Anda di halaman 1dari 28

STEP 1

Rhinoscopy: pemeriksaan rongga hidung untuk melihat hidung bagian dalam; dinilai mukosa
septum,konka,sekret,massa/benda asing

STEP 2

1. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari rongga hidung?


2. Bagaimana histologi dari hidung?
3. Mengapa anak mengeluh keluar ingus yang bau pada sisi kiri sejak 5 hr yll?
4. Mengapa anak sering mimisan tanpa sebab yg pasti?
5. Mengapa ditemukan Konka hiperemis dan sekret mukoserous?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang pada skenario?
7. Jelaskan DD dan D dr skenario!
8. Bagaimana terapi pada skenario?
9. Jelaskan komplikasi yang dapat terjadi!

STEP 7
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari rongga hidung?

ANATOMI HIDUNG

2.1.1.2 Anatomi hidung luar


Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar
menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat
digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ;
dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk
hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1)
pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung
(hip),4) ala nasi,5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar
dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2)
prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2)
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala
mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
2.1.1.3 Anatomi hidung dalam
Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di
sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka
superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan
dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan
inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus
superior. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007; Hilger PA,1997)
Gambar 2.1 Anatomi Hidung Dalam
2.1.1.3.1 Septum nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior
dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago
septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior
dan inferior oleh os vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista sfenoid.
(Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)
2.1.1.3.2 Kavum nasi
Kavum nasi terdiri dari:
Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal
os palatum. . (Ballenger JJ,1994)
Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus
frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar
atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen
n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan
menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior. .
(Ballenger JJ,1994)
Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os
lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os
etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus
medial. . (Ballenger JJ,1994)
Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara konka
inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka media
dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus
superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas.
Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis os
etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada
maksila bagian superior dan palatum. (Ballenger JJ,1994)
2.1.1.3.3 Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara
septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid
posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium
yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os
sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.
(Ballenger JJ,1994)
2.1.1.3.4 Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas
dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus
frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media
yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk
bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang
berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum
yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum
membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus
unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang
dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-
sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel
etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila
bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-
kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.
(Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)
2.1.1.3.5 Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara
duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang
batas posterior nostril. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)
2.1.1.3.6 Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring,
berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior
bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh os
vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina
pterigoideus. (Ballenger JJ,1994)
Di bahagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas
sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus
paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan
dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks
prosesus zygomatikus os maksilla. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007 ; Hilger
PA,1997)
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi udara
yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris dan
bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari orbita
dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified columnar
epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga
hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel goblet
(Sobol SE, 2007).
2.1.1.4 Kompleks ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang
berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal
gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina
papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus
unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan
ressus frontal. (Nizar NW, 2000 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007).
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang
keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum
sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar
melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus
frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke
infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka
media (Nizar NW, 2000).
2.1.1.5 Perdarahan hidung
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris
interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar
dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung
di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat
pendarahan dari cabang – cabang a.fasialis. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang
disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis(pendarahan hidung) terutama pada anak. (Soetjipto D & Wardani
RS,2007)
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung
tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya
penyebaran infeksi hingga ke intracranial. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
2.1.1.6 Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum
selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor
atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut
sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis
mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka
media. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada
mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. (Dhingra PL, 2007 ; Soetjipto
D & Wardani RS,2007)

