Anda di halaman 1dari 24

FRAKTUR NASAL

Definisi

Fraktur adalah terjadinya diskontinuitas jaringan tulang (patah tulang) yang biasanya
disebabkan benturan keras. Fraktur tulang hidung dapat mengakibatkan terhalangnya jalan
pernafasan dan deformitas pada hidung. Jenis dan kerusakan yang timbul tergantung pada
kekuatan, arah dan mekanismenya.

Epidemiologi
Fraktur os nasal merupakan kasus trauma terbanyak pada wajah dan merupakan kasus
fraktur ketiga terbanyak di seluruh tulang penyusun tubuh manusia. Kejadian fraktur nasal
sekitar 39%-45% dari seluruh fraktur maksilofasial yang ditangani oleh dokter telinga hidung
dan tenggorokkan (THT) dan dokter bedah plastik.

Anatomi Hidung
Hidung merupakan bagian wajah yang paling sering mengalami trauma karena
merupakan bagian yang berada paling depan dari wajah dan paling menonjol. Hidung secara
anatomi dibagi menjadi dua bagian yaitu :
a. Hidung bagian luar (Nasus eksterna)
b. Rongga hidung (Nasus interna atau kavum nasi)

a. Hidung Bagian Luar (Nasus Eksterna)


Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
Pangkal hidung (bridge)
Batang hidung (dorsum nasi)
Puncak hidung (tip)
Ala nasi
Kolumela
Lubang hidung (nares anterior)
Gambar 1 :

Anatomi hidung bagian luar

Hidung luar dilapisi oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari :
Tulang hidung ( os nasalis)
Prosesus frontalis os maksila
Prosesus nasalis os frontal

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu :
Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
Sepasang kartilago nasalis inferior yang disebut sebagai kartilago ala mayor
Tepi anterior kartilago septum
b. Rongga Hidung (Nasus Interna/ Kavum Nasi)

Gambar 2 : Anatomi Hidung


Rongga hidung dibagi dua bagian, kanan dan kiri di garis median oleh septum nasi
yang sekaligus menjadi dinding medial rongga hidung. Kerangka septum dibentuk oleh :
Lamina perpendikularis tulang etmoid (superior)
Kartilago kuadrangularis (anterior)
Tulang vomer (posterior)
Krista maksila dan Krista palatina (bawah) yang menghubungkan septum
dengan dasar rongga hidung.

Dibagian anterior septum nasi terdapat bagian yang disebut Area Little, merupakan
anyaman pembuluh darah yaitu Pleksus Kiesselbach. Tempat ini mudah terkena trauma
dan menyebabkan epistakis. Di bagian antrokaudal, septum nasi mudah digerakkan.
Ke arah belakang rongga hidung berhubungan dengan nasofaring melalui sepasang
lubang yang disebut koana berbentuk bulat lonjong (oval), sedangkan ke arah depan rongga
hidung berhubungan dengan dunia luar melalui nare.
Atap rongga hidung berbentuk kurang lebih menyerupai busur yang sebagian besar
dibentuk oleh lamina kribosa tulang etmoid. Di sebelah anterior, bagian ini dibentuk oleh
tulang frontal dan sebelah posterior oleh tulang sfenoid.
Melalui lamina kribosa keluar ujung-ujung saraf olfaktoria menuju mukosa yang
melapisi bagian teratas dari septum nasi dan permukaan kranial dari konka nasi superior.
Bagian ini disebut regio olfaktoria.
Dinding lateral rongga hidung dibentuk oleh konka nasi dan meatus nasi. Konka
nasi merupakan tonjolan-tonjolan yang memanjang dari anterior ke posterior dan
mempunyai rangka tulang. Meatus nasi terletak di bawah masing-masing konka nasi dan
merupakan bagian dari hidung.

Konka Nasi
Di dalam kavum nasi terdapat tiga pasang konka nasi, yaitu konka nasi inferior,
konka nasi medius, dan konka nasi superior. Konka nasi inferior merupakan konka yang
terbesar diantara ketiga konka nasi. Mukosa yang melapisinya tebal dan mengandung
banyak pleksus vena dan membentuk jaringan kavernosus. Rangka tulangnya melekat pada
tulang palatina, etmoid, maksila, dan lakrimal.
Konka nasi media adalah yang kedua setelah konka nasi inferior. Terletak diantara
konka inferior dan konka superior. Mukosa yang melapisinya sama dengan yang melapisi
konka nasi inferior. Rangka tulangnya merupakan bagian dari tulang etmoid. Kadang-
kadang di dalam konka media terdapat sel sehingga konka menjadi besar dan menutup
meatus nasi media yang disebut konka bulosa.
Konka nasi superior merupakan konka konka yang paling kecil. Mukosa yang
melapisinya jauh lebih tipis dari kedua konka lainnya. Rangka tulangnya juga merupakan
bagian dari tulang etmoid. Kadang-kadang didapatkan konka nasi suprema yang
merupakan konka nasi yang keempat. Jika ada, konka suprema ini sangat kecil dan
sebenarnya merupakan bagian dari konka superior yang membelah menjadi dua bagian.

