Anda di halaman 1dari 23

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal


Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan
ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga
menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah
dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior (Ballenger, 2004;
Higler, 1997).
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat
dibelakang nares anterior, disebut sebagai vestibulum. Dinding medial
rongga hidung adalah septum nasi. Dinding lateral dibentuk oleh
permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka
superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka
inferior, lamina perpendikularius os palatum, dan lamina pterigoides
medial. Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang terbesar
dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil
adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang
terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila
dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding
lateral hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan dengan meatus.
Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,
media dan superior. Dinding inferior merupakan dasar hidung yang
dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os
palatum (Ballenger 2004; Hilger,1997).
Dinding superior atau atap hidung terdiri dari kartilago lateralis
superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os
etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh
lamina kribrosa yang dilalui filamen - filamen n.olfaktorius yang berasal

Universitas Sumatera Utara


dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas
septum nasi dan permukaan kranial konka superior (Ballenger 2004;
Hilger, 1997).

Gambar 1. Penampang Koronal Hidung ( McCormick, 2007)

Kompleks osteomeatal (KOM)


Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung, yaitu di meatus
media, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan
sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan
kompleks osteomeatal (KOM). KOM adalah bagian dari sinus etmoid
anterior. Pada potongan koronal sinus paranasal, gambaran KOM terlihat
jelas yaitu suatu rongga antara konka media dan lamina papirasea. Isi dari
KOM terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat dibelakang prosesus
unsinatus, sel agger nasi, resesus frontalis, bula etmoid, dan sel-sel
etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila (Hwang,
2009; Kennedy et al, 2003; Kamel, 2002).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2. Kompleks osteomeatal (See et al, 2007)

Prosesus unsinatus berbentuk bumerang memanjang dari


anterosuperior ke posteroinferior sepanjang dinding lateral hidung,
melekat di anterosuperior pada pinggir tulang lakrimal dan di
posteroinferior pada ujung superior konka inferior. Prosesus unsinatus
membentuk dinding medial dari infundibulum (Kennedy et al, 2003; Nizar,
2000; Stammberger et al, 1993).
Bula etmoid terletak di posterior prosesus unsinatus dan
merupakan sel udara etmoid yang terbesar dan terletak paling anterior.
Bula etmoid dapat membengkak sangat besar sehingga menekan
infundibulum etmoid dan menghambat drainase sinus maksila (Kennedy et
al, 2003; Kamel, 2002; Stammberger et al, 1993).
Infundibulum etmoid berbentuk seperti terowongan dengan dinding
anteromedial dibatasi oleh prosesus unsinatus, dinding posterosuperior
dibatasi oleh bula etmoid, dan pada bagian posteroinferolateralnya
terdapat ostium alami sinus maksila sedangkan proyeksi dari tepi
terowongan yang membuka kearah kavum nasi membentuk hiatus
semilunaris anterior (Nizar, 2000; Stammberger et al, 1993).
Sel agger nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari sel-
sel etmoid anterior. Karena letaknya sangat dekat dengan resesus frontal,
sel ini merupakan patokan anatomi untuk operasi sinus frontal. Dengan

Universitas Sumatera Utara


membuka sel ini akan memberi jalan menuju resesus frontal (Shankar et
al, 2001; Mangunkusumo, 2000).
Resesus frontal dapat ditemukan pada bagian anterosuperior dari
meatus media dan merupakan drainase dari sinus frontal, dapat langsung
ke meatus media atau melalui infundibulum etmoid menuju kavum nasi
(Browning, 2007; Mangunkusumo, 2000; Stammberger et al, 1993).
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang
terletak di sekitar hidung dan mempunyai hubungan dengan rongga
hidung melalui ostiumnya. Ada 3 pasang sinus yang besar yaitu sinus
maksila, sinus frontal dan sinus sfenoid kanan dan kiri, dan beberapa sel-
sel kecil yang merupakan sinus etmoid anterior dan posterior. Sinus
maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior termasuk kelompok sinus
anterior dan bermuara di meatus media, sedangkan sinus etmoid posterior
dan sinus sfenoid merupakan kelompok sinus posterior dan bermuara di
meatus superior (Walsh et al, 2006).
Sinus Maksila
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah
permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding
posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya
adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar
orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum.
Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Dari segi
klinik, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas,
yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga
gigi taring (C) dan gigi molar (M3), bahkan akar-akar gigi tersebut
dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah
naik ke atas menyebabkan sinusitis
2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita

