SKENARIO I
Psoriasis
OLEH:
KELOMPOK 18
Aryo Seno
(G0010030)
Annisa Pertiwi
(G0010024)
Chumaidah
(G0010044)
Nur Aini
Endang Susilowati N
(G0010072)
Firza Fatchya
(G0010082)
M. Maulana Shofri
(G0010116)
Maulidina Kurniawati
(G0010122)
(G0010144)
Rukmana Wijayanto
(G0010170)
Wahyu Aprillia
(G0010194)
Tutor :
dr. Suratno, Sp. S
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada skenario, seorang laki-laki, usia 50 tahun datang berobat ke
poliklinik RS. Dr. Moewardi dengan keluhan bercak merah bersisik tebal.
Pendertia juga mengeluh rasa sangat gatal sehingga selalu menggaruknya.
Keluhan ini muncul sejak 5 tahun yang lalu di daerah perbatasan kulit kepala
rambut, siku, lutut, dan perut. Penderita sudah sering berobat dan sembuh,
tetapi keluhan sering kambuh kembali. Keluhan kambuh pada keadaan
tertentu. Dari anamnesis, ayah penderita juga menderita penyakit serupa.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan ujud kelainan kulit berupa plakat
eritem, batasnya tegas dengan skuama tebal berlapis-lapis, berwarna seperti
mika, gambaran central healing(-). Oleh Dokter dijelaskan bahwa penyakit
tersebut disebabkan karena pergantian kulitnya dipercepat.
yOleh dokter akan dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang..
B. Tujuan
1. Mengetahui histologi dari kulit, kuku dan rambut serta organ asesorinya.
2. Mengetahui fungsi organ-organ kulit, kuku dan rambut serta organ
asesorinya.
3. Mengetahui patofisiologi, mekanisme, dan hubungan dari masing-masing
gejala pada skenario.
4. Mengetahui interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan penunjang.
5. Menentukan diagnosis banding penyakit pada skenario
6. Menentukan pemeriksaan lanjutan yang dibutuhkan dan terapi sesuai
diagnosis banding yang ditentukan.
C. Hipotesis
Dari hasil
awal
diduga
maksillaris dentogen.
pasien
mengalami
sinusitis
BAB II
STUDI PUSTAKA
A. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali
tentang anatomi hidung. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan
diingat kembali sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat
berlanjut menjadi suatu penyakit atau kelainan. (Soetjipto D & Wardani RS,
2007)
1. Anatomi hidung luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung
bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ;
struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah
tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago
yang sedikit dapat digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus
hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid
dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge),
2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip),4) ala nasi,5)
kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk
oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang
hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis
os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang
tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis
inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior
kartilago septum. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
2. Anatomi hidung dalam
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari
os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang
memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh
septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka
bagian
dari
os
etmoid,
konka
inferior,
lamina
Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang
sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media.
Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior
melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas
belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat
resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid. (Ballenger
JJ,1994)
Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah
yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat
muara sinus maksila, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid.
Di balik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada
dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal
sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk
bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum
yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial
infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan
dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada
penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel
etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid
anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel
etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus
maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel
etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium
tersendiri di depan infundibulum. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL,
2007)
Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus,
mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara
3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril. (Ballenger JJ,1994 ;
Dhingra PL, 2007)
e. Nares
persarafan
sensoris
dari
n.maksila
melalui
ganglion
Morris, pada buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila
pada bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20
x 19-20 mm. Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum di
meatus medius melalui lubang kecil, yaitu ostium maksila yang terdapat di
bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini biasanya terbentuk
dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar daripada
lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan
irigasi sinus. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila
adalah : 1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang
atas, yaitu premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang
juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut
tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi
premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan
dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya
tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi
ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe,
sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan
rongga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis. 2) sinusitis maksila dapat
menimbulkan komplikasi orbita. 3) Ostim sinus maksila lebih tinggi
letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak
silia, dan drainase harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum
adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang
atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan
selanjutnya menyebabkan sinusitis. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo
E., Soetjipto D. 2007)
Sinus frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan
ke emapat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel
infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada
usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20
tahun. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Pada keadaan istirahat, resting potential dari sel olfaktori yaitu sebesar
-55mV. Sedangkan pada keadaan terdepolarisasi, membran potential sel
olfaktori yaitu sebesar -30mV. Graded potential dari sel olfaktori
menyebabkan potensial aksi pada sel mitral dan tufted yang terdapat pada
bulbus olfaktorius. (Guyton, 2006)
Pada membran mukus olfaktori, terdapat ujung saraf bebas dari saraf
trigeminus yang menimbulkan sinyal nyeri. Sinyal ini dirangsang oleh odoran
yang bersifat iritan seperti peppermint, menthol dan klorin. Perangsangan
ujung saraf bebas ini menyebabkan bersin, lakrimasi, inhibisi pernafasan dan
refleks respon lain terhadap iritan hidung. (Ganong, 2003)
Terdapat 3 syarat dari odoran tersebut supaya dapat merangsang sel
olfaktori, yaitu :
Besifat larut dalam udara, sehingga odoran tersebut dapat terhirup hidung.
