Rhinoscopy: pemeriksaan rongga hidung untuk melihat hidung bagian dalam; dinilai mukosa
septum,konka,sekret,massa/benda asing
STEP 2
STEP 7
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari rongga hidung?
ANATOMI HIDUNG
SINUSES
Anatomi Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus
paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk
rongga di dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah
pada masing-masing sisi hidung ; sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoid kanan
dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila, yang terbesar, kanan dan kiri
disebut Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga
sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi
udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.
(Ballenger JJ,1994; Heilger PA, 1997; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian anterior
dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, pada atau di
dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior
sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas konka
media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis
perlekatan konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara kedua
kelompok. Proctor berpendapat bahwa salah satu fungsi penting sinus paranasal
adalah sebagai sumber lender yang segar dan tak terkontaminasi yang dialirkan ke
mukosa hidung. (Ballenger JJ,1994)
2.2.1 Embriologi sinus paranasal
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung,
berupa tonjolan atau resesus epitel mukosa hidung setelah janin berusia 2 bulan,
resesus inilah yang nantinya akan berkembang menjadi ostium sinus.
Perkembangan sinus paranasal dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sphenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak
lahir, saat itu sinus maksila sudah terbentuk dengan sangat baik dengan dasar agak
lebih rendah daripada batas atas meatus inferior. Setelah usia 7 tahun
perkembangannya ke bentuk dan ukuran dewasa berlangsung dengan cepat. Sinus
frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih
8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoidalis dimulai pada usia 8 – 10 tahun dan
berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini pada umumnya
mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun. . (Ballenger JJ,1994 ;
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
2.2.2 Sinus maksila
Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang terbesar.
Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan sinus tersebut
terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml,
yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa. (Lund VJ,1997)
Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan ektodermal
yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat berupa celah kecil
di sebelah medial orbita. Celah ini kemudian akan berkembang menjadi tempat
ostium sinus maksila yaitu di meatus media. Dalam perkembangannya, celah ini
akan lebih kea rah lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4 mm,
yang merupakan rongga sinus maksila. Perluasan rongga tersebut akan berlanjut
setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm vertical, dan 3 mm anteroposterior
tiap tahun. Mula-mula dasarnya lebih tinggi dari pada dasar rongga hidung dan
pada usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini akan turun, dan akan setinggi dasar
hidung dan kemudian berlanjut meluas ke bawah bersamaan dengan perluasan
rongga. Perkembangan sinus ini akan berhenti saat erupsi gigi permanen.
Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun. (Ballenger
JJ,1994; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa
nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Dinding
anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina,dinding
posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah
dinding lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh
lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris
konka inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding superiornya ialah dasar
orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus
maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus
semilunaris melalui infundibulum etmoid. Menurut Morris, pada buku anatomi
tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm
dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Antrum mempunyai hubungan
dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil, yaitu ostium maksila
yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini biasanya
terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar daripada
lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan irigasi
sinus. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah : 1)
dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas , yaitu
premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C)
dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga
sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu
dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke
dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi
di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah
atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan
rongga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis. 2) sinusitis maksila dapat
menimbulkan komplikasi orbita. 3) Ostim sinus maksila lebih tinggi letaknya dari
dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus
melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid
anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.
(Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
2.2.3 Sinus frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke emapat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. . (Ballenger JJ,1994 ;
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga sangat
berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang juga
ada sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak
simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak
di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus
frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata
sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml.
Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto
rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang
yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus
frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya
yang terletak di ressus frontal yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.
(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
2.2.4 Sinus etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini
dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus
lainnya. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan, berasal dari
meatus superior dan suprema yang membentuk kelompok sel-sel etmoid anterior
dan posterior. Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian
berkembang sesuai dengan bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas.