Universitas Sumatera Utara


3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari gerakan silia, lagipula drainase juga
harus melalui infundibulum yang sempit (Walsh et al, 2006).
Identifikasi endoskopik sinus maksila adalah melalui ostium alami
sinus maksila yang terdapat di bagian posterior infundibulum. Ostium
sinus maksila biasanya berbentuk celah oblik dan tertutup oleh penonjolan
prosesus unsinatus dan bula etmoid. Sisi anterior dan posterior dari
ostium sinus maksila adalah fontanel dan terletak di sebelah inferior
lamina papirasea. Sinus maksila dapat ditembus dengan relatif aman
pada daerah sedikit ke atas konka inferior dan didekat fontanel posterior
(Nizar, 2000).
Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi
dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokal
infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa, bentuk sinus etmoid
seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Sinus etmoid
berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang
terdapat di bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media
dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi (Kamel, 2002;
Stammberger et al, 1993).
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid
anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang
bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-
kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan
bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis),
sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih
sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis (Walsh et al,
2006).
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian sempit,
disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel
etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior

Universitas Sumatera Utara


terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat
bermuaranya ostium sinus maksila. Peradangan resesus frontal dapat
menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat
menyebabkan sinusitis maksila (Walsh et al, 2006).
Menurut Kennedy, diseksi sel-sel etmoid anterior dan posterior
harus dilakukan dengan hati-hati karena terdapat dua daerah rawan
tembus. Daerah pertama adalah daerah arteri etmoid anterior dan dan
daerah yang kedua adalah daerah sel etmoid posterior yang meluas ke
belakang dan di atas rostrum sfenoid (sel Onodi). Kainz dan Stammberger
menekankan daerah rawan tembus pada saat melakukan etmoidektomi di
bagian medial. Pada daerah medial ini terdapat pertautan yang sangat
tipis antara atap etmoid dan lamina kibrosa, yang merupakan tempat
masuknya nervus olfaktorius yang langsung berhubungan dengan lobus
frontal (Walsh et al, 2006).
Konfigurasi fosa olfaktorius ini diklasifikasikan menjadi 3 tipe oleh
Keros yaitu : (Walsh et al, 2006)
1. Fosa olfaktorius datar, atap etmoid hampir vertikal dan lamina lateralis
kribriformis dangkal
2. Fosa olfaktorius lebih dalam, atap etmoid lebih dalam dan lamina
kribriformis lebih tinggi
3. Atap etmoid lebih tinggi dari lamina kribriformis, lamina lateralis
panjang dan tipis serta fosa olfaktorius lebih dalam.

Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan
ke empat fetus. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia
8-10 tahun dan akan mencapai usia maksimal sebelum usia 20 tahun.
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris. Sinus frontal kanan
dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainnya dan
dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15 %

Universitas Sumatera Utara


orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5%
sinus frontalnya tidak berkembang (Walsh et al, 2006).
Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-
lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum dinding sinus pada foto
Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh
tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga
infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal
berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang
berhubungan dengan infundibulum etmoid (Punagi, 2008; Kennedy et al,
2003; Burton, 2000; Amedee, 1993).
Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid berbentuk seperti tonjolan yang terletak di lateral
septum nasi. Jika sinus sfenoid telah dibuka dan bagian dinding anterior
diangkat maka akan tampak konfigurasi khas dari bagian dalam sinus
sfenoid; yang terdiri dari tonjolan sela tursika, kanalis optikus dan
indentasi dari arteri karotis. Sinus sfenoid mengalirkan sekretnya ke dalam
meatus superior bersama dengan etmoid posterior (Ballenger, 2004;
Kamel, 2002; Nizar, 2000).

Gambar. 3. Sinus

(Dikutip dari : Conten.answers.com/main/content/imgelsevier/dental/f0098-


01.jpg.gambar)