Bersifat larut air/ hidrofilik, sehingga odoran tersebut dapat larut dalam
kemudian
melepaskan
neurotransmitter
glutamat
dan
aktivasi ion
2+
Ca
2+
Ca
Jaras Olfaktorius
Sinyal pada sel mitral dan sel tufted pada bulbus olfaktorius menjalar
menuju traktus olfaktorius. Traktus olfaktorius kemudian menuju area
olfaktorius primer pada korteks sserebral, yaitu pada lobus temporalis bagian
inferior dan medial. Aktivasi pada area ini menyebabkan adanya kesadaran
pada odoran tertentu yang dihirup. Selain itu traktus tersebut menuju dua area
yaitu area olfaktorius medial dan area olfaktorius lateral. (Tortora. et al, 2009)
1. Rhinitis Alergica
a. Definisi
Penyakit inflamasi disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulang
dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986).
Kelainan pada hidung dengan gejala bersin, rinore, gatal,
tersumbat setelah mukosa terpapar alergen yang diperantarai IgE
(WHO-ARIA 2001).
b. Patofisiologi:
Terdiri dari 2 tahap:
Tahap sensitisasi
Reaksi alergi, terdiri dari 2 fase :
Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 24 jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan berlangsung
24-48 jam.
c. Macam-Macam Alergen
Berdasar cara masuknya, dibagi atas:
1) Alergen inhalan : debu rumah, tungau, kapuk
2) Alergen ingestan : udang, telur, ikan, coklat
minggu.
Persisten/ menetap: gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4
minggu.
Berdasar berat ringannya penyakit:
Ringan: bila tidak ditemukan gangguan tidur, aktivitas harian,
bersantai, olahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang menggangu.
Sedang-Berat: bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut.
e. Diagnosis:
Anamnesis:
bersin-bersin (> 5 kali/serangan)
rinore (ingus bening encer)
hidung tersumbat (menetap/berganti-ganti)
gatal di hidung, tenggorok, langit-langit atau telinga
mata gatal, berair atau kemerahan
hiposmia/anosmia
sekret belakang hidung/post nasal drip atau batuk kronik
adakah variasi diurnal
frekuensi serangan, beratnya penyakit, lama sakit (intermiten atau
persisten), usia timbulnya gejala,
pengaruh terhadap kualitas hidup : ggn. aktifitas dan tidur
Gejala penyakit penyerta : sakit kepala, nyeri wajah,sesak napas,
gejala radang tenggorok, mendengkur, penurunan konsentrasi,
kelelahan.
Pemeriksaan Fisik:
Anak-anak : Allergic shiner, Allergic Salute, Allergic Crease,
Allergic Facies
Rinoskopi anterior
point titration)
In vitro : IgE total, IgE spesifik
Sitologi hidung : eosinofil > 5 sel/LPB
DPL: eosinofil meningkat
Tes Provokasi
Radiologis (Foto SPN, CT-Scan, MRI): Tidak untuk diagnosis
rinitis alergi. Indikasi : Untuk mencari komplikasi, tidak ada respon
terhadap terapi, direncanakan tindakan operatif.
f. Tatalaksana
Penghindaran allergen (avoidance) dan eliminasi.
Medikamentosa/farmakoterapi.
Imunoterapi.
Pembedahan (jika perlu) untuk mengatasi komplikasi sinusitis dan
polip hidung.