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian
posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya
0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus kira-kira 14
ml. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sinus etmoid berongga – rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon,
yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara
konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi
menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus etmoid
posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid
anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan
sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid
anterior terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat bermuaranya ostium
sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat
menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat
menyebabkan sinusitis maksila. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sphenoid. (Mangunkusumo E., Soetjipto D.
2007)
2.2.5 Sinus sfenoid
Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai pasangan evaginasi
mukosa di bagian posterior superior kavum nasi. Perkembangannya berjalan
lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi mukosa ini belum tampak berhubungan
dengan kartilago nasalis posterior maupun os sfenoid. Sebelum anak berusia 3
tahun sinus sfenoid masih kecil, namun telah berkembang sempurna pada usia 12
sampai 15 tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran serta bentuknya
bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum tulang yang
tipis, yang letakya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu sinus akan lebih besar
daripada sisi lainnya. (Ballenger JJ,1994)
Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya
adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya berkisar
dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus bagian
lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak
sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah : sebelah
superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya
adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan
a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya
berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.
( Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
FISIOLOGI HIDUNG
Secara fisiologis, hidung merupakan bagian dari traktus respiratorius, alat penghidu
dan rongga-suara untuk berbicara.
Dalam sistem pernapasan
a. Inspirasi :
i. Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis).
Rongga hidung berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar
minyak (kelenjar sebasea) dan kelenjar keringat (kelenjar sudorifera).
Selaput lendir berfungsi menangkap benda asing yang masuk lewat
saluran pernapasan. Selain itu, terdapat juga rambut pendek dan tebal
yang berfungsi menyaring partikel kotoran yang masuk bersama udara.
Juga terdapat konka yang mempunyai banyak kapiler darah yang
berfungsi menghangatkan udara yang masuk.
b. Ekspirasi :
i. udara dari koana akan naik setinggi konka media selanjutnya di depan
memecah sebagian ke nares anterior dan sebagian kembali ke belakang
membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring
Resonansi suara : dimana Sumbatan hidung menyebabkan rinolalia (suara sengau)
dan Membantu proses bicara dimana konsonan nasal (m, n, ng) sehingga rongga
mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara
Refleks nasal :
c. Pada mukosa hidung ada reseptor refleks yg berhubungan dengan sal cerna,
kardiovaskuler, pernafasan : mis : iritasi mukosa hidung menyebabkan bersin
dan nafas berhenti, bau tertentu menyebabkan sekresi kel liur, lambung dan
pankreas.
a. Resonansi suara
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga
terdengar suara sengau (rinolalia).8
b. Proses bicara
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan
palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup
dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.8
c. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks
bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas.8
3. Mengapa anak mengeluh keluar ingus yang bau pada sisi kiri sejak 5 hr yll?
Menurut BOIES adanya foetor dalam hidung berarti terjadinya nekrosis dari mukosa
dan adanya organisme saprofit. Pus yang kronis dan berbau dalam sinus maksilaris
mungkin juga berasal dari gigi. Menurut BOYD, nekrosis dapat disebabkan oleh: (1)
berkurangnya aliran darah (blood supply), (2) toksin bakteri, dan (3) iritasi secara fisik
maupun kimiawi. Dikatakan pula bahwa sel-sel yang mati akan mengalami pembusukan
oleh organisme saprofit.3
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka foetor ex nasi dapat disebabkan oleh:3
1. Pembusukan sel-sel mati (benda-benda organik) atau korpus alienum oleh kuman
saprofit.
2. Pembusukan sel-sel jaringan yang nekrotis, sebagai akibat dari :
a. Trauma, mengakibatkan kerusakan jaringan sampai matinya jaringan karena
tidak mendapat suplai darah. Terjadilah nekrosis dan infeksi sekunder
sehingga timbul foetor.
b. Radang oleh iritasi fisik atau kimiawi.
c. Toksin bakteri.
d. Neoplasma maligna dengan bagian-bagian yang nekrotik.
