan Fisik, pemeriksaan yang dilakukan
adalah pemeriksaan status generalis dan status lokalis. Pemeriksaan status lokalis
berfokus pada daerah nasofaring (fossa rossenmuler sebagai predileksi tersering
karsinoma nasofaring) yang dilakukan dengan rinoskopi posterior dan
nasofaringoskop (fiber/rigid).9,12
Pemeriksaan selanjutnya adalah pemeriksaan diagnostik, yang meliputi
pemeriksaan radiologi, pemeriksaan patologi anatomi dan biopsi pada daerah
nasofaring yang terkena, dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan radiologi
berupa CT scan/MRI nasofaring potongan koronal, aksial, dan sagital, tanpa dan
dengan kontras berguna untuk melihat tumor primer dan penyebaran ke jaringan
sekitar dan penyebaran kelenjar getah bening. Untuk metastasis jauh dilakukan
pemeriksaan foto toraks, bone scan, dan USG abdomen.14,23
Pemeriksaan penunjang selanjutnya dibuktikan melalui pemeriksaan
patologi anatomi dengan spesimen berasal dari biopsi nasofaring. Hasil biopsi
menunjukkan jenis keganasan dan derajat diferensiasi. Pengambilan spesimen
biopsi dari nasofaring dapat dikerjakan dengan bantuan anestesi lokal ataupun
dengan anestesi umum.12,23
Biopsi nasofaring Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaan PA. Sementara
biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJH) atau biopsi insisional/eksisional kelenjar
getah bening leher bukan merupakan diagnosis pasti. Biopsi dilakukan dengan
menggunakan tang biopsi yang dimasukkan melalui hidung atau mulut dengan
tuntunan nasofaringoskopi rigid/fiber.12,23
Pelaporan diagnosis karsinoma nasofaring berdasarkan kriteria WHO
Karsinoma nasofaring diklasifikasikan berdasarkan histopatologinya oleh WHO

13
dalam tiga tipe, yaitu pertama, Karsinoma sel skuamosa berkeratin (keratinized
squamous cell carcinoma). Tipe ini mempunyai sifat pertumbuhan yang jelas
pada permukaan mukosa nasofaring. Sel-sel kanker dapat berdiferensiasi baik
sampai sedang, dan menghasilkan relatif cukup banyak bahan keratin didalam
maupun diluar sel. Kedua, Karsinoma sel skuamosa tanpa keratin (nonkeratinized
squamous cell carcinoma). Tipe ini paling banyak variasinya, sebagian tumor
dengan diferensiasi sedang dan sebagian lainnya dengan sel-sel yang lebih kearah
diferensiasi baik. Seringkali menyerupai gambaran pada karsinoma sel
transisional. Dan tipe ketiga adalah Karsinoma tidak berdiferensiasi
(undifferentiated carcinoma). Kelompok disini mempunyai gambaran patologi
yang sangat heterogen. Termasuk disini karsinoma anaplastik, limfoepitelioma,
clear cell carcinoma dan varian sel spindel.12,14,23
Pemeriksaan terakhir adalah pemeriksaan laboratorium dimana yang
dilakukan adalah; hematologik berupa pemeriksaan darah perifer lengkap, LED,
hitung jenis, Alkali fosfatase, LDH, dan fungsi liver seperti SGPT-SGOT.
Berdasarkan tumor, keterlibatan kelenjar getah bening, dan penyebaran jauh
kanker, klasifikasi TNM menurut AJCC 2010:

Tabel 2.1. Klasifikasi Tumor Primer (T) menurut AJCC 2010. 12, 14,23
Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 : Tidak terbukti adanya tumor primer
Tis : Karsinoma in situ
T1 : Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan / kavum
nasi tanpa perluasan ke parafaring.

T2 : Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring.


T3 : Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan/atau sinus
paranasal
T4 : Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terlibatnya saraf kranial,
hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal / ruang
mastikator.

14
Tabel 2.2. Klasifikasi Kelenjar Getah Bening Regional (N) menurut AJCC 2010. 12, 14,23
Nx : KGB regional tidak dapat dinilai
N0 : Tidak ada metastasis ke KGB regional
N1 : Metastasis kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter terbesar
6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular, dan/atau unilateral atau
bilateral kelenjar getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm
atau kurang.
N2 : Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar 6 cm
atau kurang, di atas fossa supraklavikular.