(Soepardi et al, 2007)
2. Polip Hidung
a. Definisi
Polip hidung ialah massa yang lunak, berwarna putih kebiruan
yang terdapat di dalam rongga hidung. Polip berasal dari pembengkakan
mukosa hidung yang berisi banyak caira interseluler dan kemudian
terdorong ke rongga hidung oleh gaya berat. (Soepardi et al, 2007))
Polip dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus
paranasal dan seringkali bilateral. Secara makroskops polip terlihat
sebagai massa yang lunak berwarna putih ke abu-abuan. Secara
hidung
biasanya
terbentuk
sebagai
akibat
reaksi
tingkat
permulaan
ditemukan
edema
mukosa
yang
Hyperemia
Oedema
Infiltrasi sel-sel radang
Hyperaktivitas dari kelenjar-kelenjar
Terjadi exudasi, yang mula-mula serous, dengan bertambahnya
intensitas infeksi sekret menjadi purulent.
Walaupun demikian kadang-kadang terjadi resolusi sebelum terjadi
Pengobatan
Untuk menanggulangi sinusitis akuta, maka ada beberapa tindakan
pokok yangdiperlukan, antara lain:
a. Menanggulangi infeksi: pemberian antibiotika dengan dosis yang
adekuat (kalau bisa setelah dilakukan sensitivity test terhadap kuman
penyebab), agar dapat dipilihantibiotika yang paling tepat.
b. Penanggulangan terhadap perasaan nyeri:
1. Pemberian analgetika.
2. Pemanasan lokal, kompres air hangat, diathermi
dengan
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Rhinorrhoe atau post nasal dripping. Sekret bisa berupa purulent atau
b.
c.
mukoid.
Obstruksi nasi, baik ringan maupun berat.
Cephalgia, disebabkan oleh gangguan drainage sekret dari dalam sinus
kecavum nasi, atau adanya exacerbasi akut. Sakit kepala biasanya
dinyatakan sebagai perasaan berat pada kepala, atau perasaan berat
d.
konservatif
untuk
memperoleh
drainage
yang
Etiologi
Faktor alergi atau faktor vasomator instability, mungkin
merupakan faktor yang paling penting dalam perjalanan penyakit ini,
kemudian infeksi sekunder akibat dariobstruksi kronis pada ostia dan
poliposis. Bacteriologinya sama dengan simple chronicsinusitis.
Patologi
Gambaran patologi merupakan kombinasi dari perubahanperubahan yang kita lihat pada simple chronic sinusitis dan pada
keadaan allergi atau pada keadaan vasomator instability. Biasanya
berupa multi sinusitis atau bilateral pansinusitis. Keadaan ini berupa
perubahan-perubahan:
a. Oedema pada mukosa, disebabkan peninggian permeabilitas
kapiler dan terjadi penebalan mukosa.
b. Sering disertai pembentukan polip
c. Jumlah sel-sel eosinophil bertambah pada
sekret hidung,
b.
c.
mukoid ataumukopurulent.
Hyposmia atau anosmia.
Gejala-gejala yang berhubungan dengan alergi
Prinsip pengobatan
a. Menanggulangi keadaan allergi (lihat nasal allergy)
b. Mengobati infeksic.Operasi, simple dan radikal (akan dijelaskan
pada pembicaraan sinusitismasing-massing).
Prognosis
sinus
frontalis,
ke
regio
temporalis,
atau
ke
gigi
Palpasi,
fossa
canina
terasa
nyeri
pada
bagian
yang
sakit.Transilluminasi, terlihat gelap atau kabur pada sinus yang sakit (teknik
pemeriksaanakan dijelaskan).
Gambaran foto Ro, lebih dapat dipercaya dari pemeriksaan trans
illuminasi,terlihat kekaburan pada sinus yang sakit, kadang terlihat fluid
level, dan juga dapatmemberikan informasi tambahan mengenai keadaan
sinus yang lain.
Diagnosa banding
a. Absces yang berasal dari gigi atas.
b. Trigeminal neuralgia, cabang kedua dari n.V.
c. Tumor rahang atas, atau tumor sinus maxillaris.
Pengobatan lokal
Sesuai dengan prinsip penanggulangan sinusitis akuta yang telah
dibahas sebelumnya. Khusus untuk sinusitis maxillaris akuta kita tambahkan
pengobatan dengan pemanasan lokal pada sinus maxillaris dengan diathormi
gelombang pendek, U.K.G.sinar solux, sinar infra merah.Kalau fase akut
telah lewat dapat dilakukan pungsi sinus maxillaris dengan troicart, melalui
meatus nasi inferior, kemudian dilakukan pembilasan pada sinusdengan
larutan garam fisiologi steriel, atau dapat dibilas dengan larutan
antibiotika,misalnya aqua penicillin.