Meatus Nasi
Meatus nasi inferior merupakan celah yang terdapat dibawah konka inferior. Dekat
ujungnya terdapat ostium (muara) duktus nasolakrimalis. Muara ini seringkali dilindungi
oleh lipatan mukosa yang disebut katup dari Hasner (Plika lakrimalis Hasner).
Meatus nasi media terletak diantara konka inferior dan konka media. Ostium sinus
merupakan lubang penghubung sinus paranasal dan kavum nasi, berfungsi sebagai ventilasi
dari sinus paranasal sebagian terletak di meatus media.
Sinus frontal bermuara di bagian anterior, sedangkan muara dari sinus maksila
terdapat kira-kira di bagian tengah, tempat muara dari sinus etmoid anterior. Struktur-
struktur yang ada di dalam meatus nasi media disebut kompleks ostiomeatal. Kompleks ini
penting artinya secara klinis dalam menimbulkan gangguan drainase sinus paranasal.
Kelainan dalam kompleks ini akan mempengaruhi potensi ostium sinus sehingga berperan
besar dalam patofisiologi sinus paranasal.
Meatus nasi superior terletak diantara konka media dan konka superior dan
merupakan meatus yang terkecil. Disinalah bermuara sinus etmoid posterior. Resesus
sfeno-etmoid terdapat pada dinding lateral rongga hidung diantara atap rongga hidung dan
konka nasi superior. Di sini terdapat muara sinus sphenoid.

Sinus Paranasal
Di sekitar rongga hidung terdapat rongga-rongga yang terletak di dalam tulang yang
disebut sinus paranasal. Terdapat empat sinus paranasal, yaitu sinus maksila kanan dan kiri,
sinus frontal kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri serta sinus sfenoid kanan dan kiri.
Sinus maksila disebut juga Antrum Higmori atau lebih sering disebut antrum saja.
Rongga sinus paranasal berhubungan dengan rongga hidung melalui suatu lubang yang
disebut ostium. Selula etmoid dikelompokan menjadi selula etmoid anterior dan selula
etmoid posterior. Salah satu sel etmoid paling besar dan terletak paling medial disebut
ostium. Sinus maksila dan selula etmoid sudah terbentuk sejak lahir dalam ukuran kecil
dan bertambah besar sampai ukuran maksimal pada dewasa. Sinus frontal merupakan
ekstensi dari selula etmoid anterior dan mencapai pertumbuhan penuh antara umur 8
sampai 15 tahun. Pertumbuhan sinus frontal kanan dan kiri besarnya sering tidak simetris
dan pada sekitar 5% populasi, sinus frontal hanya tumbuh pada satu sisi.

Mukosa Rongga Hidung


Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histiologik dan fungsional dibagi
atas mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).
Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaanya dilapisi
oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia (ciliated pseudostratified collumner
epithelium) dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.1 Sel goblet yang menghasilkan lendir,
lendir ini mempunyai pH 6,5 dan mengandung lisozim yang mempunyai efek antiseptik.
Tiap sel mukosa rongga hidung mempunyai silia yang jumlahnya dapat mencapai 25
sampai 100 buah. Silia bergerak sekitar 250 gerakan permenit. Pergerakan ini dipengaruhi
oleh suhu, kelembaban dan paparan zat anestetik atau gas. Gerakan silia akan mendorong
selimut lendir diatasnya ke belakang dengan kecepatan 5-10 mm permenit.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu tidak bersilia (pseudostratified
collumner non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel
penunjang, sel basal, dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat
kekuningan.
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukoasanya lebih tebal dan kadang-
kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa
respiratori berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous
blanket) pada permukaanya. Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak
mengandung pebuluh darah, kelenjar mukosa, dan jaringan limfoid.
Rongga hidung seluruhnya dilapisi oleh mukosa, kecuali nares dan vestibulum nasi
dilapisi oleh kulit tempat tumbuh rambut yang disebut vibrissea.
Gambar 3: Rongga Hidung

Vaskularisasi Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna. Bagian bawah
rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris interna, di antaranya ialah
ujung palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama
n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada
bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina. a.etmoid
anterior, a.labialis superior dan a.palatine mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles
area).1 Pleksus Kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung), terutama pada anak. Vena-vena
hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di
vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan
sinus kavernosus. Vena-vena hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan factor
predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intracranial.
Gambar 4: Vaskularisasi hidung

Persarafan Hidung
Bagian depan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-
1). Rongga hidung lainnya,sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila
melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan
sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.
Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut
parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut- serabut simpatis dari
n.petrousus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas
ujung posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dari n.olfaktorius. N.Olfaktorius turun melalui lamina
kribosa dari permukaan bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

Etiologi
Penyebab trauma nasal ada 4 yaitu:
Mendapat serangan misal dipukul.
Injury karena olah raga
Kecelakaan (personal accident).
Kecelakaan lalu lintas.
Dari 4 causa diatas, yang paling sering karena mendapat serangan misalnya dipukul
dan kebanyakan pada remaja. Jenis olah raga yang dapat menyebabkan injury nasal
misalnya sepak bola, khususnya ketika dua pemain berebut bola diatas kepala; olahraga
yang menggunakan raket misalnya ketika squash, raket dapat mengayun ke belakang atau
depan dan dapat memukul hidung atau karate; petinju.
Trauma nasal yang disebabkan oleh kecepatan yang tinggi menyebabkan fraktur wajah.

