Anda di halaman 1dari 34

Tinjauan Pustaka

ASMA PERSISTEN PADA ANAK

Oleh:

Karo Karo Gabriel Prananta

NIM. 2230912310069

Pembimbing:

dr. Khairiyadi, M.Kes., Sp.A(K)

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN ULM/RSUD ULIN

BANJARMASIN

September, 2023
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL.................................................................................. i

DAFTAR ISI............................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1

1.1 Latar Belakang............................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah....................................................................... 2

1.3 Tujuan Penulisan......................................................................... 3

1.4 Manfaat Penulisan....................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 4

2.1 Definisi........................................................................................ 4

2.2 Epidemiologi............................................................................... 5

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko........................................................... 6

2.4 Patogenesis.................................................................................. 10

2.5 Diagnosis..................................................................................... 12

2.6 Tatalaksana.................................................................................. 21

2.7 Komplikasi.................................................................................. 26

2.8 Prognosis..................................................................................... 27

BAB III PENUTUP................................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 29

ii
Universitas Lambung Mangkurat
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asma didefinisikan sebagai suatu penyakit heterogen yang biasanya

ditandai dengan inflamasi kronis pada saluran pernapasan yang ditandai dengan

gejala seperti mengi, kesulitan bernapas, sensasi sesak atau terikat pada dada, dan

batuk yang frekuensi dan intensitasnya bervariasi, disertai dengan keterbatasan

variabel aliran ekspirasi pernapasan.1 Secara global, asma menduduki peringkat

ke-16 sebagai penyebab utama penyakit tahunan pada pasien dengan sekitar 300

juta orang menderita asma di seluruh dunia. 2 Menurut data Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) tahun 2018, prevalensi asma anak di Indonesia umur 0-14 tahun

berkisar dari 0,4-1,9 % dari semua umur.3 Diperkirakan sekitar 65% dari pasien

anak dengan asma terdiagnosis sebagai asma persisten, sedangkan sebanyak 35%

terdiagnosis sebagai asma intermiten.4 Bedasarkan penelitian yang dilakukan

Puskemas Kota Loksumawe didapatkan sebesar 63,3% anak dengan asma

tergolong dalam kategori persisten berat, sedangkan sebesar 36,7% mengalami

asma ringan.5

Terdapat beberapa hal yang dapat mencetuskan asma, diantaranya faktor

lingkungan dan faktor pejamu yang saling berinteraksi. Faktor pejamu yaitu

predisposisi yang mempengaruhi untuk berkembangnya penyakit asma. Faktor

lingkungan yaitu faktor yang menyebabkan eksaserbasi (serangan) asma, seperti

alergen, infeksi pernapasan, olahraga, hiperventilasi, perubahan cuaca, makanan,

1
Universitas Lambung Mangkurat
2

dan aditif (pengawet, penyedap, dan pewarna makanan), polusi udara, obat-

obatan, asap rokok, ekspresi emosi yang berlebihan dan iritan lainnya. 6.Konsep

terkini patogenesis asma adalah asma merupakan suatu proses inflamasi kronik

yang khas, melibatkan dinding saluran pernapasan, peningkatan reaktivitas

saluran respiratori dan menyebabkan limitasi aliran udara.7

Diagnosis asma pada anak didasarkan pada pola gejala berulang penilaian

riwayat, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Tatalaksana pada pasien

asma persisten adalah tata laksana jangka panjang sesuai dengan jenjang 2 sampai

jenjang 4 dengan dilakukan evaluasi berkala untuk menaikkan atau menurunkan

jenjang dalam pemakaian obat pengendali asma. Penting untuk mengontrol asma

agar tidak terjadi remodeling dan timbulnya komplikasi seperti pneumothoraks

pada saluran pernapasan.7

Pasien dengan peyakit asma dapat mengganggu sekolahnya, menghambat

aktivitas sosial, dan berpotensi untuk mengganggu pertumbuhan dan

perkembangan anak. Selain itu, morbiditas dan mortalitas asma relatif tinggi,

WHO memperkirakan terdapat 250.000 kematian akibat asma.1,8 Oleh karena itu,

penting bagi tenaga kesehatan untuk mengenali asma agar dapat memberikan

penanganan yang tepat untuk menghindari dampak buruk yang disebabkan asma.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah tinjauan pustaka ini

adalah apa itu asma persisten, penegakan diagnosis asma, dan cara membedakan

antara asma intermiten dengan persisten, baik ringan, sedang dan berat.

Universitas Lambung Mangkurat


3

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah untuk mengetahui asma

persisten pada anak, penegakan diagnosisnya serta perbedaan antara asma

intermiten dengan persisten, baik ringan, sedang dan berat.

1.4 Manfaat Penulisan

A. Teori

Manfaat penulisan tinjauan pustaka ini adalah memberikan informasi dan

pengetahuan bagi penulis dan pembaca mengenai tatalaksana pada asma persisten

anak.

B. Praktik

Tinjauan pustaka ini diharapkan dapat memperkaya data yang ada untuk

pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Kesehatan, sehingga dapat

mempelajari mengenai asma persisten pada anak guna memberikan penanganan

yang sesuai di kemudian hari.

Universitas Lambung Mangkurat


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Asma adalah suatu penyakit heterogen yang biasanya ditandai dengan

inflamasi kronis saluran pernapasan. Gejala asma ditandai dengan riwayat

gangguan respiratorik seperti mengi, kesulitan bernapas, sensasi sesak atau terikat

pada dada, dan batuk yang frekuensi dan intensitasnya bervariasi, disertai dengan

keterbatasan variabel aliran ekspirasi pernapasan.1

Menurut UKK Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)

mendefinisikan asma adalah penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi

kronik yang mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori

dengan derajat bervariasi. Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk, mengi,