Pembilasan sinus ini dapat dilakukan beberapa kali sampaikeadaan
sinus menunjukkan perbaikan.
Sinusitis Maxillaris Akuta Dentogen
Di negara-negara yang telah maju jumlah sinusitis maxillaris
dentogen kurang lebih mencapai 10% dari semua kasus-kasus sinusitis. Di
Indonesia walaupun belum ada angka-angka yang pasti, tetapi menurut
pengalaman kami sehari-hari, kami mendapat kesan, bahwa angka-angka ini
lebih tinggi dari pada negara-negara yang telah maju; hal ini dapat
dimengerti karena penyakit-penyakit gigi di Indonesiaangkanya cukup
tinggi.
Keadaan gigi yang dapat menimbulkan sinusitis maxillaris dentogen
adalah sebagai berikut:
a.
Peri-apical absces dari premoler atau molar atas, ini dapat menyebabkan
suatu peradangan pada mukosa dasar sinus maxillaris, sehingga terjadi
efusi dan supurasi.Caries pada tulang atau processus alveolaris dapat
b.
oroantral fistula.
Periodental absces, dimulai dengan periodentitis akuta atau kronik
dengan akutexacerbasi, merupakan penyebab yang paling sering dari
sinusitis maxillaris dentogen.
Pengobatan
Pertama-tama kita harus berusaha menghilangkan penyebabnya dari
gigi yangdiduga sebagai sumber dari infeksi, kemudian penderita dikirim ke
bagian gigi untuk pencabutan gigi. Setelah gigi diadakan canering, kita
lakukan pungsi sinus, untuk pembilasan seperti yang telah dijelaskan pada
sinusitis maxillaris rhinogen. Kalau dengan pembilasan kurang berhasil kita
lakukan operasi antrostomi dengan sublabial approach (diterangkan pada
sinusitis kronika). Di samping tindakan ini kita dapat jugatambahkan
antibiotika per oral atau parenteral.
4. Sinusitis Maxillaris Kronika
Etiologi dan gambaran klinik dari sinusitis maxillaris kronika dan
akuta hampir sama, hanya berbeda dalam perlangsungannya yang menahun
dan gejala-gejala ataukeluhan nyeri amat minimal, bila dibandingkan
dengan sinusitis akuta.
Perbedaan yang jelas di antara sinusitis akuta dan kronika terletak
dalam penanggulangannya,
yakni
pada
sinusitis
akuta
biasanya
seluruhnya sehingga kalau tidak berhasil baik dengan cara ini, kita
dapatlakukan dengan cara yang lebih radikal, yakni sublabial antrostomi.
c. Sublabial antrostomi (Caldwell Luc Operation); cara ini sebaiknya kita
lakukan pada kasus-kasus dimana proses penyakit itu telah berlangsung
lama, dan telah terjadi perubahan-perubahan patologis pada mukosa
maupun pada periostium dari sinusmaxillaris, sehingga dengan cara
operasi antrostomi simplex, atau intra nasalantrostomi, tidak akan
terjamin
keberhasilannya.
Dengan
cara
sublabial
approach,
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam skenario dikatakan bahwa pasien didiagnosis menderita polip
hidung. Banyak teori yang menyebutkan bahwa faktor predisposisi polip adalah
rinitis alergi, tetapi penelitian mengemukakan banyak macam teori, sehingga
belum bisa dipastikan faktor predisposisi apa yang menyebabkan polip nasi
(Soepardi EA, et al, 2011)
Menurut teori Bernstein, polip disebabkan perubahan mukosa hidung akibat
adanya inflamasi atau turbulensi udara. Tempat utama tumbuhnya polip adalah di
kompleks osteomeatal khususnya di meatus media dan sinus ethmoid. Inflamasi
yang terlalu lama akan memicu reepitelisasi mukosa dan pembentukan kelenjar
baru. Selama itu pula, terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel
epitel dan berakibat retensi air sehingga terbentuklah polip (Soepardi EA, et al,
2011)
Pilek terus menerus disertai bersin apabila terpapar debu merupakan
beberapa gejala yang sering ditemukan pada penderita rinitis alergi. Pada rinitis
alergi, ingus yang dihasilkan encer dan banyak.
