Study kasus..:
Kerangka tulang :
o Tulang hidung (os nasalis)
Meatus ada 3 :
Meatus inferior :
Terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan
dinding lateral rongga hidung
Terdapat muara duktus nasolakrimalis
Meatus media :
Terletak diantara konka media dan lateral rongga hidung
Terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris
dan infundibulum etmoid
Meatus superior :
Merupakan ruang diantara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
o Inferior :
Merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum
o Posterior :
Merupakan atap hidung dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang
memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung
Sumber : Buku Ajar Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala Leher. Edisi 5. FKUI
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media, ada muara-muara saluran dari
sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan
kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus
unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium
sinus maksila (Drake,1997).
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus frontal dan sinus sfenoid. Sinus
maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus
etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih delapan tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid
dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini
umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun (Soetjipto dan Mangunkusomo,
2007; Lee, 2008).
Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila disebut juga antrum Highmore
(Tucker dan Schow, 2008). Saat lahir, sinus maksila bervolume 6-8 ml. Sinus ini kemudian
berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa (Mehra
dan Murad, 2004). Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial
os maksila yang disebut fossa canina, dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila,
dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita, dan
dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah
superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid (
Tucker dan Schow, 2008) Menurut Soetjipto dan Mangunkusomo (2007) dari segi klinik yang perlu
diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah: a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar
gigi rahang atas yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan kadang-kadang juga gigi taring
dan gigi M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi
rahang atas mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis. b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan
komplikasi orbita. c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase
hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit.
Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi
pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.
Dikutip dari: Paranasal Sinuses: Atlas of Human Anatomy (Netter, F.H., 2006)
Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke-empat fetus, berasal dari selsel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai
berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun
(Ramalinggam, 1990).
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainya dan dipisahkan
oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus
frontal dan kurang lebih lima persen sinus frontalnya tidak berkembang (Lee, 2008).
Ukuran sinus frontal adalah mempunyai tinggi 2.8 cm , lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus
frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk (Netter, 2006; Soetjipto dan
Mangunkusomo,2007). Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada
foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus (Rachman,2005).
Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga
infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini (Lund, 1997; Soetjipto dan
Mangunkusomo,2007).
Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan
dengan infundibulum etmoid (Lee, 2008).
Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling penting karena dapat merupakan fokus infeksi
bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di
bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cm dan lebarnya 0.5 cm di
bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior (Netter, 2006; Mangunkusomo, 2007).
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di
dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita.
Sel-sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid
anterior yang bermuara ke meatus media dan sinus etmoid posterior bermuara ke di meatus superior.
Sel-sel etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang
menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan selsel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari
lamina basalis (Hilger, 1997; Ballenger, 2009).
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang
berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid
anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus
maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan
pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila (Mehra dan Murad, 2004).
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral
sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita
(Soetjipto dan Mangunkusomo,2007 ; Ballenger, 2009). Di bagian belakang sinus etmoid posterior
berbatasan dengan sinus sfenoid (Hilger,1997).
Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua
oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2.3 cm dan
lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan
nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus (Hilger,
1997; Netter, 2006).
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa superior serebri media dan kelenjar hipofisa,
sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri
karotis interna dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons
(Ramalinggam, 1990).
Fisiologi Sinus Paranasal
Menurut Drake (1997) dan Soetjipto dan Mangunkusomo (2007) sampai saat ini belum ada
persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus
paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan
tulang muka.
Menurut Lund (1997) beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain
adalah:
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000
volume sinus pada tipa kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total
dalam sinus.
b. Sebagai penahan suhu (thermal insulator)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari
suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak
terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka, akan tetapi bila udara
dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar satu persen
dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.
2. Mukosa hidung
Mukosa hidung terletak di dalam rongga hidung (kavum nasi). Luas permukaan kavum nasi sekitar
2
150 cm dan total volumenya sekitar 15 ml Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh
mukosa yang berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Rongga hidung dilapisi oleh
mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas dua tipe yaitu mukosa penghidu (mukosa
olfaktorius). dan sebahagian besar mukosa pernafasan (mukosa respiratori) . Mukosa olfaktorius
terdapat pada permukaan atas konka superior dan dibawahnya terletak mukosa respiratorius. Lapisan
mukosa respiratorius terdiri atas epitel, membran basalis dan lamina propia. (Soetjipto D & Wardani
RS,2007)
Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang berkesinambungan dengan
berbagai sifat dan ketebalan. Secara umum sel-sel pada hidung dan mukosa sinus terdiri atas 4 tipe sel
yaitu : Sel kolumnar bersilia, sel kolumnar tidak bersilia, sal basal dan sel goblet. Mukosa yang
melapisi terdiri atas dua tipe yaitu tipe olfaktorius dan sebahagian besar tipe respiratorius. Mukosa
olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka superior dan dibawahnya terletak mukosa
respiratorius. Lapisan mukosa respiratorius terdiri atas epitel,membran basalis dan lamina propia(
Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997).
Mukosa respiratori terdapat pada sebagian besar rongga hidung yang bervariasi sesuai dengan
lokasi yang terbuka dan terlindung serta terdiri dari empat macam sel. Pertama sel torak berlapis semu
bersilia (pseudostratified columnar epithelium) yang mempunyai 50-200 silia tiap selnya .Sel-sel
bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel.
Mitokondria ini merupakan sumber energy utama sel yang diperlukan untuk kerja silia. Di antara selsel bersilia terdapat sel-sel goblet dan sel sikat (yang mempunyai mikrovili). (Watelet, 2002).
