Anda di halaman 1dari 46

Case Report Session (CRS)

**Kepaniteraan Klinik Senior


** Pembimbing : dr. Ifo Faujiah S.M. Ked(Ped), Sp. A

Sindroma Nefrotik

Oleh:
Nabilah Haptriani, S. Ked

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021
LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI
• Nama : An. D
• Umur : 13 Tahun 2 bulan
• Jenis kelamin : Perempuan
• Nama Ayah : Tn. A
• Nama Ibu : Ny. S
• Bangsa : Indonesia
• Agama : Islam
• Alamat : Kota Jambi
• MRS : 10 Maret 2020

II. ANAMNESIS
Diberikan oleh : Ibu (alloanamnesis)
Tanggal : 11 Maret 2020

A. Riwayat Penyakit Sekarang


1. Keluhan Utama : Bengkak pada mata, perut dan kaki sejak
± 1 minggu SMRS
2. Keluhan Tambahan : Mual, muntah, dan penurunan nafsu
makan
3. Riwayat Perjalanan Penyakit
Sejak ± 1 minggu SMRS pasien mengeluhkan timbulnya bengkak
yang awalnya timbul sembab di wajah, tampak jelas pada pagi hari dan
agak berkurang pada saat malam hari, lalu 2 hari setelahnya bengkak
terasa di perut hingga pasien merasakan nyesak ketika tidur dan sedikit
berkurang jika duduk.
Satu hari setelahnya pasien mengeluhkan kedua kakinya yang
tampak bengkak yang dirasakan saat pagi hari baru bangun tidur,
bengkak agak berkurang pada saat siang dan sore hari, bengkak di kaki
makin lama makin besar sehingga di bawa ke IGD RSUD Raden
Mattaher Jambi, keluhan sesak hingga membangunkan dari tidur
disangkal, pasien tidur dengan satu bantal, Sebelumnya pasien juga
mengeluhkan buang air kecil yang menjadi lebih jarang dan lebih sedikit,
biasanya sehari minimal 5 kali, namun sekarang hanya 2 sampai 3 kali
dalam sehari dengan kuantitas yang sedikit dan kencing yang disertai
busa berwarna kuning keruh. Selama bengkak pasien juga tampak pucat,
lemah, lesu dan mengalami pengurangan nafsu makan, disertai keluhan
mual muntah sebanyak 5 x dalam sehari, BAB berwarna kuning
konsistensi lunak dengan frekuensi 1 kali dalam sehari, keluhan demam
disangkal, keluhan batuk disangkal, keluhan nyeri – nyeri pada sendi
disangkal, keluhan wajah menjadi merah di bagian pipi pada saat terkena
matahari disangkal. Riwayat minum obat pereda nyeri secara rutin
disangkal. Keluhan nyeri ulu hati disangkal.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah dirawat dengan keluhan yang sama
Riwayat penyakit kuning disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat demam dengan batuk atau nyeri tenggorokan sebelumnya
disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga dengan keluhan serupa

B. Riwayat Sebelum Masuk Rumah Sakit


1. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Masa kehamilan : Aterm (37-38 minggu)
Partus : Normal
Ditolong oleh : Bidan
BBL : 3300 gram
PB : Ibu lupa
2. Riwayat Makanan
ASI Eksklusif : Asi hingga usia 2 tahun
Susu botol/kaleng : -
Bubur :-
Nasi TIM/lembek : mulai dari usia 9 bulan
Nasi biasa : dari umur 1 tahun
Daging : 1 minggu 1x
Ikan : 1 minggu +3x
Telur : setiap sarapan
Tempe :-
Tahu : setiap hari + 1-2 potong
Sayuran : Kangkung,bayam, 3 mangkok/hari
Buah : jarang
3. Riwayat Imunisasi
BCG :+
Polio :+
DPT :+
Campak :+
Hepatitis B :+
Kesan : Imunisasi dasar lengkap
4. Riwayat Keluarga
Perkawinan : Pertama
Umur : Ibu: 23 tahun; Ayah: 25 tahun
Pendidikan : Ibu: SMA; Ayah: SMA
Penyakit yang pernah diderita :(-)
Saudara : Anak ke-1 dari 2
5. Riwayat Perkembangan Fisik
Gigi Pertama : umur 6 bulan
Tengkurap : umur 3 bulan
Merangkak : umur 1 tahun
Duduk : umur 6 bulan
Berdiri : umur 9 bulan
Berjalan : umur 1 tahun
Berbicara : umur 2 tahun
Kesan : Perkembangan anak baik
6.Riwayat Perkembangan Mental
Isap jempol : (+)
Ngompol : (+)
Sering mimpi : (-)
Aktifitas : Aktif
Membangkang : (-)
Ketakutan : (-)

7. Status Gizi
Anak perempuan, usia 13 tahun 2 bulan dengan berat badan sekarang
45 kg dan tinggi badan 153 cm.
Koreksi Edema: 10% X BB = 10% x 45 = 4,5 kg
BB Aktual :BB Saat Ini – Koreksi Edema = 45 – 4,5= 40,5 kg
IMT = 40,5 : 1,532 = 17,3 kg/m2 (IMT normal)
BB/TB= 40,5/43 kg x 100% = 94% (gizi normal) à CDC 2000
8. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita
Parotitis : (-) Muntah berak : (-)
Pertusis : (-) Asma : (-)
Difteri : (-) Cacingan : (-)
Tetanus : (-) Patah tulang : (-)
Campak : (-) Jantung : (-)
Varicella : (-) Sendi bengkak : (-)
Thypoid : (-) Kecelakaan : (-)
Malaria : (-) Operasi : (-)
DBD : (-) Keracunan : (-)
Demam menahun : (-) Sakit kencing : (-)
Radang paru : (-) Sakit ginjal : (-)
TBC : (-) Alergi : (-)
Kejang : (-) Perut kembung : (-)
Lumpuh : (-) Otitis media : (-)
Batuk pilek : (+)