Klasifikasi
Murray melaporkan bahwa kebanyakan deviasi akibat fraktur nasal meliputi juga
fraktur pada kartilago septum nasal. Fraktur nasal lateral merupakan yang paling sering
dijumpai pada fraktur nasal. Fraktur nasal lateral akan menyebabkan penekanan pada
hidung ipsilateral yang biasanya meliputi setengah tulang hidung bagian bawah, prosesus
nasomaksilaris dan bagian tepi piriformis. Trauma nasal yang dihasilkan dari suatu pukulan
bervariasi tergantung pada :
Usia pasien yang sangat berpengaruh pada fleksibilitas jaringan dalam
meredam energi dari pukulan
Besarnya tenaga pukulan, arah pukulan dimana akan menentukan bagian nasal
yang rusak. Kondisi dari obyek yang menyebabkan trauma nasal dan trauma
jaringan lunak yang umum terjadi meliputi: laserasi, ekimosis, hematom di
luar dan di dalam rongga hidung. Trauma pada kerangka hidung meliputi
fraktur (putusnya hubungan, lebih sering pada usia lanjut), dislokasi (pada
anak-anak), dan fraktur dislokasi. Trauma dislokasi dapat mengenai artikulasi
kerangka hidung luar atau pada septum nasi.
Waktu kejadian

Trauma lain yang sering dihubungkan dengan fraktur nasal adalah fraktur frontalis,
ethmoid dan tulang lakrimalis, fraktur nasoorbital ethmoid; fraktur dinding orbita; fraktur
lamina kribriformis; fraktur sinus frontalis dan fraktur maksila Le Fort I, II, dan III.
Terdapat beberapa jenis fraktur nasal antara lain :
Fraktur lateral
Adalah kasus yang paling sering terjadi, dimana fraktur hanya terjadi pada salah
satu sisi saja, kerusakan yang ditimbulkan tidak begitu parah.
Gambar 5. Fraktur lateral
Fraktur bilateral
Merupakan salah satu jenis fraktur yang juga paling sering terjadi selain fraktur
lateral, biasanya disertai dislokasi septum nasal atau terputusnya tulang nasal
dengan tulang maksilaris.

Gambar 6. Fraktur bilateral

Fraktur direct frontal


Yaitu fraktur os nasal dan os frontal sehingga menyebabkan desakan dan pelebaran
pada dorsum nasalis. Pada fraktur jenis ini pasien akan terganggu suaranya.
Gambar 7. Fraktur direct frontal
Fraktur comminuted
Adalah fraktur kompleks yang terdiri dari beberapa fragmen. Fraktur ini akan
menimbulkan deformitas dari hidung yang tampak jelas.