Epitel respiratorius lainnya adalah epitel pipih berlapis yang terdapat pada daerah vestibulum nasi dan
epitel transisional yang terletak persis di belakang vestibulum. Epitel yang terletak di daerah
vestibulum nasi ini dilengkapi dengan rambut yang disebut vibrissae. Lanjutan epitel pipih berlapis
pada vestibulum akan menjadi epitel pipih berlapis tanpa silia terutama pada ujung anterior konka dan
ujung septum nasi. Kemudian pada sepanjang daerah inspirasi maka epitel akan berbentuk torak,
bersilia pendek dan agak tidak teratur. Pada meatus media dan inferior yang terutama menangani
udara ekspirasi silianya panjang dan tersusun rapi. (Ballenger, 1994 ; Hilger , 1997 ; Watelet , 2002)
bergerak dan fungsinya mungkin untuk promosi ion dan transportasi serta pengaturan cairan diantara
sel-sel. Disamping itu juga memperluas permukaan sel ( Ballenger;1994; Waguespack,1995)
Terakhir adalah sel basal yang terdapat di atas membrane sel. Sel basal tidak pernah mencapai
permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia. Sel-sel basal
berpotensi untuk menggantikan sel-sel bersilia atau sel-sel goblet yang telah mati. (Ballenger, 1994 ;
Hilger , 1997; Weir , 1997)
Secara struktural susunan lapisan mukosa pada daerah yang lebih sering terkena aliran udara
mukosanya akan lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel skuamosa. Dalam
keadaan normal warna mukosa adalah merah muda dan selalu basah karena dilapisi oleh palut lendir
(mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel
goblet. (Ballenger JJ,1994 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung, hanya lebih tipis dan
kelenjarnya lebih sedikit. Epitelnya torak berlapis semu bersilia, bertumpu pada membran basal yang
tipis dan tunika propia yang melekat erat dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat
dengan ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir kearah hidung melalui ostium. Kelenjar mukosa
juga banyak ditemukan didekat ostium (Ballenger;1994; Waguespack,1995 ; Levine,2002).
Pada membran mukosa juga ditemukan sel neurosekretori dan beberapa macam sel seperti makrofag
dan leukosit. Terlihat juga kelenjar mukosa yang masuk kedalam jaringan ikat. Kelenjar ini
memproduksi cairan mukos dan serosa dibawah kontrol saraf parasimpatis. (Ballenger;1994)
Sel goblet (kelenjar mukus)
Sel goblet atau kelenjar mukus adalah sel tunggal yang pada pemeriksaan endoskopis tampak
berbentuk piala. Sel ini menghasilkan komplek protein polisakarida yang membentuk lendir dalam
2
air. Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi didaerah konka inferior(11.000sel/mm ) dan terendah
2
di septum nasi (5700 sel/mm ). Diantara semua sinus, maka sinus maksila mempunyai kepadatan sel
goblet yang paling tinggi. Selain itu sel goblet juga banyak dijumpai didaerah nasofaring
(Ballenger;1994 ; Waguespack,1995; Levine,2002 )
Silia hidung
Pada sel epitel kolumner bersilia (sel epitel torak berlapis semu bersilia) memiliki mikrovilia
dan silia dengan jumlah berkisar 300-400 mikrovili tiap selnya yang bertambah ke arah nasofaring,
dan 50-200 silia tiap selnya. Silia merupakan struktur kecil menyerupai rambut , menonjol dari
permukaan sel dan berperan dalam membersihkan kotoran dalam hidung . Bentuknya panjang,
dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 50 - 200 buah tiap
selnya. Panjang silia antara 5-7 m dengan diameter 0,3 m. Denyut silia kira-kira 9-15 Hz pada
manusia, dengan beragam variasi pada mamalia. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral
tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar. Masing - masing mikrotubulus
dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastik yang disebut dengan neksin dan jari-jari radial. Tiap
silia tertanam pada badan basal yang letaknya di bawah permukaan sel. Pada gambar 2.3 tampak
anatomi molekuler silia. (Cohen NA. 2006 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007 ; Wilma T.2007 ;
Ballenger JJ,1994)
Silia bergerak serempak secara cepat ke arah aliran lapisan, kemudian membengkok dan
kembali tegak dengan lebih lambat dengan kecepatan pukulan silia kira-kira 700-1000 siklus
permenit. Silia dapat bergerak akibat adanya energi berupa adenosine triphospat (ATP) yang
menggerakkan tangkai dari silia. Gerak maju dan mundurnya silia disebut irama. Gerak silia terjadi 12
sampai 1400 kali/menit. Silia ini dapat terkoordinasi dengan baik, gerakannya dapat mengalirkan
lapisan mukus yang menyelimutinya, yang di depan meneruskan beban yang disampaikan oleh siliasilia yang di belakangnya. Gerakan silia ini merupakan gerakan yang berkesinambungan bukan
gerakan sinkron. Gerak silia, berdasarkan sejarahnya pertama kali diterangkan oleh Sharpey, pada
tahun 1835, dalam penelitiannya tentang konsep pembersihan mukosiliar secara aktif dengan manfaat
fisiologiknya terhadap hidung dan sinus paranasal. Kemudian dilajutkan oleh Hilding ,tahun 1932,
dengan melakukan penelitian pada hewan anjing, terhadap pembersihan mukosiliar pada sinus yang
juga memperlihatkan perbaikan mukosa hidung . Kemudian Sewall dan Boyden melanjutkan untuk
mempelajari pentingnya lapisan mukosa terhadap tulang hidung. Dan berikutnya , Messerklinger
memperkenalkan alat diagnostik, endoskopik nasal. Penemuannya ini adalah sebagai pendekatan
sistemik yang pertama dalam mendiagnosa dan mengobati penyakit sinus yang mengalami inflamasi.
(Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997; Waguespack R,1995 ; Cohen NA, 2006)
Fungsi utama dari silia adalah membawa mukus kembali ke arah faring. Mukus hidung adalah
berfungsi sebagai alat transportasi partikel yang tertimbun dari udara inspirasi, juga untuk
memindahkan panas; normalnya mukus menghangatkan udara inspirasi dan mendinginkan udara
ekspirasi, serta melembabkan udara inspirasi dengan lebih dari dari satu liter uap setiap harinya.
Namun, dengan jumlah uap demikian seringkali tidak memadai untuk melembabkan udara yang
sangat kering yang dapat berakibat mengeringnya mukosa yang disertai berbagai gangguan hidung.
Derajat kelembaban selimut mukus ditentukan oleh stimulasi saraf pada kelenjar seromukosa pada
submukosa hidung. Silia dapat berdenyut berkisar antara 10-20 kali permenit pada temperatur tubuh.
(Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997; Waguespack R,1995)
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan yang
teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa
mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang
masuk ke dalam rongga hidung. (Ballenger JJ,1994 ; Cohen NA.2006 ; Soetjipto D & Wardani
RS,2007 ; Wilma T.2007 ; Ballenger JJ,1994)
Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang
mikrotubulus luar yang dikenal dengan konfigurasi 9+2. Maksudnya adalah ultra struktur silia
dibentuk oleh 2 mikrotubulus sentral dan sebelah luarnya dikelilingi oleh 9 pasang mikrotubulus(outer
double microtubulus). Pada outer double mikrotubulus ini dapat dibedakan menjadi subfibril A dan
subfibril B . Subfibril A memiliki struktur dynein arms (lengan dynein) sedangkan subfibril B tidak.
Pasangan mikrotubulus luar ini berhubungan dengan tubulus sentral melalui radial spokes
(Lang,1989; Waguesp
ack, 1995; McCaffrey,1997)
Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya. Sumber energinya
adalah ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari pemecahan ADP oleh ATPase. ATP
berada di lengan dynein yang menghubungkan mikrotubulus dengan pasangannya dan menimbulkan
aksi-reaksi. Sedangkan antara pasangan yang satu dengan yang lainnya dihubungkan dengan bahan
elastik yang disebut neksin. (Ballenger;1994 ; Waguespack 1995 ; Cohen , 1996)
Pola gerakan silia yaitu gerakan yang cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active stroke) dengan
ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakkan lapisan ini. Kemudian silia bergerak
kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan
durasi geraknya kira-kira 1: 3 . Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan
seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino (
metachronical waves) pada satu area arahnya sama. (Ballenger;1994)
Palut lendir
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat. Lendir ini diproduksi oleh
kelenjar mukus dan serous, terutama oleh sel-sel goblet pada mukosa. Pada keadaan sehat mempunyai
PH 7 atau sedikit asam, dan lebih kurang komposisinya adalah 2,5-3% musin, garam 1-2% dan air
95%. Mukus ini juga mengandung IgA. Terdapat pada seluruh rongga hidung (kecuali vestibulum),
sinus, telinga dan lainnya. Gerakan silia di bawahnya menggerakkan lapisan lendir ini, bersamaan
dengan materi-materi asing yang terperangkap olehnya, secara berkesinambungan ke arah faring dan
esophagus untuk kemudian ditelan atau dibatukkan. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan perisiliar,
yang menyelimuti batang sillia, lebih tipis dan kurang lengket ; dan lapisan kedua terletak di atasnya
adalah lapisan superfisial, Lapisan kedua terdapat diatasnya (superfisialis) terdapat lendir yang lebih
kental yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan superfisial ini
merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan yang menumpang keseluruhan kedua
lapisan ini dinamakan palut lendir. Lapisan perisiliar sangat berperan penting pada gerakan silia,
karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini. . Secara keseluruhan kedua lapisan ini
dinamakan palut lendir. (Ballenger JJ,1994 ; Lindberg, 1997 ; Sakakura, 1997 ; Waguespack R,1995)
Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum dan protein sekresi dengan molekul
yang lebih rendah. Lapisan ini sangat berperan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar
batang silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia didalam cairan ini. Keseimbangan
+
cairan diatur oleh elektrolit . Penyerapan diatur oleh transpor aktif natrium (Na ) dan sekresi
-
digerakkan oleh klorida(Cl ). Tingginya permukaan cairan perisiliar ditentukan oleh keseimbangan
antara kedua elektrolit ini, dan derajat permukaan ini menentukan kekentalan palut lendir
(Ballenger,1994; Weir,1994; Hilger 1997)
Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung glikoprotein mukus. Diduga
mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar,
menelan atau bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada temperatur dingin,
kelembaban rendah, gas atau aeosol yang terinhalasi, serta menginaktifkan virus yang terperangkap
(Ballenger, 1994; Weir,1994; Waguespack,1995)
Di cairan perisiliar penting adanya pengaturan interaksi antara silia dan palut lendir, serta sangat
menentukan pengaturan transport mukosiliar. Pada lapisan perisiliar yang dangkal, maka lapisan
superfisial yang pekat akan masuk kedalam ruang perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan
cairan perisiliar, maka ujung silia tidak akan mencapai lapisan superfisial yang dapat mengakibatkan
kekuatan aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali. Pada keadaan normal permukaan cairan
perisiliar sedikit lebih rendah dibanding ujung silia. Kedua keadaan ini sangat mengganggu transport
mukosiliar (Hilger, 1994; Weir,1995)
Mukus yang berasal dari kelompok sinus anterior akan mengalir ke meatus medius untuk berfungsi
sebagai pengatur kondisi udara yang utama(Ballenger , 1994; Sakakura ;1994)
Silia pada sel epitel respiratorius, kelenjar penghasil mukus atau sel goblet dan palut lendir
membentuk satu kesatuan sebagai sistem mekanisme pertahanan penting dalam sistem respiratori
dikenal sebagai sistem mukosiliar. (Ballenger JJ,1994 ; Sakakura, 1997)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter%20II.pdf
2. Fisiologi
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka
media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian
depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran
dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas.
Sensasi bau
Aktivasi protein G
Depolarisasi
Di dalam bulbus mengadakan sinaps dengan sel mitral ( sinaps disebut dengan glomerulus )
Traktus olfaktorius
Pusat olfaktorius
Sumber lain
Mekanismemembau
Perangsangan sel-sel olfaktoria zat-zat yg menyebabkan perangsangan penciuman
Sejumlah sel-sel olfaktoria terpisah mengirimkan akson ke bulbus olfaktorius untuk berakhir
pada dendrit-dendrit selmitral dalam struktur yg dinamakan glomerulus. Kira-kira 25.000
akson dari sel olfaktoria masuk pada setiap glomerulus dan besinaps dengan sekitar 25 sel
mitral yg selanjutnya mengirimkan isyarat ke dalam otak. Terdapata total sekitar 5000
glomerulus. Serabut-serabut sel mitral (Glomerulus) berjalan melalui traktus olfaktorius dan
berakhir terutama atau melalui neuron pemancar dalam dua daerah utama pada otak yg
masing-masing dinamakan area olfaktoria medial dan area olfaktoria lateral. Area olfaktoria
medial terdiri atas kelompokan inti yg tereletak pada bagian tengah otak superior dan anterior
terhadap thalamus. Kelompokkan ini terdiri atas septum, pelusidum, gyrus subkalosus, area
paraolfaktoria, trigonum olfaktoria dan bagian medial substantia perforata anterior.
Area olfaktoria lateral terletak bilateral, terutama di abgian anterior inferior lobus temporalis.
