Disusun Oleh:
Pembimbing:
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena hanya
berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Tutorial dengan judul Asma Bronkial dan Pneumonia Bilateral pada Anak.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah banyak
membantu penulis dalam pelaksanaan hingga terselesaikannya tutorial kasus ini,
diantaranya:
1. dr. Daniel Sp.A, selaku dosen Pembimbing yang dengan sabar memberikan
arahan, motivasi, saran dan solusi yang sangat berharga dalam penyusunan
laporan kasus ini dan juga yang selalu bersedia meluangkan waktu untuk
memberikan bimbingan, saran, dan solusi selama penulis menjalani dokter
muda di lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak.
Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari para pembaca untuk perbaikan kepenulisan di masa mendatang.
Terakhir, semoga refleksi kasus yang sederhana ini dapat membawa berkah dan
memberikan manfaat bagi seluruh pihak serta turut berperan demi kemajuan ilmu
pengetahuan.
2
Penulis
3
Refleksi Kasus
Sebagai salah satu syarat untukmengikuti ujian stase Ilmu Kesehatan Anak
Menyetujui,
4
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...........................................................................................
KATA PENGANTAR..........................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................
DAFTAR ISI .....................................................................................................
1. PENDAHULUAN.........................................................................................
2. KASUS .....................................................................................................
3. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................
15
3.1 Asma .....................................................................................................
15
3.1.1 Definisi..................................................................................................
15
3.1.2 Epidemiologi.........................................................................................
15
3.1.3 Klasifikasi.............................................................................................
16
3.1.4 Etiologi..................................................................................................
18
3.1.5 Patofisiologi..........................................................................................
19
3.1.6 Manifestasi Klinis.................................................................................
22
3.1.7 Diagnosis...............................................................................................
24
3.1.8 Penatalaksanaan....................................................................................
27
3.2 Pneumonia.............................................................................................
28
5
3.2.1 Definisi.................................................................................................
28
3.2.2 Etiologi..................................................................................................
29
3.2.3 Patofisiologi..........................................................................................
29
3.2.4 Diagnosis...............................................................................................
30
3.2.5 Penatalaksanaan....................................................................................
30
4. PEMBAHASAN...........................................................................................
31
5. PENUTUP.....................................................................................................
35
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
36
6
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1) Menambah ilmu pengetahuan mengenai penyakit yang dilaporkan.
7
2) Mengkaji ketepatan penegakan diagnosis dan penatalakasanaan terhadap
asma bronkial dan pneumonia bilateral
8
BAB 2
RESUME KASUS
Pasien MRS pada tanggal 31 Oktober 2016 melalui IRD pada pukul 14.56
RSU Dr. Kanujoso Djatiwibowo. Dirawat inap di Ruang Flamboyan C.
1. Identitas Pasien:
Nama : An. RA
Umur : 1 tahun 3 Bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl.Sukarno Hatta No.9
Tanggal masuk : 31 Oktober 2016
No. RM : 655077
2. RESUME IRD
Subyektif
Pasien datang dengan keluhan sesak napas
Obyektif
1. Tanda tanda vital : Frekuensi nadi: 124 x/menit, isi cukup, regular,
kuat angkat, Frekuensi napas: 50x/ menit, Temperatur: 39,1o C per axial
2. Kesadaran : composmentis, CCS E4V5M6
3. Kepala : anemis (--), ikterik (--), sianosis (-), nafas
cuping hidung (-)
4. Thorax : whe (++), Rho (--), murmur (-), gallop (-) S1S2
tunggal
5. Abdomen :BU (+) N, , nyeri tekan (-), distensi (-)
6. Ekstremitas :ekstremitas superior dan inferior akral hangat, CRT
<2 detik.