Gambar 8. Fraktur comminuted, 1: tulang hidung, 2: frontal dan 3 septum nasi


Terdapat berbagai klasifikasi mengenai fraktur nasal yang telah dibuat, yaitu
Menurut Stranc dan Roberston, arah asal trauma akan mempengaruhi beratnya
kerusakan pada tulang hidung dan septum. Klasifikasi ini hanya berdasarkan
pemeriksaan fisik tanpa pemeriksaan radiologis.
Tipe I : Fraktur ini menyebabkan terjadinya avulsi kartilago lateral atas,
dislokasi posterior septum dan ala nasal.
Tipe II : Fraktur ini menyebabkan deviasi dorsum nasi dan juga
menyebabkan tulang hidung menjadi datar.
Tipe III : Fraktur pada tulang hidung dan juga menyebabkan kerusakan
pada mata dan struktur intrakranial.
Menurut Harrison, fraktur nasi dibagi menjadi 3 berdasarkan beratnya dan
juga penatalaksanaannya:
Kelas I : Pada keadaan ini terdjadi fraktur depres hidung tanpa melibatkan
septum nasi.
Kelas II : Fraktur yang terjadi menyebabkan fraktur komunitiva,sehingga
deviasi semakin jelas. Khasnya pada fraktur ini akan tampak gambaran
seperti huruf C.
Kelas III : Fraktur ini disebut juga fraktur naso orbito etmoidalis (NOE)
Menurut Hwang, fraktiur nasal dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Tipe I : Fraktur sederhana tanpa deviasi
Tipe II : Fraktur sederhana dengan deviasi
IIA : Unilateral
IIAs : Unilateral dengan fraktur septum nasi
IIB : Bilateral
IIBs : Bilateral dengan fraktur septum nasi
Tipe III : Fraktur communited
Menurut Michael, fraktur nasal dapat diklasifikasikan berdasarkan beratnya
dan kerusakan pada septum nasi
Tipe I : Fraktur sederhana tanpa deviasi, jika terjadi fraktur unilateral atau
bilateral tanpa menyebabkan pergeseran pada garis tengah
Tipe II : Fraktur sederhana dengan deviasi, jika terjadi fraktur unilateral
atau bilateral dan menyebabkan pergeseran pada garis tengah
Tipe III : Fraktur communited, jika terjadi fraktur bilateral yang
menyebabkan septum tidak lurus tetapi tidak menyebabkan pergeseran
garis tengah
Tipe IV : Deviasi tulang hidung dan fraktur septum nasi , jika terjadi
fraktur bilateral yang menyebabkan septum tidak lurus dan menyebabkan
pergeseran garis tengah dan juga terjadi fraktur septum nasi ataupun
dislokasi septum nasi.
Tipe V : Fraktur kompleks nasal dan septum nasi, jika terjadi fraktur dan
juga menyebabkan laserasi pada jaringan serta saddle nose.
Menurut Samuel, yang memodifikasi klasifikasi fraktur nasal yang telah
dibuat oleh Murray, fraktur nasal dapat diklasifikasikan menjadi:
Tipe I : Cedera jaringan lunak sekitar hidung
Tipe IIa : Fraktur sederhana unilateral tanpa deviasi
Tipe IIb : Fraktur sederhana bilateral dengan deviasi
Tipe III : Fraktur sederhana disertai deviasi
Tipe IV : Fraktur communited tertutup
Tipe V : Fraktur communited terbuka atau termasuk fratur tipe II-IV tetapi
disertai dengan kebocoran cairan serebrospinal, hematom septum nasi,
obstruksi jalan nafas, deviasi berat dan termasuk fraktur Naso-orbito-
etmoidalis.

Gejala Klinis
Tanda yang mendukung terjadinya fraktur tulang hidung dapat berupa :
Depresi atau pergeseran tulang tulang hidung.
Terasa lembut saat menyentuh hidung.
Adanya pembengkakan pada hidung atau muka.
Memar pada hidung atau di bawah kelopak mata (black eye).
Deformitas hidung.
Keluarnya darah dari lubang hidung (epistaksis).
Saat menyentuh hidung terasa krepitasi.
Rasa nyeri dan kesulitan bernapas dari lubang hidung.
Tanda-tanda berikut merupakan saat dimana sebaiknya meminta pertolongan dokter
meliputi:
Nyeri dan pembengkakan tidak menghilang 3x24 jam
Hidung terlihat miring atau melengkung
Sulit bernapas melalui hidung meskipun reaksi peradangan telah mereda
Terjadi demam
Perdarahan hidung berulang
Tanda-tanda berikut dimana sebaiknya meminta pertolongan ke unit gawat darurat :
Perdarahan yang berlangsung lebih dari beberapa menit pada satu atau kedua
lubang hidung
Keluar cairan berwarna bening dari lubang hidung
Cedera lain pada tubuh dan muka
Kehilangan kesadaran
Sakit kepala yang hebat
Muntah yang berulang
Penurunan indra penglihatan
Nyeri pada leher
Rasa kebas, baal,atau lemah pada lengan.

Diagnosis
Diagnosis fraktur tulang hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan
pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan dengan rinoskopi anterior, biasanya ditandai
dengan pembengkakan mukosa hidung terdapatnya bekuan dan kemungkinan ada robekan
pada mukosa septum, hematoma septum, dislokasi atau deviasi pada septum.
Pemeriksaan penunjang berupa foto os nasal, foto sinusparanasal posisi Water dan
bila perlu dapat dilakukan pemindaian dengan CT scan. CT scan berguna untuk melihat
fraktur hidung dan kemungkinan terdapatnya fraktur penyerta lainnya.
Pasien harus selalu diperiksa terhadap adanya hematoma septum akibat fraktur,
bilamana tidak terdeteksi. Dan tidak dirawat dapat berlanjut menjadi abses, dimana terjadi
resorpsi kartilago septum dan deformitas hidung pelana ( saddle nose ) yang berat.

Anamnesis
Rentang waktu antara trauma dan konsultasi dengan dokter sangatlah penting untuk
penatalaksanaan pasien. Sangatlah penting untuk menentukan waktu trauma dan
menentukan arah dan besarnya kekuatan dari benturan. Sebagai contoh, trauma dari arah
frontal bisa menekan dorsum nasal, dan menyebabkan fraktur nasal. Pada kebanyakan
pasien yang mengalami trauma akibat olahraga, trauma nasal yang terjadi berulang dan
terus menerus, dan deformitas hidung akan menyebabkan sulit menilai antara trauma lama
dan trauma baru sehingga akan mempengaruhi terapi yang diberikan. Informasi mengenai
keluhan hidung sebelumnya dan bentuk hidung sebelumnya juga sangat berguna. Keluhan
utama yang sering dijumpai adalah epistaksis, deformitas hidung, obstruksi hidung dan
anosmia.

