Definisi
Fraktur adalah terjadinya diskontinuitas jaringan tulang (patah tulang) yang biasanya
disebabkan benturan keras. Fraktur tulang hidung dapat mengakibatkan terhalangnya jalan
pernafasan dan deformitas pada hidung. Jenis dan kerusakan yang timbul tergantung pada
kekuatan, arah dan mekanismenya.
Epidemiologi
Fraktur os nasal merupakan kasus trauma terbanyak pada wajah dan merupakan kasus
fraktur ketiga terbanyak di seluruh tulang penyusun tubuh manusia. Kejadian fraktur nasal
sekitar 39%-45% dari seluruh fraktur maksilofasial yang ditangani oleh dokter telinga hidung
dan tenggorokkan (THT) dan dokter bedah plastik.
Anatomi Hidung
Hidung merupakan bagian wajah yang paling sering mengalami trauma karena
merupakan bagian yang berada paling depan dari wajah dan paling menonjol. Hidung secara
anatomi dibagi menjadi dua bagian yaitu :
a. Hidung bagian luar (Nasus eksterna)
b. Rongga hidung (Nasus interna atau kavum nasi)
Hidung luar dilapisi oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari :
Tulang hidung ( os nasalis)
Prosesus frontalis os maksila
Prosesus nasalis os frontal
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu :
Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
Sepasang kartilago nasalis inferior yang disebut sebagai kartilago ala mayor
Tepi anterior kartilago septum
b. Rongga Hidung (Nasus Interna/ Kavum Nasi)
Dibagian anterior septum nasi terdapat bagian yang disebut Area Little, merupakan
anyaman pembuluh darah yaitu Pleksus Kiesselbach. Tempat ini mudah terkena trauma
dan menyebabkan epistakis. Di bagian antrokaudal, septum nasi mudah digerakkan.
Ke arah belakang rongga hidung berhubungan dengan nasofaring melalui sepasang
lubang yang disebut koana berbentuk bulat lonjong (oval), sedangkan ke arah depan rongga
hidung berhubungan dengan dunia luar melalui nare.
Atap rongga hidung berbentuk kurang lebih menyerupai busur yang sebagian besar
dibentuk oleh lamina kribosa tulang etmoid. Di sebelah anterior, bagian ini dibentuk oleh
tulang frontal dan sebelah posterior oleh tulang sfenoid.
Melalui lamina kribosa keluar ujung-ujung saraf olfaktoria menuju mukosa yang
melapisi bagian teratas dari septum nasi dan permukaan kranial dari konka nasi superior.
Bagian ini disebut regio olfaktoria.
Dinding lateral rongga hidung dibentuk oleh konka nasi dan meatus nasi. Konka
nasi merupakan tonjolan-tonjolan yang memanjang dari anterior ke posterior dan
mempunyai rangka tulang. Meatus nasi terletak di bawah masing-masing konka nasi dan
merupakan bagian dari hidung.
Konka Nasi
Di dalam kavum nasi terdapat tiga pasang konka nasi, yaitu konka nasi inferior,
konka nasi medius, dan konka nasi superior. Konka nasi inferior merupakan konka yang
terbesar diantara ketiga konka nasi. Mukosa yang melapisinya tebal dan mengandung
banyak pleksus vena dan membentuk jaringan kavernosus. Rangka tulangnya melekat pada
tulang palatina, etmoid, maksila, dan lakrimal.
Konka nasi media adalah yang kedua setelah konka nasi inferior. Terletak diantara
konka inferior dan konka superior. Mukosa yang melapisinya sama dengan yang melapisi
konka nasi inferior. Rangka tulangnya merupakan bagian dari tulang etmoid. Kadang-
kadang di dalam konka media terdapat sel sehingga konka menjadi besar dan menutup
meatus nasi media yang disebut konka bulosa.
Konka nasi superior merupakan konka konka yang paling kecil. Mukosa yang
melapisinya jauh lebih tipis dari kedua konka lainnya. Rangka tulangnya juga merupakan
bagian dari tulang etmoid. Kadang-kadang didapatkan konka nasi suprema yang
merupakan konka nasi yang keempat. Jika ada, konka suprema ini sangat kecil dan
sebenarnya merupakan bagian dari konka superior yang membelah menjadi dua bagian.
Meatus Nasi
Meatus nasi inferior merupakan celah yang terdapat dibawah konka inferior. Dekat
ujungnya terdapat ostium (muara) duktus nasolakrimalis. Muara ini seringkali dilindungi
oleh lipatan mukosa yang disebut katup dari Hasner (Plika lakrimalis Hasner).
