Disusun oleh :
Inka Putri Kosita G4A019004
Pembimbing :
dr. Indah Rahmawati, Sp. P
NIP. 19670316 200604 2 001
1
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun oleh:
Inka Putri Kosita G4A019004
Mengetahui,
Pembimbing
2
DAFTAR ISI
3
DAFTAR GAMBAR
4
DAFTAR TABEL
5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asma dan Chronic Obsruction Pulmo Disease (COPD) merupakan
salah satu masalah kesehatan utama di dunia saat ini. Kedua penyakit
obstruktif di atas memiliki prevalensi yang tinggi dan kecenderungan untuk
terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu, mortalitas dan
morbiditas, serta beban sosio-ekonomik kedua kelainan tersebut juga tinggi
(Bagus, 2016)
Keluhan dan gejala asma biasanya muncul sejak usia muda, sementara
PPOK mulai terlihat setelah usia 40 tahun. Dalam praktek klinis sehari-hari,
kriteria penatalaksanaan asma dan PPOK telah dikenal luas dan memiliki
panduan internasional yang baku. Literatur literatur terdahulu, asma
merupakan diagnosis banding dari PPOK, demikian pula sebaliknya. Tetapi
pada kenyataannya, banyak pasien PPOK yang mengalami gejala asma atau
sebaliknya pada pasien asma usia tua yang sering tidak menunjukkan hasil
pengobatan yang optimal. Keberadaan kedua jenis kelainan ini (Asma dan
PPOK) pada satu pasien inilah yang mencetuskan banyak review dan
penelusuran lebih mendalam dari para ahli di seluruh dunia dalam lima tahun
terakhir (Barrecheguren, 2015).
Asthma COPD Overlap Syndrome (ACOS) merupakan terminologi
yang dipilih untuk mengelompokkan pasien-pasien seperti tersebut di atas.
Menemukan angka kejadian ACOS dari kepustakaan menjadi hal yang agak
kompleks. Penelitian-penelitian di bidang asma dan PPOK biasanya
mengeksklusi salah satunya, karena masih menganggap asma merupakan
diagnosis banding PPOK. Menurut Guerra dalam penelitiannya tahun 2004,
mendapatkan 40% kejadian koeksistensi asma dan PPOK pada satu pasien
dengan menggunakan kombinasi kriteria diagnostik keduanya. Prevalensi
ACOS akan meningkat sesuai dengan umur pasien. Prevalensi ACOS pada
usia kurang dari 50 tahun adalah 10%, dan meningkat menjadi >50% pada
usia 80 tahun ke atas (Barrecheguren, 2015).
6
Satu hal yang telah disepakati oleh para ahli, apabila koeksistensi
asma dan PPOK terjadi pada seorang pasien, maka pasien tersebut memiliki
prognosis lebih buruk daripada hanya menderita salah satu kelainan ini.
Pasien akan mengalami perburukan penyakit yang lebih cepat, kualitas hidup
yang lebih buruk, lebih sering mengalami eksaserbasi, meningkatnya
komorbid, serta sering mengunjungi fasilitas kesehatan akibat penyakitnya.
Untuk itulah dirumuskan kriteria diagnostik tersendiri dalam mendiagnosis
kondisi ini, dan diberi terminologi ACOS oleh GINA (Papaiwannou, 2014).
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Asma merupakan penyakit yang heterogen yang ditandai dengan
inflamasi kronik saluran napas. Asma ditandai dengan riwayat gejala
saluran pernapasan seperti wheezing (mengi), sesak napas, dada terasa
berat, dan batuk yang bervariasi diantara waktu dan intensitas dan
disertai dengan hambatan jalan napas ekspirasi yang bervariasi. Variasi
yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor seperti olahraga, paparan
alergen atau iritan, perubahan cuaca, atau infeksi virus pada saluran
napas. Gejala terbatasnya jalan napas dapat sembuh spontan atau dengan
pengobatan dan dapat menghilang selama beberapa minggu atau beberapa
bulan. Di sisi lain pasien juga dapat mengalami beberapa periode
serangan (eksaserbasi) asma yang dapat mengancam jiwa dan
memberikan beban yang signifikan bagi pasien dan keluarga. Asma
biasanya dikaitkan dengan hiporesponsivitas jalan napas karena stimulus
langsung dan tidak langsung, dan dengan inflamasi jalan napas kronik.