Assesment:
Asma bronkial
Planning:
1. D5 NS 40 cc/jam
2. O2 1 Lpm NK
9
Penunjang
1. Laboratorium darah lengkap dan Rontgen
10
IMUNISASI
Imunisasi Usia saat imunisasi
I II III IV Booster Booster II
I
BCG + //////// /////// /////// /////// ///////
Polio + + + + - -
Campak + - /////// /////// /////// ///////
DPT + + + /////// - -
Hepatitis B + + + /////// - -
4. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal 31 Oktober 2016 pukul 17.32
Kesan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : CCS E4V5M6
Tanda Vital
Frekuensi nadi : 120 x/menit, isi cukup, regular, kuat angkat
Frekuensi napas : 36x/ menit
Temperatur : 38o C per axial
Antropometri
Berat badan : 11 kg
Panjang Badan : 75 cm
Status generalisata
Kepala
11
Leher
Thoraks
Abdomen
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Akral hangat (+), oedem (-), capillary refill test < 2 detik,
sianosis (-), pembesaran KGB aksiler (-/-), pembesaran
KGB inguinal (-/-).
Darah lengkap
Diagnosis Kerja :
Follow Up
13
2,
14
24x, Ane (-), ikt (-),
sia (-), Rh (-),Wh(-)
BU(+)N, akral
hangat, CRT < 2,
15
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Asma
3.1.1 Definisi
Asma merupakan proses inflamasi kronik saluran pernapasan yang
menyebabkan saluran pernapasan menjadi hiperresponsif yang dapat
memudahkan terjadinya bronkokonstriksi, edema, hipersekresi kelenjar, yang
menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran pernapasan. Manifestasi klinik
dari asma bersifat periodik berupa mengi (wheezing), sesak napas, dada terasa
berat, batuk batuk terutama malam hari atau dini hari/subuh, dimana gejala
gejala tersebut berhubungan dengan luasnya inflamasi yang derajatnya bervariasi
dan bersifat reversibel secara spontan maupun dengan atau tanpa pengobatan
(Global Initiative for Asthma [GINA], 2015).
3.1.2 Epidemiologi
Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana
terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi
pada anak-anak maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada
anak-anak (GINA, 2015).
Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan
10%pada anak). Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-10 kali di
negara berkembang dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat bervariasi.
Di Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6-7 tahun sebesar 3% dan untuk
usia13-14 tahun sebesar 5,2%. Berdasarkan laporan National Center for Health
Statistics (NCHS), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57
per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun adalah 38 per
1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Sebelum masa pubertas, prevalensi asma pada
laki-laki 3 kali lebih banyak dibanding perempuan, selama masa remaja
prevalensinya hampir sama dan pada dewasa laki-laki lebih banyak menderita
asma dibanding wanita. Secara global, morbiditas dan mortalitas asma meningkat
pada 2 dekade terakhir.Peningkatan ini dapat dihubungkan dengan peningkatan
urbanisasi. WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma.
Berdasarkan laporan NCHS terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100
16
ribu. Sedangkan,laporan dari CDC menyatakan terdapat 187 pasien asma yang
meninggal pada usia0-17 tahun atau 0.3 kematian per 100,000 anak. Namun
secara umum kematian padaanak akibat asma jarang (Setiawati, 2004).
3.1.3 Klasifikasi
a. Asma saat tanpa serangan
Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) mengklasifikasikan derajat asma
menjadi:
1) Asma episodik jarang
2) Asma episodik sering
3) Asma persisten
Tabel 3.1. klasifikasi derajat asma pada anak
17
Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan
asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan
laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi
tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan
berat.
18
3.1.4 Etiologi
Menurut Patino dan Martinez (2001) dalam Martinez (2003) faktor
lingkungan dan faktor genetik memainkan peran terhadap kejadian asma. Menurut
Strachan dan Cook (1998) dalam Eder et al (2006) pada kajian meta analisis yang
dijalankan menyimpulkan bahwa orang tua yang merokok merupakan penyebab
utama terjadinya mengi dan asma pada anak. Menurut Corne et al (2002) paparan
terhadap infeksi juga bisa menjadi pencetus kepada asma. Infeksi virus
terutamanya rhinovirus yang menyebabkan simptom infeksi salur pernafasan
bagian atas memicu kepada eksaserbasi asma. Gejala ini merupakan petanda asma
bagi semua peringkat usia (Eder et al, 2006). Terdapat juga teori yang menyatakan
bahwa paparan lebih awal terhadap infeksi virus pada anak lebih memungkinkan
untuk anak tersebut diserang asma (Cockrill et al, 2008).