sesak, napas, dada tertekan yang timbul secara kronik dan atau berulang,

reversibel, cenderung memberat pada malam atau dini hari, dan biasanya timbul

apabila ada pencetus. Berdasarkan kekerapannya asma dapat dibagi menjadi:7,8

1) Asma intermiten, yaitu episode gejala asma <6x/tahun atau jarak gejala ≥6

minggu

2) Asma persisten ringan, yaitu episode gejala asma >1x/bulan, <1x/minggu

3) Asma persisten sedang, yaitu episode gejala asma >6x/minggu, namun tidak

setiap hari

4) Asma persisten berat, yaitu episode gejala asma terjadi hampir tiap hari

4
Universitas Lambung Mangkurat
5

2.2 Epidemiologi

Berdasarkan data Behavioral Risk Factors Surveillance System di Amerika

Serikat, didapatkan sekitar 65% anak dengan asma tergolong dalam asma

persisten, sedangkan sekitar 35% lainnya tergolong dalam asma intermiten. 4 Pada

studi yang dilakukan pada pasien asma anak di Allergy and Pulmonology Unit of

the Paediatrics Department of the University Hospital, Santiago de Compostela,

Spain didapatkan dari 249 pasien, sebanyak 161 pasien laki-laki dan 88 pasien

perempuan. Dari 161 pasien laki-laki ditemukan sebanyak 46 orang (29%)

tergolong asma intermiten, 34 orang (21%) tergolong asma persisten ringan, dan

81 orang (50%) tergolong asma persisten sedang dan berat. Pada kelompok

perempuan ditemukan sebanyak 27 orang (31%) tergolong asma intermiten, 32

orang (36%) tergoong asma persisten ringan, dan 29 orang (33%) tergolong asma

persisten sedang-berat.9

Bedasarkan penelitian yang dilakukan di Puskemas Kota Lokusumawe

dengan 30 responden anak penderita asma, didapatkan sekitar 19 orang (63,3%)

tergolong asma persisten berat, sebanyak 11 orang (36,7%) tergolong asma

resisten ringan, sedangkan sebanyak 0 orang (0%) tergolong asma resisten sedang

dan intermiten.5 Pada studi yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah

Kabupaten Tabanan tahun 2018, didapatkan pasien terbanyak adalah pasien

dengan asma persisten ringan presentase sebesar 64,84%, pasien asma persisten

sedang dengan presentase sebesar 27,47% sedangkan asma persisten berat dengan

persentase 7,69%.10

Universitas Lambung Mangkurat


6

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko

Etiologi dari asma masih belum diketahui pasti penyebabnya. Namun,

diyakini kejadian asama dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan. 10 Dalam hal

genetik, studi Genome-Wide Association (GWA) mengidentifikasi lebih dari 100

gen yang secara signifikan terkait dengan timbulnya asma bronkial. Selain itu,

mutasi pada gen orosomucoid 1 (ORM1) telah terungkap dalam studi tentang

Polimorfisme Nukleotida Tunggal juga terkait erat dengan timbulnya asma.

Faktor genetik ini menyebabkan kecenderungan seorang individu untuk

menghasilkan kadar serum IgE total yang meningkat bersamaan dengan terjadinya

hiperresponsif jalan napas.11,12 Faktor lingkungan yang dapat mencetuskan

terjadinya asma, yaitu:7

 Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin,

udara kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet makanan,

pewarna makanan.

 Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.

 Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold, rinofaringitis

 Aktivitas fisik: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.