Karakteristik tersebut biasanya selalu ada, walaupun tidak ada gejala dan
fungsi paru normal, dan akan membaik dengan terapi (GINA, 2019).
B. Epidemiologi
Asma merupakan masalah kesehatan dunia. Diperkirakan sebanyak
300 juta orang menderita asma, dengan prevalensi sebesar 1- 18 %,
bervariasi pada berbagai negara. Kejadian asma dipengaruhi factor
genetik, lingkungan, umur dan gender dan terdapat kecenderungan
peningkatan insidensinya terutama didaerah perkotaan dan industri
akibat adanya polusi udara. Prevalensi di Indonesia adalah sebesar 5 – 7
%. PBB memperkirakan disability – adjusted life years ( DALYs )
sebanyak 15 juta setiap tahun karena asma, yang merupakan 1% dari
beban global akibat penyakit. Mortalitas sebesar 250.000/tahun yang
8
tidak proporsional dengan prevalensi penyakit. Polusi menyebabkan
peningkatan asma diseluruh dunia1.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat
ini jumlah penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang
dan diperkirakan angka ini akan terus meningkat hingga 400 juta
penderita pada tahun 20257.
C. Faktor Risiko
Saat ini dikenal beberapa faktor risiko yang terkait ACOS, antara
lain (Louie, et al, 2013):
1. Usia : > 40 tahun; antara 50-65 tahun
2. Infeksi (rhinovirus, influenza, mycoplasma, Airway hyperresponsiveness/
AHR)
3. Merokok : > 10 bungkus pertahun. Secara patofisiologi dapat mengubah
inflamasi saluran nafas kecil (small airways) menyebabkan terjadinya
remodeling terkait dengan asma bronkial.
4. Alergen : terdapat riwayat atopi (genetik), rhinosinusitis
5. Defisiensi α1-anti-trypsin dapat meningkatkan kecenderungan terjadinya
asma bronkial
6. Polusi udara : paparan gas noxious
7. Gangguan pertumbuhan paru
D. Patomekanisme
Setelah ditemukan pengobatan yang tepat terhadap tuberkulosis
sekitar tahun 1960, prevalensi penyakit saluran nafas obstruktif meningkat
dan terdapat banyak kesamaan antara pasien yang masih muda dan yang lebih
tua. Banyak ahli yang mencoba mendefinisikan dan mencari pengobatan yang
sesuai untuk penyakit ini. Salah satunya adalah Orie dan Sleuter yang
berpendapat bahwa baik faktor endogen (host) dan faktor eksogen
(lingkungan) memainkan peranan penting dalam patogenesis penyakit ini
(Zeki, 2011).
9
Orie dkk, yang nantinya dikenal sebagai The Dutch Hypothesis
menyatakan bahwa beberapa jenis obstruksi saluran napas seperti asma,
bronkitis kronis, dan emfisema seharusnya tidak digolongkan sebagai
penyakit yang berbeda, tetapi semuanya adalah satu penyakit dengan ekspresi
yang berbeda. Penyakit ini disebut sebagai penyakit paru kronis non spesifik.
The Dutch hypothesis yang diusulkan oleh Orie dkk pada tahun 1961
menyatakan bahwa hiperresponsif saluran napas dan atopi adalah penanda
dari gangguan dasar atau konstitusi yang akan berpredesposisi ke
perkembangan menuju penyakit paru kronis non spesifik yang ditandai
dengan batuk, produksi dahak, dyspnea dan limitasi saluran napas (Postma,
2015).