Ia terdiri dari area prepiriformis, unkus, bagian lateral substansia perforata anterior dan
bagian nuklei amigdaloid.
Traktus olfaktorius sekunder berjalan dari nuklei pada area olfaktoria media dan area
olfaktoria lateral menuju ke hipothalamus, thalamus, hipokampus dan nuklei batang otak.
Daerah sekunder ini mengatur respon otomatik tubuh trhdp rangsangan penciuman,
(Sumber ; Buku Fisiologi Manusia dan mekanisme penyakit, Guyton)
Fisiologi hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air
conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius
(penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik
yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran
suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan
beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal. (Soetjipto D &
Wardani RS,2007)
Berubahnya warna secret pada hidung diakibatkan respon dari reaksi hipersensitivitas
ini terus berlanjut sehingga mengakibatkan penambahan jenis dan jumlah sel
bersinadalah sebuah refleks penolakan terhadap benda asing yg masuk ke dalam rongga
hidung. udara yg dihirup nenuju ke Paru harus udara bersih, partikel-partikel asing yang
masuk ke rongga hidung akan tersaring di rongga hidung oleh silia. saat ada partikel lain
masuk dan mengiritasi saluran hidung ( mengggelitik) ,ujung saraf (aferen)
akan
terangsang dan terjadilah aliran impuls listrik saraf yg sangat cepat yang mengalir melalui
nervus V (saraf trigeminus) yang menuju ke pusat refleksbersin / medula oblongata .
setelah pusat refleksbersin mendapat sinyal "bahaya" ini maka dikirim sinyal yg sangat
cepat kepada otot-otot yg dipengaruhinya utk melakukan gerakan bersin dan terjadilah
refleksbersin untuk mengeluarkan/menolak benda asing yang tak diinginkan tadi. selain
itu kelenjar lendir akan mengeluarkan cairan yang lebih banyak guna "menangkap" benda
asing dan dikeluarkan bersama lendir tsb dari hidung.
Rhinore:
Pada orang dewasa normal membentuk mukus sekitar 100ml dalam saluran nafas setiap hari.
Mukus diangkut menuju faring oleh gerakan pembersihan normal dari silia yang membatasi
saluran pernafasan. Jika terbentuk mukus yang berlebihan maka proses normal pembersihan
tidak efektif lagi, sehingga mukus tertimbun, bila hal ini terjadi maka membran mukosa
terangsang dan mukus di batukkan keluar sebagai sputum.
(Patofisiologi Slyvia A.Price & Lorraine M. Wilson)
Jika pada proses pembersihan normal dari silia yg membatasi saluran nafas terdapat mukus
berlebihan, maka proses normal pembersihan tidak efektif lagi sehingga mukus tertimbun.
Maka membran mukosa terangsang, dan mukus ini dibatukan keluar sebagai sputum.
Pembentukan mukus yang berlebihan, mungkin disebabkan oleh gangguan fisik, kimiawi dan
infeksi pada membran mukosa.
(Patofisiologi buku 2 edisi 4, sylvia A.price tahun 1995)
a. Tahap sensitasi
Alergen masuk
IL-4 dan IL-13 berikatan dengan reseptornya di sel B sehingga sel B menjadi aktif dan
memproduksi IgE
IgE kemudian akan masuk ke sirkulasi darah ( berikatan dengan basofil ) dan masuk ke
jaringan dan selanjutnya berikatan dengan sel mast
b. Tahap degranulasi
Immediate phase allergic reaction / fase cepat ( mulai dari kontak dengan alergen 1
jam )
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus timbul rasa
gatal dan bersin bersin
Histamin juga menyebabkan hipersekresi kelenjar mukosa dan sel goblet dan
permeabilitas meningkat rhinorrhea dan hidung tersumbat
Sel mast juga mengeluarkan molekul kemotaktik akumulasi sel eosinofil dan
neutrofil di jaringan target
Late phase allergic reaction / fase lambat ( 2 4 jam dan berlangsung selama 24 48
jam )
Terjadi penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,
neutrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL-4, IL-5
Trauma
Infeksi
Neoplasma
Kongenital
b. Sebab sistemik
-
Kardio
: hipertensi, arteriosklerosis
Kelainan darah
Infeksi
Endokrin
a. Epistaksis anterior
Berasal dr plexus Kiesselbach atau a.ethmoidalis anterior, treutama ditemui pd anak2
biasanya ringan dan mudah diatasi.
b. Epistaksis posterior
Berasal dr a.sfenopalatina dan atau a. Ethmoidalis post.sering tdpt pd usia lanjut
akibat hipertensi atau arteriosklerosis. Biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.
Pembedaan ini dibutuhkan untuk melakukan penatalaksanaan yang baik yaitu dengan
mencari sumber perdarahan dan menghentikan perdarahan.
Perbedaan
Epitaksis anterior
Sumber perdarahan
Pleksus Kisselbach di
Epitaksis posterior
Arteri sfenopalatina
Sifat perdarahan
Contoh kasus
Tingkat kesulitan
penatalaksanaan
Penatalaksanaan
Lakukan pemasangan
sendirinya
15 menit.
berlawanan.
antibiotik.
berhasil, lakukan
pemasangan tampon
dari mulut.
antibiotik. Masukkan
perdarahan. Tampon
kemudian harus
dikeluarkan.
Karena polip bisa terjadi akibat peradangan kronis pada mukosa hidung yang
berturbulensi, terutama didaerah sempit terutama didaerah osteomeatal.Terjadi
prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar
baru.juga terjadi penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi
air sehingga terbentuk polip.
Cara mendiagnosis :
Stadium polip mackay dan lund (1997) : stadium 1 polip terbatas di meatus medius;
stadium 2 keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi
rongga hidung; stadium 3 polip yang massif.
Sumber : buku ajar ilmu kesehatan THT dan KL FKUI edisi keenam
Hidung yang bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir
atau bila menarik napas dengan kuat.