N3 : Metastasis pada kelenjar getah bening diatas 6 cm dan/atau pada fossa


supraklavikular:

N3a : Diameter terbesar lebih dari 6 cm


N3b : Meluas ke fossa supraklavikular

Tabel 2.3. Klasifikasi Metastase (M) menurut AJCC 2010. 12, 14,23
Mx :Metastasis jauh tidak dapat dinilai
Mo : Tidak ada metastasis jauh
M1 : Metastasis jauh

Tabel 2.4. Stadium KNF menurut AJCC 2010.12,23


Stadium T N M
0 T1s N0 M0
I T1 N0 M0
II T1 N1 M0
T2 N0-N1 M0
III T1-T2 N2 M0
T3 N0-N2 M0
IV A T4 N0-2 M0
IV B T1-T4 N3 M0
IV C T1-T4 N0-N3 M1

15
2.8. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada karsinoma nasofaring yaitu pertama Angiofibroma
Juvenilis , Ditemui pada usia relatif muda dengan gejala-gejala menyerupai KNF.
Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasanya tidak infiltrative. Pada foto
polos akan didapat suatu massa pada atap nasofaring yang berbatas tegas.
Kadang-kadang sulit membedakan angiofibroma juvenils dengan polip hidung
pada foto polos.12,16
Kedua, Hiperplasia Adenoid Biasanya terdapat pada anak-anak, dan
disebabkan oleh infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat massa jaringan
lunak pada atap nasofaring yang berbatas tegas dan simetris serta struktur-struktur
sekitarnya tak tampak tanda-tanda infiltrasi seperti tampak pada karsinoma.16,23
Ketiga, Neurofibroma kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring
lateral sehingga menyerupai keganasan dinding lateral nasofaring. CT Scan
membantu membedakan neurofibroma dengan KNF dengan pendesakan ruang
para faring ke arah medial. Keempat adalah tumor Parotis, Tumor kelenjar parotis
terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak dalam mengenai ruang
parafaring dan menonjol ke arah lumen nasofaring. Pada sebagian besar kasus
terlihat pendesakan ruang parafaring ke arah medial yang tampak pada
pemeriksaan CT Scan.Chordoma Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau
destruksi terutama di daerah clivus. CT Scan dapat membantu melihat adanya
pembesaran kelenjar cervikal bagian atas karena chordoma umumnya tidak
memperlihatkan kelainan pada kelenjar tersebut sedangkan KNF sering
bermetastasis ke kelenjar getah bening.16,17,22,23

2.9. Tatalaksana
Terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya, dan
didukung dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala. Koordinasi antara
bagian THT, Onkologi Radiasi, dan Onkologi Medik merupakan hal penting yang
harus dikerjakan sejak awal. Sebelum dilakukan terapi radiasi dan kemoterapi
dilakukan persiapan pemeriksaan gigi, mata, dan neurologi. Penderita dengan
status performa kurang baik atau penderita yang status performanya menurun

16
selama pengobatan, sebaiknya disarankan rawat inap agar dapat dilakukan
monitor ketat untuk mencegah timbulnya efek samping yang berat. Radioterapi
Radioterapi merupakan pengobatan terpilih dalam tatalaksana kanker nasofaring
yang telah diakui sejak lama dan dilakukan di berbagai sentra dunia. Radioterapi
dalam tatalaksana kanker nasofaring dapat diberikan sebagai terapi kuratif
definitif dan paliatif.18,22,23
Kemoterapi adalah Kombinasi kemoradiasi sebagai radiosensitizer terutama
diberikan pada pasien dengan T2-T4 dan N1-N3. Kemoterapi sebagai
radiosensitizer diberikan preparat platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali,
setiap minggu sekali 2,5 sampai 3 jam sebelum dilakukan radiasi. Pada kasus N3
> 6 cm, diberikan kemoterapi dosis penuh neo adjuvant atau adjuvan. Terapi
sistemik pada Karsinoma Nasofaring adalah dengan kemoradiasi dilanjutkan
dengan kemoterapi adjuvant, yaitu Cisplatin + RT diikuti dengan Cisplatin/5-FU
atau Carboplatin/5-FU. Dosis preparat platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6
kali, setiap seminggu sekali. Terapi sistemik pada Karsinoma Nasofaring kasus
Rekuren/Metastatik adalah Terapi Kombinasi adalah Cisplatin or carboplatin +
docetaxel or paclitaxel, Cisplatin/5-FU, Carboplatin, Cisplatin/gemcitabine,
Gemcitabine, Taxans + Patinum +5FU. Terapi Tunggal yaitu Cisplatin,
Carboplatin, Paclitaxel, Docetaxel, 5-FU, Methotrexate dan Gemcitabine. 18,21,23
Obat-obatan simptomatik dibutuhkan jika keluhan yang sering terjadi pada
saat menjalani terapi radiasi terutama adalah akibat reaksi akut pada mukosa
mulut, berupa nyeri untuk mengunyah dan menelan. Keluhan yang didapatkan
dapat dikurangi dengan obat kumur yang mengandung antiseptik dan adstringent,
(diberikan 3 – 4 sehari). Bila ada tanda-tanda moniliasis, dapat diberikan
antimikotik. Pemberian obat- obat yang mengandung anestesi lokal dapat
mengurangi keluhan nyeri menelan. Sedangkan untuk keluhan umum, misalnya
nausea, anoreksia dan sebagainya dapat diberikan terapi simptomatik.18,23

