Anda di halaman 1dari 64

PILEK TIDAK SEMBUH-SEMBUH

Study kasus..:

anatomi dan fisiologi


Anatomi Hidung
BAGIAN HIDUNG:
a. Bagian-bagian hidung :

i. Hidung bagian luar atau pyramid hidung :


Hidung luar dari atas ke bawah :
Pangkal hidung (bridge)
Dorsum nasi
Puncak hidung
Ala nasi
Kolumela
Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan, yang dibungkus
oleh kulit, serta jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.

Kerangka tulang :
o Tulang hidung (os nasalis)

o Prosesus frontalis os maksila


o Prosesus nasalis os frontal
Tulang rawan :
o Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
o Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala mayor)
o Beberapa pasang kartilago ala minor
o Tepi anterior cartlago septum
ii. Rongga hidung :
Berbentuk seperti terowongan. Dipisahkan oleh septum nasi dibagian
tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan : nares anterior
Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian belakang : nares posterior
(koana) menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring
Bagian kavum nasi, tepat dibelakang nares anterior : vestibulum (dilapisi
kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang
vibrise)
Kavum nasi punya 4 dinding :
o Medial : septum nasi
Septum dilapisi perikondrium di bagian tulang rawan dan periosteum
pada bagian tulang. Sedangkan luarnya oleh mukosa hidung
Dibentuk oleh :
- Tulang :
Lamina perpendikularis os etmoid
Vomer
Krista nasalis os maksila
Krista nasalis os palatina
- Tulang rawan :
Kartilago septum
Kolumela
o Lateral :
Bagian depan dinding lateral disebut ager nasi dan dibelakangnya
konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung
Terdapat 4 konka :
Konka inferior : konka terbesar dan paling bawah
Melekat pada os maksila dan labirin etmoid
Konka media : yang kecil
Bagian dari labirin etmoid
Konka superior : kecil lagi
Bagian dari labirin etmoid
Konka suprema : yang terkecil
Bagian dari labirin etmoid
Diantara konka-konka terdapat rongga sempit : meatus

Meatus ada 3 :
Meatus inferior :
Terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan
dinding lateral rongga hidung
Terdapat muara duktus nasolakrimalis
Meatus media :
Terletak diantara konka media dan lateral rongga hidung
Terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris
dan infundibulum etmoid
Meatus superior :
Merupakan ruang diantara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
o Inferior :
Merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum
o Posterior :
Merupakan atap hidung dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang
memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung

Sumber : Buku Ajar Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala Leher. Edisi 5. FKUI

1. Anatomi sinus paranasal?

Anatomi Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat
pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal,
sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri (Mehra dan Murad, 2004). Sinus paranasal merupakan
hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus
mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung (Soetjipto dan Mangunkusomo,2007). Semua
sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan bersilia yang mengalami modifikasi dan mampu
menghasilkan mukus serta sekret yang disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinus
terutamanya berisi udara (Hilger,1997).

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media, ada muara-muara saluran dari
sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan
kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus
unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium
sinus maksila (Drake,1997).
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus frontal dan sinus sfenoid. Sinus
maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus
etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih delapan tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid
dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini
umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun (Soetjipto dan Mangunkusomo,
2007; Lee, 2008).
Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila disebut juga antrum Highmore
(Tucker dan Schow, 2008). Saat lahir, sinus maksila bervolume 6-8 ml. Sinus ini kemudian
berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa (Mehra
dan Murad, 2004). Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial
os maksila yang disebut fossa canina, dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila,
dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita, dan
dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah
superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid (
Tucker dan Schow, 2008) Menurut Soetjipto dan Mangunkusomo (2007) dari segi klinik yang perlu
diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah: a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar
gigi rahang atas yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan kadang-kadang juga gigi taring
dan gigi M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi
rahang atas mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis. b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan
komplikasi orbita. c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase
hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit.
Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi
pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.

Dikutip dari: Paranasal Sinuses: Atlas of Human Anatomy (Netter, F.H., 2006)
Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke-empat fetus, berasal dari selsel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai
berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun
(Ramalinggam, 1990).
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainya dan dipisahkan
oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus
frontal dan kurang lebih lima persen sinus frontalnya tidak berkembang (Lee, 2008).
Ukuran sinus frontal adalah mempunyai tinggi 2.8 cm , lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus
frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk (Netter, 2006; Soetjipto dan
Mangunkusomo,2007). Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada
foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus (Rachman,2005).
Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga
infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini (Lund, 1997; Soetjipto dan
Mangunkusomo,2007).
Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan
dengan infundibulum etmoid (Lee, 2008).
Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling penting karena dapat merupakan fokus infeksi
bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di
bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cm dan lebarnya 0.5 cm di
bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior (Netter, 2006; Mangunkusomo, 2007).

Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di
dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita.
Sel-sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid
anterior yang bermuara ke meatus media dan sinus etmoid posterior bermuara ke di meatus superior.
Sel-sel etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang
menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan selsel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari
lamina basalis (Hilger, 1997; Ballenger, 2009).
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang
berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid
anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus
maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan
pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila (Mehra dan Murad, 2004).
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral
sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita
(Soetjipto dan Mangunkusomo,2007 ; Ballenger, 2009). Di bagian belakang sinus etmoid posterior
berbatasan dengan sinus sfenoid (Hilger,1997).
Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua
oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2.3 cm dan
lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan
nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus (Hilger,
1997; Netter, 2006).
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa superior serebri media dan kelenjar hipofisa,
sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri
karotis interna dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons
(Ramalinggam, 1990).
Fisiologi Sinus Paranasal
Menurut Drake (1997) dan Soetjipto dan Mangunkusomo (2007) sampai saat ini belum ada
persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus
paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan
tulang muka.
Menurut Lund (1997) beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain
adalah:
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000
volume sinus pada tipa kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total
dalam sinus.
b. Sebagai penahan suhu (thermal insulator)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari
suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak
terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka, akan tetapi bila udara
dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar satu persen
dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.

d. Membantu resonansi suara


Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara.
Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi
sebagai resonansi yang efektif. Lagi pula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus
pada hewan-hewan tingkat rendah.
e. Sebagai perendam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau
membuang ingus.
f. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus
dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara
inspirasi kerana mukus ini keluar dari meatus media, tempat yang paling strategis.
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya
(Hilger,1997). Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium
alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat
dua aliran transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang
bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir
yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung dengan resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke
nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal
(post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung (Ramalinggam, 1990; Adam, 1997).
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31193/4/Chapter%20II.pdf

2. Mukosa hidung
Mukosa hidung terletak di dalam rongga hidung (kavum nasi). Luas permukaan kavum nasi sekitar
2

150 cm dan total volumenya sekitar 15 ml Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh
mukosa yang berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Rongga hidung dilapisi oleh
mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas dua tipe yaitu mukosa penghidu (mukosa
olfaktorius). dan sebahagian besar mukosa pernafasan (mukosa respiratori) . Mukosa olfaktorius
terdapat pada permukaan atas konka superior dan dibawahnya terletak mukosa respiratorius. Lapisan
mukosa respiratorius terdiri atas epitel, membran basalis dan lamina propia. (Soetjipto D & Wardani
RS,2007)
Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang berkesinambungan dengan
berbagai sifat dan ketebalan. Secara umum sel-sel pada hidung dan mukosa sinus terdiri atas 4 tipe sel
yaitu : Sel kolumnar bersilia, sel kolumnar tidak bersilia, sal basal dan sel goblet. Mukosa yang
melapisi terdiri atas dua tipe yaitu tipe olfaktorius dan sebahagian besar tipe respiratorius. Mukosa
olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka superior dan dibawahnya terletak mukosa
respiratorius. Lapisan mukosa respiratorius terdiri atas epitel,membran basalis dan lamina propia(
Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997).
Mukosa respiratori terdapat pada sebagian besar rongga hidung yang bervariasi sesuai dengan
lokasi yang terbuka dan terlindung serta terdiri dari empat macam sel. Pertama sel torak berlapis semu
bersilia (pseudostratified columnar epithelium) yang mempunyai 50-200 silia tiap selnya .Sel-sel
bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel.
Mitokondria ini merupakan sumber energy utama sel yang diperlukan untuk kerja silia. Di antara selsel bersilia terdapat sel-sel goblet dan sel sikat (yang mempunyai mikrovili). (Watelet, 2002).

Epitel respiratorius lainnya adalah epitel pipih berlapis yang terdapat pada daerah vestibulum nasi dan
epitel transisional yang terletak persis di belakang vestibulum. Epitel yang terletak di daerah
vestibulum nasi ini dilengkapi dengan rambut yang disebut vibrissae. Lanjutan epitel pipih berlapis
pada vestibulum akan menjadi epitel pipih berlapis tanpa silia terutama pada ujung anterior konka dan
ujung septum nasi. Kemudian pada sepanjang daerah inspirasi maka epitel akan berbentuk torak,
bersilia pendek dan agak tidak teratur. Pada meatus media dan inferior yang terutama menangani
udara ekspirasi silianya panjang dan tersusun rapi. (Ballenger, 1994 ; Hilger , 1997 ; Watelet , 2002)