III. PEMERIKSAAN FISIK


• PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis GCS : E4M6V5
Posisi : Berbaring
BB : 45 kg
TB : 153 cm
LK : 49 cm
LILA : 18 cm
LP : 69cm
Gizi : Gizi Baik
Edema : (+/+) palpebra dextra-sinistra + tungkai dextra-sinistra
Sianosis : (-)
Dyspnoe : (-)
Ikterus : (-)
Anemia : (+)
Suhu : 36,7˚C
Respirasi : 30 x/menit
Tipe pernapasan : Thorakoabdominal
Turgor : Baik
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi
Frekuensi : 102x/menit Pulsus tardus : (-)
Isi/kualitas : Cukup, kuat angkat Pulsus celler : (-)
Equalitas : Sama Pulsus magnus : (-)
Regularitas : Regular Pulsus parvus : (-)
Pulsus defisit : (-) Pulsus bigeminus : (-)
Pulsus alternan: (-) Pulsus trigeminus : (-)
Pulsus paradox: (-)
Kulit
Warna : Sawo matang Vesikula : (-)
Hipopigmentasi : (-) Pustula : (-)
Hiperpigmentasi : (-) Sikatriks : (-)
Ikterus : (-) Edema : (+)
Bersisik : (-) Eritema : (-)
Makula : (-) Haemangioma : (-)
Papula : (-) Ptechiae : (-)
• PEMERIKSAAN KHUSUS
KEPALA ALIS
Bentuk : Normocephal Kerapatan : Rapat
Rambut : Lurus Mudah rontok : (-)
Warna : Hitam Alopesia : (-)
Mudah rontok : (-)
Kehalusan : Halus MATA
Lingkar kepala : 49 cm Spot mata : (-)
Sutura : Dbn Hipertelorisme: (-)
Fontanella mayor : (-) Sekret : (-)
Fontanella minor : (-) Pernanahan : (-)
Cracked pot sign : (-) Endophtalmus : (-)
Cranio tabes : (-) Exophthalmus : (-)
Nistagmus : (-)
MUKA Strabismus : (-)
Roman muka : Dbn
Bentuk muka : Bulat KELOPAK MATA
Sembab : (+) Cekung : (-)
Simetris : Simetris Edema : (+) dex-sin
Lagoftalmus : (-)
KONJUNGTIVA Kalazion : (-)
Conjungtiva Anemis : (-) Ektropion : (-)
Perdarahan subkonjungtiva : (-) Enteropion : (-)
Infeksi : (-) Haemangioma : (-)
Bitot spot : (-) Hordeolum : (-)
Xerosis : (-) Ptosis : (-)
Ulkus : (-)
Refleks : (+) TELINGA
Pelebaran vena : (-) Bentuk : Simetris
SKLERA Kebersihan : Cukup
Ikterus : (-) Sekret : minimal
Tophi : (-)
Membran timpani :tidak di
periksa
IRIS N. tekan mastoid : (-)
Bentuk : Bulat N. tarik daun telinga : (-)
Warna : Coklat
HIDUNG
PUPIL Bentuk : Dbn
Bentuk : Bulat Napas cuping hidung : (-)
Ukuran : 3 mm Saddle nose : (-)
Isokor : Isokor Gangren : (-)
Refleks cahaya langsung : (+) Coryza : (-)
Refleks cahaya tidak langsung : (+) Mukosa edema : (-)
Epistaksis : (-)
Deviasi septum : (-)
• ANAMNESA ORGAN
KEPALA MATA
Sakit kepala : (-) Rabun senja : (-)
Rambut rontok : (-) Mata merah : (-)
Lain-lain : (-) Bengkak : (+)
TELINGA HIDUNG
Nyeri : (-) Epistaksis : (-)
Sekret : (-) Kebiruan : (-)
Gangguan pendengaran : (-) Penciuman : Dbn
Tinitus : (-)
TENGGOROKAN
GIGI MULUT Sulit menelan : (-)
Sakit gigi : (-) Suara serak : (-)
Sariawan : (-)
Gangguan mengecap : (-) LEHER
Gusi berdarah : (-) Kaku kuduk : (-)
Sakit membuka mulut : (-) Tortikolis : (-)
Rhagaden : (-) Parotitis : (-)
Lidah kotor : (-)
ABDOMEN
JANTUNG DAN PARU HEPAR
Nyeri dada : (-) Tinja seperti dempul : (-)
Sifat : (-) Sakit kuning : (-)
Penjalaran : (-) Kencing warna tua : (-)
Sesak napas : (+) Kuning di sklera dan kulit: (-)
Batuk pilek : (+) Perut kembung : (-)
Sputum : (-) Mual/muntah : (+)
Batuk darah : (-)
Sembab : (+) LAMBUNG DAN USUS
Kebiruan : (-) Nafsu makan : (-)
Keringat malam hari : (-) Perut kembung : (-)
Sesak waktu malam : (-) Mual/muntah : (+)
Berdebar : (-) Muntah darah : (-)
Sakit saat bernapas : (-) Mencret : (-)
Nafas bunyi/mengi : (-) Konsistensi : (lembek-cair)
Sakit kepala sebelah : (-) Frekuensi : (1-2x/hari)
Dingin ujung jari : (-) Tinja berlendir : (-)
Penglihatan berkurang : (-) Tinja berdarah : (-)
Bengkak sendi : (-) Dubur berdarah : (-)
Sukar BAB :(-)
GINJAL DAN UROGENITAL Sakit perut : (+)
Sakit kuning : (-) Lokasi : ulu hati
Frekuensi miksi : Sifat : (-)
Sembab kelopak mata : (+)
Edema tungkai : (+) ENDOKRIN
Sering minum : (-)
MULUT Sering kencing : (-)
BIBIR Sering makan : (-)
Bentuk : Dbn Keringat dingin : (-)
Warna : Merah muda Tanda pubertas prekoks : (-)
Ukuran : Dbn
Ulkus : (-) GIGI
Rhagaden : (-) Kebersihan : Cukup
Sikatriks : (-) Karies : (-)
Cheilosis : (-) Hutchinson : (-)
Sianosis : (-)
Labioschiziz : (-) LIDAH
Bengkak : (-) Bentuk : Dbn
Vesikel : (-) Gerakan : Dbn
Oral thrush : (-) Tremor : (-)
Trismus : (-) Warna : Merah muda
Bercak koplik : (-) Selaput : (-)
Palatoschiziz : (-) Hiperemis : (-)
Atrofi papil : (-)
Makroglosia : (-)
Mikroglosia : (-)
LEHER
INSPEKSI
Struma : (-)
Bendungan vena : (-) FARING-TONSIL
Pulsasi : (-) Warna : Merah muda
Limphadenopati : (-) Edema : (-)
Tortikolis : (-) Selaput : (-)
Bull neck : (-) Pembesaran tonsil :T1-T1
Parotitis : (-) Ukuran : (-)
Simetris : Simetris

PALPASI
Kaku kuduk : (-)
Pergerakan : (-)
Struma : (-)

THORAX DEPAN DAN PARU


INSPEKSI STATIS PALPASI
Bentuk : Normal Nyeri tekan : (-)
Simetris : (+) Fraktur iga : (-)
Vousure cardiac : (-) Tumor : (-)
Clavicula : Dbn Krepitasi : (-)
Sternum : Dbn Stem fremitus :Simetris dex-sin
Bendungan vena : (-)
Sela iga : Tidak melebar
PERKUSI
INSPEKSI DINAMIS Bunyi ketuk : Sonor
Gerakan : Dinamis Nyeri ketuk : (-)
Bentuk : Thorakoadominal Batas paru-hati:Sulit diperiksa
Retraksi : (-) Peranjakan : Sulit diperiksa
Supraklavikula : (-)
Interkostal : (-) AUSKULTASI
Subkostal : (-) B. nafas pokok: Vesikuler
Epigastrium : (-) B. nafas tambahan: Rh (-/-),
Wh (-/-)
JANTUNG
INSPEKSI AUSKULTASI
Vousure cardiac : (-) Bunyi jantung I : Reguler
Ictus cordis : Tidak terlihat Bunyi jantung II : Reguler
Pulsasi jantung : Tidak terlihat

