Anda di halaman 1dari 43

Laporan Kasus

KARSINOMA NASOFARING

Oleh :
Nuria Junita, S.Ked (712016054)
Siti Istiqomah, S.Ked (712016080)
Ghea Lingga Septiareni, S.Ked (712018028)

Pembimbing :
dr. Taufik Hidayat, Sp.THT-KL

SMF ILMU PENYAKIT THT-KL


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan Laporan Kasus dengan Judul


Karsinoma Nasofaring

Disusun Oleh
Nuria Junita, S.Ked (712016054)
Siti Istiqomah, S.Ked (712016080)
Ghea Lingga Septiareni, S.Ked (712018028)

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior (KKS) di Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan Kepala-
Leher RSUD Palembang BARI, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang periode Juli 2019.

Palembang, Juli 2019


Pembimbing,

dr. Taufik Hidayat, Sp.THT-KL

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Karsinoma Nasofaring”, sebagai salah satu tugas individu di Bagian Ilmu
Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan Kepala-Leher di Rumah Sakit Umum
Daerah Palembang BARI. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah
Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir
zaman.
Penulis menyadari bahwa laporan ini belum sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai bahan
pertimbangan perbaikan di masa mendatang.
Dalam penyelesaian laporan kasus ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, baik yang diberikan secara lisan
maupun tulisan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat
dan terima kasih terutama kepada:
1. dr. Taufik Hidayat, Sp.THT-KL, selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan banyak ilmu, saran, dan bimbingan selama penyusunan Laporan
Kasus ini.
2. Orang tua dan saudaraku tercinta yang telah banyak membantu dengan doa
yang tulus dan memberikan bantuan moral maupun spiritual.
3. Rekan sejawat seperjuangan serta semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis berharap semoga Laporan Kasus ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam
lindungan Allah SWT. Aamiin.

Palembang, Juli 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... ii
KATA PENGANTAR................................................................................... iii
DAFTAR ISI................................................................................................. iv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Nasofaring.............................................................. 3
2.2. Karsinoma Nasofaring.......................................................... 4
2.2.1. Definisi Karsinoma Nasofaring.................................. 4
2.2.2. Epidemiologi.............................................................. 5
2.2.3. Etiologi....................................................................... 5
2.2.4. Gejala Klinik ............................................................. 8
2.2.5. Patogenesis................................................................. 11
2.2.6. Diagnosis.................................................................... 13
2.2.7. Pemeriksaan Penunjang.............................................. 16
2.2.8. Penatalaksanaan ......................................................... 17
2.2.9. Prognosis ................................................................... 21
BAB III LAPORAN KASUS..................................................................... 22
BAB IV PEMBAHASAN........................................................................... 29
BAB V KESIMPULAN............................................................................ 34
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 35

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala leher yang
terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala leher
merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung
dan sinus paranasal(18%), laring(16%) dan tumor ganas rongga mulut, tonsil
dan hipofaring dalam presentase rendah. Berdasarkan data laboratorium
patologik anatomik, tumor ganas nasofaring sendiri selalu berada dalam
kedudukan lima besar dari tumor ganas tubuh manusia bersama tumor ganas
serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit.1,2
Karsinoma nasofaring adalah salah satu kanker kepala leher yang
bersifat sangat invasif dan sangat mudah bermetastasis (menyebar) dibanding
kanker kepala leher yang lain. Karsinoma nasofaring paling sering di fossa
Rosenmuller yang merupakan daerah transisional epitel kuboid berubah
menjadi epitel skuamosa. Karsinoma nasofaring dibagi menjadi 3 tipe
histopatologi berdasarkan klasifikasi WHO 1991, tipe-1 (karsinoma sel
skuamosa berkeratin) sekitar 10%, tipe-2 (karsinoma tidak berkeratin
berdiferensiasi) sekitar 15% dan tipe-3 (karsinoma tidak berkeratin tidak
berdiferensiasi), tipe yang ke-3 yang paling sering muncul (75%).
Meningkatnya angka kasus kejadian karsinoma nasofaring terjadi pada usia
40 sampai 50 tahun, tetapi dapat juga terjadi pada anak-anak dan usia remaja.
Angka perbandingan (rasio) laki-laki dan perempuan pada karsinoma
nasofaring adalah 2-3 :1.2, 3
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih
merupakan suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti,
gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi,dan tidak
mudah diperiksa oleh mereka yg bukan ahli sehingga diagnosis sering
terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada leher sebagai gejala

1
2

pertama. Dengan makin terlambatnya diagnosis maka prognosis (angka bertahan


hidup 5 tahun) semakin buruk.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Nasofaring


Nasofaring merupakan suatu ruangan yang berbentuk mirip kubus,
terletak dibelakang rongga hidung. Diatas tepi bebas palatum molle yang
berhubungan dengan rongga hidung dan ruang telinga melalui koana dan tuba
eustachius. Atap nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak, tempat keluar dan
masuknya saraf otak dan pembuluh darah. Dasar nasofaring dibentuk oleh
permukaan atas palatum molle. Dinding depan dibentuk oleh koana dan
septum nasi dibagian belakang. Bagian belakang berbatasan dengan ruang
retrofaring, fasia prevertebraliss dan otot dinding faring. Pada dinding lateral
terdapat orifisium yang berbentuk segitiga, sebagai muara tuba eustachius
dengan batas superoposterior berupa tonjolan tulang rawan yang disebut torus
tubarius. Sedangkan kearah superior terdapat fossa rossenmuller atau resessus
lateral.4

Nasofaring diperdarahi oleh cabang arteri karotis eksterna, yaitu


faringeal asenden dan desenden serta cabang faringeal arteri sfenopalatina.
Darah vena dari pembuluh darah balik faring pada permukaan luar dinding
muskuler menuju pleksus pterigoid dan vena jugularis interna. Daerah

3
4

nasofaring dipersarafi oleh saraf sensoris yang terdiri dari nervus glossofaringeus
(N.IX) dan cabang maksila dari saraf trigeminus (N.V2), yang menuju ke anterior
nasofaring. Sistem limfatik daerah nasofaring terdiri dari pembuluh getah bening
yang saling menyilang dibagian tengah dan menuju ke kelenjar Rouviere yang
terletak pada bagian lateral ruang retrofaring, selanjutnya menuju ke kelenjar
limfa disepanjang vena jugularis dan kelenjar limfa yang terletak dipermukaan
superfisial. 4

2.2. Karsinoma Nasofaring


2.2.1. Definisi Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring merupakan sebuah kanker yang bermula tumbuh
pada sel epitelial- batas permukaan badan internal dan external sel di daerah
nasofaring. Ada tiga tipe karsinoma nasofaring:5
a. Karsinoma sel skuamos keratinisasi.
b. Karsinoma berdiferensiasi non-keratinisasi.
c. Karsinoma tidak berdiferensiasi.
Karsinoma nasofaring merupakan penyakit keganasan (kanker) sel
yang terbentuk di jaringan nasofaring, yang merupakan bagian atas pharynx
5