I. Lapisan Mukosa Hidung


Ia. Sel bersilia
Ib. Goblet sel
Ic. Sel tidak bersilia
Id. Sel basalis
II. Lapisan sel radang
(Sel plasma,limfosit dan eosinofil)
III. Lapisan Kelenjar superfisial
IV. Lapisan vaskular
V. Lapisan kelenjar dalam
Pada sel torak yang bersilia maupun yang tidak bersilia terdapat mikrovili yang berjumlah
lebih kurang 300-400 tiap selnya, dan jumlah ini bertambah ke arah nasofaring. Mikrovili berupa
benjolan seperti jari yang kecil, pendek dan langsing pada permukaan sel yang menghadap ke lumen.
Mikrovilli ini besarnya 1/3 silia dan mempunyai inti sentral dari filamen aktin. Mikrovili ini tidak

bergerak dan fungsinya mungkin untuk promosi ion dan transportasi serta pengaturan cairan diantara
sel-sel. Disamping itu juga memperluas permukaan sel ( Ballenger;1994; Waguespack,1995)
Terakhir adalah sel basal yang terdapat di atas membrane sel. Sel basal tidak pernah mencapai
permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia. Sel-sel basal
berpotensi untuk menggantikan sel-sel bersilia atau sel-sel goblet yang telah mati. (Ballenger, 1994 ;
Hilger , 1997; Weir , 1997)
Secara struktural susunan lapisan mukosa pada daerah yang lebih sering terkena aliran udara
mukosanya akan lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel skuamosa. Dalam
keadaan normal warna mukosa adalah merah muda dan selalu basah karena dilapisi oleh palut lendir
(mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel
goblet. (Ballenger JJ,1994 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung, hanya lebih tipis dan
kelenjarnya lebih sedikit. Epitelnya torak berlapis semu bersilia, bertumpu pada membran basal yang
tipis dan tunika propia yang melekat erat dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat
dengan ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir kearah hidung melalui ostium. Kelenjar mukosa
juga banyak ditemukan didekat ostium (Ballenger;1994; Waguespack,1995 ; Levine,2002).
Pada membran mukosa juga ditemukan sel neurosekretori dan beberapa macam sel seperti makrofag
dan leukosit. Terlihat juga kelenjar mukosa yang masuk kedalam jaringan ikat. Kelenjar ini
memproduksi cairan mukos dan serosa dibawah kontrol saraf parasimpatis. (Ballenger;1994)
Sel goblet (kelenjar mukus)
Sel goblet atau kelenjar mukus adalah sel tunggal yang pada pemeriksaan endoskopis tampak
berbentuk piala. Sel ini menghasilkan komplek protein polisakarida yang membentuk lendir dalam
2

air. Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi didaerah konka inferior(11.000sel/mm ) dan terendah
2

di septum nasi (5700 sel/mm ). Diantara semua sinus, maka sinus maksila mempunyai kepadatan sel
goblet yang paling tinggi. Selain itu sel goblet juga banyak dijumpai didaerah nasofaring
(Ballenger;1994 ; Waguespack,1995; Levine,2002 )
Silia hidung
Pada sel epitel kolumner bersilia (sel epitel torak berlapis semu bersilia) memiliki mikrovilia
dan silia dengan jumlah berkisar 300-400 mikrovili tiap selnya yang bertambah ke arah nasofaring,
dan 50-200 silia tiap selnya. Silia merupakan struktur kecil menyerupai rambut , menonjol dari
permukaan sel dan berperan dalam membersihkan kotoran dalam hidung . Bentuknya panjang,
dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 50 - 200 buah tiap
selnya. Panjang silia antara 5-7 m dengan diameter 0,3 m. Denyut silia kira-kira 9-15 Hz pada
manusia, dengan beragam variasi pada mamalia. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral
tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar. Masing - masing mikrotubulus
dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastik yang disebut dengan neksin dan jari-jari radial. Tiap
silia tertanam pada badan basal yang letaknya di bawah permukaan sel. Pada gambar 2.3 tampak
anatomi molekuler silia. (Cohen NA. 2006 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007 ; Wilma T.2007 ;
Ballenger JJ,1994)
Silia bergerak serempak secara cepat ke arah aliran lapisan, kemudian membengkok dan
kembali tegak dengan lebih lambat dengan kecepatan pukulan silia kira-kira 700-1000 siklus
permenit. Silia dapat bergerak akibat adanya energi berupa adenosine triphospat (ATP) yang
menggerakkan tangkai dari silia. Gerak maju dan mundurnya silia disebut irama. Gerak silia terjadi 12
sampai 1400 kali/menit. Silia ini dapat terkoordinasi dengan baik, gerakannya dapat mengalirkan
lapisan mukus yang menyelimutinya, yang di depan meneruskan beban yang disampaikan oleh siliasilia yang di belakangnya. Gerakan silia ini merupakan gerakan yang berkesinambungan bukan
gerakan sinkron. Gerak silia, berdasarkan sejarahnya pertama kali diterangkan oleh Sharpey, pada
tahun 1835, dalam penelitiannya tentang konsep pembersihan mukosiliar secara aktif dengan manfaat
fisiologiknya terhadap hidung dan sinus paranasal. Kemudian dilajutkan oleh Hilding ,tahun 1932,
dengan melakukan penelitian pada hewan anjing, terhadap pembersihan mukosiliar pada sinus yang
juga memperlihatkan perbaikan mukosa hidung . Kemudian Sewall dan Boyden melanjutkan untuk

mempelajari pentingnya lapisan mukosa terhadap tulang hidung. Dan berikutnya , Messerklinger
memperkenalkan alat diagnostik, endoskopik nasal. Penemuannya ini adalah sebagai pendekatan
sistemik yang pertama dalam mendiagnosa dan mengobati penyakit sinus yang mengalami inflamasi.
(Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997; Waguespack R,1995 ; Cohen NA, 2006)
Fungsi utama dari silia adalah membawa mukus kembali ke arah faring. Mukus hidung adalah
berfungsi sebagai alat transportasi partikel yang tertimbun dari udara inspirasi, juga untuk
memindahkan panas; normalnya mukus menghangatkan udara inspirasi dan mendinginkan udara
ekspirasi, serta melembabkan udara inspirasi dengan lebih dari dari satu liter uap setiap harinya.
Namun, dengan jumlah uap demikian seringkali tidak memadai untuk melembabkan udara yang
sangat kering yang dapat berakibat mengeringnya mukosa yang disertai berbagai gangguan hidung.
Derajat kelembaban selimut mukus ditentukan oleh stimulasi saraf pada kelenjar seromukosa pada
submukosa hidung. Silia dapat berdenyut berkisar antara 10-20 kali permenit pada temperatur tubuh.
(Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997; Waguespack R,1995)
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan yang
teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa
mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang
masuk ke dalam rongga hidung. (Ballenger JJ,1994 ; Cohen NA.2006 ; Soetjipto D & Wardani
RS,2007 ; Wilma T.2007 ; Ballenger JJ,1994)
Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang
mikrotubulus luar yang dikenal dengan konfigurasi 9+2. Maksudnya adalah ultra struktur silia
dibentuk oleh 2 mikrotubulus sentral dan sebelah luarnya dikelilingi oleh 9 pasang mikrotubulus(outer
double microtubulus). Pada outer double mikrotubulus ini dapat dibedakan menjadi subfibril A dan
subfibril B . Subfibril A memiliki struktur dynein arms (lengan dynein) sedangkan subfibril B tidak.
Pasangan mikrotubulus luar ini berhubungan dengan tubulus sentral melalui radial spokes

(Lang,1989; Waguesp
ack, 1995; McCaffrey,1997)

Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya. Sumber energinya
adalah ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari pemecahan ADP oleh ATPase. ATP
berada di lengan dynein yang menghubungkan mikrotubulus dengan pasangannya dan menimbulkan
aksi-reaksi. Sedangkan antara pasangan yang satu dengan yang lainnya dihubungkan dengan bahan
elastik yang disebut neksin. (Ballenger;1994 ; Waguespack 1995 ; Cohen , 1996)
Pola gerakan silia yaitu gerakan yang cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active stroke) dengan
ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakkan lapisan ini. Kemudian silia bergerak
kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan
durasi geraknya kira-kira 1: 3 . Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan
seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino (
metachronical waves) pada satu area arahnya sama. (Ballenger;1994)
Palut lendir
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat. Lendir ini diproduksi oleh
kelenjar mukus dan serous, terutama oleh sel-sel goblet pada mukosa. Pada keadaan sehat mempunyai

PH 7 atau sedikit asam, dan lebih kurang komposisinya adalah 2,5-3% musin, garam 1-2% dan air
95%. Mukus ini juga mengandung IgA. Terdapat pada seluruh rongga hidung (kecuali vestibulum),
sinus, telinga dan lainnya. Gerakan silia di bawahnya menggerakkan lapisan lendir ini, bersamaan
dengan materi-materi asing yang terperangkap olehnya, secara berkesinambungan ke arah faring dan
esophagus untuk kemudian ditelan atau dibatukkan. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan perisiliar,
yang menyelimuti batang sillia, lebih tipis dan kurang lengket ; dan lapisan kedua terletak di atasnya
adalah lapisan superfisial, Lapisan kedua terdapat diatasnya (superfisialis) terdapat lendir yang lebih
kental yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan superfisial ini
merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan yang menumpang keseluruhan kedua
lapisan ini dinamakan palut lendir. Lapisan perisiliar sangat berperan penting pada gerakan silia,
karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini. . Secara keseluruhan kedua lapisan ini
dinamakan palut lendir. (Ballenger JJ,1994 ; Lindberg, 1997 ; Sakakura, 1997 ; Waguespack R,1995)
Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum dan protein sekresi dengan molekul
yang lebih rendah. Lapisan ini sangat berperan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar
batang silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia didalam cairan ini. Keseimbangan
+

cairan diatur oleh elektrolit . Penyerapan diatur oleh transpor aktif natrium (Na ) dan sekresi
-

digerakkan oleh klorida(Cl ). Tingginya permukaan cairan perisiliar ditentukan oleh keseimbangan
antara kedua elektrolit ini, dan derajat permukaan ini menentukan kekentalan palut lendir
(Ballenger,1994; Weir,1994; Hilger 1997)
Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung glikoprotein mukus. Diduga
mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar,
menelan atau bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada temperatur dingin,
kelembaban rendah, gas atau aeosol yang terinhalasi, serta menginaktifkan virus yang terperangkap
(Ballenger, 1994; Weir,1994; Waguespack,1995)
Di cairan perisiliar penting adanya pengaturan interaksi antara silia dan palut lendir, serta sangat
menentukan pengaturan transport mukosiliar. Pada lapisan perisiliar yang dangkal, maka lapisan
superfisial yang pekat akan masuk kedalam ruang perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan
cairan perisiliar, maka ujung silia tidak akan mencapai lapisan superfisial yang dapat mengakibatkan
kekuatan aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali. Pada keadaan normal permukaan cairan
perisiliar sedikit lebih rendah dibanding ujung silia. Kedua keadaan ini sangat mengganggu transport
mukosiliar (Hilger, 1994; Weir,1995)
Mukus yang berasal dari kelompok sinus anterior akan mengalir ke meatus medius untuk berfungsi
sebagai pengatur kondisi udara yang utama(Ballenger , 1994; Sakakura ;1994)
Silia pada sel epitel respiratorius, kelenjar penghasil mukus atau sel goblet dan palut lendir
membentuk satu kesatuan sebagai sistem mekanisme pertahanan penting dalam sistem respiratori
dikenal sebagai sistem mukosiliar. (Ballenger JJ,1994 ; Sakakura, 1997)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter%20II.pdf

2. Fisiologi
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka
media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian
depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran
dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.