BISING JANTUNG
PALPASI Fase bising : (-)
Ictus cordis : Dbn Bentuk bising : (-)
Thrill : (-) Derajat bising : (-)
Aktivitas jantung ka : Dbn Lokasi/punctum max : (-)
Aktivitas jantung ki : Dbn Penjalaran bising : (-)
Kualitas bising : (-)
Pericardial friction rub: (-)
PERKUSI
Batas kiri : ICS V linea midclavicula sinistra
Batas kanan : ICS V linea parasternal dextra
Batas atas : ICS II linea parasternal sinistra
Batas bawah : ICS V linea midclavicula sinistra

THORAX BELAKANG
INSPEKSI STATIS PERKUSI
Bentuk : Normal Bunyi ketuk : Sonor
Processus spinosus : Dbn Nyeri ketuk : (-)
Scapula : Dbn Batas paru-hati : Dbn
Kifosis : (-) Peranjakan : (-)
Lordosis : (-)
Gibus : (-)
PALPASI AUSKULTASI
Nyeri tekan : (-) B. nafas pokok : Vesikuler
Fraktur iga : (-) B. nafas tambahan :Whe
(+/+)Tumor : (-)
Stem fremitus : Normal

ABDOMEN
INSPEKSI LIEN
Bentuk : Cembung Pembesaran : (-)
Umbilikus : Dbn Permukaan : Dbn
Ptechie : (-) Nyeri tekan : (-)
Spider nevi : (-)
Bendungan vena : (-) GINJAL
Gambaran peristaltik usus : (-) Pembesaran : (-)
Permukaan : (-)
PALPASI Nyeri tekan : (-)
Nyeri tekan : (-)
Nyeri lepas : (-) LIPAT PAHA & GENITAL
Defens muskular : (-) Kulit : Dbn
Nyeri ketuk : (-) Kel. getah bening : Dbn
Edema : (-)
AUSKULTASI Sikatriks : (-)
Bising usus : (+) normal Desensus testikulorum : (-)
Ascites : (+) Genitalia : Dbn
Anus : Dbn
HEPAR
Pembesaran : (-)
Konsistensi : Tidak teraba
Permukaan : Tidak teraba
Tepi : Tidak teraba
Nyeri tekan : (-)
SYARAF DAN OTOT
Hilang rasa : (-) EKSTREMITAS INFERIOR
Kesemutan : (-) INSPEKSI
Otot lemas : (-) Bentuk : Dbn
Otot pegal : (-) Deformitas : (-)
Lumpuh : (-) Edema : (+)
Badan kaku : (-) Trofi : (-)
Tidak sadar : (-) Pergerakan : dbn
Mulut mencucu : (-) Tremor : (-)
Trismus : (-) Chorea : (-)
Kejang : (-) Lain-lain : (-)
Lama : (-)
Interval : (-) EKSTREMITAS SUPERIOR
Frekuensi : (-) INSPEKSI
Jenis kejang : (-) Bentuk : Normal
Post iktal : (-) Deformitas : (-)
Panas : (-) Edema : (-)
Trofi : (-)
ALAT KELAMIN Pergerakan : dbn
Hernia : (-) Tremor : (-)
Bengkak : (-) Chorea : (-)
Lain-lain :-
Refleks fisiologis :
Tendon Bisep : (+/+) Tonus : normotonus
Tendon Trisep : (+/+) Kekuatan : 5 5
Tendon Patella: (+/+) 5 5
Tendon Achilles: (+/+)

Refleks patologis :
Refleks Babinski : (-/-)
Refleks Chaddock : (-/-)
Refleks Oppenheim : (-/-)
Refleks Gordon : (-/-)

Refleks meningeal:
Kaku kuduk : (-)
Brudzinski I : (-)
Brudzinski II : (-)
Kernig : (-)

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


• Darah Rutin (10/03/2021)
Parameter Hasil Nilai normal

Darah lengkap (10/3/2021)

HGB 8.55 12-16 g/dL

RBC 3.13 4.0- 5.0 x 1012 /l

MCV 81.0 80- 96 fl

MCH 27.3 27-31 pg

MCHC 33.7 32-36 g/dL

HCT 25.4 34.5- 54 %

PLT 107. 150-450 x 109 /l

WBC 3.78 4-10 x 109 /l

Urinalisa (10/3/2021)

Makroskopis Warna Kuning muda Kuning muda


Kejernihan Jernih Jernih

Reaksi/ph 5 4- 8.5

Berat jenis 1.020 1.005 – 1030

Protein +3 Negative

Glukosa/reduksi Normal Normal

Keton Negative Negative

Blood/darah Negative Negative

Bilirubin Negative Negative

Urobilin Normal Normal

Urobilinogen Negative Negative

Mikroskopis Leukosit 7- 8 /LPB 0-3 /LPB

Eritrosit 8- 10 /LPB 0-2 /LPB

Sel epitel 10- 15 /LPB 0-5 /LPB

Kimia klinik (10/03/2021)

Profil lipid Kolesterol total 203 <200 mg/dl

Faal ginjal Ureum 93 15-39 mg/l

Kreatinin 1.43 0.55- 1.3 mg/dL

Faal hati Protein total 5,0 6,4-8,2 mg/l

Albumin 2,1 3,4- 5,0 mg/l


Globulin 2,9 2,5-3,5 mg/l

Serologi (6/01/2021)

ASTO Negative Negative

V. DIAGNOSIS KERJA
Sindrom Nefrotik
VI. DIAGNOSIS BANDING
Sindrom Nefritik Akut
Glomerulonefritis Pasca Streptococcus B
VII. PENATALAKSANAAN
a) IVFD D5% 1/4 NS 1250 cc/hari 15 tpm makro
b) Inj. Methylprednisolone 3x30 mg
c) Inj. Ampicillin 3x400mg
d) Inj. Furosemid 2x20 mg
e) Captopril 2x12,5 mg
f) Paracetamol 4x500 mg (jika demam)
g) Non medikamentosa: diet rendah garam (1-2g/hari) + ekstra putih telur

VIII. PROGNOSIS
• Quo ad vitam : Dubia ad Bonam
• Quo ad functionam : Dubia ad Bonam
• Quo ad sanationam : Dubia ad Bonam
IX. FOLLOW UP

Tanggal S O A P
11-03-2021 Sembab KU: Tampak sakit sedang Sindrom • IVFD D5% 1/4 NS 1250
kelopak mata Kesadaran: CM Nefrotik
dan perut (+) cc/hari 15 tpm makro
GCS 15(E4V5M5)
Nyesak (+) • Inj. Methylprednisolone
VS:
Kaki bengkak
(+) TD : 120/100 mmHg 3x30 mg
HR: 110 x/menit • Inj. Ampicillin 3x400mg
RR: 28 x/menit
T: 36,5°C • Inj. Furosemid 2x20 mg
SpO2 : 97%. • Captopril 2x12,5 mg
BB : 45 Kg
• Paracetamol 4x500 mg
LP : 69 cm
Urin: 1,2cc/kg/jam (jika demam)
PF: • Non medikamentosa:
Edema palpebra +/+
diet rendah garam (1-
Pulmo: vesikuler, rh -/-.
Wh +/+ 2g/hari) + ekstra putih
Cor : S1 S2 regular, M (-), telur
G (-)
Abdomen : cembung, BU
(+), asites (+) undulasi +,
shifting dullness +
Ekstremitas: edema (+)