(tengorokan), di belakang hidung. Pharynx merupakan sebuah lembah yang


berbentuk tabung dengan panjang 5 inchi dimulai dari belakang hidung
dan berakhir di atas trakea dan esofagus. Udara dan makanan melawati
pharynx. Karsinoma nasofaring paling sering bermula pada sel skuamos
yang melapisi nasofaring. Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas
karsinoma berasal dari epitel nasofaring. Biasanya tumor ganas ini tumbuh
dari fossa rosenmuller dan dapat meluas ke hidung, tenggorok, serta dasar
tengkorak. 5

2.2.2. Epidemiologi
Meskipun bayak ditemukan di negara dengan penduduk non-
Mongoloid, namun demikian daerah Cina bagian selatan masih menduduki
tempat tertinggi yaitu dengan 2.500 kasus baru pertahun untuk propinsi
Guang-dong (kwantung) atau prevalensi 39.84/100.000 penduduk.1,2
Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, Afrika bagian utara
seperti Aljazair dan Tunisia. Pada orang eskimo di Alaska da Tanah Hijau
yang diduga penyebabnya adalah karena mereka memakan makanan yang
diawetkan dalam musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet
nitrosamin. 1,2
Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah, di
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100
kasus setahun, RS hasan sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung
Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, 15 kasus setahun di Denpasar dan
11 kasus di Padang dan Bukit Tinggi. Demikian pula dengan angka-angka
yang didapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan lain-lain menunjukkan
bahwa tumor ganas ini terdapat merata di Indonesia. 1,2

2.2.3. Etiologi
Terjadinya karsinoma nasofaring mungkin multifaktorial, proses
karsinogenesisnya mencakup banyak tahap. Banyak penyelidikan mengenai
kejadian karsinoma nasofaring, seperti Epstein-Barr virus, lainnya seperti
letak geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan
6

kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, dan infeksi kuman atau


parasit. Faktor yang diduga terkait dengan timbulnya karsinoma nasofaring
adalah:1, 6, 7

1. Epstein-Barr Virus
Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma
nasofaring adalah Virus Epstein-Barr, karena pada semu pasien nasofaring
didapatkan titer antivirus EB yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari
titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala lainnya, tumor organ
tubuh ainnya, bahkan pada kelainan nasofaring yang lain sekalipun. EBV
adalah suatu virus yang sangat erat kaitannya dengan timbulnya karsinoma
nasofaring. Virus ini memiliki protein, yang diperkirakan memengaruhi
DNA sel sehingga mengalami mutasi, khususnya protooncogen menjadi
oncogen.
2. Jenis Kelamin
Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi pada pria daripada
wanita dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin
ada hubungannya dengan factor genetik, kebiasaan hidup, pekerjaan dan
lain-lain.
3. Ras
Kanker jenis ini lebih sering mempengaruhi orang-orang di Asia
dan Afrika Utara. Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya
kanker nasofaring, sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina
bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan
Indonesia. Pada orang eskimo diduga penyebabnya adalah karena mereka
memakan makanan yang diawetkan dalam musim dingin dengan
menggunakan bahan pengawet nitrosamine.
4. Umur
Kanker nasofaring dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling
sering didiagnosis pada orang dewasa antara usia 30 tahun dan 50 tahun.

5. Genetik
7

Walaupun karsinoma nasofaring bukan tumor genetik, kerentanan


terhadap kanker nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif
menonjol ras yang banyak sekali menderitanya adalah bangsa China dan
memiliki fenomena agregasi familial. Anggota keluarga yang menderita
karsinoma nasofaring cendrung juga menderita karsinoma nasofaring.
Penyebab karsinoma nasofaring ini belum diketahui apakah karsinoma
nasofaring dikarenakan oleh gen yang diwariskan. Faktor lingkungan yang
mempengaruhi ( seperti diet makanan yang sama atau tinggal di
lingkungan yang sama), atau beberapa kombinasi diantarnya juga ikut
mendukung timbulnya karsinoma nasofaring. Analisis korelasi
menunjukkan gen (Human Leukocyte Antigen) HLA dan gen pengode
enzime sitokorm p4502E (CYP2EI) kemungkinan adalah gen kerentanan
terhadap kanker nasofaring, Mereka berkaitan dengan timbulnya sebagian
besar kanker nasofaring. Tahun 2002, RS Kanker Universitas Zhongshan
memakai 382 buah petanda mikrosatelit polimorfisme 22 helai autosom
genom manusia. Dengan melakukan pemeriksaan genom total terhadap
keluarga insiden tinggi kanker nasofaring berdialek Guangzhou di propinsi
Guangdong, gen kerentanan nasofaring ditetapkan berlokasi di 4p1511-
q12.
Memiliki anggota keluarga dengan karsinoma nasofaring meningkatkan
risiko penyakit. Pengaruh genetik terhadap karsinoma nasofaring sedang
dalam pembuktian dengan mempelajari cell mediated immunity dari virus
EB dan tumor associated antigens pada karsinoma nasofaring.
6. Kebiasaan Hidup Makanan yang diawetkan
Bahan kimia yang dilepaskan dalam uap saat memasak makanan,
seperti ikan dan sayuran diawetkan, dapat masuk ke rongga hidung,
meningkatkan risiko karsinoma nasofaring. Kebiasaan makan makanan
terlalu panas, paparan bahan kimia ini pada usia dini, lebih dapat
meningkatkan risiko.

7. Lingkungan
8

Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia,


asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu
masak tertentu dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Terdapat
hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan
mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan keganasan
lain tidak jelas. Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat berikut
berkaitan dengan timbulnya karsinoma nasofaring yaitu golongan
Nitrosamin,diantaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin, hidrokarbon
aromatic dan unsur renik, diantaranya nikel sulfat.
8. Faktor Pekerjaan
Faktor yang juga ikut berpengaruh adalah pekerjaan yang banyak
berhubungan dengan debu nikel, debu kayu (pada industri mebel atau
penggergajian kayu), atau pekerjaan pembuat sepatu. Atau zat yang sering
kontak dengan zat yang dianggap karsinogen adalah antara lain:
Benzopyrene, Bensoanthracene, gas kimia, asap industri, dan asap kayu.