SINUSES
Anatomi Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus
paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk
rongga di dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah
pada masing-masing sisi hidung ; sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoid kanan
dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila, yang terbesar, kanan dan kiri
disebut Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga
sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi
udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.
(Ballenger JJ,1994; Heilger PA, 1997; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian anterior
dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, pada atau di
dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior
sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas konka
media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis
perlekatan konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara kedua
kelompok. Proctor berpendapat bahwa salah satu fungsi penting sinus paranasal
adalah sebagai sumber lender yang segar dan tak terkontaminasi yang dialirkan ke
mukosa hidung. (Ballenger JJ,1994)
2.2.1 Embriologi sinus paranasal
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung,
berupa tonjolan atau resesus epitel mukosa hidung setelah janin berusia 2 bulan,
resesus inilah yang nantinya akan berkembang menjadi ostium sinus.
Perkembangan sinus paranasal dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sphenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak
lahir, saat itu sinus maksila sudah terbentuk dengan sangat baik dengan dasar agak
lebih rendah daripada batas atas meatus inferior. Setelah usia 7 tahun
perkembangannya ke bentuk dan ukuran dewasa berlangsung dengan cepat. Sinus
frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih
8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoidalis dimulai pada usia 8 – 10 tahun dan
berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini pada umumnya
mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun. . (Ballenger JJ,1994 ;
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
2.2.2 Sinus maksila
Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang terbesar.
Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan sinus tersebut
terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml,
yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa. (Lund VJ,1997)
Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan ektodermal
yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat berupa celah kecil
di sebelah medial orbita. Celah ini kemudian akan berkembang menjadi tempat
ostium sinus maksila yaitu di meatus media. Dalam perkembangannya, celah ini
akan lebih kea rah lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4 mm,
yang merupakan rongga sinus maksila. Perluasan rongga tersebut akan berlanjut
setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm vertical, dan 3 mm anteroposterior
tiap tahun. Mula-mula dasarnya lebih tinggi dari pada dasar rongga hidung dan
pada usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini akan turun, dan akan setinggi dasar
hidung dan kemudian berlanjut meluas ke bawah bersamaan dengan perluasan
rongga. Perkembangan sinus ini akan berhenti saat erupsi gigi permanen.
Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun. (Ballenger
JJ,1994; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa
nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Dinding
anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina,dinding
posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah
dinding lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh
lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris
konka inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding superiornya ialah dasar
orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus
maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus
semilunaris melalui infundibulum etmoid. Menurut Morris, pada buku anatomi
tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm
dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Antrum mempunyai hubungan
dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil, yaitu ostium maksila
yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini biasanya
terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar daripada
lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan irigasi
sinus. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah : 1)
dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas , yaitu
premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C)
dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga
sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu
dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke
dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi
di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah
atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan
rongga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis. 2) sinusitis maksila dapat
menimbulkan komplikasi orbita. 3) Ostim sinus maksila lebih tinggi letaknya dari
dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus
melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid
anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.
(Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
2.2.3 Sinus frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke emapat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. . (Ballenger JJ,1994 ;
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga sangat
berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang juga
ada sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak
simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak
di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus
frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata
sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml.
Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto
rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang
yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus
frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya
yang terletak di ressus frontal yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.
(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
2.2.4 Sinus etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini
dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus
lainnya. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan, berasal dari
meatus superior dan suprema yang membentuk kelompok sel-sel etmoid anterior
dan posterior. Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian
berkembang sesuai dengan bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas.
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian
posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya
0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus kira-kira 14
ml. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sinus etmoid berongga – rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon,
yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara
konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi
menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus etmoid
posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid
anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan
sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid
anterior terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat bermuaranya ostium
sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat
menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat
menyebabkan sinusitis maksila. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sphenoid. (Mangunkusumo E., Soetjipto D.
2007)
2.2.5 Sinus sfenoid
Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai pasangan evaginasi
mukosa di bagian posterior superior kavum nasi. Perkembangannya berjalan
lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi mukosa ini belum tampak berhubungan
dengan kartilago nasalis posterior maupun os sfenoid. Sebelum anak berusia 3
tahun sinus sfenoid masih kecil, namun telah berkembang sempurna pada usia 12
sampai 15 tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran serta bentuknya
bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum tulang yang
tipis, yang letakya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu sinus akan lebih besar
daripada sisi lainnya. (Ballenger JJ,1994)
Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya
adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya berkisar
dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus bagian
lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak
sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah : sebelah
superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya
adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan
a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya
berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.
( Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

FISIOLOGI HIDUNG
Secara fisiologis, hidung merupakan bagian dari traktus respiratorius, alat penghidu
dan rongga-suara untuk berbicara.
Dalam sistem pernapasan
a. Inspirasi :
i. Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis).
Rongga hidung berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar
minyak (kelenjar sebasea) dan kelenjar keringat (kelenjar sudorifera).
Selaput lendir berfungsi menangkap benda asing yang masuk lewat
saluran pernapasan. Selain itu, terdapat juga rambut pendek dan tebal
yang berfungsi menyaring partikel kotoran yang masuk bersama udara.
Juga terdapat konka yang mempunyai banyak kapiler darah yang
berfungsi menghangatkan udara yang masuk.
b. Ekspirasi :
i. udara dari koana akan naik setinggi konka media selanjutnya di depan
memecah sebagian ke nares anterior dan sebagian kembali ke belakang
membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring
Resonansi suara : dimana Sumbatan hidung menyebabkan rinolalia (suara sengau)
dan Membantu proses bicara dimana konsonan nasal (m, n, ng) sehingga rongga
mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara

Refleks nasal :
c. Pada mukosa hidung ada reseptor refleks yg berhubungan dengan sal cerna,
kardiovaskuler, pernafasan : mis : iritasi mukosa hidung menyebabkan bersin
dan nafas berhenti, bau tertentu menyebabkan sekresi kel liur, lambung dan
pankreas.
a. Resonansi suara
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga
terdengar suara sengau (rinolalia).8

b. Proses bicara
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan
palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup
dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.8
c. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks
bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas.8

2. Bagaimana histologi dari hidung?


Gambar 3. Hubungan langsung dari mukosa olfaktorius ke bulbus olfaktorius di
Central Nervus System. (dikutip dari: kepustakaan 4)

3. Mengapa anak mengeluh keluar ingus yang bau pada sisi kiri sejak 5 hr yll?
Menurut BOIES adanya foetor dalam hidung berarti terjadinya nekrosis dari mukosa
dan adanya organisme saprofit. Pus yang kronis dan berbau dalam sinus maksilaris
mungkin juga berasal dari gigi. Menurut BOYD, nekrosis dapat disebabkan oleh: (1)
berkurangnya aliran darah (blood supply), (2) toksin bakteri, dan (3) iritasi secara fisik
maupun kimiawi. Dikatakan pula bahwa sel-sel yang mati akan mengalami pembusukan
oleh organisme saprofit.3
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka foetor ex nasi dapat disebabkan oleh:3
1. Pembusukan sel-sel mati (benda-benda organik) atau korpus alienum oleh kuman
saprofit.
2. Pembusukan sel-sel jaringan yang nekrotis, sebagai akibat dari :
a. Trauma, mengakibatkan kerusakan jaringan sampai matinya jaringan karena
tidak mendapat suplai darah. Terjadilah nekrosis dan infeksi sekunder
sehingga timbul foetor.
b. Radang oleh iritasi fisik atau kimiawi.
c. Toksin bakteri.
d. Neoplasma maligna dengan bagian-bagian yang nekrotik.

4. Mengapa anak sering mimisan tanpa sebab yg pasti?


5. Mengapa ditemukan Konka hiperemis dan sekret mukoserous?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang pada skenario?

7. Jelaskan DD dan D dr skenario!


Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti sangat membantu untuk menentukan
diagnosis etiologi dari foetor ex nasi, karena banyak penyakit yang memberikan gejala
foetor ex nasi. Meskipun hidung adalah organ pembau, apabila dalam rongga hidung
terjadi bau busuk, bau ini mungkin tidak disadari oleh penderita. Apabila penderita dapat
membau, kita beri tanda (+), dan bila tidak membau kita beri tanda (-), maka kemungkinan
yang dapat terjadi pada pasien adalah: 3
1. Penderita sendiri (+), orang lain (+)
2. Penderita sendiri (+), orang lain (-)
3. Penderita sendiri (-), orang lain (+)

Bila penderita sendiri tidak dapat membau, berarti ia mengalami anosmia. Bila orang lain
tidak membau, berarti bau tersebut subjektif. Keluhan bau busuk dari hidung anak sering
dikeluhkan oleh orang tua atau pengasuhnya. Gejala nasal discharge dengan foetor dapat
bersifat unilateral atau bilateral. Hal ini perlu sekali ditanyakan dalam anamnesis oleh
karena anamnesis yang teliti dan terarah akan sangat membantu kita dalam mencari
kemungkinan diagnosis.3
Anamnesis perlu disesuaikan dengan pemeriksaan, salah satu pemeriksaan yang perlu
dilakukan adalah menentukan apakah discharge purulent atau sanguinous, dan apakah
discharge sangat banyak (profuse). Berdasarkan adanya macam-macam kelainan/penyakit
yang dapat menimbulkan gejala foetor, dapatlah disusun diagnosis banding sebagai berikut
:
1. Korpus alienum
2. Rinolit
3. Difteri hidung
4. Sinusitis
5. Rinitis atrofi (Ozaena)
6. Nasofaringitis kronis
7. Rinitis kaseosa
8. Radang kronis spesifik : sifilis tertier, tuberkulosis
9. Neoplasma maligna

1. Korpus alienum
Kebanyakan benda-benda kecil misalnya biji buah, manik-manik, kancing,
karet penghapus, kelereng, kacang polong, batu dan kacang tanah. Kebanyakan
ditemukan pada anak-anak dan biasanya unilateral. Bila benda tersebut belum lama
dimasukkan, maka tidak atau hanya sedikit mengganggu, kecuali bila benda yang
dimasukkan tajam atau sangat besar. Gejala yang muncul antara lain obstruksi yang
bersifat unilateral dan sekret yang berbau. Benda asing umumnya ditemukan pada
bagian anterior vestibulum atau pada meatus inferior sepanjang dasar hidung.
Karena penderita kebanyakan adalah anak-anak, apakah penderita sendiri
dapat membau atau tidak hal ini tidak jelas.3,6,10