Selain faktor linkungan, faktor genetik juga turut berpengaruh terhadap
kejadian asma. Kecenderungan seseorang untuk menghasilkan IgE diturunkan
dalam keluarga (Abbas et al, 2007). Pasien yang alergi terhadap alergen sering
mempunyai riwayat keluarga yang turut menderita asma dan ini membuktikan
bahwa faktor genetik sebagai faktor predisposisi asma (Cockrill et al, 2008).
Menurut Tatum dan Shapiro (2005) dalam Eder et al (2006) ada juga bukti
yang menyatakan bahwa udara yang tercemar berperan dalam mengurangkan
fungsi paru, mencetuskan eksaserbasi asma seterusnya meningkatkan populasi
pasien yang dirawat di rumah sakit.
Mekanisme patogenik yang menyebabkan bronkokonstriksi adalah
disebabkan alergen yang memicu kepada serangan asma. Walaupun telah dikenal
pasti alergen outdoor sebagai penyebab namun alergen indoor turut memainkan
peran seperti house dust mites, hewan peliharaan dan kecoa. Apabila pasien asma
terpapar dengan alergen, alergen tersebut akan menempel di sel mast. Sel mast
yang telah teraktivasi akan melepaskan mediator. Mediator- mediator ini yang
akan menyebabkan bronkokonstriksi dan meningkatkan permeabilitas epitel jalan
nafas sehingga membolehkan antigen menempel ke IgE-spesifik yang mempunyai
sel mast. Antara mediator yang paling utama dalam implikasi terhadap
patogenesis asma alergi adalah histamin dan leukotrien (Cockrill et al, 2008).
19
Histamin merupakan mediator yang menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus, augmentasi permeabilitas vaskuler dan pembentukan edema salur
pernafasan serta menstimulasi reseptor iritan yang bisa memicu bronkokonstriksi
sekunder (Cockrill et al, 2008).
Menurut Drazen et al (1999) dalam Kay A.B. (2001) sel mast turut
memproduksi sisteinil leukotriene yaitu C4, D4 dan E4. Leukotriene ini akan
menyebabkan kontraksi otot polos, vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas
vaskuler dan hipersekresi mukus apabila berikatan dengan reseptor spesifik.
3.1.5 Patofisiologi
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau
pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma (PDPI, 2006). Mekanisme
utama timbulnya gejala asma diakibatkan adanya hiperresponsif bronkus. Asma
merupakan suatu proses inflamasi kronis yang menyebabkan bronkonstriksi,
hipertrofi otot polos bronkus, hipertrofi kelenjar mukosa, hipersekresi mukus
edema mukosa, infiltrasi sel radang (eosinofil, neutrofil, basofil dan makrofag)
dan deskuamasi sel epitel serta sel radang yang akan menyebabkan perubahan
fungsional yang dihubungkan dengan gejala khas pada asma yaitu batuk, sesak
dan wheezing (Sundaru, 2006).
Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen awalnya
menimbulkan fase sensitisasi. Akibat terbentuknya IgE spesifik oleh sel plasma.
IgE melekat pada sel mast dan basofil. Bila terdapat rangsangan berikutnya dari
alergen serupa, maka timbullah reaksi asma tipe cepat (immediate asthma
reaction). Ketika terdapat pajanan berikutnya, terjadi degranulasi sel mast yang
akan melepaskan mediator mediator inflamasi seperti histamin, LTC4
(leukotrien C4), PGD2 (prostaglandin D2), Tromboksan A2. Adanya pengeluaran
mediator mediator tersebut menimbulkan spasme otot bronkus, hipersekresi
kelenjar, edema, peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan akumulasi sel
eosinofil. Gambaran klinis yang timbul adalah serangan asma akut (Warner,
2001).