Jika partikel bau tidak mencapai daerah mukosa olfaktorius pada atap rongga
hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum, karena ada suatu
sumbatan (secret, tumor,dll) tidak dapat membau
(Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT, FK UI)
Kelainan pembauan
B. Defek sentral/sensorineural
C. Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap
rongga
hidung,
konka
superior
dan
sepertiga
bagian
atas
septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila nafas
dengan kuat. Mukosa olfaktorius terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa ini dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak
bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga
macam sel yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu
berwarna coklat kekuningan. Di antara sel-sel reseptor (neuron) terdapat banyak kelenjar
Bowman penghasil mukus (air, mukopolisakarida, enzim, antibodi, garam-garam dan protein
pengikat bau). Sejumlah besar kelenjar Bowman terdapat dalam lamina propria pada region
olfaktorius. Sel-sel reseptor bau merupakan satu-satunya sistem saraf pusat yang dapat
berganti secara regular (4-8 minggu)3,7,8. Sel reseptor bau adalah sel saraf bipolar yang terdapat
di daerah yang terbentang di atas dari konka media sampai ke atap, dan daerah septum yang
berhadapan. Pada mukosa olfaktoria terdapat seratus juta sel olfaktoria dan sel-sel ini
dikelilingi oleh sel penyokong yang mensekresi lapisan mucus yang terus menerus melapisi
epitel dan mengirimkan banyak mikrovili rambut silia ke dalam mucus ini. Akson dari sel
saraf bipolar akan dikumpulkan menjadi satu dalam bentuk serat saraf yang melalui lamina
kribrosa ke dalam bulbus olfaktorius. Akson dari sel-sel ini membentuk traktus olfaktorius
yang menuju ke otak2,5,6.
D. Ketika ada inflamasi pada mucosa olfaktori mengganggu sel olfaktorius
Kelainan pembauan:
Pada gangguan penghidu ada beberapa macam terminology diantaranya :
Disosmia terbagi lagi menjadi phantosmia : persepsi adanya bau tanpa ada stimulus
parosmia atau troposmia : perubahan persepsi terhadap bau dengan adanya stimulus
Agnosia : tidak bisa menyebutkan atau membedakan bau, walaupun penderita dapat
mendeteksi bau.
Gangguan pembauan dapat bersifat total (seluruh bau), parsial (hanya sejumlah bau),
Yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa misalnya bahan
kosmetik, perhiasan.
Dengan adanya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis
besar terdiri dari:
a. Respons primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil
seluruhnya dihilangkan reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
b. Respons sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah
system imunitas seluler atau humoral atau keduanya di bangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau
memang sudah ada defek dari system imunologik maka reaksi berlanjut
dengan respon tertier.
c. Respons tertier
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag
oleh tubuh.
FKUI
Cara kerja agen ini adalah vasokontriksi (membuat pembuluh darah berkontriksi)
sehingga pembuluh darah di selaput lendir hidung mengkerut dan pembentukan lendir
berkurang.
PPA hanya digunakan dalam obat flu dan batuk sebagai nasal dekongestan, serta tidak
pernah disetujui sebagai penekan nafsu makan .
Kisaran kekuatan/dosis PPA yang diijinkan per takaran adalah 10 mg sampai dengan
25 mg, dengan pemakaian per hari maksimal 75 mg (dewasa) dan 37,5 mg (anak 6-12
tahun).
Dalam sebagian besar informasi produk obat yang mengandung PPA telah
dicantumkan peringatan (warning) sebagai berikut :
Penggunaan obat tidak boleh melebihi dosis yang dianjurkan dan harus
dihentikan penggunaanya jika terjadi jantung berdebar, pusing ataupun susah
tidur.
Jumlah produk obat flu dan batuk yang mengandung PPA di Indonesia
sebanyak 189 nama dagang yang diproduksi oleh 79 produsen.
DD:
3. KELAINAN HIDUNG
A. KONGENITAL
i. Labio dan palatoskisis :
ii. Krista dermoid :
Tidak dapat ditekan dan tidak berdenyut, tampak seperti lubang pada dorsum
nasi, kadang mengeluarkan secret purulen
DD : glioma, ensefalokel, mukokel, osteomielitis, hemangioma, neurofibroma
Dx : CT-scan
iii. Glioma (tidak berhubungan dengan SSP dan ensefalokel (berhubungan dengan SSP):
Glioma :
o Padat, masa yang tidak dapat ditekan, tak berdenyut, bewarna abu-abu
atau keunguan, tidak bertransiluminasi dan tidak menghasilkan tanda
furstenberg positif missal tidak ada pembesaran dan penekanan vena
jugularis
o DD : kista dermoid dan ensefalokel
o Dx : CT-scan, NMR, foto polos dalam tiap bidang
Ensefalokel :
o Cacat kranium, warna kebiruan, dapat ditekan, berdenyut, dapat
bertaransiluminasi dan memberikan tanda Furstenberg positif
o DD : kista dermoid, neurofibroma, hemangioma
o Dx : CT-scan, NMR, foto polos dalam tiap bidang
iv. Atresia koana :
Etiologi : kegagalan embriologik dari membrane bukonasal untuk membelah
sebelum kelahiran
v. Anomaly hidung :
Etiologi : pengaruh teratogenik
DD : kista dermoid, ensefalokel
Dx : CT-scan
Sumber : Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. EGC
B. KELAINAN SEPTUM
Macamnya:
DEVIASI SEPTUM
Etiologi : - trauma yang dapat terjadi sesudah lahir
- trauma pada waktu partus
- trauma pada janin intrauterin
- ketidakseimbangan pertumbuhan,Tulang rawan septum nasi terus tumbuh
meskipun batas superior dan inferior telah menetap.
Bentuk deformitas : - deviasi, biasanya berbentuk huruf C atau S
- dislokasi, yaitu bagian bawah kartilago septum ke luar dari krista
maksila dan masuk ke dalam rongga hidung
- penonjolan tulang atau tulang rawan septum, bila memanjang dari
depan ke belakang disebut krista, dan bila sangat runcing dan pipih
disebut spina, krista septum bertemu dan melekat dengan konka
didepanya ( sinekia ), bentuk ini akan menambah beratnya
obstruksi.
Gejala klinik : - deviasi septum ialah sumbatan hidung. Sumbatan bisa unilateral, dapat pula
bilateral, sebab pada sisi deviasi terdapat konka hipertrofi, sedangkan
pada sisi sebelahnya terjadi konka yang hipertrofi, sebagai akibat
mekanisme kompensasi.
- Rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain dari itu penciuman bila
terganggu, apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum.
- Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan
faktor predisposisi terjadinya sinusitis.