10
1. Asma Bronkial dan Kaitannya Dengan ACOS
Asma bronkial adalah suatu penyakit inflamasi kronis yang
berhubungan dengan hiperresponsif bronkus, yang berakibat pada hambatan
aliran napas yang bervariasi disertai gejala respiratoris yaitu batuk, mengi,
dada terikat, dan sesak, setelah terpapar oleh alergen spesifik. Pada penelitian
terakhir telah ditemukan istilah fenotip asma yang menggambarkan beragam
proses patofisiologi yang terjadi pada asma. Dikenal ada tiga jalur inflamasi
pada asma yaitu : eosinofilik asma, neutrofilik asma, dan granulositik asma.
Perbedaan patofisiologi ini dapat menjawab beberapa kesulitan dalam
mencapai asma terkontrol, karena menghasilkan pendekatan terapi yang
berbeda (Bruselle, 2015).
Pada pasien asma tipe eosinofilik, terjadi inflamasi klasik yang
melibatkan Th2 dan sitokin IL-13 mengaktifasi sel limfosit B untuk
memproduksi Ig E, yang kemudian jika berinteraksi dengan sel mast akan
menghasilkan antihistamin dan eosinofil sebagai penyebab asma. Pendekatan
terapi pada tipe eosinofilik ini adalah pemberian anti Ig E (omalizumab)
selain terapi standart asma yaitu ICS+LABA (Bruselle, 2015).
Pada pasien asma tipe granulositik atau dikenal dengan asma
eosinofilik nonalergik, selain jalur klasik Th2 yang menghasilkan
peningkatan eosinofil, terjadi juga aktivasi epithelial-innate lymphoid cells
type 2 (ILC2s) yang menghasilkan peningkatan IL-5 dan IL-13. Sehingga
penambahan terapi anti-IL-5 monoklonal antibodi (mepolizumab) anti-IL-13
mendapatkan tempat. Pasien pada klasifikasi ini banyak ditemukan pada asma
dewasa (adult asthma/late onset), atau komorbid rinosinusitis kronis dan nasal
polyposis. Ciri khas terapinya adalah berespon buruk terhadap topikal ICS,
namun berespon baik terhadap kostikosteroid sistemik dan anti IL-5 serta anti
IL-13 selain terapi asma standard yaitu ICS+LABA (Barnes, 2008)
Tipe fenotip asma ketiga yaitu asma neutrofilik adalah asma yang
melibatkan zat-zat iritan seperti asap rokok, mikroba, dan polutan lain sebagai
pencetus eksaserbasi asma. Merupakan salah satu patogenesa yang terjadi
pada ACOS. Melibatkan sel limfosit Th 17 sebagai penghasil sitokin IL-17
serta granulosit/makrofag (GM-CSF) yang menarik neutrofil dari vaskular.
11
Terapi anti-IL-17 monoklonal antibodi (brodalumab) dan macrolide
(azithromycin) terbukti menurunkan kejadian eksaserbasi asma. Hal ini
memunculkan dugaan bahwa kolonisasi bakteri dan infeksi saluran napas
bagian bawah seperti H. influenza dan H. parainfluenzae berkontribusi
terhadap patogenesis asma berat. Diketahui pula bahwa makrolid mempunyai
efek imunomodulator, antiinflamasi, dan antibiotik (Barnes, 2008)
12
Pada PPOK fenotip autoimun emfisema ditemukan peningkatan
jumlah folikel limfoid disekitar saluran napas kecil dan parenkim paru.
Terbentuk dari sel B dan sel plasma yang menghasilkan Ig A. Ig A secara
alami berfungsi menyerang virus dan bakteri, sehingga bersifat protektif bagi
saluran napas. Namun sel B juga menghasilkan CD20, CD22, IL-6, BAFF
(B-cell activating factor) yang bersifat autoantibodi terhadap sel epitel,
sehingga harus dihambat. Terapi untuk melawan CD20 (rituximab), CD22
(epratuzumab), IL-6 (tocilizumab), dan BAFF (belimumab) saat ini dalam
proses penelitian well-design RCT (Barnes, 2008).
13
akan menimbulkan fosforilasi GR dan menurunkan afinitas pengikatan
kortikosteroid dan translokasi inti yang diinduksi kortikosteroid pada GR.
Inhibitor p38 MAP-kinase diduga dapat mengurangi resistens
kortikosteroid (Rozaliyani, 2011).