2.2.4. Gejala Klinik


Gejala kanker nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu gejala
nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis atau
gejala dileher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan
hidung, untuk itu nasofaring harus diperiksa secara cermat, kalau perlu dengan
nasofaringoskop, karena sering gejala belum ada sedangkan tumor sudah
tumbuh ata tumor tidak tampak karena masih terdapat dibawah mukosa
(creeping tumor).1,2,6
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini karena tempat asal tumor
dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa
tinnitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).
Tidak jarang pasien dengan gangguan pendengaran ini baru kemudian disadari
bahwa penyebabnya adalah karsinoma nasofaring.6
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lobang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai
gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen laserum akan
9

mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat pula ke V, sehingga tak jarang
gejala diploplia yang membawa pasien terlebih dahulu ke dokter mata.
Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf
jika belum terdapat keluhan lain yang berarti.1,2
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan
XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relative
jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut sindrom Jackson. Bila sudah
mengenai selurih saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai
dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian, biasanya
prognosisnya buruk.1
Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang
mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan
lain. Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring atau
LHN telah diteliti di Cina yaitu 3 bentuk yang mencurigakan pada nasofaring,
seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa, pembesaran nodul dan
mukosistis berat pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila diikuti bertahun-
tahun kemudian akan menjadi karsinoma nasofaring.1
2.2.4.1 Gejala Dini
Karena Karsinoma nasofaring bukanlah penyakit yang dapat
disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan yang sedini mungkin
memegang peranan penting untuk mengetahui gejala dini KNF dimana tumor
masih terbatas di rongga nasofaring.9, 10
a. Gejala telinga :
1. Sumbatan tuba eutachius / kataralis. Pasien mengeluh rasa penuh di
telinga, rasa berdengung kadang-kadang disertai dengan gangguan
pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini.
2. Radang telinga tengah sampai perforasi membrane timpani.
Keadaan ini merupakan kelainan lanjutan yang terjadi akibat
penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan terisi
cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak,
sehingga akhirnya terjadi perforasi membran timpani dengan
akibat gangguan pendengaran.
10

b. Gejala Hidung:
1. Epistaksis
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan
dan sentuhan dapat terjadi perdarahan hidung atau epistaksis.
Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit
dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna
kemerahan.
2. Sumbatan hidung
Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan
tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala
menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan
penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan hidung ini
bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga
dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan
lainlainnya. Epistaksis juga sering terjadi pada anak yang sedang
menderita radang. Hal ini menyebabkan keganasan nasofaring
sering tidak terdeteksi pada stadium dini.
2.2.4.2 Gejala Lanjut
a. Pembesaran kelenjar limfe leher.
Tidak semua benjolan leher menandakan penyakit ini. Yang khas
jika timbulnya di daerah samping leher, 3-5 cm di bawah daun telinga
dan tidak nyeri. Benjolan biasanya berada di level II-III dan tidak
dirasakan nyeri, karenanya sering diabaikan oleh pasien. Sel-sel kanker
dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di
bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit digerakan.
Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut. Pembesaran kelenjar
limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke
dokter.9,10
b. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar
Karena nasofaring berhubungan dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi ,
seperti penjalaran tumor melalui foramen laserum akan mengenai saraf
11

otak ke III, IV, VI dan dapat juga mengenai saraf otak ke-V, sehingga
dapat terjadi penglihatan ganda (diplopia).9,10
Proses karsinoma nasofaring yang lanjut akan mengenai saraf otak
ke IX, X, XI, dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu
suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering
disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf
otak disebut sindrom unilateral. Dapat juga disertai dengan destruksi
tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian, biasanya
prognosisnya buruk..9,10
c. Gejala akibat metastasis
Sel-sel kanker dapat ikut bersama aliran limfe atau darah,
mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang
disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru.
Jika ini terjadi menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat
buruk. .9,10

2.2.5. Patogenesis
Kanker nasofaring merupakan tumor ganas yang diasosiasikan
dengan virus EBV (Epstein-Barr virus). Telah ditemukan bahwa
perkembangan kanker nasofaring salah satunya dipengaruhi faktor
risiko yang sudah sering dikemukakan yaitu kenaikan titer antibody
anti-EBV yang konsisten. Akan tetapi, mekanisme molekuler dan
hubungan patofisiologis dari karsinogenesis terkait EBV masih belum
sepenuhnya jelas.9 Selain itu, meski kanker nasofaring seringkali
diasosiasikan dengan EBV, EBV tidak mengubah sel-sel epitel
nasofaring menjadi sel-sel klon yang proliferative, meski ia dapat
mentransformasi sel B primer. Agar terbentuk kanker nasofaring, mula-
muladibutuhkan infeksi laten dan litik EBV yang diduga disokong oleh
perubahan genetik yang dapat diidentifikasi pada epitel nasofaring
premalignan. Setelah itu infeksi laten dan litik terjadi dan menghasilkan
produk-produk tertentu, barulah ekspansi klonal dan transformasi sel
epitel nasofaring premalignan menjadi sel kanker. Selain faktor genetik,
12

faktor lingkungan berupa konsumsi karsinogen dalam diet pada masa


kanak-kanak juga dapat mengakibatkan akumulasi dari lesi genetik dan
peningkatan risiko kanker nasofaring. Selain diet, faktor-faktor lainnya
adalah pajanan zat-zat kimia pada pekerjaan, misalnya formaldehida
dan debu kayu yang mengakibatkan inflamasi kronis di nasofaring.10
Seperti yang telah dijelaskan, setelah faktor genetik dan
lingkungan merangsang perubahan pada epitel nasofaring, virus EBV
memperparah keadaan epitel tersebut. Virus EBV menginfeksi sel
nasofaring secara laten. Virus ini kemudian memasuki fase infeksi litik
yang produktif. Tumor nasofaring diketahui mengekspresikan tiga
protein yang dikode EBV, RNA kecil dan mikroRNA. Protein-protein
yang diekspresikan di antaranya adalah EBNA1, LMP1, dan LMP2.
Dalam perkembangannya, diduga LMP1 memiliki peran sentral. LMP1
disekresi melalui eksosom dan masuk ke dalam sel-sel yang tidak
terinfeksi EBV melalui endositosis. LMP1 juga mempengaruhi
lingkungan di sekeliling tumor. LMP1 merupakan onkogen primer yang
dapat meniru fungsi salah satu reseptor TNF, yakni CD40. Akibatnya, ia
dapat menginisiasi beberapa pathway persinyalan yang merangsang
perubahan fenotip dan morfologi sel epitel. LMP 1 juga mengakibatkan
peningkatan EMT (epithelial-mesenchymal transition). Pada proses
EMT, sel-sel karsinoma akan menurunkan penanda epitel tertentu dan
meningkatkan penanda mesenkim tertentu sehingga menimbulkan
perkembangan fenotip promigratori yang penting dalam metastasis.
Oleh karena itu, LMP1 juga berperan dalam menimbulkan sifat
metastasis dari kanker nasofaring. Peningkatan EMT oleh LMP1 ini
diikuti dengan ekspresi penanda sel punca kanker/sel progenitor kanker
serta pemberian sifat-sifat mirip sel punca/sel progenitor kepada sel.9
Protein-protein lainnya serta ekspresi RNA virus juga memiliki
peranan dalam karsinogenesis kanker nasofaring, contohnya LMP2
yang mempertahankan latensi virus. Peran-peran protein dan RNA serta
proses patogenesis kanker nasofaring terangkum dalam berikut.9
13