Pemeriksaan fisik
Kebanyakan fraktur nasal adalah pelengkap trauma seperti trauma akibat dihantam
atau terdorong. Sepanjang penilaian awal dokter harus menjamin bahwa jalan napas pasien
aman dan ventilasi terbuka dengan sewajarnya. Fraktur nasal sering dihubungkan dengan
trauma pada kepala dan leher yang bisa mempengaruhi patennya trakea. Fraktur nasal
ditandai dengan laserasi pada hidung, epistaksis akibat robeknya membran mukosa.
Jaringan lunak hidung akan nampak ekimosis dan udem yang terjadi dalam waktu singkat
beberapa jam setelah trauma dan cenderung nampak di bawah tulang hidung dan kemudian
menyebar ke kelopak mata atas dan bawah.
Deformitas hidung seperti deviasi septum atau depresi dorsum nasal yang sangat
khas, deformitas yang terjadi sebelum trauma sering menyebabkan kekeliruan pada trauma
baru. Pemeriksaan yang teliti pada septum nasal sangatlah penting untuk menentukan
antara deviasi septum dan hematom septi, yang merupakan indikasi absolut untuk drainase
bedah segera. Sangatlah penting untuk memastikan diagnosa pasien dengan fraktur,
terutama yang meliputi tulang ethmoid. Fraktur tulang ethmoid biasanya terjadi pada pasien
dengan fraktur nasal fragmental berat dengan tulang piramid hidung telah terdorong ke
belakang ke dalam labirin ethmoid, disertai remuk dan melebar, menghasilkan telekantus,
sering dengan rusaknya ligamen kantus medial, apparatus lakrimalis dan lamina
kribriformis, yang menyebabkan rhinorrhea cerebrospinalis.
Pada pemeriksaan fisis dengan palpasi ditemukan krepitasi akibat emfisema
subkutan, teraba lekukan tulang hidung dan tulang menjadi irregular. Pada pasien dengan
hematom septi tampak area berwarna putih mengkilat atau ungu yang nampak berubah-
ubah pada satu atau kedua sisi septum nasal. Keterlambatan dalam mengidentifikasi dan
penanganan akan menyebabkan deformitas bentuk pelana, yang membutuhkan penanganan
bedah segera. Pemeriksaan dalam harus didukung dengan pencahayaan, anestesi, dan
semprot hidung vasokonstriktor. Spekulum hidung dan lampu kepala akan memperluas
lapangan pandang. Pada pemeriksaan dalam akan nampak bekuan darah dan/atau
deformitas septum nasal.

Gambar 9: Deformitas septum nasal


Pemeriksaan radiologis
Jika tidak dicurigai adanya fraktur nasal komplikasi, radiografi jarang
diindikasikan. Karena pada kenyataannya kurang sensitif dan spesifik, sehingga hanya
diindikasikan jika ditemukan keraguan dalam mendiagnosa. Radiografi tidak mampu untuk
mengidentifikasi kelainan pada kartilago dan ahli klinis sering salah dalam
menginterpretasikan sutura normal sebagi fraktur yang disertai dengan pemindahan posisi.
Bagaimanapun, ketika ditemukan gejala klinis seperti rhinorrhea cerebrospinalis, gangguan
pergerakan ekstraokular atau maloklusi. CT-scan dapat diindikasikan untuk menilai fraktur
wajah atau mandibular.

Gambar 10 : Foto x-ray fraktur hidung

Gambar 11 : CT-scan potongan coronal dan axial pada fraktur nasal


Penatalaksanaan
Tujuan Penangananan Fraktur Hidung :
Mengembalikan penampilan secara memuaskan
Mengembalikan patensi jalan nafas hidung
Menempatkan kembali septum pada garis tengah
Menjaga keutuhan rongga hidung
Mencegah sumbatan setelah operasi, perforasi septum, retraksi kolumela,
perubahan bentuk punggung hidung
Mencegah gangguan pertumbuhan hidung