17
2.10. Pencegahan
Pencegahan kanker nasofaring yang dilakukan dapat berdasarkan faktor-
faktor yang dinilai berpengaruh akan timbulnya karsinoma nasofaring . Usaha
yang dilakukan adalah penggunaan vaksin virus Epstein-Barr, mengurangi dan
menghindari bahan-bahan atau polutan yang dapat mempengaruhi timbulnya
karsinoma nasofaring, dan mengonsumsi buah atau sayuran yang mengandung
antioksidan tinggi untuk menghambat penyebaran sel kanker dimana
mengonsumsi buah-buahan dan sayuran terbukti dapat mengurangi risiko
terjadinya KNF.19,20

2.11. Prognosis
Prognosis pada pasien dengan KNF dapat sangat berbeda antara
subkelompok yang satu dengan subkelompok yang lain. Sampai saat ini belum
ada uji meta analisis yang menggabungkan angka keberhasilan hidup dari
berbagai studi yang telah ada. Prognosis pada pasien keganasan paling sering
dinyatakan sebagai kesintasan 5 tahun. Menurut AJCC tahun 2010, kesintasan
relatif 5-tahun pada pasien dengan KNF Stadium I hingga IV secara berturutan
sebesar 72%, 64%, 62%, dan 38%.21,23

2.12. Edukasi

Tabel 2.5. Topik Edukasi Pasien Karsinoma Nasofaring.18

18
2.13. Follow-up
Kontrol rutin dilakukan meliputi konsultasi & pemeriksaan fisik yang
dilakukan pada Tahun pertama dilakukan setiap 1-3 bulan, pada tahun ketiga
dilakukan setiap 2-6 bulan pada Tahun ketiga hingga kelima dilakukan setiap 4-8
bulan untuk yang diatas lima tahun dilakukan setiap 12 bulan. Follow-up imaging
terapi kuratif dilakukan minimal 3 bulan pasca terapi dengan dilakukan MRI
dengan kontras sekuens T1, T2, Fatsat, DWI + ADC. Dan dilakukan bone Scan
untuk menilai respons terapi terhadap lesi metastasis tulang. Follow-up imaging
terapi paliatif (dengan terapi kemoterapi) dan Follow-up dengan CT Scan pada
siklus pertengahan terapi untuk melihat respon kemoterapi terhadap tumor atau
bone scan untuk melihat metastasis tulang. 18 23

19
BAB III
KESIMPULAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang muncul pada


daerah nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung). Karsinoma ini
terbanyak merupakan keganasan tipe sel skuamosa. Diagnosis pasti berdasarkan
pemeriksaan PA dari biopsi nasofaring, bukan dari biopsi aspirasi jarum halus
atau biopsi insisional/eksisional kelenjar getah bening leher.
Terapi kanker nasofaring dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi
keduanya, dan didukung dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala.
Koordinasi antara bagian THT, Radioterapi, dan Onkologi Medik merupakan hal
penting yang harus dikerjakan sejak awal. Disarankan untuk melakukan skrining
rutin pada semua pasien kanker lanjut, baik yang menerima maupun tidak
menerima terapi antikanker, untuk menilai asupan nutrisi yang tidak adekuat,
penurunan BB dan IMT yang rendah, dan apabila berisiko, maka dilanjutkan
dengan assessmen gizi.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Chan J, Pilch B, Kuo T, Wenig B, Lee A. Tumours of the nasopharynx.