20
Setelah 6 9 jam maka terjadilah proses selanjutnya, disebut reaksi asma
lambat (late asthma reaction). Akibat pengaruh sitokin IL-3, IL-4, GM-CSF
(granulocyte macrophage colony stimulating factor) yang diproduksi sel mast dan
limfosit T yang teraktivasi, akan mengaktifkan sel sel radang seperti eosinofil,
basofil, monosit dan limfosit. Sedikitnya ada dua jenis Th (T-helper), limfosit
subtipe CD4 telah dikenal dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit
T mensekresi IL-3 (interleukin-3) dan GM-SCF, Th-1 memproduksi IL-2, IF-,
dan TNF- sedangkan Th-2 memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu
IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-16 (Warner, 2001). Masing masing sel radang
berkemampuan mengeluarkan mediator inflamasi. Eosinofil memproduksi LTC4,
EPX (eosinophil perioxidase), ECP (eosinophil cathion protein), MBP (major
basic protein). Mediator mediator tersebut merupakan mediator inflamasi yang
menimbulkan kerusakan jaringan. Sel basofil mensekresi histamin, LTC4, PGD2.
Mediator tersebut dapat menimbulkan bronkokonstriksi. Sel makrofag mensekresi
IL-8, PAF (platelet activating factor), RANTES (regulated upon activation novel
T cell expression and presumably secreted). Semua mediator inflamasi diatas
merupakan mediator inflamasi yang meningkatkan proses peradangan
mempertahankan proses inflamasi (Warner, 2001).
Mediator inflamasi tersebut akan membuat hiperesponsivitas bronkus
sehingga bronkus mudah konstriksi, kerusakan epitel, penebalan membrana
basalis dan terjadi peningkatan permeabilitas bila terdapat rangsangan spesifik
maupun non spesifik. Secara klinis, gejala asma menetap dan penderita akan lebih
peka terhadap rangsangan. Kerusakan jaringan akan menjadi irreversibel bila
paparan langsung terus dan penatalaksanaan kurang adekuat (PPIDAI, 2004).
21
Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan jaringan
yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process)
yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel-sel mati atau rusak
dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi
atau perbaikan jaringan yang rusak dengan jenis sel parenkim yang sama dan
pergantian jaringan yang rusak dengan jaringan peyambung yang menghasilkan
jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses
penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan
struktur yang mempunyai mekanisme sangat kompleks dan banyak belum
diketahui dikenal dengan airway remodeling (PDPI, 2006). Pada proses
remodeling yang bereperan adalah sitokin IL-4, TGF- dan EGF (eosinofil growth
factor). TGF- merangsang sel fibroblast berproliferasi, epitel mengalami
hiperplasia, pembentukan kolagen bertambah. Akibat proses remodeling tersebut
terjadi pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana basalis mukosa menebal
(pseudothickening), hiperplasia kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel radang
dan hiperplasia otot. Perubahan semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis,
tetapi mengakibatkan penyempitan lumen bronkus yang persisten dan
memberikan gambaran klinis asma kronis (Warner, 2001). Perubahan struktur
yang terjadi akibat remodeling (PDPI, 2006) :
- Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas
- Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
- Penebalan membran reticular basal
- Pembuluh darah meningkat
- Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
- Perubahan struktur parenkim
- Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis
22
Gambar 3.2. Remodelling asma
23
yang alergi rinitis bisa juga terjadi gangguan tidur, aktivitas yang terbatas,
irritabilitas dan gangguan mood dan kognitif yang bisa menggangu prestasi anak
di sekolah. Hidung yang terasa gatal akan menyebabkan anak sering terlihat
menggosok hidung dengan tangan (Nelson, 2003). Beberapa kajian telah
menyatakan bahwa alergi rinitis merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya
asma. Prevalensi alergi rinitis pada pasien asma diperkirakan sebanyak 80 %
hingga 90% (B Leynaert, 2000).