Bersin pada skenario merupakan mekanisme perlindungan terhadap saluran
pernapasan atas yang menyebabkan keluarnya udara dan sekret dari hidung secara
paksa sebagai respon terhadap bau yang iritatif. Terjadi respon antara saraf kranial
dan spinal saat terjadi bersin.
Pada skenario disebutkan pasien mengeluhkan tidak bisa menghidu.
Kelainan ini dapat disebabkan oleh adanya penghalang sampainya partikel bau ke
reseptor saraf dan kelainan pada n. Olfactorius. Kelainan ini dapat diklasifikasikan
menurut ringan berat hilangnya daya penghidu. Yang pertama adalah hiposmia
sering terjadi pada rinitis alergi, polip, maupun hipertrofi konka. Anosmia terjadi
jika terdapat trauma pada daerah frontal atau occipital, infeksi virus, dan proses
degenerasi pada orang tua. Parosmia disebabkan adanya trauma. Kakosmia terjadi
jika kelainan psikologik dan epilepsi. Pada pasien di skenario keluhannya adalah
hiposmia karena masih menghidu bau busuk yang berasal dari ingus dan
mulut/hidungnya.
Hidung terasa tersumbat disebabkan adanya hipertrofi konka nasalis dan
juga dapat disebabkan oleh tumbuhnya polip di dalam cavum nasi.
Pada skenario, pasien gigi gangren pada M1 kiri atas dan M2 kanan atas.
Pada foto kepala juga didapatkan air-fluid-level pada sinusitis maksillaris dekstra.
Sinus maksillaris berada dekat dengan rongga mulut sehingga infeksi dapat
dengan mudah terjadi. Pada rinosinusitis kronik yang berasal dari odontogen
biasanya didahului oleh penyakit periodontal, abses gigi, implan gigi atau
ekstraksi gigi yang melukai sinus maksillaris.
Letak sinus maxilla berada dekat dengan gigi rahang atas, yaitu processus
alveolaris sebagai dasar sinus. Sinus maxilla hanya terpisah oleh tulang tipis
dengan akar gigi, bahkan kadang tanpa tulang pembatas, sehingga infeksi pada
gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal
dapat dengan mudah menginfeksi sinus tersebut atau lewat pembuluh darah dan
limfe. Keadaan ini disebut sinusitis dentogen.
Disebutkan dalam skenario juga bahwa pasien mengalami gangguan gigi,
akan tetapi tidak pernah dibawa ke dokter gigi, melainkan hanya berkumur
dengan
air
garam dan
rendaman
garam merupakan
pulpa (Kartini, 2009). Proses terjadinya gangren pulpa diawali oleh proses karies.
Karies dentis adalah suatu penghancuran struktur gigi (email, dentin dan
cementum) oleh aktivitas sel jasad renik (mikro-organisme) dalam dental plak.
Jadi proses karies hanya dapat terbentuk apabila terdapat 4 faktor yang
saling tumpang tindih. Adapun faktor-faktor tersebut adalah bakteri, karbohidrat
makanan, kerentanan permukaan gigi serta waktu. Perjalanan gangrene pulpa
dimulai dengan adanya karies yang mengenai email (karies superfisialis), dimana
terdapat lubang dangkal, tidak lebih dari 1mm.
Selanjutnya proses berlanjut menjadi karies pada dentin (karies media) yang
disertai dengan rasa nyeri yang spontan pada saat pulpa terangsang oleh suhu
dingin atau makanan yang manis dan segera hilang jika rangsangan dihilangkan.
Karies dentin kemudian berlanjut menjadi karies pada pulpa yang
didiagnosa sebagai pulpitis. Pada pulpitis terdapat lubang lebih dari 1mm. Pada
pulpitis terjadi peradangan kamar pulpa yang berisi saraf, pembuluh darah, dan
pempuluh limfe, sehingga timbul rasa nyeri yang hebat, jika proses karies
berlanjut dan mencapai bagian yang lebih dalam (karies profunda).
Maka akan menyebabkan terjadinya gangren pulpa yang ditandai dengan
perubahan warna gigi terlihat berwarna kecoklatan atau keabu-abuan, dan pada
lubang perforasi tersebut tercium bau busuk akibat dari proses pembusukan dari
toksin kuman.