Dalam: Barnes L EJRPSD, editor. WHO classification of tumours: head &
neck tumours. Lyon: IARC Press; 2005. p. 81–106.
2. Roezin, A dan Adham, M. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Soepardi, E,
Iskandar, N, Bashiruddin, J, dan Restuti, RD, editor. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Edisi Ketujuh. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI. 2012. p. 158–63.
3. Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, et al. Nasopharyngeal carcinoma in
indonesia: Epidemiology, incidence, signs, and symptoms at presentation.
Chin J Cancer. 2012; 31(4):185–96.
4. William I. Wei, Dora L. W. Kwong. Current Management Strategy of
Nasopharyngeal Carcinoma. Department of Surgery, Queen Mary Hospital,
The University of Hong Kong, Hong Kong SAR, China. Clinical and
Experimental Otorhinolaryngology. 2010. Vol. 3 No. 1: 1-12.
5. Jeyakumar, Anita et al. Review of Nasopharyngeal Carcinoma. ENT-Ear,
Nose & throat Journal. 2006.
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran (PNPK) Penanganan Kanker Nasofaring. 2017; 6–7.
7. Ariwibowo, H. Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring. Cermin Dunia Ked.
2013; 40(5): 348–51.
8. Chang ET, Adami H-O. The Enigmatic Epidemiology of Nasopharyngeal
Carcinoma. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev 2006; 15: 1765-77
9. Shary, K. Patogenesis, Patofisiologi, dan Manifestasi Klinis Kanker
Nasofaring. LTM Pemicu 3 Modul Penginderaan; 2015. p. 2–6.
10. Yoshizaki T, Kondo S, Wakisaka N, Murono S, Endo K, Sugimoto H, et al.
Pathogenic role of Epstein-Barr virus latent membrane protein-1 in the
development of nasopharyngeal carcinoma. Cancer Lett. 2013; 337: 1–7.

21
11. Tsao SW, Yip YL, Tsang CM, Pang PS, Lau VMY, Zhang G, et al.
Etiological factors of nasopharyngeal carcinoma. Oral Oncol. 2014; 50: 330–
38.
12. Tan L, Loh T. Benign and malignant tumors of the nasopharynx. In: Flint P,
Haughey BH, Lund V, et al, editors. Cummings Otolaryngology. 6th ed.
Philadelpia:Saunder, 2015. p. 1420-31.
13. Lo S, Lu J. Natural history, presenting symptoms, and diagnosis of
nasopharyngeal carcinoma. In: Brady L, Heilman H, Molls M, Nieder C,
editors. Nasopharyngeal cancer: multidisiplinary management.
14. Chan ATC, Grégoire V, Lefebvre J-L, et al. Nasopharyngeal cancer: EHNS–
ESMO–ESTRO Clinical Practice Guidelines for diagnosis, treatment and
follow-up. Ann Oncol 2012;23:2010–2.
15. Cosway B, Drinnan M, Paleri V. Narrow band imaging for the diagnosis of
head and neck squamous cell carcinoma: A systematic review. Head and neck
2016;38:E2358-67.
16. Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The Epidemiology of
Nasopharingeal Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin :
Springer,2010. p. 1-9.
17. Paulino, Arnold C. Nasopharyngeal Cancer. 2015. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/988165-overview. Diakses pada 04
Maret 2018.
18. Kemenkes. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Penanganan
Kanker Nasofaring. Jakarta. 2017.
19. Chang TE AH. The enigmatic epidemiology of nasopharyngeal carcinoma.
Cancer Epidemiology Biomarkers Prev. 2006 Oktober; 15(10).
20. Dan Jin J OZWZ. Association of fruit and vegetables with the risk of
nasopharyngeal cancer: evidence from a meta-analysis. Springer Nature. 2014
Juli.
21. American Cancer Society. Nasopharyngeal Cancer. 2016. Available from:
http://www.cancer.org/cancer/nasopharyngealcancer/detailed
guide/nasopharyngeal-cancer-survival-rates. Diakses pada 04 Maret 2018.

22
22. Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan
leher. Modul Onkologi Bedah Kepala Leher. Jakarta : 2015
23. Panduan praktik klinis (PPK), Panduan Praktik Klinis Tindakan (PPKT) dan
Clinical Pathway (CP) volume 2. PP Perhati-KL. Jakarta. 2016.

23

Anda mungkin juga menyukai