2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)


Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang
akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit,
sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga
radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah
melalui hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh :
Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
Silia
Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir
dan partikel partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut
lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.
4. Indra penghirup
Hidung juga bekerja sebagai indra penghirup dengan adanya mukosa olfaktorius pada
atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau
dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik
nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga
mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks

bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas.

Sensasi bau

Menyebar ke dalam lapisan mukus

Berikatan dengan protein reseptor di membran silia

Aktivasi protein G

Aktivasi adenilat siklase


Adenosin triphospat intrasel cAMP

Membuka kanal ion natrium

Natrium masuk ke dalam sel

Depolarisasi

Mengeluarkan impuls ke nervus olfaktorius

Masuk ke bulbus olfaktorius melalui lamina cribrosa os ethmoidal

Di dalam bulbus mengadakan sinaps dengan sel mitral ( sinaps disebut dengan glomerulus )

Traktus olfaktorius

Stria olafaktorius medial dan lateral

Pusat olfaktorius

Sumber lain
Mekanismemembau
Perangsangan sel-sel olfaktoria zat-zat yg menyebabkan perangsangan penciuman

Zat harus mudah


menguap, shg ia dpt
dihirup masuk ke
lubang hidung

Zat harus sedikit larut


dalam air, shg ia dapat
melalui
mukus
utk
mencapai sel olfaktoria

Harus larut dalam lipid,


karena
rambut-rambut
olfaktoria dan ujung luar
sel-sel olfaktoria terutama
terdiri atas zat-zat lipid

Sejumlah sel-sel olfaktoria terpisah mengirimkan akson ke bulbus olfaktorius untuk berakhir
pada dendrit-dendrit selmitral dalam struktur yg dinamakan glomerulus. Kira-kira 25.000
akson dari sel olfaktoria masuk pada setiap glomerulus dan besinaps dengan sekitar 25 sel
mitral yg selanjutnya mengirimkan isyarat ke dalam otak. Terdapata total sekitar 5000
glomerulus. Serabut-serabut sel mitral (Glomerulus) berjalan melalui traktus olfaktorius dan
berakhir terutama atau melalui neuron pemancar dalam dua daerah utama pada otak yg
masing-masing dinamakan area olfaktoria medial dan area olfaktoria lateral. Area olfaktoria
medial terdiri atas kelompokan inti yg tereletak pada bagian tengah otak superior dan anterior
terhadap thalamus. Kelompokkan ini terdiri atas septum, pelusidum, gyrus subkalosus, area
paraolfaktoria, trigonum olfaktoria dan bagian medial substantia perforata anterior.
Area olfaktoria lateral terletak bilateral, terutama di abgian anterior inferior lobus temporalis.
Ia terdiri dari area prepiriformis, unkus, bagian lateral substansia perforata anterior dan
bagian nuklei amigdaloid.
Traktus olfaktorius sekunder berjalan dari nuklei pada area olfaktoria media dan area
olfaktoria lateral menuju ke hipothalamus, thalamus, hipokampus dan nuklei batang otak.
Daerah sekunder ini mengatur respon otomatik tubuh trhdp rangsangan penciuman,
(Sumber ; Buku Fisiologi Manusia dan mekanisme penyakit, Guyton)

Fisiologi hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air
conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius
(penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik
yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran
suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan
beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal. (Soetjipto D &
Wardani RS,2007)

Mengapa keluhan hidung buntu yg berpindah-pindah ?


Mengapa ingus kental, kekuningan, dan terasa mengalir
di tenggorok dan disertai demam ?

Berubahnya warna secret pada hidung diakibatkan respon dari reaksi hipersensitivitas
ini terus berlanjut sehingga mengakibatkan penambahan jenis dan jumlah sel

inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil , basofil di mukosa hidung serta


peningkatan sitokin pada mukosa hidung.
Sumber : buku ajar ilmu kesehatan THT dan KL FKUI edisi keenam

Ingus kental dan kekuningan :


Sel goblet mengeluarkan mucus jika terinfeksi bakteri kekuningan
Mengalir di tenggorok karena hidung mmg ada hub dgn tenggorok.
Kuning tanpa bau khas alergi . pas pagi hari khas dr alergen .
Ada proses imunologi dlm tubuh . inflamasi yg dipicu paparan alergen .
Jika bakteri warnanya kuning kehijauan dan bau . inflamasi demam

a. Mikroorganisme (MO) yang masuk ke dalam tubuh umumnya memiliki suatu


zat toksin/racun tertentu yang dikenal sebagai pirogen eksogen. Dengan
masuknya MO tersebut, tubuh akan berusaha melawan dan mencegahnya
yakni dengan memerintahkan tentara pertahanan tubuh antara lain berupa
leukosit, makrofag, dan limfosit untuk memakannya (fagositosit).
b. Dengan adanya proses fagositosit ini, tentara-tentara tubuh itu akan
mengelurkan senjata berupa zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen
(khususnya interleukin 1/ IL-1) yang berfungsi sebagai anti infeksi. Pirogen
endogen yang keluar, selanjutnya akan merangsang sel-sel endotel
hipotalamus (sel penyusun hipotalamus) untuk mengeluarkan suatu
substansi yakni asam arakhidonat.
c. Asam arakhidonat bisa keluar dengan adanya bantuan enzim fosfolipase A2.
d. Proses selanjutnya adalah, asam arakhidonat yang dikeluarkan oleh
e. hipotalamus akan pemacu pengeluaran prostaglandin (PGE2).
f. Pengeluaran prostaglandin pun berkat bantuan dan campur tangan dari
enzim siklooksigenase(COX). Pengeluaran prostaglandin ternyata akan
mempengaruhi kerja dari termostat hipotalamus. Sebagai kompensasinya,
hipotalamus selanjutnya akan meningkatkan titik patokan suhu tubuh (di atas
suhu normal).

Mengapa keluhan bersin2 terutama dipagi hari ?


o Di daerah panas tinggi concha mengecil untuk menyesuaikan
dengan cuaca. Tapi jika sedang mengalami rinitis concha tidak
dapat mengecil penguapan meningkat hidung kering mudah
epistaksis
o Di daerah sangat dingin concha edema untuk menyesuaikan
dengan cuaca. Jika sedang mengalami rinitis concha terlalu edema
terjadi rhinorea

bersinadalah sebuah refleks penolakan terhadap benda asing yg masuk ke dalam rongga
hidung. udara yg dihirup nenuju ke Paru harus udara bersih, partikel-partikel asing yang
masuk ke rongga hidung akan tersaring di rongga hidung oleh silia. saat ada partikel lain
masuk dan mengiritasi saluran hidung ( mengggelitik) ,ujung saraf (aferen)

akan

terangsang dan terjadilah aliran impuls listrik saraf yg sangat cepat yang mengalir melalui
nervus V (saraf trigeminus) yang menuju ke pusat refleksbersin / medula oblongata .
setelah pusat refleksbersin mendapat sinyal "bahaya" ini maka dikirim sinyal yg sangat
cepat kepada otot-otot yg dipengaruhinya utk melakukan gerakan bersin dan terjadilah
refleksbersin untuk mengeluarkan/menolak benda asing yang tak diinginkan tadi. selain
itu kelenjar lendir akan mengeluarkan cairan yang lebih banyak guna "menangkap" benda
asing dan dikeluarkan bersama lendir tsb dari hidung.
Rhinore:
Pada orang dewasa normal membentuk mukus sekitar 100ml dalam saluran nafas setiap hari.
Mukus diangkut menuju faring oleh gerakan pembersihan normal dari silia yang membatasi
saluran pernafasan. Jika terbentuk mukus yang berlebihan maka proses normal pembersihan
tidak efektif lagi, sehingga mukus tertimbun, bila hal ini terjadi maka membran mukosa
terangsang dan mukus di batukkan keluar sebagai sputum.
(Patofisiologi Slyvia A.Price & Lorraine M. Wilson)
Jika pada proses pembersihan normal dari silia yg membatasi saluran nafas terdapat mukus
berlebihan, maka proses normal pembersihan tidak efektif lagi sehingga mukus tertimbun.
Maka membran mukosa terangsang, dan mukus ini dibatukan keluar sebagai sputum.
Pembentukan mukus yang berlebihan, mungkin disebabkan oleh gangguan fisik, kimiawi dan
infeksi pada membran mukosa.
(Patofisiologi buku 2 edisi 4, sylvia A.price tahun 1995)

Setelah penderita bekerja di mebel dimungkinkan menghirup allergen spesifik yang


menyebabkan suatu reaksi alergi tipe cepat maupun lambat hasil dari reaksi
hipersensitivitas ini mengakibatkan keluarnya mediator inflamasi seperti histamine yang akan
merangsang reseptor pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada
hidung dan bersin-bersin. Histamine juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet
mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terbentuk rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Sumber : buku ajar ilmu kesehatan THT dan KL FKUI edisi keenam

a. Tahap sensitasi
Alergen masuk

Ditangkap APC / antigen presenting cell ( makrofag / monosit )


Antigen dipecah menjadi fragmen fragmen peptide, kemudian berikatan dengan HLA II
untuk membentuk MHC II dan dipresentasikan ke sel Th0

Aktivasi Th0 menjadi Th2

Th2 mengeluarkan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL-13

IL-4 dan IL-13 berikatan dengan reseptornya di sel B sehingga sel B menjadi aktif dan
memproduksi IgE

IgE kemudian akan masuk ke sirkulasi darah ( berikatan dengan basofil ) dan masuk ke
jaringan dan selanjutnya berikatan dengan sel mast
b. Tahap degranulasi
Immediate phase allergic reaction / fase cepat ( mulai dari kontak dengan alergen 1
jam )

Terpapar dengan alergen yang sama ( 1 alergen dan 2 IgE )

Berikatan dengan IgE


Degranulasi sel mast dan basofil dan mengeluarkan mediator mediator kimia seperti
histamin, prostaglandin D2, leukotrien C4, platelet activating factor

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus timbul rasa
gatal dan bersin bersin

Histamin juga menyebabkan hipersekresi kelenjar mukosa dan sel goblet dan
permeabilitas meningkat rhinorrhea dan hidung tersumbat

Sel mast juga mengeluarkan molekul kemotaktik akumulasi sel eosinofil dan
neutrofil di jaringan target

Late phase allergic reaction / fase lambat ( 2 4 jam dan berlangsung selama 24 48
jam )
Terjadi penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,
neutrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL-4, IL-5

Apa hubungan epistaksis dengan keluhan ?


