Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN TUTORIAL BLOK KULIT

SKENARIO I

Psoriasis

OLEH:
KELOMPOK 18
Aryo Seno

(G0010030)

Annisa Pertiwi

(G0010024)

Chumaidah

(G0010044)

Nur Aini

Endang Susilowati N

(G0010072)

Firza Fatchya

(G0010082)

M. Maulana Shofri

(G0010116)

Maulidina Kurniawati

(G0010122)

Nurul Dwi Utami

(G0010144)

Rukmana Wijayanto

(G0010170)

Wahyu Aprillia

(G0010194)

Tutor :
dr. Suratno, Sp. S
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2012

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada skenario, seorang laki-laki, usia 50 tahun datang berobat ke
poliklinik RS. Dr. Moewardi dengan keluhan bercak merah bersisik tebal.
Pendertia juga mengeluh rasa sangat gatal sehingga selalu menggaruknya.
Keluhan ini muncul sejak 5 tahun yang lalu di daerah perbatasan kulit kepala
rambut, siku, lutut, dan perut. Penderita sudah sering berobat dan sembuh,
tetapi keluhan sering kambuh kembali. Keluhan kambuh pada keadaan
tertentu. Dari anamnesis, ayah penderita juga menderita penyakit serupa.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan ujud kelainan kulit berupa plakat
eritem, batasnya tegas dengan skuama tebal berlapis-lapis, berwarna seperti
mika, gambaran central healing(-). Oleh Dokter dijelaskan bahwa penyakit
tersebut disebabkan karena pergantian kulitnya dipercepat.
yOleh dokter akan dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang..
B. Tujuan
1. Mengetahui histologi dari kulit, kuku dan rambut serta organ asesorinya.
2. Mengetahui fungsi organ-organ kulit, kuku dan rambut serta organ
asesorinya.
3. Mengetahui patofisiologi, mekanisme, dan hubungan dari masing-masing
gejala pada skenario.
4. Mengetahui interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan penunjang.
5. Menentukan diagnosis banding penyakit pada skenario
6. Menentukan pemeriksaan lanjutan yang dibutuhkan dan terapi sesuai
diagnosis banding yang ditentukan.
C. Hipotesis
Dari hasil

awal

diduga

maksillaris dentogen.

pasien

mengalami

sinusitis

BAB II
STUDI PUSTAKA
A. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali
tentang anatomi hidung. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan
diingat kembali sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat
berlanjut menjadi suatu penyakit atau kelainan. (Soetjipto D & Wardani RS,
2007)
1. Anatomi hidung luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung
bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ;
struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah
tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago
yang sedikit dapat digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus
hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid
dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge),
2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip),4) ala nasi,5)
kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk
oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang
hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis
os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang
tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis
inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior
kartilago septum. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
2. Anatomi hidung dalam
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari
os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang
memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh
septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka

inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan


meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut
meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior.
(Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007; Hilger PA,1997)
Septum nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri.
Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian
anterior oleh kartilago septum (kuadrilateral), premaksila dan kolumela
membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila ,
Krista palatine serta krista sfenoid. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)
Cavum nasi
Cavum nasi terdiri dari:
a. Dasar hidung, dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila
dan prosesus horizontal os palatum. (Ballenger JJ,1994)
b. Atap hidung, terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os
nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os
sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa
yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas
septum nasi dan permukaan kranial konka superior. (Ballenger JJ,1994)
c. Dinding Lateral, dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os
maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang
merupakan

bagian

dari

os

etmoid,

konka

inferior,

lamina

perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial. (Ballenger


JJ,1994)
d. Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah
antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ;
celah antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di
sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang
didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka
suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis
os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada maksila bagian superior dan palatum. (Ballenger JJ,1994)

Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang
sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media.
Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior
melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas
belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat
resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid. (Ballenger
JJ,1994)
Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah
yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat
muara sinus maksila, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid.
Di balik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada
dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal
sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk
bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum
yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial
infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan
dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada
penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel
etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid
anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel
etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus
maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel
etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium
tersendiri di depan infundibulum. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL,
2007)
Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus,
mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara
3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril. (Ballenger JJ,1994 ;
Dhingra PL, 2007)
e. Nares

Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi


dengan nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan
kiri septum. Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina
horisontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh
prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus.
(Ballenger JJ,1994)
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang
terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris
merupakan sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk
piramid yang irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan
puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla.
(Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007 ; Hilger PA,1997)
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang
berisi udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus
alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian
inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk
oleh pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan melalui
ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi
sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel goblet (Sobol SE, 2007).
3. Kompleks ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid
anterior yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan
koronal sinus paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di
antara konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang
membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus
semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal. (Nizar NW, 2000 ;
Soetjipto D & Wardani RS,2007).
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum
karena sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke
celah sempit infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan
pada sinus frontal sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal
yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal

drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau ke


dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka media (Nizar NW,
2000).
Vaskularisasi hidung
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a.
etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika
dari a.karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan
dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a.palatina
mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama
n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior
konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang
cabang a.fasialis. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor
yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach
letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering
menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak.
(Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar
hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga
ke intracranial. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Innervasi hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris
dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang
berasal dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar
mendapat

persarafan

sensoris

dari

n.maksila

melalui

ganglion

sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan


sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk
mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari
n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor

dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion


sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior
konka media. (Soetjipto D & Wardani RS, 2007)
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung. (Dhingra PL, 2007 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007
3. Anatomi Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia
yang sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap
individu. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang
kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Ada empat pasang
(delapan) sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung ;
sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri (anterior dan
posterior), sinus maksila, yang terbesar, kanan dan kiri disebut Antrum
Highmore dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini
dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi
udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masingmasing. (Ballenger JJ,1994; Heilger PA, 1997; Mangunkusumo E.,
Soetjipto D. 2007)
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu
bagian anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah
konka media, pada atau di dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal,
sinus maksila, dan sel-sel anterior sinus etmoid. Kelompok posterior
bermuara di berbagai tempat di atas konka media terdiri dari sel-sel
posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis perlekatan konka media
pada dinding lateral hidung merupakan batas antara kedua kelompok.
Proctor berpendapat bahwa salah satu fungsi penting sinus paranasal
adalah sebagai sumber lender yang segar dan tak terkontaminasi yang
dialirkan ke mukosa hidung. (Ballenger JJ,1994)
Sinus maksila

Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal


yang terbesar. Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan
pembentukan sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat
lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan
cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat
dewasa. (Lund VJ,1997).
Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai
cekungan ektodermal yang terletak di bawah penonjolan konka inferior,
yang terlihat berupa celah kecil di sebelah medial orbita. Celah ini
kemudian akan berkembang menjadi tempat ostium sinus maksila yaitu di
meatus media. Dalam perkembangannya, celah ini akan lebih kea rah
lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4 mm, yang
merupakan rongga sinus maksila. Perluasan rongga tersebut akan berlanjut
setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm vertical, dan 3 mm
anteroposterior tiap tahun. Mula-mula dasarnya lebih tinggi dari pada
dasar rongga hidung dan pada usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini akan
turun, dan akan setinggi dasar hidung dan kemudian berlanjut meluas ke
bawah bersamaan dengan perluasan rongga. Perkembangan sinus ini akan
berhenti saat erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimum tercapai
antara usia 15 dan 18 tahun. (Ballenger JJ,1994; Mangunkusumo E.,
Soetjipto D. 2007)
Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya
menghadap ke fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus
zigomatikus os maksila. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os
maksila yang disebut fosa kanina,dinding posteriornya adalah permukaan
infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga
hidung. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis
os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka
inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding superiornya ialah dasar
orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum.
Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Menurut