Universitas Sumatera Utara


2.2 Rinosinusitis Kronik
2.2.1 Definisi
Rinosinusitis Task Force mendefinisikan rinosinusitis kronik sebagai
adanya dua gejala mayor atau lebih atau satu gejala mayor disertai dua
gejala minor yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Yang termasuk
gejala mayor adalah : nyeri pada daerah muka (pipi, dahi, hidung), hidung
buntu, ingus purulen, gangguan penghidu. Gejala-gejala minor antara lain:
sakit kepala, demam, halitosis, nyeri gigi dan batuk (Busquets et al,
2006).
Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyps (2012), rinosinusitis kronik adalah suatu inflamasi hidung dan sinus
paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala, salah
satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek ( sekret
hidung anterior atau posterior ), nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah,
penurunan/ hilangnya penghidu, dan salah satu dari temuan
nasoendoskopi berupa polip dan atau sekret mukopurulen dari meatus
medius dan atau edema atau obstruksi mukosa di meatus medius dan
atau gambaran tomografi komputer berupa penebalan mukosa di
kompleks osteomeatal dan atau sinus, yang berlangsung lebih dari 12
minggu (Fokkens et al, 2012).
The European Academy of Allergylogy and Clinical Immunology
(EAACI) mendefenisikan rinosinusitis kronik sebagai kongesti hidung
berlangsung selama lebih dari 12 minggu disertai satu atau salah satu dari
3 gejala : nyeri wajah / tekanan, post nasal drip, dan hiposmia (Schlosser
et al, 2009).

2.2.2 Patofisiologi Rinosinusitis Kronik


Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor yaitu patensi ostium,
fungsi silia dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau
kombinasi faktor-faktor akan menimbulkan sinusitis. Kegagalan transpor

Universitas Sumatera Utara


mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama
berkembangnya rinosinusitis kronik (Pinheiro, 2001).
Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat edema
hasil proses radang di area kompleks osteomeatal (Gambar 4). Blokade
daerah kompleks osteomeatal menyebabkan gangguan drainase dan
ventilasi sinus-sinus anterior. Sumbatan yang berlangsung terus menerus
akan mengakibatkan terjadinya hipoksia dan retensi sekret serta
perubahan pH sekret yang merupakan media yang baik bagi bakteri
anaerob untuk berkembang biak. Bakteri juga memproduksi toksin yang
akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi hipertrofi mukosa yang
memperberat blokade kompleks osteomeatal. Siklus ini dapat dihentikan
dengan membuka blokade kompleks osteomeatal untuk memperbaiki
drainase dan aerasi sinus (Kennedy et al, 1995).
Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya :
obstruksi mekanik seperti septum deviasi, hipertrofi konka media, hipertrofi
konka inferior, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga
hidung. Faktor sistemik yang mempengaruhi seperti malnutrisi, terapi
steroid jangka panjang, diabetes, kemoterapi dan defisiensi imun. Faktor
lingkungan seperti polusi udara, debu, udara dingin dan kering dapat
mengakibatkan perubahan pada mukosa dan kerusakan silia (Busquets et
al, 2006 ; Fokkens et al, 2012).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 4. Siklus rinosinusitis (Kennedy et al,1995)

2.2.3 Etiologi Rinosinusitis Kronik


Etiologi dari Rinosinusitis dapat disebabkan oleh alergi, infeksi dan
dapat disebabkan oleh kelainan struktur anatomi (variasi KOM, deviasi
septum, hipertrofi konka) atau penyebab lain seperti idiopatik, faktor
hidung, hormonal, obat-obatan, zat iritan, jamur, emosi, atrofi (Fokkens et
al, 2012; Higler,1997 ; Weir et al, 1997).
Beberapa bakteri patogen yang sering dihubungkan dengan etiologi
rinosinusitis kronik adalah Stafilokokus aureus, Pseudomonas aeruginosa,
Hemofilus influenza dan Moraxella kataralis (Fokkens et al, 2012).
2.2.4 Kekerapan
Penelitian Azis et al (2006) di Arab Saudi mendapatkan 172
penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan bedah sinus
endoskopik fungsional dari tahun 1998-2004 (Azis et al, 2006).
Prevalensi rinosinusitis kronik di Indonesia bervariasi. Di RS dr.
Sardjito Yogyakarta selama tahun 2000-2006 frekuensi penderita
rinosinusitis kronik sekitar 2,5% - 4,6% dari seluruh kunjungan poliklinik
(Harowi, 2011).

Universitas Sumatera Utara


Munir ( 2006 ) pada penelitiannya terhadap 35 penderita
rinosinusitis kronik yang menjalani operasi tahun 2002-2003 di RSUP H.
Adam Malik, Medan mendapatkan kelompok umur terbanyak adalah 35-44
tahun sebanyak 34,3%, sedangkan jumlah penderita perempuan
sebanyak 20 penderita ( 57% ) dan laki-laki sebanyak 15 penderita
( 43%).
Penelitian Firman (2011) di RSUP H Adam Malik Medan
mendapatkan penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan
bedah sinus endoskopik tahun 2009-2010 sebanyak 47 penderita, yang
terdiri dari 60% perempuan dan 40% laki-laki.
Multazar (2011) pada penelitiannya terhadap 296 penderita
rinosinusitis kronik tahun 2008 di RSUP H. Adam Malik , Medan
mendapatkan jenis kelamin terbanyak yang menderita rinosinusitis kronik
adalah perempuan sebanyak 169 penderita (57,09%) diikuti laki-laki
sebanyak 127 penderita (42,91%).