Kombinasi efek asma dan asap rokok ini mirip dengan yang terjadi
pada pasien PPOK yang menunjukkan penurunan ekspresi dan aktivitas
HDAC2 yang berkorelasi dengan beratnya kelainan dalam paru, saluran
napas dan makrofag cairan BAL. Asap rokok dan inflamasi pada paru
pasien yang merokok ataupun PPOK akan membentuk anion superoksida
dan nitrit monoksida yang berkombinasi membentuk peroksinitrit
kemudian meninggalkan residu tirosin (Tyr) yang akan menginaktifkan
peran katalitik HDAC2 serta menjadi penanda enzim untuk ubiquitination
(Ub) yang mengakibatkan destruksi oleh proteasom. Menurunnya HDAC2
menyebabkan peningkatan asetilasi histon, amplifikasi inflamasi dan
mencegah efek antiinflamasi kortikosteroid (Barnes, 2011)
E. Diagnosis
Guideline terbaru dari ACOS yang disusun bersama oleh pakar asma
yang tergabung dalam GINA dan pakar PPOK yang tergabung dalam GOLD
terdapat 5 langkah dalam penegakan ACOS yaitu: 9. Berikut ini merupakan
tahapan pendekatan diagnosis untuk pasien dengan gejala gangguan
pernapasan (GINA, 2019):
1. Tahap 1 : Apakah pasien memiliki riwayat penyakit saluran napas
kronis?
Tahap pertama dalam mendiagnosis kondisi ini adalah melalui
identitas pasien, faktor risiko pasien, atau mempunyai riwayat penyakit
kronis saluran napas, dan untuk mengeksklusi tanda penyebab penyakit
pernapasan lainya. Hal ini didasarkan kepada riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lainya.
a. Riwayat penyakit
1) riwayat penyakit kronik yang berulang seperti batuk, produksi
sputum, dyspneu, atau wheezing atau infeksi saluran napas bawah
berulang.
14
2) pernah didiagnosis dokter terkena asma atau ppok
3) riwayat menggunakan obat inhalasi sebelumnyariwayat merokok
atau sejenisnya
4) riwayat terkena paparan zat lingkungan berbahaya (pekerjaan atau
polusi udara)
15
b. Pemeriksaan Fisik
1) bisa normal
2) bukti terdapat hiperinflasi dan atau gejala lain penyakit paru kronik
atau insufisiensi pernapasan
3) auskultasi abnormal (wheezing, atau ronkhi)
c. Radiologi
1) normal, sebagian pada tahap awal
2) Abnormalitas pada foto rontgen torax atau ct scan thorax,
3) Diidentifikasi terdapat diagnosis lain, meliputi bronkiektasis,
infeksi saluran napas seperti tuberkulosis, penyakit intersisial paru,
dan gagl jantung
2. Tahap 2 : Diagnosis gejala asma, PPOK dan ACOS pada pasien dewasa
Pada langkah kedua ini, dilakukan pengelompokan gejala, tanda,
dan karakteristik klinis pasien apakah mengarah ke asma atau PPOK.
Pada langkah ini dapat digunakan tabel ceklist yang terstandar (Gambar
3). Setelah dilakukan pengisian ceklist tadi, kemudian dihitung berapa
checkbox yang terisi dari masing-masing kolom asma dan PPOK.
Apabila pada salah satu kolom didapatkan 3 atau lebih checkbox terisi,
maka diagnosis lebih cenderung ke kolom kelainan yang bersangkutan.
Sedangkan bila pada kedua kolom terdapat checkbox yang terisi,
diagnosis ACOS dapat dipertimbangkan pada pasien tersebut.