12-03-2021 Sembab pada KU: Tampak sakit sedang Sindrom • IVFD D5% 1/4 NS
kelopak mata Kesadaran: CM Nefrotik
dan perut (+) 1250 cc/hari 15 tpm
GCS 15(E4V5M5)
Kaki bengkak makro
VS:
(+)
TD : 150/100 mmHg • Inj.
HR: 90 x/menit Methylprednisolone
RR: 30 x/menit
T: 37,°C 3x30 mg
SpO2 : 98%. • Inj. Ampicillin
BB : 45 Kg 3x400mg
LP : 69 cm
Urin: 1, 5cc/kg/jam • Inj. Furosemid 2x20
PF: mg
Edema palpebra +/+ • Captopril 2x12,5 mg
Pulmo: vesikuler, rh -/-. • Paracetamol 4x500
Wh +/+ mg (jika demam)
Cor : S1 S2 regular, M (-),
G (-) • Non
Abdomen : cembung, BU medikamentosa: diet
(+), asites (+) undulasi +, rendah garam (1-
shifting dullness +
Urinalisa : 2g/hari) + ekstra
Kuning keruh putih telur
Protein : + 4
Leukosit 10-12/ LBP • Diet rendah garam +
putih telur

13-03-2021 Sembab pada KU: Tampak sakit sedang Sindrom • IVFD D5% 1/4 NS 1250
kelopak mata Kesadaran: CM Nefrotik
dan perut (+) cc/hari 15 tpm makro
GCS 15(E4V5M5)
Kaki bengkak • Inj. Methylprednisolone
VS:
(+)
TD : 140/100 mmHg 3x30 mg
HR: 84 x/menit • Inj. Ampicillin 3x400mg
RR: 26 x/menit
T: 37,7°C • Inj. Furosemid 2x20 mg
SpO2 : 95%. • Captopril 2x12,5 mg
BB : 44 Kg
• Paracetamol 4x500 mg
LP : 67 cm
Urin : 2 cc/kg/jam (jika demam)
PF: • Non medikamentosa:
Edema palpebra +/+
diet rendah garam (1-
Pulmo: vesikuler, rh -/-.
Wh +/+ 2g/hari) + ekstra putih
Cor : S1 S2 regular, M (-), telur
G (-)
Abdomen : supel, BU (+),
asites (+) undulasi +,
shifting dullness +
Ekstremitas: edema (-)
14-03-2021 KU: Tampak sakit sedang Sindrom • IVFD D5% 1/4 NS 1250
Kesadaran: CM Nefrotik
cc/hari 15 tpm makro
GCS 15(E4V5M5)
VS: • Inj. Methylprednisolone
TD : 130/80 mmHg 3x30 mg
HR: 100 x/menit • Inj. Ampicillin 3x400mg
RR: 24 x/menit
T: 36,5°C • Inj. Furosemid 2x20 mg
SpO2 : 95%. • Captopril 2x12,5 mg
BB : 42 Kg
• Paracetamol 4x500 mg
LP : 67 cm
Urin : 2 cc/kg/jam (jika demam)
PF: • Non medikamentosa:
Edema palpebra +/+
diet rendah garam (1-
Pulmo: vesikuler, rh -/-.
Wh +/+ 2g/hari) + ekstra putih
Cor : S1 S2 regular, M (-), telur
G (-)
Abdomen : supel, BU (+),
asites (+) shifting dullness
+
Ekstremitas: edema (-)

15-03-2021 Sembab di KU: Tampak sakit sedang Sindrom • IVFD D5% 1/4 NS 1250
mata Kesadaran: CM Nefrotik
cc/hari 15 tpm makro
berkurang, GCS 15(E4V5M5)
perut tidak • Inj. Methylprednisolone
VS:
sekembung
kemarin, TD : 130/100 mmHg 3x30 mg
bengkak di HR: 88 x/menit • Inj. Ampicillin 3x400mg
kaki berkurang RR: 22 x/menit
T: 36,6°C • Inj. Furosemid 2x20 mg
SpO2 : 99%. • Captopril 2x12,5 mg
BB : 42 Kg
• Paracetamol 4x500 mg
LP : 67 cm
Urin : 2 cc/kg/jam (jika demam)
PF: • Non medikamentosa:
Edema palpebra +/+
diet rendah garam (1-
Pulmo: vesikuler, rh -/-.
Wh +/+
Cor : S1 S2 regular, M (-), 2g/hari) + ekstra putih
G (-) telur
Abdomen : supel, BU (+),
asites (+) shifting dullness
+
Ekstremitas: edema (-)
Urinalisa :
Kuning keruh
Protein + 3
Leukosit 3-5 /LBP

16- 03- 2021 Sembab di KU: Tampak sakit sedang • IVFD D5% 1/4 NS 1250
mata Kesadaran: CM
berkurang, cc/hari 15 tpm makro
GCS 15(E4V5M5)
perut tidak • Inj. Methylprednisolone
VS:
sekembung
kemarin, TD : 130/90 mmHg 3x30 mg
bengkak di HR: 87 x/menit • Inj. Ampicillin 3x400mg
kaki berkurang RR: 20 x/menit
T: 36,6°C • Inj. Furosemid 2x20 mg
SpO2 : 99%. • Captopril 2x12,5 mg
BB : 42 Kg
• Paracetamol 4x500 mg
LP : 67 cm
Urin : 2 cc/kg/jam (jika demam)
PF: • Non medikamentosa:
Edema palpebra +/+
diet rendah garam (1-
Pulmo: vesikuler, rh -/-.
Wh -/- 2g/hari) + ekstra putih
Cor : S1 S2 regular, M (-), telur
G (-)
Abdomen : supel, BU (+),
asites (+) shifting dullness
+
Ekstremitas: edema (-)

17-03-2021 Sembab di KU: Tampak sakit sedang • IVFD D5% 1/4 NS 1250
mata Kesadaran: CM
berkurang, cc/hari 15 tpm makro
GCS 15(E4V5M5)
perut tidak • Inj. Methylprednisolone
VS:
sekembung
kemarin, TD : 130/90 mmHg 3x30 mg
bengkak di HR: 87 x/menit • Inj. Ampicillin 3x400mg
kaki berkurang RR: 20 x/menit
T: 36,6°C • Inj. Furosemid 2x20 mg
SpO2 : 99%.
• Captopril 2x12,5 mg
BB : 42 Kg
LP : 67 cm • Paracetamol 4x500 mg
Urin : 2 cc/kg/jam (jika demam)
PF:
• Non medikamentosa:
Edema palpebra +/+
Pulmo: vesikuler, rh -/-. diet rendah garam (1-
Wh -/- 2g/hari) + ekstra putih
Cor : S1 S2 regular, M (-), telur
G (-)
Abdomen : supel, BU (+),
asites (+) shifting dullness
+
Ekstremitas: edema (-)