Terdapat beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan seseorang

mengalami asma. Berikut adalah faktor risiko dari asma, yaitu:8

 Jenis kelamin. Prevalensi asma pada anak laki-laki lebih tinggi daripada anak

perempuan, dengan rasio 3:2 pada usia 6-11 tahun dan meningkat menjadi 8:5

pada usia 12-17 tahun. Namun, pada usia 30 tahun rasio ini berubah menjadi

sebanding antara laki-laki dan perempuan.8

Universitas Lambung Mangkurat


7

 Usia. Pada kebanyakan kasus asma persisten, gejala seperti asma pertama kali

timbul pada usia muda, yaitu pada beberapa tahun pertama kehidupan. Pada

penilitian yang dilakukan di Melbourne (Australia), dilaporkan bahwa 25%

anak dengan asma persisten mendapat serangan mengi pada usia <6 bulan,

dan 75% mendapat serangan mengi pertama sebelum usia 3 tahun. Hanya 5%

anak dengan asma persisten terbebas dari gejala asma pada usia 28-35tahun,

60% tetap menunjukkan gejala seperti saat anak-anak, dan sisanya masih

sering mendapat serangan meskipun lebih ringan daripada saat masa kanak.8

 Ras. Prevalens asma dan kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih

tinggi daripada kulit putih dengan rata-rata prevalens adalah 57,8 per 1000

populasi kulit hitam, 50,8 per 1000 populasi kulit putih, sedangkan untuk ras

lain adalah 48,6 per 1000.8

 Asap rokok. Prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi

daripada anak yang tidak terpajan asap rokok. Pada anak yang terpajan asap

rokok juga memiliki kemungkinan eksaserbasi yang lebih tinggi.8

 Polusi udara luar. Beberapa partikel halus di udara seperti debu jalan raya,

nitrat dioksida, karbonmonoksida, atau SO2, diduga berperan pada penyakit

asma.8

 Infeksi respiratorik. Beberapa penelitian mendapatkan adanya hubungan

terbalik antara atopi dengan infeksi respiratorik. Penelitian di Jerman

mendapatkan adanya penurunan prevalens asma sebanyak 50% pada anak

usia 7 tahun yang saat bayi sering mengalami rinitis. Namun, hal ini tidak

Universitas Lambung Mangkurat


8

berlaku pada infeksi respiratory syncytial virus (RSV) di usia dini yang

mengakibatkan infeksi saluran pernapasan bawah.8

Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan asma resisten,

dianaranya sebagai berikut:13

 Genetik. Berdasarkan studi ditemukan jika genetik memainkan peranan

penting dalam perjalanan penyakit asma. Studi Genome-wide linkage

ditemukan jika gene Orosomucoid 1-like 3 berkaitan erat dengan

perkembangan dari asma.13

 Prenatal. Faktor prenatal meliputi:13

 Merokok saat kehamilan, hal ini berkaitan dengan pengecilan lebar

saluran napas pada masa awal hidup anak yang mana dengan semakin

kecilnya saluran napas, maka hanya dibutuhkan sedikit saja stimulus

untuk memicu terjadinya penyempitan. Selain itu, juga meningkatkan

kemungkinan alergi. 13

 Diet dan nutrisi, berkaitan dengan pemenuhan nutrisi selama

kehamilan. Vitamin E dan zinc dipercaya dapat menurunkan

kemungkinan munculnya asma persisten. 13

 Stres, keadaan stres pada masa prenatal dapat merangsang

hipotalamik-pituitari-aksis adrenal untuk menurunkan kortisol yang

mempengaruhi perkembangan alergi. 13

 Penggunaan antibiotik, penggunaan antibiotik pada masa prenatal

dikaitakan dengan perkembangan penyakit yang atopik. 13

Universitas Lambung Mangkurat


9

 Cara melahirkan, cara lahir dengan cara sesar dikatakan memiliki

kemungkinan munculnya penyakit atopik sebesar 2 sampai 3 kali

lebih besar. 13

 Masa kanak-kanak

 Fenotipe asma, seperti wheezing memiliki persentase 10-15%

terdiagnosis sebagai asma persisten. 13

 ASI ekslusif, berdasarkan penelitian ditemukan jika pasien yang

mendapatkan ASI ekslusif memiliki risiko yang kecil untuk terkena

asma persisten. 13

 Struktur keluarga, dimana jumlah anggota keluarga sangat

mempengaruhi perkembangan dari asma. Hal ini berkaitan dengan

higine didalam keluarga dan dikatakan jika anak yang lahir terakhir

memiliki risiko yang lebih kecil menjadi asma persisten dibandingkan

anak pertama. 13

 Sosial ekonomi, pasien asma yang berasal dari sosial ekonomi yang

rendah memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menjadi asma

persisten. 13

 Sesitisasi alergi, berkaitan dengan serum IgE. Semakin tinggi IgE

maka semakin tinggi pula kemungkinan asmanya berkembang

menjadi asma persisten. 13

 Paparan asap rokok, hal ini dapat menyebabkan semakin parahnya

asma dan menjadi faktor risiko berkembangnya asma menjadi

persisten berat. 13

Universitas Lambung Mangkurat


10

 Paparan dengan hewan, berdasarkan data pasien asma yang berada

dilingkungan dengan paparan hewan domestik seperti kucing dan

anjing memiliki faktor risiko kekambuhan berulang yang lebih tinggi.


13

 Jenis kelamin, berdasarkan penelitian ditemukan jika laki-laki

memiliki hiperresponsif yang lebih umum dan lebih parah

dibandingkan perempuan. 13

2.4 Patogenesis

Patogenesis dari asma dikaitkan dengan proses inflamasi kronik yang

melibatkan saluran pernapasan dan hiperreaktivitas saluran pernapasan yang

menyebabkan limitasi aliran udara.8 Terdapat berbagai sel dan mediator

inflamasi terlibat dalam patofisiologi asma. Alergen yang terinhalasi akan

difagosit oleh sel dendritik kemudian diproses dan dipresentasikan ke sel

T helper (Th) naïve yang spesifik terhadap alergen tersebut. Saat ini diketahui

bahwa sel Th yang terlibat dalam patofisiologi asma bukan hanya Th2. Namun,

melibatkan Th17 dan Th9. Sel Th2 menyekresi sitokin interleukin (IL)-4, IL-5,

IL-6, IL-9, IL-13, kemokin dan juga GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony

Stimulating Factor). Sel Th17 menyekresi IL-17A, IL-17F dan IL-22 yang

menginduksi terjadinya inflamasi saluran napas dan memperkuat kontraksi

sel otot polos saluran napas.14

Faktor kemotaktik oleh sel mast, limfosit, dan makrofag yang terpajan

alergen dan menyebabkan migrasinya eosinofil dan sel radang lain (neutrophil)

serta peningkatan IgE. Selain itu, pada pasien asma ternyata ada penurunan

Universitas Lambung Mangkurat


11

jumlah maupun fungsi sel Treg, padahal sel ini penting dalam menginduksi

toleransi terhadap antigen dan pada kasus asma, sel Treg akan mengurangi

proliferasi Th2. Proses inflamasi pada saluran napas mengakibatkan

hiperresponsif saluran napas, obstruksi, hiperproduksi mukus dan pada

akhirnya menyebabkan remodeling dinding saluran napas. Transisi sel

epithelial ke mesenkimal berperan penting dalam remodeling ini. Perubahan

ini menyebabkan infiltrasi sel inflamasi persisten dan menginduksi perubahan

histologi dinding saluran napas, peningkatan ketebalan membran basal,

deposisi kolagen, serta hipertrofi dan hiperplasia sel otot polos.14

Obstruksi saluran napas menyebabkan gangguan ventilasi berupa

kesulitan napas pada saat ekspirasi (air trapping). Terperangkapnya udara

saat ekspirasi mengakibatkan peningkatan tekanan CO2 dan penurunan

tekanan O2 yang menyebabkan penimbunan asam laktat atau asidosis

metabolik. Obstruksi yang terjadi menyebabkan terjadinya peningkatan

tahanan paru akibat hiperinflamasi paru, hal ini mengakibatkan peningkatan

usaha untuk bernapas sehingga pada pasien tampak ekspirasi yang

memanjang (wheezing). Akibat peningkatan tekanan CO2 dan penurunan tekanan

O2 serta asidosis menyebabkan vasokonstriksi pulmonar yang berakibat pada

penurunan surfaktan dan keadaan tersebut memicu atelektasis. Hipersekresi juga

memicu atelektasis akibat sumbatan oleh sekret yang banyak (mucous plug).14

2.5 Diagnosis

Universitas Lambung Mangkurat


12

Sampai sekarang masih belum ada baku emas untuk diagnosis asma.

Diagnosis asma pada anak sebagian besar didasarkan pada pola gejala berulang

yang dikombinasikan dengan penilaian klinis terhadap riwayat keluarga dan

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Berikut anamnesis, pemeriksaan

fisik dan penunjang yang dapat dilakukan dalam mendiagnosis asma.15

a. Anamnesis

Gejala respiratori asma berupa kombinasi dari batuk, wheezing, sesak

napas, rasa dada tertekan, dan produksi sputum. Chronic recurrent cough/batuk

kronik berulang dapat menjadi petunjuk awal untuk membantu diagnosis asma.

Gejala dengan karakteristik yang khas diperlukan untuk menegakkan diagnosis

asma. Karakteristik yang mengarah ke asma adalah:7

1) Gejala timbul secara episodik atau berulang.

2) Timbul bila ada faktor pencetus.

 Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin,

udara kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet

makanan, pewarna makanan.

 Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.

 Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold, rinofaringitis

 Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.

3) Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.

4) Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan

dalam 24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal).