Meatus nasi media terletak diantara konka inferior dan konka media. Ostium sinus
merupakan lubang penghubung sinus paranasal dan kavum nasi, berfungsi sebagai ventilasi
dari sinus paranasal sebagian terletak di meatus media.
Sinus frontal bermuara di bagian anterior, sedangkan muara dari sinus maksila
terdapat kira-kira di bagian tengah, tempat muara dari sinus etmoid anterior. Struktur-
struktur yang ada di dalam meatus nasi media disebut kompleks ostiomeatal. Kompleks ini
penting artinya secara klinis dalam menimbulkan gangguan drainase sinus paranasal.
Kelainan dalam kompleks ini akan mempengaruhi potensi ostium sinus sehingga berperan
besar dalam patofisiologi sinus paranasal.
Meatus nasi superior terletak diantara konka media dan konka superior dan
merupakan meatus yang terkecil. Disinalah bermuara sinus etmoid posterior. Resesus
sfeno-etmoid terdapat pada dinding lateral rongga hidung diantara atap rongga hidung dan
konka nasi superior. Di sini terdapat muara sinus sphenoid.
Sinus Paranasal
Di sekitar rongga hidung terdapat rongga-rongga yang terletak di dalam tulang yang
disebut sinus paranasal. Terdapat empat sinus paranasal, yaitu sinus maksila kanan dan kiri,
sinus frontal kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri serta sinus sfenoid kanan dan kiri.
Sinus maksila disebut juga Antrum Higmori atau lebih sering disebut antrum saja.
Rongga sinus paranasal berhubungan dengan rongga hidung melalui suatu lubang yang
disebut ostium. Selula etmoid dikelompokan menjadi selula etmoid anterior dan selula
etmoid posterior. Salah satu sel etmoid paling besar dan terletak paling medial disebut
ostium. Sinus maksila dan selula etmoid sudah terbentuk sejak lahir dalam ukuran kecil
dan bertambah besar sampai ukuran maksimal pada dewasa. Sinus frontal merupakan
ekstensi dari selula etmoid anterior dan mencapai pertumbuhan penuh antara umur 8
sampai 15 tahun. Pertumbuhan sinus frontal kanan dan kiri besarnya sering tidak simetris
dan pada sekitar 5% populasi, sinus frontal hanya tumbuh pada satu sisi.
Vaskularisasi Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna. Bagian bawah
rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris interna, di antaranya ialah
ujung palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama
n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada
bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina. a.etmoid
anterior, a.labialis superior dan a.palatine mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles
area).1 Pleksus Kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung), terutama pada anak. Vena-vena
hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di
vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan
sinus kavernosus. Vena-vena hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan factor
predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intracranial.
Gambar 4: Vaskularisasi hidung
Persarafan Hidung
Bagian depan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-
1). Rongga hidung lainnya,sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila
melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan
sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.
Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut
parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut- serabut simpatis dari
n.petrousus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas
ujung posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dari n.olfaktorius. N.Olfaktorius turun melalui lamina
kribosa dari permukaan bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
Etiologi
Penyebab trauma nasal ada 4 yaitu:
Mendapat serangan misal dipukul.
Injury karena olah raga
Kecelakaan (personal accident).
Kecelakaan lalu lintas.
Dari 4 causa diatas, yang paling sering karena mendapat serangan misalnya dipukul
dan kebanyakan pada remaja. Jenis olah raga yang dapat menyebabkan injury nasal
misalnya sepak bola, khususnya ketika dua pemain berebut bola diatas kepala; olahraga
yang menggunakan raket misalnya ketika squash, raket dapat mengayun ke belakang atau
depan dan dapat memukul hidung atau karate; petinju.
Trauma nasal yang disebabkan oleh kecepatan yang tinggi menyebabkan fraktur wajah.
Klasifikasi
Murray melaporkan bahwa kebanyakan deviasi akibat fraktur nasal meliputi juga
fraktur pada kartilago septum nasal. Fraktur nasal lateral merupakan yang paling sering
dijumpai pada fraktur nasal. Fraktur nasal lateral akan menyebabkan penekanan pada
hidung ipsilateral yang biasanya meliputi setengah tulang hidung bagian bawah, prosesus
nasomaksilaris dan bagian tepi piriformis. Trauma nasal yang dihasilkan dari suatu pukulan
bervariasi tergantung pada :
Usia pasien yang sangat berpengaruh pada fleksibilitas jaringan dalam
meredam energi dari pukulan
Besarnya tenaga pukulan, arah pukulan dimana akan menentukan bagian nasal
yang rusak. Kondisi dari obyek yang menyebabkan trauma nasal dan trauma
jaringan lunak yang umum terjadi meliputi: laserasi, ekimosis, hematom di
luar dan di dalam rongga hidung. Trauma pada kerangka hidung meliputi
fraktur (putusnya hubungan, lebih sering pada usia lanjut), dislokasi (pada
anak-anak), dan fraktur dislokasi. Trauma dislokasi dapat mengenai artikulasi
kerangka hidung luar atau pada septum nasi.