Foetor ex nasi berarti bau busuk dari dalam hidung. Dalam kepustakaan
disebut sebagai 'offensive odor ' , 'fetid odor' , 'stinkende afscheiding', 'a stench'
Menurut BOIES adanya foetor dalam hidung berarti terjadinya nekrosis daripada
mukosa dan adanya organisme saprofit. Dikatakan pula bahwa pus yang kronis
dan berbau dalam sinus maxillaris mungkin berasal dari gigi. Menurut BOYD,
nekrosis dapat disebabkan oleh: (1) kurangnya aliran darah (blood supply), (2)
toxin bakteri, dan (3) iritasi secara fisik maupun kimiawi. Dikatakan pula bahwa
sel-sel yang mati akan mengalami pembusukan oleh aksi organisme saprofit.
Bila penderita sendiri tidak dapat membau, berarti ia mengalami anosmia.
Bila orang lain tidak membau, berarti bau tersebut subyektif. Hal tersebut perlu
C1
3 beramifikasi
pada
ini.
Nukleus
tersebut.Rasa nyeri dimulai dengan adanya perangsangan pada reseptor nyeri oleh stimulus
nyeri. Stimulus nyeri dapat dibagi tiga yaitu mekanik, termal, dan kimia.
Mekanik, spasme otot merupakan penyebab nyeri yang umum karena dapa
tmengakibatkan terhentinya aliran darah ke jaringan (iskemia jaringan),
meningkatkan metabolisme di jaringan dan juga perangsangan langsung ke
reseptor nyeri sensitif mekanik.
Teori Neovaskular (trigeminovascular), adanya vasodilatasi akibat aktivitas
NOS dan produksi NO akan merangsang ujung saraf trigeminus pada pembuluh
darah sehingga melepaskan CGRP (calcitonin gene related). CGRP akan berikatan
pada
reseptornya
di
sel
mast
meningens
dan
akan
merangsang
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Nasus atau hidung secara umum terdiri dari 3 bagian, yaitu vestibulum nasi,
fossa nasalis, dan sinus paranasal.
2. Pilek terus menerus disertai bersin apabila terpapar debu
merupakan beberapa gejala yang sering ditemukan pada
penderita rinitis alergi. Pada rinitis alergi, ingus yang
dihasilkan encer dan banyak.
3. Sinus maksillaris berada dekat
sehingga
infeksi
dapat
dengan
dengan
mudah
rongga
terjadi.
mulut
Pada
DAFTAR PUSTAKA
Ballenger JJ. 1994. Aplikasi Klinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus
Paranasal. Dalam : Penyakit Telinga Hidung Telinga Tenggorok Kepala
dan leher. Edisi ke-13.Jakarta : Binarupa Aksara, hal :1-25.
Boies. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Penerbit EGC : Jakarta.
Damayanti R, Mulyono. Khasiat dan Manfaat Daun Sirih : Obat Mujarab dari
Masa ke Masa. Jakarta : Agro Media Pustaka; 2005.
Dhingra PL. 2007. Disease of Ear Nose and Throat. 4th Ed. New Delhi, India :
Elsevier. pp : 129-135; 145-148.
Ganong WF. Review of Medical Physiology. Ed ke-21. USA : McGraw-Hill. 2003
Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. Ed ke-11. Philadelphia :
Saunders Elseiver. 2006
Heilger PA, 1997. Hidung : Anatomi dan Fisiologi Terapan Dalam : Boies Buku
Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC,
hal : 173-189.
Jenie BS, Andarwulan N, Puspitasarti NL, Nuraida L. Antimicrobial Activity of
Piper betle Linn xtract Towards Foodborne Pathogens and Food Spoilage
Microorganisms. [cited 2007 September 13]. Available from: URL:
http://www.agnet.org/library/rh/2003004a/
Kennedy, David W, Hwang, Peter H. 2012. Rhinology: disease of the nose,
sinuses, and skull base. New York: Thieme Medical Publisher inc.
Kerr,
Lana AK, Elizabeth. 2012. Fisiologi Penghidu dan Pengecapan diakses tanggal
09
September
2012
pada
www.medicinesia.com/kedokterandassar/penginderaan-kedokteran-dasar/fisiologi-penghidu-dan-pengecapan/
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007. Sinusitis dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta : FK
UI, hal : 118-122.
available
in