Menurut Akdis et al (2006) dalam Bieber (2008) dermatitis atopik atau
eksema adalah penyakit kulit yang sering dideritai oleh pasien dengan penyakit
atopik yang lain seperti asma dan alergi rinitis. Lesi kulit dermatitis atopik
memperlihatkan adanya edema dan infiltrasi sel mononuklear dan eosinofil serta
penimbunan cairan dalam kulit(membentuk vesikel yang jelas terlihat secara
klinis). Pecahnya vesikel kecil dalam jumlah yang banyak ini mengakibatkan
terbentuknya krusta dan kulit menjadi bersisik. Perubahan ini dan pruritus berat
yang mendahului dan menyertai erupsi, terjadi karena kulit sangat kering. Pada
keadaan ini, terjadi hambatan pengeluaran keringat dan retensi keringat seringkali
menimbulkan gatal-gatal berat yang disebabkan oleh panas. Rasa gatal dan rasa sakit
yang hebat akibat kulit yang pecah-pecah adalah keluhan utama pasien eksema
( Solomon, 2003). Eksema jarang terjadi pada orang dewasa. Eksema dimulai sejak
usia 2 bulan sampai 6 bulan, sering terdapat pada wajah dan iritasi ini menyebabkan
anak tidak dapat tidur. Hasil kajian juga menunjukkan 25% penderita eksema alergi
terhadap telur, susu, kacang, tepung, ikan dan kerang (Pitaloka, 2002).
3.1.7 Diagnosis
Penegakan diagnosis untuk penyakit asma didasarkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (Ramaiah, 2006).
A. Anamenesis
Riwayat penyakit/gejala :
a. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
b. Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
c. Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari
d. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
e. Respon terhadap pemberian bronkodilator
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit (PDPI, 2006) :
a.Riwayat keluarga
b.Riwayat alergi/atopi
c.Penyakit lain yang memberatkan
24
d.Perkembangan penyakit dan pengobatan
B. Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat
normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah
wheezing pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar
normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan
jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema
dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas, maka sebagai kompensasi
penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi
menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan
menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, wheezing dan hiperinflasi. Pada
serangan ringan, wheezing hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun
demikian wheezing dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat
berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara,
takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas (PDPI, 2006).
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Faal Paru
Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai (PDPI, 2006):
a. Obstruksi jalan napas
b. Reversibility kelainan faal paru
c. Variability faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperresponsif
jalan napas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah
diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan
spirometri dan Arus Puncak Ekspirasi (APE) (PDPI, 2006).
- Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasitas
vital paksa (KVP). Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma
(PDPI, 2006):
a. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau
VEP1 < 80% nilai prediksi.
b. Reversibility, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator) atau setelah pemberian
25
bronkodilator oral 10-14 hari atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi atau oral) 2 minggu.
c. Menilai derajat berat asma
- Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau
pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow
meter (PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari
plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan
termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter
relatif mudah digunakan dan dipahami baik oleh dokter maupun penderita,
sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk memantau
kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa
membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas (PDPI, 2006).
Manfaat APE dalam diagnosis asma :
a. Reversibility, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator) atau bronkodilator oral 10-14 hari,
atau respon terapi kortikosteroid (inhalasi/oral selama 2 minggu)
b. Variability, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti
APE harian selama 1-2 minggu. Variability juga dapat digunakan
menilai derajat berat penyakit (lihat klasifikasi)
Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru
lain, di samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat
obstruksi. Oleh karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan
dengan nilai terbaik sebelumnya, bukan nilai prediksi normal; kecuali
tidak diketahui nilai terbaik penderita yang bersangkutan (PDPI, 2006).
Cara pemeriksaan variabiliti APE harian adalah diukur pagi hari untuk
mendapatkan nilai terendah, dan malam hari untuk mendapatkan nilai
tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh melalui 2 cara :
a. Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi atau
perbedaan nilai APE pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE
malam hari sebelumnya sesudah bronkodilator. Perbedaan nilai pagi
sebelum bronkodilator dan malam sebelumnya sesudah bronkodilator
26
menunjukkan persentase rata-rata nilai APE harian. Nilai >20%
dipertimbangkan sebagai asma (PDPI, 2006).