Morris, pada buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila
pada bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20
x 19-20 mm. Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum di
meatus medius melalui lubang kecil, yaitu ostium maksila yang terdapat di
bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini biasanya terbentuk
dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar daripada
lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan
irigasi sinus. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila
adalah : 1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang
atas, yaitu premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang
juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut
tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi
premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan
dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya
tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi
ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe,
sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan
rongga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis. 2) sinusitis maksila dapat
menimbulkan komplikasi orbita. 3) Ostim sinus maksila lebih tinggi
letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak
silia, dan drainase harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum
adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang
atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan
selanjutnya menyebabkan sinusitis. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo
E., Soetjipto D. 2007)
Sinus frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan
ke emapat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel
infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada
usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20
tahun. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan seringkali


juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya,
kadang-kadang juga ada sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan
dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan
dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15%
orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5%
sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata sinus frontal : tinggi 3
cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml. Tidak adanya
gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto
rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh
tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga
infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal
berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang
berhubungan dengan infundibulum etmoid. (Mangunkusumo E., Soetjipto
D. 2007)
Sinus etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan
akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus
infeksi bagi sinus-sinus lainnya. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan,
berasal dari meatus superior dan suprema yang membentuk kelompok selsel etmoid anterior dan posterior. Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi
lahir kemudian berkembang sesuai dengan bertambahnya usia sampai
mencapai masa pubertas. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti
piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke
posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan
1,5 cm di bagian posterior, volume sinus kira-kira 14 ml. (Mangunkusumo
E., Soetjipto D. 2007)
Sinus etmoid berongga rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang
terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan
letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang

bermuara di meatus medius, dan sinus etmoid posterior yang bermuara di


meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang
sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal.
Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior
terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat bermuaranya ostium
sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat
menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat
menyebabkan sinusitis maksila. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan
lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat
tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang
sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sphenoid. (Mangunkusumo
E., Soetjipto D. 2007)
Sinus sfenoid
Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai
pasangan evaginasi mukosa di bagian posterior superior kavum nasi.
Perkembangannya berjalan lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi
mukosa ini belum tampak berhubungan dengan kartilago nasalis posterior
maupun os sfenoid. Sebelum anak berusia 3 tahun sinus sfenoid masih
kecil, namun telah berkembang sempurna pada usia 12 sampai 15 tahun.
Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran serta bentuknya
bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum
tulang yang tipis, yang letakya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu
sinus akan lebih besar daripada sisi lainnya. (Ballenger JJ,1994)
Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus
etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersfenoid. Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan
lebarnya 1,7 cm. Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus
berkembang, pembuluh darah dan nervus bagian lateral os sfenoid akan
menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai
indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah : sebelah
superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah

inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus


kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di
sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah
pons. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
B. Fisiologi Penghidu
Eksitasi Pada Sel Olfaktori
Reseptor penghidu terletak pada superior nostril, yaitu pada septum
superior pada struktur yang disebut membran olfaktori. Bagian dari saraf
penghidu yang berkaitan langsung dengan odoran, molekul penghidu yaitu
silia dari sel olfaktori. Sebelum dapat menempel dengan silia sel olfaktori,
odoran tersebut harus dapat larut dalam mukus yang melapisi silia tersebut.
Odoran yang hidrofilik dapat larut dalam mukus dan berikatan dengan
reseptor pada silia tersebut, yaitu pada protein reseptor pada membran silia
sel olfaktori. Pengikatan antara reseptor dengan odoran menyebabkan aktivasi
dari protein G, yang kemudian mengaktivasi enzim adenil siklase dan
mengaktifkan cAMP. Pengaktifan cAMP ini membuka kanal Na+ sehingga
terjadi influks natrium dan menyebabkan depolarisasi dari sel olfaktorius.
Depolarisasi ini kemudian meyebabkan potensial aksi pada saraf olfaktorius
dan ditransmisikan hingga sampai ke korteks serebri. (Lana, 2012)

Pada keadaan istirahat, resting potential dari sel olfaktori yaitu sebesar
-55mV. Sedangkan pada keadaan terdepolarisasi, membran potential sel
olfaktori yaitu sebesar -30mV. Graded potential dari sel olfaktori
menyebabkan potensial aksi pada sel mitral dan tufted yang terdapat pada
bulbus olfaktorius. (Guyton, 2006)
Pada membran mukus olfaktori, terdapat ujung saraf bebas dari saraf
trigeminus yang menimbulkan sinyal nyeri. Sinyal ini dirangsang oleh odoran
yang bersifat iritan seperti peppermint, menthol dan klorin. Perangsangan
ujung saraf bebas ini menyebabkan bersin, lakrimasi, inhibisi pernafasan dan
refleks respon lain terhadap iritan hidung. (Ganong, 2003)
Terdapat 3 syarat dari odoran tersebut supaya dapat merangsang sel
olfaktori, yaitu :

Besifat larut dalam udara, sehingga odoran tersebut dapat terhirup hidung.
Bersifat larut air/ hidrofilik, sehingga odoran tersebut dapat larut dalam

mukus dan berinteraksi dengan silia sel olfaktorius.


Bersifat larut lemak/lipofilik, sehingga odoran tersebut dapat berikatan
dengan reseptor silia sel olfaktorius.(Guyton, 2006)
Penghidu pada manusia dapat mendeteksi berbagai jenis odoran yang

berbeda, namun sulit untuk dapat membedakan intensitas odoran yang

bebeda. Untuk dapat membedakan intensitas tersebut, perlu terdapat


perbedaan konsentrasi odoran sebesar 30%. Kemampuan penghidu untuk
dapat membedakan berbagai odoran berbeda diperankan oleh glomerulus
yang terdapat pada bulbus olfaktorius. Terdapat sekitar 1000 dari protein
reseptor untuk odoran yang berbeda, yang masing-masing reseptor tersebut
terdapat pada satu sel olfaktori. Terdapat sekitar 2 juta sel olfaktori yang
masing-masingnya berproyeksi pada dua dari 1800 glomeruli. Hal ini
menyebabkan adanya proyeksi yang berbeda-beda untuk setiap odoran.
(Ganong, 2003)
Adaptasi
Sel olfaktori mengalami adaptasi yang cepat pada detik pertama, yaitu
sekitar 50% adaptasi terjadi. Sedangkan 50% sisanya terjadi dalam waktu
yang lambat. Adaptasi ini diperankan oleh sel-sel pada glomerulus di bulbus
olfaktorius dan SSP. Pada glomerulus, terdapat sel periglomerular dan sel
granul. Kedua sel tersebut berperan dalam inhibisi lateral yang dicetuskan
oleh sinyal pada sel mitral dan sel tufted. Sel mitral dan sel tufted yang
teraktivasi

kemudian

melepaskan

neurotransmitter

glutamat

dan

menyebabkan eksitasi sel granul. Sel granul tersebut kemudian melepaskan


GABA dan menginhibisi sel mitral dan sel tufted. Sel periglomerular dan sel
granul tersebut juga berespon terhadap feedback dari sel saraf pusat yang
menginhibisi sel olfaktorius, sehingga terjadi penekanan pada transmisi sinyal
yang menuju bulbus olfaktorius. Selain itu adaptasi ini juga diperankan oleh

aktivasi ion

2+

Ca

melalui kanal ion CNG (cyclic nucleotide-gated) yang

mengkativasi kalmodulin. Ion

2+

Ca

ini menyebabkan adaptasi dari

mekanisme transduksi dan penurunan respons terhadap stimulus. Sedangkan,


adaptasi yang diperankan oleh sistem saraf pusat memiliki peran yang lebih
besar dibandingkan adaptasi pada glomerulus. (Marieb & Hoen, 2012)

Jaras Olfaktorius
Sinyal pada sel mitral dan sel tufted pada bulbus olfaktorius menjalar
menuju traktus olfaktorius. Traktus olfaktorius kemudian menuju area
olfaktorius primer pada korteks sserebral, yaitu pada lobus temporalis bagian
inferior dan medial. Aktivasi pada area ini menyebabkan adanya kesadaran
pada odoran tertentu yang dihirup. Selain itu traktus tersebut menuju dua area
yaitu area olfaktorius medial dan area olfaktorius lateral. (Tortora. et al, 2009)

1. Area olfaktorius medial


Area ini terdiri atass sekumpulan nukleus yang terletak pada anterior
dari hipotalamus. Nukleus pada area ini merupakan nukleus septal yang
kemudian berproyeksi ke hipotalamus dan sistem limbik. Area ini berperan
dalam ekspresi respon primitif terhadap penghidu seperti salivasi.
2. Area olfaktorius lateral
Area ini terdiri atas korteks prepiriformis dan nukleus amygdala
bagian korteks. Dari area ini, sinyal diteruskan ke sistem limbik dan
hipokampus. Proyeksi tersebut berperan dalam pembelajaran terhadap
respon dari odoran tertentu seperti respon mual atau muntah terhadap
odoran yang tidak disukai.
Jaras pada kedua area tersebut tidak melewati talamus, seperti jaras
pada saraf sensori lainnya. Namun tedapat 1 jaras olfaktori yang melewati
talamus, yaitu nukleus talamus dorsomedial, dan bersinaps di korteks
orbitofrontal kuadran lateroposterior. Jaras ini berperan pada analisis sadar
dari odoran tertentu. (Guyton, 2006)
Mekanisme Bersin
Bersin adalah refleks pernapasan terkoordinasi pelindung yang terjadi
akibat rangsangan pada saluran pernapasan bagian atas, terutama rongga
hidung. Meskipun menjadi fenomena umum yang diderita seluruh dunia,
sedikit yang diketahui tentang tindakan refleks, yang kadang-kadang