16
Tabel 2.1 Ciri Asthma, COPD dan ACOS (GINA, 2019)
Ciri Asthma, PPOK dan ACOS
Lebih mungkin menjadi Asma jika terdapat Lebih mungkin menjadi COPD jika terdapat
Ciri Asma PPOK ACOS
beberapa… beberapa…
Biasanya pada usia >40 tahun, Sejak usia sebelum 20 tahun Sejak usia setelah 40 tahun
Biasanya saat masa anak-anak, tetapi bisa
Usia terjadi Onset Biasanya pada usia >40 tahun mungkin memiliki gejala pada masa
terjadi pada umur kapanpun
anak-anak
FEV1 mungkin membaik dengan Keterbatasan aliran udara tidak Hasil rekam terdapat variasi keterbatasan aliran Hasil rekam terdapat keterbatasan aliran udara
Terjadi atau riwayat keterbatasan aliran
Fungsi Paru terapi, tetapi post BD FEV1/FVC sepenuhnya reversibel, tetapi sering udara (spirometri) menetap (post bronkodilator FEV1/ FVC <
udara, reversibel pada BD, AHR
<0,7 persists pada riwayat atau variabilitas sekarang 0.7)
Fungsi paru dengan Keterbatasan aliran udara yang Keterbatasan aliran udara yang Fungsi paru Mungkin normal dengan gejala Fungsi paru Mungkin abnormal dengan gejala
Mungkin normal dengan gejala
gejala persisten persisten
Tidak ada perburukan gejala, gejala bervariasi Gejala secara perlahan semakin memburuk
muncul secara episodic, atau dari tahun ketahun (progresif sepanjang waktu)
Gejala biasanya berkurang dengan
Membaik secara spontan atau dengan Biasanya progresif, meskipun
Perjalanan Penyakit terapi, progesifitas biasanya terjadi dan
terapi dengan terapi Dapat meningkat segera atau memiliki respon Penggunaan bronkodilator kerja cepat hanya
sangat membutuhkan terapi
segera terhadap pemberian BD atau ICS selama merespon sedikit
seminggu
Eksarsebasi dapat diturunkan Eksarsebasi mungkin lebih sering dari Hitung jumlah yang dicentang, jika yang dicentang >3 untuk masing masing kolom asma atau copd
Eksarsebasi dapat terjadi, tetapi risiko dengan terapi. Jika terjadi PPOK tetapi dapat diturunkan dengan maka, pasien tersebut lebih mengarah ke penyakit tersebut. (Asma atau PPOK).
Eksarsebasi
dapat diturunkan dengan terapi komorbiditas berhubungan terapi. komorbiditas berhubungan
terhadap gangguan terhadap gangguan Jika terdapat jumalh yang sama antara kedua kolom asma dan PPOK maka diagnosis mengarah ke
ACOS.
Neutrofil di sputum, limfosit di
Tipe Inflamasi
Eosinofil saluran nafas, dapat memiliki Eosinofil dan atau Netrofil di sputum
saluran nafas
inflamasi sistemik
17
3. Tahap 3 : Penggunaan Spirometri
Pemeriksaan spirometri sangat esensial pada asesmen pasien
kelainan jalan nafas kronik. Waktu yang tepat untuk melakukan
spirometri idealnya pada awal diagnosis, sebelum serta setelah initial
treatment. Spirometri pada awal pasien datang dapat menjadi kriteria
eksklusi, sehingga pasien tidak perlu mendapat initial treatment dan bisa
menghemat waktu untuk langsung menjalani pemeriksaan lain sesuai
dengan kelainan yang dideritanya. Sebaliknya bila diagnosis
terkonfirmasi, dapat langsung menerima initial treatment. Karakteristik
pengukuran spirometri untuk ACOS antara lain FEV1/FVC post
bronkodilator < 0,7, test reversibilitas positif (peningkatan FEV1 post
bronkodilator >12% atau 400ml dibandingkan baseline.
Tabel 2.2 Perbandingan spirometri Asma, PPOK dan ACOS (GINA, 2019)
18
4. Tahap 4 :
Memulai pengobatan sesuai dengan kecenderungan
gejalaPemberian terapi disesuaikan dengan kecenderungan
diagnosis yang didapat. Pada kasus asma diberikan terapi sesuai
standar dari GINA. Sedangkan kasus PPOK diberikan terapi sesuai
standar GOLD. Sementara terapi inisial apabila ACOS
teridentifikasi adalah pemberian inhalasi kortikosteroid (ICS)
dengan kombinasi long acting β2 agonist (LABA) dengan/atau
tanpa long acting muscarinic antagonist (LAMA). Terapi untuk
faktor risiko eksaserbasi dan kondisi komorbid secara
komprehensif juga diberikan pada pasien ACOS.Sementara
penanganan non farmakologisseperti aktivitas fisik, stop merokok,
rehabilitasi paru, serta vaksinasi juga tetap diberikan sesuai
indikasi.