Waktu kejadian
Trauma lain yang sering dihubungkan dengan fraktur nasal adalah fraktur frontalis,
ethmoid dan tulang lakrimalis, fraktur nasoorbital ethmoid; fraktur dinding orbita; fraktur
lamina kribriformis; fraktur sinus frontalis dan fraktur maksila Le Fort I, II, dan III.
Terdapat beberapa jenis fraktur nasal antara lain :
Fraktur lateral
Adalah kasus yang paling sering terjadi, dimana fraktur hanya terjadi pada salah
satu sisi saja, kerusakan yang ditimbulkan tidak begitu parah.
Gambar 5. Fraktur lateral
Fraktur bilateral
Merupakan salah satu jenis fraktur yang juga paling sering terjadi selain fraktur
lateral, biasanya disertai dislokasi septum nasal atau terputusnya tulang nasal
dengan tulang maksilaris.
Gejala Klinis
Tanda yang mendukung terjadinya fraktur tulang hidung dapat berupa :
Depresi atau pergeseran tulang tulang hidung.
Terasa lembut saat menyentuh hidung.
Adanya pembengkakan pada hidung atau muka.
Memar pada hidung atau di bawah kelopak mata (black eye).
Deformitas hidung.
Keluarnya darah dari lubang hidung (epistaksis).
Saat menyentuh hidung terasa krepitasi.
Rasa nyeri dan kesulitan bernapas dari lubang hidung.
Tanda-tanda berikut merupakan saat dimana sebaiknya meminta pertolongan dokter
meliputi:
Nyeri dan pembengkakan tidak menghilang 3x24 jam
Hidung terlihat miring atau melengkung
Sulit bernapas melalui hidung meskipun reaksi peradangan telah mereda
Terjadi demam
Perdarahan hidung berulang
Tanda-tanda berikut dimana sebaiknya meminta pertolongan ke unit gawat darurat :
Perdarahan yang berlangsung lebih dari beberapa menit pada satu atau kedua
lubang hidung
Keluar cairan berwarna bening dari lubang hidung
Cedera lain pada tubuh dan muka
Kehilangan kesadaran
Sakit kepala yang hebat
Muntah yang berulang
Penurunan indra penglihatan
Nyeri pada leher
Rasa kebas, baal,atau lemah pada lengan.
Diagnosis
Diagnosis fraktur tulang hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan
pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan dengan rinoskopi anterior, biasanya ditandai
dengan pembengkakan mukosa hidung terdapatnya bekuan dan kemungkinan ada robekan
pada mukosa septum, hematoma septum, dislokasi atau deviasi pada septum.
Pemeriksaan penunjang berupa foto os nasal, foto sinusparanasal posisi Water dan
bila perlu dapat dilakukan pemindaian dengan CT scan. CT scan berguna untuk melihat
fraktur hidung dan kemungkinan terdapatnya fraktur penyerta lainnya.
Pasien harus selalu diperiksa terhadap adanya hematoma septum akibat fraktur,
bilamana tidak terdeteksi. Dan tidak dirawat dapat berlanjut menjadi abses, dimana terjadi
resorpsi kartilago septum dan deformitas hidung pelana ( saddle nose ) yang berat.
Anamnesis
Rentang waktu antara trauma dan konsultasi dengan dokter sangatlah penting untuk
penatalaksanaan pasien. Sangatlah penting untuk menentukan waktu trauma dan
menentukan arah dan besarnya kekuatan dari benturan. Sebagai contoh, trauma dari arah
frontal bisa menekan dorsum nasal, dan menyebabkan fraktur nasal. Pada kebanyakan
pasien yang mengalami trauma akibat olahraga, trauma nasal yang terjadi berulang dan
terus menerus, dan deformitas hidung akan menyebabkan sulit menilai antara trauma lama
dan trauma baru sehingga akan mempengaruhi terapi yang diberikan. Informasi mengenai
keluhan hidung sebelumnya dan bentuk hidung sebelumnya juga sangat berguna. Keluhan
utama yang sering dijumpai adalah epistaksis, deformitas hidung, obstruksi hidung dan
anosmia.