Bila penderita sendiri tidak dapat membau, berarti ia mengalami anosmia. Bila orang lain
tidak membau, berarti bau tersebut subjektif. Keluhan bau busuk dari hidung anak sering
dikeluhkan oleh orang tua atau pengasuhnya. Gejala nasal discharge dengan foetor dapat
bersifat unilateral atau bilateral. Hal ini perlu sekali ditanyakan dalam anamnesis oleh
karena anamnesis yang teliti dan terarah akan sangat membantu kita dalam mencari
kemungkinan diagnosis.3
Anamnesis perlu disesuaikan dengan pemeriksaan, salah satu pemeriksaan yang perlu
dilakukan adalah menentukan apakah discharge purulent atau sanguinous, dan apakah
discharge sangat banyak (profuse). Berdasarkan adanya macam-macam kelainan/penyakit
yang dapat menimbulkan gejala foetor, dapatlah disusun diagnosis banding sebagai berikut
:
1. Korpus alienum
2. Rinolit
3. Difteri hidung
4. Sinusitis
5. Rinitis atrofi (Ozaena)
6. Nasofaringitis kronis
7. Rinitis kaseosa
8. Radang kronis spesifik : sifilis tertier, tuberkulosis
9. Neoplasma maligna
1. Korpus alienum
Kebanyakan benda-benda kecil misalnya biji buah, manik-manik, kancing,
karet penghapus, kelereng, kacang polong, batu dan kacang tanah. Kebanyakan
ditemukan pada anak-anak dan biasanya unilateral. Bila benda tersebut belum lama
dimasukkan, maka tidak atau hanya sedikit mengganggu, kecuali bila benda yang
dimasukkan tajam atau sangat besar. Gejala yang muncul antara lain obstruksi yang
bersifat unilateral dan sekret yang berbau. Benda asing umumnya ditemukan pada
bagian anterior vestibulum atau pada meatus inferior sepanjang dasar hidung.
Karena penderita kebanyakan adalah anak-anak, apakah penderita sendiri
dapat membau atau tidak hal ini tidak jelas.3,6,10
2. Rinolit
Rinolit juga dianggap sebagai benda asing tipe khusus yang biasanya terdapat
pada orang dewasa. Garam-garam tak larut dalam sekret hidung membentuk suatu
masa berkapur sebesar benda asing yang tertahan lama atau bekuan darah. Warna
sedikit abu-abu, agak coklat atau hitam kehijau-hijauan. Konsistensi dapat lunak
sampai keras dan rapuh atau porus. Seperti halnya dengan korpus alienum, biasanya
terdapat unilateral. Sekret sinus kronik dapat mengawali terbentuknya masa seperti itu
di dalam hidung.3,6,10
Gambar 5. Rinolit (dikutip dari: kepustakaan 10)
3. Difteri hidung
Ada 2 tipe difteri hidung yaitu: (1) primer: terbatas dalam hidung, bersifat
benigna, ±2%, (2) sekunder: berasal atau bersama-sama dengan difteri faring, bersifat
maligna karena biasanya disertai gejala konstitusional. Discharge biasanya bilateral,
sanguinous, sering disertai ekskoriasi vestibulum nasi. Berdasarkan adanya difteri
hidung benigna dan maligna, maka jangan lupa memeriksa keadaan faring. Bila masih
ragu, sebaiknya dilakukan pemeriksaan laboratorium terhadap sekret hidung dan
tenggorok.3
4. Sinusitis
Dapat terjadi pada anak-anak ataupun dewasa, dapat unilateral, atau bilateral.