Gambar 1.
Patogenesis Karsinoma
Nasofarin

2.2.6. Diagnosis
Persoalan diagnostik sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan
CT-Scan daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang
tersembunyi pun tidak akan terlalu sulit ditemukan.1,3,4
Pemeriksaa serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi
virus E-B telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma
nasofaring. Tjokro Seiyo dari Fakultas Kedokteran UI Jakarta mendapatkan
dari 41 persen karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV)
sensitifitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifisitas 91,8% dengan titer
berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA
sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0% , sehingga
pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan.
Titer yang didapat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak pada titer
160. 1,3,4
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring.
Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dari hidung atau dari mulut.
Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dari hidung atau dari mulut.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind
14

biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menyelurusi


konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan
dilakukan biopsi.1
Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton
yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam
mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang di hidung.
Demikian juga dengan kateter dari hidung di sebelahnya, sehingga palatum
mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah
nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut
atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa
tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakukan
dengan analgesia topikal dengan xylocain 10%.
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang
memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral
nasofaring dalam narkosis. 1,3,4

a. Histopatologi
Telah disetujui oleh WHO bahwa hanya ada 3 bentuk karsinoma
(epidermoid) pada nasofaring yaitu karsinoma sel skuamosa
(berkeratinisasi) dan karsinoma tidak berdiferensiasi. Klasifikasi gambaran
histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO), dibagi atas 3 tipe, yaitu :8
1. Karsinoma sel skuamosa (KSS) berkeratinisasi (Keratinizing Squamous
Cell Carcinoma) Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik,
sedang dan buruk.
2. Karsinoma non-keratinisasi (Nonkeratinizing Carcinoma) Pada tipe ini
dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa
tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma)
Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang
vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada
umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.
15

b. Stadium Tumor
Klasifikasi TNM berdasarkan AJCC (American Joint Committee On
cancer, Edisi 7, 2010)8
Tumor Primer (T)
T : tumor primer
TX : tumor tidak dapat dinilai
T0 : tidak terdapat tumor primer
Tis : karsinoma in situ
T1 :tumor terbatas pada nasofaring, atau tumor meluas ke orofaring
dan atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaringeal
T2 :tumor dengan perluasan ke parafaringeal
T3 :tumor melibatkan struktur tulang dari basis kranii dan atau sinus
paranasal
T4 :tumor dengan peluasan intracranial dan atau keterlibatan saraf
kranial, hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa
infratemporal / masticator space

KGB Regional (N)


Nx : KGB regional tidak dapat dinilai
N0 : Tidak terdapat metastasis ke KGB regional
N1 : Metastasis unilateral di KGB, 6 cm atau kurang di atas fossa
supraklavikula
N2 : Metastasis bilateral di KGB, 6 cm atau kurang dalam dimensi
terbesar di atas fossa supraklavikula
N3 : Metastasis KGB, ukuran > 6 cm
N3a : Ukuran > 6 cm
N3b : Perluasan ke fossa supraklavikula

Metastasis Jauh (M)


MX : metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 : tidak terdapat metastasis jauh
M1 : terdapat metastasis jauh
16

Berdasarkan TNM tersebut, stadium dapat dibagi menjadi:


 Stadium I : T1 N0 M0
 Stadium II : T2 N0 M0
 Stadium III : T3 N0 M0
T1, T2, T3, N1 M0
 Stadium IV : T4 N0, N1 M0
T1 – T4 N2,N3 M0
T1 – T4 N0 – N3 M1

2.2.7. Pemeriksaan penunjang


1. Pemeriksaan radiologi konvensional.
Pada foto tengkorak potongan anteroposterior dan lateral, serta posisi
waters tampak jaringan lunak di daerah nasofaring. Pada foto dasar
tengkorak ditemukan destruksi atau erosi tulang daerah fossa serebri
media.11
2. Pemeriksaan tomografi, CT Scan nasofaring.
Merupakan pemeriksaan yang paling dipercaya untuk menetapkan stadium
tumor dan perluasan tumor. Pada stadium dini terlihat asimetri dari
resessus lateralis, torus tubarius dan dinding posterior nasofaring. 5,,11
3. Scan tulang dan foto toraks untuk mengetahui ada tidaknya metastasis
jauh. 11
4. Pemeriksaan serologi, berupa pemeriksaan titer antibodi terhadap virus
Epstein-Barr ( EBV ) yaitu lg A anti VCA (Viral Capsid Antigen) dan lg A
anti EA.(Early Antigen) 11
5. Pemeriksaan aspirasi jarum halus (FNAB), bila tumor primer di nasofaring
belum jelas dengan pembesaran kelenjar leher yang diduga akibat
metastasis karsinoma nasofaring.
6. Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal untuk mendeteksi adanya
metastasis.

2.2.8. Penatalaksanaan
1. Stadium I : Radioterapi
2. Stadium II-III : Kemoradiasi
3. Stadium IV dengan N <6cm: Kemoradiasi
4. Stadium V dengan N >6cm : Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan
kemoradiasi
17

a. Radioterapi
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan
pada penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan komputer.
Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher,
pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi,
vaksin dan antivirus. 11
b. Kemoterapi
Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan,
sedangkan kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terpai adjuvant
(tambahan). Berbagai macam kombinasi dikembangkan, yang terbaik
sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai inti.
Pemberian ajuvan kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluouracil
sedang dikembangkan. Kombinasi kemoradioterapi dengan mitomycin
C-fluorouracil setiap hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat
“radiosensitizer” memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan
kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring.1,5
Secara definisi kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang
dapat menghambat pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel
kanker. Obat-obat anti kanker dapat digunakan sebagian terapi tunggal
(active single agents), tetapi pada umumnya berupa kombinasi karena
dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain
itu sel – sel yang resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitive
terhadap obat lainnya. Dosis obat sitostatika dapat dikurangi sehingga
efek samping menurun. Beberapa regimen kemoterapi yang antara lain
cisplatin, 5-Fluorouracil , methotrexate, paclitaxel dan docetaxel.
Tujuan kemoterapi untuk menyembuhkan pasien dari penyakit tumor
ganas. Kemoterapi bisa digunakan untuk mengatasi tumor secara lokal
dan juga untuk mengatasi sel tumor apabila ada metastasis jauh. 11, 12
Pemberian kemoterapi terbagi dalam 3 kategori : 11, 12
1. Kemoterapi adjuvan
18