Perdarahan di rongga hidung yang dapat terjadi akibat sebab kelainan lokal pada rongga
hidung ataupun karena kelainan yang terjadi di tempat lain dari tubuh.
Etiologi :
a. Sebab lokal

Trauma

: mengorek hidung, terpukul, iritasi gas, benda asing

Infeksi

: rinitis, sinusitis, granuloma spesifik

Neoplasma

: angiofibroma nasofarings juvenilis

Kongenital

: hereditary haemorragic teleangiectasia

b. Sebab sistemik
-

Kardio

: hipertensi, arteriosklerosis

Kelainan darah

: ITP, hemofili, leukemia

Infeksi

: tifoid, influenza, morbili

Perubahan tk. Atmosfir : caisson dissease

Endokrin

: menarche, kehamilan, menopause


Klasifikasi :

a. Epistaksis anterior
Berasal dr plexus Kiesselbach atau a.ethmoidalis anterior, treutama ditemui pd anak2
biasanya ringan dan mudah diatasi.
b. Epistaksis posterior
Berasal dr a.sfenopalatina dan atau a. Ethmoidalis post.sering tdpt pd usia lanjut
akibat hipertensi atau arteriosklerosis. Biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.
Pembedaan ini dibutuhkan untuk melakukan penatalaksanaan yang baik yaitu dengan
mencari sumber perdarahan dan menghentikan perdarahan.
Perbedaan

Epitaksis anterior

Sumber perdarahan

Pleksus Kisselbach di

Epitaksis posterior

Arteri sfenopalatina

Arteri etmoidalis posterior

septum bagian anterior

Sifat perdarahan

Arteri etmoidalis anterior


Biasanya lebih ringan

Biasanya lebih berat


Pada pasien dengan penyakit

Contoh kasus

Kebiasaan mengorek hidung

kardiovaskuler seperti hipertensi


dan arteriosklerosis

Tingkat kesulitan

Seringkali mudah diatasi

penatalaksanaan

Penatalaksanaan

Sering berhenti dengan

Seringkali sulit diatasi

Lakukan pemasangan

sendirinya

tampon posterior / Tampon

Jika tidak berhenti dapat

Bellocq yaitu tampon yang

dicoba dengan menekan

terbuat dari kasa padat

hidung dari luar selama 10-

dibentuk seperti kubus atau

15 menit.

bulat dengan diameter 3 cm.

Jika tidak berhasil juga, beri

Pada tampon tsb terikat 3

larutan Nitras Argenti

utas benang, 2 buah di satu

(AgNO3) 25-30% bila

sisi dan sebuah di sisi

sumber perdarahan dapat

berlawanan.

terlihat, lalu beri krim

Untuk memasang tampon

antibiotik.

posterior pada perdarahan 1

Jika dengan cara tsb tidak

sisi, digunakan bantuan

berhasil, lakukan

kateter karet yang

pemasangan tampon

dimasukkan dari lubang

anterior yang dibuat dari

hidung sampai tampak di

kapas atau kasa dengan

orofaring, lalu ditarik keluar

vaselin atau salep

dari mulut.

antibiotik. Masukkan

Pada ujung kateter ini

tampon 2-4 buah dengan

dikaitkan 2 benang tampon

susunan teratur dan harus

Bellocq tadi, kemudian

dapat menekan asal

kateter ditarik kembali

perdarahan. Tampon

melalui hidung sampai

diperthanakan 2x24 jam

keluar dan dapat ditarik.

kemudian harus

dikeluarkan.

Kedua benang yang keluar


dari hidung diikat pada
sebuah gulungan kain kasa
di depan nares anterior.
Benang yang keluar dari
mulut diikatkan di pipi.

Bila perdarahan pada ke dua


sisi, digunakan bantuan dua
kateter masing-masing
melalui kavum nasi kanan
dan kiri, dan tampon
posterior terpasang di
tengah2 nasofaring

Atau dengan bantuan


endoskop dilakukan
kauterisasi atau ligasi a.
sfenopalatina.

Mengapa bs terjadi polip ?

Karena polip bisa terjadi akibat peradangan kronis pada mukosa hidung yang
berturbulensi, terutama didaerah sempit terutama didaerah osteomeatal.Terjadi
prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar
baru.juga terjadi penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi
air sehingga terbentuk polip.
Cara mendiagnosis :

Anamnesis : keluhan utama hidung tersumbat, rinore mulai jernih sampai


purulen, disertai bersin-bersin, nyeri kepala, bila ada infeksi disertai post nasal drip
dan rinore purulen.

Pemeriksaan fisik : menyebakan deformitas hidung luar sehingga hidung


tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada rinoskopi anterior tampak masa
yang pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakan.

Stadium polip mackay dan lund (1997) : stadium 1 polip terbatas di meatus medius;
stadium 2 keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi
rongga hidung; stadium 3 polip yang massif.
Sumber : buku ajar ilmu kesehatan THT dan KL FKUI edisi keenam

Mengapa penderita kurang bisa membau parfum bila


aromanya tidak tajam?

Hidung yang bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir
atau bila menarik napas dengan kuat.
Jika partikel bau tidak mencapai daerah mukosa olfaktorius pada atap rongga
hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum, karena ada suatu
sumbatan (secret, tumor,dll) tidak dapat membau
(Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT, FK UI)
Kelainan pembauan

Etiologi dari hiposmia ada 2 macam yaitu :


A. Defek konduktif:
1. Proses inflamasi/peradangan dapat mengakibatkan hiposmia. Kelainannya meliputi
rhinitis (radang hidung) dari berbagai macam tipe, termasuk rhinitis alergika, akut, atau
toksik (misalnya pada pemakaian kokain). Penyakit sinus kronik menyebabkan penyakit
mukosa yang progresif dan seringkali diikuti dengan hiposmia meski telah dilakukan
intervensi medis, alergis dan pembedahansecaraagresif.

B. Defek sentral/sensorineural
C. Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap
rongga

hidung,

konka

superior

dan

sepertiga

bagian

atas

septum.

Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila nafas
dengan kuat. Mukosa olfaktorius terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa ini dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak
bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga
macam sel yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu
berwarna coklat kekuningan. Di antara sel-sel reseptor (neuron) terdapat banyak kelenjar
Bowman penghasil mukus (air, mukopolisakarida, enzim, antibodi, garam-garam dan protein
pengikat bau). Sejumlah besar kelenjar Bowman terdapat dalam lamina propria pada region
olfaktorius. Sel-sel reseptor bau merupakan satu-satunya sistem saraf pusat yang dapat
berganti secara regular (4-8 minggu)3,7,8. Sel reseptor bau adalah sel saraf bipolar yang terdapat
di daerah yang terbentang di atas dari konka media sampai ke atap, dan daerah septum yang
berhadapan. Pada mukosa olfaktoria terdapat seratus juta sel olfaktoria dan sel-sel ini
dikelilingi oleh sel penyokong yang mensekresi lapisan mucus yang terus menerus melapisi
epitel dan mengirimkan banyak mikrovili rambut silia ke dalam mucus ini. Akson dari sel
saraf bipolar akan dikumpulkan menjadi satu dalam bentuk serat saraf yang melalui lamina
kribrosa ke dalam bulbus olfaktorius. Akson dari sel-sel ini membentuk traktus olfaktorius
yang menuju ke otak2,5,6.
D. Ketika ada inflamasi pada mucosa olfaktori mengganggu sel olfaktorius
Kelainan pembauan:
Pada gangguan penghidu ada beberapa macam terminology diantaranya :

hiposmia bila daya menghidu berkurang,

anosmia bila daya menghidu hilang

disosmia bila terjadi perubahan persepsi penghidu.


o

Disosmia terbagi lagi menjadi phantosmia : persepsi adanya bau tanpa ada stimulus

parosmia atau troposmia : perubahan persepsi terhadap bau dengan adanya stimulus

Agnosia : tidak bisa menyebutkan atau membedakan bau, walaupun penderita dapat
mendeteksi bau.
Gangguan pembauan dapat bersifat total (seluruh bau), parsial (hanya sejumlah bau),

atau spesifik (hanya satu atau sejumlah kecil bau) 3,4,5,6 .

Apa kaitan pasien bekerja di pabrik mebel ?


Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
a. Alergen Inhalan
Yang masuk bersama dengan udara pernafasan misalnya debu rumah, tungau,
serpihan epitel, dan bulu binatang serta jamur.
b. Alergen Ingestan
Yang masuk ke saluran cerna berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat,
ikan, udang.
c. Alergen Injektan
Yang masuk melalui suntikan atau tusukan misalnya penisilin dan sengatan
lebah.
d. Alergen Kontaktan

Yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa misalnya bahan
kosmetik, perhiasan.
Dengan adanya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis
besar terdiri dari:
a. Respons primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil
seluruhnya dihilangkan reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
b. Respons sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah
system imunitas seluler atau humoral atau keduanya di bangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau
memang sudah ada defek dari system imunologik maka reaksi berlanjut
dengan respon tertier.
c. Respons tertier
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag
oleh tubuh.
FKUI

Hubungan obat phenyl propanolamin dengan penyakit tersebut?

Cara kerja agen ini adalah vasokontriksi (membuat pembuluh darah berkontriksi)
sehingga pembuluh darah di selaput lendir hidung mengkerut dan pembentukan lendir
berkurang.

PPA hanya digunakan dalam obat flu dan batuk sebagai nasal dekongestan, serta tidak
pernah disetujui sebagai penekan nafsu makan .

Kisaran kekuatan/dosis PPA yang diijinkan per takaran adalah 10 mg sampai dengan
25 mg, dengan pemakaian per hari maksimal 75 mg (dewasa) dan 37,5 mg (anak 6-12
tahun).

Penggunaan PPA untuk anak dibawah 6 tahun tidak dianjurkan.

Dalam sebagian besar informasi produk obat yang mengandung PPA telah
dicantumkan peringatan (warning) sebagai berikut :

Penggunaan obat tidak boleh melebihi dosis yang dianjurkan dan harus
dihentikan penggunaanya jika terjadi jantung berdebar, pusing ataupun susah
tidur.

Hati-hati penggunaanya pada penderita dengan gangguan fungsi hati dan


ginjal.

Tidak boleh digunakan pada penderita yang hipersensitif, penderita dengan


gangguan fungsi hati yang berat, hipertensi, gangguan jantung, diabetes
melitus, hipertiroid, dan yang sedang diterapi dengan antidepresan tipe
penghambat monoamin oksidase.