19
Gambar 2.1 Algoritma diagnostik ACOS (GINA, 2019)
20
5. Tahap 5 : Dirujuk ke spesialis bila diperlukan
Seperti halnya asma, pasien ACOS sebenarnya dapat ditangani pada
fasilitas kesehatan primer. Beberapa kondisi berikut dapat menjadi
pertimbangan untuk merujuk pasien ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi
atau dokter spesialis terkait, yaitu :
a. Keluhan persisten dan sering eksaserbasi
b. Diagnosis tidak jelas
c. Pasien dengan asma atau ppok atipikal yang mengarah pada tambahan
diagnosis kelainan respirasi lain
d. Kondisi komorbid yang mempengaruhi manajemen jalan nafas pasien
e. Masalah yang terjadi waktu pengobatan
F. Tatalaksana
1. Farmakologis
Berdasarkan pedoman terapi yang di keluarkan oleh Global
Initiative for Asthma (GINA) tahun 2019 untuk manajemen Asma
Bronkial bersama dengan Global Initiative for Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (GOLD) tahun 2019 untuk manajemen PPOK
merekomendasikan terapi ACOS dengan kombinasi antara lain (Louie, et
al, 2013 :
a. Broad-Spectrum Drugs :
1.) Bronkodilator serta kombinasinya : SABA, SAMA, LABA, dan
LAMA
2.) Tripel terapi : ICS + LABA + LAMA/ PDE-4 inhibitor + LABA
+ LAMA dalam satu alat
3.) Kortikosteroid inhalasi : Triamincolone, Beclometasone,
udesonide, Ciclesonid, Mometasone, Fluticasone propionate
4.) Penghambat PDE4 : roflumilast
5.) Metilxantin : Teofilin
6.) Penghambat 5-Lypooxygenase : Zileuton
7.) Antibiotik : azithromycin, moxifloxacin
8.) Pengencer dahak (mucoregulator) : Carbocisteine
21
9.) Statin
b. Narrow-Spectrum Drugs
1. Reseptor antagonis Leukotrien : Montelukast, Zafirlukast,
Pranlukast
2. Anti IgE : omalizumab
3. Novel mediator antagonis : anti IL-5 (mepolizumab, reslizumab),
anti IL-13 (Lebrikizumab), anti IL-8
4. Penghambat NF-κB
5. Penghambat p38 MAPK
6. Antagonis reseptor CRTH2
7. Penghambat Metalloproteinase
22
Tabel 2.3 Tabel Obat Golongan β 2 Agonis (Kristiningrum, 2019)
d. L Drug Inhaler (meg) Oral Duration of action
(hours)
o
Short-Acting
n
Fenoterol 100-200 (MDI) 2.5 mg (pill), 4-6
0.05% (syrup)
g
Levalbuterol 45-90 (MDI) 6-8
-
Salbutamol 90, 100, 200 2. 4. 5 mg (pill), 4-6, l2 (extended
(albuterol (MDI & DPI) 8 mg (extended release)
A release tablet)
c 0.024%/0.4 mg
(syrup)
t
Terbutaline 500 (DPI) 2.5. 5 mg (pill) 4-6
Long-Acting
i
Arformoterol 12
n
Formoterol 4.5-9 (DPI) 12
Indacaterol
g 75-300 (DPI) 24
Olodaterol 2.5, 5 (SMI) 24
Salmeterol 25-50 (MDI & 12
DPI)
β
2 Long-Acting β 2 Agonis (LABA)
Penggunaan inhalasi LABA seperti salmeterol dan formoterol
diharuskan kombinasi dengan tambahan ICS karena tingginya resiko
kematian apabila digunakan tunggal, penggunaannya dalam dosis
tetap sebagai pengontrol asma. Penggunaan pada PPOK telah
digantikan oleh golongan LAMA (Tiotropium) sebagai terapi tunggal
(Louie, et al, 2013).