X. PEMERIKSAAN ANJURAN
- Urinalisis secara berkala
- Darah rutin
- Imunoserologis: C3, C4, ANA
- Balance Cairan
- Test Mantoux
- Kultur urin
- Biopsi Ginjal
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Sindroma nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh
kelainan glomerular dengan gejala proteinuria masif (40 mg/m2 LPB/jam atau 50
mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+),
hipoalbuminemia (<2,5gram/dL), edema dan dapat disertai hiperkolesterolemia
(>200 mg/dL). Hal ini disebabkan oleh peningkatan permeabilitas membran glomerulus
terhadap protein karena kerusakan membran basal pada glomerulus ginjal yang
mungkin idiopatik atau penyebab sekunder akibat diabetes melitus, penyakit autoimun
dan vaskulitis (lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch Schonlein), penggunaan
obat tertentu dan infeksi (hepatitis B, hepatitis C, HIV, malaria).1,2,5
Terdapat beberapa batasan/definisi yang dipakai pada sindrom nefrotik, yaitu1 :
• Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu.
• Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut
dalam 1 minggu.
• Relaps jarang : relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal
atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan.
• Relaps sering (frequent relaps): relaps ≥ 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons
awal atau ≥ 4 x dalam periode 1 tahun.
• Dependen steroid. : relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan
(alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan
• Resisten steroid. : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full
dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu.
• Sensitif steroid. : remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama 4
minggu.

3.2 Epidemiologi
Prevalensi di seluruh dunia kira-kira 16 kasus per 100.000 anak dengan insidensi
2-7 kasus per 100.000 anak per tahun. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi.
Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun.
1,2,3

Sindroma nefrotik dapat menyerang anak-anak dari segala usia, dari masa bayi
hingga remaja, dan paling sering terlihat pada anak-anak usia sekolah dan remaja.
Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. Saat mencapai masa remaja, tidak ada
perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin. Peningkatan insiden dan penyakit yang
lebih parah terlihat pada populasi Afrika-Amerika dan Hispanik. 1,3
The International Study of Kidney Disease in children (ISKDC) awalnya
melaporkan tingkat kekambuhan sebelumnya sebesar 60%, tetapi laporan selanjutnya
menunjukkan peningkatan tingkat kekambuhan hingga 76-90%, dengan tingkat
kekambuhan yang sering hingga 50%.6
The International Study of Kidney Disease in children (ISKDC) juga
menemukan bahwa sebagian besar anak pra-remaja dengan SN idiopatik mempunyai
patologi anatomi kelainan minimal (SNKM). Anak dengan SNKM memberikan respon
terhadap pengobatan kortikosteroid (90%) dan hanya 20% anak dengan gambaran
patologi anatomi lain yaitu glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) yang berespon
dengan pengobatan steroid.7

3.3. Etiologi
Etiologi Sindroma Nefrotik di bagi menjadi 3 yaitu:1,5
1. Kongenital yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang muncul dalam 2 bulan
pertama kehidupan. Terdapat 2 tipe yaitu (1) finnish type, suatu kelainan autosomal
resesif. Sering ditemukan pada keturunan Scandinavian dan disebabkan oleh mutasi
komponen protein nephrin di glomerulus. (2) Heterogen type, kumpulan yang
meliputi kelainan sklerosis mesangial dan kondisi yang terkait dengan obat atau
infeksi. Awitan prenatal ditandai dengan peningkatan kadar alfa-fetoprotein ibu.
2. Primer/idiopatik, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik
primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada
glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Anak yang memperlihatkan
gambaran SN primer, sebelum dilakukan biopsi ginjal, dianggap menderita SN
Idiopatik. Pada anak, kelainan patologi anatomi yang paling sering ditemukan (80%)
adalah sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) terutama anak usia < 7 tahun.
Gambaran patalogi anatomi lainnya glomerulosklerosis fokal segmemtal (GSFS) 7-
8%, dan glomerulonefritis membranoproliperatif (GNMP) 4-6% dan nefropati
membranosa (GNM) 1,5%.
3. Sekunder mengikuti penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang
nyata seperti efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah diabetes
melitus, SLE, purpura Henoch Schonlein, amiloidosis, hepatitis B, hepatitis C, HIV,
malaria, toxoplasmosis, limfoma, NSAID, heroin dan litium.

3.4 Patofisiologi
a) Proteinuria
Proteinuri merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar berasal dari
kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari
sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana basalis glomerulus
menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan
protein utama yang diekskresikan dalam urin adalah albumin. Dalam keadaan normal
membran basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk
mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran
molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada
SN kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu konfigurasi
molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG. Proteinuria
dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein yang
keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila yang keluar terdiri dari molekul kecil
misalnya albumin. Sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari
molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan
struktur MBG.8
b) Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin
hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh
proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk
mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis
albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya
hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi
dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminema dapat
pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus
proksimal. Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan proteinuria
adalah hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien sindrom nefrotik pada anak
terjadi hipoalbuminemia apabila kadar albumin kurang dari 2,5 g/dL.
Pada keadaan normal, produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130-200 mg/kg)
dan jumlah yang diproduksi sama dengan jumlah yang dikatabolisme. Katabolisme
secara dominan terjadi pada ekstrarenal, sedangkan 10% di katabolisme pada tubulus
proksimal ginjal setelah resorpsi albumin yang telah difiltrasi. Pada pasien sindrom
nefrotik, hipoalbuminemia merupakan manifestasi dari hilangnya protein dalam urin
yang berlebihan dan peningkatan katabolisme albumin.
Hilangnya albumin melalui urin merupakan konstributor yang penting pada kejadian
hipoalbuminemia. Meskipun demikian, hal tersebut bukan merupakan satu-satunya
penyebab pada pasien sindrom nefrotik karena laju sintesis albumin dapat meningkat
setidaknya tiga kali lipat dan dengan begitu dapat mengompensasi hilangnya albumin
melalui urin. Peningkatan hilangnya albumin dalam saluran gastrointestinal juga
diperkirakan mempunyai kontribusi terhadap keadaan hipoalbuminemia, tetapi
hipotesis ini hanya mempunyai sedikit bukti. Oleh karena itu, terjadinya
hipoalbuminemia harus ada korelasi yang cukup antara penurunan laju sintesis albumin
di hepar dan peningkatan katabolisme albumin.2,8

c) Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya
edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma
sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan interstitium dan terjadi edema.
Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi
hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium
dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga
akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.8
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retensi
natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraselular meningkat sehingga terjadi
edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah
retensi natirum dan edema akibat teraktivasinya sistem Renin-angiotensin-aldosteron
terutama kenaikan konsentrasi hormon aldosteron yang akan mempengaruhi sel-sel
tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium
(natriuresis) menurun. Selain itu juga terjadi kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan
konsentrasi katekolamin yang menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler
glomerulus meningkat, hal ini mengakibatkan penurunan LFG dan kenaikan desakan
Starling kapiler peritubuler sehingga terjadi penurunan ekskresi natrium. 1,8