merupakan tanda yang berhubungan dengan berbagai kondisi medis. Refleks


bersin sering menyertai rhinitis alergi atau asal nonallergik. Bersin juga dapat
timbul karena cahaya terang atau (Achoo sindrom) matahari, stimulan fisik
dari saraf trigeminal, psikogenik atau patologi sistem saraf pusat dan bahkan
karena perut kenyang (snatiation refleks). (Songul et al, 2010)
Patofisiologi Bersin
Refleks bersin dapat dibagi menjadi dua tahap. Yang pertama adalah
fase hidung atau sensitif, mengikuti stimulasi mukosa hidung oleh kimia atau
iritasi fisik. Banyak cabang distal saraf trigeminal mengakhiri dalam kulit
wajah yang mentransmisi taktil, rasa sakit dan sensasi temperatur, sementara
beberapa cabang mendistribusikannya di epitel mukosa hidung. Cabang
myelin ini adalah serat sensorik dengan diameter kecil, yang mberakhir
dengan ujung reseptor. Beberapa reseptor ini dipicu oleh rangsangan kimia
sementara yang lain sensitif terhadap rangsangan taktil dan mekanik.
Rangsangan saraf afferent ditransmisikan ke ganglion trigeminal melalui
anterior ethmoidal, hidung posterior, infraorbital dan cabang oftalmik dari
saraf trigeminal. Melalui ganglion trigeminal rangsangan mencapai pusat
bersin di medula lateral. Setelah mencapai ambang batas, fase kedua - fase
eferen atau pernafasan - dimulai setelah sejumlah kritis neuron inspirasi dan
ekspirasi telah direkrut. Ini terdiri dari penutupan mata, inspirasi yang
mendalam, dan kemudian ekspirasi paksa dengan penutupan awal glotis, dan
tekanan intrapulmonal meningkat. Dilatasi tiba-tiba glotis menimbulkan
ledakan jalan keluar dari udara melalui mulut dan hidung, mencuci kotoran
dan iritasi mukosa.
Saraf trigeminal penting untuk penyediaan nociceptive sensory dari
mukosa hidung di samping wajah, mukosa mulut, kornea dan konjungtiva.
Gatal dan bersin yang dihasilkan oleh aktivasi trigeminal terminal saraf
afferent di mukosa hidung. Serabut saraf nociceptive ini terutama terdiri dari
dua jenis serat: A-serat tipis yang memediasi persepsi akut dengan adaptasi
cepat dan aktivasi hanya selama iritasi aktual dan C-serat nonmyelinated yang

beradaptasi perlahan dan berkomunikasi dull burning, sulit untuk menemukan


persepsi, yang hidup lebih lama dari nyeri akut. Pada rhinitis alergi,
peradangan hasil imunologis dipicu dalam perekrutan dan aktivasi dari kedua
jenis serat yang menghasilkan gatal dan bersin. Jumlah partikel dikeluarkan
selama bersin kuat, yang ukuran berkisar dari 0,5 sampai 5 mm, diperkirakan
40.000. Estimasi mengenai kecepatan dari berbagai bersin antara 150 km/ jam
dan 1.045 km/ jam (hampir 85% dari kecepatan suara). (Songul et al, 2010)
C. Histologi
1. Vestibulum Nasi
Epitel : lanjutan epitel kulit yang dihilangkan sifat tanduknya
(berlapis pipih tanpa kornifikasi), mengandung rambut-rambut kasar
disebut vibrissae, kelenjar keringat, dan kelenjar lemak.
2. Fosa Nasalis
Ruang kavernosa yang dipisahkan oleh tulang septum nasi. Pada
dinding lateral terdapat 3 tonjolan yang disebut concha nasalis superior,
medial, dan inferior. Epitelnya berderet silindris bersilia dengan banyak sel
goblet, kecuali pada concha superior diliputi epitel olfaktorik khusus,
sebagai reseptor pembau. Lamina propria banyak mengandung plexus
vena dan kelenjar seromukos. Eosinofil, makrofag, dan sel plasma sering
terdapat pada lapisan ini. Infiltrasi limfosit juga sering terjadi. Lamina
submukosa tidak jelas batasnya, pada lapisan yang lebih dalam lamina
propria mengadakan fusi dengan periosteum.
3. Sinus Paranasalis
Sinus paranasal merupakan ruangan-ruangan disekitar rongga
hidung yang dindingnya diperkuat oleh tulang-tulang tengkorank. Mereka
terdiri dari sinus frontalis, sinus sfenoidalis, maksilaris, dan etmoidalis.
Epitelnya sama dengan daerah respiratorik rongga hidung, tetapi selselnya lebih rendah dan lebih sedikit sel goblet. Membrane basal di
sebagian besar tidak ditemukan. Kelenjar di lamina propria lebih sedikit
dan kecil-kecil, plexus vena tidak ditemukan.
(Muthmainah dkk, 2011)
D. Diagnosis Banding

1. Rhinitis Alergica
a. Definisi
Penyakit inflamasi disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulang
dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986).
Kelainan pada hidung dengan gejala bersin, rinore, gatal,
tersumbat setelah mukosa terpapar alergen yang diperantarai IgE
(WHO-ARIA 2001).
b. Patofisiologi:
Terdiri dari 2 tahap:

Tahap sensitisasi
Reaksi alergi, terdiri dari 2 fase :

Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) sejak kontak alergen


sampai 1 jam setelahnya.

Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 24 jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan berlangsung
24-48 jam.

c. Macam-Macam Alergen
Berdasar cara masuknya, dibagi atas:
1) Alergen inhalan : debu rumah, tungau, kapuk
2) Alergen ingestan : udang, telur, ikan, coklat

3) Alergen injektan : penisilin, sengatan lebah


4) Alergen kontaktan : bahan kosmetik, perhiasan
Faktor non-spesifik : asap rokok, bau yang merangsang, polutan, bau
parfum, bau deodoran, perubahan cuaca, kelembaban tinggi.
d. Klasifikasi Rinitis Alergi
Berdasar sifat berlangsungnya:
Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever)
Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Berdasar rekomendasi WHO Initiative ARIA:
Intermiten: gejala kurang dari 4 hari/ minggu atau kurang dari 4

minggu.
Persisten/ menetap: gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4

minggu.
Berdasar berat ringannya penyakit:
Ringan: bila tidak ditemukan gangguan tidur, aktivitas harian,
bersantai, olahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang menggangu.
Sedang-Berat: bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut.
e. Diagnosis:
Anamnesis:
bersin-bersin (> 5 kali/serangan)
rinore (ingus bening encer)
hidung tersumbat (menetap/berganti-ganti)
gatal di hidung, tenggorok, langit-langit atau telinga
mata gatal, berair atau kemerahan
hiposmia/anosmia
sekret belakang hidung/post nasal drip atau batuk kronik
adakah variasi diurnal
frekuensi serangan, beratnya penyakit, lama sakit (intermiten atau
persisten), usia timbulnya gejala,
pengaruh terhadap kualitas hidup : ggn. aktifitas dan tidur
Gejala penyakit penyerta : sakit kepala, nyeri wajah,sesak napas,
gejala radang tenggorok, mendengkur, penurunan konsentrasi,

kelelahan.
Pemeriksaan Fisik:
Anak-anak : Allergic shiner, Allergic Salute, Allergic Crease,
Allergic Facies
Rinoskopi anterior

o Mukosa edema, basah, pucat-kebiruan disertai adanya sekret yang


banyak, bening dan encer
o hipertrofi
Nasoendoskopi kelainan yang tidak terlihat di rinoskopi anterior
Cari kemungkinan komplikasi: sinusitis, polip, otitis media
Geographic tongue ( alergi makanan )
Cobble stone appearance
Penebalan lateral pharyngeal bands ( PND )
Tanda dermatitis atopi.
Pemeriksaan Penunjang:
In vivo:
Tes kulit: Tes cukit/tusuk (Prick test), Intradermal, SET (skin end

point titration)
In vitro : IgE total, IgE spesifik
Sitologi hidung : eosinofil > 5 sel/LPB
DPL: eosinofil meningkat
Tes Provokasi
Radiologis (Foto SPN, CT-Scan, MRI): Tidak untuk diagnosis
rinitis alergi. Indikasi : Untuk mencari komplikasi, tidak ada respon
terhadap terapi, direncanakan tindakan operatif.