Jumlah produk obat flu dan batuk yang mengandung PPA di Indonesia
sebanyak 189 nama dagang yang diproduksi oleh 79 produsen.

Jakarta, 30 Nopember 2000 Direktur Jenderal


Pengawasan Obat dan Makanan Drs. H. Sampurno, MBA

DD:
3. KELAINAN HIDUNG
A. KONGENITAL
i. Labio dan palatoskisis :
ii. Krista dermoid :
Tidak dapat ditekan dan tidak berdenyut, tampak seperti lubang pada dorsum
nasi, kadang mengeluarkan secret purulen
DD : glioma, ensefalokel, mukokel, osteomielitis, hemangioma, neurofibroma
Dx : CT-scan
iii. Glioma (tidak berhubungan dengan SSP dan ensefalokel (berhubungan dengan SSP):
Glioma :
o Padat, masa yang tidak dapat ditekan, tak berdenyut, bewarna abu-abu
atau keunguan, tidak bertransiluminasi dan tidak menghasilkan tanda
furstenberg positif missal tidak ada pembesaran dan penekanan vena
jugularis
o DD : kista dermoid dan ensefalokel
o Dx : CT-scan, NMR, foto polos dalam tiap bidang
Ensefalokel :
o Cacat kranium, warna kebiruan, dapat ditekan, berdenyut, dapat
bertaransiluminasi dan memberikan tanda Furstenberg positif
o DD : kista dermoid, neurofibroma, hemangioma
o Dx : CT-scan, NMR, foto polos dalam tiap bidang
iv. Atresia koana :
Etiologi : kegagalan embriologik dari membrane bukonasal untuk membelah
sebelum kelahiran

v. Anomaly hidung :
Etiologi : pengaruh teratogenik
DD : kista dermoid, ensefalokel
Dx : CT-scan
Sumber : Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. EGC

B. KELAINAN SEPTUM
Macamnya:
DEVIASI SEPTUM
Etiologi : - trauma yang dapat terjadi sesudah lahir
- trauma pada waktu partus
- trauma pada janin intrauterin
- ketidakseimbangan pertumbuhan,Tulang rawan septum nasi terus tumbuh
meskipun batas superior dan inferior telah menetap.
Bentuk deformitas : - deviasi, biasanya berbentuk huruf C atau S
- dislokasi, yaitu bagian bawah kartilago septum ke luar dari krista
maksila dan masuk ke dalam rongga hidung
- penonjolan tulang atau tulang rawan septum, bila memanjang dari
depan ke belakang disebut krista, dan bila sangat runcing dan pipih
disebut spina, krista septum bertemu dan melekat dengan konka
didepanya ( sinekia ), bentuk ini akan menambah beratnya
obstruksi.
Gejala klinik : - deviasi septum ialah sumbatan hidung. Sumbatan bisa unilateral, dapat pula
bilateral, sebab pada sisi deviasi terdapat konka hipertrofi, sedangkan
pada sisi sebelahnya terjadi konka yang hipertrofi, sebagai akibat
mekanisme kompensasi.
- Rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain dari itu penciuman bila
terganggu, apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum.
- Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan
faktor predisposisi terjadinya sinusitis.
Terapi :
Ada 2 jenis tindakan operatif yang dilakukan pada pasien dengan keluhan nyata :
1. reseksi submukosa : pada operasi ini mukoperikondrium dan mukoperiostium
kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau
tulang rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga mukoperikondrium dan
mukoperiostium sisi kiri dan kanan akan langsung bertemu di garis tengah.
Komplikasi : hidng pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak hidung, oleh karena
2. reposisi septum ( septoplasti )
Pada operasi ini tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya bagian yang
berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan cara operasi ini dapat di cegah komplikasi
yang mungkin timbul pada operasi reseksi submukosa, seperti terjadinya perforasi
septum dan hidung pelana (saddle nose).

HEMATOMA SEPTUM :
Patogenesis :
Trauma pembuluh darah submukosa pecah darah berkumpul diantara
perikondrium dan tulang rawan septum hematoma septum.

Gejala klinik :
o Sumbatan hidung dan rasa nyeri
o Pembengkakan unilateral atau bilateral pada septum bagian depan
Terapi :
o Drenase
o Pungsi
o Insisi pada bagian hematoma
o Insisi bilateral
o Pasang tampon untuk menekan perikondrium
o Antibiotic untuk mencegah infeksi sekunder
Komplikasi :
Abses septum dan deformitas hidung luar seperti hidung pelana (saddle nose)

ABSES SEPTUM :
Etiologi : trauma yang tidak disadari pasien
Gejala : hidung tersumbat progresif disertai rasa nyeri berat, terutama dipuncak hidung,
demam dan sakit kepala
Terapi : insisi dan drenase nanah serta diberikan antibiotik dosis tinggi, serta analgetik,
rekonstruksi septum untuk mencegah deformitas hidung
Komplikasi : nekrosis tulang rawan septum, destruksi tulang rawan septum.
Sumber : Buku Ajar Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala Leher. Edisi 5. FKUI

C. KELAINAN MUKOSA (POLIP)


i.
Definisi : kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang bertangkai, berbentuk
bulat atau lonjong, bewarna putih keabu-abuan, dengan permukaan licin dan agak bening
karena mengandung banyak cairan.
ii. Etiologi :
Etiologi pasti belum diketahui, tapi ada 3 faktor penting terjadinya polip :
1. Adanya peradangan kronik dan berulang pada mukosa hidung dan sinus
2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor
3. Adanya peningkatan tekanan cairan intersisial dan edema mukosa hidung
iii. Patogenesis :
Ditemukan edema mukosa di daerah meatus medius stroma terisi cairan
interseluler mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila terus berlanjut mukosa
yang sembab makin membesar dan turun ke rongga hidung membentuk tangkai
polip
iv. Gejala :
1. Keluhan utama hidung tersumbat (menetap, tidak hilang timbul dan makin berat)

2. Ada masa didalam hidung dan susah membuang ingus


3. Gangguan penciuman
4. Gangguan sekunder (post nasal drip, sakit kepala, nyeri muka, telinga terasa
penuh, mendengkur, gangguan tidur.
v. Terapi :
1. Medikamentosa : untuk polip yang masih kecil pemberian kortikosteroid
sistemik, kalau ada infeksi antibiotik
2. Operasi (polipektomi) : untuk polip yang besar yang belum memadati rongga
hidung
Sumber : Buku Ajar Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala Leher. Edisi 5. FKUI

D. RADANG HIDUNG
4. KELAINAN HIDUNG
A. KONGENITAL
vi. Labio dan palatoskisis :
vii. Krista dermoid :
Tidak dapat ditekan dan tidak berdenyut, tampak seperti lubang pada dorsum
nasi, kadang mengeluarkan secret purulen
DD : glioma, ensefalokel, mukokel, osteomielitis, hemangioma, neurofibroma
Dx : CT-scan
viii. Glioma (tidak berhubungan dengan SSP dan ensefalokel (berhubungan dengan SSP):
Glioma :
o Padat, masa yang tidak dapat ditekan, tak berdenyut, bewarna abu-abu
atau keunguan, tidak bertransiluminasi dan tidak menghasilkan tanda
furstenberg positif missal tidak ada pembesaran dan penekanan vena
jugularis
o DD : kista dermoid dan ensefalokel
o Dx : CT-scan, NMR, foto polos dalam tiap bidang
Ensefalokel :
o Cacat kranium, warna kebiruan, dapat ditekan, berdenyut, dapat
bertaransiluminasi dan memberikan tanda Furstenberg positif
o DD : kista dermoid, neurofibroma, hemangioma
o Dx : CT-scan, NMR, foto polos dalam tiap bidang
ix. Atresia koana :
Etiologi : kegagalan embriologik dari membrane bukonasal untuk membelah
sebelum kelahiran
x. Anomaly hidung :
Etiologi : pengaruh teratogenik
DD : kista dermoid, ensefalokel
Dx : CT-scan
Sumber : Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. EGC

B. KELAINAN SEPTUM
Macamnya:
DEVIASI SEPTUM
Etiologi : - trauma yang dapat terjadi sesudah lahir

- trauma pada waktu partus


- trauma pada janin intrauterin
- ketidakseimbangan pertumbuhan,Tulang rawan septum nasi terus tumbuh
meskipun batas superior dan inferior telah menetap.
Bentuk deformitas : - deviasi, biasanya berbentuk huruf C atau S
- dislokasi, yaitu bagian bawah kartilago septum ke luar dari krista
maksila dan masuk ke dalam rongga hidung
- penonjolan tulang atau tulang rawan septum, bila memanjang dari
depan ke belakang disebut krista, dan bila sangat runcing dan pipih
disebut spina, krista septum bertemu dan melekat dengan konka
didepanya ( sinekia ), bentuk ini akan menambah beratnya
obstruksi.
Gejala klinik : - deviasi septum ialah sumbatan hidung. Sumbatan bisa unilateral, dapat pula
bilateral, sebab pada sisi deviasi terdapat konka hipertrofi, sedangkan
pada sisi sebelahnya terjadi konka yang hipertrofi, sebagai akibat
mekanisme kompensasi.
- Rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain dari itu penciuman bila
terganggu, apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum.
- Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan
faktor predisposisi terjadinya sinusitis.
Terapi :
Ada 2 jenis tindakan operatif yang dilakukan pada pasien dengan keluhan nyata :
1. reseksi submukosa : pada operasi ini mukoperikondrium dan mukoperiostium
kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau
tulang rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga mukoperikondrium dan
mukoperiostium sisi kiri dan kanan akan langsung bertemu di garis tengah.
Komplikasi : hidng pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak hidung, oleh karena
2. reposisi septum ( septoplasti )
Pada operasi ini tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya bagian yang
berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan cara operasi ini dapat di cegah komplikasi
yang mungkin timbul pada operasi reseksi submukosa, seperti terjadinya perforasi
septum dan hidung pelana (saddle nose).

HEMATOMA SEPTUM :
Patogenesis :
Trauma pembuluh darah submukosa pecah darah berkumpul diantara
perikondrium dan tulang rawan septum hematoma septum.