Variability harian = x 100 %
b. Metode lain untuk menetapkan variability APE adalah nilai terendah
APE pagi sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu,
dinyatakan dengan persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE
malam hari) (PDPI, 2006).
Contoh :
Selama 1 minggu setiap hari diukur APE pagi dan malam , misalkan
didapatkan APE pagi terendah 300, dan APE malam tertinggi 400;
maka persentase dari nilai terbaik (% of the recent best) adalah 300/400
= 75%. Metode tersebut paling mudah dan mungkin dilakukan untuk
menilai variability (PDPI, 2006).
2. Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada
penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji
provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai
sensitivitas yang tinggi tetapi spesifisitas rendah, artinya hasil negatif
dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak
selalu berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi
pada penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan dengan
penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik
(PDPI, 2006).
3. Pengukuran Status Alergi
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji
kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai
kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor
risiko/pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam
penatalaksanaan (PDPI, 2006).
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi,
umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara
yang tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif
27
maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang
relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan.
Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat
dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada
lengan tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak
mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/atopi (PDPI, 2006).
3.1.8 Penatalaksanaan
a. Pada serangan asma ringan, diberikan obat pereda (reliever) berupa agonis
secara inhalasi/oral atau adrenalin 1/1000 subkutan 0,01 ml/kKgBB/kali
dengan dosis maksimal 0,3 ml/kali
b. Pada serangan sedang diberikan obat seperti di atas ditambah dengan
pemberian oksigen, cairan intravena, kortikosteroid oral, dan di rawat di
ODC (one day care = ruang rawat sehari).
c. Pada serangan berat, selain obat diatas, dilakukan pemberian aminofilin
secara inisial dan rumatan. Kortikosteroid dapat diberikan secara
intravena. Steroid oral dengan dosis 1-2 minggu/KgBB/hari dibagi 3
diberikan selama 3 5 hari. Steroid yang dianjurkan adalah predison dan
prednsiolon.
Berdasarkan kegunaannya, secara garis besar obat asma dikenal terdiri
dari dua jenis yaitu obat pelega (reliever) dan obat pengendali (controller).
Obat pelega digunakan untuk meredakan gejala atau serangan asma,
misalnya agonis dan ipratropium bromida. Obata pengendali digunakan
untuk mengendalikan asma agar tidak mudah tercetus, misalnya disodium
cromglicate, antileukotrien, dan steroid hirupan. Obat pelega hanya
diberikan saat serangan saja, sedangkan obat pengendali diberikan trus
menerus tanpa melihat ada atau tidaknya serangan. Pemberian controller
secara jangka panjang bertujuan untuk mengendalikan proses inflamasi
(IDAI [Ikatan Dokter Anak Indonesia], 2004).
3.2 Pneumonia
3.2.1 Definisi
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru
(alveoli). Gejala penyakit ini berupa napas cepat dan napas sesak, karena paru
meradang secara mendadak. Batas napas cepat adalah frekuensi pernapasan
28
sebanyak 60 kali permenit pada anak usia < 2 bulan, 50 kali per menit atau lebih
pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 1 tahun, dan 40 kali permenit atau
lebih pada anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun (Depkes RI, 2002).
Definisi lainnya disebutkan pneumonia adalah peradangan pada parenkim
paru yang biasanya terjadi pada anak-anak tetapi lebih sering terjadi pada bayi dan
awal masa kanak-kanak dan secara klinis pneumonia terjadi sebagai penyakit
primer atau komplikasi dari penyakit lain (Hockenberry dan Wilson, 2009).
3.2.2 Etiologi
Menurut publikasi WHO, penelitian di berbagai negara menunjukkan
bahwa Streptococcus pneumoniae dan Hemophylus influenzae merupakan bakteri
yang selalu ditemukan pada penelitian tentang etiologi di negara berkembang.