Gambar 3.1 Teori underfill dan overfill pada mekanisme terbentuknya edema pada
sindrom nefrotik
3.5 Gejala klinis
Manifestasi klinik yang paling sering ditemukan adalah edema yang menyeluruh
dan terdistribusi mengikuti gaya gravitasi bumi. Edema sering ditemukan dimulai dari
daerah wajah dan kelopak mata pada pagi hari, yang kemudian menghilang, digantikan
oleh edema di daerah pretibial pada sore hari. Pada fase awal edema sering bersifat
intermiten biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi
jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia), kemudian menjadi
menyeluruh dan masif (anasarka). Edema biasanya tampak lebih hebat pada pasien
SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena
proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM.
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom
nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan edema masif yang disebabkan edema
mukosa usus. Anoreksia, malaise dan nyeri perut sering ditemukan terutama pada anak
dengan asites. Tekanan darah meningkat pada 25% anak sedangkan tubular nekrosis
akut dan hipotensi pada keadaan hipoalbuminemia dan hipovolemia yang bermakna.
Distres pernapasan sering terjadi akibat edema pulmonal atau efusi pleura. Asites berat
dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani. Dalam laporan ISKDC
(International Study of Kidney Diseases in Children), pada SNKM ditemukan 22%
disertai hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan
peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara.1,3,5

3.6 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan, antara lain:1
1. Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang
mengarah kepada infeksi saluran kemih.
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
• Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, 1.1
trombosit, hematokrit, LED)
• Albumin dan kolesterol serum
• Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau 1.3
dengan rumus Schwartz
• Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik 1.4
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear
antibody), dan anti ds-DNA.

Indikasi dilakukan biopsi ginjal, antara lain1:


1. Pada presentasi awal
• Awitan sindrom nefrotik pada usia <1 tahun atau lebih dari 16 tahun
• Terdapat hematuria nyata, hematuria mikroskopik persisten, atau kadar
komplemen C3 serum yang rendah
• Hipertensi menetap
• Penurunan fungsi ginjal yang tidak disebabkan oleh hipovolemia
• Tersangka sindrom nefrotik sekunder
2. Setelah pengobatan inisial
• SN resisten steroid
• Sebelum memulai terapi siklosporin.

3.7 Tatalaksana
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah
sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit,
penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.1
Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan- pemeriksaan
berikut:
1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti
lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.
4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi
perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6
bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat
antituberkulosis (OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema
anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau
syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan
kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah.1

Diitetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan
menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein
akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan
anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily
allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan
selama anak menderita edema.1

Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum
pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian
diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan
natrium darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/ dL), dapat diberikan infus albumin 20-
25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial
dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak
mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10
tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila
diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang sehari untuk memberi kesempatan
pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga
mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.

Gambar 3.2 Algoritma pemberian diuretik1

Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/ kgbb/ hari
atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien imunokompromais.
Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya
boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah
penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio
oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat dianjurkan untuk
9,10
mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan varisela.

Kortikosteroid
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada
kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.
A. Terapi Inisial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60
2
mg/m LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/ hari) dalam dosis terbagi, untuk
menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat
badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan
selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4
2
minggu kedua dengan dosis 40 mg/m LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari,
secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu
pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten
steroid.

Gambar 3.3 Pengobatan inisial kortikosteroid1

B. SN Relaps
Pada pengobatan relaps, yaitu diberikan prednison dosis penuh sampai remisi
(maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien
SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum
pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas.
Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria
menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria
≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai
diberikan.
Gambar 3.4 Pengobatan sindrom nefrotik relaps1

Keterangan:
• Pengobatan SN relaps: prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi
(maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent atau
alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 4 minggu.

C. SN Relaps Sering atau Dependen Steroid


Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian Levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir). Selain
itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang telinga
tengah, atau kecacingan.1

1. Steroid jangka panjang1


Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah
remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara
alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2
minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis
threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.
Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb,
sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb secara alternating.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/ kgbb alternating,
maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/ kgbb dalam dosis terbagi, diberikan
setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8
mg/kgbb di- berikan secara alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2
minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps
yang sebelumnya atau relaps yang terakhir.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating, tetapi
< 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasikan
dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan
siklofosfamid (CPA).
Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini:
1. Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating atau
2. Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:
• Efek samping steroid yang berat
• Pernah relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia, trombosis, dan
sepsis diberikan siklofosfamid (CPA) dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari
selama 8-12 minggu.

2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol diberikan
dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek samping
levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang
reversibel.11

3. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah
siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.
Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/ hari dalam
dosis tunggal (Gambar 3.5), maupun secara intravena atau puls (Gambar 3.6). CPA
puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml
larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis,
dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping
CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik,
azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu
perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit,
setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung
trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit
>5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumulatif
mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis
total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak.
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu.
Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang
dan infeksi.

Gambar 3.5 Pengobatan sindrom nefrotik relaps sering dengan CPA oral1

Keterangan:
• Relaps sering: prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal
4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent atau alternating
(AD) 40 mg/m2 LPB/hari dan siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari, per oral, dosis
tunggal selama 8 minggu

Gambar 3.6 Pengobatan sindrom nefrotik dependen steroid1


Keterangan:
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu), kemudian
dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan
melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan dan prednison intermittent atau
alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednison
ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5
mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan) atau
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu), kemudian
dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 12
minggu dan prednison alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu.
Kemudian prednison di tapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan,
dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).

D. SN dengan Resisten Steroid


Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan.
Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk
melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi mempengaruhi
prognosis.
1. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan
remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA, bila
terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena SN yang resisten steroid
dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak
terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid kembali, dapat
diberikan siklosporin.
2. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak
20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.
Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi
gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh
karena itu pada pemakaian CyA perlu pe- mantauan terhadap:
a. Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL
b. Kadar kreatinin darah berkala
c. Biopsi ginjal setiap 2 tahun
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam
literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat
selektif.

Gambar 3.7 Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid1

Keterangan:
• Sitostatik oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 3-6 bulan

• Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian


siklofosfamid oral. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1
mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1
bulan (lama tapering off 2 bulan).
atau
• Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui infus
satu kali sebulan selama 6 bulan yang dapat dilanjutkan tergantung keadaan
pasien.
• Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian
siklofosfamid puls (6 bulan). Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis
1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1
bulan (lama tapering off 2 bulan).
3. Metilprednisolon puls
Mendoza dkk. melaporkan pengobatan SNRS dengan metil prednisolon puls
selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu.
Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100
mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam.