Terapi :
Ada 2 jenis tindakan operatif yang dilakukan pada pasien dengan keluhan nyata :
1. reseksi submukosa : pada operasi ini mukoperikondrium dan mukoperiostium
kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau
tulang rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga mukoperikondrium dan
mukoperiostium sisi kiri dan kanan akan langsung bertemu di garis tengah.
Komplikasi : hidng pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak hidung, oleh karena
2. reposisi septum ( septoplasti )
Pada operasi ini tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya bagian yang
berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan cara operasi ini dapat di cegah komplikasi
yang mungkin timbul pada operasi reseksi submukosa, seperti terjadinya perforasi
septum dan hidung pelana (saddle nose).
HEMATOMA SEPTUM :
Patogenesis :
Trauma pembuluh darah submukosa pecah darah berkumpul diantara
perikondrium dan tulang rawan septum hematoma septum.
Gejala klinik :
o Sumbatan hidung dan rasa nyeri
o Pembengkakan unilateral atau bilateral pada septum bagian depan
Terapi :
o Drenase
o Pungsi
o Insisi pada bagian hematoma
o Insisi bilateral
o Pasang tampon untuk menekan perikondrium
o Antibiotic untuk mencegah infeksi sekunder
Komplikasi :
Abses septum dan deformitas hidung luar seperti hidung pelana (saddle nose)
ABSES SEPTUM :
Etiologi : trauma yang tidak disadari pasien
Gejala : hidung tersumbat progresif disertai rasa nyeri berat, terutama dipuncak hidung,
demam dan sakit kepala
Terapi : insisi dan drenase nanah serta diberikan antibiotik dosis tinggi, serta analgetik,
rekonstruksi septum untuk mencegah deformitas hidung
Komplikasi : nekrosis tulang rawan septum, destruksi tulang rawan septum.
Sumber : Buku Ajar Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala Leher. Edisi 5. FKUI
D. RADANG HIDUNG
4. KELAINAN HIDUNG
A. KONGENITAL
vi. Labio dan palatoskisis :
vii. Krista dermoid :
Tidak dapat ditekan dan tidak berdenyut, tampak seperti lubang pada dorsum
nasi, kadang mengeluarkan secret purulen
DD : glioma, ensefalokel, mukokel, osteomielitis, hemangioma, neurofibroma
Dx : CT-scan
viii. Glioma (tidak berhubungan dengan SSP dan ensefalokel (berhubungan dengan SSP):
Glioma :
o Padat, masa yang tidak dapat ditekan, tak berdenyut, bewarna abu-abu
atau keunguan, tidak bertransiluminasi dan tidak menghasilkan tanda
furstenberg positif missal tidak ada pembesaran dan penekanan vena
jugularis
o DD : kista dermoid dan ensefalokel
o Dx : CT-scan, NMR, foto polos dalam tiap bidang
Ensefalokel :
o Cacat kranium, warna kebiruan, dapat ditekan, berdenyut, dapat
bertaransiluminasi dan memberikan tanda Furstenberg positif
o DD : kista dermoid, neurofibroma, hemangioma
o Dx : CT-scan, NMR, foto polos dalam tiap bidang
ix. Atresia koana :
Etiologi : kegagalan embriologik dari membrane bukonasal untuk membelah
sebelum kelahiran
x. Anomaly hidung :
Etiologi : pengaruh teratogenik
DD : kista dermoid, ensefalokel
Dx : CT-scan
Sumber : Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. EGC
B. KELAINAN SEPTUM
Macamnya:
DEVIASI SEPTUM
Etiologi : - trauma yang dapat terjadi sesudah lahir
HEMATOMA SEPTUM :
Patogenesis :
Trauma pembuluh darah submukosa pecah darah berkumpul diantara
perikondrium dan tulang rawan septum hematoma septum.
Gejala klinik :
o Sumbatan hidung dan rasa nyeri
o Pembengkakan unilateral atau bilateral pada septum bagian depan
Terapi :
o Drenase
o Pungsi
ABSES SEPTUM :
Etiologi : trauma yang tidak disadari pasien
Gejala : hidung tersumbat progresif disertai rasa nyeri berat, terutama dipuncak hidung,
demam dan sakit kepala
Terapi : insisi dan drenase nanah serta diberikan antibiotik dosis tinggi, serta analgetik,
rekonstruksi septum untuk mencegah deformitas hidung
Komplikasi : nekrosis tulang rawan septum, destruksi tulang rawan septum.
Sumber : Buku Ajar Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala Leher. Edisi 5. FKUI
D. RADANG HIDUNG
rinitis :
1. definisi
Rinitis adalah reaksi pada mata, hidung, dan tenggorokan akibat iritan dari udara bebas
(alergen) yang memicu pengeluaran histamin. Histamin menyebabkan inflamasi dan produksi
sekret pada hidung, sinus, dan mata.6,4
2. etiologi dan klasifikasi
Etiologi
Beberapa hal yang pada umumnya menjadi penyebab rinitis antara lain:4,5
Reaksi makanan
Emosional
Pekerjaan
Hormon
Kelainan anatomi
Penyakit imunodefisiensi
Interaksi dengan hewan
- klasifikasi
1. INFEKSI
a. AKUT
-
Influenza
Etiologi :
Rhinovirus
Myxovirus
Virus coxsackie
Virus ECHO
Gejala :
Stadium prodormal (berlangsung beberapa jam)
Rasa panas
Kering
Gatal dalam hidung
Bersin bersin berulang
Hidung tersumbar
Ingus encer (disertai deman dan nyeri kepala)
Permukaan hidung tampak merah dan membengkak
Infeksi sekunder oleh bakteri
Sekret menjadi kental
Sumbatan hidung >>
Bila tidak terjadi komplikasi gejala akan berkurang
pasien sembuh sesudah 5 -10 hari.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah :
Sinussitis
Tuba katar
Otitis media
Faringitis
Bronkitis
Penumonia
Terapi :
Tidak ada terapi spesifik
Non medikamentosa :
Istirahat
Medikamentosa (simtomatis) :
Analgetik
Antipiretik
Obat dekongestan
b. KRONIK
Penyebab : bukan karena radang ( kadang2 rinitis alergi, rinitis
vasomotor dan rinitis medikamentosa dimasukkan juga dalam
rinitis kronis ).