Pada anak-anak, discharge yang banyak sering disertai infeksi pada adenoid dan
alergi hidung. Pada anak-anak gejala yang sering ditemukan ialah: nasal obstruction,
persistent mucopurulent discharge, frequent colds. Berdasarkan adanya infeksi
adenoid dan alergi hidung, maka pada anak-anak gejala discharge tentunya lebih
sering bilateral. Pada anak-anak diragukan apakah penderita sendiri membau atau
tidak, jadi penderita sendiri (±), orang lain (+). Penderita dewasa sering menyadari
adanya bau yang tidak enak dalam hidungnya, tetapi kadang-kadang hiposmia bila
ada obstruksi dan bersifat temporer.3,9,10
6. Nasofaringitis kronis
Di nasofaring terdapat jaringan limpoid, kadang-kadang adenoid, dimana
banyak tinggal bakteri-bakteri didalam kripti. Bila ada infeksi virus maka bakteri
tersebut menjadi virulen dan dapat meluas ke semua arah. Pada kebanyakan kasus
penyakit ini bersifat self limiting, bila daya tahan tubuh baik penyakit segera sembuh.
Tetapi dapat juga penyakit menjadi kronis dan discharge nasofaring menjadi purulen
serta mulai timbul bau, hal ini mulai dirasakan oleh penderita sendiri. Penderita sering
berusaha mengeluarkan discharge di nasofaring yang dirasakan sangat mengganggu.
Discharge pada nasofaringitis kronis bersifat bilateral.3
7. Rinitis kaseosa
Adalah perubahan kronis inflamatoar dalam hidung dengan adanya
pembentukan jaringan granulasi dan akumulasi massa seperti keju yang menyerupai
kolesteatoma. Ada banyak teori tentang etiologi penyakit ini, diantaranya bahwa
penyakit ini adalah akibat radang kronis dan nasal stenosis sekunder yang menyumbat
nasal discharge. Oleh perubahan mekanis dan kimiawi dan deskuamasi mukosa
secara terus-menerus, terjadilah penumpukan massa seperti keju yang menyerupai
kolesteatoma. Kebanyakan bersifat unilateral, dapat terjadi pada segala umur, tetapi
terbanyak antara 30-40 tahun. Karena kelainan ini adalah akibat sinusitis, penderita
sendiri membau (+), orang lain (+).3
9. Neoplasma maligna
Gejala yang menyolok ialah nasal obstruction yang bersifat unilateral dan
nasal bleeding. Kadang-kadang ulserasi awal dan nasal bleeding terlihat lebih dulu
sebelum nasal obstruction, terutama pada tumor kavum nasi yang anaplastik.
Diagnosis ditegakkan dengan biopsi yang diambil dari bagian yang tidak nekrotis.
Perlu diagnosis sedini mungkin, maka bila ada kecurigaan kearah malignansi, biopsi
perlu segera dilakukan.3
Dewasa
1. Sinusitis: discharge bilateral, penderita (+), orang lain (+)
2. Ozaena: discharge bilateral, Penderita (-), orang lain (+)
3. Nasofaringitis kronis: discharge postnasal bilateral, penderita (+), orang lain (-)
4. Rinitis kaseosa: discharge unilateral, penderita (+), orang lain (+)
5. Sifilis tertier: discharge bilateral, septum bagian tulang, penderita (+), orang lain (+)
6. Tuberkulosis: discharge bilateral, septum bagian kartilago, penderita (+), orang lain (+)
7. Neoplasma maligna: discharge uni/bilateral, penderita (+), orang lain (+).
8. Rinolit: discharge unilateral, penderita (+), orang lain (+).3
Pedoman diagnostik tersebut diatas akan mempermudah penentuan diagnosis secara
klinis. Bila diagnosis masih meragukan dilakukan pemeriksaan khusus dan laboratorium. 3
DAFTAR PUSTAKA
4. Ballenger JJ. Hidung dan Sinus Paranasal dalam: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Jakarta: Binarupa Aksara,1994;1-2.
7. Dhingra PL. Disease of Ear, Nose and Throat. 4th ed. India: Elsevier. 2007;131.
9. RS Dhillon, East CA. Ear Nose and Throat and Head and Neck Surgery. 2nd ed.
London: Churchill Livingstone, 1999;32.