Anda di halaman 1dari 5

Faktor konsumsi

Faktor konsumsi yang dibahas dalam penelitian ini terdiri dari beberapa aspek, yaitu
frekuensi makan, frekuensi konsumsi makanan dan minuman beresiko.

Hasil analisis univariat

a. Frekuensi Makan

Hasil analisis univariate frekuensi makan responden dalam satu hari selama selama
dua bulan terakhir (Mei-Juni, 2019) dapat dilihat pada tabel berikut :

Frekuensi Makan Jumlah Persentase


Beresiko 56 74,6%
Tidak Beresiko 19 25,4%
Total 75 100%
Sumber : Data Primer

Berdasarkan hasil pengumpulan data berupa dua pertanyaan kuisioner, frekuensi


makan yang beresiko lebih banyak daripada frekuensi makan yang tidak beresiko terhadap
syndrome dyspepsia. Frekuensi makan yang beresiko (kurang dari 3 kali makan besar dan 2
kali makan selingan) berjumlah 56 orang (74,6%), sedangkan frekuensi makan yang tidak
beresiko (≥ 3 kali makan besar dan ≥ 2 makan selingan) berjumlah 19 orang (25,4%).

1. Makanan Pedas

Hasil analisis univariate frekuensi konsumsi makanan pedas pada responden dapat
dilihat pada tabel berikut.

Frekuensi Makan Jumlah Persentase


Sering 47 62,6 %
Jarang 28 37,4 %
Total 75 100%
Sumber : data primer

Berdasarkan hasil analisis univariate frekuensi konsumsi makanan pedas responden


dalam dua bulan terakhir (Mei-Juni, 2019) , didapatkan jumlah responden dengan frekuensi
konsumsi makanan pedas jarang berjumlah 28 orang (37,4%). Sedangkan , jumlah responden
dengan frekuensi sering lebih banyak yaitu berjumlah 47 orang (62,6%).

2. Makanan Asam

Hasil analisis univariate frekuensi konsumsi makanan pedas pada responden dapat
dilihat pada tabel berikut.
Frekuensi Makan Jumlah Persentase
Sering 45 60%
Jarang 30 40%
Total 75 100%
Sumber : data primer

Berdasarkan hasil analisis univariate frekuensi konsumsi makanan pedas responden


dalam dua bulan terakhir (Mei-Juni, 2019) , didapatkan jumlah responden dengan frekuensi
konsumsi makanan asam jarang berjumlah 30 orang (40%). Sedangkan , jumlah responden
dengan frekuensi sering lebih banyak yaitu berjumlah 45 orang (60%).

B. Frekuensi Konsumsi Minuman Beresiko

1. Minuman Berkarbonasi

Hasil analisis univariate frekuensi konsumsi makanan pedas pada responden dapat
dilihat pada tabel berikut.

Frekuensi Konsumsi Jumlah Persentase


Sering 7 9,3%
Jarang 68 90,7%
Total 75 100%
Sumber : data primer

Berdasarkan hasil analisis univariate frekuensi konsumsi minuman berkarbonasi


responden dalam dua bulan terakhir (Mei-Juni, 2019) , didapatkan jumlah responden dengan
frekuensi konsumsi minuman berkarbonasi jarang lebih banyak yaitu berjumlah 68 orang
(90,7%). Sedangkan , jumlah responden dengan frekuensi sering lebih banyak yaitu berjumlah
7 orang (9,3%).

2. Kopi

Hasil analisis univariate frekuensi konsumsi kopi pada responden dapat dilihat pada
tabel berikut.

Frekuensi Konsumsi Jumlah Persentase


Sering 30 40%
Jarang 45 60%
Total 75 100%
Sumber : data primer

Berdasarkan hasil analisis univariate frekuensi konsumsi kopi responden dalam dua
bulan terakhir (Mei-Juni, 2019) , didapatkan jumlah responden dengan frekuensi
mengkonsumsi kopi jarang berjumlah 30 orang (40%). Sedangkan , jumlah responden dengan
frekuensi sering lebih banyak yaitu berjumlah 45 orang (60%).

Pembahasan :

Dari penelitian yang telah disajikan pada tabel tentang berdasarkan faktor makanan dan
minuman beresiko pada kejadian syndrome dyspepsia di Puskesmas Rawat Inap Cempaka
Banjarbaru dari 75 responden, ternyata diperoleh bahwa dari 56 orang (74,6%) yang memiliki
kebiasaan konsumsi makanan atau minuman beresiko mengalami syndrome dyspepsia , dimana
didapatkan pula frekuensi terbanyak adalah sering konsumsi makan pedas , yaitu 47 orang
(62,6%) . Kemudian disusul oleh frekuensi responden sering konsumsi makanan asam, yaitu
45 orang (60%) mengalami syndrome dyspepsia. Dalam hasil penelitian ini pula memiliki
frekuensi responden sering konsumsi kopi sebanyak 45 orang (60%) dan frekuensi responden
sering konsumsi minuman berkarbonasi sebanyak 7% yang mengalami syndrome dyspepsia.
Hal ini menunjukkan bahwa responden yang mengalami syndrome dyspepsia memiliki
kebiasaan sering konsumsi makanan pedas mempunyai persentase yang lebih banyak
dibandingkan dengan responden yang memiliki kebiasaan sering konsumsi makanan asam,
minuman berkarbonasi atau kafein.