Gambar 4. Korpus alienum pada hidung (dikutip dari: kepustakaan 10)

2. Rinolit
Rinolit juga dianggap sebagai benda asing tipe khusus yang biasanya terdapat
pada orang dewasa. Garam-garam tak larut dalam sekret hidung membentuk suatu
masa berkapur sebesar benda asing yang tertahan lama atau bekuan darah. Warna
sedikit abu-abu, agak coklat atau hitam kehijau-hijauan. Konsistensi dapat lunak
sampai keras dan rapuh atau porus. Seperti halnya dengan korpus alienum, biasanya
terdapat unilateral. Sekret sinus kronik dapat mengawali terbentuknya masa seperti itu
di dalam hidung.3,6,10
Gambar 5. Rinolit (dikutip dari: kepustakaan 10)
3. Difteri hidung
Ada 2 tipe difteri hidung yaitu: (1) primer: terbatas dalam hidung, bersifat
benigna, ±2%, (2) sekunder: berasal atau bersama-sama dengan difteri faring, bersifat
maligna karena biasanya disertai gejala konstitusional. Discharge biasanya bilateral,
sanguinous, sering disertai ekskoriasi vestibulum nasi. Berdasarkan adanya difteri
hidung benigna dan maligna, maka jangan lupa memeriksa keadaan faring. Bila masih
ragu, sebaiknya dilakukan pemeriksaan laboratorium terhadap sekret hidung dan
tenggorok.3

4. Sinusitis
Dapat terjadi pada anak-anak ataupun dewasa, dapat unilateral, atau bilateral.
Pada anak-anak, discharge yang banyak sering disertai infeksi pada adenoid dan
alergi hidung. Pada anak-anak gejala yang sering ditemukan ialah: nasal obstruction,
persistent mucopurulent discharge, frequent colds. Berdasarkan adanya infeksi
adenoid dan alergi hidung, maka pada anak-anak gejala discharge tentunya lebih
sering bilateral. Pada anak-anak diragukan apakah penderita sendiri membau atau
tidak, jadi penderita sendiri (±), orang lain (+). Penderita dewasa sering menyadari
adanya bau yang tidak enak dalam hidungnya, tetapi kadang-kadang hiposmia bila
ada obstruksi dan bersifat temporer.3,9,10

Gambar 6. Sinusitis (dikutip dari: kepustakaan 10)


5. Ozaena
Disebut juga rhinitis chronica atrophicans cum foetida. Karakteristiknya
adalah adanya atropi mukosa dan jaringan pengikat submukosa struktur fossa nasalis,
disertai adanya krusta yang berbau khas. Untuk kepentingan klinis perlu ditetapkan
derajat ozaena sebelum diobati, yaitu ringan, sedang atau berat, karena derajat ozaena
menentukan terapi dan prognosisnya. Biasanya diagnosis ozaena secara klinis tidak
sulit. Adanya discharge yang berbau, bersifat bilateral, terdapat krusta kuning
kehijau-hijauan. Penyakit ini lebih banyak menyerang wanita dari pada pria, terutama
pada umur sekitar pubertas. Penderita sendiri mengalami anosmia, sedang orang lain
tidak tahan baunya.3

6. Nasofaringitis kronis
Di nasofaring terdapat jaringan limpoid, kadang-kadang adenoid, dimana
banyak tinggal bakteri-bakteri didalam kripti. Bila ada infeksi virus maka bakteri
tersebut menjadi virulen dan dapat meluas ke semua arah. Pada kebanyakan kasus
penyakit ini bersifat self limiting, bila daya tahan tubuh baik penyakit segera sembuh.
Tetapi dapat juga penyakit menjadi kronis dan discharge nasofaring menjadi purulen
serta mulai timbul bau, hal ini mulai dirasakan oleh penderita sendiri. Penderita sering
berusaha mengeluarkan discharge di nasofaring yang dirasakan sangat mengganggu.
Discharge pada nasofaringitis kronis bersifat bilateral.3

7. Rinitis kaseosa
Adalah perubahan kronis inflamatoar dalam hidung dengan adanya
pembentukan jaringan granulasi dan akumulasi massa seperti keju yang menyerupai
kolesteatoma. Ada banyak teori tentang etiologi penyakit ini, diantaranya bahwa
penyakit ini adalah akibat radang kronis dan nasal stenosis sekunder yang menyumbat
nasal discharge. Oleh perubahan mekanis dan kimiawi dan deskuamasi mukosa
secara terus-menerus, terjadilah penumpukan massa seperti keju yang menyerupai
kolesteatoma. Kebanyakan bersifat unilateral, dapat terjadi pada segala umur, tetapi
terbanyak antara 30-40 tahun. Karena kelainan ini adalah akibat sinusitis, penderita
sendiri membau (+), orang lain (+).3