f. Tatalaksana
Penghindaran allergen (avoidance) dan eliminasi.
Medikamentosa/farmakoterapi.
Imunoterapi.
Pembedahan (jika perlu) untuk mengatasi komplikasi sinusitis dan
polip hidung.
(Soepardi et al, 2007)
2. Polip Hidung
a. Definisi
Polip hidung ialah massa yang lunak, berwarna putih kebiruan
yang terdapat di dalam rongga hidung. Polip berasal dari pembengkakan
mukosa hidung yang berisi banyak caira interseluler dan kemudian
terdorong ke rongga hidung oleh gaya berat. (Soepardi et al, 2007))
Polip dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus
paranasal dan seringkali bilateral. Secara makroskops polip terlihat
sebagai massa yang lunak berwarna putih ke abu-abuan. Secara

mikroskopik tampak submukosa hipertrofi dan sembab. Sel tidak


bertambah banyak dan terutama terdiri dari sel eosinofil, limfosit dan sel
plasma.(Soepardi et al, 2007)
b. Etiologi
Polip

hidung

biasanya

terbentuk

sebagai

akibat

reaksi

hipersensitivitas atau reaksi alergi pada mukosa hidung. Polip biasanya


ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak-anak. Pada anak
polip mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis.(Soepardi et al,
2007)
c. Patogenesis
Pada

tingkat

permulaan

ditemukan

edema

mukosa

yang

kebanyakan ditemukan di daerah meatus medius. Kemudian stroma akan


terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi
polipoid. Bila proses terus berlanjut mukosa yang sembab makin
membesar dan kemudian akan turun ke dalam rongga hidung sambil
membentuk tangkai sehingga terbentuk polip. (Soepardi et al, 2007)
d. Manifestasi Klinis
Sumbatan hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat
dan rinorea. Dapat terjadi hiposmia atau anosmia. Bila menyumbat
ostium, dapat terjadi sinusitis dengan ingu purulen. Karena disebabkan
alergi gejala utama adalah bersin dan iritassi di hidung.
Pada pemeriksaan klinis tampak masa putih ke abu-abuan atau
kuning kemerahan dalam kavum nasi. Polip bertangkai sehingga mudah
digerakkan, konsistensinya lunak, tidak nyeri bila ditekan, tidak mudah
berdarah dan tidak mengecil pada pemakaian vasokonstriktor. (Mansjoer
et al, 2005)
e. Penatalaksanaan
Bila polip masih kecil dapat diobati secara konservatif dengan
kortikosteroid sistemik atau oral. Bila sudah besar dilakukan ekstrasi
polip dengan senar. Bila berulang-ulang dapat dirujuk untuk operasi.

Pengobatan juga perlu ditujukan pada penyebabnya dengan misalnya


menghindari alergen penyebab
3. Sinusitis
a. Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
(Mangunkusumo et al, 2007). Sinusitis merupakan penyakit yang tak
jarang kita temukan di bidang THT. Hal ini dapat dimengerti dengan
mengingat, bahwa mukosa sinus paranasalis merupakan lanjutan dari
mukosa cavum nasi dan bentuk histologi sama; maka setiap rhinitis
mempunyai potensi terjadi sinusitis, tetapi bila kelancaran drainage dari
ostia sinus paranasalis tidak terganggu, maka tidak akan memberikan
gejala-gejala klinik sinusitis.
Sinusitis dapat terjadi hanya terbatas pada satu sinus atau beberapa
sinus(multisinusitis) atau pada semua sinus paranasalis baik pada satu sisi
maupun keduasisi (pansinusitis unilateral atau bilateral).
b. Klasifikasi Sinusitis
Menurut perlangsungannya, sinusitis dapat kita bedakan dalam dua
macam,yakni sinusitis akuta dan sinusitis kronika.
1) Sinusitis Akuta
Etiologi:
a. Rhinitis ekuta, penyebarannya secara langsung melalui sistem
limfatik pada submukosa. Penyebaran langsung dapat dipermudah
dengan bersin-bersin atau pada waktu membuang ingus dengan
menutup kedua hidung.
b. Berenang dan menyelam dapat juga mempermudah penyebaran
langsung melalui ostia ke dalam sinus paranasalis.
c. Pencabutan gigi atau infeksi pada gigi, dapat pula menyebabkan
infeksi ini masuk ke dalam sinus maxillaris (lihat hubungan anatomi
sinus maxillaris dan gigi atas).
d. Maxillo-facial trauma, infeksi dapat masuk secara langsung melalui
garis fraktur,atau melalui bekuan darah yang terkumpul dalam sinus.

e. Barotrauma atau aerosinusitis dapat terjadi selama penerbangan,


karena perubahantekanan yang tiba-tiba (sama halnya dengan aerootitis).
f. Corpus allienum nasi, terutama pada anak-anak dapat terjadi pada
infeksi sekunder ke dalam sinus.
Faktor predisposisi
a. Lokal:
1) Obstruksi nasi dari sebab apa saja, misalnya polip hidung, rhinitis
allergika,vasomator instability dan septum deviasi.
2) Infeksi di sekitar hidung, misalnya tonsilitis, adenoiditis.
3) Sebelumnya pernah mendapat sinusitis yang sama.
b. Umum:
1) Keadaan alergi
2) Kedinginan
3) Keletihan yang berlebihan
4) Malnutrisi, penyakit-penyakit kronis
5) Keadaan atmosfir yang ekstrim.
Bacteriologi
Mikroorganisme yang paling sering menurut urutan sebagai
penyebab dari sinusitis adalah pneumococcus, staphylococcus, N.
influenza, Fridlanders bacillus, Escheria colli dan anaerobic streptococci
sebagai penyebab dari sinusitis maxillaris dentogen.
Patologi
Perubahan-perubahan peradangan pada mukosa hidung pada sinusitis
adalah sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.

Hyperemia
Oedema
Infiltrasi sel-sel radang
Hyperaktivitas dari kelenjar-kelenjar
Terjadi exudasi, yang mula-mula serous, dengan bertambahnya
intensitas infeksi sekret menjadi purulent.
Walaupun demikian kadang-kadang terjadi resolusi sebelum terjadi

supurasi, sebaliknya sebagian proses infeksi berlangsung terus sampai


menjadi kronis.
Gambaran Klinik

Bergantung pada intensitas peradangan efisiensi dari drainage ostia


sinus paranasalis:
1) Perasaan nyeri pada sinus yang bersangkutan, baik berupa menusuknusuk ataudull pain, terutama bila kepala ditundukkan atau waktu
batuk.
2) Rhinorrhoe atau post nasal dripping, sekret ini bersifat kental atau
mukopus dan kadang- kadang disertai sedikit darah (blood stained).
3) Obstruksi nasi, disebabkan adanya oedema pada mukosa terutama
conchae media,atau karena penimbunan sekret yang kental.
4) Cephalgia (sifatnya akan diterangkan pada masing-masing sinusitis).
5) Oedema dan hyperemia pada dinding depan dari sinus bersangkutan,
terutama padaanak-anak (gejala ini jarang terlihat).
6) Gejala-gejala umum: Subfebril, malaise, nausea dan kadang-kadang
mentaldepresi
Diagnosa Banding

Perasaan nyeri yang bersumber dari gigi


Migraine
Tregeminal neuralgia
Neoplasma pada sinus paranasalis
Erisipelas
Gigitan serangga

Pengobatan
Untuk menanggulangi sinusitis akuta, maka ada beberapa tindakan
pokok yangdiperlukan, antara lain:
a. Menanggulangi infeksi: pemberian antibiotika dengan dosis yang
adekuat (kalau bisa setelah dilakukan sensitivity test terhadap kuman
penyebab), agar dapat dipilihantibiotika yang paling tepat.
b. Penanggulangan terhadap perasaan nyeri:
1. Pemberian analgetika.
2. Pemanasan lokal, kompres air hangat, diathermi

dengan

sinar gelombang pendek, dapat mempercepat resolusi peradangan.


c. Memperbaiki drainage: tindakan ini merupakan pengobatan kausal yang
amat penting, karena berat ringannya sinusitis terutama dipengaruhi
oleh faktor lancar tidaknya drainage, atau ada tidaknya obstruksi pada
ostium/ostia sinus paranasalis.

Tindakan ini dapat dimulai dengan pemberian:


1. Larutan decongestan, misalnya - 1% HCl. Ephedrin: dipakai
sebagai obat tetes atau sebagai spray.
2. Lakukan infraksi pada conchae media untuk memperlebar meatus
nasimedia.d.Pemberian sedativa, agar penderita dapat istirahat
dengan baik.
2) Sinusitis Kronika
Hubungan rhinitis allergika dan rhinitis vasomatorika atau
vasomator instability dengan sinusitis kronika sedemikian seringnya,
yang mungkin mencakup2/3 dari kasus-kasus sinusitis kronika
merupakan kronik allergic rhino-sinusitis atauchronic vasomator rhinosinusitis (Simpson dan Robin); sebagai faktor utama, atau malahan
sebagai satu-satunya faktor penyebab. Penting untuk mengetahui hal
ini,karena dalam pengobatannya atau hasil pengobatannya akan lebih
berhasil kalau kitaselalu ingat faktor tersebut di atas. Atas dasar ini
Simpson, Robin Ballantine dan Groves dalam bukunya Asynopsis of
Otolaryngology membagi sinusitis kronika menjadi dua :
a) Simple chronic infective sinusitis
Pada type ini tidak terdapat allergi atau vasomator instability.
Etiologi
Setelah satu serangan atau serangan berulang-ulang dari sinusitis
akuta.
Patologi
a.