Jenis jenis bakteri ini ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi, yaitu 73,9%
aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari spesimen darah. Sedangkan di negara
maju, dewasa ini pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus (Fein,
dkk, 2006). Berikut beberapa agent penyebab terjadinya pneumonia:
a. Bakteri ( Streptococcus pneumonia, Hemophylus influenza )
b. Virus
c. Mikoplasma
d. Protozoa
3.2.3 Patogenesis
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau
aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat di saluran nafas bagian atas
sama dengan di saluran nafas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian
ditemukan jenis mikroorganisme yang berbeda. Pneumonia terjadi jika
mekanisme pertahanan paru mengalami gangguan sehingga kuman patogen dapat
mencapai saluran nafas bagian bawah. Agen-agen mikroba yang menyebabkan
pneumonia memiliki tiga bentuk transmisi primer yaitu aspirasi secret yang berisi
mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada orofaring, infeksi aerosol
yang infeksius dan penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal. Aspirasi
dan inhalasi agen-agen infeksius adalah dua cara tersering yang menyebabkan
pneumonia, sementara penyebaran secara hematogen lebih jarang terjadi
(Perhimpunan Ahli Paru, 2003).
29
Menurut WHO (2010), pneumonia dapat menyebar dalam beberapa cara.
Virus dan bakteri biasanya ditemukan di hidung atau tenggorokan anak yang dapat
menginfeksi paru-paru jika dihirup. Virus juga dapat menyebar melalui droplet
udara lewat batuk atau bersin.
3.2.4 Diagnosis
Menurut Misnadiarly (2008), tanda penyakit pneumonia pada balita antara
lain: batuk nonproduktif, ingus (nasal discharge), suara nafas lemah, pemanfaatan
otot bantu nafas, demam, cyanosis (kebiru-biruan), foto thorax menunjukkan
infiltrasi melebar, corakan bronkhovaskular bertambah, tampak infiltrat halus
sampai ke perifer, sakit kepala, kekakuan dan nyeri otot, sesak nafas, menggigil,
berkeringat, lelah, terkadang kulit menjadi lembab, mual dan muntah. Gejala
penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas akut selama
beberapa hari. Selain didapatkan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat
mencapai 40 derajat celcius, sesak nafas, nyeri dada dan batuk dengan dahak
kental, terkadang dapat bewarna kuning hingga hijau. Pada sebagian penderita
juga ditemui gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu makan dan sakit kepala.
3.2.5 Penatalaksanaan
Diagnosis etiologik pneumonia sangat sulit untuk dilakukan, sehingga
pemberian antibiotik dilakukan secara empirik sesuai dengan pola kuman
tersering yaitu Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenza.
Pemberian antibiotik sesuai dengan kelompok umur. Untuk bayi dibawah 3
bulan diberikan golongan penisilin dan aminoglikosida. Untuk usia > 3bulan,
ampisilin dipadu dengan kloramfenikol merupakan obat pilihan pertama. Bila
keadaan pasien berat atau terdapat empiema, antibiotik pilihan adalah golongan
sefalosporin.
Antibiotik parenteral diberikan sampai 48-72 jam setelah panas turun,
dilanjutkan dengan pemberian oral selama 7-10 hari. Bila diduga penyebab
pneumonia S aureus, kloksasilin dapat diberikan cefazolin, klindamisin, dan
vancomycin. Lama pengobatan untuk satfilokokok adalah 3 -4 minggu.
30
BAB 4
PEMBAHASAN
TEORI KASUS
ANAMNESIS
31
malam atau subuh hari
PEMERIKSAAN FISIK
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DIAGNOSIS
32
penunjang, Gejala klinis untuk sesak. 2 hari sebelum masuk rumah
menegakkan diagnosis Asma bronkial. sakit pasien mengalami batuk, pilek
Namun diagnosis pasti asma dan demam. Sudah beberapa kali
memerlukan pemeriksaan penunjang mengalami keluhan serupa, tidak
lain salah satunya spirometri. minum ASI sejak usia 2 bulan, ayah
Untuk pneumonia selain
seorang perokok dan kakek
ditemukan gejala yg biasanya
menderita asma.