Gejala klinik :
o Sumbatan hidung dan rasa nyeri
o Pembengkakan unilateral atau bilateral pada septum bagian depan
Terapi :
o Drenase
o Pungsi

o Insisi pada bagian hematoma


o Insisi bilateral
o Pasang tampon untuk menekan perikondrium
o Antibiotic untuk mencegah infeksi sekunder
Komplikasi :
Abses septum dan deformitas hidung luar seperti hidung pelana (saddle nose)

ABSES SEPTUM :
Etiologi : trauma yang tidak disadari pasien
Gejala : hidung tersumbat progresif disertai rasa nyeri berat, terutama dipuncak hidung,
demam dan sakit kepala
Terapi : insisi dan drenase nanah serta diberikan antibiotik dosis tinggi, serta analgetik,
rekonstruksi septum untuk mencegah deformitas hidung
Komplikasi : nekrosis tulang rawan septum, destruksi tulang rawan septum.
Sumber : Buku Ajar Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala Leher. Edisi 5. FKUI

C. KELAINAN MUKOSA (POLIP)


i.
Definisi : kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang bertangkai, berbentuk
bulat atau lonjong, bewarna putih keabu-abuan, dengan permukaan licin dan agak bening
karena mengandung banyak cairan.
ii. Etiologi :
Etiologi pasti belum diketahui, tapi ada 3 faktor penting terjadinya polip :
1. Adanya peradangan kronik dan berulang pada mukosa hidung dan sinus
2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor
3. Adanya peningkatan tekanan cairan intersisial dan edema mukosa hidung
iii. Patogenesis :
Ditemukan edema mukosa di daerah meatus medius stroma terisi cairan
interseluler mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila terus berlanjut mukosa
yang sembab makin membesar dan turun ke rongga hidung membentuk tangkai
polip
iv. Gejala :
1. Keluhan utama hidung tersumbat (menetap, tidak hilang timbul dan makin berat)
2. Ada masa didalam hidung dan susah membuang ingus
3. Gangguan penciuman
4. Gangguan sekunder (post nasal drip, sakit kepala, nyeri muka, telinga terasa
penuh, mendengkur, gangguan tidur.
v. Terapi :
1. Medikamentosa : untuk polip yang masih kecil pemberian kortikosteroid
sistemik, kalau ada infeksi antibiotik
2. Operasi (polipektomi) : untuk polip yang besar yang belum memadati rongga
hidung
Sumber : Buku Ajar Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala Leher. Edisi 5. FKUI

D. RADANG HIDUNG

rinitis :
1. definisi
Rinitis adalah reaksi pada mata, hidung, dan tenggorokan akibat iritan dari udara bebas
(alergen) yang memicu pengeluaran histamin. Histamin menyebabkan inflamasi dan produksi
sekret pada hidung, sinus, dan mata.6,4
2. etiologi dan klasifikasi
Etiologi
Beberapa hal yang pada umumnya menjadi penyebab rinitis antara lain:4,5
Reaksi makanan
Emosional
Pekerjaan
Hormon
Kelainan anatomi
Penyakit imunodefisiensi
Interaksi dengan hewan

- klasifikasi

1. INFEKSI
a. AKUT
-

Radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh


infeksi bakteri atau virus.

Penyakit ini sering ditemukan dan merupakan manifestasi :

Rinitis simpleks (commod cold)

Influenza

Beberapa penyakit eksantesma (morbili, variola, varisela,


pertusis), dan beberapa penyakit infeksi spesifik.

Penyakit ini dapat juga timbul sebagai reaksi sekunder akibat


iritasi lokal atau trauma.
Rinitis Simpleks (Pilek, Salesma, Common cold, Coryza)
Prnyakit ini sangat menular dan gejalanya dapat timbul sebagai
akibat tidak adanya kekebalan atau menurunnya daya tahan
tubuh (kedinginan, kelelahan, adanya penyakit menahun dll).

Etiologi :
Rhinovirus
Myxovirus
Virus coxsackie
Virus ECHO
Gejala :
Stadium prodormal (berlangsung beberapa jam)
Rasa panas
Kering
Gatal dalam hidung
Bersin bersin berulang
Hidung tersumbar
Ingus encer (disertai deman dan nyeri kepala)
Permukaan hidung tampak merah dan membengkak
Infeksi sekunder oleh bakteri
Sekret menjadi kental
Sumbatan hidung >>
Bila tidak terjadi komplikasi gejala akan berkurang
pasien sembuh sesudah 5 -10 hari.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah :
Sinussitis
Tuba katar
Otitis media
Faringitis
Bronkitis
Penumonia
Terapi :
Tidak ada terapi spesifik
Non medikamentosa :
Istirahat
Medikamentosa (simtomatis) :
Analgetik
Antipiretik
Obat dekongestan

b. KRONIK
Penyebab : bukan karena radang ( kadang2 rinitis alergi, rinitis
vasomotor dan rinitis medikamentosa dimasukkan juga dalam
rinitis kronis ).
Yang termasuk rinitis kronis :
1. Rinitis hipertrofi

2. Rinitis sika (sicca )


3. Rinitis spesifik
1) Rinitis hipertropi
Timbul akibat infeksi berulang dalam hidung dan sinud atau
sebagai lanjutan dari rinitis alergi dan vasomotor.
Gejala :
Sumbatan hidung
Sekret banyak mukopurulen
Ada keluhan nyeri kepala
Pada pemeriksaan :
Konka hipertropi (terutama konka inferior)
Permukaannya berbenjol benjol ditutupi oleh mukosa yang
juga hipertropi saluran udara sempit
Sekret mukopurulen yang banyak ditemukan di antara
konka inferior dan septum dan juga didasar rongga hidung.
Terapi :
Harus dicari faktor2 yang menyababkan timbulnya
rinitis hipertropi diberikan pengobatan yang sesuai.
Untuk mengurangi sumbatan hidung akibat hipertropi
konka kauterisasi konka dengan zat kimia (nitras
argrnti atau asam triklor asetat).
Atau dengan kauter listrik (elektrokauter)
Bila tidak menolong dilakukan luksasi konka bila perlu
dilakukan konkotomi.
2) Rinitis sika
Penyakit ini sering ditemukan :
pada orang tua
pada orang yang bekerja di lingkungan yang berdebu, pnas
dan kering.
Pada pasien anemia, peminum alkhohol dan gizi buruk.
Ditemukan :
Mukosa yang kering (bagian depan septum dan depan
ujung konka inferior)
Krusta sedikit / tidak ada
Pasien mengeluh :
Rasa iritasi / kering di hidung (kadang2 disertai epitaksis).
3) Rinitis spesifik
Karena infeksi spesifik :
1. Rinitis difteri
2. Rinitis atropi
3. Rinitis sifilis

4. Rinitis Tbc
5. Rinitis karena jamur
(1) Rinitis difteri
Etiologi : Corynebacterium diptheria
Dapat primer pada hidung
Sekunder dari tenggorokan
Dapat akut maupun kronis
Gejala :
a. Rinitis akut :
Demam
Toksemia
Limfadenitis
Bisa paralisis
Pada hidung ingus bercampur darah mungkin
ditemukan pesudomembran putih yang mudah
berdarah.
Ada krusta coklat di nares dan cavum nasi.
Diagnosis ditegakan px kuman dari sekret hidung.
Terapi :
ADS
Penisilin lokal dan IM
Pasien harus di isolasi s/p px kuman (-)
b. Rinitis difteri kronis gejala lebih ringan dan akhirnya
dapat sembuh sendiri (tapi masih dapat menular).
(2) Rinitis atropi (ozaena )
Causa : klebsiela Ozaena
Teori :hormonal,gizi buruk,auto imun,wanita >>,remaja>>
Stad,awal :radang kronik
Stad. Akhir :nikrosis&atropi
Khs:krusta k.hijauan
Gjl :obstruksi,hiposmi,bau
Th/ konservatif ,operasi
(3) Rinitis sifilis
Etiologi :triponema Pallidum
Khas :edem,end arteritis pd lumen pemb. darah
menyempit,nikrosis & ulserasi
a. Primer :lesi di vestibulum & hidung luar, papul dg ulkus
yg keras,tidak sakit (3-4mgg stlh kontak) ,hilang spontan
(6-10 mgg)
Test serologi + /-

b. Sekunder :>> 10 mgg


Sangat infeksius ( mirip R .Simplek )
Sulit didiagnosa ,kec, ada lesi lain
Test serologi +++
c. Tertier : khas Gumma
Merusak perios,tulang sadle nose
Th/ PPO
(4) Rinitis Tbc
Jarang,
lesi :nodule/ulserasi pd septum,
Konka media dan inferior
Bisa primer a sekunder
Gejala :rasa sakit,obstruksi,sekret ++ mukopur
Klinis nodule merah terang dg /tanpa ulserasi
Pemeriksaan :bakteriologi (biopsi
Th/ Anti TB & Nose toilet
(5) Rinitis karena jamur

2. NON-INFEKSI
a. ALERGI
Definisi
Penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi
dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
allergen spefisik tersebut
inflamasi pada membran mukosa hidung inflamasi
pada membran mukosa hidung yang disebabkan oleh
adanya alergen yang terhirup yang dapat memicu
respon hipersensitivitasg yang disebabkan oleh
adanya alergen yang terhirup yang dapat memicu
respon hipersensitivitas
Klasifikasi
1. Seasonal allergic rhinitis (SAR)terjadi pada waktu
yang sama setiap Tahunnya musim bunga, banyak
serbuk sari beterbangan

2. Perrenial allergic rhinitis (PAR)terjadi setiap saat


dalam setahunpenyebab utama: debu, animal
dander, jamur, kecoa
3. Occupational allergic rhinitis terkait dengan
pekerjaan
WHO Initiative ARIA (Alletgic Rhinitis and Its Impact on
Asthma) membagi berdasar sifat berlangsungnya yaitu:
a. Intermitten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari
4 minggu
b. Persisten (menetap): Bila gejala lebih dari 4 minggu
Berdasar tingkat berat ringannya dibagi menjadi
a. Ringan: Bila tidak ditemukan gangguan tidur,
gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga,
belajar dll
b. Sedang atau berat: Bila disertai gejala diatas lebih
dari 1.
Berdasar sifat berlangsungnya
a. Rinitis alergi musiman
Alergen penyebabnya spesifik yaitu tepungsari (pollen)
dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat
ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala
klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata
(mata merah, gatal disertai lakrimasi).

b. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)