Yang termasuk rinitis kronis :
1. Rinitis hipertrofi
4. Rinitis Tbc
5. Rinitis karena jamur
(1) Rinitis difteri
Etiologi : Corynebacterium diptheria
Dapat primer pada hidung
Sekunder dari tenggorokan
Dapat akut maupun kronis
Gejala :
a. Rinitis akut :
Demam
Toksemia
Limfadenitis
Bisa paralisis
Pada hidung ingus bercampur darah mungkin
ditemukan pesudomembran putih yang mudah
berdarah.
Ada krusta coklat di nares dan cavum nasi.
Diagnosis ditegakan px kuman dari sekret hidung.
Terapi :
ADS
Penisilin lokal dan IM
Pasien harus di isolasi s/p px kuman (-)
b. Rinitis difteri kronis gejala lebih ringan dan akhirnya
dapat sembuh sendiri (tapi masih dapat menular).
(2) Rinitis atropi (ozaena )
Causa : klebsiela Ozaena
Teori :hormonal,gizi buruk,auto imun,wanita >>,remaja>>
Stad,awal :radang kronik
Stad. Akhir :nikrosis&atropi
Khs:krusta k.hijauan
Gjl :obstruksi,hiposmi,bau
Th/ konservatif ,operasi
(3) Rinitis sifilis
Etiologi :triponema Pallidum
Khas :edem,end arteritis pd lumen pemb. darah
menyempit,nikrosis & ulserasi
a. Primer :lesi di vestibulum & hidung luar, papul dg ulkus
yg keras,tidak sakit (3-4mgg stlh kontak) ,hilang spontan
(6-10 mgg)
Test serologi + /-
2. NON-INFEKSI
a. ALERGI
Definisi
Penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi
dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
allergen spefisik tersebut
inflamasi pada membran mukosa hidung inflamasi
pada membran mukosa hidung yang disebabkan oleh
adanya alergen yang terhirup yang dapat memicu
respon hipersensitivitasg yang disebabkan oleh
adanya alergen yang terhirup yang dapat memicu
respon hipersensitivitas
Klasifikasi
1. Seasonal allergic rhinitis (SAR)terjadi pada waktu
yang sama setiap Tahunnya musim bunga, banyak
serbuk sari beterbangan
manifestasi klinis
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya
serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar ingus
(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal yang kadang-kadang disertai
dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Gejala spesifik terdapat bayangan gelap di daerah bawah
mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat
obstruksi hidung (gejala ini disebut allergic shiner). Sering
tampak anak menggosok-gosok hidung (disebut allergic
salute). Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan
akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di
dorsumnasi bagian sepertiga bawah (disebut allergic
crease)
Diagnosis
Anamnesis
Didapatkan serangan bersin berulang,
Keluar ingus yang encer dan banyak
Hidung tersumbat
Hidung dan mata gatal kadang2 disertai dengan
banyak air mata yang keluar
Pemeriksaan fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema,
basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya
sekret encer yang banyak
Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak
hipertrofi
Pemeriksaan nasoendoskopi.
Pemeriksaan penunjang
In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dalam
normal atau meningkat.
Pemeriksaan Ig E total sering kali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda
alergi pada pasien lebih dari satu macam
penyakit, misalnya selain rhinitis alergi juga
menderita asma bronchial atau urtikari
In vivo
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara
pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri
Algoritma
Penatalaksanaan
Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari
kontak dengan allergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi
Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis
histamine H-1, pemberian dapat dalam kombinasi
atau tunggal dekongestan secara peroral
Preparat simpatomimetik golongan agonis
adrenergic alfa dipakai sebagai dekongestan hidung
oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau topical, namun pemakaian
topical hanya boleh untuk beberapa hari saja
untuk menghindari terjadinya rhinitis
medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama
sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak
berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering
dipakai adalah kortikosteroid topical
(beklometason, bedosonid, flunisolid, flutikason,
mometason furoat dan triamisinolon)
Preparat antikolinergik topical adalah ipratropium
bromide, bermanfaat untuk mengatasi rinore,
karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada
permukaan sel efektor
Anti leukotrien (zafirlukast / montelukast)
Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian
konka inferior)
Konkoplasti atau multiple outfractured
Inferior turbinoplasti
Imunoterapy
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan
dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama
serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan
hasil yang memuaskan.
Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan Ig G
blocking antibody dan penurunan Ig E
Komplikasi
Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung
merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya
polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
Otitis media
Sinusitis paranasal
Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat
langsung dari rinitis alergi tetapi karena adanya
sumbatan hidung sehingga menghambat drenase
Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT, FK U
b. NON-ALERGI
Definisi
Rinitis Non-Alergika adalah suatu peradangan pada selaput
lendir hidung tanpa latar belakang alergi
Klasifikasi
Rinitis Infeksiosa
Rinitis infeksiosa biasanya disebabkan oleh infeksi pada saluran
pernafasan bagian atas, baik oleh bakteri maupun virus.
Rinitis Okupasional
Gejala-gejala rinitis hanya timbul di tempat penderita bekerja.
Gejala-gejala rinitis biasanya terjadi akibat menghirup bahan-bahan
iritan (misalnya debu kayu, bahan kimia).
Penderita juga sering mengalami asma karena pekerjaan.
Rinitis Hormonal
Beberapa penderita mengalami gejala rinitis pada saat terjadi
gangguan keseimbangan hormon (misalnya selama kehamilan,
hipotiroid, pubertas, pemakaian pil KB).
Estrogen diduga menyebabkan peningkatan kadar asam hialuronat di
selaput hidung.
Gejala rinitis pada kehamilan biasanya mulai timbul pada bulan
kedua, terus berlangsung selama kehamilan dan akan menghilang
pada saat persalinan tiba.
Gejala utamanya adalah hidung tersumbat dan hidung meler.
Rinitis Gustatorius
Rinitis gustatorius terjadi setelah mengkonsumsi makanan tertentu,
terutama makanan yang panas dan pedas.
Rinitis Vasomotor
a) Definisi
Suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi,
alergi, eosinofilia, perubaha hormonal (kehamilan, hipertiroid),
dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker,
aspirin, klorpomazin dan obat topical hidung dekongestan)
b) Etiologi dan Patofisiologi
Neurogenik (disfungsi system otonom)
Neuropeptida
Nitric oksida
trauma
c) kasifikasi
berdasarkan gejala yang menonjol :
e) Diagnosis
Anamnesis
Dicari factor yang mempengaruhi timbulnya gejala.