Hasil penelitian ini juga di dukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Susanti tahun
2011 mengenai faktor resiko syndrome dyspepsia menyebutkan bahwa hampir keseluruhan
responden memiliki kebiasaan konsumsi makan pedas 78,3% , kebiasaan makan makan asam
55% dan didapatkan konsumsi minuman berkarbonasi atau kafein memiliki hubungan yang
bermakna sebagai salah satu faktor resiko syndrome dyspepsia dengan analisis statistik
menggunakan uji beda Mann Whitney menyatakan bahwa antara kedua kelompok (kasus dan
kontrol) berbeda nyata (p<0,05). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan
bahwa kebiasaan mengkonsumsi makanan pedas, berhubungan nyata terhadap frekuensi
dispepsia (p<0,05).

Susanti, A. 2011,Faktor Risiko Dispepsia pada Mahasiswa Institut Pertanian Bogor


(IPB)‟, skripsi program pendidikan sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Makanan pedas menjadi peranan penting dalam angka kejadian syndrome dyspepsia
kemungkinan dipengaruhi oleh faktor lingkungan , tempat tinggal, dan budaya. Umumnya
masyarakat Indonesia memiliki kecendrungan lebih menyukai makanan pedas.

Putri, Nanda R. 2015. Gambaran Sindroma Dispepsia Fungsional Pada Mahasiswa


Fakultas Kedokteran Riau Angkatan 2014, Universitas Riau.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh Berdanier (2008)
Konsumsi makanan pedas secara berlebihan akan merangsang system pencernaan, terutama
lambung dan usus yang berkontraksi. Selain itu, bubuk cabai, atau chili powder dapat
menyebabkan kehilangan sel epitel pada lapisan mukosa lambung.

Berdanier CD, Dwyer J, Feldman EB. 2008, Handbook of Nutrition and Food. Ed II.
USA: CRC Press.

Penelitian ini pun sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Murjayanah (2010)
dimana ada hubungan yang bermakna antara riwayat mengkonsumsi makanan pedas yang
merangsang peningkatan asam lambung dengan kejadian syndrome dyspepsia, dimana
kebiasaan makan pedas memiliki risiko 4,843 kali terkena syndrome dyspepsia dibandingkan
dengan responden yang tidak beresiko memiliki riwayat mengkonsumsi makanan pedas.

Murjayanah, Hanik. 2010. Faktor-faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian


Gastritis di RSU dr. R. Soetrasno Rembang Tahun 2010, Universitas Negeri Semarang.

Penelitian lainnya , Putri (2015) juga menyebutkan bahwa dari 138 responden ,
didapatkan hasil 77 responden (55,8%) mengalami syndrome dyspepsia yang mana 74
responden diantaranya (91,1%) mengkonsumsi makanan pedas , 72 responden (81,4%)
mengkonsumsi makanan asam, dan 39 responden (69,6%) konsumsi minuman iritatif.

Putri, Nanda R. 2015. Gambaran Sindroma Dispepsia Fungsional Pada Mahasiswa


Fakultas Kedokteran Riau Angkatan 2014, Universitas Riau.

Menurut Yayuk dkk (2014) dalam Fithriyana (2018), kebiasaan mengkonsumsi


makanan dan minuman , seperti makan pedas, asam, meningkatkan resiko munculnya gejala
dyspepsia . Suasana yang sangat asam di dalam lambung dapat membunuh organisme pathogen
yang tertelan bersama makanan. Namun, bila barrier lambung telah rusak, maka suasana yang
sangat asam di lambung akan memperberat iritasi pada dinding lambung. Faktor pemicu
produksi asam lambung berlebihan, diantaranya beberapa zat kimia, seperti alcohol, umumnya
obat penahan nyeri, asam cuka. Makanan dan minuman yang bersifat asam, makanan yang
pedas serta bumbu yang merangsang, misalkan jahe, merica.

Fithriyana, Rinda. 2018. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dispepsia


Pada Pasien di Wilayah Kerja Puskesmas Bangkinang Kota, Universitas Pahlawan
Tuanku Tambusai.

Anda mungkin juga menyukai