Penyebab paling sering ialah alergen inhalan,
terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan.
Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah
(indoor) dan alergen diluar rumah (outdoor). Alergen
inhalan dalam rumah terdapat di selimut, karpet,
buku-buku, sofa. Komponen alergennya terutama
berasal dari serpihan kulit dan fases tungau D.
Pteronyssinus, D. Farinae dan Blomia tropicalis,
kecoa dan bulu binatang peliharaan (anjing, kucing,
burung). Alergen inhalan diluar rumah berupa
polen dan jamur.
Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada
anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala

alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan


pencernaan.
Gx timbul intrmiten atau terus-menerus, tanpa
variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang
tahun.
Rhinitis and its Impact on Asthma
Etiologi
Allergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara
pernafasan, misalnya tungau debu rumah (D.
pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis), kecoa,
serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing),
rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (aspergilus,
alternaria).
Allergen ingestan yang masuk ke saluran cerna,
berupa makanan, misalnya susu sapi, telur, coklat,
ikan laut, udang kepiting dan kacang-kacangan.
Allergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau
tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah.
Allergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit
atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik,
perhiasan.

manifestasi klinis
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya
serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar ingus
(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal yang kadang-kadang disertai
dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Gejala spesifik terdapat bayangan gelap di daerah bawah
mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat
obstruksi hidung (gejala ini disebut allergic shiner). Sering
tampak anak menggosok-gosok hidung (disebut allergic
salute). Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan
akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di
dorsumnasi bagian sepertiga bawah (disebut allergic
crease)

Diagnosis

Anamnesis
Didapatkan serangan bersin berulang,
Keluar ingus yang encer dan banyak
Hidung tersumbat
Hidung dan mata gatal kadang2 disertai dengan
banyak air mata yang keluar
Pemeriksaan fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema,
basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya
sekret encer yang banyak
Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak
hipertrofi
Pemeriksaan nasoendoskopi.
Pemeriksaan penunjang
In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dalam
normal atau meningkat.
Pemeriksaan Ig E total sering kali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda
alergi pada pasien lebih dari satu macam
penyakit, misalnya selain rhinitis alergi juga
menderita asma bronchial atau urtikari
In vivo
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara
pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri
Algoritma

Penatalaksanaan
Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari
kontak dengan allergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi

Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis
histamine H-1, pemberian dapat dalam kombinasi
atau tunggal dekongestan secara peroral
Preparat simpatomimetik golongan agonis
adrenergic alfa dipakai sebagai dekongestan hidung
oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau topical, namun pemakaian
topical hanya boleh untuk beberapa hari saja
untuk menghindari terjadinya rhinitis
medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama
sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak
berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering
dipakai adalah kortikosteroid topical
(beklometason, bedosonid, flunisolid, flutikason,
mometason furoat dan triamisinolon)
Preparat antikolinergik topical adalah ipratropium
bromide, bermanfaat untuk mengatasi rinore,
karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada
permukaan sel efektor
Anti leukotrien (zafirlukast / montelukast)
Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian
konka inferior)
Konkoplasti atau multiple outfractured
Inferior turbinoplasti
Imunoterapy
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan
dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama
serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan
hasil yang memuaskan.
Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan Ig G
blocking antibody dan penurunan Ig E

2 metode yang dilakukan adalah intradermal dan sublingual

Komplikasi
Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung
merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya
polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
Otitis media
Sinusitis paranasal
Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat
langsung dari rinitis alergi tetapi karena adanya
sumbatan hidung sehingga menghambat drenase
Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT, FK U

b. NON-ALERGI
Definisi
Rinitis Non-Alergika adalah suatu peradangan pada selaput
lendir hidung tanpa latar belakang alergi
Klasifikasi

Rinitis Infeksiosa
Rinitis infeksiosa biasanya disebabkan oleh infeksi pada saluran
pernafasan bagian atas, baik oleh bakteri maupun virus.

Rinitis Non-Alergika Dengan Sindroma Eosinofilia


Penyakit ini diduga berhubungan dengan kelainan metabolisme
prostaglandin.
Pada hasil pemeriksaan apus hidung penderitanya, ditemukan
eosinofil sebanyak 10-20%.
Gejalanya berupa hidung tersumbat, bersin, hidung meler, hidung
terasa gatal dan penurunan fungsi indera penciuman (hiposmia).

Rinitis Okupasional
Gejala-gejala rinitis hanya timbul di tempat penderita bekerja.
Gejala-gejala rinitis biasanya terjadi akibat menghirup bahan-bahan
iritan (misalnya debu kayu, bahan kimia).
Penderita juga sering mengalami asma karena pekerjaan.

Rinitis Hormonal
Beberapa penderita mengalami gejala rinitis pada saat terjadi
gangguan keseimbangan hormon (misalnya selama kehamilan,
hipotiroid, pubertas, pemakaian pil KB).
Estrogen diduga menyebabkan peningkatan kadar asam hialuronat di
selaput hidung.
Gejala rinitis pada kehamilan biasanya mulai timbul pada bulan
kedua, terus berlangsung selama kehamilan dan akan menghilang
pada saat persalinan tiba.
Gejala utamanya adalah hidung tersumbat dan hidung meler.

Rinitis Karena Obat-obatan


Obat-obatan yang berhubungan dengan terjadinya rinitis adalah:
- ACE inhibitor
- reserpin
- guanetidin
- fentolamin
- metildopa
- beta-bloker
- klorpromazin
- gabapentin
- penisilamin
- aspirin
- obat anti peradangan non-steroid
- kokain
- estrogen eksogen
- pil KB.

Rinitis Gustatorius
Rinitis gustatorius terjadi setelah mengkonsumsi makanan tertentu,
terutama makanan yang panas dan pedas.

Rinitis Vasomotor
a) Definisi
Suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi,
alergi, eosinofilia, perubaha hormonal (kehamilan, hipertiroid),
dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker,
aspirin, klorpomazin dan obat topical hidung dekongestan)
b) Etiologi dan Patofisiologi
Neurogenik (disfungsi system otonom)
Neuropeptida
Nitric oksida
trauma
c) kasifikasi
berdasarkan gejala yang menonjol :

golongan bersin (sneezers), gejala biasanya memberikan


respon yang baik dengan terapi antihistamin dan
glukokortikosteroid topical
golongan rinore (runners), gejala dapat diatasi dengan
pemberian anti kolinergik topikal
golongan tersumbat (blockers), kongesti umumnya
memberikan respon yang baik dengan terapi
glukokortikosteroid topical dan vasokonstriktor oral.
d) Manivestasi klinis
gejala mirip dengan rhinitis alergi, namun gejala yang
dominan adalah
hidung tersumbat bergantian kiri dan kanan
terdapat rinore yang mukoid atau serosa
jarang disertai gejala mata
gejala dapat memburuk dipagi hari waktu bangun
tidur oleh adanya perubahan suhu yang ekstrim,
udara lembab, juga oleh Karena asap rokok
Rinitis vasomotor diyakini merupakan akibat dari terganggunya
keseimbangan sistem parasimpatis dan simpatis. Parasimpatis
menjadi lebih dominan sehingga terjadi pelebaran dan pembengkakan
pembuluh darah di hidung. Gejala yang timbul berupa hidung
tersumbat, bersin-bersin dan hidung meler.
Gejala biasanya dipicu oleh:
- cuaca dingin
- bau yang menyengat
- stres
- bahan iritan.

e) Diagnosis
Anamnesis
Dicari factor yang mempengaruhi timbulnya gejala.
PF
Pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran
yang khas berupa edema mukosa hidung, konka
berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi dapat
pula pucat
Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid,
biasanya sedikit. Tetapi pada golongan rinore
sekret yangditemukan ialah serosa dan banyak
jumlahnya
PP

Dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan


rhinitis alergi
Kadang juga ditemukan eosinofil pada sekret
hidung, akan tetapi dalam jumlah sedikit
Tes cukit biasanya negative
Kadar Ig E tidak meningkat
f) Penatalaksanaan
Mengindari stimulus/factor pencetus
Pengobatan simptomatis, dengan obat-obatan
dekongestan oral, cuci hidung dengan larutan garam
fisiologis, kauterisasi konka hipertrofi
Dapat juga diberikan kortikosteroid topical
Operasi, dengan cara bedah-beku, elektokauter atau
konkotomi persial konka inferior
Neurektomi n.vidianus, yaitu dengan melakukan
pemotongan pada n.vidianus bila dengan cara diatas
tidak memberikan hasil optimal

Rinitis vasomotor diyakini merupakan akibat dari terganggunya


keseimbangan sistem parasimpatis dan simpatis. Parasimpatis
menjadi lebih dominan sehingga terjadi pelebaran dan pembengkakan
pembuluh darah di hidung. Gejala yang timbul berupa hidung
tersumbat, bersin-bersin dan hidung meler.
Gejala biasanya dipicu oleh:
- cuaca dingin
- bau yang menyengat
- stres
- bahan iritan.
sebabkaeh faktor-faktostruktural
manifestasi klinis
Gejala yang khas untuk rinitis adalah:
- hidung terasa gatal
- hidung meler
- hidung tersumbat.
Ciri khas dari rinitis infeksiosa adalah lendir hidung yang bernanah,
yang disertai dengan nyeri dan tekanan pada wajah, penurunan
fungsi indera penciuman serta batuk.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil tes kulit alergen


yang negatif (tidak ditemukan IgE).

Penatalaksanaan

Pengobatan rinitis non-alergika berdasarkan penyebabnya:


Infeksi karena virus biasanya akan membaik dengan sendirinya
dalam waktu 7-10 hari; sedangkan infeksi bakteri memerlukan terapi
antibiotik.
Untuk status hipotiroid perbatasan, bisa diberikan ekstrak tiroid.
Rinitis karena kehamilan biasanya akan berakhir pada saat
persalinan tiba.
Untuk mengatasi rinitis akibat pil KB sebaiknya pemakaian pil KB
dikurangi atau diganti dengan kontrasepsi lainnya.
Obat-obatan yang bisa diberikan untuk meringankan gejala rinitis:

mengurangi peradangan)

mengurangi pembengkakan dan penyumbatan hidung).

3. patofisiologi
a. Rinitis alergi
Tahap-tahapnya:

Fase Sensitasi
Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh
reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.

Fase aktifasi
Yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik
dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.

Fase efektor
Yaitu waktu yang terjadi respons yang kompleks (anafilaksis)sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik

Sumber:Imunologi Dasar.Edisi 6.K.G.Baratawidjaja.

b. Rinitis vasomotor
i. Neurogenik (disfungsi sistem otonom)
1. Simpatis korda spinalis segmen Th 1-2
a. Menginervasi terutama pembuluh darah mukosa dan
sebagian kelenjar
b. Melepaskan
co-transmitter
noradrenalin
dan
neuropeptida Y vasokonstriksi dan penurunan
sekresi hidung
c. Tonus ini berfluktuasi sepanjang hari peningkatan
tahanan rongga hidung yang bergantian setiap 2-4 jam
(siklus nasi) dapat bernafas normal
2. Parasimpatis nukleus salivatori superior menuju ganglion
sphenopalatina dan membentuk N. Vidianus
a. Menginervasi pembuluh darah dan terutama kelenjar
eksokrin
b. Melepaskan co-transmoitter asetilkolin dan vasoaktif
intestinal peptida peningkatan sekresi hidung dan
vasodilatasi kongesti hidung
3. Pada rinitis vasomotor
Ketidakseimbangan impuls saraf otonom di mukosa hidung
yang berupa bertambahnya aktivitas sistem parasimpatis
ii. Neuropeptida

1. Meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensoris serabut C di


hidung terjadi disfungsi hidung
2. Rangsangan abnormal peningkatan pelepasan neuropeptida
seperti substance P dan calcitonin gene-related protein
peningkatan permeabilitas vaskuler dan sekresi kelenjar
peningkatan respon pada hiper-reaktivitas hidung
iii. Nitrik oksida
Kadar NO tinggi dan persisten di lapisan epitel hidung kerusakan
atau nekrosis epitel rangsangan non-spesifik bereaksi langsung ke
lapisan sub-epitel peningkatan reaktifitas serabut trigeminal dan
recruitment refleks vaskuler dan kelenjar mukosa hidung
iv. Trauma
Rinitis vasomotor merupakan komplikasi jangka panjang dari trauma
melalui mekanisme neurogenik dan/atau neuropeptida
c. Rinitis medikamentosa
i. Obat topikal vasokonstriktor golongan simpatomimetik siklus nasi
terganggu dan akan berfungsi normal kembali jika pemakaian obat
dihentikan
ii. Pemakaian topikal vasokonstriktor berulang dalam waktu lama
fase dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah vasokonstriksi
gejala obstruksi pasien lebih banyak menggunakan obat kadar
agonis alfa adrenergik yang tinggi di mukosa hidung penurunan
sensitivitas reseptor alfa-adrenergik di pembuluh darah toleransi
aktivitas dari tonus simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi
menghilang terjadi dilatasi dan kongesti jaringan mukosa hidung
(rebound congestion)
iii. Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakaian obat
tetes hidung dalam waktu lama:
1. Silia rusak
2. Sel goblet beruabh ukurannya
3. Membran basal menebal
4. Pembuluh darah melebar
5. Stroma edema
6. Hipersekresi kelenjar mukus dan perubahan pH sekret hidung
7. Lapisan submukosa menebal
8. Lapisan periosteum menebal
4. manifestasi klinis
d. Rinitis alergi
i. Kongesti atau sumbatan hidung
ii. Bersin

e.

f.

g.

h.

i.

iii. Mata berair dan gatal


iv. Postnasal drip
Rinitis vasomotor
i. Dicetuskan oleh berbagai rangsangan non-spesifik (asap/rokok, bau
yang menyengat, parfum, minuman beralkohol, makanan pedas,
udara dingin, perubahan kelembaban, perubahan suhu luar, kelelahan
dan stress/emosi)
ii. Gejala mirip rinitis alergi
iii. Gejala dominan
: hidung tersumbat bergantian kiri-kanan
iv. Rhinorea mukoid dan serosa
v. Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur (
perubahan suhu yang ekstrem, udara lembab, asap rokok, dst)
vi. Berdasar gejala yang menonjol:
1. Golongan bersin respon baik dengan terapi antihistamin
dan glukokortikosteroid topikal
2. Golongan rinore dapat diatasi dengan pemberian anti
kolinergik topikal
3. Golongan tersumbat respon baik dengan terapi
glukokortikosteroid topikal dan vasokonstriktor oral
Rinitis medikamentosa
i. Hidung tersumbat terus menerus dan berair
ii. Pada pemeriksaan : tampak edema/hipertrofi konka dengan sekret
hidung yang berlebihan. Jika diberi tampon, edema konka tidak
berkurang
Rinitis simpleks
i. Stadium prodromal
1. Rasa panas, kering dan gatal dalam hidung
2. Bersin berulang-ulang
3. Hidung tersumbat
4. Ingus encer
5. Biasanya disertai dengan demam dan nyeri kepala
6. Mukosa hidung tampak merah dan membengkak
7. Jika ada infeksi sekunder ingus menjadi mukopurulen
Rinitis hipertrofi
i. Sumbatan hidung
ii. Mulut kering
iii. Nyeri kepala
iv. Gangguan tidur
v. Sekret banyak dan mukopurulen
Rinitis atrofi
i. Nafas berbau

ii. Ada ingus kental berwarna hijau


iii. Sakit kepala
iv. Hidung terasa tersumbat
5. diagnosis
6. penatalaksanaan

Sinusitis :

Definisi
Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi virus,
bakteri maupun jamur.
Sinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis,
frontalis atau sfenoidalis).

Etiologi
Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis
(berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun).
Penyebab sinusitis akut:
1. Infeksi virus.
Sinusitis akut bisa terjadi setelah suatu infeksi virus pada saluran pernafasan bagian
atas (misalnya pilek).
2. Bakteri.
Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam keadaan normal
tidak menimbulkan penyakit (misalnya Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae). Jika sistem pertahanan tubuh menurun atau drainase dari sinus tersumbat
akibat pilek atau infeksi virus lainnya, maka bakteri yang sebelumnya tidak berbahaya
akan berkembang biak dan menyusup ke dalam sinus, sehingga terjadi infeksi sinus
akut.
3. Infeksi jamur.
Kadang infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut.
Aspergillus merupakan jamur yang bisa menyebabkan sinusitis pada penderita
gangguan sistem kekebalan. Pada orang-orang tertentu, sinusitis jamur merupakan
sejenis reaksi alergi terhadap jamur.
4. Peradangan menahun pada saluran hidung.
Pada penderita rinitis alergika bisa terjadi sinusitis akut. Demikian pula halnya pada
penderita rinitis vasomotor.
5. Penyakit tertentu.
Sinusitis akut lebih sering terjadi pada penderita gangguan sistem kekebalan dan
penderita kelainan sekresi lendir (misalnya fibrosis kistik).

Penyebab sinusitis kronis:

1. Asma
2. Penyakit alergi (misalnya rinitis alergika)
3. Gangguan sistem kekebalan atau kelainan sekresi maupun pembuangan lendir.

Patofisiologi
Enema Di kompleks ostimeatal mucosa yangletaknya berhadapan bertemu silia tidak
dapat bergerak lendir tidak dialirkan terjadi gangguan drenase dan ventilasi di sinus silia
kurang aktif lendir yang diproduksi mucosa lebih sinus kental bakteri patogen berkembang
baik sumbatan berlangsung terus hipoksia dan retensi lendir infeksi oleh bakteri
anaerob jeringan jadi hipertropi, polipoid ( pembentukan polip dan kista)

Manifestasi
Gejala khas dari kelainan pada sinus adalah sakit kepala yang dirasakan ketika penderita
bangun pada pagi hari.
Sinusitis akut dan kronis memiliki gejala yang sama, yaitu nyeri tekan dan pembengkakan
pada sinus yang terkena, tetapi ada gejala tertentu yang timbul berdasarkan sinus yang
terkena:
1. Sinusitis maksilaris menyebabkan nyeri pipi tepat di bawah mata, sakit gigi dan sakit
kepala.
2. Sinusitis frontalis menyebabkan sakit kepala di dahi.

3. Sinusitis etmoidalis menyebabkan nyeri di belakang dan diantara mata serta sakit
kepala di dahi. Peradangan sinus etmoidalis juga bisa menyebabkan nyeri bila
pinggiran hidung di tekan, berkurangnya indera penciuman dan hidung tersumbat.
4. Sinusitis sfenoidalis menyebabkan nyeri yang lokasinya tidak dapat dipastikan dan
bisa dirasakan di puncak kepala bagian depan ataupun belakang, atau kadang
menyebabkan sakit telinga dan sakit leher.
Gejala lainnya adalah:
- tidak enak badan
- demam
- letih, lesu
- batuk, yang mungkin semakin memburuk pada malam hari
- hidung meler atau hidung tersumbat.
Demam dan menggigil menunjukkan bahwa infeksi telah menyebar ke luar sinus.
Selaput lendir hidung tampak merah dan membengkak, dari hidung mungkin keluar nanah
berwarna kuning atau hijau.

Diagnosis
Diganosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala, foto rontgen sinus dan hasil pemeriksaan
fisik.
Untuk menentukan luas dan beratnya sinusitis, bisa dilakukan pemeriksaan CT scan.
Pada sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen gigi untuk mengetahui adanya
abses gigi.

Pengobatan
Sinusitis akut
Untuk sinusitis akut biasanya diberikan:
Dekongestan untuk mengurangi penyumbatan

Dekongestan dalam bentuk tetes hidung atau obat semprot hidung hanya boleh dipakai
selama waktu yang terbatas (karena pemakaian jangka panjang bisa menyebabkan
penyumbatan dan pembengkakan pada saluran hidung).
Untuk mengurangi penyumbatan, pembengkakan dan peradangan bisa diberikan obat semprot

hidung yang mengandung steroid.


Sinusitis kronis
Diberikan antibiotik dan dekongestan<.
Untuk mengurangi peradangan biasanya diberikan obat semprot hidung yang mengandung
steroid.
Jika penyakitnya berat, bisa diberikan steroid per-oral (melalui mulut).
Hal-hal berikut bisa dilakukan untuk mengurangi rasa tidak nyaman:
- Menghirup uap dari sebuah vaporizer atau semangkuk air panas
- Obat semprot hidung yang mengandung larutan garam
- Kompres hangat di daerah sinus yang terkena.
Jika tidak dapat diatasi dengan pengobatan tersebut, maka satu-satunya jalan untuk
mengobati sinusitis kronis adalah pembedahan.
Pada anak-anak, keadaannya seringkali membaik setelah dilakukan pengangkatan adenoid
yang menyumbat saluran sinus ke hidung.
Pada penderita dewasa yang juga memiliki penyakit alergi kadang ditemukan polip pada
hidungnya. Polip sebaiknya diangkat sehingga saluran udara terbuka dan gejala sinus
berkurang.
Teknik pembedahan yang sekarang ini banyak dilakukan adalah pembedahan sinus
endoskopik fungsional.

Anda mungkin juga menyukai