Pemberian kemoterapi diberikan setelah pasien dilakukan


radioterapi. Tujuannya untuk mengatasi kemungkinan metastasis jauh
dan meningkatkan kontrol lokal. Terapi adjuvan tidak dapat diberikan
begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi
utamanya yang maksimal ternyata:
-Kanker masih ada, dimana biopsi masih positif.
-Kemungkinan besar kanker masih ada, meskipun tidak ada bukti secara
makroskopis.
-Pada tumor dengan derajat keganasan tinggi. (oleh karena tingginya
resiko kekambuhan dan metastasis jauh).
2. Kemoterapi neoadjuvan
Pemberian kemoterapi adjuvant yang dimaksud adalah pemberian
sitostatika lebih awal yang dilanjutkan pemberian radiasi. Maksud dan
tujuan pemberian kemoterapi neoadjuvan untuk mengecilkan tumor
yang sensitif sehingga setelah tumor mengecil akan lebih mudah
ditangani dengan radiasi.
Kemoterapi neoadjuvan telah banyak dipakai dalam
penatalaksanaan kanker kepala dan leher. Alasan utama penggunaan
kemoterapi neoadjuvan pada awal perjalanan penyakit adalah untuk
menurunkan beban sel tumor sistemik pada saat terdapat sel tumor yang
resisten. Vaskularisasi intak sehingga perjalanan ke daerah tumor lebih
baik. Terapi bedah dan radioterapi sepertinya akan memberi hasil yang
lebih baik jika diberikan pada tumor berukuran lebih kecil. Teori ini
dapat disingkirkan karena akan terjadi peningkatan efek samping,
durasinya, dan beban biaya perawatan yang meningkat. Dan yang lebih
penting, sel yang bertahan setelah kemoterapi akan menjadi lebih tidak
respon setelah dilakukan radioterapi sesudahnya. Alasan praktis
penggunaan kemoterapi adjuvan adalah usaha untuk meningkatkan
kemungkinan preservasi organ dan kesembuhan.
Regimen kemoterapi yang diberikan cisplatin 100 mg/m2 dengan
kecepatan infus 15- 20 menit perhari yang diberikan dalam 1 hari dan
19

5-FU 1000 mg/m2/hari secara intra vena, diulang setiap 21 hari.


Sebelum pemberian Cisplatin diawali dengan hidrasi berupa 1.000 mL
saline 0,9% natrium. Manitol 40 g diberikan bersamaan dengan
cisplatin infus. Setelah pemberian cisplatin, dilakukan pemberian 2.000
mL 0,9% natrium garam mengandung 40 mEq kalium klorida. Pasien
diberikan antimuntah sebagai profilaksis yang terdiri dari 5-
hydroxytryptamine-3 reseptor antagonis ditambah 20 mg deksametason.
Berdasarkan penelitian pemberian neoadjuvan kemoterapi dalam 2-3
siklus yang diberikan setiap 3 minggu dengan syarat bila adanya respon
terhadap kemoterapi.
3. Kemoterapi concurrent
Kemoterapi diberikan bersamaan dengan radiasi. Umumnya dosis
kemoterapi yang diberikan lebih rendah. Biasanya sebagai
radiosensitizer. Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada KNF ternyata
dapat meningkatkan hasil terapi terutama pada stadium lanjut atau pada
keadaan relaps. Hasil penelitian menggunakan kombinasi cisplatin
radioterapi pada kanker kepala dan leher termasuk KNF, menunjukkan
hasil yang memuaskan. Cisplatin dapat bertindak sebagai agen
sitotoksik dan radiation sensitizer. Jadwal optimal cisplatin masih
belum dapat dipastikan, namun pemakaian seharihari dengan dosis
rendah, pemakaian 1 kali seminggu dengan dosis menengah, atau 1 kali
3 minggu dengan dosis tinggi telah banyak digunakan. Agen
kemoterapi telah digunakan pada pasien dengan rekarens lokal dan
metastatik jauh. Agen yang telah dipakai yaitu metothrexat, bleomycin,
5 FU, cisplatin dan carboplatin merupakan agen yang paling efektif
dengan respon berkisar 15-31%. Agen aktif yang lebih baru meliputi
paklitaxel dan gemcitibine.

c. Perawatan Paliatif
Perawatan paliatif harus diberikan pada pasien dengan pengobatan
radiasi. Mulut rasa kering disebakan oleh kerusakan kelenjar liur mayor
20

maupun minor sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang dilakukan


selain menasihatkan pasien untuk makan dengan banyak kuah,
membawa minuman kemanapun pergi dan mencoba memakan dan
mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya air
liur. Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa
kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit
kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang muntah atau rasa
mual.
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan
lengkap dimana tumor tetap ada (residu) akan kambuh kembali
(residif). Dapat pula timbul metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke
tulang, paru, hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut diatas tidak
banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain pengobatan
simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pasien akhirnya
meninggal dalam keadaan umum yang buruk , perdarahan dari hidung
dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan terganggunya fungsi
alat-alat vital akibat metastasis tumor.
d. Pengobatan pembedahan
Diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher yang
tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah
penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang
yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologik serta
tidak ditemukan adanya metastasis jauh. Operasi tumor induk sisa
(residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul
komplikasi yang berat akibat operasi.
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa
diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika
masih terdapat sisa kelenjar paska radiasi atau adanya kekambuhan
kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih
yang dibuktikan melalui pemeriksaan radiologi. Nasofaringektomi
merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang
21

kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi
dengan cara lain. 11, 12

2.2.9. Prognosis
Prognosis karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada
pertumbuhan lokal dan metastasenya. Karsinoma skuamosa berkeratinasi
cenderung lebih agresif daripada yang non keratinasi dan tidak
berdiferensiasi, walau metastase limfatik dan hematogen lebih sering pada
ke-2 tipe yang disebutkan terakhir. 5,6 Akan tetapi prognosis juga dipengaruhi
oleh beberapa hal, antara lain usia (usia lebih muda, angka harapan
hidupnya lebih baik), jenis kelamin (prognosis pada wanita lebih baik
daripada pria), perluasan dari tumor primer/T (dimana makin kecil T,
prognosis makin baik), ada/tidaknya erosi tulang basis kranial, dan jenis
histopatologi (tipe tidak berdiferensiasi mempunyai prognosis yang lebih
baik).6
Prognosis buruk bila dijumpai limfadenopati, stadium lanjut, tipe
histologik karsinoma skuamus berkeratinasi . Prognosis juga diperburuk
oleh beberapa faktor seperti stadium yang lebih lanjut, usia lebih dari 40
tahun, laki-laki, dan ras Cina daripada ras kulit putih. 7 Dari pengalaman
yang lalu dalam pengelolaan penderita KNF, dirasakan bahwa keberhasilan
terapi masih sangat rendah meskipun belum ada angka yang pasti mengenai
survival rate penderita KNF. Upaya untuk dapat menjaring penderita lebih
dini merupakan langkah awal yang dapat diharapkan sedikit membantu
7
memecahkan masalah rendahnya keberhasilan terapi.
Secara keseluruhan angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45%.
Terdapat perbedaan prognosis yang sangat mencolok dari stadium awal
sampai stadium lanjut karsinoma nasofaring yaitu 76,9 % untuk stadium I,
56,0% untuk stadium II, 38,4% untuk stadium III dan hanya 16,4% untuk
stadium IV.7
22
BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. Z
Umur : 65 tahun
Agama : Islam
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat :Talang simpang Sungai Keruh Kabupaten Musi Banyuasin
Tanggal datang : Selasa, 07 Juli 2019
No.RM : 57.70.17