Oedema, berkisar dari sedikit penebalan dari mukosa sinus

b.
c.

sampai pembentukan polip.


Infiltrasi sel-sel radang kronik.
Fibrosis, pada stroma submukosa terutama pada bagian yang

d.
e.
f.
g.

mengalami peradangan infeksi akut.


Multipel mikro abses, pada mukosa yang menebal.
Sering terjadi metaplasia epithel dan hypertrofi kelenjar-kelenjar.
Pembentukan kiste, sebagai akibat dari tekanan jaringan.
Ulcerasi dari epithel, mengakibatkan pembentukan jaringan
granulasi.
Bakteriologi

Biasanya campuran dari berbagai macam bakteri, streptococci


termasuk yang anaerobic, pneumococci, B. proteus, B. pyocyanae,
Esch. coli.
Gambaran klinik
a.

Rhinorrhoe atau post nasal dripping. Sekret bisa berupa purulent atau

b.
c.

mukoid.
Obstruksi nasi, baik ringan maupun berat.
Cephalgia, disebabkan oleh gangguan drainage sekret dari dalam sinus
kecavum nasi, atau adanya exacerbasi akut. Sakit kepala biasanya
dinyatakan sebagai perasaan berat pada kepala, atau perasaan berat

d.

pada daerah sinus yang bersangkutan.


Hyposmia atau anosmia temporer, kadang-kadang terdapat cacosmia,
terutama pada sinusitis maxillaris dentogen umum biasanya ringan,
berupa malaise, anorexia, mental apathy, batuk-batuk kronik, karena
post nasal dripping menyebabkan irritasi yang terus menerus pada
pharynx dan larynx, yang amat resistent terhadap pengobatan (bila
tidak diingat fokus primer). Kadang-kadang terdapat gangguan
pendengaran, karena oklusio tubae.
Prinsip Pengobatan
Dasarnya adalah sama dengan pengobatan sinusitis akuta,
bertujuan memperbaiki drainage, tetapi kalau tindakan-tindakan
konservatif seperti pada sinusitisakuta tidak berhasil, kita akan
melangkah pada tindakan operatif, baik yang amatsederhana maupun
yang lebih kompleks atau radikal.
Misalnya yang paling sederhana kita lakukan, infraksi, yakni
mengadakan luksatio pada conchae media untuk memperlebar meatus
nasi media. Fungsi sinusdengan troicart, untuk mengadakan
pembilasan pada sinus.
Operasi

konservatif

untuk

memperoleh

drainage

yang

temporer atau permanent, operasi-operasi radikal (dibicarakan pada


pengobatan sinusitis masing-masing).
b) Mixed infective and vasomator chronic allergic sinusitis

Etiologi
Faktor alergi atau faktor vasomator instability, mungkin
merupakan faktor yang paling penting dalam perjalanan penyakit ini,
kemudian infeksi sekunder akibat dariobstruksi kronis pada ostia dan
poliposis. Bacteriologinya sama dengan simple chronicsinusitis.
Patologi
Gambaran patologi merupakan kombinasi dari perubahanperubahan yang kita lihat pada simple chronic sinusitis dan pada
keadaan allergi atau pada keadaan vasomator instability. Biasanya
berupa multi sinusitis atau bilateral pansinusitis. Keadaan ini berupa
perubahan-perubahan:
a. Oedema pada mukosa, disebabkan peninggian permeabilitas
kapiler dan terjadi penebalan mukosa.
b. Sering disertai pembentukan polip
c. Jumlah sel-sel eosinophil bertambah pada

sekret hidung,

bersamaan dengan sel-sel polymorphonuclear karena ada infeksi


sekunder.
d. Pembentukan kiste palsu (kadang-kadang), karena distensi dari
ruangani ntracelluler di dalam submukosa (cyste polypus)
Gambaran klinik
Biasanya cenderung menghinggapi beberapa sinus atau bilateral
pansinusitis, tetapi biasanya gejala-gejala dari sinusitis maxillaris dan
sinusitis ethmoidalis yangmenonjol.
a.

Rhirorrhoe dan post nasal discharge, sekret dapat bersifat encer,

b.
c.

mukoid ataumukopurulent.
Hyposmia atau anosmia.
Gejala-gejala yang berhubungan dengan alergi
Prinsip pengobatan
a. Menanggulangi keadaan allergi (lihat nasal allergy)
b. Mengobati infeksic.Operasi, simple dan radikal (akan dijelaskan
pada pembicaraan sinusitismasing-massing).
Prognosis

Pengobatan atau tindakan-tindakan operatif kadang-kadang


tidak begitu memuaskan, karena faktor allergi sukar dihilangkan.
3. Sinusitis Maxillaris Akuta
Sinusitis maxillaris merupakan sinusitis yang paling sering ditemukan
di antara sinusitis lainnya. Menurut asalnya, sinusitis maxillaris dapat kita
bagi atas dua jenis, yakni:
a. rhinogen
b. dentogen.
Gambaran Klinik
Perasaan sakit pada pipi (fossa canina), biasanya perasaan sakit ini
diproyeksike

sinus

frontalis,

ke

regio

temporalis,

atau

ke

gigi

atas.Rhinorrhoe, post nasal dripping, dengan sekret kental atau mukorus.


Oedema pada pipi (fossa canina), gejala ini jarang terlihat.Pada pemeriksaan
dengan rhinoskopia anterior akan terlihat sekret pada meatusnasi media, dan
hyperemia pada conchae media
Untuk menguatkan apakah sekret itu berasal dari sinus maxillaris,
kita lakukan Posture Test, dengan pertama-tama membersihkan sekret
yang terdapat di meatusnasi media dengan kapas, kemudian penderita
disuruh membungkukkan badan sambilmemiringkan kepala sedemikian
rupa sehingga bagian sinus yang sakit berada di atas,dengan demikian
terjadi evacuasi dari isi sinus maxillaris dan akan keluar melalui ostium
sinus maxillaris yang berada di meatus nasi media. Pada pemeriksaan
ulangansekret ini akan terlihat lagi di meatus nasi media, bile sekret
memang berasal dari sinusmaxillaris (syarat ostium sinus maxillaris cukup
terbuka).

Palpasi,

fossa

canina

terasa

nyeri

pada

bagian

yang

sakit.Transilluminasi, terlihat gelap atau kabur pada sinus yang sakit (teknik
pemeriksaanakan dijelaskan).
Gambaran foto Ro, lebih dapat dipercaya dari pemeriksaan trans
illuminasi,terlihat kekaburan pada sinus yang sakit, kadang terlihat fluid
level, dan juga dapatmemberikan informasi tambahan mengenai keadaan
sinus yang lain.

Diagnosa banding
a. Absces yang berasal dari gigi atas.
b. Trigeminal neuralgia, cabang kedua dari n.V.
c. Tumor rahang atas, atau tumor sinus maxillaris.
Pengobatan lokal
Sesuai dengan prinsip penanggulangan sinusitis akuta yang telah
dibahas sebelumnya. Khusus untuk sinusitis maxillaris akuta kita tambahkan
pengobatan dengan pemanasan lokal pada sinus maxillaris dengan diathormi
gelombang pendek, U.K.G.sinar solux, sinar infra merah.Kalau fase akut
telah lewat dapat dilakukan pungsi sinus maxillaris dengan troicart, melalui
meatus nasi inferior, kemudian dilakukan pembilasan pada sinusdengan
larutan garam fisiologi steriel, atau dapat dibilas dengan larutan
antibiotika,misalnya aqua penicillin.
Pembilasan sinus ini dapat dilakukan beberapa kali sampaikeadaan
sinus menunjukkan perbaikan.
Sinusitis Maxillaris Akuta Dentogen
Di negara-negara yang telah maju jumlah sinusitis maxillaris
dentogen kurang lebih mencapai 10% dari semua kasus-kasus sinusitis. Di
Indonesia walaupun belum ada angka-angka yang pasti, tetapi menurut
pengalaman kami sehari-hari, kami mendapat kesan, bahwa angka-angka ini
lebih tinggi dari pada negara-negara yang telah maju; hal ini dapat
dimengerti karena penyakit-penyakit gigi di Indonesiaangkanya cukup
tinggi.
Keadaan gigi yang dapat menimbulkan sinusitis maxillaris dentogen
adalah sebagai berikut:
a.