Pemeriksaan fisik
Kebanyakan fraktur nasal adalah pelengkap trauma seperti trauma akibat dihantam
atau terdorong. Sepanjang penilaian awal dokter harus menjamin bahwa jalan napas pasien
aman dan ventilasi terbuka dengan sewajarnya. Fraktur nasal sering dihubungkan dengan
trauma pada kepala dan leher yang bisa mempengaruhi patennya trakea. Fraktur nasal
ditandai dengan laserasi pada hidung, epistaksis akibat robeknya membran mukosa.
Jaringan lunak hidung akan nampak ekimosis dan udem yang terjadi dalam waktu singkat
beberapa jam setelah trauma dan cenderung nampak di bawah tulang hidung dan kemudian
menyebar ke kelopak mata atas dan bawah.
Deformitas hidung seperti deviasi septum atau depresi dorsum nasal yang sangat
khas, deformitas yang terjadi sebelum trauma sering menyebabkan kekeliruan pada trauma
baru. Pemeriksaan yang teliti pada septum nasal sangatlah penting untuk menentukan
antara deviasi septum dan hematom septi, yang merupakan indikasi absolut untuk drainase
bedah segera. Sangatlah penting untuk memastikan diagnosa pasien dengan fraktur,
terutama yang meliputi tulang ethmoid. Fraktur tulang ethmoid biasanya terjadi pada pasien
dengan fraktur nasal fragmental berat dengan tulang piramid hidung telah terdorong ke
belakang ke dalam labirin ethmoid, disertai remuk dan melebar, menghasilkan telekantus,
sering dengan rusaknya ligamen kantus medial, apparatus lakrimalis dan lamina
kribriformis, yang menyebabkan rhinorrhea cerebrospinalis.
Pada pemeriksaan fisis dengan palpasi ditemukan krepitasi akibat emfisema
subkutan, teraba lekukan tulang hidung dan tulang menjadi irregular. Pada pasien dengan
hematom septi tampak area berwarna putih mengkilat atau ungu yang nampak berubah-
ubah pada satu atau kedua sisi septum nasal. Keterlambatan dalam mengidentifikasi dan
penanganan akan menyebabkan deformitas bentuk pelana, yang membutuhkan penanganan
bedah segera. Pemeriksaan dalam harus didukung dengan pencahayaan, anestesi, dan
semprot hidung vasokonstriktor. Spekulum hidung dan lampu kepala akan memperluas
lapangan pandang. Pada pemeriksaan dalam akan nampak bekuan darah dan/atau
deformitas septum nasal.
Konservatif
Penatalaksanaan fraktur nasal berdasarkan atas gejala klinis, perubahan fungsional
dan bentuk hidung, oleh karena itu pemeriksaan fisik dengan dekongestan nasal
dibutuhkan. Dekongestan berguna untuk mengurangi pembengkakan mukosa. Pasien
dengan perdarahan hebat, biasanya dikontrol dengan pemberian vasokonstriktor topikal.
Jika tidak berhasil bebat kasa tipis, kateterisasi balon, atau prosedur lain dibutuhkan tetapi
ligasi pembuluh darah jarang dilakukan. Bebat kasa tipis merupakan prosedur untuk
mengontrol perdarahan setelah vasokonstriktor topikal. Biasanya diletakkan dihidung
selama 2-5 hari sampai perdarahan berhenti. Pada kasus akut, pasien harus diberi es pada
hidungnya dan kepala sedikit ditinggikan untuk mengurangi pembengkakan. Antibiotik
diberikan untuk mengurangi resiko infeksi, komplikasi dan kematian. Analgetik berperan
simptomatis untuk mengurangi nyeri dan memberikan rasa nyaman pada pasien.
Fraktur nasal merupakan fraktur wajah yang tersering dijumpai. Jika dibiarkan
tanpa dikoreksi, akan menyebabkan perubahan struktur hidung dan jaringan lunak sehingga
akan terjadi perubahan bentuk dan fungsi. Karena itu, ketepatan waktu terapi akan
menurunkan resiko kematian pasien dengan fraktur nasal. Terdapat banyak silang pendapat
mengenai kapan seharusnya penatalaksanaan dilakukan. Penatalaksanaan terbaik
seharusnya dilakukan segera setelah fraktur terjadi, sebelum terjadi pembengkakan pada
hidung. Sayangnya, jarang pasien dievaluasi secara cepat. Pembengkakan pada jaringan
lunak dapat mengaburkan apakah patah yang terjadi ringan atau berat dan membuat
tindakan reduksi tertutup menjadi sulit dilakukan. Sebab dari itu pasien dievaluasi setelah
3-4 hari berikutnya. Tindakan reduksi tertutup dilakukan 7-10 hari setelahnya dapat
dilakukan dengan anestesi lokal. Jika tindakan ditunda setelah 7-10 hari maka akan terjadi
kalsifikasi.