II. Anamnesis
Keluhan Utama:
Sakit kepala pada kepala sebelah kanan
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Palembang Bari dengan keluhan
sakit kepala hebat sejak ±1minggu yang lalu. Sakit kepala hanya dirasakan
pada kepala sebelah kanan pasienseperti berdenyut-denyut dan bersifat terus-
menerus tanpa adanya faktor pencetus. Pasien juga mengaku sering merasa
seperti ingin terjatuh saat sedang berdiri atau berjalan. Saat di malam hari
keluhan sakit kepala juga membuat pasien kesulitan untuk tidur. Sehingga
pasien sangat mengganggu aktivitasnya.
Awalnya ±2 bulan yang lalu pasien mengeluh kesulitan menelan dan
merasa adayang menganjal kerongkongan sebelah kanannya. Keluhan nyeri
saat menelan juga dirasakan pasienNamun, pasien tidak pernah berobat karena
pasien menganggap bahwa hal tersebut bukanla hal yang menganggu.
Kemudian ±1 bulan yang lalu, keluhan sakit kepala mulai dirasakan dan hanya

23
terjadi pada kepala sebelah kanan dan bersifat hilang timbul. Pasien mengaku
hanya mengonsumsi obat-obatan yang dibelinya di warung untuk mengatasi

24
24

sakit kepalanya. Selain itu, keluhan hidung kanan tersumbat juga mulai pasien
rasakan. Sebelumnya pasien tidak mengalami keluhan batuk, pilek ataupun
demam. Keluhanpenurunan pendengaran pada telinga kanan (+). Riwayat
trauma kepala (+) 5 tahun yang lalu, tetapi tidak terdapat keluhan setelah
trauma terjadi. Pasien tidak tinggal di tempat penuh kebisingan, dan
tidakmengonsumsi obat-obatan ototoksik.
Lalu ±3 minggu yang lalu, pasien mulai merasakan mata kanan mulai
terasa kabur dan tampak ganda saat melihat, padahal sebelumnya pasien tidak
pernah menggunakan kaca mata jarak jauh atau jarak dekat. Keluhan semakin
memberat ±1 minggu yang lalu, sehingga pasien berobat ke poli THT RSUD
Palembang Bari dan didiagnosis mengalami Kanker Nasofaring dan dilakukan
pemeriksaan CT Scan. Pada tanggal 07 Juli 2019 pasien kontrol kembail ke
poli THT RSUD Palembang Bari untuk melihat hasil CT Scan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat asma, alergi, hipertensi, dan diabetes mellitus pada pasien disangkal.

Riwayat Pengobatan
Tidak ada riwayat pengobatan sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluhan yang serupa dalam riwayat keluarga

24
25

III. Pemeriksaan Fisik


 Status generalis
 Keadaan umum : Baik
 Kesadaran : Compos Mentis
 Vital Sign :
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Pernapasan : 22 x/menit
Suhu : 36,6C
 Status lokalis
 Telinga
Bagian Telinga Telinga kanan Telinga kiri
Deformitas (-), hiperemis Deformitas (-), hiperemis
Aurikula
(-), edema (-) (-), edema (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Daerah preaurikula fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
tekan tragus (-) tekan tragus (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Daerah
fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
retroaurikula
tekan (-) tekan (-)
Serumen (+), edema (-), Serumen (+), edema (-),
Meatus akustikus hiperemis (-), furunkel (-), hiperemis (-), furunkel (-),
otorea (-) sekret (-), otorea (-).
Retraksi (-), bulging (-), Retraksi (-), buldging (-),
perforasi (-), cone of light perforasi (-), cone of light
Membran timpani
(+), mengarah kearah (+), mengarah ke arah
jarum jam 5, Injeksi (+) jarum jam 7, Injeksi (-)
Kesan :
 Telinga kiri dalam batas normal
 Telinga kanan dalam batas normal
 Hidung
Pemeriksaan Hidung Hidung Kanan Hidung Kiri
Hidung Luar Bentuk (N), Inflamasi (-), Bentuk (N), Inflamasi (-),
nyeri tekan (-), deformitas (-). nyeri tekan (-),
deformitas (-).

25
26

Rinoskopi Anterior
Vestibulum N N
Dasar kavum nasi Bentuk (N), mukosa pucat. Bentuk (N), mukosa
media pucat.
Meatus nasi media Mukosa merah media (+), Mukosa merah media
lapang, edema (-), sekret (-), (+), lapang, edema (-),
massa (-) sekret (-), massa (-)
Meatus nasi inferior Mukosa merah muda (+), Mukosa merah media
lapang, edema (-), sekret (-), (+), lapang, edema (-),
massa (-) sekret (-), massa (-)
Konka nasi inferior Mukosa edema (-), eutrofi, Mukosa edema (-),
berwarna pucat, sekret (-), eutrofi, berwarna pucat,
massa (-) sekret (-), massa (-)
Septum nasi Deviasi (-), benda asing (-), Deviasi (-), benda asing
perdarahan (-). (-), perdarahan (-).

 Mulut Dan Orofaring


Bagian Kelainan Keterangan
Mukosa mulut hiperemis (-), massa (-)
Lidah

Mulut Palatum molle Tenang, simetris, Hiperemis (-)


Gigi geligi Caries (-)
Uvula Simetris
Halitosis (-)

26
27

Mukosa Tenang
Besar T1 – T1
Kripta : Normal - Normal
Detritus : (-/-)
Tonsil
Perlengketan (-/-)

Mukosa Hiperemis (-), edema (-), massa (-), granul


Faring (-), ulkus (-)

 Maksilofasial
Bentuk : Simetris
Nyeri tekan: -

 Leher
Kelenjar getah bening : Tidak teraba pembesaran KGB
Massa: Tidak ada

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan CT Scan Nasofaring

27
28

Tampak benjolan pada daerah Nasopharynx kanan, meluas ke Choana kanan,


sinus etmoidalis kanan, sinus etmoidalis kanan/Sphenoidalis kanan, tak
tampak infiltrat ke intracranial. Basis cranii intact.
Osteomeatal kompleks kanan dan kiri terbuka.
Septum nasi di tengah
Tak Tampak pembesaran konka nasi.
Tulang-tulang dinding sinus, paranasal tampak intak.