Peri-apical absces dari premoler atau molar atas, ini dapat menyebabkan
suatu peradangan pada mukosa dasar sinus maxillaris, sehingga terjadi
efusi dan supurasi.Caries pada tulang atau processus alveolaris dapat

b.

menyebabkan hubungan langsungantara absces dengan rongga sinus.


Setelah extraksi gigi premolar atau molar atas. Kadang-kadang tulang di
antarasocket dan sinus amat tipis, sehingga dalam pencabutan gigi, akar

gigi kadang-kadangdapat terdorong atau tertinggal dalam sinus; terjadi


c.

oroantral fistula.
Periodental absces, dimulai dengan periodentitis akuta atau kronik
dengan akutexacerbasi, merupakan penyebab yang paling sering dari
sinusitis maxillaris dentogen.
Pengobatan
Pertama-tama kita harus berusaha menghilangkan penyebabnya dari
gigi yangdiduga sebagai sumber dari infeksi, kemudian penderita dikirim ke
bagian gigi untuk pencabutan gigi. Setelah gigi diadakan canering, kita
lakukan pungsi sinus, untuk pembilasan seperti yang telah dijelaskan pada
sinusitis maxillaris rhinogen. Kalau dengan pembilasan kurang berhasil kita
lakukan operasi antrostomi dengan sublabial approach (diterangkan pada
sinusitis kronika). Di samping tindakan ini kita dapat jugatambahkan
antibiotika per oral atau parenteral.
4. Sinusitis Maxillaris Kronika
Etiologi dan gambaran klinik dari sinusitis maxillaris kronika dan
akuta hampir sama, hanya berbeda dalam perlangsungannya yang menahun
dan gejala-gejala ataukeluhan nyeri amat minimal, bila dibandingkan
dengan sinusitis akuta.
Perbedaan yang jelas di antara sinusitis akuta dan kronika terletak
dalam penanggulangannya,

yakni

pada

sinusitis

akuta

biasanya

pengobatannya bersifat konservatif, sedangkan pada sinuitis maxillaris


kronika cara penanggulangannya biasanya operatif.
Penanggulangannya berturut-turut sebagai berikut:
a. Pertama-tama dicoba dengan jalan irigasi atau pembilasan sinus
dilakukan beberapa kali, kalau tindakan ini ternyata tidak berhasil, maka
kita meningkat padatindakan intranasal antrostomi
b. Intranasal antrostomi, dibuat suatu jendela pada dinding naso antral pada
meatusnasi inferior, dari jendela ini kita mengadakan kuretage pada sinus
atau pembersihan jaringan patologis dari dalam sinus.Kesukaran pada
teknik ini adalah lapangan operasi sempit dan rongga sinussukar tercapai

seluruhnya sehingga kalau tidak berhasil baik dengan cara ini, kita
dapatlakukan dengan cara yang lebih radikal, yakni sublabial antrostomi.
c. Sublabial antrostomi (Caldwell Luc Operation); cara ini sebaiknya kita
lakukan pada kasus-kasus dimana proses penyakit itu telah berlangsung
lama, dan telah terjadi perubahan-perubahan patologis pada mukosa
maupun pada periostium dari sinusmaxillaris, sehingga dengan cara
operasi antrostomi simplex, atau intra nasalantrostomi, tidak akan
terjamin

keberhasilannya.

Dengan

cara

sublabial

approach,

memungkinkan kita untuk dapatmembersihkan bagian-bagian mukosa


yang telah patologis dengan penglihatan secara langsung ke dalam
rongga sinus maxillaris. (Soepardi et al, 2007; Boies, 1997)

BAB III
PEMBAHASAN
Dalam skenario dikatakan bahwa pasien didiagnosis menderita polip
hidung. Banyak teori yang menyebutkan bahwa faktor predisposisi polip adalah
rinitis alergi, tetapi penelitian mengemukakan banyak macam teori, sehingga
belum bisa dipastikan faktor predisposisi apa yang menyebabkan polip nasi
(Soepardi EA, et al, 2011)
Menurut teori Bernstein, polip disebabkan perubahan mukosa hidung akibat
adanya inflamasi atau turbulensi udara. Tempat utama tumbuhnya polip adalah di
kompleks osteomeatal khususnya di meatus media dan sinus ethmoid. Inflamasi
yang terlalu lama akan memicu reepitelisasi mukosa dan pembentukan kelenjar
baru. Selama itu pula, terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel
epitel dan berakibat retensi air sehingga terbentuklah polip (Soepardi EA, et al,
2011)
Pilek terus menerus disertai bersin apabila terpapar debu merupakan
beberapa gejala yang sering ditemukan pada penderita rinitis alergi. Pada rinitis
alergi, ingus yang dihasilkan encer dan banyak.
Bersin pada skenario merupakan mekanisme perlindungan terhadap saluran
pernapasan atas yang menyebabkan keluarnya udara dan sekret dari hidung secara
paksa sebagai respon terhadap bau yang iritatif. Terjadi respon antara saraf kranial
dan spinal saat terjadi bersin.
Pada skenario disebutkan pasien mengeluhkan tidak bisa menghidu.
Kelainan ini dapat disebabkan oleh adanya penghalang sampainya partikel bau ke
reseptor saraf dan kelainan pada n. Olfactorius. Kelainan ini dapat diklasifikasikan
menurut ringan berat hilangnya daya penghidu. Yang pertama adalah hiposmia
sering terjadi pada rinitis alergi, polip, maupun hipertrofi konka. Anosmia terjadi
jika terdapat trauma pada daerah frontal atau occipital, infeksi virus, dan proses
degenerasi pada orang tua. Parosmia disebabkan adanya trauma. Kakosmia terjadi
jika kelainan psikologik dan epilepsi. Pada pasien di skenario keluhannya adalah

hiposmia karena masih menghidu bau busuk yang berasal dari ingus dan
mulut/hidungnya.
Hidung terasa tersumbat disebabkan adanya hipertrofi konka nasalis dan
juga dapat disebabkan oleh tumbuhnya polip di dalam cavum nasi.
Pada skenario, pasien gigi gangren pada M1 kiri atas dan M2 kanan atas.
Pada foto kepala juga didapatkan air-fluid-level pada sinusitis maksillaris dekstra.
Sinus maksillaris berada dekat dengan rongga mulut sehingga infeksi dapat
dengan mudah terjadi. Pada rinosinusitis kronik yang berasal dari odontogen
biasanya didahului oleh penyakit periodontal, abses gigi, implan gigi atau
ekstraksi gigi yang melukai sinus maksillaris.
Letak sinus maxilla berada dekat dengan gigi rahang atas, yaitu processus
alveolaris sebagai dasar sinus. Sinus maxilla hanya terpisah oleh tulang tipis
dengan akar gigi, bahkan kadang tanpa tulang pembatas, sehingga infeksi pada
gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal
dapat dengan mudah menginfeksi sinus tersebut atau lewat pembuluh darah dan
limfe. Keadaan ini disebut sinusitis dentogen.
Disebutkan dalam skenario juga bahwa pasien mengalami gangguan gigi,
akan tetapi tidak pernah dibawa ke dokter gigi, melainkan hanya berkumur
dengan

air

garam dan

rendaman

daun sirih. Air

garam merupakan

penatalaksanaan jangka pendek. Air garam tidak hanya bermanfaat sebagai


desinfektan tetapi juga dapat dipakai untuk mengurangi bengkak jaringan. Karena
pH air garam yang cenderung asam, pemakaian jangka panjang air garam untuk
kumur dapat menyebabkan erosi pada gigi dan mengurangi kekuatan dari enamel
gigi sehingga mudah terjadi lubang (Kerr, 2012)
Sedangkan sirih berperan sebagai antiseptik karena mengandung katekin
dan tannin sehingga dapat menghambat aktivitas biologis dari kuman penyebab
karies gigi (Damayanti, 2005; Jennie, 2007; Naini, 2006; oewen, 1999).
Mengenai sakit gigi dan bau mulut yang didapat pada pasien. Gangren
Pulpa adalah keadaan gigi dimana jarigan pulpa sudah mati sebagai sistem
pertahanan pulpa sudah tidak dapat menahan rangsangan sehingga jumlah sel
pulpa yang rusak menjadi semakin banyak dan menempati sebagian besar ruang