2.2.5. Diagnosis Rinosinusitis Kronik


Diagnosis rinosinusitik kronik ditegakkan melalui anamnesis,
rinoskopi anterior, pemeriksaan nasoendoskopi dan pemeriksaan
penunjang (Fokkens et al, 2012; Busquets, 2006).

Anamnesis
Riwayat gejala yang diderita lebih dari 12 minggu, dan sesuai
dengan 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor ditambah 2 gejala minor dari
kumpulan gejala dan tanda menurut Rhinosinusitis Task Force, 2006.
Yang termasuk gejala mayor adalah : nyeri atau rasa tertekan pada
daerah wajah, hidung tersumbat, ingus purulen, gangguan penghidu.
Gejala-gejala minor antara lain: sakit kepala, demam, halitosis, nyeri gigi
dan batuk (Busquets et al, 2006).
Sakit kepala merupakan salah satu tanda yang paling umum dan
paling penting pada sinusitis. Sakit kepala yang timbul merupakan akibat

Universitas Sumatera Utara


adanya kongesti dan edema di ostium sinus dan sekitarnya. Sakit kepala
yang bersumber dari sinus akan meningkat jika membungkukkan badan
dan jika badan tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat
menutup mata, saat istirahat atau saat berada di kamar gelap. Hal ini
berbeda dengan sakit kepala yang disebabkan oleh mata (Fokkens et al,
2012; Ballenger, 2004).
Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada
atau mungkin tidak. Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal,
nyeri biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada sinus yang
letaknya lebih dalam, nyeri terasa jauh di dalam kepala dan tak jelas
lokasinya. Pada kenyataannya peradangan pada satu atau semua sinus
sering kali menyebabkan nyeri di daerah frontal (Ballenger, 2004).
Gangguan penghidu (hiposmia) terjadi akibat sumbatan pada fisura
olfaktorius di daerah konka media. Pada kasus-kasus kronis, hal ini dapat
terjadi akibat degenerasi filamen terminal nervus olfaktorius, meskipun
pada kebanyakan kasus, indera penghidu dapat kembali normal setelah
proses infeksi hilang (Fokkens et al, 2012; Ballenger, 2004).
Rinoskopi anterior
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan tanda-tanda
inflamasi yaitu mukosa hiperemis, edema dan sekret mukopurulen yang
terdapat pada meatus media. Mungkin terlihat adanya polip menyertai
rinosinusitis kronik (Pinheiro, 2001).
Pemeriksaan nasoendoskopi
Pemeriksaan ini sangat dianjurkan karena dapat menunjukkan
kelainan yang tidak dapat terlihat dengan rinoskopi anterior, misalnya
sekret purulen minimal di meatus media atau superior, polip kecil,
hipertrofi prosesus unsinatus, konka media bulosa, konka media polipoid,
konka media hipertrofi, konka inferior hipertrofi, post nasal drip dan
septum deviasi (Fokkens et al, 2012; Busquets et al, 2006).

Universitas Sumatera Utara


Pemeriksaan foto polos sinus
Foto polos sinus paranasal tidak sensitif dan mempunyai nilai yang
terbatas pada evaluasi rinosinusitis kronik. Foto polos yang biasa
dilakukan adalah foto polos hidung dan sinus paranasal posisi Water’s.
Pada foto ini hanya tampak jelas sinus-sinus yang besar saja, sedangkan
daerah kompleks osteomeatal tidak jelas tampak. Air fluid level pada
rinosinusitis kronik tidak selalu dijumpai (Busquets et al, 2006).
Pemeriksaan CT Scan
CT Scan yang biasa dilakukan adalah CT Scan sinus paranasal
potongan koronal, dimana dapat terlihat perluasaan penyakit di dalam
rongga sinus dan kelainan di kompleks osteomeatal. CT Scan dari rongga
sinus dapat berguna untuk melakukan evaluasi pada kasus rinosinusitis
berulang, atau rinosinusitis dengan komplikasi dan pada pasien dengan
rinosinusitis kronik dan dipersiapkan untuk operasi. CT Scan memiliki
spesifitas dan sensitifitas yang tinggi. Sebaiknya pemeriksaan CT Scan
dilakukan setelah pemberian terapi antibiotik yang adekuat, agar proses
inflamasi pada mukosa dieliminasi sehingga kelainan anatomi dapat
terlihat dengan jelas (Fokkens et al, 2012; Busquets et al, 2006).