8. Radang kronis spesifik


a. Sifilis tertier
Berupa gumma yang sering mengenai septum bagian tulang, yaitu pada vomer
dan sering mencapai palatum durum. Bila terjadi nekrosis yang mengenai
tulang dan meluas ke kartilago septum terjadilah perforasi septum. Foetor
bersifat bilateral. Penyakit ini sekarang jarang dijumpai.3
b. Tuberkulosis
Dalam hidung sebagai tuberkuloma yang banyak mengenai septum bagian
kartilago. Untuk membedakan sifilis tertier dari tuberkulosis lebih baik
dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan biopsi. Pada tuberkulosis perlu
dilakukan foto rontgen toraks dan nasal swab. Pada tuberkulosis, bila
tuberkuloma pada septum bagian kartilago mengalami nekrosis, dapat juga
terjadi perforasi septum, foetor dapat dirasakan bilateral. Penyakit itu sekarang
juga jarang dijumpai.

9. Neoplasma maligna
Gejala yang menyolok ialah nasal obstruction yang bersifat unilateral dan
nasal bleeding. Kadang-kadang ulserasi awal dan nasal bleeding terlihat lebih dulu
sebelum nasal obstruction, terutama pada tumor kavum nasi yang anaplastik.
Diagnosis ditegakkan dengan biopsi yang diambil dari bagian yang tidak nekrotis.
Perlu diagnosis sedini mungkin, maka bila ada kecurigaan kearah malignansi, biopsi
perlu segera dilakukan.3

3.5 Pedoman Diagnostik


Pada anak-anak
1. Korpus alienum: discharge unilateral.
2. Difteria hidung: discharge sanguinous bilateral.
3. Sinusitis: discharge profuse bilateral. 3

Dewasa
1. Sinusitis: discharge bilateral, penderita (+), orang lain (+)
2. Ozaena: discharge bilateral, Penderita (-), orang lain (+)
3. Nasofaringitis kronis: discharge postnasal bilateral, penderita (+), orang lain (-)
4. Rinitis kaseosa: discharge unilateral, penderita (+), orang lain (+)
5. Sifilis tertier: discharge bilateral, septum bagian tulang, penderita (+), orang lain (+)
6. Tuberkulosis: discharge bilateral, septum bagian kartilago, penderita (+), orang lain (+)
7. Neoplasma maligna: discharge uni/bilateral, penderita (+), orang lain (+).
8. Rinolit: discharge unilateral, penderita (+), orang lain (+).3
Pedoman diagnostik tersebut diatas akan mempermudah penentuan diagnosis secara
klinis. Bila diagnosis masih meragukan dilakukan pemeriksaan khusus dan laboratorium. 3

8. Bagaimana terapi pada skenario?


9. Jelaskan komplikasi yang dapat terjadi!
SUMBER

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo E. Gangguan Penghidu dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga


Hidung Tenggorok Kepala Leher. Soepardi EA, Iskandar N (ed). Jakarta: Balai
Penerbit FKUI,2001;130.

2. Leopold DA. Disorder of Taste and Smell. http://www.emedicine.com. [diakses


tanggal 14 Februari 2009].

3. Soedarjatni. Foetor ex nasi. Maj Cermin Dunia Kedokt. 1977;21-24.

4. Ballenger JJ. Hidung dan Sinus Paranasal dalam: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Jakarta: Binarupa Aksara,1994;1-2.

5. Encarta. Anatomy of The Nose. http://www.encarta.msn.com/Anatomy of The


Nose.html. [diakses tanggal 19 Februari 2009].
6. Hilger PA. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam: Boeis Buku Ajar Penyakit
THT. Adam, Boeis, Highler (eds). Jakarta: EGC.1997;174-176.

7. Dhingra PL. Disease of Ear, Nose and Throat. 4th ed. India: Elsevier. 2007;131.

8. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sumbatan Hidung dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan


Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Soepardi EA, Iskandar N (ed). Jakarta:
Balai Penerbit FKUI,2001;88-94.

9. RS Dhillon, East CA. Ear Nose and Throat and Head and Neck Surgery. 2nd ed.
London: Churchill Livingstone, 1999;32.

10. Ghorayeb BY. Otolaryngology Houston. http://www.ghorayeb.com. [diakses tanggal


19 Februari 2009].

Anda mungkin juga menyukai