pulpa (Kartini, 2009). Proses terjadinya gangren pulpa diawali oleh proses karies.
Karies dentis adalah suatu penghancuran struktur gigi (email, dentin dan
cementum) oleh aktivitas sel jasad renik (mikro-organisme) dalam dental plak.
Jadi proses karies hanya dapat terbentuk apabila terdapat 4 faktor yang
saling tumpang tindih. Adapun faktor-faktor tersebut adalah bakteri, karbohidrat
makanan, kerentanan permukaan gigi serta waktu. Perjalanan gangrene pulpa
dimulai dengan adanya karies yang mengenai email (karies superfisialis), dimana
terdapat lubang dangkal, tidak lebih dari 1mm.
Selanjutnya proses berlanjut menjadi karies pada dentin (karies media) yang
disertai dengan rasa nyeri yang spontan pada saat pulpa terangsang oleh suhu
dingin atau makanan yang manis dan segera hilang jika rangsangan dihilangkan.
Karies dentin kemudian berlanjut menjadi karies pada pulpa yang
didiagnosa sebagai pulpitis. Pada pulpitis terdapat lubang lebih dari 1mm. Pada
pulpitis terjadi peradangan kamar pulpa yang berisi saraf, pembuluh darah, dan
pempuluh limfe, sehingga timbul rasa nyeri yang hebat, jika proses karies
berlanjut dan mencapai bagian yang lebih dalam (karies profunda).
Maka akan menyebabkan terjadinya gangren pulpa yang ditandai dengan
perubahan warna gigi terlihat berwarna kecoklatan atau keabu-abuan, dan pada
lubang perforasi tersebut tercium bau busuk akibat dari proses pembusukan dari
toksin kuman.
Foetor ex nasi berarti bau busuk dari dalam hidung. Dalam kepustakaan
disebut sebagai 'offensive odor ' , 'fetid odor' , 'stinkende afscheiding', 'a stench'
Menurut BOIES adanya foetor dalam hidung berarti terjadinya nekrosis daripada
mukosa dan adanya organisme saprofit. Dikatakan pula bahwa pus yang kronis
dan berbau dalam sinus maxillaris mungkin berasal dari gigi. Menurut BOYD,
nekrosis dapat disebabkan oleh: (1) kurangnya aliran darah (blood supply), (2)
toxin bakteri, dan (3) iritasi secara fisik maupun kimiawi. Dikatakan pula bahwa
sel-sel yang mati akan mengalami pembusukan oleh aksi organisme saprofit.
Bila penderita sendiri tidak dapat membau, berarti ia mengalami anosmia.
Bila orang lain tidak membau, berarti bau tersebut subyektif. Hal tersebut perlu

sekali ditanyakan pada anamnesis atau heteroanamnesis. Sebagai contoh, pada


penderita Sinusitis, penderita dan orang lain akan membau.
Sakit kepala bisa disebabkan oleh kelainan: (1) vaskular, (2) jaringan saraf,
(3) gigi geligi, (4) orbita (5) hidung dan (6) sinus paranasal, (7) jaringan lunak
di kepala, kulit, jaringan subkutan, otot, dan periosteum kepala. Sakit kepala dapat
diklasifikasikan menjadi sakit kepala primer, sakit kepala sekunder, dan neuralgia
kranial, nyeri fasial serta sakit kepala lainnya. Sakit kepala primer dapat dibagi menjadi
migraine, tension type headache, cluster headache
Nyeri kepala dipengaruhi oleh nukleus trigeminoservikalis yang merupakan
nosiseptif yang penting untuk kepala, tenggorokan dan leher bagian atas.
Semuaaferen nosiseptif dari saraf trigeminus, fasial, glosofaringeus, vagus, dan
saraf dari

C1

3 beramifikasi

pada

grey matter area

ini.

Nukleus

trigeminoservikalis terdiri daritiga bagian yaitu pars oralis yang berhubungan


dengan transmisi sensasi taktildiskriminatif dari regio orofasial, pars interpolaris
yang berhubungan dengantransmisi sensasi taktil diskriminatif seperti sakit gigi,
pars kaudalis yang berhubungan dengan transmisi nosiseptif dan suhu.
Nyeri alih biasanya terdapat pada oksipital dan regio fronto orbital dari
kepala dan yang jarang adalah daerah yang dipersarafi oleh nervus maksiliaris
danmandibularis. Ini disebabkan oleh aferen saraf tersebut tidak atau hanya
sedikit yang meluas ke arah kaudal. Lain halnya dengan saraf oftalmikus dari
trigeminus. Aferen saraf ini meluas ke pars kaudal.
Saraf trigeminus terdiri dari 3 yaitu V1, V2, dan V3. V1 ,
oftalmikus,menginervasi daerah orbita dan mata, sinus frontalis, duramater dari
fossa kranial dan falx cerebri serta pembuluh darah yang berhubungan dengan
bagian duramater ini.V2, maksilaris, menginervasi daerah hidung, sinus paranasal,
gigi bagian atas, danduramater bagian fossa kranial medial. V3, mandibularis,
menginervasi daerahduramater bagian fossa cranial medial, rahang bawah dan
gigi, telinga, senditemporomandibular dan otot menguyah.
Nyeri (sakit) merupakan mekanisme protektif yang dapat terjadi setiap
saat bila ada jaringan manapun yang mengalami kerusakan, dan melalui nyeri
inilah,seorang individu akan bereaksi dengan cara menjauhi stimulus nyeri

tersebut.Rasa nyeri dimulai dengan adanya perangsangan pada reseptor nyeri oleh stimulus
nyeri. Stimulus nyeri dapat dibagi tiga yaitu mekanik, termal, dan kimia.
Mekanik, spasme otot merupakan penyebab nyeri yang umum karena dapa
tmengakibatkan terhentinya aliran darah ke jaringan (iskemia jaringan),
meningkatkan metabolisme di jaringan dan juga perangsangan langsung ke
reseptor nyeri sensitif mekanik.
Teori Neovaskular (trigeminovascular), adanya vasodilatasi akibat aktivitas
NOS dan produksi NO akan merangsang ujung saraf trigeminus pada pembuluh
darah sehingga melepaskan CGRP (calcitonin gene related). CGRP akan berikatan
pada

reseptornya

di

sel

mast

meningens

dan

akan

merangsang

pengeluaranmediator inflamasi sehingga menimbulkan inflamasi neuron. CGRP


juga bekerja padaarteri serebral dan otot polos yang akan mengakibatkan
peningkatan aliran darah.Selain itu, CGRP akan bekerja pada post junctional site
second order neuron yang bertindak sebagai transmisi impuls nyeri.
Teori sistem saraf simpatis, aktifasi sistem ini akan mengaktifkan
lokussereleus sehingga terjadi peningkatan kadar epinefrin. Selain itu, sistem ini
jugamengaktifkan nukleus dorsal rafe sehingga terjadi peningkatan kadar
serotonin.Peningkatan kadar epinefrin dan serotonin akan menyebabkan konstriksi
dari pembuluh darah lalu terjadi penurunan aliran darah di otak. Penurunan aliran
darah diotak akan merangsang serabut saraf trigeminovaskular. Jika aliran darah
berkurangmaka dapat terjadi aura. Apabila terjadi penurunan kadar serotonin
maka akanmenyebabkan dilatasi pembuluh darah intrakranial dan ekstrakranial
yang akanmenyebabkan nyeri kepala pada migren.
Adanya darah pada saat mengeluarkan ingus adalah salah satu manifestasi
pada epistaksis. Epistaksis ini bisa disebabkan pembuangan ingus yang terlalu
keras sehingga dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah. Epistaksis
terutama dapat dengan mudah terjadi pada orang yang memiliki pembuluh darah
yang lebih lebar, tipis, serta jaringan ikat dan sel-selnya lebih sedikit. Epistaksis
juga dapat disebabkan oleh infeksi hidung dan sinus yaitu rinitis dan sinusitis.
Sinusitis dapat dipacu rinitis sehingga dapat disebut rinosinusitis yang
disebabkan oleh infeksi virus dan dapat diikuti oleh infeksi bakteri.

Hasil pemeriksaan rhinoskopi anterior adalah terlihat konkha hipertrofi,


massa putih, discharge kental, berwarna kuning kecoklatan. Konkha hipertrofi
menunjukkan adanya proses peradangan, hal ini sesuai dengan gambaran rhinitis.
Dari warna konkha yang hipertofi tersebut dapat ditentukan jenis rhinitis yang
diderita pasien. Pada rhinitis akut, konkha hipertrofi akan berwarna kemerahan,
pada rhinitis allergy berwarna keabu-abuan. Massa putih, discharge kental yang
berwarna kuning kecoklatan kemungkinan adalah pus yang berasal dari infeksi
sinus (sinusitis). Meatus tempat ditemukannya pus dapat menunjukkan sinus
paranasalis mana yang mengalami infeksi. Pada skenario, kemungkinan besar pus
ditemukan di meatus nasalis media yang terdapat muara dari sinus maksilaris.
Pemeriksaan orofaring dilakukan berdasarkan keluhan dan anamnesis
penderita. Didapatkan post nasal drip yang merupakan discharge mukus yang
berasal dari posterior rongga hidung. Mukus dapat mengalir ke arah posterior
rongga hidung karena rongga hidung yang menuju vestibulum nasi tertutup oleh
adanya hipertrofi dari konkha. Post nasal drip dan obstruksi hidung baik
intermittent maupun persistent merupakan gejala dari rhinitis kronis. Kondisi gigi
yang gangrene pada M1 kiri dan M2 kanan atas, memperkuat kemungkinan
adanya sinusitis dentogen. Infeksi dari caries gigi yang mencapai akar dari gigi
dapat dengan mudah mencapai sinus maksilaris karena letaknya sangat
berdekatan.
Pemeriksaan radiologi pada posisi Waters posterior anterior, dilakukan
terutama untuk melihat kondisi dari sinus maksilaris. Gambaran air-fluid level
pada sinus maksilaris dextra menunjukkan adanya genangan cairan pada rongga
sinus maksilaris. Genangan tersebut dapat muncul dari adanya proses infeksi pada
sinusitis disertai pula terganggunya proses drainasi sinus oleh karena adanya
proses inflamasi kronis pada konkha nasi media.
Leukositosis dan peningkatan eosinofil pada dasarnya menunjukkan adanya
proses infeksi. Peningkatan eosinofil dapat muncul ketika adanya alergi,
meskipun tidak semua kasus alergi akan didapatkan peningkatan eosinofil.