Konservatif
Penatalaksanaan fraktur nasal berdasarkan atas gejala klinis, perubahan fungsional
dan bentuk hidung, oleh karena itu pemeriksaan fisik dengan dekongestan nasal
dibutuhkan. Dekongestan berguna untuk mengurangi pembengkakan mukosa. Pasien
dengan perdarahan hebat, biasanya dikontrol dengan pemberian vasokonstriktor topikal.
Jika tidak berhasil bebat kasa tipis, kateterisasi balon, atau prosedur lain dibutuhkan tetapi
ligasi pembuluh darah jarang dilakukan. Bebat kasa tipis merupakan prosedur untuk
mengontrol perdarahan setelah vasokonstriktor topikal. Biasanya diletakkan dihidung
selama 2-5 hari sampai perdarahan berhenti. Pada kasus akut, pasien harus diberi es pada
hidungnya dan kepala sedikit ditinggikan untuk mengurangi pembengkakan. Antibiotik
diberikan untuk mengurangi resiko infeksi, komplikasi dan kematian. Analgetik berperan
simptomatis untuk mengurangi nyeri dan memberikan rasa nyaman pada pasien.
Fraktur nasal merupakan fraktur wajah yang tersering dijumpai. Jika dibiarkan
tanpa dikoreksi, akan menyebabkan perubahan struktur hidung dan jaringan lunak sehingga
akan terjadi perubahan bentuk dan fungsi. Karena itu, ketepatan waktu terapi akan
menurunkan resiko kematian pasien dengan fraktur nasal. Terdapat banyak silang pendapat
mengenai kapan seharusnya penatalaksanaan dilakukan. Penatalaksanaan terbaik
seharusnya dilakukan segera setelah fraktur terjadi, sebelum terjadi pembengkakan pada
hidung. Sayangnya, jarang pasien dievaluasi secara cepat. Pembengkakan pada jaringan
lunak dapat mengaburkan apakah patah yang terjadi ringan atau berat dan membuat
tindakan reduksi tertutup menjadi sulit dilakukan. Sebab dari itu pasien dievaluasi setelah
3-4 hari berikutnya. Tindakan reduksi tertutup dilakukan 7-10 hari setelahnya dapat
dilakukan dengan anestesi lokal. Jika tindakan ditunda setelah 7-10 hari maka akan terjadi
kalsifikasi.
Setelah memastikan bahwa saluran napas dalam kondisi baik, pernapasan optimal
dan keadaan pasien cenderung stabil, dokter baru melakukan penatalaksaan terhadap
fraktur. Penatalaksanaan dimulai dari cedera luar pada jaringan lunak. Jika terjadi luka
terbuka dan kemungkinan kontaminasi dari benda asing, maka irigasi diperlukan. Tindakan
pembersihan (debridement) juga dapat dilakukan. Namun pada tindakan debridement harus
diperhatikan dengan bijak agar tidak terlalu banyak bagian yang dibuang karena lapisan
kulit diperlukan untuk melapisi kartilago yang terbuka.
Terdapat berbagai algoritma dalam penatalksanaan fraktur nasal tergantung dari
klasifikasi yang digunakan.
Algoritma yang dibuat oleh Michael et al:

Evaluasi

Fraktur tipe I,II,III Fraktur Tipe IV Fraktur Tipe V

Dapat Fraktur Deviasi septu Deviasi


digerakkan inkomplit ringan-sedang septum berat

Reduksi septorinoplasti
tertutup Reduksi
terbuka tulang
dan septum
gagal

Modifikasi reduksi Deformitas (+),


terbuka dengan Gagal/terdap deviasi septum
at pilihan (+)
osteotomi

Gambar 12 : Algoritma penatalaksanaan fraktur nasal


Algoritma yang dibuat oleh Samuel et al:

Tidak terdapat fraktur,kompres dingin 24 jam, follow up


Tipe I seperti biasa

Reduksi tertutup
Manipulasi septum
Tipe IIa-III Splinting
< 4 jam Kompres dingin 24 jam
Tipe II
Kompres hangat 7 hari

Tipe III Waktu Reduksi terbuka


Manipulasi septum
Tipe IV External splinting
Doyle splinting
Tipe IV Graft luas
> 4 jam
Kompres dingin
Elevasi
Nilai ulang edema

Septorinoplasti
CT scan axial/koronal 3mm Osteotomi
Tipe V Reduksi terbuka secepatnya External splinting
Fiksasi interna Doyle splinting
Konsul bedah saraf jika diperlukan Graft luas

Gambar 13 : Algoritma penatalaksanaan fraktur hidung 2


Operatif
Untuk fraktur nasal yang tidak disertai dengan perpindahan fragmen tulang,
penanganan bedah tidak dibutuhkan karena akan sembuh dengan spontan. Deformitas
akibat fraktur nasal sering dijumpai dan membutuhkan reduksi dengan fiksasi adekuat
untuk memperbaiki posisi hidung.
Teknik reduksi tertutup
Reduksi tertutup adalah tindakan yang dianjurkan pada fraktur hidung akut
yang sederhana dan unilateral. Teknik ini merupakan satu teknik pengobatan yang
digunakan untuk mengurangi fraktur nasal yang baru terjadi. Namun, pada kasus
tertentu tindakan reduksi terbuka di ruang operasi kadang diperlukan. Penggunaan
analgesia lokal yang baik, dapat memberikan hasil yang sempurna pada tindakan
reduksi fraktur tulang hidung. Jika tindakan reduksi tidak sempurna maka fraktur
tulang hidung tetap saja pada posisi yang tidak normal. Tindakan reduksi ini
dikerjakan 1-2 jam sesudah trauma, dimana pada waktu tersebut edema yang terjadi
mungkin sangat sedikit. Namun demikian tindakan reduksi secara lokal masih dapat
dilakukan sampai 14 hari sesudah trauma. Setelah waktu tersebut tindakan reduksi
mungkin sulit dikerjakan karena sudah terbentuk proses kalsifikasi pada tulang
hidung sehingga perlu dilakukan tindakan rinoplasti estetomi.
Alat-alat yang dipakai pada tindakan reduksi adalah :
Elevator tumpul yang lurus (Boies Nasal Fracture Elevator)
Cunam Asch
Cunam Walsham
Spekulum hidung pendek dan panjang (Killian)
Pinset bayonet.