2.2.6 Komplikasi Rinosinusitis Kronik


Komplikasi ini biasanya terjadi pada kasus rinosinusitis akut atau
rinosinusitis kronis dengan eksaserbasi akut (Giannoni et al, 2006).
Komplikasi rinosinusitis sudah semakin jarang setelah pengobatan
antibiotik. Tetapi pada masyarakat dengan tingkat sosio-ekonomi rendah
yang kurang gizi dan tidak terjangkau oleh fasilitas kesehatan, komplikasi
rinosinusitis lebih sering terjadi dan dapat berakibat buruk misalnya
sampai menjadi buta atau bahkan kematian (Giannoni et al, 2006).
Komplikasi yang terjadi dapat berupa (Giannoni et al, 2006):
1. Kelainan orbita
Infeksi dari sinus paranasal dapat meluas ke orbita secara
langsung atau melalui system vena yang tidak berkatup. Komplikasi

Universitas Sumatera Utara


orbita ini dapat berupa selulitis orbita dan abses orbita. Gejalanya
dapat dilihat sebagai pembengkakan kelopak mata, atau edema
merata di seluruh orbita, atau gangguan gerakan bola mata dan
gangguan visus sampai jelas adanya abses yang mengeluarkan
pus. Pasien harus dirawat dan diberikan antibiotik dosis tinggi
intravena dan dirujuk ke dokter spesialis THT. Bila keadaan tidak
membaik dalam 48 jam atau ada tanda-tanda komplikasi ke
intrakranial, perlu dilakukan tindakan bedah.
2. Kelainan intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses subdural, abses otak, trombosis
sinus kavernosus. Rongga sinus frontal, etmoid dan sfenoid hanya
dipisahkan dengan fosa kranii anterior oleh dinding tulang yang
tipis sehingga infeksi dapat meluas secara langsung melalui erosi
pada tulang. Penyebaran infeksi dapat juga melalui sistem vena.
Sinusitis maksila karena infeksi gigi sering menyebabkan abses
intrakranial. Bila ada komplikasi intrakranial gejalanya dapat terlihat
sebagai kesadaran yang menurun atau kejang-kejang. Pasien perlu
dirawat dan diberikan antibiotik dosis tinggi secara intravena dan
hal ini merupakan indikasi untuk tindakan operasi.
3. Mukokel (kista)
Bila saluran keluar sinus tersumbat dapat timbul mukokel. Sering
timbul di sinus frontal meskipun dapat juga terjadi di sinus maksila,
etmoid atau sfenoid. Di dalam mukokel terjadi pengumpulan lendir
yang steril yang kemudian menjadi kental. Mukokel dapat menjadi
besar dan mendesak organ disekitarnya terutama orbita. Mukokel
menimbulkan gejala sakit kepala dan pembengkakan di atas sinus
yang terkena.

Universitas Sumatera Utara


2.2.7 Penatalaksanaan
Terapi rinosinusitis kronik terdiri dari terapi medikamentosa dan non
medikamentosa. Yang termasuk terapi medikamentosa adalah pemberian
antibiotik, kortikosteroid, anti jamur, anti bakteri, anti histamin,
dekongestan dan mukolitik (Ferguson et al, 2006).
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi
seperti deviasi septum, konka bulosa, hipertrofi adenoid pada anak, polip,
kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan
penatalaksanaan yang sesuai dengan kelainan yang ditemukan (Soetjipto,
2000).
Rinosinusitis kronik yang tidak sembuh setelah pengobatan
medikamentosa yang adekuat dan optimal, serta adanya obstruksi
kompleks osteomeatal merupakan indikasi tindakan bedah. Bedah sinus
endoskopik fungsional merupakan langkah maju dalam bedah sinus. Jenis
operasi ini menjadi pilihan karena merupakan tindakan bedah invasif
minimal yang lebih efektif dan fungsional ( Lal D et al, 2009; Simmer et al,
2005).

Universitas Sumatera Utara


PANDUAN BAKU PENATALAKSANAAN SINUSITIS (Soetjipto et al,
AN2A0M01NE) SIS
Rinore purulen > 7 hari
(sumbatan hidung, nyeri muka, sakit kepala, gangguan penghidu, demam dll)

RINOSKOPI ANTERIOR
Polip? Tumor? Komplikasi sinusitis?