Tabel 3.1. Protokol metilprednisolon dosis tinggi1


Minggu Metilprednisolon Jumlah Prednison oral
ke-
1–2 30 mg/kgbb, 3 x seminggu 6 Tidak diberikan
3 – 10 30 mg/kgbb, 1 x seminggu 8 2 mg/kgbb, dosis tunggal
11 – 18 30 mg/kgbb, 2 minggu 4 Dengan atau tanpa taper off
19 – 50 30
sekalimg/kgbb, 4 minggu 8 Taper off pelan-pelan
51 – 82 30
sekalimg/kgbb, 8 minggu 4 Taper off pelan-pelan
sekali
Keterangan:
Dosis maksimum metilprednisolon 1000 mg; dosis maksimum prednison oral 60
mg. Siklofosfamid (2-2,5 mg/kgbb/hari) atau klorambusil (0,18-0,22 mg/kgbb/hari) selama
8-12 minggu dapat diberikan bila proteinuria masif masih didapatkan setelah pemberian
metilprednisolon selama 10 minggu.

PEMBERIAN OBAT NON-IMUNOSUPRESIF UNTUK MENGURANGI


PROTEINURIA
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor
blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja kedua
obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan tekanan
hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI juga mempunyai efek
renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth factor (TGF)-β1 dan
plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya merupakan sitokin penting yang
berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis. Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa
pemberian kombinasi ACEI dan ARB memberikan hasil penurunan proteinuria lebih
banyak. Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan
untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan
steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah:
1. Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5
mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis, lisinopril 0,1 mg/ kgbb dosis tunggal
2. Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal

Gambar 3.8 Tatalaksana sindrom nefrotik1

3.8 Komplikasi
1. Infeksi
Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, terutama selulitis dan
peritonitis primer. Bila terjadi infeksi pada pasien SN perlu segera diberi antibiotik.
Infeksi lain yang sering ditemukan pada anak dengan SN adalah pnemonia dan infeksi
saluran napas atas karena virus.

2. Thrombosis
Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps menunjukkan bukti
defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat trombosis
pembuluh vaskular paru yang asimtomatik. Bila diagnosis trombosis telah ditegakkan
dengan pemeriksaan fisis dan radiologis, diberikan heparin secara subkutan,
dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih.
3. Hiperlipidemia
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan VLDL
kolesterol, trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL menurun
atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik, sehingga
meningkatkan morbiditas kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis. Pada
SN resisten steroid, dianjurkan untuk mempertahankan berat badan normal untuk tinggi
badannya, dan diit rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian obat penurun
lipid seperti inhibitor HMgCoA reduktase (statin).
4. Hipokalsemia
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena penggunaan steroid jangka panjang
yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia dan kebocoran metabolit vitamin D.
Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka lama (lebih dari 3
bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D
(125-250 IU).
5. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat terjadi
hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering disertai
sakit perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-
20 mL/kgbb dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgbb atau plasma 20
mL/kgbb (tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien
tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena.
6. Hipertensi
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan penyakit
SN akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE
(angiotensin converting enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker) calcium channel
blockers, atau antagonis β adrenergik, sampai tekanan darah di bawah persentil 90.
7. Efek samping steroid jangka panjang
Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang
signifikan, karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan orangtuanya.
Efek samping tersebut meliputi peningkatan napsu makan, gangguan pertumbuhan,
perubahan perilaku, peningkatan risiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan
demineralisasi tulang. Pada semua pasien SN harus dilakukan pemantauan terhadap
gejala-gejala cushingoid, pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi
badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali.

3.9 Prognosis
The International Study of Kidney Disease in children (ISKDC) awalnya
melaporkan tingkat kekambuhan sebelumnya sebesar 60%, tetapi laporan selanjutnya
menunjukkan peningkatan tingkat kekambuhan hingga 76-90%, dengan tingkat
kekambuhan yang sering hingga 50%.6
Prognosis jangka panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun menunjukkan
hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada GSFS 25% menjadi gagal
ginjal terminal dalam 5 tahun dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi
ginjal. Prognosis berat pada keadaan-keadaan sebagai berikut :1
a. Menderita untuk pertama kalinya pada umur < 2 tahun atau > 6 tahun.
b. Disertai oleh hipertensi.
c. Disertai hematuria.
d. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder
e. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal
f. Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbulnya
gambaran klinis penyakit.
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien datang dengan keluhan bengkak. Ada beberapa penyakit yang dapat
menyebabkan bengkak diantaranya adalah kelainan ginjal, penyakit jantung, hati, alergi
dan malnutrisi. Pada penyakit jantung bengkak diawali dari kedua tungkai karena
venous return yang berkurang dikarenakan gangguan aliran balik ke jantung, pengaruh
gaya gravitasi dan tahanan perifer pada tungkai yang tinggi teruma fossa poplitea dan
inguinal. Selanjutnya adalah organ hepar. Bengkak ini diawali dari perut dikarenakan
fibrosis pada hepar yang mengakibatkan bendungan sehingga venous return berkurang
dan terjadi hipertensi porta, penurunan sintesa protein sehingga terjadi hipoalbuminemia
yang menurunkan tekanan osmotik intravaskular yang menyebabkan terjadinya
ekstravasasi cairan. Lalu alergi juga dapat menyebabkan bengkak tetapi hanya pada
tempat tertentu yang sifatnya non pitting edema dan tidak berlangsung lama.
Selanjutnya malnutrisi, bengkak terjadi diseluruh tubuh tanpa penyebab yang jelas
biasanya pada kwashiorkor atau marasmus kwashiorkor. Pada kelainan ginjal bengkak
dimulai dari kelopak mata. Hal ini dikarenakan pengaruh gaya gravitasi. Kelopak mata
merupakan jaringan yang banyak mengandung jaringan ikat longgar. Pada pasien ini
bengkak dimulai dari kelopak mata yang berlanjut hingga terjadi edema pada seluruh
tubuh, termasuk asites. Hal ini menunjukan bahwa bengkak pada pasien ini mengarah
pada kelainan ginjal.

Pembengkakan pada perut akibat akumulasi cairan pada rongga peritoneum


sering disebabkan oleh penyakit hati atau penurunan jumlah dan produksi albumin. Pada
kelainan ginjal seperti sindrom nefrotik, ginjal mengalami kerusakan, sehingga protein
yang harusnya tetap ada di tubuh bisa ikut keluar melalui urine. Kurangnya jumlah
protein kemudian memicu turunnya tekanan onkotik yang selanjutnya memicu bocor
atau keluarnya cairan dari dalam sel. Hal ini dapat terjadi pada pasien ini diakibatkan
oleh kelainan ginjalnya disertai rendahnya kadar albumin sehingga menyebabkan
tekanan onkotik vaskuler menurun sehingga cairan terakumulasi pada rongga
peritoneum. Akumulasi cairan yang banyak pada pemeriksaan fisik dikonfirmasi
dengan pemeriksaan undulasi (+).Menurut ibu pasien, pasien juga merasakan kesusahan
bernapas ketika pasien berbaring dibanding biasanya sejak perut pasien membengkak.
Hal ini dapat disebabakan oleh akumulasi cairan asites yang mendesak ke arah paru
ketika pasien berbaring.