Gambar 14 :
Reduction instruments. (Left) Asch forceps, (center) Walsham forceps,
and (right) Boies elevator.

Deformitas hidung yang minimal akibat fraktur dapat direposisi dengan


tindakan yang sederhana. Reposisi dilakukan dengan cunam Walsham. Pada
penggunaan cunam Walsham ini, satu sisinya dimasukkan ke dalam kavum nasi
sedangkan sisi yang lain di luar hidung dia atas kulit yang diproteksi dengan selang
karet. Tindakan manipulasi dilakukan dengan kontrol palpasi jari.
Jika terdapat deviasi piramid hidung karena dislokasi karena dislokasi
tulang hidung, cunam Asch digunakan dengan cara memasukkan masing-masing
sisi (blade) ke dalam kedua rongga hidung sambil menekan septum dengan kedua
sisi forsep. Sesudah fraktur dikembalikan pada posisi semula dilakukan
pemasangan tampon di dalam rongga hidung. Tampon yang dipasang dapat
ditambah dengan antibiotika.
Perdarahan yang timbul selama tindakan akan berhenti, sesudah
pemasangan tampon pada kedua rongga hidung. Fiksasi luar (gips) dilakukan
dengan menggunakan beberapa lapis gips yang dibentuk dari huruf T dan
dipertahankan hingga 10-14 hari.
Langkahlangkah pada tindakan reduksi tertutup :
1. Memindahkan kedua prosesus nasofrontalis. Forceps Walshams digunakan
untuk memindahkan kedua prosesus nasalis keluar maksila dan
menggunakan tenaga yang terkontrol untuk menghindari gerakan
menghentak yang tiba-tiba.
2. Perpindahan posisi tulang hidung. Septum kemudian dipegang dengan
forceps Asch yang diletakkan di belakang dorsum nasi. Forceps ini
diciptakan sama prinsipnya dengan forceps walshams, tetapi forcep Asch
mempunyai mata pisau yang dapat memegang septum yang mana bagian
mata pisau tersebut terpisah dari pegangan utama bagian bawah dengan
ukuran lebih besar dan lekukan berguna untuk menghindari terjadinya
kompresi dan kerusakan kolumela yang hebat dan lebih luas.
3. Manipulasi septum nasal. Forceps Asch kemudian digunakan lagi untuk
meluruskan septum nasal.
4. Membentuk piramid hidung. Dokter ahli bedah seharusnya mampu untuk
mendorong hidung sampai mencapai posisi yang tidak seharusnya dan
adanya sumbatan/kegagalan mengindikasikan kesalahan posisi dan
pergerakan tidak sempurna dan harus diulang. Prosesus nasofrontalis
didorong ke dalam dan tulang hidung akhirnya dapat terbentuk dengan
bantuan jari-jari tangan.
5. Kemungkinan pemindahan akhir septum. Dokter ahli bedah harus berhati-
hati dalam menilai bagian anterior hidung dan harus mengecek posisi dari
septum nasal. Jika memuaskan, dokter harus mereduksi terbuka fraktur
septum melalui septoplasti atau reseksi mukosa yang sangat terbatas.
6. Kemungkinan laserasi sutura kutaneus. Jika tipe fraktur adalah tipe patah
tulang riuk, maka dibutuhkan laserasi sutura pada kulit yang terbuka.
Pertama-tama, luka harus dibuka. Sangatlah penting untuk membuang
semua benda asing yang berada pada luka seperti pecahan kaca, kotoran
atau batu kerikil. Hidung membutuhkan suplai darah yang cukup dan oleh
karena itu sedikit atau banyak debridemen sangat dibutuhkan. Penutupan
pertama terlihat kebanyakan luka sekitar 36 jam dan sutura nasalis menutup
sekitar 3-4 mm. Kadang luka kecil superfisial dapat menutup dengan plester
adhesive (steristrips).
Gambar 15 :Reposisi Fraktur Hidung