Universitas Lambung Mangkurat


13

5) Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan

pemberian obat pereda asma.

b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan saat pasien dalam keadaan stabil tanpa

gejala pada pemeriksaan fisik pasien biasanya tidak ada kelainan. Ketika sedang

bergejala pada pasien didapat wheezing, baik yang terdengar langsung (audible

wheeze) atau yang terdengar dengan stetoskop. Selain itu, perlu dicari gejala alergi

lain pada pasien seperti dermatitis atopi atau rinitis alergi, dan dapat pula dijumpai

tanda alergi seperti allergic shiners atau geographic tongue.7

Gambar 2.1 Geographic tongue16

Gambar 2.2 allergic shiners16

Universitas Lambung Mangkurat


14

c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan ini menunjukkan variabilitas gangguan aliran napas akibat

obstruksi, hiperreaktivitas dan inflamasi saluran pernapasan atau adanya atopi.

1) Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan untuk

menilai variabilitas. Pada fasilitas terbatas bisa digunakan peak flow meter.7

Karena ketidakmampuan kebanyakan anak 5 tahun ke bawah untuk

melakukan manuver ekspirasi maka pengujian fungsi paru, provokasi

bronkial dan tes fisiologis lainnya tidak memiliki peran penting dalam

menegakan diagnosis. 17

2) Uji sensitisasi alergi. Sensitisasi terhadap alergen dapat dinilai

menggunakan uji tusuk kulit, imunoglobulin E spesifik atau eosinofil

darah.7,17 Sensitisasi alergi pada alergen spesifik muncul di sebagian besar

anak dengan asma setelah lebih berusia lebih dari 3 tahun, namun tidak

sebagai prediktor untuk pengembangan asma persisten.7

3) Uji inflamasi saluran respiratori, seperti FeNO (fractional exhaled nitric

oxide) dan eosinofil sputum.7 FeNO dapat diukur pada anak kecil dengan

pernapasan tidal yang nilai referensi normal telah dipublikasikan untuk anak

usia 1-5 tahun.17

4) Uji provokasi bronkus dengan latihan fisik, metakolin, atau larutan salin

hipertonik.7 Anak yang >6 tahun pemeriksaan faal paru sebaiknya

dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau

yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus ini sangat

Universitas Lambung Mangkurat


15

menunjang diagnosis. Pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis

asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya yaitu:17

a) Variabilitas pada Peak Flow Rate atau Forced Expiratory Volume in 1

second >15 %, variabilitas harian adalah perbedaan nilai

(peningkatan/penurunan) hasil PFR dalam satu hari. Penilaian yang baik

dapat dilakukan dengan variabilitas mingguan yang pemeriksaan

berlangsung >2 minggu.

b) Reversibilitas pada Peak Flow Rate atau Forced Expiratory Volume in 1

second >15%, reversibilitas adalah peningkatan PFR atau FEVI setelah

pemberian bronkodilator inhalasi.

c) Penurunan >20 % pada Forced Expiratory Volume in 1 second (PD20

atau PC20) setelah provokasi bronkus dengan metakolin atau histamin.

5) Uji coba terapeutik selama minimal 2-3 bulan dengan short acting beta2-

agonist (SABA) apabila diperlukan dan kortikosteroid inhalasi dosis rendah

secara rutin dapat memberikan beberapa panduan tentang diagnosis asma.

Respons harus dievaluasi dengan kontrol gejala (siang dan malam), dan

frekuensi episode mengi dan serangan. Uji coba pengobatan ini ditandai

perbaikan klinis selama pengobatan, dan perburukan ketika pengobatan

dihentikan, mendukung diagnosis asma. Uji coba terapeutik perlu diulang

untuk memastikan diagnosis karena sifat asma yang bervariasi pada anak.17

Pasien anak yang datang dengan keluhan batuk, mengi, sesak napas, dada

tertekan atau produksi sputum dapat dicurigai sebagai asma jika keluhan itu

muncul kronik atau berulang, gejala berfluktuasi intensitasnya seiring waktu,

Universitas Lambung Mangkurat


16

gejala memberat pada malam atau dini hari atau timbul apabila ada pencetus. Jika

pasien anak sudah diduga asma, maka perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan,

dimana jika ditempat kita tersedia spirometri/Peak Flow Meter (PFM) maka dapat

dilakukan pemeriksaan fungsi paru. Apabila nilai reverbilitas >12% atau

variabilitas >13% maka asma pada anak dapat ditegakkan. Namun, jika tidak

terpenuhi maka ulangi pemeriksaan setelah 4 minggu. Setelah pemeriksaan

diulangi, jika hasil sesuai maka asma pada anak dapat ditegakkan, tetapi jika tidak

sesuai maka diberikan inhalasi SABA selama 3-5 hari. Pada kondisi dimana

pemeriksaan spirometri/PFM tidak tersedia maka dapat diberikan inhalasi SABA

selama 3-5 hari. Apabila terdapat respons terhadap pemberian inhalasi SABA

selama 3-5 hari maka asma pada anak dapat ditegakkan namun apabila tidak

terdapat respons maka tambahkan steroid sistemik 3-5 hari. Apabila terdapat

respons terhadap pemberian steroid sistemik 3-5 hari maka asma pada anak dapat

ditegakkan. Apabila tidak terdapat respons pemberian steroid sistemik 3-5 hari

dan tidak ada gejala yang diduga asma maka pikirkan diagnosis lain dan

pertimbangkan pemeriksaan berikut sesuai indikasi yaitu uji tuberkulin, rontgen

toraks, pemeriksaan refluks atau CT scan dada/sinus. Maka keluhan diberikan

tatalaksana sesuai diagnosis lain. Setelah diagnosis asma pada anak ditegakkan,

tentukan derajat penyakit dan serangan.7

Berikut alur diagnosis asma pada anak (gambar 2.3) yang telah diuraikan

diatas.