didahului dengan infeksi saluran nafas
akut selama beberapa hari seperti
Berdasarkan Pem. Fisik :
demam, menggigil, suhu tubuh
adanya suara wheezing pada kedua
meningkat dapat mencapai 40 derajat
lapang paru
celcius, sesak nafas, nyeri dada dan
batuk dengan dahak kental diperlukan
Pem. Penunjang :
pemeriksaan penunjang berupa
Hasil Pem. Darah menunjukkan
pemeriksaan darah dan pemeriksaan
adanya leukositosis dan hasil pem.
foto rontgen. Pada pemeriksaan darah
Foto rontgen ditemukannya Struktur
lengkap akan didapatkan leukositosis
bronchovaskular kasar dengan
dan pada foto rontgen akan didapatkan
infiltrat halus pada kedua lapangan
infiltrasi melebar, corakan
paru.
bronkhovaskular bertambah, tampak
infiltrat halus sampai ke perifer
PENATALAKSANAAN
33
dan di rawat di ODC (one day care = 1. Rawat Jalan
2. Cefiksim 2,5 ml/12 jam
ruang rawat sehari.
3. Ambroksol 3,5 ml/8 jam
- Penatalaksnaan untuk pneumonia
4. Salbutamol 0,9 mg/ 8 jam
adalah antibiotik 5. Teofilin 30 mg/18 jam
6. Metilprednisolon 3,5 mg/8
jam
34
BAB 5
PENUTUP
Asma merupakan penyakit yang sering dijumpai pada anak. Kejadian asma
meningkat di hampir seluruh dunia, Dalam dekade terakhir ini terjadi peningkatan
angka kejadian dan derajat asma terutama pada anak-anak di seluruh dunia, baik
di negara maju maupun di negara berkembang. Walaupun teknologi kedokteran
dan pengetahuan tentang patologi, patofisiologi, dan imunologi asma berkembang
sangat pesat, tetapi mekanisme dasar perkembangan penyakit ini belum diketahui
pasti. Banyak ditemui bayi dan batita sering mengalami mengi pada saat terkena
infeksi saluran napas akut dan pada perkembangan selanjutnya jarang menjadi
asma di kemudian hari.
Asma merupakan proses inflamasi kronik saluran pernapasan yang
menyebabkan saluran pernapasan menjadi hiperresponsif yang dapat
memudahkan terjadinya bronkokonstriksi, edema, hipersekresi kelenjar, yang
menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran pernapasan. Manifestasi klinik
dari asma bersifat periodik berupa mengi (wheezing), sesak napas, dada terasa
berat, batuk batuk terutama malam hari atau dini hari, gejala gejala tersebut
berhubungan dengan luasnya inflamasi yang derajatnya bervariasi dan bersifat
reversibel secara spontan maupun dengan atau tanpa pengobatan. Menegakkan
diagnosis dan pengobatan asma sering mengalami kesulitan sehingga sering
terjadi under/overdiagnosis atau under/overtreatment.
Faktor resiko terjadinya asma anak bergantung pada faktor herediter dan
lingkungan, juga pada umur. Bila salah satu orang tua menderita asma,
kemungkinan anak-anak mereka menderita asma adalah 25%, bila kedua orang
tua menderita asma kemungkinannya meningkat menjadi 50%. Asma pada orang
tua laki-laki merupakan prediktor yang sangat kuat untuk diturunkan ke anak-anak
mereka.
35
DAFTAR PUSTAKA
Global Initiative for Asthma (GINA). (2015). Global Strategy for Asthma
Management and Prevention. GINA Assembly, Canada.
Ikatan Dokter Anak Indonesia, (2004). Standar Pelayanan Medis Kesehatan
Anak. Jakarta : Badan Penerbit IDAI
Menkes RI. (2008). Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta
Nelson (2003). Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). (2006). Asma Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia. Diunduh dari http://www.klikpdpi.com/
(diakses pada tanggal 23 Januari 2016).
PP Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2004). Pedoman Nasional Asma Anak
Indonesia. Jakarta : UKK Pulmonologi PP IDAI.
Setiawati, L & Makmuri, M.S. (2004). Tatalaksana Asma Jangka Panjang pada
Anak. Jurnal Simposium Nasional Asma. Surabaya: IDAI
36