Pola buang air kecil pasien ini juga berkurang dari biasanya disertai adanya
perubahan warna urin menjadi kuning disertai kekeruhan. Hal ini menunjukkan adanya
perubahan fisiologi ginjal sebagai organ filtrasi dimana terjadi gangguan dalam proses
pembentukan urine. BAK yang berbusa, keruh dan pekat menandakan adanya kadar
protein yang tinggi di dalam urine. Hal ini dibuktikan dengan hasil pemeriksaan
urinalisa pasien dalam 3 kali follow up mengalami proteinuria.

Berdasarkan manifestasi klinis yang didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik


maupun pemeriksaan penunjang. Gejala pasien memenuhi kriteria sindrom nefrotik
berdasarkan Konsensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak, Ikatan
Dokter Anak Indonesia 2012: 1. Proteinuria masif (>40 mg/m2LPB/ jam
atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik
≥ 2+);2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL; 3. Edema; 4. Dapat disertai hiperkolesterolemia
> 200 mg/dL.

Pada pasien ini diperiksa profil lipid dan terkonfirmasi keadaan


hiperkolesterolemia. Pemeriksaan penunjang seperti x ray thoraks dianjurkan untuk
melihat apakah adanya gambaran edema pada paru. Pemeriksaan Biopsi Ginjal dapat
dilakukan pada pasien apabila pasien tidak respon terhadap steroid ataupun ada gejala
penurunan fungsi ginjal seperti preoteinuria unuk melihat tipe kerusakan sindrom
nefrotik pada ginjal dan dapat menentukan prognosis pasien.
Untuk terapi, pasien mendapatkan terapi berupa kortikosteroid, antibiotic,
diuretik dan ACE Inhibitor. Kortikosteroid diberikan untuk menginduksi terjadinya
remisi pada pasien dengan sindrom nefrotik Pada pasien ini BB aktualnya adalah 40,5
kg, sehingga dosis metilprednisolon yang diberikan adalah 40,5 kg x 2 mg/kgBB/hari =
90 mg/hari. Pada pasien ini tidak menerima kemoterapi dengan CPA, karena sesuai teori
terapi ini boleh diinisiasi setelah biopsy ginjal. Diuretik diberikan sebagai restriksi
cairan saat edema berat. 40,5 kg x 1-2 mg mg/kgBB/hari jadi 40 mg/hari dibagi menjadi
2 dosis pemberian, sehingga dosis yang diberikan pada pasien ini seharusnya adalah
20mg/12jam. Antibiotik broad spectrum seperti ampicillin diberikan untuk mencegah
terjadinya infeksi dan banyaknya jumlah cairan interstitial yang menyebabkan edema
dapat menjadi media pertumbuhan kuman yang baik. ACE Inhibitor diberikan untuk
membantu mengurangi proteinuria dengan vasodilatasi pembuluh darah kapiler pada
ginjal sehingga mengurangi tekanan pada kapiler ginjal. Kadar albumin pasien yang
rendah 2,1 belum menjadi indikasi untuk dikoreksi albumin 20% karena indikasi
pemberian albumin 20% 1 g/kgBB apabila belum juga berespon pemberian obat diuretik
dan nilai albumin <1. Diet normal sesuai RDA yaitu 100 kcal/kgBB/hari= 100 x40,5 =
4000kcal/hari. Diet rendah garam (1-2g/hari) ekstra putih telur pada sindrom nefrotik.
Kesan gizi pada pasien ini adalah pasien dalam gizi baik dengan status imunisasi
dasar lengkap.
Respon pasien terhadap terapi yang diberikan sampai dengan terakhir follow up
belum memberikan respon terhadap terapi dibuktikan dengan kadar proteinuria yang
masih tinggi. Oleh karena itu, prognosis pasien ini memburuk melihat respon pasien
terhadap terapi yang diberikan, dan disarankan untuk di rujuk untuk dilakukan biopsy
ginja.

BAB V
KESIMPULAN
Sindroma nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh
kelainan glomerular dengan gejala proteinuria masif (40 mg/m2 LPB/jam atau 50
mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+),
hipoalbuminemia (<2,5gram/dL), edema dan dapat disertai hiperkolesterolemia
(>200 mg/dL).
T er d ap at beberapa batasan yang dipakai yaitu remisi, relaps, relaps jarang,
relaps sering, dependen steroid, resisten steroid ataupun sensitif steroid.
Sindroma nefrotik dapat menyerang anak-anak dari segala usia dan lebih sering
terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Etiologi sindrom nefrotik dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan
sekunder mengikuti penyakit sistemik. Pada Sindrom nefrotik idiopatik, SN kelainan
minimal (SNMK) merupakan penyebab paling sering terjadi pada anak usia < 7 tahun.
Pengobatan sindrom nefrotik meliputi penanggulangan edema, pengaturan dit,
serta pemberian kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid maupun jenis obat-obatan
yang digunakan tergantung pada jenis sindrom nefrotik dan serta apakah dapat
merespon dengan baik terhadap terapi steroid atau tidak.

DAFTAR PUSTAKA

1. Trihono P, Alatas H, Tambunan T, Pardede S. Konsensus Tatalaksana Sindrom


Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012;
1-36.
2. Andolino, T. P, Reid-Adam, J. Nephrotic Syndrome. Pediatrics in Review.
2015;36(3):117–126.
3. Tapia C, Bashir K. Nephrotic Syndrome. In: StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2020.
4. Albar H, Bilondatu F, Daud D. Risk Factors for relapse in pediatric nephrotic
syndrome. Paediatrica Indonesia. 2018;58(5):1-4.
5. Marcdante K, Kliegman R, Jenson H, Behrman R. NELSON Ilmu Kesehatan
Anak Esensial. Edisi Bahasa Indonesia; Editor IDAI. Elsevier. 2011:(6). Hal
658-60.
6. Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO, Noer, MS, Soemyarso N.
Kompendium nefrologi anak. Jakarta: BP IDAI; 2012. p. 72-80.
7. Lane Jerome C. Pediatric Nephrotic Syndrome. Medscape. 2020. Diunduh dari
URL : https://emedicine.medscape.com/article/982920-overview
8. Noer MS, 1997. Sindrom Nefrotik. In: Putra ST, Suharto, Soewandojo E,
editors. Patofisiologi Kedokteran. Surabaya : GRAMIK FK Universitas
Airlanggap. 137-46.
9. American Academy of Pediatrics. Immunization in special clinical
circumstances. Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Long SS, Mc Millan JA,
penyunting. Red Book: 2006 Report of the Committee on Infrctious Diseases,
edisi ke-27. Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics; 2006. h. 67-
104.
10. Indian Pediatric Nephrology Group, Indian Academy of Pediatrics. Consensus
statement on management of steroid sensitive nephrotic syndrome. Indian
Pediatr 2001;38:975-86.
11. Davin JC, Merkus MP. Levamisole in steroid-sensitive nephrotic syndrome of a
childhood: the lost paradise? Pediatr Nephrol 2005;20:10-4.

Anda mungkin juga menyukai