23
tiotropium + olodaterol, akan menjadi formularium untuk PPOK dan
kemungkinan juga untuk ACOS (Louie, et al, 2013).
24
g. Triple Therapy
Pasien dengan penyakit obstruktif yang mengalami eksaserbasi > 2
kali pertahun atau mempunyai nilai FEV1 < 50% nilai prediktif dapat
diberikan kombinasi tiga jenis obat : ICS, LAMA, dan LABA dalam
alat yang terpisah. Meskipun masih kontroversial penggunaanya
(Louie, et al, 2013).
2. Non Farmakologis
Berdasarkan pedoman terapi yang dikeluarkan oleh GINA,
beberapa saran terapi non farmakologis antara lain (GINA, 2019) :
a. Terapi untuk faktor resiko yang dapat diubah, termasuk
menghentikan kebiasaan merokok (smoking cessation)
b. Terapi untuk komorbid
c. Penyesuaian terhadap aktivitas
d. Strategi terapi yang sesuai dengan ‘terapi mandiri/self-management
e. Kontrol rutin
25
BAB III
KESIMPULAN
Asma dan PPOK adalah penyakit saluran nafas kronis yang paling
sering terjadi dan memiliki manifestasi klinis serta penanganan yang berbeda.
Penyakit ACOS (Asthma-COPD Overlap) mirip dengan asma dan sisi lain
juga memiliki gejala PPOK. Kemampuan mendeteksi adanya ACOS sangat
penting karena ACOS lebih sering mengalami eksaserbasi serta memiliki
prognosis yang lebih jelek dibanding PPOK maupun asma. Pemahaman
mengenai ACOS masih sangat sedikit dan belum ada definisi serta
tatalaksana baku didunia saat ini.
26
DAFTAR PUSTAKA
Barnes Peter, 2008. The cytokine network in asthma and chronic obstructive
pulmonary disease. Journal of Clinical Investigation November 2008; 118,
11; ProQuest, p 3546 3556. www.jci.org
Bruselle dan Bracke, 2014. Targeting Immune Pathway for Therapy in Asthma
and Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Ann Am Thorac Soc Vol 11,
Supplement 5, pp S322-328
Gibson PG, Simpson JL. The overlap syndrome of asthma and copd : what are its
features and how important is it. Australia. Group.bmj.com, 2014.
Diunduh dari : www.thorax.bmj.com
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2019. Http :
www.goldcopd.org
Grippi MA, Elias JA, Fishman JA, Kotloff RM, Pack AI and Senior RM.
Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders, Fifth Edition, 2015. p 700-
714 13.
27
Kristiningrum,Esther . 2019. Farmakoterapi Penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK). CDK-275/ vol. 46 no. 4 th. 2019. Departemen Medical, PT Kalbe
Farma Tbk., Jakarta, Indonesia
Louie Samuel, Amir A Zeki, Michael Schivo, Andrew L Chan, Ken Y Yoneda,
Mark Avdalovic, et al, 2013. Asthma-chronic obstructive pulmonary
disease overlap syndrome (ACOS): pharmacotherapeutic considerations.
Expert Rev.
Nugroho, I.L. 2014. Asma, PPOK, dan Overlap Syndrome. Referat. Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman. Samarinda
Postma DS, Weiss ST, van den Berge M, Kerstjens HAM, Koppelman GH.
Revisiting the Dutch hypothesis; J Allergy Clin Immunol 2015; 136: 521–
9
Rozaliyani Anna, Agus Dwi Susanto, Boedi Swidarmoko, Faisal Yunus, 2011.
Mekanisme Resistens Kortikosteroid Pada Asma. Jurnal Respirologi
Indonesia. Vol. 31, No. 4, Oktober 2011. Hal 210-223
Zeki AA, Schivo M, Chan A, Albertson TE, Louie S. 2011. The asthma COPD
overlap syndrome : a common clinical problem in the elderly. Vol 2011.
India. Hindawi journal of allergy.
28