YA Lakukan
TIDAK penatalaksanaan
yang sesuai
SINUSITIS AKUT /
KRONIK ?
Lama gejala > 12 minggu ? Episode serangan akut >4 x / tahun?
(Konsensus Internasional Sinusitis 2004)

SINUSITIS AKUT
TIDAK YA
Rinoskopi Anterior (RA) SINUSITIS
RA/Naso-endoskopi
Ro polos / CT Scan
Terapi tambahan : Faktor Predisposisi Pungsi & irigasi sinus
AB empirik (2 x 24 jam) Dekongest.oral + topikal  Deviasi septum Sinuskopi
Lini I : Amoksil 3x500 mg Mukolitik, Analgetik  Konka bulosa, Hipertrofi
Pasien Atopi : Adenoid (pada anak)
/Cotrimoxazol 2x480 mg
+ terapi tambahan  Antihist./Kortiko  Polip, Kista,
steroid topikal Jamur,
Faktor Predisposisi?
Perbaikan ? YA YA
YA
TIDAK
Tata laksana yang sesuai
TIDAK Terapi sesuai pada
Terapi tambahan :
Lini II AB (7 hari) Amoks. klav / Ampi. sulbaktam Dekongest.oral ,Kortikost.oral episode akut lini
Cephalosporin gen. kell Makrolid dan atau topikal, Mukolitik II + Terapi
+ terapi tambahan Antihistamin (pasien atopi)
Diartemi,Proet,Irigasi sinus

YA Perbaikan

TIDAK
Teruskan AB mencukupi 7-14 hari AB alternatif
TIDAK Teruskan
Perbaikan 7 hari
AB
Atau buat kultur
Perbaikan
Ro.polos/CT scan dan / mencuku
Naso-endoskopi (NE)
TIDAK
Kemungkin
YA an Sinusitis Evaluasi kembali :
TIDAK NE, Sinuskopi atau
Akut
Kelainan ? Berulang CT jika belum
Lakukan
TIDAK Obstruksi KOM
Cari alur
Evaluasi diagnosis kembali Diagnostik lain YA
1. Evaluasi komprehensif` alergi, LPR
(refluks)
2. Kultur pungsi sinus untuk resistensi TINDAKAN
kuman, beri AB sesuai kultur BEDAH : BSEF
atau

Universitas Sumatera Utara


2.3. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
2.3.1 Definisi
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) adalah teknik operasi
pada sinus paranasal dengan menggunakan endoskop yang bertujuan
menormalkan kembali ventilasi sinus dan “mucociliary clearance” dalam
sinus. Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan daerah kompleks
osteomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga
ventilasi dan drainase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami
(Lund, 2007; Mangunkusumo, 2003).

2.3.2 Indikasi
Operasi bedah sinus endoskopik fungsional pada umumnya
dilakukan untuk penatalaksanaan rinosinusitis kronik atau rinosinusitis
akut berulang, yang seringkali disertai adanya poliposis di daerah meatus
media atau adanya polip yang sudah meluas ke rongga hidung. Indikasi
lain BSEF termasuk didalamnya adalah rinosinusitis dengan komplikasi,
mukokel, sinusitis alergi yang berkomplikasi atau sinusitis jamur yang
invasif dan neoplasia (Xu et al, 2008; Mangunkusumo, 2000;
Stammberger et al, 1993).
Bedah sinus endoskopi sudah meluas indikasinya antara lain untuk
mengangkat tumor hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran
liquor serebrospinal, tumor hipofisa, dekompresi orbita, kelainan
kongenital (atresia koana) dan lainnya (Lund, 2007).
Di bagian THT RS Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makasar dilaporkan
tindakan BSEF pada periode Januari 2005- Juli 2006 adalah 21 kasus
atas indikasi sinusitis, 33 kasus pada polip hidung disertai sinusitis dan 30
kasus BSEF disertai dengan tindakan septum koreksi atas indikasi
sinusitis dan septum deviasi (Setiadi, 2009).