PF
Pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran
yang khas berupa edema mukosa hidung, konka
berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi dapat
pula pucat
Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid,
biasanya sedikit. Tetapi pada golongan rinore
sekret yangditemukan ialah serosa dan banyak
jumlahnya
PP
Diagnosis
Penatalaksanaan
mengurangi peradangan)
3. patofisiologi
a. Rinitis alergi
Tahap-tahapnya:
Fase Sensitasi
Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh
reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.
Fase aktifasi
Yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik
dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
Fase efektor
Yaitu waktu yang terjadi respons yang kompleks (anafilaksis)sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik
b. Rinitis vasomotor
i. Neurogenik (disfungsi sistem otonom)
1. Simpatis korda spinalis segmen Th 1-2
a. Menginervasi terutama pembuluh darah mukosa dan
sebagian kelenjar
b. Melepaskan
co-transmitter
noradrenalin
dan
neuropeptida Y vasokonstriksi dan penurunan
sekresi hidung
c. Tonus ini berfluktuasi sepanjang hari peningkatan
tahanan rongga hidung yang bergantian setiap 2-4 jam
(siklus nasi) dapat bernafas normal
2. Parasimpatis nukleus salivatori superior menuju ganglion
sphenopalatina dan membentuk N. Vidianus
a. Menginervasi pembuluh darah dan terutama kelenjar
eksokrin
b. Melepaskan co-transmoitter asetilkolin dan vasoaktif
intestinal peptida peningkatan sekresi hidung dan
vasodilatasi kongesti hidung
3. Pada rinitis vasomotor
Ketidakseimbangan impuls saraf otonom di mukosa hidung
yang berupa bertambahnya aktivitas sistem parasimpatis
ii. Neuropeptida
e.
f.
g.
h.
i.
Sinusitis :
Definisi
Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi virus,
bakteri maupun jamur.
Sinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis,
frontalis atau sfenoidalis).
Etiologi
Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis
(berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun).
Penyebab sinusitis akut:
1. Infeksi virus.
Sinusitis akut bisa terjadi setelah suatu infeksi virus pada saluran pernafasan bagian
atas (misalnya pilek).
2. Bakteri.
Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam keadaan normal
tidak menimbulkan penyakit (misalnya Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae). Jika sistem pertahanan tubuh menurun atau drainase dari sinus tersumbat
akibat pilek atau infeksi virus lainnya, maka bakteri yang sebelumnya tidak berbahaya
akan berkembang biak dan menyusup ke dalam sinus, sehingga terjadi infeksi sinus
akut.
3. Infeksi jamur.
Kadang infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut.
Aspergillus merupakan jamur yang bisa menyebabkan sinusitis pada penderita
gangguan sistem kekebalan. Pada orang-orang tertentu, sinusitis jamur merupakan
sejenis reaksi alergi terhadap jamur.
4. Peradangan menahun pada saluran hidung.
Pada penderita rinitis alergika bisa terjadi sinusitis akut. Demikian pula halnya pada
penderita rinitis vasomotor.
5. Penyakit tertentu.
Sinusitis akut lebih sering terjadi pada penderita gangguan sistem kekebalan dan
penderita kelainan sekresi lendir (misalnya fibrosis kistik).
1. Asma
2. Penyakit alergi (misalnya rinitis alergika)
3. Gangguan sistem kekebalan atau kelainan sekresi maupun pembuangan lendir.
Patofisiologi
Enema Di kompleks ostimeatal mucosa yangletaknya berhadapan bertemu silia tidak
dapat bergerak lendir tidak dialirkan terjadi gangguan drenase dan ventilasi di sinus silia
kurang aktif lendir yang diproduksi mucosa lebih sinus kental bakteri patogen berkembang
baik sumbatan berlangsung terus hipoksia dan retensi lendir infeksi oleh bakteri
anaerob jeringan jadi hipertropi, polipoid ( pembentukan polip dan kista)
Manifestasi
Gejala khas dari kelainan pada sinus adalah sakit kepala yang dirasakan ketika penderita
bangun pada pagi hari.
Sinusitis akut dan kronis memiliki gejala yang sama, yaitu nyeri tekan dan pembengkakan
pada sinus yang terkena, tetapi ada gejala tertentu yang timbul berdasarkan sinus yang
terkena:
1. Sinusitis maksilaris menyebabkan nyeri pipi tepat di bawah mata, sakit gigi dan sakit
kepala.
2. Sinusitis frontalis menyebabkan sakit kepala di dahi.
3. Sinusitis etmoidalis menyebabkan nyeri di belakang dan diantara mata serta sakit
kepala di dahi. Peradangan sinus etmoidalis juga bisa menyebabkan nyeri bila
pinggiran hidung di tekan, berkurangnya indera penciuman dan hidung tersumbat.
4. Sinusitis sfenoidalis menyebabkan nyeri yang lokasinya tidak dapat dipastikan dan
bisa dirasakan di puncak kepala bagian depan ataupun belakang, atau kadang
menyebabkan sakit telinga dan sakit leher.
Gejala lainnya adalah:
- tidak enak badan
- demam
- letih, lesu
- batuk, yang mungkin semakin memburuk pada malam hari
- hidung meler atau hidung tersumbat.
Demam dan menggigil menunjukkan bahwa infeksi telah menyebar ke luar sinus.
Selaput lendir hidung tampak merah dan membengkak, dari hidung mungkin keluar nanah
berwarna kuning atau hijau.
Diagnosis
Diganosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala, foto rontgen sinus dan hasil pemeriksaan
fisik.
Untuk menentukan luas dan beratnya sinusitis, bisa dilakukan pemeriksaan CT scan.
Pada sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen gigi untuk mengetahui adanya
abses gigi.
Pengobatan
Sinusitis akut
Untuk sinusitis akut biasanya diberikan:
Dekongestan untuk mengurangi penyumbatan
Dekongestan dalam bentuk tetes hidung atau obat semprot hidung hanya boleh dipakai
selama waktu yang terbatas (karena pemakaian jangka panjang bisa menyebabkan
penyumbatan dan pembengkakan pada saluran hidung).
Untuk mengurangi penyumbatan, pembengkakan dan peradangan bisa diberikan obat semprot