Universitas Lambung Mangkurat


17

Gambar 2.3 Alur diagnosis asma pada anak.7

Asma merupakan penyakit yang sangat heterogen dengan variasi yang

sangat luas. Atas dasar itu, ada berbagai cara mengelompokkan asma.7

a. Asma berdasarkan usia

1) Asma bayi, (bawah dua tahun)

2) Asma bawah lima tahun

3) Asma usia sekolah (5-11 tahun)

4) Asma remaja (12-17 tahun)

b. Berdasarkan fenotif

Fenotif asma adalah kelompok karakteristik demografis, klinis dan/atau

patofisiologis yang dapat dikenali. Berikut fenotif yang paling umum.18

Universitas Lambung Mangkurat


18

1) Asma alergi: asma ini mudah dikenali, yang sering dimulai pada masa

kanak dan dikaitkan dengan riwayat penyakit alergi sebelumnya dan/atau

keluarga seperti eksim, rinitis alergi, atau alergi obat-makanan.18

2) Asma non-alergi: beberapa pasien menderita asma yang tidak

berhubungan dengan alergi. Profil seluler sputum dari pasien ini mungkin

neutrofilik, eosinofilik atau hanya mengandung beberapa sel radang

(paucigranulositik).18

3) Asma onset dewasa: beberapa orang dewasa, terutama wanita, muncul

asma untuk pertama kalinya yangcenderung non-alergi, dan seringkali

memerlukan dosis ICS yang lebih tinggi atau relatif refrakter terhadap

pengobatan kortikosteroid. Asma akibat kerja harus disingkirkan pada

pasien menyajikan dengan asma onset dewasa.18

4) Asma dengan limitasi aliran udara persisten: beberapa pasien dengan asma

lama mengembangkan limitasi aliran udara yang persisten atau reversibel

tidak sempurna. Hal ini diduga karena remodeling dinding saluran napas.18

5) Asma dengan obesitas: beberapa pasien obesitas dengan asma memiliki

gejala pernapasan yang menonjol.18

c. Berdasarkan derajat beratnya serangan

Asma merupakan penyakit kronik yang dapat mengalami episode gejala

akut yang memberat dengan progresif yang disebut sebagai serangan asma.

Serangan asma dapat diklasifikasi derajat serangan digunakan sebagai dasar

penentuan tatalaksana.7

1) Asma serangan ringan-sedang

Universitas Lambung Mangkurat


19

2) Asma serangan berat

3) Serangan asma dengan ancaman henti napas

d. Berdasarkan derajat kendali 7

1) Asma terkendali penuh, apabila tidak ada gejala

2) Asma terkendali sebagian, apabila terdapat 1-2 gejala

3) Asma tidak terkendali, apabila terdapat 3-4 gejala

Derajat kendali dibuat setelah 6 minggu menjalani tata laksana jangka

panjang awal sesuai dengan klasifikasi kekerapan.7

e. Berdasarkan keadaan saat ini:7

1) Tanpa gejala

2) Ada gejala

3) Serangan ringan-sedang

4) Serangan berat

5) Ancaman gagal napas

Serangan asma adalah episode peningkatan yang progresif dari gejala

asma, yang mencerminkan gagalnya tatalaksana asma jangka panjang atau adanya

pajanan pencetus.7 Anamnesis yang singkat dan pemeriksaan fisik yang relevan

harus dilakukan bersamaan dengan terapi awal yang cepat dan hasil dicatat.18

a. Waktu onset dan penyebab (jika diketahui) serangan saat ini

b. Keparahan gejala asma, termasuk olahraga yang membatasi

c. Setiap gejala anafilaksis

d. Faktor risiko kematian terkait asma atau gangguan tidur

Universitas Lambung Mangkurat


20

e. Semua obat pereda dan pengontrol saat ini, termasuk dosis dan alat yang

digunakan, kepatuhan penggunaan obat, setiap perubahan dosis dewasa

ini dan respons terhadap terapi saat ini.

Pemeriksaan pada serangan asma harus menilai sebagai berikut.19

a. Keparahan serangan dan tanda vital (misalnya tingkat kesadaran, suhu,

frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, tekanan darah, kemampuan

menyelesaikan kalimat, penggunaan otot aksesori, mengi).

b. Faktor komplikasi (misalnya anafilaksis, pneumonia, pneumotoraks)

c. Tanda-tanda kondisi alternatif yang dapat menjelaskan sesak napas akut

(misalnya gagal jantung, penyempitan laring yang bersifat reversible

akibat faktor eksternal, terhirup benda asing atau emboli paru)

d. Pengukuran pulse oximetry. Kadar saturasi <90% pada anak yang

memerlukan terapi adekuat

e. Peak expiratory flow (PEF) pada pasien yang berusia lebih dari 5 tahun

Derajat keparahan serangan, terbagi menjadi serangan ringan-sedang,

serangan berat, dan serangan asma dengan ancaman henti napas. Perlu

dibedakan antara derajat penyakit asma (aspek kronik) dengan derajat

serangan asma (aspek akut). Kriteria untuk menentukan derajat keparahan

serangan asma pada anak ditentukan apabila memenuhi gejala pada tabel

berikut.7

Tabel 2.1 Derajat keparahan serangan asma pada anak7

Asma serangan ringan Asma serangan berat Serangan asma

Universitas Lambung Mangkurat


21

dengan ancaman
sedang
henti napas
Bicara dalam kalimat Bicara dalam kata Mengantuk
Lebih senang duduk
Duduk bertopang lengan Letargi
daripada berbaring
Suara napastak
Tidak gelisah Gelisah
terdengar
Frekuensi napas meningkat Frekuensi napas meningkat
Frekuensi nadi meningkat Frekuensi nadi meningkat
Retraksi minimal Retraksi jelas
SpO2: 90-95% SpO2: <90%
PEF >50% prediksi atau PEF <50% prediksi atau
terbaik terbaik

Klasifikasi berdasarkan kekerapan gejala dibuat setelah dibuat

diagnosis kerja asma dan dilakukan tatalaksana umum pengendalian

lingkungan dan penghindaran pencetus selama 6 minggu. Apabila yakin

diagnosis asma dan klasifikasi sejak kunjungan awal maka tatalaksana dapat

dilakukan sesuai klasifikasi. Klasifikasi kekerapan ditujukan sebagai acuan

awal penetapan langkah tatalaksana jangka panjang. Apabila ada keraguan

dalam menentukan klasifikasi kekerapan, masukkan ke klasifikasi lebih

berat.7 Australian Asthma Handbook mendefinisikan pola dan kekerapan

asma pada anak sebagai berikut.