Kesimpulan:
Suspect Ca Nasopharynx kanan meluas ke Choana kanan, Sinus
ethmoidalis / sphenoidalis kanan.
IV. DIAGNOSIS
Ca Nasopharynx

V. PENGELOLAAN DAN TERAPI


Penatalaksanaan untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi
dengan atau tanpa kemoterapi. Pengobatan pilihan terhadap tumor ganas
nasofaring adalah radiasi, karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang
bersifat radiosensitif. Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat
menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau dengan akselerator linier ( linier
Accelerator atau linac). Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah

28
29

nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening
leher atas, bawah serta klavikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap
dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran
kelenjar.

VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam

29
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan,


ditegakkan diagnosis kerja karsinoma nasofaring. Hasil anamnesis yang
mendukung adalah Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Palembang Bari
dengan keluhan sakit kepala hebat sejak ±1 minggu yang lalu. Sakit kepala
hanya dirasakan pada kepala sebelah kanan seperti berdenyut-denyut dan
bersifat terus-menerus tanpa adanya faktor pencetus. Pasien juga mengaku
sering merasa seperti ingin terjatuh saat sedang berdiri atau berjalan. Saat di
malam hari keluhan sakit kepala juga membuat pasien kesulitan untuk tidur.
Sehingga pasien sangat mengganggu aktivitasnya. Awalnya ±2 bulan yang lalu
pasien mengeluh kesulitan menelan dan merasa ada yang menganjal
kerongkongan sebelah kanannya. Keluhan nyeri saat menelan juga dirasakan
pasien Namun, pasien tidak pernah berobat karena pasien menganggap bahwa
hal tersebut bukanla hal yang menganggu. Kemudian ±1 bulan yang lalu,
keluhan sakit kepala mulai dirasakan dan hanya terjadi pada kepala sebelah
kanan dan bersifat hilang timbul. Pasien mengaku hanya mengonsumsi obat-
obatan yang dibelinya di warung untuk mengatasi sakit kepalanya. Selain itu,
keluhan hidung kanan tersumbat juga mulai pasien rasakan. Sebelumnya pasien
tidak mengalami keluhan batuk, pilek ataupun demam. Keluhan penurunan
pendengaran pada telinga kanan (+). Riwayat trauma kepala (+) 5 tahun yang
lalu, tetapi tidak terdapat keluhan setelah trauma terjadi. Pasien tidak tinggal di
tempat penuh kebisingan, dan tidakmengonsumsi obat-obatan ototoksik. Lalu
±3 minggu yang lalu, pasien mulai merasakan mata kanan mulai terasa kabur
dan tampak ganda saat melihat, padahal sebelumnya pasien tidak pernah
menggunakan kaca mata jarak jauh atau jarak dekat. Keluhan semakin
memberat ±1 minggu yang lalu, sehingga pasien berobat ke poli THT RSUD
Palembang Bari dan didiagnosis mengalami Kanker Nasofaring dan dilakukan

30
pemeriksaan CT Scan. Pada tanggal 07 Juli 2019 pasien kontrol kembail ke
poli THT RSUD Palembang Bari untuk melihat hasil CT Scan.

31
31

Berdasarkan teori, gejala kanker nasofaring dapat dibagi menjadi 4


kelompok, yaitu gejala nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf,
serta metastasis atau gejala dileher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis
ringan atau sumbatan hidung, untuk itu nasofaring harus diperiksa secara
cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena sering gejala belum ada
sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat
dibawah mukosa (creeping tumor).
Pada kasus ini terdapat gejala nasofaring yaitu rasa mengganjal dan nyeri
pada saat menelan. Berdasarkan teori rasa mengganjal yang menetap terjadi
akibat pertumbuhan tumor di rongga kerongkongan, selain itu pertumbuhan
tumor ini juga disertai dengan penekanan terhadap saraf nyeri di sekitar
kerongkongan.
Gejala telinga yang dialami pasien yaitu berupa telinga yang terasa penuh
dan sering berdenging. Sesuai dengan teori, gangguan pada telinga merupakan
gejala dini karena tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa
Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinnitus, rasa tidak nyaman di telinga
sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Tidak jarang pasien dengan gangguan
pendengaran ini baru kemudian disadari bahwa penyebabnya adalah
karsinoma nasofaring.
Gejala mata dan saraf yang dialami oleh pasien yaitu berupa penglihan
yang menurun dan ganda, dan rasa nyeri di sekitar wajah bagian kanan. Hal ini
sesuai dengan teori bahwa karena nasofaring berhubungan dekat dengan
rongga tengkorak melalui beberapa lobang, maka gangguan beberapa saraf
otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui
foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat pula ke V,
sehingga tak jarang gejala diploplia yang membawa pasien terlebih dahulu ke
dokter mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan
oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti.
Berdasarkan teori Diagnosis KNF dapat ditegakkan berdasarkan hasil
biopsi. Pemeriksaan CT-scan daerah kepala dan leher dapat mengetahui tumor
primer dan arah perluasannya. Pemeriksaan serologi lg A anti EA dan lg A anti
32

VCA (Viral Capsid Agent) untuk infeksi EBV telah menunjukkan kemajuan
dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Diagnosa pasti ditegakkan dengan
melakukan biopsi nasofaring. Pasien yang kooperatif dengan massa yang jelas
dapat dilakukan biopsi dengan anestesi lokal, nasoendoskop kaku, dan biopsi
forsep panjang. Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan 2 cara dari hidung
atau dari mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya
(blind biopsy).
Pada kasus ini pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan
CT Scan. Dan dari hasil CT Scan didapatkan bahwa diagnosis pasien adalah
Suspect Ca Nasopharynx kanan meluas ke Choana kanan, Sinus ethmoidalis /
sphenoidalis kanan. Sesuai dengan teori bahwa CT Scan merupakan
pemeriksaan yang paling dipercaya untuk menetapkan stadium tumor dan
perluasan tumor. Pada stadium dini terlihat asimetri dari resessus lateralis,
torus tubarius dan dinding posterior nasofaring. Selain itu, pemeriksaan
penunjang lain yang sebaiknya dilakukan pemeriksaan adalah pemeriksaan
biopsi. Biopsi tumor perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis karsinoma
nasofaring. Patologi pada KNF dapat ditinjau secara makroskopis dan
mikroskopis. Makroskopis secara makroskopis, pertumbuhan KNF dibedakan
menjadi 3 bentuk yaitu Ulseratif yang biasanya berupa lesi kecil disertai
jaringan nekrotik. Nodular,, Biasanya berbentuk anggur atau polipoid tanpa
adanya ulserasi tetapi kadang-kadang terjadi ulserasi kecil. Eksofitik, Biasanya
non-ulseratif, tumbuh pada satu sisi nasofaring, kadang-kadang bertangkai dan
permukaan licin. Mikroskopis biasa terdapat perubahan pra keganasan. .
Perubahan ini merupakan sebagai kondisi dari jaringan atau organ yang
tumbuh menjadi ganas secara perlahan. Dari penelitian Li dan Chen (1976)
ditemukan adanya hyperplasia dari sel-sel nasofaring yang berkembang kearah
keganasan. Perubahan patologik pada mukosa nasofaring seperti Reaksi
radang, Hiperplasia pada lapisan sel mukosa kelenjar dan salurannya maupun
pada jaringan limfoid. Hiperplasia kelenjar seringdihubungkan dengan proses
radang, Metaplasia pada epitel kolumnar nasofaring berupa perubahan ke arah
epitel skuamosa bertingkat dan neoplasia.
33

Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dibagi atas 3 tipe, yaitu :
1) Karsinoma sel skuamosa (KSS) berkeratinisasi (Keratinizing Squamous
Cell Carcinoma) Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik,
sedang dan buruk.
2) Karsinoma non-keratinisasi (Nonkeratinizing Carcinoma) Pada tipe ini
dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa
tanpa jembatan inter sel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
3) Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma)
Namun pada pasien ini belum dilakukan pemeriksaan biopsi sehingga
untuk penegakkan diagnosis pasti belum dapat ditegakkan.
Pada pemeriksaan radiologi konvensional foto tengkorak potongan
antero posterior dan lateral, serta posisi waters tampak jaringan lunak di
daerah nasofaring. Pada foto dasar tengkorak ditemukan destruksi atau erosi
tulang daerah fossa serebri media. Pemeriksaan tomografi, CT Scan
nasofaring merupakan pemeriksaan yang paling dipercaya untuk menetapkan
stadium tumor dan perluasan tumor. Pada stadium dini terlihat asimetri dari
resessus lateralis, torus tubarius dan dinding posterior nasofaring. Scan tulang
dan foto torak untuk mengetahui ada tidaknya metastasis jauh serta
Pemeriksaan serologi, berupa pemeriksaan titer antibody terhadap virus
Epstein-Barr ( EBV ) yaitulg A anti VCA (Viral Capsid Antigen) dan lg A anti
EA (Early Antigen).
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan, didapatkan bahwa tumor
pada pasien terdapat di nasofaring yang meluas ke orofaring tanpa perluasan
ke parafaringeal atau T1. Tidak terdapat metastasis ke KGB regional sehingga
menandakan klasifikasi N1. Serta tidak terdapat metastasis jauh atau
klasifikasi M0. Berdasarkan hasil tersebut, stadium karsinoma nasofaring
pada pasien ini adalah T1/N0/M0 yang diklasifikasikan sebagai stadium I.
Penatalaksanaan untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan
atau tanpa kemoterapi. Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan
penting dalam penatalaksanaan KNF. Modalitas utama untuk KNF adalah
radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi. Radio terapi adalah metode
34

pengobatan penyakit maligna dengan menggunakan sinar peng-ion, bertujuan


untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan
sehat di sekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat.
Karsinoma nasofaring bersifat radio responsive sehingga radio terapi tetap
merupakan terapi terpenting. Dosis radiasi pada limfonodi dengan dosis
radiasi umumnya berkisar antara 6000-7000 rad, dalam waktu 6 – 7 minggu
dengan periode istirahat 2-3 minggu. Kemoterapi, Tujuan kemoterapi untuk
menyembuhkan Pasien dari penyakit tumor ganas. Kemoterapi bisa
digunakan untuk mengatasi tumor secara local dan juga untuk mengatasi sel
tumor apabila ada metastasis jauh. Beberapa regimen kemoterapi yang antara
lain cisplatin, 5-Fluorouracil , methotrexate, paclitaxel dan docetaxel.
Tindakan operasi pada penderita KNF berupa diseksi leher radikal dan
nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih terdapat sisa kelenjar
paska radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor
primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan melalui pemeriksaan
radiologi.
BAB V
KESIMPULAN

Dari laporan kasus ini, dapat disimpulkan bahwa:


1. Diagnosis pada kasus ini Kanker Nasofaring masih belum pasti. Diagnosis
ini ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Namun pemeriksaan penunjang yang dilakukan hanya
pemeriksaan CT Scan. Sedangkan pemeriksaan biopsi yang merupakan
pemeriksaan penunjang untuk penegakkan diagnosis kanker nasofaring
belum dilakukan. Sehingga diagnosis pasti pada kasus ini masih belum dapat
ditegakka.
2. Penatalaksaan pada pasien ini sudah tepat yaitu, radioterapi untuk
mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat
disekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat dan operasi
pengangkatan tumor.

DAFTAR PUSTAKA

35
1. Roezin, A., dan Marlinda A. 2010. Karsinoma Nasofaring. dalam: Soepardi,
Efianty A., Nurbaiti I., Jenny B., dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga-Hidung- Tenggorok Kepala Leher edisi keenam. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 182-187.
2. Adham, M. Dan Rozein, A. 2007. Karsinoma Nasofaring, dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam.
Jakarta: FKUI. Hal:182-187.
3. Munir M. Keganasan di bidang telinga hidung tenggorok. Dalam: Buku ajar
ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher, ed 6, Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2007. 162.
4. Ma J, Liu L, Tang L, Zong J, Lin A, Lu T, et al. Retropharyngeal lymphnode
metastasis in NPC: prognostic value and staging categories. Clin cancer Res
2007; 13(5).
5. M Abduh Firdaus; Jon Prijadi, Kemoterapi Neoadjuvan pada Karsinoma
Nasofaring, Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher , Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas.
6. National Cancer Institute at the national institutes of health, 2011.
Nasopharyngeal Cancer Treatment (PDQ®). USA: National Cancer Institute.
Diunduh:
(http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/nasopharyngeal/Patient/A
ll Pages/Print.)
7. Desen, W., 2008. Buku ajar onkologi klinis edisi kedua. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 263-278.
8. World Health Organization. 2005. World Health Organization Classification
Head and Neck Tumours. Lyon: IARC Press. Available at:
(www.iarc.fr/IARCPress/pdfs/index1.php) accessed: 17 Juli 2019.
9. Vokes EE, Liebowitz DN, Weichselbaum RR. Nasopharyngeal carcinoma.
Lancet 1997; 350: 1087-1091.

36
37

10. Prasetyo A, Wiratno. Kanker kepala leher berdasarkan diagnosis patologi


anatomi di RSUP Dr. Kariadi tahun 2002 –2006. Prosiding
Konas Perhati- KL; 2007; Surabaya.
11. Asroel HA. 2002.Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring.
USU digital library.
12. Lee N, Chan K. Benign & Malignant Lesions of The Nasopharynx. Current
Diagnosis and Treatment in Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2nd ed.
McGraw-Hill Co, Inc. 2008. p362-6.

Anda mungkin juga menyukai