Gambar 16 : Teknik reduksi tertutup


Teknik reduksi terbuka
Fraktur nasal reduksi terbuka cenderung tidak memberikan keuntungan. Pada
daerah dimana fraktur berada sangat beresiko mengalami infeksi sampai ke dalam
tulang. Masalah pada hidung menjadi kecil karena hidung mempunyai banyak
suplai aliran darah bahkan pada masa sebelum adanya antibiotik, komplikasi infeksi
setelah fraktur nasal dan rhinoplasti sangat jarang terjadi.
Teknik reduksi terbuka diindikasikan untuk :
Ketika operasi telah ditunda selama lebih dari 3 minggu setelah trauma.
Fraktur nasal berat yang meluas sampai ethmoid. Disini, sangat nyata adanya
fragmentasi tulang sering dengan kerusakan ligamentum kantus medial dan
apparatus lakrimalis. Reposisi dan perbaikan hanya mungkin dengan reduksi
terbuka, dan sayangnya hal ini harus segera dilakukan.
Reduksi terbuka juga dapat dilakukan pada kasus dimana teknik manipulasi
reduksi tertutup telah dilakukan dan gagal. Pada teknik reduksi terbuka harus
dilakukan insisi pada interkartilago. Gunting Knapp disisipkan di antara insisi
interkartilago dan lapisan kulit beserta jaringan subkutan yang terpisah dari
permukaan luar dari kartilago lateral atas, dengan melalui kombinasi antara
gerakan memperluas dan memotong.

Komplikasi
Hematom septi
Merupakan komplikasi yang sering dan serius dari trauma nasal. Septum hematom
ditandai dengan adanya akumulasi darah pada ruang subperikondrial. Ruangan ini
akan menekan kartilago di bawahnya, dan mengakibatkan nekrosis septum
irreversible. Deformitas bentuk pelana dapat berkembang dari jaringan lunak yang
hilang. Prosedur yang harus dilakukan adalah drainase segera setelah ditemukan
disertai dengan pemberian antibiotik setelah drainase.

Gambar 17:
Bilateral septal hematomas associated with a nasal fracture

Penanganan hematom septum berupa :


Insisi dan drainase hematoma
Pemasangan drain sementara
Pemasangan balutan intranasal untuk menekan mukosa septum
Memperkecil kemungkinan terjadinya hematom ulang
Dimulainya terapi antibiotik untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya bahaya infeksi.
Fraktur dinding orbita
Fraktur pada dinding orbita dan lantai orbita akibat pukulan dapat terjadi.
Gejala klinis yang muncul adalah disfungsi otot ekstraokuler.
Fraktur septum nasal
Sekitar 70% fraktur nasal dihubungkan dengan fraktur septum nasal.
Trauma pada hidung bagian bawah akan menyebabkan fraktur septum nasal tanpa
adanya kerusakan tulang hidung. Teknik yang dilakukan adalah teknik manipulasi
reduksi tertutup dengan menggunakan forceps Asch.
Fraktur lamina kribriformis
Merupakan predisposisi pengeluaran cairan cerebrospinalis, yang akan
menyebabkan komplikasi berupa meningitis, encephalitis dan abses otak.

Prognosis
Kebanyakan fraktur nasal tanpa disertai dengan perpindahan posisi akan sembuh
tanpa adanya kelainan kosmetik dan fungsional. Dengan teknik reduksi terbuka dan
tertutup akan mengurangi kelainan kosmetik dan fungsional pada 70 % pasien.

Sumber :
1. Efiaty A S, Nurbaiti I, Jenny B, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Cetakan ke-1. Jakarta: FKUI;2007.h.118-
122,199-202.
2. Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Adams GL, Boies LR, Higler PA; editor,
efendi H, alih bahasa, Wijaya C; Edisi 6. Jakarta: Penerbit buku edokteran EGC. 1997.
3. R.Sjamsuhidajat, Wim De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Fraktur Tulang Hidung. Edisi
ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2005.h.338.
4. Elizabeth A B. Broken Nose. Diunduh dari : http://www.emedicinehealth.com/broken
nose/article em.htm.
5. Arden RL, Mathog RH. Nasal fracture.
famona.tripod.com/ent/cummings/cumm042.pdf.
6. Rubinstein B, Strong B. Management of nasal fracture. Arch Fam Med. 2000;9:738-
42.
7. Thiagarajan B, Ulaganathan V. Fracture nasal bones. Otolaryngology online journal.
2013; 3.
8. Ondik MP, Lipinski L, Dezfoli S, Fedok FG. The treatment of nasal fracture: a changing
paradigm. Arch Facial Plast Surg. 2009;11(5):296-302
9. Kelley BP, Downey CR, Stal S. Evaluation and reduction of nasal trauma.. Seminars in
plastic surgery. 2010; 24(4). 339-46.
10. Lalwani AK. Current Diagnosis dan Treatment : Otolaryngology Head and Neck
Surgery. Edisi ke-2. USA; McGraw-Hill Medical;2007.Chapter 11.

Anda mungkin juga menyukai