Tabel 2.2 Pola dan kekerapan gejala asma pada anak18


Kategori Pola dan kekerapan gejala (bila tidak berobat teratur)
Usia 0-5 tahun Usia 6 tahun ke atas

Universitas Lambung Mangkurat


22

Asma intermiten Bebas gejala selama minimal 6 minggu pada satu waktu (gejala hingga rata-rata sekali
jarang setiap 6 minggu namun tidak ada gejala antarserangan)
Asma intermiten Gejala sering terjadi rata-rata lebih dari sekali setiap 6 minggu namun tidak ada gejala
antarserangan
Prediksi FEV1 ≥80% dan setidaknya salah
Setidaknya salah satu dari:
Asma persisten satu dari:
• Gejala siang hari antarserangan lebih dari
ringan • Gejala siang hari antarserangan lebih dari
sekali per minggu tetapi tidak setiap hari
sekali per minggu tetapi tidak setiap hari
• Gejala malam hari antarserangan lebih
• Gejala malam hari antarserangan lebih
dari dua kali per bulan tetapi tidak setiap
dari dua kali per bulan tetapi tidak setiap
minggu
minggu
Asma persisten Salah satu dari:
sedang Salah satu dari:
• Prediksi FEV1 <80% antarserangan
• Gejala siang hari antarserangan setiap
hari • Gejala siang hari antarserangan setiap
hari
• Gejala malam hari antarserangan lebih
dari sekali per minggu • Gejala malam hari antarserangan lebih
dari sekali per minggu
• Gejala terkadang membatasi aktivitas
atau tidur • Gejala terkadang membatasi aktivitas
atau tidur
Asma persisten Salah satu dari:
berat Salah satu dari:
• Prediksi FEV1 <60% antarserangan
• Gejala siang hari antarserangan setiap
hari • Gejala siang hari antarserangan setiap
hari
• Gejala malam hari antarserangan sering
• Gejala malam hari antarserangan sering
• Serangan sering
• Serangan sering
• Gejala sering membatasi aktivitas atau
tidur • Gejala sering membatasi aktivitas atau
tidur

2.6 Tatalaksana Asma Persisten

Obat asma dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu obat pereda

(reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda disebut juga sebagai obat

pelega atau obat serangan. Obat ini digunakan untuk meredakan serangan atau

gejala asma bila sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan gejala tidak ada

lagi, maka pemakaian obat ini dihentikan.7

Obat pengendali digunakan untuk mencegah serangan asma. Obat ini

untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi respiratori kronik, sehingga

tidak timbul serangan atau gejala asma. Obat ini digunakan secara terus menerus

dalam jangka waktu yang relatif lama, bergantung pada kekerapan gejala asma

dan respons terhadap pengobatan/penanggulangan. Obat pengendali asma terdiri

Universitas Lambung Mangkurat


23

dari steroid inhalasi, antileukotrien, kombinasi steroid–agonis b2 kerja panjang,

teofilin lepas lambat, dan anti-imunoglobulin E.7

Idealnya obat asma diberikan secara inhalasi, yang dapat diberikan

menggunakan nebulizer, MDI, atau dry powder inhaler (DPI). Pemilihan jenis

alat inhalasi disesuaikan dengan umur, kemampuan dan keadaan pasien serta

mempertimbangkan efikasi obat, keamanan, kenyamanan penggunaan,

ketersediaan dan biaya. Inhalasi dosis terukur/metered dose inhaler (MDI) dengan

spacer merupakan pilihan utama karena memberikan kenyamanan kepada pasien,

jumlah obat yang mencapai paru lebih banyak, risiko dan efek samping minimal,

serta biaya lebih murah. Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali.

Tabel 2.3. memperlihatkan anjuran jenis alat inhalasi menurut usia.7

Tabel 2.3. Jenis alat inhalasi sesuai usia.7

Umur Alat inhalasi


< 5 tahun - Nebuliser dengan masker
- Metered Dose Inhaler dengan spacer: aerochamber,
opticchamber, babyhaler
5-8 tahun - Nebuliser dengan mouth piece
- Metered Dose Inhaler dengan spacer
- Dry Powder inhaler
>8 tahun - Nebuliser dengan mouth piece
- Metered Dose Inhaler dengan atau tanpa spacer
- Dry Powder inhaler

Tata laksana asma jangka panjang dilakukan secara berjenjang. Langkah

awal sebelum menentukan jenjang tata laksana yang akan diberikan adalah

menentukan klasifikasi kekerapan asma (asma intermiten, asma persisten ringan,

sedang atau berat). Obat pengendali diberikan seusai dengan jenjangnya,

sedangkan obat pereda diberikan pada semua jenjang bila ada gejala atau serangan

Universitas Lambung Mangkurat


24

asma. Di samping itu, tata laksana nonmedikamentosa (penghindaran faktor

pencetus) dan pengobatan penyakit penyerta juga dilakukan pada semua jenjang.7

Jenjang 1 diindikasikan sebagai terapi awal pada pasien dengan asma

intermiten. Jenjang 1 juga dapat diterapkan pada pasien yang telah terkendali

penuh tanpa obat pengendali. Pada jenjang 1 pasien hanya mendapatkan obat

pereda berupa inhalasi agonis β2 kerja pendek apabila mengalami serangan asma.

Sebagai alternatif obat pereda bisa diberikan obat inhalasi agonis β2 kerja pendek

kombinasi dengan ipratropium bromida, agonis β2 kerja pendek oral, atau teofilin

kerja pendek oral. Pada pasien yang memiliki faktor risiko serangan asma

(misalnya pernah dirawat di ICU karena asma) dapat dipertimbangkan pemberian

steroid inhalasi dosis rendah. Bila setelah tata laksana jenjang 1 dilaksanakan

selama 6-8 minggu asma tidak terkendali penuh, anak memerlukan obat

pengendali asma (jenjang 2).7 Jika pada saat awal penilaian anak didiagnosis

sebagai asma persisten ringan, tata laksana dimulai dari jenjang 2. Pilihan utama

obat pengendali pada jenjang ini adalah steroid inhalasi dosis rendah, sedangkan

sebagai pilihan lain dapat diberikan antileukotrien yang diberikan pada pasien

asma yang tidak memungkinkan menggunakan steroid inhalasi atau pada pasien

asma disertai rinitis alergi.7

Jenjang 3 diindikasikan sebagai terapi awal pada anak dengan asma

persisten sedang atau anak yang tidak terkendali dengan terapi jenjang 2. Pilihan