Pada skenario, tata laksana yang dilakukan pada dasarnya mengatasi


keluhan dan penyebab sakit yang diderita. Kemungkinan alergi debu dapat
diberikan edukasi untuk menghindari allergen, disertai sediaan kortikosteroid atau
antihistamin untuk mengatasi keluhan. Pemberian sediaan antibiotik juga
diperlukan untuk mengatasi infeksi baik pada sinus, hidung, maupun gigi. Pada
kasus sinusitis, bila sinusitis persisten, diperlukan juga tindakan operasi, namun
tindakan operasi ini dilakukan setelah penyebab infeksi diatasi. Khusus untuk gigi
penderita, diperlukan rujukan ke dokter gigi untuk mengatasi gangrene yang ada.
Edukasi juga diperlukan agar ketika di masa depan terjadi lagi caries gigi, pasien
dapat segera ke dokter gigi untuk pengobatan yang tuntas agar menghindari
terjadinya komplikasi kembali.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Nasus atau hidung secara umum terdiri dari 3 bagian, yaitu vestibulum nasi,
fossa nasalis, dan sinus paranasal.
2. Pilek terus menerus disertai bersin apabila terpapar debu
merupakan beberapa gejala yang sering ditemukan pada
penderita rinitis alergi. Pada rinitis alergi, ingus yang
dihasilkan encer dan banyak.
3. Sinus maksillaris berada dekat
sehingga

infeksi

dapat

dengan

dengan
mudah

rongga
terjadi.

mulut
Pada

rinosinusitis kronik yang berasal dari odontogen biasanya


didahului oleh penyakit periodontal, abses gigi, implan gigi
atau ekstraksi gigi yang melukai sinus maksillaris.
4. Leukositosis dan peningkatan eosinofil pada dasarnya menunjukkan adanya
proses infeksi. Peningkatan eosinofil dapat muncul ketika adanya alergi,
meskipun tidak semua kasus alergi akan didapatkan peningkatan eosinofil.
5. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lanjutan yang diperlukan antara lain test
provocative, rhinoskopi, biakan kuman, CT-Scan.
6. Penatalaksanaan pada skenario dapat diatasi berdasarkan penyebabnya.
Kemungkinan alergi debu dapat diberikan edukasi untuk menghindari
allergen, disertai sediaan kortikosteroid atau antihistamin untuk mengatasi
keluhan. Pemberian sediaan antibiotik juga diperlukan untuk mengatasi
infeksi baik pada sinus, hidung, maupun gigi.
7. Diferential Diagnosis pada scenario adalah polip hidung, sinusitis, dan
rhinitis alargika.
8. Terapi untuk polip hidung adalah bila polip masih kecil dapat diobati secara
konservatif dengan kortikosteroid sistemik atau oral.

Bila sudah besar

dilakukan ekstrasi polip dengan senar. Bila berulang-ulang dapat dirujuk


untuk operasi. Pengobatan juga perlu ditujukan pada penyebabnya dengan
misalnya menghindari alergen penyebab
9. Terapi untuk rhinitis alergika dapat dilakukan dengan penghindaran allergen
(avoidance) dan eliminasi; medikamentosa/farmakoterapi; imunoterapi;

pembedahan (jika perlu) untuk mengatasi komplikasi sinusitis dan polip


hidung.
B. Saran
1. Mahasiswa perlu menyebutkan sumber data yang digunakan pada saat
diskusi.
2. Mahasiswa seharusnya jangan hanya membaca tetapi menerangkan pada
saat menyampaikan pendapat dalam diskusi.
3. Tutor diberikan waktu yang lebih banyak untuk memberikan feedback
yang lebih membangun setelah diskusi selesai.
4. Mahasiswa seharusnya menghubungkan data yang diperoleh dengan hasil
pemeriksaan pada skenario yang dihadapi dengan detail sesuai
patogenesisnya.

DAFTAR PUSTAKA
Ballenger JJ. 1994. Aplikasi Klinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus
Paranasal. Dalam : Penyakit Telinga Hidung Telinga Tenggorok Kepala
dan leher. Edisi ke-13.Jakarta : Binarupa Aksara, hal :1-25.
Boies. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Penerbit EGC : Jakarta.
Damayanti R, Mulyono. Khasiat dan Manfaat Daun Sirih : Obat Mujarab dari
Masa ke Masa. Jakarta : Agro Media Pustaka; 2005.
Dhingra PL. 2007. Disease of Ear Nose and Throat. 4th Ed. New Delhi, India :
Elsevier. pp : 129-135; 145-148.
Ganong WF. Review of Medical Physiology. Ed ke-21. USA : McGraw-Hill. 2003
Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. Ed ke-11. Philadelphia :
Saunders Elseiver. 2006
Heilger PA, 1997. Hidung : Anatomi dan Fisiologi Terapan Dalam : Boies Buku
Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC,
hal : 173-189.
Jenie BS, Andarwulan N, Puspitasarti NL, Nuraida L. Antimicrobial Activity of
Piper betle Linn xtract Towards Foodborne Pathogens and Food Spoilage
Microorganisms. [cited 2007 September 13]. Available from: URL:
http://www.agnet.org/library/rh/2003004a/
Kennedy, David W, Hwang, Peter H. 2012. Rhinology: disease of the nose,
sinuses, and skull base. New York: Thieme Medical Publisher inc.
Kerr,

David. 2012. Mouthwash or salt water rinse. Diakses di


http://www.todaysdentistry.com.au/ask-a-dentist/mouthwash-or-salt-waterrinse. disitasi pada 10 september 2012.

Lana AK, Elizabeth. 2012. Fisiologi Penghidu dan Pengecapan diakses tanggal
09
September
2012
pada
www.medicinesia.com/kedokterandassar/penginderaan-kedokteran-dasar/fisiologi-penghidu-dan-pengecapan/
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007. Sinusitis dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta : FK
UI, hal : 118-122.

Mansjoer, Arif., Suprohaita, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan. 2005.


Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid I. Editor : Arif Mansjoer, dkk.
Jakarta : Media Aesculapius
Marieb EN, Hoehn K. Human Anatomy & Physiology. Ed ke-8. USA : Benjamin
Cummings. 2012
Muthmainah, dkk. 2011. Histology Pengantar Praktikum Semester III. Surakarta:
Bagian Histologi FK UNS.
Naini A. Pengaruh Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava Linn) terhadap
Pertumbuhan Streptococcus mutans. IJD 2006; 13(2):95-98.
Nizar NW. 2000. Anatomik Endoskopik Hidung Sinus Paranasal dan Patofiologi
Sinusitis. Dalam : Kumpulan Naskah Lengkap Kursus, Pelatihan dan Demo
BSEF. Makassar, 1-11.
Oewen RR. Pemanfaatan Teh Hijau Indonesia untuk Mencegah Karies Gigi.
Disampaikan pada Pertemuan Teknis teh Nasional Indonesia. 1999; Nov 8-9
: Bandung.
Sobol

SE. 2007. Sinusitis Acute Medical Treatment


http://www.emedicine.com/ent/topic337.htm

available

in

Soepardi, Efiaty Arsyad, Iskandar Nurbaiti, Jenny Bashiruddin, Ratna Dwi


Restuti. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Soetjipto D., Wardani RS.2007. Hidung. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta : FK
UI, hal : 118-122.
Songul M, and Cemal Cingi. 2010. Sneeze Reflex: Facts and
Fiction avalaible in :
http://www.medscape.com/viewarticle/714420
Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology. Ed ke -12. USA
: John Wiley & Sons. 2009

Anda mungkin juga menyukai