Universitas Sumatera Utara


2.3.3 Persiapan Pra-operasi
 Persiapan kondisi pasien.
Pra-operasi kondisi pasien perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.
Jika ada inflamasi atau edema, harus dihilangkan dahulu, demikian
pula jika ada polip, sebaiknya diterapi dengan steroid dahulu
(polipektomi medikamentosa). Kondisi pasien yang hipertensi, memakai
obat-obat antikoagulansia juga harus diperhatikan (Stankiewicz, 2009;
Metson 2006).
 Naso-endoskopi prabedah untuk menilai anatomi dinding lateral
hidung dan variasinya.
Pada pemeriksaan ini operator dapat menilai kelainan rongga hidung,
anatomi dan variasi dinding lateral misalnya meatus media sempit
karena deviasi septum, konka media bulosa, polip meatus media, dan
lainnya. Sehingga operator bisa memprediksi dan mengantisipasi
kesulitan dan kemungkinan timbulnya komplikasi saat operasi
(Stankiewicz, 2009; Kennedy, 2001).
 CT Scan
Gambar CT Scan sinus paranasal diperlukan untuk mengidentifikasi
penyakit dan perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi
anatomi organ sinus paranasal dan hubungannya dengan dasar otak
dan orbita serta mempelajari daerah-daerah rawan tembus ke dalam
orbita dan intrakranial (Lund, 2007).
Gambar CT Scan penting sebagai pemetaan yang akurat untuk
panduan operator saat melakukan operasi. Berdasarkan gambar CT
scan tersebut, operator dapat mengetahui daerah-daerah rawan
tembus dan dapat menghindari daerah tersebut atau bekerja hati-hati
sehingga tidak terjadi komplikasi operasi (Stankiewicz, 2009).

Universitas Sumatera Utara


2.3.4 Tahapan Operasi
Tujuan BSEF adalah membersihkan penyakit dengan panduan
endoskop dan memulihkan kembali drainase dan ventilasi sinus besar
yang sakit secara alami. Prinsip BSEF adalah bahwa hanya jaringan
patologik yang diangkat, sedangkan jaringan sehat dipertahankan agar
tetap berfungsi. Jika dibandingkan dengan bedah sinus terdahulu yang
secara radikal mengangkat jaringan patologik dan jaringan normal, maka
BSEF jauh lebih konservatif dan morbiditasnya dengan sendirinya menjadi
lebih rendah (Lund, 2007; Soetjipto,2000).
Teknik operasi BSEF adalah secara bertahap, mulai dari yang
paling ringan yaitu unsinektomi/infundibulektomi sampai
frontosfenoidektomi total. Tahap operasi disesuaikan dengan luas
penyakit, sehingga tiap individu berbeda jenis atau tahap operasi
(Soetjipto, 2000).
Munir ( 2006 ) pada penelitiannya terhadap 35 penderita
rinosinusitis kronik di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan tindakan
BSEF yang terbanyak dilakukan adalah unsinektomi (77,1%) dan yang
paling sedikit adalah sfenoidektomi (7,1%).
Infundibulektomi dan pembesaran ostium sinus maksila
 Membuka akses ke meatus media
Pertama-tama perhatikan akses ke meatus media, jika sempit akibat
deviasi septum, konka bulosa atau polip, koreksi atau angkat polip
terlebih dahulu. Tidak setiap deviasi septum harus dikoreksi, kecuali
diduga sebagai penyebab penyakit atau dianggap akan mengganggu
prosedur endoskopik. Sekali-kali jangan melakukan koreksi septum
hanya agar instrumen besar bisa masuk (Soetjipto,2000).
 Membuka infundibulum
Tahap awal operasi adalah membuka rongga indundibulum dengan
mengangkat prosesus unsinatus sehingga akses ke ostium sinus
maksila terbuka. Selanjutnya ostium dinilai, apakah perlu diperlebar
atau dibersihkan dari jaringan patologik. Dengan membuka ostium

Universitas Sumatera Utara


sinus maksila maka drainase dan ventilasi sinus maksila pulih kembali
dan penyakit di sinus maksila akan sembuh tanpa melakukan
manipulasi di dalamnya. Jika kelainan hanya di sinus maksila, tahap
awal operasi ini sudah cukup (Soetjipto, 2000; Stammberger et al,
1993).
Etmoidektomi retrograd
Jika ada sinusitis etmoid, operasi dilanjutkan dengan etmoidektomi,
sel-sel sinus dibersihkan termasuk daerah resesus frontal jika disertai
sinusitis frontal. Caranya adalah sebagai berikut, setelah tahap awal tadi,
sebaiknya mempergunakan teleskop 0°, dinding anterior bula etmoid
ditembus dan diangkat sampai tampak dinding belakangnya yaitu lamina
basalis yang membatasi sel-sel etmoid anterior dan posterior (Kennedy,
2001; Soetjipto, 2000; Stammberger et al, 1993).
Lamina basalis berada tepat di depan endoskop 0° dan tampak
tipis keabu-abuan, lamina ditembus di bagian infero-medialnya untuk
membuka sinus etmoid posterior. Selanjutnya sel-sel etmoid posterior
(umumnya selnya besar-besar) di observasi dan jika ada kelainan, sel-sel
dibersihkan dan atap sinus etmoid posterior yang merupakan dasar otak
diidentifikasi. Selanjutnya diseksi dilanjutkan ke depan secara retrograde
membersihkan sel-sel etmoid anterior sambil memperhatikan batas
superior diseksi adalah tulang keras dasar otak (fosa kranii anterior), batas
lateral adalah lamina papirasea dan batas medial konka media. Disini
mempergunakan teleskop 0° atau 30°. Cara membersihkan sel etmoid
anterior secara retrograd ini lebih aman dibandingkan cara lama yaitu dari
anterior ke posterior dengan kemungkinan penetrasi intrakranial lebih
besar (Stankiewicz, 2009; Soetjipto, 2000).
Keuntungan melakukan diseksi etmoid posterior terlebih dahulu
adalah karena dasar otak yang merupakan atap sinus etmoid posterior
lebih mudah ditemukan dan diidentifikasi sebagai tulang keras yang
letaknya agak horisontal sehingga kemungkinan penetrasi lebih kecil dari
pada di etmoid anterior dimana dasar otaknya lebih vertikal. Identifikasi