utama obat pengendali pada jenjang 3 untuk anak berusia di atas 5 tahun ialah

kombinasi steroid dosis rendah-agonis β2 kerja panjang. Pilihan lainnya ialah

dengan menaikkan dosis steroid inhalasi pada dosis menengah. Selain itu dapat

Universitas Lambung Mangkurat


25

diberikan kombinasi steroid inhalasi dosis rendah-antileukotrien atau kombinasi

steroid inhalasi dosis rendah-teofilin lepas lambat.7

Jenjang 4 diindikasikan sebagai terapi awal pada anak dengan asma

persisten berat atau anak yang tidak terkendali dengan jenjang 3. Pasien asma

yang tidak berhasil dikendalikan pada jenjang 3 sebaiknya dirujuk kepada dokter

spesialis anak konsultan respirologi untuk pemeriksaan lebih lanjut. Pada saat ini

pasien asma dikategorikan sebagai asma sulit (difficult–to-treat asthma). Pilihan

utama obat pengendali pada jenjang 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis

menengah agonis β2 kerja panjang. Menaikkan dosis steroid inhalasi dari dosis

sedang ke dosis tinggi hanya memberikan sedikit perbaikan. Keputusan ini dapat

dilaksanakan setelah pemberian steroid inhalasi dosis sedang-agonis β2 kerja

panjang diberikan selama 6-8 minggu. Pilihan lain pada jenjang 4 ialah kombinasi

steroid inhalasi dosis tinggi-antileukotrien atau kombinasi steroid inhalasi dosis

tinggi-teofilin lepas lambat. Pada jenjang ini dapat dipertimbangkan penambahan

antiimunoglobulin E (omalizumab) yang dapat memperbaiki pengendalian asma

yang disebabkan karena alergi.7

Jenjang 5 Semua pasien yang mencapai jenjang ini harus dirujuk dokter

spesialis respirologi anak untuk pemeriksaan dan tata laksana lebih lanjut, oleh

karena itu tata laksana pada jenjang ini tidak dituliskan dalam gambar. Pada

jenjang ini mulai dipertimbangkan pemberian steroid oral, oleh karena itu pasien

harus dijelaskan tentang kemungkinan efek samping yang timbul akibat

pemberian steroid oral jangka panjang dan berbagai alternatif pilihan pengobatan. 7

Berikut adalah gambaran jenjang pengobatan asma

Universitas Lambung Mangkurat


26

Gambar 2.2 Jenjang dalam tata laksana asma jangka panjang7

Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 6-8

minggu dan asma belum terkendali, maka tata laksana naik jenjang ke atasnya

(step up). Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 8-12

minggu dan asma terkendali penuh, maka tata laksana turun jenjang kebawahnya

(step down).7

Edukasi yang dapat diberikan kepada orang tua pasien, yaitu:20

1) Intervensi tentang penyakit asma, penyebab, faktor risiko dan cara

penanganan di rumah agar pasien mengerti tentang penyakitnya, dan sadar

bahwa tidak hanya obat yang dapat mengontrol penyakitnya, namun

menghindari faktor pencetus juga dapat mencegah timbulnya

kekambuhan serta memperberat penyakitnya.

2) Intervensi edukasi pola makan gizi seimbang kepada pasien dan

keluarga. Pada pasien diharapkan menjaga pola makan dan menghindari

makanan yang dapat memicu penyakit pada saluran pernapasan terutama

asma.

Universitas Lambung Mangkurat


27

3) Intervensi edukasi dan evaluasi cara pemakaian obat. Agar obat yang

digunakan lebih efektif dan dapat mengontrol asma pasien dengan

dosis yang tepat. Selain itu edukasi tentang kepatuhan pasien untuk

berobat rutin juga penting dalam mengontrol asma yang diderita

pasien.

4) Intervensi edukasi kepada pasien dan keluarga tentang faktor pemicu

timbulnya asma. Serta perlunya modifikasi lingkungan terutama

ventilasi dan penempatan / penyusunan barang-barang di dalam

rumah, hal ini dilakukan agar sirkulasi udara di dalam rumah

cukup dan debu tidak menumpuk, sehingga tidak dapat memicu

kekambuhan asma pada pasien.

5) Intervensi edukasi kepada pasien dan keluarganya mengenai jenis

aktivitas fisik/olahraga yang dapat dilakukan oleh pasien. Dengan

melakukan olahraga yang tepat, dapat bermanfaat dalam mengurangi

inflamasi jalan napas, mengurangi hipersensitivitas bronkus, memperbaiki

kebugaran, dan meningkatkan toleransi terhadap kegiatan fisik serta

kualitas hidup pasien.

2.7 Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita asma persisten dapat

sangat membatasi kemampuan untuk melakukan aktivitas normal sehari-hari,

termasuk olahraga dan aktivitas luar ruangan. Meskipun asma adalah penyakit

yang dapat diobati, beberapa pengobatan tersebut memiliki efek samping.

Misalnya, inhaler dapat menyebabkan suara serak, dan kortikosteroid yang

Universitas Lambung Mangkurat


28

dihirup dapat meningkatkan risiko infeksi jamur. Steroid oral meningkatkan

kemungkinan terjadinya sindrom Cushing, termasuk penambahan berat badan dan

disfungsi metabolisme. Namun, asma yang tidak terkontrol dengan baik dapat

menyebabkan remodeling saluran napas dan obstruksi kronis, meningkatkan

risiko apnea tidur obstruktif, pneumonia, atau refluks gastroesofageal.21

2.8 Prognosis

Prognosis ad vitam asma persisten adalah dubia ad bonam pada pasien asma

persisten yang terkontrol dengan pengobatan jarang terjadi serangan asma dan

tingkat mortalitasnya rendah. Namun, pasien asma persisten yang tidak terkontrol

dapat mengancam jiwa dan menyebabkan kematian sehingga prognosis ad

vitamnya malam.22,23 Prognosis ad functionam asma persisten adalah dubia ad

bonam hal ini dikarenakan keadaan pasien sangat tergantung pada kepatuhan

pasien dalam menjalani terapinya. Perlu diingat pasien yang sering mengalami

serangan asma atau tidak terkontrol, khususnya pada anak dapat menyebabkan

terjadinya remodelling pada saluran napasnya dan obstruksi kronis, meningkatkan

risiko apnea tidur obstruktif, pneumonia, atau refluks gastroesofageal yang dapat

mengarahkan ke prognosis malam.23 Pada pasien asma persisten sedang sampai

berat juga ditandai dengan penurunan dini fungsi paru-paru, yang mana kinerjanya

hanya menjadi 60-80% dari normalnya.24 Namun, pasien yang taat dengan

pengobatan asma persisten juga tetap memiliki risiko efek samping dari

penggunaan obat-obatannya, seperti sindrom cushing.23 Prognosis ad sanationam

asma persisten adalah dubia ad bonam yang berkaitan erat dengan ketaatan pasien

Universitas Lambung Mangkurat


29

dalam menjalani terapi dan menghindari faktor yang dapat mencetuskan dan

memperburuk asmanya.23

Universitas Lambung Mangkurat


BAB III

PENUTUP

Secara umum asma dapat didefinisikan sebagai penyakit saluran respiratori

dengan dasar inflamasi kronik yang mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas

saluran respiratori dengan derajat bervariasi. Manifestasi klinis asma dapat berupa

batuk, mengi, sesak, napas, dada tertekan yang timbul secara kronik dan atau

berulang, reversibel, cenderung memberat pada malam atau dini hari, dan

biasanya timbul apabila ada pencetus. Asma persisten sendiri merupakan salah

satu klasifikasi asma yang didasarkan pada kekerapan gejala asma. Kekerapan

gejala asma ini dapat digunakan sebagai acuan awal jejang tatalaksana jangka

panjang untuk mengontrol asma. Asma yang tidak terkontrol cenderung memiliki

prognosis yang lebih buruk, sehingga ketepatan dalam mendiagnosis dan

menetukan terapi yang sesuai dengan keadaan pasien sangat perlu untuk

diperhatikan oleh para tenaga kesehatan.

Dalam pengobatan asma persisten sangat diperlukan pemantauan dan

penilaian yang dilakukan secara berkala oleh dokter dan/atau pasien. Hal ini

berkaitan dengan jenjang penatalaksanaan yang diterima oleh pasien asma, apakah

ia akan tetap dijenjang tersebut atau akan step up maupun step down. Selain

dengan menggunakan farmakologi, pasien asma juga perlu diedukasi terkait

kondisinya, seperti menghindari faktor pencetus. Dengan terlaksananya hal

tersebut diharapkan serangan pada asma persisten dapat dicegah.

28
Universitas Lambung Mangkurat
DAFTAR PUSTAKA

1. Zulfikri NA, Muti A. Karakteristik penderita asma pada anak di ruang rawat
inap rsud abdul wahab sjahranie samarinda pada tahun 2018-2020. Verdure:
Health Science Journal.2022;4(1):342-356.

2. Dharmage SC, Perret JL, Custovic A. Epidemiology of asthma in children and


adults. Frontiers in pediatrics. 2019;7: 246.

3. Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: KEMENKES


RI;2018.

4. CDC. Asthma severity among adults with current asthma. [Internet]. 2015.
Avaliable from: https://www.cdc.gov/asthma/asthma_stats/severity_adult.htm#

5. Windiani S, Mauliza, Khairunnisa C. survei prevalensi kejadian asma pada


anak usia di bawah 18 tahun di puskesmas kota lhokseumawe. Galenical:
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Malikussaleh. 2022;1(2):22-31.

6. Dandan JG, Frethernety A, Parhusip MBE. Literature review: gambaran faktor-


faktor pencetus asma pada pasien asma. Jurnal Kedokteran Universitas
Palangka Raya. 2022:10(2): 1-5.

7. Rahajoe N, Kartasasmita CB, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman nasional


asma anak edisi ke-2. Jakarta: UKK Respirologi PP IDAI. 2016.

8. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku ajar respirologi. Edisi 1. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 2008

9. Rodriguez EC, Barcala FG, Rodriguez PC, et al. Predictors of the persistence
of childhood asthma. Allergologia et immunopathologia.2008: 36(2);66-71.

10. Gita DGVM, Ernawati DK, Mahendra AN. Analisis kesesuaian pemakaian
obat pada pasien asma dewasa dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5
tahun 2014 di Badan Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Tabanan tahun
2018. Intisari Sains Medis.2020:11(3);1242-1246.

11. Bereda G. Bronchial asthma: etiology, pathophysiology, diagnosis, and


management. Aust J Pulm Respir Med. 2022;9(1):1085.

12. Xu P, Wang L, Chen D, et al. The application of proteomics in the diagnosis


and treatment of bronchial asthma. Ann Transl Med. 2020;8:132.

29
Universitas Lambung Mangkurat
30

13. Subbarao P, Mandhane PJ., Sears MR. Asthma: epidemiology, etiology and
risk factors. Cmaj.2009; 181(9): E181-E190.

14. Litanto A, Kartini K. Kekambuhan asma pada perempuan dan berbagai faktor
yang memengaruhinya. Jurnal Biomedika Dan Kesehatan. 2021;4(2):79-86.

15. Martin J, Townshend J, Brodlie M. Diagnosis and management of asthma in


children. BMJ Paediatrics Open.2022:6(1).

16. Zitelli BJ, Davis HW. Atlas of pediatric physical diagnosis. Fifth edition.
Philadelphia: Elsevier; 2007.

17. Global Initiative for Asthma. global strategy for asthma management and
prevention, 2022. Avalaible from: www.ginasthma.org

18. Perdani RRW. Asma bronkial pada anak. JK Unila. 2019;3(1):154-9.

19. National Asthma Council Australia. australian asthma handbook, version 1.0.
national asthma council australia, melbourne, 2014. Website. Available from:
http://www.asthmahandbook.org.au

20. Yuliasari A, Karyus A. penatalaksanaan holistik pasien dengan asma persisten


sedang di wilayah puskemas hanura. Medical Profession Journal of Lampung.
2020;10(3):551-556.

21. Lizzo JM, Cortes S. Pediatric Asthma. [Updated 2023 Aug 7]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551631

22. Reddel HK, Bacharier LB, Bateman ED, et al. Global initiative for asthma
strategy 2021: executive summary and rationale for key changes. Am J Respir
Crit Care Med. 2022;205(1):17-35.

23. Song WJ, Lee JH, Kang Y, Joung WJ, Chung KF. future risks in patients with
severe asthma. Allergy Asthma Immunol Res. 2019 Nov;11(6):763-778

24. Marco R, Marcon A, Jarvis D, et al. Prognostic factors of asthma severity: a 9-


year international prospective cohort study. Journal of Allergy and Clinical
Immunology. 2006; 117(6):1249-1256.

Universitas Lambung Mangkurat

Anda mungkin juga menyukai