Setelah memastikan bahwa saluran napas dalam kondisi baik, pernapasan optimal
dan keadaan pasien cenderung stabil, dokter baru melakukan penatalaksaan terhadap
fraktur. Penatalaksanaan dimulai dari cedera luar pada jaringan lunak. Jika terjadi luka
terbuka dan kemungkinan kontaminasi dari benda asing, maka irigasi diperlukan. Tindakan
pembersihan (debridement) juga dapat dilakukan. Namun pada tindakan debridement harus
diperhatikan dengan bijak agar tidak terlalu banyak bagian yang dibuang karena lapisan
kulit diperlukan untuk melapisi kartilago yang terbuka.
Terdapat berbagai algoritma dalam penatalksanaan fraktur nasal tergantung dari
klasifikasi yang digunakan.
Algoritma yang dibuat oleh Michael et al:
Evaluasi
Reduksi septorinoplasti
tertutup Reduksi
terbuka tulang
dan septum
gagal
Reduksi tertutup
Manipulasi septum
Tipe IIa-III Splinting
< 4 jam Kompres dingin 24 jam
Tipe II
Kompres hangat 7 hari
Septorinoplasti
CT scan axial/koronal 3mm Osteotomi
Tipe V Reduksi terbuka secepatnya External splinting
Fiksasi interna Doyle splinting
Konsul bedah saraf jika diperlukan Graft luas
Gambar 14 :
Reduction instruments. (Left) Asch forceps, (center) Walsham forceps,
and (right) Boies elevator.
Komplikasi
Hematom septi
Merupakan komplikasi yang sering dan serius dari trauma nasal. Septum hematom
ditandai dengan adanya akumulasi darah pada ruang subperikondrial. Ruangan ini
akan menekan kartilago di bawahnya, dan mengakibatkan nekrosis septum
irreversible. Deformitas bentuk pelana dapat berkembang dari jaringan lunak yang
hilang. Prosedur yang harus dilakukan adalah drainase segera setelah ditemukan
disertai dengan pemberian antibiotik setelah drainase.
Gambar 17:
Bilateral septal hematomas associated with a nasal fracture
Prognosis
Kebanyakan fraktur nasal tanpa disertai dengan perpindahan posisi akan sembuh
tanpa adanya kelainan kosmetik dan fungsional. Dengan teknik reduksi terbuka dan
tertutup akan mengurangi kelainan kosmetik dan fungsional pada 70 % pasien.
Sumber :
1. Efiaty A S, Nurbaiti I, Jenny B, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Cetakan ke-1. Jakarta: FKUI;2007.h.118-
122,199-202.
2. Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Adams GL, Boies LR, Higler PA; editor,
efendi H, alih bahasa, Wijaya C; Edisi 6. Jakarta: Penerbit buku edokteran EGC. 1997.
3. R.Sjamsuhidajat, Wim De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Fraktur Tulang Hidung. Edisi
ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2005.h.338.
4. Elizabeth A B. Broken Nose. Diunduh dari : http://www.emedicinehealth.com/broken
nose/article em.htm.
5. Arden RL, Mathog RH. Nasal fracture.
famona.tripod.com/ent/cummings/cumm042.pdf.
6. Rubinstein B, Strong B. Management of nasal fracture. Arch Fam Med. 2000;9:738-
42.
7. Thiagarajan B, Ulaganathan V. Fracture nasal bones. Otolaryngology online journal.
2013; 3.
8. Ondik MP, Lipinski L, Dezfoli S, Fedok FG. The treatment of nasal fracture: a changing
paradigm. Arch Facial Plast Surg. 2009;11(5):296-302
9. Kelley BP, Downey CR, Stal S. Evaluation and reduction of nasal trauma.. Seminars in
plastic surgery. 2010; 24(4). 339-46.
10. Lalwani AK. Current Diagnosis dan Treatment : Otolaryngology Head and Neck
Surgery. Edisi ke-2. USA; McGraw-Hill Medical;2007.Chapter 11.