Universitas Sumatera Utara


arteri etmoid anterior sangat penting dan dihindari trauma pada arteri ini.
Arteri ini berada di atas perlekatan bula etmoid pada dasar otak. Setelah
diseksi, arteri akan tampak dalam kanal di batas belakang atap resesus
frontal. Saat diseksi pada etmoid posterior, harus diingat adanya sel
Onodi. Jika ada sel etmoid posterior yang sangat berpneumatisasi,
berbentuk piramid dengan dasarnya menghadap ke endoskop, ini adalah
sel Onodi. Perhatikan apakah ada penonjolan n. optikus an atau arteri
karotis interna di sisi lateralnya (Soetjipto,2000).

2.3.5 Perawatan Paska Operasi


Perawatan paska operasi sangat penting, dimana pembersihan
paska operasi dilakukan untuk membersihkan sisa perdarahan, sekret,
endapan fibrin, krusta, dan devitalisasi tulang yang bila tidak dilakukan
dapat menimbulkan infeksi, jaringan fibrotik, sinekia, dan osteitis.
Perawatan operasi sebaiknya dilaksanakan oleh operator karena operator
yang mengetahui lokasi dan luas jaringan yang diangkat. Manipulasi
agresif dihindari untuk mencegah terjadinya penyakit iatrogenik
(Stankiewicz,2009; Slack et al, 1998).
Beberapa penulis menyebutkan prosedur pembersihan pasca
operasi dilakukan seawal mungkin, tampon hidung dibuka 3 hari setelah
operasi. Setelah itu hidung dibersihkan dengan larutan salin (Kennedy,
2003).
Terapi medikamentosa paska operasi berupa antibiotik dapat
diberikan 1 minggu atau lebih. Pemberian steroid topikal sangat berguna,
diberikan 4-5 kali sehari (Kennedy, 2003; Stammberger et al, 1993).

2.3.6 Komplikasi
Semenjak diperkenalkan teknik BSEF sangat populer dan diadopsi
dengan cepat oleh para ahli bedah THT di seluruh dunia. Seiring dengan
kemajuannya, muncul berbagai komplikasi akibat operasi bahkan
komplikasi yang berbahaya. Karenanya para ahli segera melakukan

Universitas Sumatera Utara


penelitian tentang komplikasi yang mungkin terjadi akibat BSEF dan
mencari cara untuk mencegah dan menghindarinya dan mengobatinya.
Pemahaman yang mendalam tentang anatomi bedah sinus, persiapan
operasi yang baik dan tentunya pengalaman ahli dalam melakukan bedah
sinus akan mengurangi dan mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi
BSEF dapat berupa perdarahan, sinekia, stenosis sinus maksila,
kerusakan duktus nasolakrimalis, edema kelopak mata, kerusakan nervus
optikus, kebocoran cairan serebrospinal, infeksi dan sepsis (Al-Mujaini,
2009; DelGaudio, 2008; Rombout, 2001).

Universitas Sumatera Utara


2.4 KERANGKA KONSEP

Etiolog
i: Faktor predisposisi :
- Patensi ostium Deviasi septum
Infeksi -Jumlah silia yang berfungsi
Alergi Konka inferior
-Kualitas sekret hipertrofi Konka media
Obat-
obatan Zat paradoksal
: Variabel penelitian
iritan

Obstruksi Kompleks Osteomeatal

Rinosinusitis Kronik

Gejala Nasoendoskop CT Scan

BSEF

Umur
Jenis Kelamin
Pekerjaan

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai